Acehnese history

KHANDURI ACEH JENIS DAN RAGAMNYA Khanduri menjadi khas masyarakat Aceh. Dalam Masyarakat Aceh bila mempunyai hajat, apakah itu ketika mendapat kenikmatan sesuatu atau ditimpa musibah, biasanya melaksanakan khanduri. Khanduri itu sebagai pengabdian atau tanda ingat kepada Yang Maha Kuasa. Khanduri itu dilakukan dengan menjamu saudara, tetangga dan kerabat untuk makan bersama utamanya yang kurang mampu. Maka ada istilah khaduri hidup dan khanduri kematian. Khanduri selalu dipandang dan terkait dengan status sosial (orang kaya atau tokoh masyarakat). Dalam kasus tertentu, seperti khanduri thon (tahunan) dilaksanakan khusus, para qari membaca Al Qur'an dan melantunkan lagu-lagu pujaan, teungku membaca doa dan lainnya. Beragam khanduri di Aceh, diantaranya: Khanduri Tujuh (menujuh hari) yang terkait dengan kematian seseorang (pada hari ketujuhnya). Meskipun setiap malamnya para tetangga dan kerabat hadir melayat membaca Tahlil, membaca Qur'an, dan tausiah kepada keluarga yang kemalangan, tapi pada hari ketujuh merupakan puncak, dan biasanya diundang orang-orang khusus. Di samping itu ada khanduri tiga puluh, atau empat puluh empat, biasanya diakhir upacara meudoa, pada khanduri khusus ini, pemilik hajat memberi sadaqah. Besarnya sedekah tergantung kepada status social dan kemampuan ekonomi sang tuanrumah. Teungku biasanya diberikan dalam jumlah extra, anak-anak lebih sedikit dari orang dewasa. Khanduri Blang, agak khusus sifatnya, dilakukan setahun sekali ketika musim bersawah akan dimulai. Beberapa ekor sapi dipotong di suatu tempat yang dianggap keramat, biasa di kuburan orang ternama (Teungku di Blang, atau tokoh pertanian yang telah lama tiada).

This paper seeks to understand the nature and determinants of the livelihood outcomes of former insurgents in Aceh, Indonesia. In August 2005, the Free Aceh Movement (GAM) and the Indonesian government signed a Memorandum of Understanding (MoU) ending almost three decades of war. Among the priorities stipulated in the MoU and underscored by policymakers in Aceh was the reintegration of ex-combatants into civil society and the productive economy to prevent a revival of the conflict. Despite the importance of economic reintegration of former combatants to post-war contexts, our understanding of economic reintegration remains undeveloped, both in general and in Aceh. Based on extensive fieldwork from 2006 to 2008 and a unique quantitative dataset of ex-combatant and civilian respondents, this paper aims to improve our understanding of post-conflict reintegration in Aceh as well as in post-war contexts in general.
This policy paper asks two main questions: (1) What is the current economic state of former combatants in Aceh? and (2) Why are some ex-combatants more economically successful than others? In addressing these two questions, the paper employs statistical analyses to characterize the current conditions of former combatants and extensive fieldwork in nine purposively selected villages to qualitatively explore the mechanisms that explain variation in ex-combatants’ economic outcomes. The analytical framework developed from this research and associated hypotheses were then tested on a statistically representative dataset of 1,075 former combatants, 3,046 civilians, and 756 village heads. This dataset, called the Aceh Reintegration and Livelihood Survey (ARLS), was commissioned by the World Bank to examine both the livelihoods of former combatants as well as the impact of the BRA-KDP reintegration program.

NASIHAT-NASIHAT C. SNOUCK HURGRONJE SEMASA KEPEGAWAIANNYA KEPADA PEMERINTAH HINDIA BELANDA 1889-1936 VOLUME IV
E. Gobée & C. Adriaanse

Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies, 1991

Unduh : bit.ly/3NhVzxf

#snouckhurgronje
#kolonial
#nederlandschindie
#penjajahan
#aceh
#penjajahanaceh
#sejarahaceh
#sejarahindonesia
#sejarahnusantara
#catatanindonesia
#catatannusantara

https://www.instagram.com/p/CberOG8Lshk/
https://drive.google.com/file/d/1hMveBGj_Xm8Tojsur69AqNdtf8Ao1Dma/view
https://linktr.ee/CatatanNusantara

Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh, merupakan Masjid yang memiliki lembaran sejarah tersendiri, yang kini merupakan Masjid Negara yang berada di jantung kota Propinsi Nanggro Aceh Darussalam. Nama Masjid Raya Baiturrahman ini berasal dari nama Masjid Raya yang dibangun oleh Sultan Iskandar Muda pada tahun 1022 H/1612 M. Mesjid raya ini memang pertama kali dibangun oleh pemerintahan Sultan Iskandar Muda, namun telah terbakar habis pada agresi tentara Belanda kedua pada bulan shafar 1290/April 1873 M, dimana dalam peristiwa tersebut tewas Mayjen Khohler yang kemudian diabadikan tempat tertembaknya pada sebuah monument kecil dibawah pohon ketapang/geulumpang dekat pintu masuk sebelah utara mesjid. Empat tahun setelah Masjid Raya Baiturrahman itu terbakar, pada pertengahan shafar 1294 H/Maret 1877 M, dengan mengulangi janji jenderal Van Sweiten, maka Gubernur Jenderal Van Lansberge menyatakan akan membangun kembali Masjid Raya Baiturrahman yang telah terbakar itu. Pernyataan ini diumumkan setelah diadakan permusyawaratan dengan kepala-kepala Negeri sekitar Banda Aceh. Dimana disimpulakan bahwa pengaruh Masjid sangat besar kesannya bagi rakyat Aceh yang 100% beragama Islam. Janji tersebut dilaksanakan oleh Jenderal Mayor Vander selaku Gubernur Militer Aceh pada waktu itu. Dan tepat pada hari Kamis 13 Syawal 1296 H/9 Oktober 1879 M, diletakan batu pertamanya yang diwakili oleh Tengku Qadhi Malikul Adil. Masjid Raya Baiturrahman ini siap dibangun kembali pada tahun 1299 Hijriyah bersamaan dengan kubahnya hanya sebuah saja. Pada tahun 1935 M, Masjid Raya Baiturrahman ini diperluas bahagian kanan dan kirinya dengan tambahan dua kubah. Dan pada tahun 1975 M terjadinya perluasan kembali. Perluasan ini bertambah dua kubah lagi dan dua buah menara sebelah utara dan selatan. Dengan perluasan kedua ini Masjid Raya Baiturrahman mempunyai lima kubah dan selesai dekerjakan dalam tahun 1967 M. Dalam rangka menyambut Musabaqah Tilawatil Qur'an (MTQ) Tingkat Nasional ke-XII pada tanggal 7 s/d 14 Juni 1981 di Banda Aceh, Masjid Raya diperindah dengan pelataran, pemasangan klinkers di atas jalan-jalan dalam pekarangan Masjid Raya. Perbaikan dan penambahan tempat wudhuk dari porselin dan pemasangan pintu krawang, lampu chandelier, tulisan kaligrafi ayat-ayt Al-Qur'an dari bahan kuningan, bagian kubah serta intalasi air mancur di dalam kolam halaman depan. Dan pada tahun 1991 M, dimasa Gubernur Ibrahim Hasan terjadi perluasan kembali yang meliputi halaman depan dan belakang serta masjidnya itu sendiri. Bagian masjid yang diperluas,meliputi penambahan dua kubah, bagian lantai masjid tempat shalat, ruang perpustakaan, ruang tamu, ruang perkantoran, aula dan ruang tempat wudhuk, dan 6 lokal sekolah. Sedangkan. perluasan halaman meliputi, taman dan tempat parkir serta satu buah menara utama dan dua buah minaret. Dilihat dari sejarah, Masjid Raya Baiturrahman ini mempunyai nilai yang tinggi bagi rakyat Aceh, karena sejak Sultan Iskandar Muda sampai sekarang masih berdiri megah di tengah jantung kota Banda Aceh. Mesjid Raya ini mempunyai berbagai fungsi selain shalat, yaitu tempat mengadakan pengajian, perhelatan acara keagamaan seperti maulid Nabi Besar Muhammad SAW, peringatan 1 Muharram, Musabaqah Tilawatil Qur'an (yang baru selesai MTQ Telkom-Telkomsel Nasional), tempat berteduh bagi warga kota serta para pendatang, salah satu obyek wisata Islami. Waktu gempa dan tsunami (26 Desember 2004) yang menghancurkan sebagian Aceh, mesjid ini selamat tanpa kerusakan yang berarti dan banyak warga kota yang selamat di sini. Kawasan/lingkungan mesjid ini juga dijadikan kawasan syariat Islam, jadi sebaiknya kita jaga dan jangan dikotori

Oleh Panitia, saya diminta untuk mengisi topik mengenai toleransi di Aceh dengan kacamata sosial budaya. Topik ini agak berat, terutama saat mendiskusikan konsep-konsep keilmuan yang bukan berasal dari tradisi intelektual Aceh. Istilah toleransi sebenarnya bukan juga berasal dari bahasa Indonesia ataupun bahasa Melayu. Secara kebahasaan, istilah -toleransi‖ berasal dari bahasa Perancis yang ditulis dengan kata tolérant. Asal kata ini dari bahasa Latin yaitu tolerare. Biasanya digunakan istilah tolerare , dimana sudah digunakan sejak abad ke-16 M. Sejak abad ke-15, istilah ini telah digunakan dengan arti ‗denoting the granting of permission by authority.' 3 Adapun arti kata toleration yaitu ‗the practice of tolerating something in particular difference of opinion or behavior.' 4 Karena itu, istilah ini mengandung makna sejarah di Barat, khususnya pada tahun 1689 mengenai kebebasan beribadah yang dikenal dengan Toleration Act. Tujuannya adalah ‗to unite all Protestant under William III against the deposed Roman Catholic James II.' 5 Sekali lagi, istilah ini tidak atau bukan berasal dari tradisi keilmuan di Nusantara.

This book provides primary sources of the Shaṭṭārīyah silsilah in Southeast Asia as developed in Aceh, Java, and Mindanao. It examines the networks of the Order between the 17th and 19th centuries, arguably the most important formative periods of the Islamic history in these regions.

In this philological study, the author scrutinizes thirty three digitized Islamic manuscripts to show the complexity of Shaṭṭārīyah Order and its great influence over Javanese Muslim elites, including three female Sufis of Javanese aristocratic background, namely Ratu Raja Fatimah and Nyimas Ayu Alimah of Cirebon Palace; and, last but not least Kanjeng Ratu Kadipaten, the influential wife of Pangeran Mangkubumi of Yogyakarta Palace, who played a prominent role in shaping the spirituality of a Javanese mystic and leader of the ‘holy war’ against European colonialism, Prince Dipanagara.

Contrary to previous studies, this book emphasizes the role of local networks of “commoners” in the Shaṭṭārīyah in spreading it into a wider context, some of whom had to live in exile during the Dutch colonialism, such as Kyai Hasan Maolani, the most influential local ulama from Lengkong, Kuningan, West Java, who was banished to Manado, North Sulawesi.

This is the edited version of an Arabic Sufi treatise by the Acehnese scholar, Shaykh Abdurrauf ibn ‘Ali al-Jawi al-Fansuri (1615-1693) entitled Tanbih al-mashi al-mansub ila tariq al-Qushashi [Direction for the traveller of the brotherhood of al-Qushashi]. It deals with the explanation and reinterpretation of the doctrine of Unity of God (wahdat al-wujud), and was written to reconcile the religious dispute between the followers of al-Raniri and those of Hamzah Fansuri and Shamsuddin al-Sumatra’i.

This version is primarily based on the manuscript Cod. Or. 7030 of Leiden University Library collection. A philological study had been carried out comparing to three other copies of the manuscript, namely: MSS A 655 and A 101of Jakarta National Library, and MS Cod. Or. 7030 of Leiden University Library, and published as Menyoal Wahdatul Wujud: Kasus Abdurrauf Singkel di Aceh Abad 17 (Bandung-Jakarta: Mizan-EFEO, 1999, 206 pages); this Arabic text, and its Indonesian translation, can be found on pp. 89-163.

Pembangunan Aceh pasca perang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial atas dasar kepentingan politik di atas kepentingan ekonomi. Berbagai tantangan dalam menyelesaikan masalah Aceh yang begitu rumit dipandang sebagai penghalang pembangunan. Untuk itu, upaya Pasifikasi Aceh (mengamankan) di bawah bendera Hindia Belanda mutlak dilakukan dalam berbagai bentuk kebijakan, baik yang represif maupun kooperatif. Pembangunan Aceh dalam rangka mewujudkan Politik Etis mendapat jalannya di tengah-tengah upaya pasifikasi selama Belanda berkuasa di Aceh.

Keyword: Pasifikasi, Etis, Pembangunan Aceh.

This paper describes a figure called Farid Husain who actively involves in the effort towards the peace of Aceh. This figure is believed to be very successful in playing his role upon searching for peace in Aceh, that he
could bring peace in Aceh in August 2005. The reason why Farid Husain needs to be raised in this paper is because he is a very active man in searching for prospective figures of peace in Aceh. He is the one behind the scene who finds all Free Aceh Movement (Gerakan Aceh Merdeka) leaders through informant approach to engage in peace talks. Therefore, it is important to understand the role played by Farid Husain until the peace of Aceh can successfully be achieved with the Helsinki agreement on August 15th, 2005 in Finland.

This article investigates the ways in which the Dutch colonial state dealt with a phenomenon known as the Atjeh-moorden (‘Aceh murders’), the persistent suicide-attacks directed at the lives of Dutch residents, committed by Acehnese hoping to become syahid (martyrs to the Islamic faith). Concentrating on the development of colonial psychiatry, and its influence on colonial discourses and practices, I show how Dutch dealings with the Atjeh-moorden were, simultaneously, part and parcel of the construction of an Acehnese subject, and indicative of the administrative ambivalence found in the approach of the colonial state toward violence and criminality.

"This book offers annotated translations of documents touching on Dutch admiral Cornelis Matelieff de Jonge and his voyage to Asia between 1605 and 1608. These translations are aimed at a contemporary English-speaking Asian readership interested in the early modern history of European trade, warfare and expansion in Southeast Asia with a focus on Malaysia, Singapore, and Indonesia. Researchers specialising in early European colonialism, international law, international relations, security studies, and diplomatic history will also find that the documents translated in this volume offer new and unfamiliar perspectives. Materlieff’s business acumen, military and diplomataic prowess as well as his vision of empire all have implications for examining not only European expansion into Southeast Asia, but also into other regions at large, including especially south Asia, Africa and the Americas.
Admiral Matelieff was a director of the Rotterdam Chamber of the Dutch East India Company (VOC) formed in 1602. He was appointed fleet commander on one of the company’s first voyages to Asia. Matelieff’s mission was both commercial and military: he launched a major sea-borne attack on the Portuguese colony of Melaka, arranged for the signing of treaties with the rulers of Johor, Aceh and Ternate, and founded the first Dutch fort on the island of Ternate. His endeavours, however, to open the Chinese market for the Dutch company proved unsuccessful.
Following his return to the Dutch Republic in September 1608, Matelieff penned a series of memorials and letters. In these he advanced recommendations for changing the way the company organized its fleets and conducted business. More importantly he offered  his Dutch contemporaries a vision of empire in Asia. The materials contained in this volume offer important observations of a perceptive analyst who was also determined to grasp the political and economic structures of Asia, and also of inter-state relations in across this vast region. At a time of Spanish, Portuguese, Dutch, Danish, French and English engagement in Southeast Asia, Matelieff sought to critically assess and strategize on the ways in which Europeans were increasingly engaging with Asian polities and their rulers.

This book will be released for sale in Australasia and Europe in June 2014 and available in the Americas after September 2014
""""

Syaikh Syamsuddin ibn Abdullah as-Sumatrani dikenal dengan nama Syamsuddin as-Sumatrani atau Syamsuddin Pasai. Syamsuddin as-Sumatrani hidup di Aceh antara akhir abad ke-16 sampai pertengahan abad ke-17 pada masa Sultan Iskandar Muda (w. 1045H/ 1639 M). Syamsuddin as-Sumatrani wafat pada 1040 H/1630 M. Syamsuddin as-Sumatrani adalah penganut mazhab Ibnu Arabi yaitu paham wahdat al-wujud atau wujudiyah, sekaligus murid Hamzah al-Fansuri. Dia pernah menduduki jabatan penting di Kerajaan Aceh yakni syaikh al-Islam. Syamsuddin as-Sumatrani terkenal sebagai seorang ahli ilmu tasuwuf. Paham wujudiyah Syamsuddin as-Sumatrani kemudian bertentangan dengan paham Nuruddin al-Raniri. Beberapa Karangan as-Sumatrani antara lain; Mir’ah al-Mu’minin, Mir’ah al-Muhaqqiqin, Syarh Ruba’i lil Hamzah Fanshuri, Jauhar al-Haqaiq, dan Tanbih al-Tullab fi Ma’rifah al-Malik al-Wahhab. Semua karyanya itu membahas Tasawuf.

ALAT SEX PRIA - BONEKA FULL BODY DENGAN HARGA GROSIR- Rp. 1.000.000

    Alat bantu sex ini berbentuk boneka full body, menstimulasikan seorang wanita telanjang dalam ukuran postur tubuh yang sebenarnya.
    Sex Doll terbuat dari bahan karet silikon pilihan berkualitas tinggi yang halus, lembut dan aman bagi kulit alat vital pria, membuat sex toy terunik ini nyaman dipakai dan tidak menyebabkan iritasi pada vital anda.
    Getaran vibrator boneka sex cantik pada kelamin pria akan menambah sensasi kenikmatan seksualitas yang sangat luar biasa.
    Boneka sex full body goyang serta bergetar menggairahkan ini mudah dibersihkan dipompa dan dapat dikempeskan jika tidak digunakan.
    Boneka Full Body Cantik untuk Pria

    Alat Penghibur Boneka Full Body silikon merupakan stimulan atau perangsang bagi lelaki yang ingin mendapatkan kenikmatan baru dalam aktivitas seksnya. Pada umumnya alat bantu berbentuk mainan sex silicon digunakan oleh kaum pria dewasa yang ingin bermain sendiri (ONANI) karena belum memungkinkan untuk berhubungan sex dengan istri atau pasangannya. Sebagai bahan sex toy terlaris diindonesia dan belahan dunia lainnya, dengan ukuran tubuh manusia (full body), boneka sex silikon terunik ini dijamin menjadi salah satu solusi paling terpopular dinegara ini serta sangat tepat bagi seorang pria yang lagi kesepian. Sex doll real fleksibel mampu memberikan kenikmatan atau sensasi yang begitu luar biasa seperti melakukan hubungan sex dengan wanita cantik sesungguhnya.
    Alat Sex Full Body yang Memancing Birahi Pria

    Posisi tubuh mungil boneka sex menyerupai wajah wanita telanjang china atau jepang yang siap menerima penetrasi alat vital anda membuatnya tampak sangat menggairahkan. Getaran vibrator pada vegi boneka sex doll cantik yang bersentuhan dengan alat kelamin akan membuat anda melambung tinggi merasakan sensasi seksual luar biasa saat melakukan penetrasi pada sex toy terlaris tsb.

    Selain dapat bergetar dan empot empot, vegi boneka sex juga dapat bergoyang, selain itu pula alat bantu sex pemuas pria ini dapat mengeluarkan suara desahan (oh no yes) dari dalam seperti rintihan kenikmatan seorang perempuan dalam hubungan intim sesungguhnya. tetapi suara itu bisa anda atur sesuai keinginan. Variasi gerakan dan desahan boneka sex full body benar-benar akan membuat permainan sex yang berkualitas serta menjadi sangat nyata dan nikmat menggairahkan bagi kaum pria.
    Jual Boneka Full Body Silicon - Sex Doll Murah yang Ringkas

    Sex toy unik dengan harga grosir murah ini dijual secara bebas dan juga bisa dibeli kapanpun anda menginginkannya, Boneka sex full body murah meriah terbuat dari bahan karet silikon berkualitas tinggi, halus dan lembut, yang nyaman terasa saat bersentuhan dengan kulit maupun alat vital pria. Selama kebersihan alat bantu sex ini selalu terjaga, boneka silicon dijamin tidak akan menimbulkan efek samping atau penyakit apapun! Bahan silikon pada boneka sex juga tidak mudah bocor atau sobek. Jika hendak disimpan, sex doll full silikon ini dapat dikempeskan dan dilipat, sehingga tidak menghabiskan banyak tempat.

    Sex toy terlaris didunia ini memiliki remote kontrol untuk mengatur intensitas getaran vibrator dan gerakan goyangan pada vagina boneka sex. Semakin tinggi getarannya, semakin terasa mantap kenikmatannya.

Cara Memesan Boneka Sex Full Body atau hubungi nomor kami:
Telkomsel 0812 606 606 99
Telkomsel 0821 6355 4440

Di Indonesia, pantun tidak hanya dikenal dalam masyarakat beretnis Melayu, tetapi juga dikenal luas dan digemari, antara lain oleh etnis Aceh, Jawa, Batak, Banjar, Sunda, Kaili, Bima, Toraja, dan Bugis. Pantun dapat dianggap sebagai puisi rakyat atau puisi tradisional Nusantara karena sangat digemari masyarakat Nusantara. Pantun mendapat tempat yang istimewa, karena bukan saja digunakan di kalangan anak-anak muda, tetapi juga dalam upacara-upacara adat, seperti dalam pidato, adat, penghulu, upacara perkawinan, mempersilakan makan, makan sirih, melepas mayat, dan melepaskan keluarga menunaikan ibadah haji, juga kegiatan-kegiatan hari besar lainnya. Masyarakat Aceh dikenal sebagai salah satu etnis yang sangat menggemari bahasa bersajak atau ber irama, yang salah satu jenisnya adalah pantun. Pantun (pantôn) merupakan puisi yang paling kaya dan paling sering digunakan dalam berbagai sisi kehidupan masyarakat aceh. Tidak hanya pada hari-hari besar dan upacara adat, pantun juga mewarnai pada sisi kuliner. Dengan penuturan dan penjabaran yang berirama tentang kekayaan kuliner yang ada di aceh pastinya menarik untuk di dendangkan. Oleh karena itu, pantun menjadi hiasan dalam berbagai komunikasi, baik komunikasi formal maupun komunikasi non formal.

The Singapore and Melaka Straits are a place where regional and long-distance maritime trading networks converge, linking Europe, the Mediterranean, eastern Africa, the Arabian Peninsula and the Indian subcontinent with key centres of trade in Thailand, Indochina, insular Southeast Asia, China, Korea and Japan. The first half of the seventeenth century brought heightened political, commercial and diplomatic activity to this region. It has long been clear to both the Portuguese and the Dutch that whoever controlled the waters off modern Singapore gained a firm grip on regional as well as long-distance intra-Asian trade. By the early 1600s Portuguese power and prestige were waning and the arrival of the Dutch East India Company constituted a major threat. Moreover, the rapid expansion and growing power of the Acehnese Empire, and rivalry between Johor and Aceh, was creating a new context for European trade in Asia.

Drawing on maps, rare printed works, and unpublished manuscripts written in Portuguese, Spanish, Dutch and Latin, Peter Borschberg provides new information on the diplomatic activities of Asian powers, and shows how the Portuguese and Spanish attempted to restore their political fortunes by containing the rapid rise of Dutch Power in the region. Key documents, transcribed and translated into English for the first time, make up a series of appendices.

The product of more than two decades of research in European libraries, archives, The Singapore and Melaka Straits will be of great interest to readers in Singapore, Malaysia and Indonesia, where little is known about this pivotal pre-colonial period. It is also an invaluable resource for historians and other students of early modern Europe and of the European presence in Asia.
"""

This chapter analyses the neo-Sufi challenge by Abuya Shaykh
Amran Waly and the Majelis Pengkajian Tauhid Tasawuf (MPTT), which I call
the Tauhid Tasawuf movement, to official shariatisation by the state and
shariatism in general. Amran Waly and the MPTT try to synthesise the
wujudiyya Sufi doctrine with orthodoxy, a concern which has led to
them being charged with heterodoxy. However, the fact that the MPTT
survives to this day and is even spread widely not only in Aceh but also
elsewhere in Indonesia and Southeast Asia deserves further analysis.
Amran Waly’s views on Sharia, ‘tauhid tasawuf ’ and wahdat al-wujud,
and the way Sharia ulama have reacted will get special attention here.
I will argue that the long struggle between Sharia and Sufi ulama should
be understood in the context of the local politics of Aceh and that the
dissemination of Sufi views and ways of life reflects their resistance
against the overwhelming official Sharia implementation and shariatism
in Aceh today.

A native of Bruges (now part of Belgium), Jacques de Coutre was a gem trader who spent nearly a decade in Southeast Asia in the early 17th century. In addition to a substantial autobiography written in Spanish and preserved in the National Library of Spain in Madrid, he wrote a series of memorials to the united crown of Spain and Portugal that contain recommendations designed to reverse the decline in the fortunes of the Iberian powers in Southeast Asia, particularly against the backdrop of early Dutch political and commercial penetration into the region. Translated into English for the first time, these materials provide a valuable first-hand account of the bigger issues confronting the early colonial powers in Southeast Asia, and deep insights into the societies De Coutre encountered in the territory that today makes up Singapore, Malaysia, Thailand and the Philippines.

Keindahan hakiki bukanlah keindahan yang sanggup tergambar oleh bayangan semu dalam pikiran insan, tetapi ia tercipta dari sesuatu yang tak mampu akal untuk menjangkaunya, namun demikian Islam telah menggambarkan bagaimana seorang muslim yang baik sanggup menciptakan keindahan bagi diri sendiri atau orang disekitarnya sehingga tercipta sebuah keadaan yang mampu membawa kedamaian dan ketentraman jiwa bagi siapa saja yang melihatnya. Kesenian merupakan sebuah langkah awal dalam tercipta sebuah keindahan, karena dengan kesenian sesuatu akan lebih berwarna untuk dipandang, maka dari itulah banyak ulama mengganggap keindahan itu merupakan bagian dari manifestasi keimanan seseorang, maka mereka mulai merangka sesuatu yang dapat dianggap sebagai penghias dari sesuatu hisan yang lain. Salah satu kemukjizatan Al-Quran adalah tentang seninya dalam menyampaikan segala sesuatu, dan kesenian itu akan lebih lagi bila ditata dengan rapi dan indah agar mampu menumbuhkan kesenian baru yang luar biasa sehingga membawa kepada ketentraman dan luluhnya hati yang beku. Berkaitan dengan kesenian dalam Islam salah satunya adalah penulisan kaligrafi yang berasal dari ayat-ayat suci Al-Quran yang ditulis dan di tata begitu rapi, dimana tulisan tersebut sering didapati dalam mesjid-mesjid sebgai hiasan yang begitu menakjubkan salah satunya seperti didalam Mesjid Raya Baiturrahman Banda Aceh.

The 2004 Indian Ocean earthquake is an undersea megathrust earthquake that occurred, with an epicentre off the west coast of Aceh, Sumatra, Indonesia. The quake itself is known by the scientific community as the Sumatra-Andaman earthquake, which are invariably associated with megathrust events in subduction zones, have seismic moments that can account for a significant fraction of the global earthquake moment across century-scale time periods. The sudden vertical rise of the seabed by several metres during the earthquake displaced massive volumes of water, resulting in a tsunami that struck the coasts of the Indian Ocean. Especially in the Aceh, at 2004 earthquake and tsunami is the deadliest in recorded history. Prior to 2004, the deadliest recorded tsunami in the Bengkulu and Simeulu-Aceh Ocean was in November 1833 (Rajab 1249 H) and in Mentawai-Padang was in 1797 (1211 H). In the Ta’bir Gempa manuscripts wrote the effect of earthquakes focus on the potential of local wisdom to improve disaster risk reduction policies and early warning systems.

Kejatuhan Melaka pada tahun 1511 menyaksikan kemunculan dan kebangkitan semula kerajaan Melayu yang cuba untuk mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh empayar tersebut. Susulan daripada itu, berlakunya pertembungan antara masyarakat tempatan dengan pedagang dan pengembara Eropah yang merangsang “pembentukan etnik” di Selat Melaka. Kesultanan Melayu terus mengamalkan adat istiadat yang memperlihatkan muzik sebagai simbol identiti dan ketamadunan Melayu yang diabadikan melalui sastera istana. Muzik menjadi alat yang penting untuk membangkitkan kesedaran identiti secara kolektif, serta melakarkan sempadan sosial dan politik masyarakat Melayu. Dengan merujuk kesusasteraan Melayu klasik dan catatan Eropah, artikel ini membincangkan peranan muzik istana yang dikenali sebagai nobat dalam proses pembentukan identiti Melayu seiring dengan usaha kerajaan Melayu yang saling bersaing untuk menjadi pusat budaya, politik dan ekonomi serantau di antara abad ke-15 dan abad ke-17 Masihi.

Kata kunci: nobat, muzik istana, identiti Melayu, kesusasteraan, Kesultanan Melayu

The nineteenth century witnessed the emergence of new patterns of interaction between the Ottoman Empire and other parts of the Islamic world. This development became, especially during the latter part of the century, an important issue for the colonial powers. Sometimes the latter tried to use these new relations to the advantage of their colonial policies, but at the same time there was a widespread fear of their potential to undermine western control over the Muslim-dominated parts of their colonies. Ottoman rapprochement with the wider Islamic world was thus problematised within the context of colonial policies and led to considerable debate among western policymakers and some leading orientalists such as Snouck Hurgronje...

“The conquest of Atjeh would give the Spanish-Portuguese Crown the economic resources where with to destroy not only ‘the Heresiarchs and their followers’, but to recover all Christian territory lost to the Muslims (including Jerusalem), and to overthrow the Ottoman Empire  .” Seperti itulah ungkapan salah seorang Portugis ketika awal penjajahan ke semenanjung Malaka. Aceh dan Istanbul memiliki jarak yang sangat jauh, sekitar ± 7.810 km  jika ditarik garis lurus dari Aceh ke Istanbul, tetapi dengan jarak yang jauh tersebut Portugis kewalahan menghadapi kekuatan Aceh-Turki. Apa yang terjadi? bagaimana hal tersebut dapat terjadi? Dalam tulisan ini, penulis akan membahasnya secara sistematis berdasar sumber-sumber buku yang kredibel.

Nanggroe Aceh Darussalam atau lebih di kenal dengan gelar serambi Mekkah. Nafas Islam bersatu dalam adat budaya orang Aceh sehingga aktifitas budaya kerap berazaskan ajaran Islam. Kita akan mengkaji tiga dimensi waktu keberadaan hukum Islam di bumi serambi mekkah yaitu pada masa orde lama dan orde baru.

The end of the civil war in Aceh brought peace, but it has been of a predatory nature. As a moment of rupture, the peace revealed interests, powers and dynamics, and it offered an opportunity for their reconfiguration. When unrest ceased, old agrarian conflicts between smallholders and planters resumed. Peace held promise of land reform. Yet old patterns of smallholder dispossession were entrenched as the former insurgency leadership aligned with the old elite of plantation companies. Oil palm contract- farming schemes effectively alienated smallholders from their land, and violence precluded their organization. As a result, large-scale plantation production expanded. Through the creation of a violent frontier, smallholders were denied recognition of independent rights and property. In essence, smallholders were dispossessed by a combination of violence, political power and duplicitous paperwork. The study is based on fieldwork in areas where current land conflicts are played out, as well as on secondary sources.