Reformasi

My main purpose in this article is to contest the common discursive idea that modernity, individualism and urbanisation connote a loss of traditional values of community rooted in the Malay village or kampung, The idyll of the kampung as a place of communal cooperation, harmony, and other positive traditional values tends to go unchallenged by the average Malaysian and has always been a dominant theme in Malaysian cultural representations. In fact, Malaysian films and literature of the 1970s and 80s, and even the 1993 mm Balada (Ballad), continued to portray the city as a place of corrupt values and greed which has to be abandoned in favour of a return to the moral purity and ties to tradition that are preserved in the kampung. Films such as these suggest that modern urban Malay identity is heavily vested in the notion of the kampung as a bastion of tradition and positive· communal values. However, some writers and mmmakers of the 1990s have made significant departures from this notion. This is not to say that attitudes towards the kampunghave changed completely over time and that the positive discourse of the 'kampung as community' no longer circulates. I suggest, however, that an alternative viewpoint that challenges such a discourse has emerged since the rnid-1990s.

Published as Postill, J. 2014. A critical history of internet activism and social protest in Malaysia, 1998-2011. Asiascape: Digital Asia Journal 1-2: 78-103.

NB. THIS IS A DRAFT. SEE PUBLISHED PAPER HERE: https://www.academia.edu/6023457/A_critical_history_of_internet_activism_and_social_protest_in_Malaysia_1998-2011

This article asks two related questions. First, to what extent has internet activism shaped social protest in Malaysia from the late 1990s to the present? Second, what can the history of internet activism and social protest in Malaysia tell us, if anything, about the 2011 global wave of protests? To address these questions I first compare Malaysia’s techno-political path with that of two very different ‘emerging economies’, South Korea and Brazil, in order to contextualise the subsequent discussion. I then distinguish three key moments in Malaysia’s eventful history of internet activism and social protest, namely the 1998-1999 reformasi movement, the electoral ‘tsunami’ of 2008 (in which the ruling coalition lost its two-thirds majority) and the Bersih 2.0 rallies of 2011. I argue that Bersih 2.0 is best explained as both the latest episode in a series of uniquely Malaysian techno-political events and as a local variant of the global wave of protests of 2011 – a wave in which techno-libertarians such as hackers, online journalists and technology lawyers, as well as ordinary citizens using social media, played an important part. The article ends with a summary and with suggestions for further research.

Banten region has been marked, since about forty years, by the monopolistic capturing of political and economical resources exerted by the family of the oligarch Chasan Sochib. From the period of democratization and decentralization initiated in 1998, the patronage networks developed by this family have got an increasing autonomy towards central government. In 2013, Sochib's decease was preceded by the condemnation of his elder daughter, the governor Atut Chosiyah, and then his younger son, Chaeri Wardana. Nevertheless, following the provincial elections in 2017, the recent political evolutions indicate that the members of the family struggle to reorient their affiliations and alliances. This article is about the compromises carried out by this family, the strategies developed by the rival families and the arrangements operated between each other to share the regional power.

Pancasila sebagai dasar dan Ideologi negara sekaligus sebagai filosofi negara menjadi akar yang mendasarinya berdirinya negara Indonesia.Pancasila dijadikan sebagai dasar dari segala peraturan dan hukum yang berlaku diIndonesia , serta nilai-nilai yang terkandung didalam Pancasila dijadikan sebagai pedoman bagi seluruh warga negara Indonesia

PELAYANAN PUBLIK DI ERA REFORMASI.

MANAJEMEN PELAYANAN PUBLIK

Manajemen pelayanan publik sebagai salah satu isu penting dalam reformasi birokrasi menjadi sesuatu yang terus berkembang dan penuh kritik. Ide awal pelayanan publik memang berasal dari sektor swasta, kemudian  ditransformasi  dalam  sektor  publik  (Chris  Skelcher,  1992). Terma-terma  customer  atau  consumer  menjadi  referensi  dan  diterima dalam sektor publik yang kemudian mengalami perubahan menjadi clients, tenants, residents dan claimants.
Sekarang ini pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan keluasan fungsi yang dimilikinya serta kebijakan publik yang diambil mempunyai dampak terhadap pengguna layanan publik dan masyarakat memposisikan pembangunan yang berorientasi ke pengguna layanan dan melakukan pengembangan kualitas pelayanan publik.
Reformasi manajemen pemerintahan yang membutuhkan waktu panjang dengan mengubah sistem pemerintahan dan kinerja yang ada. Kepastian  manajemen  pemerintahan  dapat  dilakukan  melalui pembangunan platform manajemen baru yang antisipatif. terhadap pasar dan diterimanya asumsi bare bahwa pemerintah dapat dan harus melayani (Cullen and Cushmen, 2000). Manajer pemerintah harus mempunyai responsifitas terhadap kompleksitas dan perubahan dalam peranan pemerintah.

Apabila kita merefleksikan kembali era reformasi dalam rentang waktu 20 Oktober 1999 hingga Oktober 2004 terbentuknya pemerintahan Gus Dur-Megawati, ada dua hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, Gus Dur dan Megawati terpilih sebagai Presiden dan Wakil Presiden dalam sidang umum tahun 1999 setelah melewati pemilihan umum yang relatif cukup demokratis. Pemilu 7 Juni 1999 merupakan pemilu multipartai kedua, setelah pemilu 1955, dengan peserta pemilu terfragmentasi tinggi. Sejarah akhirnya mencatat bahwa PDI-P memperoleh suara terbanyak pada pemilu 1999 dengan meraih suara 33,8 % dari total sekitar 110 juta pemilih. Sungguhpun PDI-P, Partai Golkar, PPP, PKB, dan PAN seperti diperkirakan banyak orang akan meraup suara terbanyak, namun tetap saja hasil pemilu 1999 mengejutkan. Seperti kegagalan partai-partai berlabel Islam, untuk dapat memenangkan pemilu di tengah realitas sosio-religius mayoritas konstituen kaum Muslim. Setelah melihat kemenangan PDI-P merupakan realitas politik, beberapa elit partai Islam menggunakan cara-cara non-demokratis untuk mementahkan perolehan suara Pemilu 1999. Para elit Islam mendasarkan kekuatan politik Islam bersumber dari sindrom "mitos angka mayoritas", disamping tafsiran atas teks agama yang eksklusif. Logika motif inilah yang melatari digunakannya isu gender untuk menolak kepemimpinan wanita juga demonstrasi besar-besaran guna mendesakkan opini bahwa 67% rakyat Indonesia menentang Megawati menjadi presiden pada sidang umum MPR 1999. Kedua, kepercayaan dan kesempatan yang diberikan rakyat itu belum sepenuhnya dilaksanakan. Pemerintahan di bawah kepemimpinan Gus Dur dan Megawati dinilai oleh banyak kalangan masih memiliki kelemahan dalam menjalankan program-program pembangunan baik sektor ekonomi, sosial, maupun politik itu sendiri. Berbagai masalah bangsa yang ditinggalkan rezim Orde Baru belum mampu diselesaikannya. Sementara sejumlah persoalan krusial justru muncul dan seolah sengaja dimunculkan. Walhasil, bangsaini membawa beban yang berat;memikul bertumpuk-tumpuk masalah yang belum jelas kapan bisa diatasinya. Inilah risiko dari ketidakmampuan pemerintahan Gus Dur dan Megawati melaksanakan amanat rakyat. Berdasarkan uraian diatas, penulis hendak menjabarkan kondisi Indonesia di tengah kepemimpinan Gus Dur dan megawati. Hal tersebut kami tinjau dari segi kebijakan, permasalahan yang dihadapi, kelebihan dan kelemahan, serta pwrbedaan antara pemerintahan Gus Dur dan Megawati. Makalah ini juga dalam rangka memenuhi tugas kelompok mata

ABSTRAK: Pada dasarnya setiap individu mempunyai hak sama yang melekat pada dirinya dari sebelum dia lahir kedunia sampai dia kembali kehadapan sang pencipta dan merupakan hak yang di mutlak di berikan oleh Tuhan sebagai maha pencipta. Ditinjau dari sejarahnya, mulai dari masa penjajahan yang ada di Indonesia, masa pemerintahan Orde Baru, masa pemerintahan Orde Lama, hingga masa Reformasi saat ini, HAM telah mengalami pasang surut dalam pelaksanaannya. Masa penjajahan di Indonesia memiliki kurun waktu yang sangat panjang. Dimulai dari datangnya bangsa Portugis di Indonesia, Spanyol yang kemudian di lanjutkan oleh Inggris, Belanda dan juga Jepang. Penjajahan merupakan salah satu wujud pelanggaran HAM berat dan hal ini tidak dapat di toleransi keberadaannya. Meskipun dikatakan penjajahan adalah salah satu bentuk penindasan terhadap HAM, namun tidak dapat dipungkiri bahwa ada beberapa HAM, baik secara sukarela maupun terpaksa yang masih diberikan ataupun dibiarkan oleh penjajah untuk rakyat Indonesia. Begitu pula pada masa setelah kemerdekaan, masih banyak terjadi kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor pemimpin pada masa itu. Kata Kunci : HAM, Sejarah, Dinamika pelaksanaan. Hak asasi manusia sejatinya telah dimiliki oleh setiap manusia sejak dia lahir hingga meninggal dunia. Hak tersebut di antarannya adalah hak hidup, memperoleh pendidikan yang layak, hak untuk memperoleh kemerdekaan, kebebasan untuk menyatakan pendapat, hak untuk memeluk agama dan lain sebagainya. Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999, HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan anugerah dari-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh Negara, hukum,

ABSTRAK Globalisasi dan reformasi memberikan pengaruh yang luar biasa terhadap segala aspek kehidupan masyarakat, termasuk di dalamnya persoalan bahasa. Bahasa Indonesia sebagai salah satu jati diri bangsa harus tetap dipertahankan dengan segala kelebihan dan kekurangannya di tengah situasi globalisasi dan reformasi. Bahasa Indonesia telah membuktikan diri sejak tahun 1928 dengan Sumpah Pemudanya sebagai alat yang mampu menyatukan masyarakat Indonesia yang terdiri dari latar belakang sosial dan budaya yang sangat beragam. Fungsi bahasa Indonesia sebagai alat pemersatu bangsa terus dilakukan. Salah satu cara yang paling tepat dilakukan adalah melalui jalur lembaga pendidikan. Oleh karena itu, kita mengenal adanya mata pelajaran bahasa Indonesia sejak dari jenjang sekolah dasar sampai dengan jenjang perguruan tinggi. Dalam pelaksanaannya, ditemukan banyak hambatan. Hambatan yang dirasakan paling krusial adalah berkaitan dengan sikap bahasa masyarakat.

Intelijen merupakan topik kajian yang penting sekaligus rumit untuk dipahami karena sifat kerahasiaannya. Meski demikian, negara demokrasi selalu mendukung masyarakatnya untuk memiliki, setidaknya, pemahaman dasar terkait seluruh instansi pemerintah, termasuk intelijen. Pada tahun 2015, Pusat Penelitian Politik-Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI) telah melakukan penelitian yang berjudul " Intelijen dalam Pusaran Demokrasi di Indonesia Pasca Orde Baru ". Penelitian ini bukan saja berisi mengenai teori intelijen, pergumulan intelijen dan demokrasi di beberapa negara yang mengalami perubahan politik dari sistem otoriter ke demokrasi dan sejarah singkat intelijen di Indonesia, melainkan juga memuat ulasan awal demokratisasi intelijen di Indonesia. Reformasi intelijen di Indonesia adalah suatu keniscayaan. Intelijen harus bekerja sesuai dengan sistem demokrasi yang kita anut. Paradigma lama intelijen Indonesia sudah pasti akan dan harus berubah, pengawasan terhadap intelijen pun suatu keniscayaan. Adalah suatu keniscayaan pula bahwa pengawasan terhadap intelijen bukan membuat kerja-kerja rahasia mereka menjadi terbatas atau terhambat, melainkan justru intelijen mendapatkan kepercayaan dan didukung oleh rakyat, sehingga meningkatkan legitimasi intelijen dan tentunya peningkatan anggaran intelijen. Pendahuluan Sejak berakhirnya Perang Dingin, di mana ancaman non-tradisional lebih mengemuka ketimbang ancaman militer/tradisional, informasi intelijen menjadi lebih penting ketimbang persenjataan. Penting dipahami bahwa informasi intelijen adalah hasil antara. Hasil akhirnya adalah kebijakan. Suatu kebijakan akan semakin baik dan tepat, apabila mendapatkan masukan informasi intelijen yang baik pula-cepat dan tepat (velox et exactus). Informasi intelijen dapat dikatakan baik dan maksimal apabila proses penggalian informasinya berlangsung secara apik dengan informasi yang amat berharga, diolah kembali oleh analis intelijen yang amat ahli dan berpengalaman, diubah menjadi rekomendasi kebijakan yang amat singkat dan akurat, kemudian dijalankan oleh pengambil kebijakan secara tepat waktu dan tepat sasaran. Pengguna ataupengambil keputusan membutuhkan kualitas analisis intelijen yang baik, agar ia dapat membuat keputusan yang tepat, mempersiapkan kapabilitas dan sumberdaya nasional untuk menghadapi ancaman-ancaman tradisional dan non-tradisional.

Pada tahun 1998, rezim Soeharto runtuh di tengah-tengah suasana yang mirip dengan suasana kelahirannya di tahun 1965-6, yaitu di tengah-tengah krisis ekonomi, kerusuhan, dan pertumpahan darah di jalan-jalan. Runtuhnya imperium Soviet dan, kemudian, negara Soviet itu sendiri merupakan kejutan tidak menyenangkan bagi pemerintah Indonesia. Seperti kasus Soviet, Soeharto memerintah satu negara besar yang terdiri atas etnis dan identitas agama, dengan keterbatasan sarana komunikasi dan infrastruktur, tingginya kemiskinan dan kesenjangan pembangunan regional.

Studi ini membahas pandangan surat kabar Kedaulatan Rakyat dalam menyikapi kebijakan pemerintah mengenai reformasi militer di tahun 1947-1948. Program reformasi militer tersebut dikenal dengan Restrukturisasi dan Rasionalisasi Angkatan Perang (ReRa AP). Skripsi ini melihat dan menganalisis pandangan surat kabar Kedaulatan Rakyat terhadap kebijakan pemerintah di dua kabinet yang berbeda, yaitu kabinet Amir Syarifudin dan Kabinet Moh. Hatta. Pandangan Kedaulatan Rakyat diteliti dalam pemberitaan-pemberitaan (baik berbentuk tajuk atau kolom berita) selama periode kebijakan tersebut diusulkan oleh BP-KNIP di pertengahan tahun 1947 hingga dilaksanakan oleh PM. Hatta di awal tahun 1948. Studi ini menggunakan metode sejarah yang terdiri dari kumpulan arsip surat kabar dalam kurun waktu 1947-198 serta rujukan-rujukan mengenai pandangan politik surat kabar Kedaulatan Rakyat. Penelitian ini menggunakan kerangka teori analisis wacana. Teori analisis wacana berfungsi dalam analisis teks pemberitaan surat kabar berbentuk naratif. Teks kemudian dianalisis dan diperoleh hasil akhir pandangan Kedaulatan Rakyat terhadap Kebijakan ReRa. Tujuan utama penulisan ini adalah mengidentifikasi faktor-faktor dan pandangan politik yang mempengaruhi pemberitaan surat kabar Kedaulatan Rakyat terhadap kebijakan ReRa. Terdapat beberapa pembahasan penting dalam penelitian ini, seperti adanya ikatan antara redaktur Kedaulatan Rakyat dengan beberapa tokoh politik. Serta semangat pendirian Kedaulatan Rakyat yang didirikan setelah proklamasi kemerdekaan RI bertujuan untuk membangun demokrasi pers. Pemberitaan Kedaulatan Rakyat terhadap ReRa lebih banyak dipengaruhi semangat membangun demokrasi negara berbasis pers. Pengaruh tersebut terasa dalam tajuk-tajuk yang bernilai cerdas, substansial serta tetap mempertahankan daya kritis ketika menanggapi program pemerintah. Kedaulatan Rakyat mampu menyampaikan bahwa program reformasi militer sangat

Pornography in Indonesia, says Rachmad Hidayat (2003), is a cultural rather than a legal issue. 1 The recent debates surrounding the Pornography and Porno-action laws (RUU-APP) have obscured this important point as attention has been placed on the legal definition of pornography and in objection, how it will affect the diverse ethnic groups of Indonesia, artistic expression and women's social mobility. 2 Cultural interpretations often interpret pornography within a moral framework in terms of essentialised Indonesian tradition or according to Islam (e.g. Muntaqo 2006). Leaving the cultural origins of pornography an open

Tulisan ini cuba menjawab, di sebalik perbelanjaan besar-besaran yang disifatkan sebagai pilihan raya paling mahal dalam sejarah dan penggunaan imej budaya popular oleh  Barisan Nasional untuk memenangi Pilihan Raya Umum ke13 ini, parti pimpinan Najib Razak telah kehilangan undi popular dengan prestasi yang lebih buruk berbanding 2008. Bagi memahami prestasi buruk ini, tulisan ini mencadangkan satu analisa yang melangkaui pergelutan di sekitar kertas undi sahaja. Analisa keputusan PRU13 ini harus dibaca bersama perkembangan 40 tahun terakhir yang berlaku di negara ini di mana perubahan struktur ekonomi, sosial, dan budaya telah memberi kesan besar terhadap politik. Kemudian gerakan sosial baru yang berlaku dalam15 tahun terakhir secara perlahan telah membina ingatan bersama (collective memory) dua generasi yang membentuk identiti budaya yang baru. Barisan Nasional yang menyedari akan perubahan ini cuba untuk menyesuaikan diri dengan melancarkan kempen yang memanfaatkan budaya popular yang mewakili kelompok ini – Twitter,Facebook,Youtube, konsert, telefon pintar – namun budaya popular bukan hanya soal bentuk (forms) tetapi juga hubungan kuasa dan perlawanan (relations of power & resistance). Hubungan kuasa ini membentuk makna dan memberi kesan kepada legitimasi moral. Maka, tulisan ini juga akan memajukan satu analisa bagi menjawab, meskipun BN menyedari perubahan budaya politik ini dan melakukan penyesuaian dengan mensasarkan kelompok muda dalam kempennya, tetapi masih lagi gagal memenangi hati pengundi, khasnya golongan muda.

Kata kunci: Budaya Popular, Media Baru, Reformasi, Pilihan Raya Umum 13, Belia

Abstract
The paper aims to answer, despite massive expenditures deemed to be the most expensive election in the history and the used of popular culture images by the Barisan Nasional to win this 13th General Election, lead by Najib Razak, the party had lost the popular vote with a worse performance than 2008. To understand this poor performance, this paper proposes an analysis that goes beyond the struggle around the ballot paper. An analysis of 13GE results should be read in conjunction with the 40 years of development resulted in structural changes in the economic, social, and culture which has a significant impact on politics. A new social movement from the last 15 years slowly built a collective memory between two generations to form a new cultural identity. Barisan Nasional then trying to adapt the changes through their campaign that leverages popular culture which represents this group - Twitter, Facebook, Youtube, concerts, smartphones - but popular culture is not only a matter of forms but also the relations of power and resistance. These power relations shape the meaning and affect the moral legitimacy of Barisan Nasional before translated into ballot paper. Thus, this paper will also develop an analysis for the answer, why the BN despite recognizing the change in the political culture and has been making adjustments and targeting young cluster approach in his campaign, but still failed to win the hearts of voters, especially young voters.

Key words: Popular Culture, New Media, Reformasi, 13th General Election, Youth.

Kontra-Reformasi atau bisa juga disebut Reformasi Katolik, Restorasi Katolik merujuk pada peristiwa pasca pecahnya reformasi Protestan yang diprakarsai oleh Martin Luther hingga Perjanjian Westphalia.
Pada artikel ini penulis berusaha merekonstruksi kembali reformasi di Gereja Katolik secara kronologis.

Kaum intelektual yang pada dasarnya membawa suluh pencerahan, ternyata lebih menikmati kenyamanan menjadi alat atau legitimator kekuasaan. Tidak hanya kalangan aktivis muda, ironisme ini menjadi endemik di kalangan seniornya. Kaum intelektual yang menjadi dosen, aparat pemerintah, bahkan sebagai staf ahli kementerian, juga terseret dalam arus komoditifikasi gagasan dan pemikiran. Mereka tenggelam dalam trend dan melakukan pembajakan identitas entertainer, tampil bak selebritis yang diburu kuli tinta, menjadi sorotan publik dan dielu-elukan massa. Mereka menanggalkan identitasnya sebagai intelektual dan lebih senang menjadi panelis seminar di ballroom atau aula gedung X daripada menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan namun miskin tepukan dan amplop.

In this essay I identify the concept of film nasional, as the dominant narrative that continues to inform the cultural politics of filmmaking in Indonesia. Formulated in the 1950s, and institutionalized in the 1970s and 1980s, film nasional continues to exert influence over how film is evaluated in Indonesia and the standards to which it should aspire to. This essay attempts to reveal how this concept came about, what it embodies and what its effects are on both previous and contemporary filmmaking in Indonesia.

http://www.intellectbooks.co.uk/journals/view-Article,id=15489/

The sixteen years of Reformasi (Reform) in Indonesia have seen remarkable political changes as the country has moved from Suharto's autocratic 'New Order' (1966-98) to full-fledged democracy. Haji Joko Widodo (Jokowi's) recent people-power victory over former Special

Demokrasi merupakan konsepsi pemerintahan yang erat kaitannya dengan kedaulatan rakyat. Dalam konsep tersebut, rakyat ditempatkan dalam kedudukan tertinggi yang memegang kedaulatan dari suatu negara tersebut. Demokrasi ialah merupakan sebuah gagasan yang mendefinisikan kekuasaan itu adalah dari, oleh, dan untuk rakyat. Pasca amandemen UUD NKRI 1945, Indonesia sebagai negara hukum melalukan supremasi Hak Asasi Manusia (HAM) yang menjadi tonggak kebebasan pers di era reformasi. Kebebasan tersebut, ialah kebebasan untuk menyampaikan pendapat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 UUD NKRI 1945. Kebebasan pers dan demokrasi merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan terhadap negara yang menganut prinsip demokrasi dalam praktik bernegaranya. Berdasarkan hal tersebut, sudah sejatinya mendapatkan perlindungan serta kebebasan sebagai agen sosial yang memberikan informasi serta sebagai penyalur aspirasi masyarakat, khususnya di era pasca reformasi ini.
Kata Kunci: Demokrasi, Kebebasan Pers, Reformasi

ABSTRAK
Penelitian ini dibuat menggunakan deskriptif kualitatif yang memang berusaha mendeskripsikan realitas dengan relevansinya terhadap teoritik yang ada seputar Clean and Good Governance yang terintergrasi di dalam kebijakan tentang pendidikan di era pandemi Dalam era pandemi ini mengharuskan adanya inovasi serta kreatifitas yang memang harus diinternalisasikan ke dalam pendidikan Indonesia saat ini, maka birokrasi harus mampu membuat kebijakan yang memiliki korelasi terhadap insidental pandemi tersebut, supaya mahasiswa tidak kebingungan menghadapi pendidikan hari ini. Pada akhirnya dapat dilihat secara konseptual terhadap implementasi kebijakan yang berkorelasi terhadap politik pendidikan dimana berkaitan dengan kondisi Indonesia yang terpuruk oleh pandemi ini. Maka, dalam penjawantahannya perlu ada kolaborasi seluruh elemen untuk menciptakan pendidikan yang konstuktif-kolaboratif dan sesuai dengan gagasan kebebasan dari John Locke
Kata kunci: Pendidikan, Birokrasi, Locke
PENDAHULUAN
Reformasi pun banyak sekali mengubah regulasi yang sebelumnya dibuat oleh orde baru, struktur politik, kinerja sistem politik, serta kebijakan politik pun mengalami perubahan yang signifikan. Meski banyak kebijakan publik yang orientasinya untuk melayani kepentingan para elit dan menyiimpang dari harapan publik, ini terjadi karena nilai-nilai orde baru masih tertanam dalam birokrasi yang ada. Gerakan reformasi lahir menjadi jawaban terhadap krisis yang sedang melanda luas di berbagai aspek kehidupan. Reformasi dipandang sebagai gerakan yang tidak bisa ditawar-tawar lagi karena hamper seluruh rakyat di Indonesia telah mendukung sepenuhnya. Kekuasaan di era reformasi ini sistem pemerintahan menggunakan sistem presidensial, dimana presiden dipilih langsung oleh rakyat sebagai representasi pemerintahan yang demokratis, dan mencerminkan kedaulatan tertinggi berada ditangan rakyat (Thoha, 2008).

Reformasi birokrasi saat ini sangat diperlukan dalam rangka perbaikan kualitas aparatur sipil negara. Dari sudut pandang masyarakat, birokrasi selama ini dianggap sebagai sesuatu yang menyulitkan, berbelitbelit, dan tidak profesional. Dari sudut pandang pemerintah sendiri mulai merasa tidak nyaman dengan status aparatur sipil negara yang mempunyai predikat sewenang-wenang, koruptif dan tidak melayani. Pemerintah menghendaki adanya peningkatan pencitraan birokrasi dimata masyarakat, sehingga pemerintah sendiri juga menginginkan segera dilakukan perbaikan citra aparatur sipil negara melalui program reformasi birokrasi.

Reformasi birokrasi merupakan sebuah kebijakan yang dibuat untuk mengubah atau membuat suatu perbaikan dalam birokrasi pemerintahan Indonesia saat ini. Perubahan atau perbaikan yang ingin dilakukan dalam reformasi birokrasi mencakup struktur dan proses dalam penyelenggaraan pelayanan publik, serta perubahan pada mindset dan culturset pegawai. Reformasi birokrasi juga bertujuan untuk memperbaiki prosedur administrasi dibirokrasi pemerintah, perbaikan penggunaan keuangan negara dan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Dasar hukum pelaksanaan kebijakan reformasi birokrasi ini tertuang dalam Peraturan Presiden No.81 Tahun 2010 tentang Grand Design Reformasi Birokrasi 2010-2025. Penjabarannya dituangkan dalam Permenpan & RB No.20 Tahun 2010 dan Permenpan & RB No.11 Tahun 2015 tentang road map Reformasi Birokrasi.

Indonesia sesungguhnya berdiri tegak di atas tiang pancang nasionalisme yang terbuka, demokratis dan civic. Karena itu, perbincangan mengenai isu kewargaan serta tautan isu kebangsaan dan demokrasi menjadi relevan. Sayangnya, hal tersebut tidak menjadi tema umum diskursus pada awal reformasi. Perjalanan panjang yang dilalui bangsa ini agaknya tidak hanya meredupkan gagasan Indonesia kewargaan, tetapi juga tautan antara isu kebangsaan dan demokrasi. Masih banyak kerikil anomali dan ancaman serius yang menghadang mulai dari gelombang balik keetnikan hingga menguatnya oligarki dan privatisasi yang berjalan nyaris tanpa kendali.

PERINGKAT INSTITUT PENDIDIKAN GURU 1.0 RASIONAL Khidmat bantu membantu murid merupakan satu khidmat sokongan yang penting dalam Perkhidmatan Bimbingan dan Kaunseling di peringkat Institut Pendidikan Guru. Oleh sebab pelajar mudah ditemui dan dijangka lebih memahami curahan perasaan rakan, maka mereka lebih mudah dirapati. Golongan guru yang terlatih khususnya dalam kemahiran asas menolong sangat penting untuk menguatkan lagi Perkhidmatan Bimbingan dan Kaunseling.

Pada tahun 1998, di Indonesia telah terjadi peristiwa penting yang dinamakan dengan peristiwa Reformasi 98. Peristiwa ini sekaligus menandai berakhirnya masa pemerintahan Orde Baru. Sebelumnya, pemerintah Orde Baru telah berkuasa hampir 32 tahun. Pemerintahan Orde Baru sering diwarnai dengan berbagai kasus penculikan dan juga pengekangan terhadap kehidupan pers di tanah air. Setelah terjadinya peristiwa Reformasi 98, semua itu berubah. Masyarakat hidup dalam suatu kebebasan dimana masyarakat tidak perlu lagi khawatir ketika akan mengemukakan aspirasinya. Di sini terlihat bagaimana pentingnya peristiwa Reformasi bagi perubahan kehidupan politik dan pers di Indonesia. Melihat arti penting peristiwa Reformasi 98, penulis ingin mengetahui apakah Jambi turut mengambil peran dalam gerakan Reformasi ini serta penulis juga ingin mengetahui situasi dan kondisi masyarakat akibat adanya gerakan unjuk rasa di Jambi tersebut. Untuk menjawab penelitian ini, penulis akan menggunakan metode sejarah. Tahap dalam menggunakan metode ini yaitu; 1) Tahap Heuristik (pengumpulan surat kabar dan juga sumber-sumber pendukung lain), 2) selanjutnya ialah mengkritik terhadap sumber tadi, apakah isi dan juga waktu pembuatan sumber tersebut betul dari zamannya atau tidak, 3) Langkah ketiga adalah interpretasi, 4) Langkah terakhir adalah tahap penulisan (historiografi).

In this article, I discuss three rounds of direct district head elections that took place in Kupang, in eastern Indonesia, between 2007 and 2012. The right to vote directly for a district head formed a part of wider processes of state reformation (reformasi) aimed to promote democratization, anti-corruption, and good governance in the wake of former president Suharto's resignation from office in 1998. In spite of such reforms, corruption and clientelism in Indonesian politics persist, leading some scholars to view corruption as the main culprit for Indonesia's failure to transition to a " meaningful " or " liberal " democracy. Eschewing such a view of corruption as a diagnosis for a failure to democratize, I instead ask what productive work corruption, conceived of as a transgression of political care, can do in assessing the consequences of anti-corruption efforts. Political care grounded in recognition, as I will show, is not necessarily tied to a politics of good governance, yet it also does not easily fall under an extension of clientelism. Anti-corruption efforts, then, rather than eradicating corruption, can instead delineate just how much " bad " governance people are willing to put up with as long as they feel seen and cared for.

Zhuang, Wubin. “Revolution Photojournalism.” Grain, October 2004, 48-51.

*

Based on an extended interview with Indonesian photographer Arbain Rambey, this article examines the impact of Reformasi in 1998 on the development of photojournalism in the country.

This report examines some of the challenges and possibilities for implementing Responsibility to Protect (RtoP) principles in Indonesia by evaluating reforms made in relevant areas over the past ten years. The overall purpose of this report is to provide a background on relevant issues within Indonesia today for professionals with an interest in the Responsibility to Protect. Past and current reforms over the last ten years which are significant in terms of implementing the principle are addressed thematically with each issue placed within its historical context of Indonesian history and politics. This report therefore aims to provide useful information for professionals and practitioners with an interest in Indonesia yet who may be less familiar with past and current political developments.

The report begins with an introductory section in which the benefits for Indonesia’s support for and implementation of the RtoP are addressed. The report then addresses the previous decade of reforms made in Indonesia since the end of the New Order regime (1966-1998). These reforms are assessed with the aim of determining their usefulness for putting the RtoP into practice in Indonesia:
Section One, ‘Indonesia & the Responsibility to Protect’, sets the context for the report. The Responsibility to Protect as a principle is explained briefly and then Indonesia’s interests, its prominence within Southeast Asia and its participation in implementing the RtoP are addressed.
Section Two, ‘A Decade of Reformasi,’ considers the relevant reforms made since the end of the New Order, such as those which attest to a strengthening human rights culture, greater rights’ protection and a growing civil society. It also critiques some of the numerous failures of successive administrations since the beginning of Reformasi (the ‘Reform Movement’, 1998 - ) to fulfill the promises of reform, particularly in the areas of redressing gross human rights abuses, judicial impartiality and security sector reform. These areas of reform are analysed in turn and, for each, a critique made as to how these areas are important for strengthening RtoP principles in Indonesia.

Bulan Juli 1997 menjadi awal -petaka-kecarut-marutan perekonomian Indonesia. Krisis moneter yang terjadi akibat melemahnya nilai kurs Rupiah (Rp.) menjadikan pemerintah (yang agak panik) berfikir keras agar dapat menyelesaikan problem. Keadaan di perparah dengan kebijakan-kebijakan pemerintah yang malah menuruti saran dari "Rentenir Internasional" IMF. Padahal suara-suara kritis juga sempat terdengar dari pakar ekonomi Seperti, dari Managing Director Econit waktu itu Dr. Rizal Ramli, pengamat ekonomi kritis Kwik Kian Gie dan Fu'ad Bawazier, mantan Dirjen Pajak yang kemudian diangkat Soeharto menjadi Menteri Keuangan pada Kabinet Pembangunan VII. Tapi ternyata suara kritis mereka kalah dengan sugesti Rentenir kelas Internasional itu.

Reformasi merupakan suatu perubahan kehidupan lama catatan kehidupan baru yang lebih baik.reformasi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1998 merupakan suatu gerakan yang bertujuan untuk melakukan perubahan dan pembaruan,terutama perbaikan tatanan kehidupan dalam bidang politik,ekonomi,hukum,dan sosial. Persoalan pokok yang mendorong atau menyebabkan lahirnya Reformasi adalah kesulitan warga masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok.sementara situasi politik dan kondisi ekonomi Indonesia semakin tidak menentukan dan tidak terkendali.harapan masyarakat akan perbaikan politik dan ekonomi semakin jauh dari kenyataan.keadaan itu menyebabkan masyarakat Indonesia semakin kritis dan tidak percaya terhadap pemerintahan orde baru. Pemerintahan orde baru di nilai tidak mampu menciptakan kehidupan masyarakat yang adil dalam memakmurkan dalam keadilan Pancasila dan UUD1945.olehkarena itu,tujuan lahirnya reformasi adalah untuk memperbaiki tatanan kehidupan bermasyarakat ,berbangsa dan bernegara .kesulitan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan pokok merupakan factor atau penyebab utama lahirnya gerakan reformasi.pemerintahan orde baru yang di pimpin presiden soeharto selama 32tahun,ternyata tidk konsisten dan konsekuen dalam melaksanakan cita-cita ordebaru.pada awal kelahiran tahun 1966,orde baru bertekad untuk menata kehidupan masyarakat , berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD1945. Faktor pendorong terjadinya reformasi ▲ Faktor politik, meliputi hal-hal berikut. a. Adanya KKN (korupsi,kolusi,dan nepotisme) dalam kehidupan pemerintahan. b. Adanya rasa tidak percaya kepada pemerintah orba yang penuh dengan nepotisme dan kronisme serta merajalelanya korupsi. c. Kekuasaan orba di bawah soeharto otoriter tertutup. d. Adanya keinginaan demokratisasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. e. Mahasiswa menginginkan perubahan. ▲ Faktor ekonomi,meliputi hal-hal berikut.

There is no recipe for democratisation that can be readily applied to all countries. Every country presents unique factors that influence the fate of its democratic reforms, which must therefore be evaluated within their specific socio-political, cultural and historical context. Building on this premise, this paper examines military reform and democratisation through the experiences of Turkey and Indonesia, two democratising countries with predominantly Muslim populations, secular regimes, and militaries that are deeply involved in politics. The paper strives to explain why both the Turkish and Indonesian militaries, which have developed a sense of ownership over the state, may be wary of democratic change; how ‘the people’ perceive the military’s traditional role in society; and the direction in which societal and military attitudes towards democratic reform have been shaping over the years. In relating these domestic observations to various external factors, it seeks to identify the regional and global trends, events and actors that promote and obstruct the development of substantive democracy in each country, and to draw broader lessons for the study of democratisation and military reform. (Adelphi Paper No. 392, Nov 2007)

Artikel ini bertujuan untuk menganalisis sejauh mana spending review berbasis Performance-Based Budgeting (PBB) terhadap APBD Kabupaten Sleman tahun 2017-2018. Selanjutnya, artikel ini menggunakan metode kualitatif yaitu untuk mengidentifikasi dan menafsirkan sebuah konteks terkait spending review yang perlu di identifikasi secara mendalam. Kemudian, perolahan data dilakukan melalui studi kajian literature (online dan offline). Sebagaimana penggunaan teknik analisis data dalam penelitian ini dilakukan dengan tahapan kodifikasi data, penyajian data dan hasil data penelitian. Hasil penelitin ini menunjukan bahwa kondisi anggaran belanja daerah Pemerintah Kabupaten Sleman Tahun 2017 dan 2018 mengalami kenaikan, namun ditinjau pada sektor anggaran belanja pegawai Pemerintah Kabupaten Sleman mengalami penurunan. Selanjutnya hasil review alokasi yang dilakukan terhadap realisasi anggaran belanja daerah terjadi penghematan anggaran belanja dari tahun 2017 ke 2018. Kemudian, untuk review to...