Academia.eduAcademia.edu

INTEGRASI SOSIAL TRANSMIGRAN BALI DI DES (1)

2018, Diva Press

Peneitian ini menggambarkan proses intgrasi sosial masyarakat transmigran asal Bali. Mulai dari bagaimana mereka membuka lahan dan menerapkan budaya pertanian Bali di kampung transmigran, menjadi salah satu sentra lumbung padi di Kabupaten Kukar; hingga akhirnya harus menjadi kampung yang terkepung tambang.

INTEGRASI SOSIAL TRANSMIGRAN BALI DI DESA KERTA BUANA, KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR Penulis: Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Editor: Veni Putri Tata Sampul: Wulan Nugra Tata Isi: Violetta Pracetak: Antini, Dwi, Wardi Cetakan Pertama, Desember 2018 Penerbit DIVA Press (Anggota IKAPI) Sampangan Gg. Perkutut No.325-B Jl. Wonosari, Baturetno Banguntapan Yogyakarta Telp: (0274) 4353776, 081804374879 Fax: (0274) 4353776 E-mail: [email protected] [email protected] Blog: www.blogdivapress.com Website: www.divapress-online.com Gambar sampul: sawah transmigran berlatar aktivitas pengerukan batubara ex-permukiman transmigran Blok C1 Desa Kerta Buana yang telah menjadi lahan tambang (Dokumentasi Peneliti, April 2018). Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Purba, Juniar, Dana Listiana, Sri Murlianti Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur/Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti; editor, Veni Putri–cet. 1–Yogyakarta: DIVA Press, 2018 208 hlmn; 15,5 x 23 cm ISBN 978-602-391-672-6 1. Penelitian II. Veni Putri I. Judul Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat Kata Pengantar Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkah dan rahmat-Nya, penulisan sejarah yang berjudul Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur bisa diselesaikan dengan baik sesuai waktu yang ditentukan. Penulisan ini merupakan salah satu kegiatan rutin yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Kalbar tahun anggaran 2018. Kegiatan penulisan ini bertujuan menghimpun dan mendokumentasikan tentang sejarah dan integrasi transmigrasi masyarakat Bali, NTB, dan transmigran lokal yang ada di L4 atau Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. Dengan adanya penulisan ini, dapat diketahui tentang perjalanan sejarah masyarakat dari luar Pulau Kalimantan dalam memulai kehidupan di tempat baru sekaligus menjadi padu dengan alam dan masyarakat lokal. Melalui pengungkapan sejarah dan integrasi masyarakat Bali ini, diharapkan generasi muda, masyarakat, dan pengambil kebijakan mengetahui tentang sejarah transmigrasi dan integrasi sosial masyarakat di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur. 3 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Penulisan laporan ini dapat terwujud dengan adanya kerja sama dan arahan yang baik dari Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya, Sekretaris Desa Kerta Buana dan staf, Ilham dari Dinas Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, Ismadi, tokoh masyarakat di Desa Kerta Buana, dan informan lain yang tidak kami sebutkan satu per satu, serta rekan-rekan peneliti BPNB. Untuk itulah, kepada semua pihak yang telah mendukung penulisan ini, kami mengucapkan terima kasih. Dalam penulisan ini, kami menyadari masih banyak terdapat kekurangan. Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, adanya saran dan kritik sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tulisan ini. Harapan kami, semoga tulisan ini dapat menambah khazanah kesejarahan dan membawa manfaat bagi kita. Pontianak, November 2018 Juniar Purba Dana Listiana Sri Murlianti 4 Daftar Isi Kata Pengantar ............................................................................. Daftar Isi ....................................................................................... Daftar Tabel .................................................................................. Daftar Gambar ............................................................................. 3 5 7 8 Bab I Pendahuluan................................................................... A. Latar Belakang ........................................................ B. Perumusan Masalah................................................ C. Tujuan ...................................................................... D. Ruang Lingkup ........................................................ E. Tinjauan Pustaka .................................................... F. Kerangka Konseptual.............................................. G. Metode Penelitian ................................................... H. Sistematika Penulisan ............................................. 11 11 14 15 16 16 22 23 25 Bab II Transmigrasi: Kebijakan, Geografi Kerta Buana, Sejarah Desa, Asal Usul, dan Kedatangan .................... A. Kebijakan dan Pelaksanaan Transmigrasi ............ B. Keadaan di Desa Kerta Buana ................................ 27 27 33 5 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Bab III Menggapai Harap: Masa Bermukim dan Bertahan Hidup 1980–1990-an .................................................... A. Datang dan Bermukim, 1980 ................................. B. Memulai Hidup Baru 1980–1990-an ..................... Bab IV Invasi Open Pit Mining dan Titik Balik Kejayaan Pertanian di Kerta Buana (1990–2000-an) .................. A. Underground Mining dan Masa Puncak Kejayaan Produksi Padi pada 1990–1998 ............. B. Puncak Kejayaan Pertanian dan Tragedi Lahan II: 1998-2003 ............................................................... C. Masa Open Pit Mining dan Titik Balik Kemunduran Pertanian (2003-sekarang).............. D. Pergeseran Tipe-Tipe Konflik (2005–Sekarang) ... E. Kampung Terkepung Tambang, Penyempitan Lahan, dan Penurunan Produktivitas Pertanian .. Bab V 49 49 67 117 119 143 155 172 180 Kesimpulan dan Saran ................................................... 185 A. Kesimpulan ............................................................. 185 B. Saran ........................................................................ 191 Daftar Pustaka.............................................................................. 193 Daftar Informan ........................................................................... 203 Tentang Penulis ............................................................................ 206 6 Daftar Tabel Tabel 2.1 Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali [“Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 32)] .......................................................... 30 Tabel 2.2 Penempatan transmigran di Teluk Dalam pada tahun 1979/1980 (Monografi SPT Teluk Dalam, Kab. Kutai, 1981, Samarinda, Kaltim)...................... 34 Tabel 4.1 Integrasi sosial transmigran Bali tahun 1990–1997 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ............................................................ 119 Tabel 4.2 Perbedaan sikap etnis Bali versus Lombok dalam merespons godaan pelepasan tanah (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................. 166 7 Daftar Gambar Gambar 2.1 Papan nama Desa Kerta Buana di Jl. Poros, Kec. Tenggarong Gambar 2.2 Salah satu bentuk rumah dan pekarangan transmigran Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................ (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................ Gambar 3.1 37 41 Contoh kartu tanda pengenal transmigran yang menunjukkan waktu transmigrasi dari Lombok pada November 1980 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................ Gambar 3.2 Peta proyek permukiman transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai (Kanwil Ditjen Transmigrasi Kaltim, 1981: 30) .................... Gambar 3.3 51 53 Bentuk rumah transmigrasi, hanya mengalami penggantian bahan di bagian atap dari rumbia menjadi seng (Dokumentasi Lapangan, April 2018) ............................................. Gambar 3.4 55 Halaman masjid L4 (kini, Masjid Ijtihad) adalah tempat kumpul dan undian kaveling rumah pekarangan transmigrasi dari Bali (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ......................... Gambar 3.5 Ilustrasi sanggah kemulan sederhana masa kini (Dokumentasi Lapangan, 9 April 2018) .......................................... Gambar 3.6 57 60 (Kiri); pasangan transmigran Bali, Priya dan istri, dengan latar pohon kelapa dari bibit yang dibawa dari kampung halaman. (Kanan); pohon mangga di muka pekarangan transmigran Lombok, Kamaruddin, dari bibit sisa perbekalan perjalanan transmigrasi. (Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018) ............................................................................ Gambar 3.7 69 Glebek (lumbung padi) di pekarangan transmigran Bali, I Wayan Laster, telah dibangun sejak 1983 (setelah kebakaran akibat kemarau panjang) untuk menyimpan hasil padi pekarangan. Glebek ini telah diperbesar, namun fondasi tetap dipertahankan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .... 8 74 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 3.8 Pura subak pertama terletak di atas bukit kecil di antara hamparan lahan sawah sebelah timur desa/L4 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................................................................ Gambar 3.9 87 Balai tani di area Subak Pakis Haji terlihat kentongan bergantung di tonggak sebelah kiri dan dudukan canang sari (sesaji) di sebelah kanan (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 90 Gambar 3.10 Ismadi Hanafi, figur penyuluh pertanian lapangan di L4 sekitar 1982–1986 (Dokumentasi Lapangan, April 2018) .... Gambar 3.11 91 (Kiri); pengulun carik. (Kanan); sisa-sisa pohon waru penahan longsor saluran air yang masih bertahan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................................................................. Gambar 3.12 94 (Kiri); ilustrasi selipan keliling pada masa kini. (Kanan); selip produksi lama berukuran lebih kecil. (Dokumentasi Lapangan, April 2018) ........................................................................................ Gambar 3.13 95 Berita surat kabar setempat tentang produktivitas padi di lahan transmigrasi. (Manuntung, 13 Juni 1988; Wisma Berita, Minggu III April 1987: 2; Meranti, 17 April 1988) ............. Gambar 3.14 Berita yang memuat surat protes KUD di L1 (Manuntung, 1 Oktober 1988: 3) ............................................................................ Gambar 3.15 97 99 Armada transportasi Damri yang beroperasi melewati rute Teluk Dalam sejak 1988, ketika daerah-daerah transmigrasi menghasilkan surplus beras bagi Kalimantan Timur. (Manuntung, 1 Agustus 1988) ............................................. 101 Gambar 3.16 Berita koran yang memuat instruksi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan untuk menjadikan Teluk Dalam sebagai proyek percontohan. (Suara Kaltim, 8 September 1995: 11)...................................................................... 102 Gambar 3.17 Pura umum desa, yakni (dari kiri, kanan, dan bawah) Pura Pasupati, Pura Dalam, dan Pura Meraja Pati. (Dokumentas Lapangan, April 2018) ...................................................................... 107 Gambar 3. 18 Pura khusus dibangun berdasarkan asal daerah, yang antara lain dibangun oleh komunitas Bali dari Jembrana (kiri-atas), Nusa Penida (kanan atas), dan Badung (bawah). (Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018). ....................... 109 Gambar 3. 19 SD Inpres yang telah dirintis sejak transmigran bermukim di L4 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ............................... 111 9 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Gambar 3.20 I Dewa Ketut Alit, kepala desa pertama di Desa Kerta Buana. Gambar 3.21 Plang nama Posyandu “Rinjani Indah” mengidentifikasi (Koleksi Keluarga) ............................................................................. 114 keberadaan transmigran asal Lombok. (Dokumentasi Lapangan, April 2018) ........................................................................................ 115 Gambar 4.1 Tiga periode masa puncak dan titik balik kejayaan pertanian padi di Kerta Buana. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ..... 118 Gambar 4.2 Monumen eksplorasi underground mining PT Kitadin di pinggir Jalan Poros L. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................ 122 Gambar 4.3 Ida Bagus MY, di sawah yang berbatasan langsung dengan eksplorasi tambang Kitadin. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................................................................................... 125 Gambar 4.4 I Made Sky, salah satu pebisnis penggilingan padi yang masih Gambar 4.5 Rumah penggilingan padi yang lama, posisi di belakang bertahan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ....................... 129 warung Pak Sky, di samping rumah yang ditempati saat ini. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................ 130 Gambar 4.6 Kios Pak Sky yang lebih baru. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................................................................................... 131 Gambar 4.7 Glebek Pak I Wayan Lt (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ... 146 Gambar 4.8 Dari kejauhan, lokasi lahan II telah menjadi lembah pascaeksplorasi. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ............ 149 Gambar 4.9 Mangku Swd (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .................. 150 Gambar 4.10 Peta konsensi tambang di Kecamatan Samarinda Deberang, tahun 2003. (Data Investigasi Jatam Kaltim 2003) ........................ 159 Gambar 4.11 Pak Ch., Mantan Kepala SDN 011, Tenggarong Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................ 176 Gambar 4.12 Pak Dr dari Blok D (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........ 179 Gambar 4.13 Peta kasar jumlah lubang tambang pada sekitar tahun 2010 Gambar 4.14 Komposisi fungsi dan kepemilikan lahan di Kerta Buana Gambar 4.15 Penyakit “padi putih” (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .... 183 Gambar 4.16 Panen padi di Kerta Buana (Dokumentasi Lapangan, (Jatam Kaltim 2010) ......................................................................... 181 (Jatam 2010) ..................................................................................... 182 Agustus 2018) ................................................................................... 184 10 Bab I Pendahuluan (Dana Listiana) A. Latar Belakang Beberapa dekade terakhir, konflik komunal bermotif identitas etnik berulang kali terjadi. Sebagian konflik terjadi berkenaan dengan masyarakat transmigran. Sejumlah studi bahkan menyatakan bahwa transmigrasi telah menyebabkan konflik etnis di beberapa daerah (O’Connor, 2004; Hoshour, 1997; Tirtosudarmo, 1997; dan Hoey, 2003). Konflik etnik antara kelompok transmigran Madura dengan kelompok etnik Dayak setempat pecah pada Desember 1996 hingga Januari 1997 di Bengkayang. Selanjutnya, konflik kembali muncul antara kelompok transmigran Madura dengan kelompok etnik Melayu pada awal 1999 di Sambas. Kedua konflik menimbulkan korban jiwa dan terusirnya sekitar 80.000 migran Madura (Jonge dan Nooteboom, 2006: 456; Klinken, 2007: 88–91). 11 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Pecahnya konflik di Kalimantan Barat ini dalam riset Tirtosudarmo disebut terkait program transmigrasi berupa terganggunya akses terhadap tempat hidup (tanah, hutan, dan sungai) masyarakat setempat dan kompetisi ekonomi yang telah menempatkan transmigran Madura berhasil secara ekonomi. Konflik dipicu oleh stereotipe kelompok migran Madura yang dinilai masyarakat setempat berperilaku “keras” (Tirtosudarmo, 1997: 318). Konflik serupa juga terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, pada 2001. Kelompok transmigran Madura kembali berseteru dengan kelompok Dayak di Sampit. Konflik ini juga menimbulkan besarnya korban jiwa dan kembalinya sekitar 150.000 jiwa migran Madura ke Jawa dan Madura (Jonge dan Nooteboom, 2006: 456–457).1 Konflik etnik juga dialami oleh kelompok transmigran Bali di Lampung, khususnya komunitas Balinuraga, pada Oktober 2012. Konflik antara kelompok transmigran Bali-Hindu dengan kelompok yang menyebut diri mereka sebagai warga Lampung menyeruak dalam isu agama dan etnis, yang juga sarat dengan kekerasan, sehingga menimbulkan korban jiwa yang besar di pihak Balinuraga (Humaedi, 2014: 150). Rangkaian konflik ini berkebalikan dengan kampanye integrasi nasional yang digaungkan oleh pemerintah Orde Lama (Orla) dan Orde Baru (Orba) saat mengajukan program transmigrasi. Program transmigrasi yang mengandung praktik korupsi, pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), dan bencana ekologis menyebabkan 1 Mencuatnya konflik etnik di Kalimantan mungkin dikarenakan bentuk kekerasan yang muncul sudah di luar nalar, seperti pemenggalan kepala dan melibatkan jumlah massa yang besar. Padahal, ketegangan antara kelompok transmigran dengan penduduk lokal sudah muncul sebelumnya di daerah-daerah lain. Di Irian Jaya (kini, Papua) dan Timor Timur (kini, Timor Leste), kebencian terhadap kelompok transmigran, terutama Jawa, muncul sejak 1980. Kebencian berupa persepsi tidak adil terhadap pemerintah hingga isu “jawanisasi”, “islamisasi”, dan “kolonisasi internal” terhadap program transmigrasi dari penduduk setempat (Tirtosudarmo, 1997: 314–316). 12 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana kekecewaan, terutama bagi masyarakat lokal. Atas nama akumulasi kekecewaan, gerakan resistensi masyarakat lokal meningkat setelah penetapan Undang-Undang Otonomi Daerah. Bagaimanapun, alasan tersebutlah yang mengemuka di hadapan publik, meskipun berbagai riset menemukan bahwa kompetisi untuk menguasai sumber daya alam dan politik lokal di daerah adalah alasan sebenarnya (Hoey, 2003: 110; 123–124; Klinken, 2007: 10–12; 62; 157).2 Melihat gejala konflik yang berlaku pada kelompok transmigran di berbagai daerah menghadirkan pertanyaan bagi kami, bagaimana dengan kelompok transmigran lainnya? Pandangan kami pun mengarah pada kelompok transmigran Bali-Hindu di Kalimantan Timur (Kaltim). Di sebuah desa yang kini bernama Kerta Buana, kelompok transmigran Bali hidup berdampingan dengan kelompok etnis lain, yang terbesar adalah etnis Lombok, Jawa, dan Kutai. Di desa yang pada 1980 merupakan sebuah lokasi transmigrasi di Desa Teluk Dalam ini, terlihat rumah-rumah khas Bali dengan gapura, sanggah (tempat peribadatan), dan kebun bunga berderet asri. Purapura Hindu juga tampak berdiri anggun di berbagai sudut desa. Di sudut lain desa, juga terlihat berdiri sejumlah masjid, madrasah, dan Taman Pendidikan Alquran (TPA). Gambaran terakhir tersebut memberikan suguhan berbeda dari kisah tragis keadaan wilayah transmigrasi yang telah dituturkan di awal tulisan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memahami bagaimana kelompok transmigran Bali-Hindu sebagai komunitas minoritas yang kehidupan sehari-harinya terikat dengan ritual yang bersifat komunal dapat hidup kerasan dan membangun komunitas 2 Selain perspektif demografis dan pembangunan ekonomi, program transmigrasi diproyeksi dapat mendukung integrasi nasional. Oleh karena itu, mereka ditempatkan di suatu lokasi dan diharapkan bisa membangun komunitas bersama (Hoey, 2003: 109). 13 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti budaya di daerah baru, di lokasi dengan komposisi penduduk desa yang beragam. Bagaimana komunitas transmigran Bali menaklukkan lingkungan baru dan komunitas baru? Apakah kelompok transmigran Bali selalu berjalan selaras dan serasi dengan komunitas lain? Kapan (pada momen apa) keharmonisan terganggu? Bagaimana cara untuk memulihkan keharmonisan yang terganggu? Siapa yang berperan dalam memulihkan keharmonisan tersebut? Bagaimana pula perkembangan integrasi sosial transmigrasi Bali setelah lingkungan tempat hidupnya (permukiman dan lahan garap) dipapar faktor eksternal (seperti pertambangan)? B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini mengajukan sebuah pertanyaan utama, mengapa transmigran Bali dapat membangun integrasi sosial dalam berkehidupan dengan komunitas yang beragam di Lokasi IV (SP IV) Satuan Permukiman Transmigrasi Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong, Wilayah Pengembangan Partial (WPP) XIV Kabupaten Kutai (kini, Desa Kerta Buana, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kartanegara) sejak 1980 hingga 2000-an? Pertanyaan utama ini kami turunkan dalam beberapa pertanyaan operasional berikut: 1. Bagaimana latar belakang (kebijakan, asal usul, alasan, dan motivasi) serta proses transmigrasi penduduk Bali ke Desa Kerta Buana? 2. Bagaimana para transmigran Bali bermukim dan membangun kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, dan politik) bersama 14 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana transmigran lain di Desa Kerta Buana sejak kedatangan pada 1980 hingga 1990-an sejak mekanisasi pertanian? 3. Bagaimana perkembangan kehidupan para transmigran Bali di Desa Kerta Buana hingga 2000-an, yakni ketika tambang terbuka aktif beroperasi? Apakah transmigran mengalami kemajuan atau kemunduran? Mengapa terjadi demikian? Bagaimana masyarakat beradaptasi dengan kondisi yang berubah setelah pertambangan masuk? C. Tujuan 1. Menguraikan kebijakan transmigrasi, asal wilayah, alasan, dan motivasi penduduk Bali mengikuti transmigrasi ke Desa Kerta Buana. 2. Menguraikan proses pemindahan transmigran Bali ke Desa Kerta Buana. 3. Menjelaskan proses bermukim para transmigran Bali bersama transmigran lain di Desa Kerta Buana. 4. Menjelaskan usaha para transmigran Bali membangun kehidupan (baca: melakukan integrasi sosial: adaptasi, positioning, interaksi, dan identifikasi; ekonomi, budaya, dan politik) bersama transmigran lain di Desa Kerta Buana sejak membuka lahan pada 1980 hingga aktivitas pertanian mulai stabil yang ditandai oleh mekanisasi pertanian pada 1990-an. 5. Menjelaskan perkembangan kehidupan (baca: perubahan bentuk integrasi sosial: adaptasi, positioning, interaksi, dan identifikasi) para transmigran Bali di Desa Kerta Buana hingga 2000-an, yakni pada awal pertambangan beroperasi di area sekitar permukiman transmigrasi. 15 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti D. Ruang Lingkup Penelitian ini berfokus pada transmigran Bali, yaitu orang Bali-Hindu. Pembahasan transmigran di luar Bali dilakukan untuk memberi penjelasan bagaimana perilaku komunitas transmigrasi Bali-Hindu dalam berintegrasi (dalam beradaptasi, memosisikan diri, mengidentifikasi, dan berinteraksi). Batasan lokasi studi kami adalah Satuan Permukiman Transmigrasi Lokasi IV (L4) di Desa Teluk Dalam atau kemudian dinamakan Desa Kerta Buana. Batasan waktu kajian kami sejak transmigran datang dan bermukim di L4 pada 1980 hingga 2000-an saat permukiman dan lahan usaha transmigran secara perlahan, namun pasti, dijadikan area pertambangan terbuka. E. Tinjauan Pustaka Transmigrasi di Indonesia telah banyak dikaji, terutama sekitar tahun 1980-an. Kajian masa itu utamanya berfokus pada fungsi transmigrasi sebagai program pemerintah di bidang kependudukan, ekonomi, dan pertanian. Kajian yang selanjutnya berkembang sejak akhir tahun 1990-an lebih banyak menyoroti dampak transmigrasi terhadap dinamika penduduk, terutama masalah sosial dan lingkungan. Sebuah buku kumpulan tulisan akademisi dari beragam disiplin menyampaikan gagasan dan evaluasi mengenai program transmigrasi. Akademisi yang ambil bagian antara lain dari kependudukan UGM, ekonomi UI, dan pertanian IPB. Masalah yang mengemuka adalah persebaran populasi (population redistribution dan resettlement) dan ketahanan pangan (scarcity of food), kekayaan (poverty) dan kemiskinan, serta pengembangan program pertanian. 16 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sri-Edi Swasono dalam tulisan “Kependudukan, Kolonisasi, dan Transmigrasi” dan “Transmigrasi di Indonesia: Suatu Reorientasi” berfokus pada latar belakang kebijakan dan orientasi transmigrasi. Swasono mengkritisi kebijakan transmigrasi yang bertolak pada alasan demografis. Isu kelebihan penduduk di Jawa yang juga menjadi argumen pemerintah kolonial dalam pelaksanaan program kolonisasi3 atau transmigrasi ke luar Jawa dinilainya sempit dan tidak pernah terbukti dapat diatasi oleh program ini. Oleh karena itu, Swasono lebih setuju pada isu peningkatan kondisi keamanan, kemakmuran, dan kesejahteraan rakyat dari pemerintah pascakolonial dalam menetapkan kebijakan transmigrasi. Terkait alasan terakhir ini, Swasono merumuskan orientasi pembangunan (development oriented). Orientasi menempatkan program transmigrasi sebagai program turunan (derived project) dari proyek pembangunan lain sebagai program utama (main project), misalnya proyek kelapa sawit, proyek kopi, proyek beras, proyek tambang, proyek perkayuan, atau proyek perkebunan. Gagasan terakhir ini dinamakannya orientasi integratif (integrative project)4 (1985: 70–95; 330–339). Sayogyo (1985: 33–38) dalam judul “Transmigrasi di Indonesia, 1905–1985: Apa yang Kita Cari Bersama?” berpendapat bahwa keberhasilan aktivitas pertanian di daerah baru adalah kunci keberhasilan program transmigrasi. Oleh karena itu, Sayogyo mengajukan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Tanaman Inti Rakyat (TIR) untuk dikembangkan di daerah transmigrasi. Menurut Sayogyo, PIR yang mengarah kepada usaha tani komersial dapat mengatasi kendala 3 Sri-Edi Swasono menyebutkan dasar awal kolonisasi untuk keperluan buruh-buruh murah (kuli kontrak) perusahaan kapitalis asing di Sumatra. Terkait dengan penelitian ini, informasi tentang kolonisasi di Kalimantan Timur juga diketahui telah dilakukan pada 1938 (Swasono, 1985a: 70–71; 76). 4 Sri-Edi Swasono telah mengajukan orientasi integratif tahun 1971 dalam evaluasi program transmigrasi yang diadakan Bappenas (Swasono, 1985b: 334). 17 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti pengembangan sawah5 dan membangun kesatuan ekonomi berbasis pertanian antara masyarakat di desa-desa terdekat. Selain Sayogyo, Joan Hardjono (1985: 291–296) juga berpendapat bahwa pertanian merupakan penentu kesuksesan transmigrasi. Hardjono mengemukakan pentingnya pemilihan dan penentuan lokasi geografis area transmigrasi untuk mencapai sukses. Ia juga menyampaikan sejumlah gagasan program pendukung transmigrasi di luar pertanian sebagai solusi antisipatif dari buruknya kondisi tanah. Berbeda dengan yang lain, H.J. Heeren (1985: 86–95) dalam “Beberapa Masalah tentang Pemukiman Kolektif Pedesaan di Indonesia” menyoroti konflik yang muncul antara transmigran dengan penduduk setempat. Menurut Heeren, konflik tersebut biasanya dipicu oleh perebutan hak atas tanah, serta perbedaan agama dan budaya. Selain Heeren, Loekman Soetrisno (1985: 115–126) juga menyoroti relasi sosial transmigran dengan masyarakat lokal, dalam hal ini masyarakat Irian Jaya (Papua). Mengajukan judul “Peranan Transmigrasi dalam Stabilitas Sosial Politik Daerah Perbatasan dan Problematikanya: Kasus Irian Jaya”, Soetrisno bersimpulan bahwa program transmigrasi yang direncanakan pemerintah cenderung berfokus pada transmigran pendatang dan kurang menyesuaikan dengan kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, program transmigrasi yang dicanangkan dapat mendukung stabilitas sosial politik justru berpotensi menciptakan konflik sosial. Kumpulan tulisan tersebut masih berupa tinjauan bersifat umum. Tulisan dibuat saat program transmigrasi masih berjalan 5 Pertanian monokultur berupa penanaman padi dinilai Sayogyo membutuhkan biaya tinggi untuk irigasi; karakteristik tanah di daerah transmigrasi berbeda dengan Jawa, sehingga transmigran kesulitan mengembangkan pertanian, dan pemasaran hasil pertanian monokultur pun terbatas sehingga lamban memberi pengaruh ekonomi bagi para transmigran (Sayogyo, 1985: 34–38). 18 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sehingga uraiannya ditulis dalam konteks program pembangunan ekonomi Orba. Oleh karena itu, tulisan bersifat evaluasi dengan narasi bertujuan untuk memperbaiki kebijakan program transmigrasi.6 Artikel menarik pada tahun 1980-an ditulis oleh Wolfgang Clauss, Hans-Dieter Evers, dan Solvay Gerke (1988). Mereka menyoroti relasi sosial di daerah transmigrasi dalam “The Formation of Peasant Society: Javanese Transmigrant in East Kalimantan”. Clauss dkk. fokus membahas pembentukan organisasi sosial masyarakat transmigran di Desa Rimbayu, Kabupaten Kutai, Kaltim. Claus dkk. melihat bagaimana masyarakat yang berasal dari berbagai daerah berelasi dan beradaptasi dalam membentuk sebuah komunitas baru bersama, komunitas petani. Riset Clauss dkk. menunjukkan komunitas bersama terbentuk dalam skala formal administratif. Selebihnya, para transmigran akan membentuk beragam kelompok informal sekaligus kelompok negasinya masing-masing (ingroup dan outgroup) dalam konteks budaya, sosial, ekonomi, dan politik. Kajian yang menyoroti aspek sosial masyarakat transmigrasi mulai berkembang pasca-Orba. Permasalahan yang mengemuka antara lain relasi etnik serta kaitannya dengan lingkungan dan ekonomi “proyek pembangunan”, seperti bidang perkayuan dan pertambangan. Tulisan Riwanto Tirtosudarmo (1997) berjudul “Economic Development, Migration, and Ethnic Conflict in Indonesia” mengangkat isu konflik antara transmigran dengan berbagai kelompok etnik lokal dari perspektif perubahan politik-ekonomi pasca-Orba. Riset Tirtosudarmo menunjukkan bahwa konflik yang pecah menjelang 6 Evaluasi kebijakan program transmigrasi juga diperoleh dari tulisan Singarimbun et al. (1977) bersama para peneliti Lembaga Studi Kependudukan (Population Institute) Universitas Gadjah Mada “Transmigrants in South Kalimantan and South Sulawesi: Inter-Island Government Sponsored Migration in Indonesia”. 19 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti akhir Orba telah didahului oleh sentimen terhadap transmigran di daerah tertinggal (economically backward region) sejak pertengahan 1980 dengan munculnya isu jawanisasi, pendudukan internal (internal colonization), dan islamisasi. Ia menyimpulkan bahwa sentimen primordial dari masyarakat setempat merupakan usaha pertahanan (defense mechanism) untuk melindungi hak hidup dan keistimewaan sebagai penduduk lokal. Sebagai solusi, ia mengajukan agar pemerintah memberi wadah bagi masyarakat setempat untuk mengajukan aspirasi politik dan budaya. Cathy A. Hoshour (1997) dalam artikel “Resettlement and the Politicization of Ethnicity in Indonesia” fokus pada implikasi transmigrasi dalam skala besar terhadap negosiasi identitas, perbedaan, dan politik lokalitas. Houshour menunjukkan bahwa transmigrasi yang semula diprogramkan untuk meningkatkan integrasi dan keamanan nasional justru menjadi wadah semai konflik etnik. Gejala konflik yang dikemukakan oleh Houshour di Riau berlatar kompetisi lahan yang berkembang menjadi kompetisi politik lokal bermuatan etnik dan agama. C.M. O’Connor (2004) pada artikel “Effects of Central Decisions on Local Livelihoods in Indonesia: Potential Synergies between the Programs of Transmigration and Industrial Forest Conversion” menyatakan bahwa transmigrasi dan industri perkayuan adalah penyebab degradasi lingkungan, konflik etnis, dan perampasan hak komunitas lokal yang bergantung pada hutan. Konflik etnis terjadi karena persaingan transmigran dengan penduduk lokal atas pemilikan tanah dan sebagai tenaga kerja di industri perkebunan. Transmigran Bali ditulis oleh Dik Roth (2011) dalam artikel berjudul “The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and the Subak in South Sulawesi”. Riset Roth berfokus pada muncul dan berkembangnya subak di dua area transmigrasi di Sulawesi, yakni Desa Kertoharjo 20 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dan Alam Buana. Dengan membandingkan kedua subak tersebut dengan karakteristik subak yang berlaku di Bali, Roth menyimpulkan bahwa subak merupakan institusi yang beragam dan mudah menyesuaikan diri. Dari kedua lokasi permukiman transmigran Bali, Roth menemukan perbedaan bentuk dan struktur organisasi, otoritas, nilai, norma, peraturan, kebiasaan, dan hasil tindakan organisasi. Perilaku transmigran Bali dibahas lebih luas oleh Muriel Charras (1997) dalam Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi. Charras berfokus pada usaha penyesuaian diri orang-orang Bali di dua lokasi transmigrasi, dengan kondisi geografis dan komposisi masyarakat yang berbeda di Sulawesi. Bermodal studi tentang pandangan hidup, nilai, norma, dan perilaku orang Bali di Bali, Charras menyimpulkan bahwa orang-orang Bali memiliki kekuatan sikap (dalam mempertahankan nilai) dan daya tahan yang tinggi dalam menghadapi lingkungan baru. Ketahanan mereka berwujud kelenturan dalam membentuk masyarakat baru dengan karakter yang berbeda, namun memuat sebuah pandangan hidup yang sama di kedua lokasi transmigrasi. Disertasi Yulianto (2011) berjudul Membali di Lampung: Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan menganalisis kegagalan para migran etnis Bali dalam membangun identitas khas Bali di Lampung. Fokus analisis Yulianto adalah tindakan para aktor dalam menginisiasi perjuangan identitas, hubungan dengan “pusat” identitas, sekaligus faktor-faktor penghambat dan pendukung identitas, serta pemapanan identitas Bali di tanah Lampung. Pustaka yang belakangan ditinjau merupakan kajian para ilmuwan sosial pada masa program transmigrasi telah berlangsung setidaknya selama 10 tahun. Oleh karena itu, riset yang dilakukan lebih menyoroti perkembangan sosial yang berlaku pada masyarakat transmigran dalam periode tertentu. Permasalahan yang diajukan 21 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti ialah interaksi sosial di dalam komunitas, dan dengan komunitas di luarnya dalam konteks membangun komunitas baru di daerah baru; adaptasi sosial-ekonomi komunitas transmigran terkait lingkungan baru dan keberadaan perusahaan di luar program transmigrasi; serta relasi sosial dalam proses interaksi dan adaptasi tersebut. Secara umum, kajian sosial tersebut mengajukan persoalan relasi antaretnik, khususnya transmigran dengan penduduk setempat. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat integrasi sosial di kalangan transmigran Bali dalam membangun komunitasnya (sosialekonomi-budaya) secara berdampingan dengan transmigran dari etnik lain (termasuk transmigran lokal) dan penduduk setempat. Bedanya, penelitian ini melihat perubahan perilaku transmigran dalam menyikapi perkembangan situasi (lingkungan, sosial, dan ekonomi) secara diakronis, yakni pada tahap awal ketika membuka lahan; tahap penyesuaian saat kondisi ekonomi membaik sehingga tatanan sosial-budaya mulai ditata; dan tahap penyesuaian ketika kondisi ekonomi relatif stabil, namun di waktu yang bersamaan terpapar aktivitas pertambangan terbuka. F. Kerangka Konseptual Untuk memahami proses integrasi dalam masyarakat transmigran, tulisan ini menggunakan dua perspektif integrasi, yakni sistem integrasi dan integrasi sosial yang dikemukakan oleh Hartmut Esser dalam Hoppe dan Faust (2004: 4) pada tulisannya tentang transmigrasi dan integrasi di Indonesia. Sebagaimana yang dikutip oleh Hoppe, sistem integrasi adalah integrasi sistem masyarakat dalam berbagai hal menyangkut integrasi sosial yang terkait dengan integrasi aktor (individu atau kelompok) ke dalam sistem. Sistem ini mengacu pada kondisi hubungan yang tenteram (orderly) atau bertentangan 22 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana (conflictual). Integrasi sosial menurut Esser mencakup empat dimensi, yaitu adaptasi budaya (cultural adaptation), memosisikan (positioning), interaksi (interaction), dan identifikasi (identification). “Adaptasi budaya” yang dimaksud adalah usaha individu dalam meme nuhi kebutuhan akan pengetahuan yang penting untuk bertindak dan berinteraksi dalam situasi khusus di masyarakat. “Adaptasi budaya” terutama fokus pada proses penerimaan pengetahuan dan kompetensi. “Positioning” mengacu pada penempatan individu dalam sistem sosial. “Positioning” merupakan indikator dari keterlibatan individu dalam masyarakat. “Interaksi” menggambarkan aktivitas keseharian yang tidak formal. “Interaksi” meliputi relasi antara individu dalam membangun interaksi. Dalam proses “interaksi”, latar belakang budaya, norma, dan nilai merupakan faktor yang menentukan kemampuan dan kemauan individu menerima satu sama lain. “Identifikasi” adalah sikap individu untuk mempertimbangkan dirinya dan sistem sosialnya sebagai sebuah entitas. “Identifikasi” menunjukkan relasi emosional dengan sistem sosial, seperti bangsa, kelompok etnik, atau komunitas desa (Hoppe dan Faust, 2004: 4–5). G. Metode Penelitian Penelitian ini menerapkan metode penelitian sejarah. Metode meliputi empat tahap, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan historiografi. Heuristik dalam penelitian ini mencakup penelusuran sumber pustaka, wawancara, dan pengamatan lapangan. Pengumpulan sumber pustaka dilakukan di Kaltim, yakni Perpustakaan Provinsi Kaltim di Samarinda, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kaltim, serta Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim. Wawancara dilakukan 23 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim dan Dinas Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Kaltim di Kota Samarinda sekaligus Kantor Kecamatan Tenggarong Seberang, Kantor Desa Kerta Buana, serta sejumlah narasumber di Desa Kerta Buana dan Loa Janan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengamatan lapangan intensif dilakukan di Desa Kerta Buana dan sekitarnya. Pustaka koleksi Perpustakaan Provinsi Kaltim yang berarti untuk penelitian ini berupa surat kabar sezaman. Informasi yang dimuat berupa opini maupun berita yang dapat menunjukkan propaganda pemerintah pusat tentang program transmigrasi, pandangan pemerintah daerah dan opini peliput tentang penerapan program transmigrasi di Kaltim, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di lokasi transmigrasi Kaltim. Adapun data utama dari BPS berupa laporan tahunan keadaan Kaltim sejak 1984. Data lain dari BPS berupa peta Kabupaten Tenggarong serta peta Desa Kerta Buana dan sekitarnya. Sementara itu, data penting dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim berupa Peta Rencana Satuan Permukiman sewilayah Desa Teluk Dalam, termasuk Lokasi IV yang nantinya menjadi Desa Kerta Buana dan data statistik Realisasi Penempatan Transmigran di Kaltim, termasuk periode PELITA III 1978–1982. Wawancara intensif terutama dilakukan dengan sejumlah narasumber primer, yaitu transmigran dari tiga gelombang kedatangan, petugas transmigrasi, serta aparat penyuluh pertanian dari 3 kurun waktu (1980-an, 1990-an, dan 2000-an). Transmigran generasi pertama (kepala keluarga maupun anggota keluarga kelahiran daerah asal) yang diwawancara mewakili beragam kelompok etnik (Bali, Lombok, Jawa, dan Kutai); kelompok formal terdiri atas aparat pemerintahan desa, termasuk mantan aparat desa, organisasi keagamaan Hindu-Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia Desa Kerta Buana) dan Nahdlatul Wathan, kelompok tani, organisasi PKK Desa 24 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Kerta Buana, dan Karang Taruna Desa Kerta Buana; serta kelompok informal, seperti subak. Kritik eksternal dalam penelitian ini terutama dilakukan dengan menelaah riwayat narasumber. Kritik internal utamanya dilakukan untuk membandingkan masa dengan berbagai momentum penting dalam perkembangan kehidupan transmigran, mengklarifikasi proses interaksi dari berbagai sudut pandang, melakukan kolaborasi informasi, serta memahami latar belakang (kandungan nilai dan pandangan hidup) yang dikandung dalam pernyataan individu, baik ketika mewakili kelompok etnik, sosial-ekonomi, ataupun politik tertentu. Verifikasi lain lebih bersifat teknis, terutama dilakukan pada istilah-istilah Bali, ritual agama Hindu, dan adat istiadat etnis Bali. Data yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya, selanjutnya diinterpretasi dan dirangkai menjadi kesatuan peristiwa sejarah secara kronologis sehingga harmonis dan masuk akal. Penafsiran dan penyusunan pembahasan dituntun dan dikerangkai oleh kerangka konseptual tersebut. Pada akhir kerja, penulis berharap dapat menghasilkan historiografi yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan. H. Sistematika Penulisan Bab I “Pendahuluan” berisi kerangka ilmiah penulisan yang memuat batasan kajian historis sebagai pedoman pengkajian bagi penulis, sekaligus berbagai pertanggungjawaban ilmiah penulis. Bagian ini juga menguraikan hal-hal pokok yang mendasari pemilihan topik serta permasalahan yang akan diteliti. Bab II “Transmigrasi: Kebijakan, Asal Usul Transmigran, dan Kedatangan” memuat tiga informasi utama, yakni pijakan program 25 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti transmigrasi, gambaran hidup dan wilayah transmigran di daerah asal, serta proses kedatangan ke lokasi transmigran. Bagian pertama berisi uraian program transmigrasi di tingkat pusat dan daerah, serta gambaran skema proses transmigrasi dan pelibatan berbagai lembaga sepanjang pelaksanaan program. Bagian kedua mengungkap latar belakang, alasan dan motivasi, serta karakteristik wilayah asal guna mengetahui pandangan hidup, kebiasaan, dan kemampuan dasar yang selanjutnya mendasari sekaligus mempengaruhi perilaku dan aktivitas para transmigran di daerah baru. Bagian ketiga memaparkan proses perpindahan kelompok-kelompok transmigrasi dari daerah asal hingga tiba di daerah baru. Bab III “Menggapai Harap: Masa Bermukim dan Bertahan Hidup, 1980–1990-an” meliputi proses pemukiman dan fase kritis kehidupan. Fase kritis yang dimaksud mencakup pembukaan lahan dan proses membangun usaha ekonomi (pertanian) serta tatanan sosial (formal dan informal) sejak datang, bermukim, hingga relatif stabil. Kedua bagian ini diuraikan dalam konteks integrasi sosial. Bab IV “Invasi Industri Pertambangan Titik Puncak sekaligus Titik Balik Kejayaan Pertanian di Kerta Buana, 1990–2000-an” menguraikan perkembangan kehidupan para transmigran pada fase mapan. Uraian fase ini mengungkap perkembangan tatanan sosialekonomi dan politik transmigran pada masa yang dapat dikatakan puncak pencapaian aktivitas pertanian transmigran hingga masuknya tambang terbuka yang mempengaruhi permukiman, pertanian, sikap, bahkan pandangan hidup transmigran atau keturunannya. Terakhir, uraian keseluruhan disimpulkan dalam Bab V. Bab ini menjawab permasalahan yang dirumuskan pada Bab I. 26 Bab II Transmigrasi: Kebijakan, Geografi Kerta Buana, Sejarah Desa, Asal Usul, dan Kedatangan (Juniar Purba) A. Kebijakan dan Pelaksanaan Transmigrasi Sejak masa kolonialisme Belanda awal abad ke-19, telah terjadi pemindahan penduduk, tetapi belum disebut dengan istilah transmigrasi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini dilatarbelakangi oleh gagasan “politik balas budi” yang pernah diungkapkan oleh Van Deventer tentang keadaan penduduk di Pulau Jawa. Sejak tahun 1905–1941, pemindahan penduduk dari Pulau Jawa telah dilakukan secara bertahap ke wilayah Lampung; tercatat sebanyak 44.687 KK berasal dari Jawa Tengah, Jawa timur, dan daerah-daerah lainnya. Pemindahan tersebut bertujuan untuk pemerataan penduduk dari tempat yang dianggap padat, lalu ditempatkan di wilayah yang masih sedikit penduduknya. Program pemindahan penduduk oleh pemerintahan Kolonial Belanda ternyata bukan hanya dari Pulau Jawa, tetapi beberapa 27 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti wilayah lainnya, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Pulau Bali. Pemindahan itu bukan hanya untuk pemerataan, tetapi juga bertujuan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk perkebunan Belanda di wilayah Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra. Pada masa puncaknya, yakni tahun 1929, 260.000 lebih pekerja kontrak cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatra; 235.000 orang di antaranya berasal dari Pulau Jawa7. Mereka menjadi kuli; dengan beban kerja dan upah yang tidak manusiawi. Praktik ini terus berlangsung sepanjang masa kolonial, dan baru mulai surut bersamaan dengan melemahnya kekuatan kolonialisme Belanda pada masa pemerintahan Hindia Belanda. Pada masa kemerdekaan, program transmigrasi dimulai pada tahun 1949 dengan luasnya cakupan pulau tujuannya hingga Pulau Papua. Pemindahan penduduk dilakukan tidak lagi untuk mengirim tenaga kuli perkebunan pemerintah, namun untuk peningkatan kesejahteraan penduduk miskin dan pemerataan penduduk serta pembangunan di luar Pulau Jawa. Pada masa pemerintahan Orde Baru, regulasi transmigrasi menjadi semakin terstruktur. Undang-Undang perdana produk NKRI muncul, yakni UU Nomor 3 Tahun 1972; dengan aturan pelaksanaan berupa PP Nomor 42 Tahun 1973. Dalam UU No. 3/1972, Bab I, Pasal 1, disebutkan bahwa transmigrasi adalah pemindahan penduduk dari satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan dalam wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara dan semua diatur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undangundang. Pada tahun 1997, UU ini kembali direvisi menjadi UU No. 15 Tahun 1997. Aturan pelaksanaan UU baru ini berupa PP No. 2 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi. 7 Michael Goldman, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization (London: Yale University Press, 2006, hlm. 299). 28 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Pada tahun 1979, program transmigrasi sempat tersendat. Anggaran pelaksanaan transmigrasi dipotong akibat krisis energi dan peningkatan biaya transportasi. Namun, pada tahun 1980-an, Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara Barat mendanai program transmigrasi. Tahun 1979–1984, 535.000 keluarga (hampir 2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi. Dampak demografis transmigrasi sangat besar di sejumlah daerah. Pada tahun 1981, 60% dari 3 juta penduduk Provinsi Lampung adalah para transmigran.8 Transmigrasi membuat jumlah penduduk di daerah tujuan meningkat tajam, terutama di Sumatra, Kalimantan, dan Papua. Perpindahan etnis Bali ke luar Pulau Bali sudah ada jejak-jejaknya pada masa kolonialisme. Mereka bersama-sama dengan orang Jawa dan Madura dikirim ke wilayah perkebunan kolonial di luar Pulau Jawa untuk dijadikan buruh perkebunan. Di Lampung, ada satu wilayah lingkar eks perkebunan Belanda yang terkenal dengan sebutan Kampung Bali. Penduduk di lokasi ini didominasi oleh etnis Bali dan masih memegang teguh budaya hidup seperti tanah asal. Setelah kemerdekaan, pemberangkatan para transmigran yang berasal dari Pulau Bali dimulai pada tahun 1953. Sekitar 1953–1968, jumlah transmigran Bali mencapai 10,4% dari seluruh peserta transmigrasi. Jumlah transmigran yang diberangkatkan per tahun bervariasi, sekitar 2 tahun tercatat kurang dari 1.000 orang, 5 tahun sekitar 1.000–3.000 orang, 5 tahun sekitar 3.000–5.000 orang, dan akhirnya, pada tahun 1963, sesudah meletusnya Gunung Agung, tercatat 12.000 pengungsi yang diberangkatkan. Selama periode tersebut, 84% orang Bali bertransmigrasi ke Sumatra.9 8 https://www.cendananews.com/2017/01/mengintip-desa-pasuruan-desa-transmigrasidari-era-kolonial-ke-desa-swadaya.html. 9 Muriel Charras, “Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997, hlm. 25) dan Ibid, hlm. 18. 29 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti 1953/1968 1969/1974 1975/1976 Kel. Kel. Jiwa Kel. Jiwa 8.556 35.124 264 1.132 1 7 333 1.357 501 2.222 4 18 1.096 5.204 100 470 Sebelum 1978 Tujuan Sumatra Kalimantan Sulawesi Nusa Tenggara Jumlah Jiwa Kel. Jiwa 4.224 19.292 1.731 7.655 500–1.000 410 1.162 10.085 41.854 5.399 23.808 1.736 7.680 Rata-rata per tahun 2.790 Tabel 2.1 Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali [“Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 32)]10 Memasuki rencana program Pembangunan Lima tahun (Pelita), yang dimulai pada tahap Pelita I sampai Pelita III, pemerintah mempunyai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dengan sasaran dalam bidang pangan, sandang, perbaikan sarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan pekerjaan, dan kesejahteraan masyarakat. Pada masa Pelita III (1979–1984), pemerintah lebih menekankan pada program Trilogi Pembangunan yang bertujuan menciptakan masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang arah dan kebijakan pembangunannya dalam segala bidang. Luas Provinsi Kalimantan Timur adalah 211.140 km2; penduduknya masih jarang, yaitu sekitar 1.000.000 orang. Sementara itu, di pulau lain, seperti Pulau Jawa dan Madura, penduduknya padat, yakni sekitar 664 orang/km2, sehingga keadaan ini sangat memerlukan 10 proposal awal, Feb 2018 30 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana tenaga kerja guna mengembangkan potensi alam dan hutannya. Keadaan itu menimbulkan masalah bagi daerah Kalimantan Timur; lahannya luas, tetapi penduduk sangat sedikit yang mengerjakannya. Oleh karena itu, melalui Program Pengembangan Daerah Transmigrasi Kalimantan Timur, guna membantu program nasional, maka salah satu upaya yang dilakukan untuk memajukan persatuan dan kesatuan adalah transmigrasi, yang selaras dengan tujuan pelita dan sejalan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah. Dengan demikian, kegiatan Transmigration Areal Development (TAD) atau Program Pengembangan Daerah Transmigrasi Kalimantan Timur yang dipusatkan di Kabupaten Kutai akan membuka daerah pemukiman baru bagi 12.000 KK guna memperbaiki tingkat hidup dan kondisi kerja bagi masyarakat setempat.11 Pelaksanaan program TAD melalui program Direktorat Jenderal Transmigrasi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang bekerja sama dengan badan pelaksana lainnya di bawah koordinasi Menteri Muda Transmigrasi. Sedangkan, pada tingkat provinsi, gubernur yang bertindak sebagai ketua pelaksana transmigrasi dan bertanggung jawab atas semua kegiatan badan pelaksana. Jika gubernur itu berhalangan, maka dapat mewakilkannya kepada Ketua Badan Perencana daerah (BAPPEDA). Penempatan transmigrasi mulai Repelita, Pelita, dan Era Otonomi Daerah di Provinsi Kalimantan Timur telah membangun unit pemukiman dan penempatan transmigrasi sebanyak 253 UPT (Unit Pemukiman Transmigrasi) dan penempatan transmigrasi sebanyak 78.929 KK, dengan jumlah jiwa sebanyak ±317.513 jiwa12. Dan, jika TOR, Depnaker Trans, hlm. 10. Profil Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, Disnakertrans Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur, Kaltim Bangkit 2013, hlm. 18. 11 12 31 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti dilihat pada Pelita III (1979–1984), maka terdiri atas 12.672 KK atau 52.498. Sesuai dengan rencana program transmigrasi di Kalimantan Timur yang diperoleh dari data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, diterangkan bahwa pada tahun 1977/1978, ada sekitar 40.000 hektar lahan dan 10.000 hektar areal pertanian yang sudah disiapkan untuk program transmigrasi di Kecamatan Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Sambaliung, dan Tanjung Palas. Sedangkan, pada tahun 1978/1979, ada lahan seluas 25.00 hektar dan 35.000 hektar untuk lahan pertanian di Sambaliung, Gunung Tabur, Tanjung Redeb, Tanjung Palas, Gunung Tabur, dan Tenggarong. Sementara itu, pada tahun 1979/1980, ada tanah hutan seluas 30 hektar dan 50.000 hektar areal lahan pertanian untuk transmigrasi di daerah Jalan Samarinda- Balikpapan, Teluk Dalam (Tenggarong), dan Gunung Tabur.13 Dalam pengelolaan susunan organisasi dan tata kerja, proyek pengembangan daerah transmigrasi di Kalimantan Timur tidak dapat terlaksana tanpa adanya kerja sama teknik antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Republik Federasi Jerman, sekaligus peran dari Bank Dunia yang tak kalah penting. Hal ini seperti yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Kep. 06/ Men/1981. Proses terbentuknya areal transmigrasi di Teluk Dalam dilakukan dengan suatu studi kelayakan yang dilakukan oleh instansi yang berwenang, mulai dari persiapan hingga penempatan. Pembangunan sarana dan prasarana juga dilakukan, yang meliputi pembangunan perumahan, penyiapan lahan pertanian, pembangunan jalan, dan 13 TAD report 1, 1978: 92. 32 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana pembangunan fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang program transmigrasi. B. Keadaan di Desa Kerta Buana Dahulu, Kerta Buana bernama L4 (lokasi 4). Daerah ini merupakan proyek pemukiman transmigrasi Teluk Dalam, yang terletak dalam wilayah Kabupaten Kutai. Pada tahun 1979, dilaksanakan pembangunan pemukiman oleh PLPT Departemen Pekerjaan Umum Provinsi Kalimantan Timur, yang diperuntukkan bagi tempat transmigran umum dan transmigrasi lokal APPDT (Alokasi Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi). Secara bertahap, mulai bulan Mei 1980 sampai Maret 1981, sebanyak 2.000 KK atau 8.375 jiwa ditempatkan di sana. Para anggota transmigrasi tersebut berasal dari DKI Jaya, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Kabupaten Kutai14. Secara administrasi, lokasi itu berada di Desa Teluk Dalam dan Embalut, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai. Luas areal proyek 11.112 hektar, dan penyerahan tanah diperoleh dari Gubernur KDH Tk. I Provinsi Kalimantan Timur sesuai dengan SK No. 06-DA-Tahun 1981, tanggal 23 Maret 1981. Jarak desa dari ibu kota provinsi ialah 33 km, sedangkan jarak dari ibu kota kecamatan adalah 17 km, yang dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda empat. • • Adapun batas-batas lokasinya adalah sebagai berikut: Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Mahakam. Sebelah timur berbatasan dengan Kotamadya Samarinda. 14 Monografi, SPT Teluk Dalam 1981, dan untuk penyerahan tanah dilakukan dari Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kaltim No. 06-DA-Tahun 1981, tanggal 23 Maret 1981. 33 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti • • Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Embalut. Sebelah selatan berbatas dengan Kampung Sungai Pering. Jika dilihat dari topografi, di sebelah selatan pada umumnya kemiringan tanahnya bervariasi (8–25%), bagian utara (15–40%), dan daerah bagian rapak palajawan (0–25%). Jenis tanahnya alluvial, organosol, dan podsolik, dengan struktur tanah lempung serta kesuburan tanahnya sedang. Iklimnya tropis basah. Banyaknya curah hujan pada bulan Agustus–Oktober, sedangkan curah hujan yang kurang pada bulan Desember–Februari. Pada tahun 1980, sekitar 2.000 KK atau 8.375 jiwa ditempatkan di salah satu lokasi, yaitu Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai (kini, Kabupaten Kutai Kartanegara). Sebagai Unit Pemukiman Transmigrasi (UPT), di wilayah ini terdapat 4 satuan pemukiman yang disebut L1, L2, L3, dan L4. Satuan pemukiman ini diperuntukkan bagi para transmigran yang berasal dari daerah Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, DKI, NTB, Kaltim, dan Bali. Mereka didatangkan dengan waktu yang berbeda, dan ditempatkan sesuai dengan nomor undian yang ditentukan saat kedatangan di lokasi. Mengenai penempatan mereka dapat dilihat pada tabel berikut: No. Lokasi KK Jiwa Asal 1 UPT 1 459 1.767 Jatim, Jateng, DIY, DKI, dan NTB 2 UPT 2 564 2.340 Jatim, Jateng, DKI, Kaltim, dan NTB 3 UPT 3 547 2.356 DIY, Jatim, Kaltim, NTB, dan DKI 4 UPT 4 430 1.912 Bali, Kaltim, dan NTB Jumlah 2.000 8.375 Tabel 2.2 Penempatan transmigran di Teluk Dalam pada tahun 1979/1980 (Monografi SPT Teluk Dalam, Kab. Kutai, 1981, Samarinda, Kaltim) 34 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Jika dilihat dari tabel tersebut, maka asal transmigran di setiap unit pemukiman lebih dari satu suku dan dari daerah yang berbeda pula. Ini dimaksudkan agar mereka saling membaur dan bertukar informasi sekaligus agar terintegrasi dalam satu kesatuan masyarakat Indonesia. Realisasi penempatan transmigrasi di empat UPT berbeda-beda jumlah pesertanya. Lokasi UPT 4 (L4) sebanyak 430 KK, yang terdiri atas NTB 76 KK atau 314 jiwa, Bali 300 KK atau 1.333 jiwa, dan APDDT 54 KK atau 266 jiwa.15 Sejarah Desa Pada awalnya, sebelum tahun 1980, kawasan Lokasi 4 (L4) atau Kerta Buana merupakan sebuah areal kosong yang berada dalam wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Lokasi ini direncanakan sebagai proyek unit pemukiman transmigrasi oleh pemerintah dalam program transmigrasi umum, swakarsa, dan lokal. Lokasi itu diupayakan sebagai lokasi yang dapat dipergunakan sebagai lahan sektor pertanian dan peningkatan sumber ekonomi masyarakat setempat. Apalagi, saat itu, penduduk di Kalimantan Timur masih jarang, sehingga dalam pengembangannya, perlu didatangkan transmigrasi umum dari luar Pulau Kalimantan, dan semua biaya yang timbul dari kegiatan transmigrasi umum ini dibiayai oleh pemerintah. Pembangunan pemukiman transmigrasi L4 merupakan salah satu proyek pengembangan dan penempatan transmigran yang ada di Direktorat Jenderal Transmigrasi bersama pemerintah daerah Kabupaten Kutai. Pembangunan ini merupakan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, mulai dari penyediaan lahan 15 Disnaker dan Trans Prov. Kaltim, Maret 2003. 35 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti hingga pembangunan sarana dan prasarana di lokasi pemukiman. Penyediaan lahan oleh gubernur (selaku kepala daerah), yang bekerja sama dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda), dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan beberapa instansi, seperti Dinas Pekerjaan Umum (membangun prasarana jalan dan jembatan), Departemen Dalam Negeri (urusan pemerintahan desa), Jawatan Agraria (BPN, saat ini) untuk pengkavelingan tanah hingga pembuatan sertifikat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (pembangunan sekolah dan pengadaan tenaga pengajar), Departemen Kesehatan (pembangunan puskesmas dan tenaga kesehatan), dan penempatan transmigran oleh Departemen Tenaga Kerja. Dalam pelaksanaannya, pengerjaan pembangunan sarana dan prasarana di unit pemukiman berupa bangunan rumah, kantor kepala UPT, gudang, 2 unit rumah staf, dan jalan-jalan pemukiman diserahkan kepada salah satu proyek yang bernama PT Lampiri (wawancara dengan Bp I Wayan Laster, Agustus 2018). Dalam penuturannya, beliau mengatakan bhwa lahan pekarangannya pernah dipakai oleh PT Lampiri untuk menempatkan material bahan bangunan yang akan dipergunakan dalam pembangungan pemukiman di Kerta Buana. Sebelum dibangun, kawasan ini dinamakan Teluk Dalam. Melalui penelusuran, asal usul nama Teluk Dalam belum diperoleh informasi yang jelas. Menurut Pak Derman, Teluk itu berarti losok; daerah ini berawa dan sepi, serta berada di pelosok pedalaman, sehingga diberi nama Teluk Dalam. Itu pun sesuai dengan nama yang diberikan oleh orang Kutai saat itu. Setelah adanya transmigran, maka daerah ini menjadi ramai. Adapun tokoh masyarakat yang dipercaya sewaktu itu adalah Bapak I Dewa Ketut Alit. Ia dipilih karena dianggap arif dan termasuk seorang veteran dari TNI Angkatan Laut, serta pernah menjadi kepala desa di Kabupaten Klungkung (wawancara dengan Jero Nini, April 2018, dan Bapak Derman, Agustus 2018). 36 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sebelumnya, berlaku sistem pemerintahan di lokasi L4; salah seorang dari pemerintahan bernama I Nyoman Ramiye ditugaskan sebagai Kepala UPT di L4. Ia yang bertanggung jawab dalam membina warga transmigran dan mengatur segala keperluan warga. Ia dibantu oleh I Dewa Ketut Alit (sebagai “perpanjangan tangan” dari Kepala UPT) untuk mengurusi warga transmigran pada masa-masa persiapan pembentukan desa. Ia dipilih secara langsung oleh Kepala UPT dan sesepuh warga. Terhitung sejak tahun 1980–1990, pemukiman di L4 untuk sementara waktu dipimpin oleh I Dewa Ketut Alit. Pada tahun 1990, dilakukan pembenahan administrasi dari L4 menjadi desa secara definitif dalam wilayah Kecamatan Tenggarong. Setelah masa persiapan, di L4 harus ada kepala desa sementara. Ketika itu, ada 2 nama yang diusulkan, yaitu I Dewa Ketut Alit (dari kelompok Bali Barat) dan I Wayan Santika (dari kelompok Bali Timur). Secara definitif, mereka memilih nama I Dewa Ketut Ali untuk menjadi kepala desa pertama, dengan masa jabatan 6 tahun (1992–1997). Pada masanya, nama L4 ditetapkan menjadi nama Desa Kerta Buana. Gambar 2.1 Papan nama Desa Kerta Buana di Jl. Poros, Kec. Tenggarong Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 37 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Setelah menjadi Desa Kerta Buana, terjadi perubahan letak desa, yaitu: • Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong. • Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Samarinda. • Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Marang Kayu. • Sebelah utara berbatasan dengan Sebulu. Selanjutnya, desa ini memiliki 4 dusun, yakni Dusun Rapak Rejo (yang banyak dihuni oleh suku Bali), Dusun Rinjani Indah (yang banyak dihuni oleh orang Lombok dan Jawa), Dusun Sida Karya (yang banyak dihuni oleh suku Bali), dan Dusun Budi Daya (yang banyak dihuni oleh suku Bali dan Jawa)(wawancara dengan Bp Harry Kurniawan, April 2018). Kerta Buana adalah nama desa yang diberikan dari hasil kesepakatan sesepuh dan warga desa, yang didukung oleh warga yang saat itu mayoritas suku Bali. Menurut beberapa informan, nama Kerta Buana erat kaitannya dengan pengalaman yang dialami oleh masyarakat L4. Seperti yang diungkapkan oleh Harry Kurniawan, Kerta berarti sejahtera, sedangkan Buana bermakna alam atau hutan. Jadi, menurutnya, saat transmigran datang, daerah itu sangat sepi dan binatang hutan pun masih banyak. Hutannya lebat, dan pepohonannya tinggi. Namun, dengan keadaan yang berat dan penuh tantangan, serta adanya kerja keras untuk mengolah lahan, maka akhirnya tanah memberikan sumber kehidupan dan kesejahteraan bagi mereka (wawancara dilapangan dengan Bp A. Wahid, April 2018 dan Bp Derman, Agustus 2018). Pada tahun 1997–2003, kepala desa dijabat oleh Abdul Wahid. Ia adalah salah seorang transmigran berasal dari Lombok, yang datang pada tahap ke-2 bulan November 1980. Lantas, pada tahun 38 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 2003–2008, dijabat oleh I Wayan Artina, salah seorang dari suku Bali. Setelah tahun 2003, terjadi perubahan batas Desa Kerta Buana karena adanya faktor letak dan tanah sebagian yang kena di lahan tambang PT Kitadin. Adapun batas Desa Kerta Buana saat itu adalah: • Sebelah barat berbatasan dengan Desa Separi dan Embalut. • Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Embalut. • Sebelah timur berbatasan dengan Kota Samarinda, Kecamatan Sempaja. • Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bukit Pariaman. Pada tahun 2008–2013, kepala desa dijabat oleh Sukisno dari suku Jawa. Ia pernah bekerja sebagai karyawan di PT Kitadin. Sedangkan, kepala desa ke-5 ialah Zainuddin (2013–sekarang). Ia termasuk salah seorang dari suku Lombok (wawancara dengan bp Hari Kurniawan, April 2018). Dalam pemilihan kepala desa, ada beberapa orang yang mencalonkan diri, dan setiap calon menyampaikan visi dan misi. Dan, pada akhirnya, pemilihan kepala desa dilakukan dengan suara terbanyak. Asal Usul Para Transmigran di Kerta Buana Sebelum tahun 1980, pemerintah merencanakan pembangunan bagi transmigrasi umum. Penempatan transmigran ini dimulai sejak masa Repelita III tahun 1980 dan dilakukan secara bertahap. Tahap pertama sekitar bulan September 1980, sedangkan tahap kedua pada bulan November 1980. Para transmigran ini berasal dari berbagai wilayah di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa penduduk lokal (Kutai). Mereka menempati rumah-rumah di lokasi pemukiman program transmigran yang telah disiapkan sebelumnya. 39 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Pada awalnya, sebelum menjadi peserta transmigran, dilakukan proses perekrutan dari daerah asal peserta oleh petugas desa yang telah ditunjuk dari kantor transmigrasi setempat. Tetapi, ada juga yang datang sendiri mendaftar ke kantor setelah mengetahui bahwa pemerintah akan melakukan program transmigrasi ke Pulau Kalimantan. Setelah mendaftar, maka mereka didata dan dipanggil oleh petugas transmigrasi untuk melengkapi persyaratan yang diperlukan. Dalam penyelenggaraan transmigrasi, petugas menyampaikan bahwa dalam kegiatan transmigrasi ini perlu suatu sistem yang sinergi antara daerah pengirim dan daerah penerima penempatan para transmigran. Sebab, yang diharapkan adalah para peserta dapat mewujudkan tiga hal yang diinginkan, yaitu kesejahteraan, pembangunan masyarakat, dan integrasi masyarakat. Oleh karena itu, diperlukan transmigran yang ulet dan berkualitas. Untuk mewujudkan keinginan tersebut, maka beberapa persyaratan yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut: 1. Transmigran yang gigih, ulet, berinovasi, dan berkreasi. 2. Warga Negara Indonesia (WNI) dan memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP). 3. Sudah berkeluarga. 4. Usia 20–45 tahun. 5. Pendidikan minimal SMA. 6. Memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan daerah tujuan. 7. Berbadan sehat. 8. Belum pernah ikut transmigrasi (Kementerian Desa, 2015, hlm. 7). 40 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sebelum berangkat, peserta transmigrasi dikumpulkan di Aula Transito setempat, baik yang berasal dari Bali maupun NTB. Mereka dibekali informasi tentang keadaan di daerah tujuan dan kesiapan untuk bertransmigrasi, waktu keberangkatan, serta fasilitas yang akan diterima. Adapun yang diterima di lokasi adalah sebagai berikut: 1. Sebuah rumah yang terbuat dari kayu. 2. Tanah pekarangan 0,25 hektar. 3. Tanah sawah 1 hektar. 4. Tanah kering/ladang 0,75 hektar. 5. Jaminan hidup selama 12 bulan atau 1 tahun. 6. Peralatan dan bibit tanaman pertanian. Gambar 2.2 Salah satu bentuk rumah dan pekarangan transmigran (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 41 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Setelah didata, para peserta transmigrasi yang akan berangkat dari Provinsi Bali berasal dari wilayah Jembrana, Klungkung, Nusa Penida, Badung, Karang Asem, Mengwui, dan Banyuwangi. Kebanyakan dari mereka adalah petani, terutama yang berasal dari daerah Jembrana dan Klungkung. Namun, ada juga yang kurang paham tentang bertani, karena selama di Bali, mereka mengerjakan ladang yang letaknya di pegunungan, seperti di daerah Nusa Penida. Dalam keberangkatan itu, ada pula suku Jawa yang berasal dari Banyuwangi, tetapi sudah lama tinggal di Bali. Mereka mempersiapkan segala sesuatu yang akan mereka bawa dan butuhkan di sana. Semua keperluan tersebut dimasukkan ke dalam sebuah peti kayu yang sudah disiapkan. Mereka pun membawa bibit padi, bibit kelapa, dan bibit sayuran. Proses kedatangan mereka secara bertahap dan menggunakan transportasi yang berbeda. Kelompok pertama berjumlah sekitar 250 KK, yang berangkat dari Bali menggunakan pesawat AURI yang dulu disebut pesawat Hercules. Setelah di Balikpapan, Kalimantan Timur, mereka langsung dibawa ke lokasi dengan menggunakan bus dan truk untuk mengangkut transmigran dan barang-barang mereka. Perjalanan dari Balikpapan ke Teluk Dalam saat itu ditempuh sekitar 5 jam, dan mereka tiba di lokasi sudah hampir malam. Mereka dikumpulkan di sebuah tanah lapang. Selanjutnya, mereka didata kembali dan dipanggil untuk mencabut nomor lot atau nomor undian di blok mana mereka tinggal. Setelah memperoleh nomor undian, mereka dikumpulkan menjadi satu, lalu diarahkan menuju lokasi dan rumah yang sudah ditentukan. Rumah yang disediakan terbuat dari kayu, yang terdiri atas 2 kamar tidur, dan jenisnya rumah berkolong. Sewaktu pertama kali datang dan tinggal di L4, itu merupakan masa-masa sulit. Mereka dituntut untuk sabar, bekerja keras, dan bersemangat. Keadaan rumah yang ditempati ditumbuhi oleh semak belukar dan pohon-pohon kayu yang tinggi, sehingga mereka harus 42 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana menebas, menyiangi, bahkan berjuang untuk menyisihkan batangbatang pohon yang besar. Apalagi, pengalaman pahit mereka, saat curah hujan banyak, tempat mereka banjir dan air tergenang sampai masuk ke rumah. Mereka tidak bisa bekerja. Karena ketika itu masih banyak rumah yang kosong, maka mereka pindah sekaligus memilih tempat dan rumah yang tanahnya tinggi dan tidak banjir, yaitu Blok A dan Blok B. Oleh karena itu, hingga saat ini, blok itu ditempati oleh mayoritas orang Bali. Perekrutan transmigran tidak hanya di Bali, tetapi juga dari NTB, utamanya dari wilayah Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok Tengah. Persyaratan yang diberlakukan sama dengan yang di Bali, yakni harus menikah dan memiliki kartu keluarga. Pendaftaran dilakukan melalui petugas, atau ada juga yang datang langsung ke kantor transmigrasi setempat. Persyaratan yang utama sebagai petani, tetapi ada juga yang bukan petani, tetapi sudah mempunyai tekad akan belajar bertani di lokasi. Setelah tiga bulan kemudian, bulan November 1980, sekitar 200 KK transmigran dari NTB akan diberangkatkan dengan menggunakan kapal laut ke Kalimantan Timur. Sebelum berangkat, mereka ditampung di Wisma Transito Lombok selama 1 hari 1 malam. Semua kebutuhan makan dan minum sudah disiapkan sekaligus kebutuhan selama perjalanan menuju lokasi. Mereka berangkat dengan menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Lembar, Lombok Barat, selama 2 hari 2 malam, kemudian berlabuh di Pelabuhan Samarinda, dekat Pasar Pagi Samarinda. Di sana, bus dan truk sudah disiapkan untuk membawa mereka ke lokasi. Setibanya di Teluk Dalam, rombongan ini diturunkan di lapangan dan ditampung di kantor desa dan masjid. Keesokan harinya, Kepala UPT I Nyoman Ramiya dan beberapa petugas membagikan nomor undian guna mendapatkan rumah. Setelah semua mencabut nomor 43 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti undian, maka mereka diantarkan ke tempat masing-masing, yang sebelumnya mereka belum mengetahui keadaan di lokasi tersebut. Alasan Mengikuti Program Transmigrasi Salah satu program pemerintah dan merupakan tujuan dari program transmigrasi adalah memanfaatkan potensi sumber daya alam dan manusia guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan pemerataan pembangunan. Alasan beberapa informan yang dijumpai ialah mereka mengikuti program transmigrasi karena beberapa hal, dan semuanya itu hampir sama dengan peserta lainnya. Mereka menerangkan bahwa mereka tidak memiliki tanah di Bali; ada yang tidak mempunyai pekerjaan tetap, ada pula yang tergiur karena diajak oleh teman. Salah seorang transmigran Bali yang berasal dari Klungkung menjelaskan alasan mengikuti program transmigrasi karena ikut suaminya yang telah pensiun. Mereka memiliki banyak anak, sedangkan mereka tidak mempunyai tanah di Bali. Saat itu, ada petugas yang mencari orang untuk transmigrasi. Kesempatan ini dimanfaatkan sekaligus digunakan untuk mengubah nasib. Selain itu, semua biaya, mulai dari berangkat hingga biaya hidup selama setahun di lokasi, ditanggung oleh pemerintah. Setelah mendaftar, maka 15 hari kemudian, mereka berangkat dengan menggunakan pesawat Hercules. Mereka termasuk rombongan pertama. Mereka berasal dari Lombok, Jawa, dan Bali. Setelah tiba di lokasi, mereka diberi jatah hidup berupa beras, gula, garam, ikan asin, peralatan memasak, serta alat tebas dan cangkul (wawancara dengan I Made Suratne, yang dikenal dengan panggilan Jeronini, April 2018). 44 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Berbeda dengan yang diungkapkan oleh salah seorang anggota transmigran. Alasan mengikuti transmigran karena di Bali tidak mempunyai tanah, dan ia pernah mendaftar untuk ikut bertransmigrasi ke Sulawesi. Ia sudah mendaftar, tetapi tidak dipanggil. Mendengar informasi dari penyuluh yang di Jembrana, bahwa ada buka pendaftaran transmigrasi ke Kalimantan, maka ia mendaftarkan diri untuk bisa ikut dan membawa keluarganya. Saat ikut trans, ia telah memiliki seorang anak, dan ia berangkat pada gelombang kedua dari Transito Bali. Ketika itu, ada sekitar 50 KK dari Jembrana, Bali Utara. Selama di Bali, ia bekerja sebagai petani; sama dengan pekerjaan orang tuanya. Sebelum berangkat ke Kalimantan, ia mempersiapkan bibit padi dan bibit kelapa untuk ditanam di lokasi. Bibit kelapa sangat dibutuhkan bagi orang Bali karena semua bagian dari kelapa dapat digunakan, mulai dari daun, buah, hingga batang, untuk keperluan ibadah dan makanan (wawancara dengan I Wayan Wander, Agustus 2018) beliau merupakan salah seorang petani yang menanam ; kelapa di pematangsawahnya. Dalam proses berikutnya, para transmigran tidak lagi didanai oleh pemerintah. Para transmigran mandiri dari berbagai pulau, bukan hanya Bali, tetapi dari daerah lain menyusul berdatangan. Mereka tergiur memulai hidup baru dan menetap di sana setelah mendengar banyak sanak saudaranya tinggal di lokasi dan mendapatkan tanah yang luas. Tidak semuanya transmigran bertahan di lokasi. Secara diam-diam, mereka mulai menjual atau menyerahkan tanah kepada keluarga dengan penggantian yang disepakati, dan mereka pindah atau kembali ke tempat asal. Kesempatan ini merupakan kesempatan baru bagi sanak saudara peserta transmigrasi yang memiliki tekad kuat untuk mengubah kehidupan mereka di tempat yang baru. 45 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Motivasi Mengikuti Transmigrasi Hidup layak dan dibiayai menjadi dambaan manusia. Demikian yang ada di pikiran para transmigran Bali dan Nusa Tenggara Barat saat mengetahui ada program transmigrasi ke Pulau Kalimantan. Awalnya, mereka melihat foto atau gambar-gambar tentang orang lokal yang memiliki kebun cengkih di depan rumah dan foto hutan. Sebelumnya, sudah terpikir bahwa ikut transmigrasi akan sakit karena harus memulai kehidupan baru. Tetapi, karena di Bali tidak mempunyai tanah untuk bertani, ada kesempatan, serta persyaratan memenuhi, maka niat bulat untuk keluar dari Bali dan berjuang untuk hidup semakin membara. Apalagi, saat itu, ada yang tidak diperbolehkan ikut karena faktor usia, dan ini menjadi penambah semangat untuk berangkat ke Pulau Kalimantan, walaupun ketika itu tidak diberi tahu terkait lokasi yang akan ditempati (wawancara dengan Pak Berman, Agustus 2018). Menurut Pak Komaruddin, salah seorang warga Lombok yang termasuk sesepuh desa, ikut program transmigrasi menjadi cara untuk bisa mengubah kehidupan. Fasilitas dan jaminan hidup yang diberikan oleh pemerintah merupakan bekal yang dapat menopang kehidupan, yang penting mau bekerja keras. Saat itu, ia belum menikah. Padahal, ada program transmigrasi, dan salah satu syarat yang harus dipenuhi adalah menikah dan memiliki kartu keluarga. Oleh karena itu, sebelum berangkat, ia menikah terlebih dahulu dengan gadis pilihannya. Ia berangkat bersama 3 KK anggota keluarganya, termasuk mertuanya. Kadang, karena besarnya keinginan untuk mendapatkan kesempatan menjadi anggota transmigran, maka sampai ada orang yang melakukan pernikahan hanya untuk dicatatkan di buku nikah atau istilah kawin gantung. Jika sudah tercatat maka dianggap resmi berkeluarga. 46 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sebelum berangkat, Pak Komaruddin hanya mempersiapkan perlengkapan pribadi, sebagaimana yang dibawa oleh peserta transmigrasi lainnya berupa cerek, wajan, panci, cangkul, dan pakaian. Mereka berangkat menggunakan kapal laut. Selama di kapal, keperluan makanan sudah disediakan. Mereka juga membawa bibit padi. Meskipun tidak semua peserta sebagai petani, tetapi jika sampai di lokasi, mereka akan belajar tentang bertani dari orang lain. Setelah tiba di lokasi, mereka menempati rumah yang telah ditentukan. Saat itu, mereka mendapati bahwa rumah yang didiami sudah pernah ditempati oleh rombongan yang pertama kali datang. Kondisi rumah mereka, tanahnya rendah, dan jika curah hujan lama, maka akan banjir, apalagi pembuatan selokan atau parit belum ada. Meskipun situasi yang mereka jumpai merupakan tantangan tersendiri, namun mereka tetap semangat. Secara spontan, mereka membentuk kelompok kerja beranggotakan 10 orang. Dengan kelompok kerja ini, pekerjaan membersihkan dan menyiapkan lahan tanam bisa terwujud. Sistem kerja mereka ialah gotong royong dan bergantian. Kelompok kerja itu akan mempercepat mereka untuk membersihkan dan menyiapkan lahan untuk ditanami. Kondisi tanah di Blok D termasuk sangat subur. Maka dari itu, bibit padi tumbuh dengan baik dan berbuah lebat. Sewaktu hendak berangkat, istri Pak Komaruddin membawa beberapa buah mangga untuk dimakan di kapal. Setelah buahnya dimakan, bijinya disimpan untuk ditanam. Hingga saat ini, pohon mangga itu tumbuh subur dan berbuah banyak. Batang pohonnya pun besar. Ini sebagai bukti bahwa mereka telah lama mendiami rumah tersebut, yang diperkirakan 38 tahun (wawancara dengan pak Komaruddin, Agustus 2018). 47 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Setelah di Kerta Buana Sewaktu pertama kali datang dan tinggal di L4 (atau sekarang disebut Desa Kerta Buana), para transmigran menghadapi masa-masa sulit. Pada tahun pertama kedatangan, mereka dituntut untuk sabar, bekerja keras, dan memiliki semangat yang tinggi. Keadaan rumah yang akan ditempati pun ditumbuhi oleh pohon-pohon yang merambat. Di sekitarnya, ada semak belukar serta pohon-pohon kayu yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus menebas, menyiangi, bahkan berjuang untuk menyisihkan batangbatang pohon yang besar agar bisa bertanam dan memulai hidup di tempat yang baru tersebut. 48 Bab III Menggapai Harap: Masa Bermukim dan Bertahan Hidup 1980–1990-an (Dana Listiana) A. Datang dan Bermukim, 1980 1. Kedatangan Transmigran di L4 Sebagaimana penjelasan dalam Bab II, transmigran program transmigrasi Pelita III (1978–1982) yang ditempatkan di Lokasi 4 (L4) 16, Satuan Permukiman Transmigrasi Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong, Wilayah Pengembangan Partial (WPP) XIV, Kabupaten Kutai, menempati lokasi dalam 4 gelombang pada 1980. Gelombang I adalah kelompok transmigrasi lokal (Alokasi 16 L pada nama L4 diartikan oleh Kanwil Transmigrasi sebagai lokasi sebenarnya, yang berasal dari kata “Lampiri”, sebuah perusahaan pemegang bekas konsesi hutan pemilik HPH. Asal penamaan lokasi tersebut, selain dari riset Robert Siburian (peneliti LIPI) yang diperolehnya berdasarkan informasi Sekretaris Laskar Kebangkitan Kutai, juga kami peroleh dari informan kami, warga transmigran L4 (Siburian, 2005: 236 bdk., wawancara IND dan Km, Ds. Kerta Buana, Agustus 2018). 49 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi atau APPDT17) dari daerah setempat (wawancara Ni Komang Budiarsih [NKB]; Siti Murni [SM]; I Wayan Laster [IWL], Ds. Kerta Buana, 8 April, dan 13–14 Agustus 2018). Gelombang II kelompok transmigran dari Bali masuk ke lokasi pada September 1980. Gelombang III kelompok transmigran dari Bali masuk ke lokasi pada November 1980 (wawancara I Nyoman Derman [IND]; IWL; Priya [Pr], Ds. Kerta Buana, 12–13 Agustus; 13 April 2018). Sedangkan, gelombang IV kelompok transmigrasi dari Lombok masuk ke lokasi pada November 1980 (wawancara Kamaruddin [Km], Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018). Transmigrasi lokal (translok)18 adalah penduduk kampung sekitar L4, yaitu Kampung Embalut dan Separi yang pada Desember 1981 dilaporkan berjumlah 54 KK, yang terdiri atas 366 jiwa (Bid. Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Prov. Kaltim, 2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 3). Waktu kedatangan mereka belum diketahui secara pasti karena sebagian besar translok kerap kembali ke kampung dan meninggalkan lokasi transmigrasi dalam waktu yang lama (wawancara semua informan, Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Secara umum, berdasarkan informasi dari berbagai kalangan, dapat disimpulkan bahwa translok datang ke L4 tidak bersamaan.19 Ada translok yang datang sebelum gelombang 17 Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, Monografi Satuan Pemukiman Transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai, Provinsi Kalimantan Timur (Samarinda: Naskah Sumber Tidak Diterbitkan, 1981). 18 Translok di setiap lokasi transmigrasi ditargetkan berjumlah sekitar 10% dari total transmigran (wawancara Il dan Sigit [Sg], Disnakertrans Prov. Kaltim; Ds. Loa Janan, 9 April 2018 bdk., Clauss et al., 1988: 80). 19 Reportase surat kabar lokal juga memberitakan kegiatan pendatangan translok dilakukan secara bertahap ke lokasi transmigrasi (Warta Berita, Januari 1987: 3). Pengerahan kelompok translok tidak mudah dan sering kali gagal (BS Jaya, 1986: 3). 50 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana I transmigran umum dari Bali20 (wawancara SM dan Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018), ada juga yang bersamaan dengan gelombang I (wawancara I Wayan Artina [IWA], Ds. Kerta Buana, Februari 2018), dan ada yang datang bersamaan dengan gelombang II dari Bali (wawancara IND, Ds. Kerta Buana, 12 Agustus dan 9 Oktober 2018).21 Transmigrasi umum datang ke L4 dalam 3 kelompok. Adapun 2 kelompok pertama dari Bali, sedangkan kelompok terakhir dari Lombok. Gambar 3.1 Contoh kartu tanda pengenal transmigran yang menunjukkan waktu transmigrasi dari Lombok pada November 1980 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 20 Transmigran umum gelombang III dari Lombok menyampaikan bahwa saat kelompok mereka datang pada November 1980, pohon singkong translok sudah menghasilkan (wawancara SM dan Kamaruddin [Km], Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Informasi tersebut kemudian kami bandingkan dengan keterangan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang menyatakan bahwa setelah lokasi transmigrasi dibuka, Kantor Wilayah Transmigrasi memberikan bantuan bibit “tanaman pendahuluan”, seperti singkong, kepada warga transmigran yang datang untuk ditanam di pekarangan. Dengan demikian, jika masa tanam-tumbuh singkong sekitar 3–4 bulan, maka dapat disimpulkan bahwa translok kelompok pertama telah masuk ke L4 antara Juli–Agustus 2018 (wawancara Ismadi Hanafi [IH], Ds. Loa Janan, 11 April dan 9 Oktober 2018). 21 IND menyampaikan bahwa translok sekitar kediamannya baru datang beberapa hari sebelum kedatangan kelompoknya, gelombang II dari Bali. Ketika ia datang pada November 1980, translok di sekitar rumahnya belum mulai bercocok tanam di pekarangan (wawancara IND, Ds. Kerta Buana, 12 Agustus dan 9 Oktober 2018). 51 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Kelompok I tiba di L4 pada September 1980, dengan perkiraan sebanyak 150 KK. Kelompok II tiba di L4 pada November 1980, dengan perkiraan sebanyak 150 KK (wawancara IWA dan I Wayan Meri [IWM], Ds. Kerta Buana, Februari dan 12 April 2018 bdk., Disnakertrans, 2003; Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 3). Sedangkan, kelompok III tiba di L4 pada November 1980 sebanyak 76 KK22, yang terdiri atas 314 jiwa (wawancara Abdul Wahid [AW] dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April dan 14 Agustus 2018; Disnakertrans, 2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 3). 2. Pemukiman23 Transmigran Permukiman24 transmigrasi dirancang dalam sebuah cetak biru administrasi standar.25 Walaupun realisasinya sering tidak sesuai rencana, permukiman transmigrasi era Orba memiliki karakteristik khas berupa komposisi penduduk yang beragam. Melalui keragaman ini, warga trans mau tidak mau harus membangun tatanan sosial-ekonomi baru berbasis heterogenitasetnik, budaya, bahasa, dan agama. Oleh karena itu, warga trans dihadapkan pada tugas ganda, yaitu meningkatkan taraf ekonomi dan membangun integrasi sosial (Clauss et al., 1988: 78). Tugas tersebut saling terjalin dan berjalan seiring setiap fase hidup warga di lokasi transmigrasi, termasuk fase pemukiman. 22 AW dan Km menyebutkan kelompok transmigran dari Lombok yang ditempatkan di L4 sekitar 70 KK dari total transmigran berjumlah 300 KK. Adapun 300 KK tersebut kemudian dibagi dan ditempatkan di L1, L2, L3, dan L4 lokasi transmigrasi Teluk Dalam (wawancara Abdul Wahid [AW] dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April dan 14 Agustus 2018; Disnakertrans, 2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 4). 23 Pemukiman adalah proses, cara, dan perbuatan memukimkan (https://kbbi.kemdikbud. go.id/entri /pemukiman), yang diakses pada 30 September 2018, pukul 08.58 WIB. 24 Permukiman adalah daerah tempat bermukim (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/ permukiman), yang diakses pada 30 September 2018, pukul 08.58 WIB. 25 Cetak biru juga mencakup tata ruang desa yang terdiri atas permukiman, pasar, lapangan sepak bola, sekolah, serta sarana peribadatan (masjid dan pura). 52 Gambar 3.2 Peta proyek permukiman transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai (Kanwil Ditjen Transmigrasi Kaltim, 1981: 30) L4 Lahan Usaha Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 53 Lahan Cadangan Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Setelah tiba di lokasi, para transmigran menempati permukiman yang telah dibuka oleh Direktorat PLPT Departemen Pekerjaan Umum Kaltim pada tahun 1979 (Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 1). Dalam bagian ini, proses bermukim dari berbagai kelompok juga dibahas untuk melihat proses integrasi sosial (adaptasi, interaksi, positioning, dan identifikasi) transmigran Bali dengan berbagai kelompok etnik pada tahap ini. Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa permukiman transmigrasi L4 terdiri atas 5 blok yang terpisah jalan poros (dari selatan ke utara menghubungkan Samarinda dan Tenggarong). Ada dua blok, yaitu blok A dan B, di sebelah timur jalan, serta blok C1, C2, dan D di sebelah barat jalan. Lokasi di perbukitan membentuk 2 jenis kontur tanah permukiman. Blok A dan B rendah menyerupai lembah, sedangkan blok C1, C2, dan D relatif tinggi. Permukiman transmigrasi terdiri atas rumah dan pekarangan seluas ¼ hektar untuk setiap KK. Area permukiman dikelilingi lahan usaha 1 di lingkar pertama dan lahan usaha 2 di lingkar kedua (untuk lahan 2 tidak persis mengelilingi lokasi). Kelompok I yang menempati permukiman transmigrasi L4 adalah translok. Translok diberi prioritas untuk menempati tempat tinggal (lahan pekarangan) sesuai keinginan mereka, tanpa diundi.26 Prioritas ini diberikan oleh pemerintah karena lokasi transmigrasi (setidaknya terdapat sebagian dari lokasi), baik pekarangan ataupun lahan usaha, sebelumnya dipahami sebagai area garap orang-orang kampung sekitar. Oleh karena itu, penduduk kampung sekitar diajak dan diberi kesempatan untuk mengikuti program transmigrasi dan mendapatkan hal yang 26 Praktik serupa juga berlaku di lokasi transmigrasi Rimbayu (sebelah utara Teluk Dalam). Di Rimbayu, orang Kutai juga diizinkan untuk memilih lokasi permukiman mereka sendiri. Oleh karena itu, rumah pekarangan orang Kutai berdekatan dan relatif homogen dalam sebuah blok (Clauss et al., 1988: 82). 54 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sama seperti transmigran umum lain (wawancara IWA, Ds. Kerta Buana, Februari 2018). Rumah dan pekarangan translok yang tengah ditinggalkan karena mereka kerap kembali ke kampung dalam jangka waktu lama juga dilarang untuk ditempati oleh transmigran umum yang tiba setelah mereka. Peringatan dari Kepala Unit Permukiman Transmigrasi (KUPT) ini, menurut informan kami, menunjukkan usaha pemerintah untuk tetap mempertahankan penduduk sekitar sebagai penggarap awal lahan transmigrasi (wawancara AW, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018).27 Gambar 3.3 Bentuk rumah transmigrasi, hanya mengalami penggantian bahan di bagian atap dari rumbia menjadi seng (Dokumentasi Lapangan, April 2018) 27 Penetapan lokasi transmigrasi melalui tahap observasi lahan oleh petugas Kanwil Transmigrasi untuk memastikan bahwa lokasi tidak ada pemiliknya. Kalaupun lokasi tersebut dinilai ada yang memiliki, pemerintah akan meminta izin terlebih dahulu dan meminta mereka untuk ikut serta dalam program transmigrasi. Jika penduduk setempat tidak berkenan ikut, mereka akan diberi kompensasi atas tanah beserta tanam-tumbuh di atasnya (wawancara Il dan IH, Ds. Loa Janan, 11 April dan 9 Oktober 2018; Clauss et al., 1988: 86–87). 55 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh translok yang berasal dari kampung sekitar, yaitu Separi dan Embalut, untuk memilih lokasi tempat tinggal di dekat kampungnya (blok di tepi barat dan selatan L4) supaya dekat dengan kampungnya (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Alhasil, permukiman translok berdekatan dan mengelompok di sekitar blok A, B, dan C2 (wawancara AW; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12 April; 12 dan 14 Agustus 2018). Perilaku translok dalam menempati rumah yang berdekatan sehingga berkelompok di deretan blok-blok tertentu ini adalah bentuk “identifikasi” kelompok yang paling awal muncul dari masyarakat transmigran. Identifikasi sebagai satu kesatuan etnik nantinya semakin menguat setelah kehadiran transmigran lain. Identifikasi yang paling mencolok adalah penyebutan sebagai kelompok “translok Kutai” dari warga trans lain, meskipun menurut informan kami, translok sebenarnya terdiri atas orang Dayak (Kenyah), Etam, dan Kutai (wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13 Agustus 2018). Kelompok II (transmigran umum gelombang I dari Bali) tiba di lokasi sehari setelah hari keberangkatan dari Denpasar. Rombongan harus menginap semalam di kantor transmigrasi Balikpapan, sebelum melanjutkan perjalanan melalui Samarinda keesokan paginya. Rombongan baru tiba di Kerta Buana pukul 4 sore, dan dikumpulkan di halaman masjid area Kantor UPT Transmigrasi L4 untuk dibagi undian kaveling rumah pekarangan. Untuk kelompok ini, kaveling yang diundi hanya area blok A dan B (wawancara IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Sebagian transmigran langsung mencari kaveling undiannya, sedangkan sebagian lainnya bertahan sementara di area Kantor UPT dan masjid karena masih kaget melihat kondisi lokasi 56 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana berupa rimba. Warga yang langsung mencari rumah kemudian menelusuri jalan setapak. Rumah yang dibangun oleh kontraktor Lampiri pada 1979 tersebut kala itu hanya terlihat bagian atap dari jalan, karena sudah ditumbuhi tanaman merambat. Warga trans tersebut pun membersihkan rumah, sekadar untuk bisa masuk dan istirahat malam itu juga, bermodal arit dan peralatan lain yang dibawa dari Bali (wawancara IWA; IWT; dan Bu IWM, Ds. Kerta Buana, Februari; 14 Agustus dan 12 April 2018). Gambar 3.4 Halaman masjid L4 (kini, Masjid Ijtihad) adalah tempat kumpul dan undian kaveling rumah pekarangan transmigrasi dari Bali (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Rumah yang diundi untuk kelompok II masih kosong dan belum pernah dihuni sebelumnya. Rumah kayu berbentuk huruf L berukuran 5 × 7 m2 tersebut terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang keluarga, dan dapur. Konstruksi panggung membuat kolong 57 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti rumah trans menjadi tempat persinggahan tikus hutan dan perlindungan kawanan babi hutan pada malam hari. Oleh karena itu, selain nyamuk hutan, keluarga transmigran harus berkawan dengan suara decit dan ngorok kedua hewan itu setiap malam pada masa awal bermukim di lokasi transmigrasi (wawancara IWA dan IWT, Ds. Kerta Buana, Februari; 14 Agustus 2018). Lokasi blok A dan B yang dihuni sebagian besar kelompok II terkena banjir besar setelah sekitar 2 bulan dihuni. Lalu, sebagian dari mereka pindah ke blok lain yang lebih tinggi lokasinya; sebelumnya mengajukan izin kepada KUPT (wawancara IWA dan NKB, Ds. Kerta Buana, Februari; 8April 2018). Kelompok III (transmigran umum gelombang II dari Bali) tiba di L4 setelah melanjutkan perjalanan udara─dari Bali ke Balikpapan menggunakan pesawat Hercules─dengan perja lanan darat menggunakan mobil colt dari Balikpapan ke Samarinda Seberang. Kemudian, rombongan transmigran melanjutkan perjalanan menggunakan truk hingga Mahakam untuk menyeberang sungai menggunakan kapal laut. Terakhir, rombongan kembali menggunakan truk hingga L4 (wawancara Siti Rahmawati [SR], Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018). Setibanya di L4, rombongan dikumpulkan di halaman masjid (berfungsi sebagai lapangan unit) untuk mengikuti undian kaveling rumah pekarangan. Kaveling yang diundi adalah lot (bidang kaveling) yang kosong dan telah ditinggal oleh trans dari Bali yang pindah karena banjir. Oleh karena itu, penempatan trans ini menjadi bercampur (wawancara SR; IND; IWL, Ds. Kerta Buana, 12–13 Agustus 2018). Setelah transmigran memegang nomor undian kaveling, petugas transmigrasi menunjukkan lokasi blok. Lalu, mereka 58 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana mencari sendiri rumahnya masing-masing dengan melihat nomor yang ditempel di rumah. Meskipun pohon merambat masih saja ada yang menutupi beberapa rumah pekarangan, namun kondisi lingkungan ketika mereka datang sudah lebih baik, sehingga kelompok ini sudah mendapatkan rumahnya hari itu juga. Bahkan, sebagian pekarangan warga trans sebelumnya sudah tampak tumbuh jagung dan singkong. Beruntung pula bagi warga trans yang rumahnya sempat menjadi tempat menginap pegawai kontraktor Lampiri, serta pembangun rumah dan jalan transmigrasi, karena kondisi pekarangan relatif lebih bersih daripada semak belukar (wawancara IWL; IND, Ds. Kerta Buana, 12–13 Agustus 2018). Ada pula warga trans yang kurang beruntung, yang mendapatkan kaveling di daerah rendah berawa, yang saat itu kolong rumahnya tengah dipenuhi air. Akan tetapi, nomor undian tersebut tidak kaku diberlakukan. Kebijakan untuk kondisi luar biasa tetap dapat diberikan. Hal ini terjadi pada transmigran Pr yang datang berdua dengan seorang anaknya yang masih kecil. Istri Pr untuk sementara ditinggal di Bali karena baru saja melahirkan. Karena khawatir terhadap kondisi anaknya jika harus ditinggal sendiri di rumah, Pr diizinkan pindah ke daerah yang lebih tinggi oleh KUPT keesokan hari (wawancara Priya [Pr], Ds. Kerta Buana, 13 April 2018). Setelah menghuni rumah, hal pertama yang dilakukan oleh transmigran Bali [Hindu] (etnik Bali yang beragama Hindu, bukan etnik Jawa yang melakukan urbanisasi ke Bali ataupun Bali Islam yang leluhurnya adalah migran Lombok) adalah mendirikan sanggah kemulan (tempat peribadatan kepada Sang Hyang Widi dan pemujaan leluhur) untuk keluarga di halaman rumah. Pendirian sanggah pada masa awal bermukim dibuat oleh 59 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti warga trans Bali secara sangat sederhana berupa kotak kayu dari kayu dadap atau kayu apa pun yang tersedia di lingkungan rumah (wawancara IWA; NKB, Ds. Kerta Buana, Februari; 8 April 2018). Gambar 3.5 Ilustrasi sanggah kemulan sederhana masa kini (Dokumentasi Lapangan, 9 April 2018) Pendirian sanggah membentuk “identifikasi” berdasarkan kesatuan etnik yang sekaligus mengacu pada kesatuan agama. Keberadaan sanggah di depan rumah menguatkan identifikasi tersebut, baik dari dalam kelompok maupun luar kelompok. Menguatnya sikap individu dari dalam kelompok terlihat dari pernyataan informan ketika menanggapi pertanyaan kami terkait munculnya “cibiran” dari trans lain atas praktik kebiasaan atau tradisi yang berbeda. “…Galungan orang Bali kan ada junjung bambu, eehh ditebas. Bikin gini, sanggah. Pura-pura dia beli anu, beli burung, rumah burung ni, Pak....” (Wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018). 60 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Menguatnya identifikasi dalam bentuk tersebut tidak memunculkan pertentangan yang lebih besar karena individu Bali kemudian bersikap “menerima”. Sikap ini lahir dari kesadaran atas posisi mereka sebagai warga dengan tradisi “berbeda” di lingkungan baru yang beragam. Selain identifikasi kelompok, pembuatan sanggah dari bahan yang ada juga menunjukkan penyesuaian diri warga trans Bali terhadap lingkungan. Penyesuaian dengan lingkungan juga dilakukan dalam menyiapkan perlengkapan upakara ritual peribadatan sehari-hari. Mereka membuat canang sari (persembahan) menggunakan bunga hutan dan bahan lain yang tersedia di lingkungan sekitar (wawancara NKB dan Ni Made Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana, 8 April 2018). Penyesuaian dalam persiapan upakara ini sempat memunculkan kebingungan dan gesekan di dalam kelompok transmigran Bali. Gesekan dipicu oleh perbedaan tradisi keagamaan yang dibawa dari daerah asal transmigran, yakni 8 kabupaten/kota di Bali. Perbedaan dapat dilihat pada upacara keagamaan, seperti perbedaan volume, posisi, dan ornamen dalam upakara (kelengkapan upacara) berupa perangkat sesajian. Gesekan muncul ketika semua kelompok tradisi mengadakan upacara bersama di desa. Gesekan itu dihadapi oleh Lembaga Parisadha Hindu Dharma Indonesia tingkat desa yang kala itu dipimpin oleh I Dewa Jati dengan mengajak umat lain untuk mempelajari tradisi umat Hindu-Bali dari tradisi lain. I Dewa Jati kala itu adalah figur satu-satunya untuk tempat bertanya. Akan tetapi, I Dewa Jati sendiri pun adalah pelaksana tradisi keagamaan dari kelompoknya. Oleh karena itu, imbauan untuk saling mempelajari tradisi tetap menyisakan ketidakpuasan dari warga. Ketidakpuasan warga kemudian memunculkan para tokoh di 61 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti lingkungan sendiri, yang mendalami pelajaran tradisi untuk kelompoknya masing-masing. Pembelajaran ini di kemudian hari diterapkan saat setiap kelompok tradisi keagamaan membangun tempat ibadahnya masing-masing. Kala itu, PHDI belum dibuat satu pola panduan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan upacara di tingkat desa (wawancara informan, Ds. Kerta Buana, April 2018). Bentuk-bentuk integrasi sosial semakin beragam setelah masuknya kelompok IV. Kelompok ini (transmigran umum gelombang III dari Lombok) tiba di L4 setelah perjalanan laut 3 hari 2 malam dari Pelabuhan Lembar (Lombok Barat) ke Samarinda, kemudian lanjut menyeberang Sungai Mahakam dari Samarinda ke Tenggarong. Lalu, transmigran dari Lombok melanjutkan perjalanan darat menggunakan colt ke lapangan L3, halaman kantor Lampiri. Di L3, transmigran dibagi menjadi 4 lokasi transmigrasi di Teluk Dalam. Transmigran yang ditempatkan di L4 melanjutkan ke L4 pada senja hari sehingga baru dapat berkumpul di halaman masjid L4 pada malam hari. Oleh karena itu, malam itu, pembagian rumah belum bisa dilakukan, dan transmigran bermalam di masjid ataupun kantor dan rumah-rumah petugas transmigran di sebelah masjid (wawancara SM dan Km, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018). Transmigran dari Lombok baru mencabut undian lot dipimpin KUPT keesokan pagi. Lot yang dibagi untuk mereka tentu saja adalah sisa dari kelompok-kelompok sebelumnya, yakni di blok A dan B. Oleh karena itu, pintu rumah terlihat sudah pernah dibuka, dan di dalam rumah terdapat bekas aktivitas memasak atau bahkan meninggalkan perabot. Rumah dan pekarangan pun kembali ditumbuhi belukar, dan di bagian belakang rumah adalah hutan rimba lahan usaha. Mengetahui kondisi rumah pernah 62 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dihuni, memunculkan prasangka dari trans Lombok bahwa trans sebelumnya (khususnya Bali) mendapatkan keistimewaan karena KUPT adalah orang Bali. Trans Lombok juga menyangka bahwa trans dari Bali bebas mau menempati rumah yang mana saja, dan memperoleh rumah tanpa mengambil nomor undian seperti prosedur yang mereka lalui (wawancara AW; SM; dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018). Situasi awal bermukim berupa perolehan rumah bekas hunian transmigran lain tersebut menimbulkan kecemburuan kolektif terhadap transmigran Bali-Hindu yang membentuk “identifikasi” etnik Lombok. Kecemburuan mengarah pada BaliHindu, walaupun transmigran Lombok memahami bahwa rumahrumah mereka tidak hanya bekas dihuni oleh Bali-Hindu, tetapi juga translok. Kecemburuan muncul karena KUPT L4 adalah orang Bali-Hindu. Berikut lontaran kecemburuan tersebut: “…Jauh-jauh hari sudah dijanjikan harus cepat berangkat ke Kalimantan Timur. Tetapi, karena di sini ditekankan KUPT-nya orang Bali, jadi pada waktu itu, kepala unitnya ditugaskan dari Bali. Jadi, Bali yang didahulukan (datang) gitu. Bali waktu datang pertama itu bebas memilih. Bebas memilih tempat mana yang dianggap baik.” (Wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018). “…Ternyata, di sini kan orang Bali yang duluan datang. Kan boleh dibilang semua, kan enak dia di sini, boleh milih mana sukanya gitu kan. Jadi, ndak terbatas kalau orang yang pertama itu datang. Kita yang datang ini bekasnya udah ditempati orang, gitu, tapi karena ndak tau bagaimana pikirannya, bagaimana ngumpul-ngumpul, mungkin ndak pake nomor dia kalo yang pertama datang itu. Ya ngumpul-ngumpul cari keluarganya yang dekat-dekat di situ dia pindah.” (Wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). 63 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Kondisi di blok A dan B memang rendah dan berawa, sehingga selalu berair. Karena belum ada drainase, dan saluran air alami tertimbun batang-batang kayu yang ditebangi, maka lokasi ini sering terkena banjir (wawancara AW; SM; dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018).28 Pada masa awal bermukim, kebutuhan dasar warga trans dipenuhi atau dalam koordinasi Kanwil Transmigrasi. Kebutuhan dasar mencakup pangan, sandang, alat pertanian primer, dan fasilitas kesehatan. Kebutuhan pangan warga trans dalam satu bulan pertama dicukupi oleh dapur umum Kanwil Transmigrasi. Dapur umum ala kondisi darurat pengungsian dengan perlengkapan masak berupa tong kaleng dibelah dua ini menyediakan makanan 2 kali sehari. Makanan dimasak oleh petugas transmigrasi dalam menu yang sederhana. Menurut informan kami, kadang kala ada saja makanan yang tidak layak dijadikan menu, seperti tempe kering yang berulat. Selanjutnya, warga trans memperoleh “jatah hidup” atau biasa mereka singkat “jadup” selama 1 tahun 6 bulan (wawancara NKB dan Ni Made Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana, 8 April 2018). Jatah hidup terdiri atas beras untuk 4 jiwa 42,5 kg (kepala keluarga 17,5 kg, istri 10 kg, dan anak 7 kg), ikan kering (ikan asin), minyak tanah, minyak goreng, gula, garam, serta sabun 28 Transmigran Lombok merasa terdapat persaingan antara Lombok dan Bali dalam program transmigrasi ke Kalimantan Timur, khususnya untuk proyek lokasi Teluk Dalam. Informan kami menceritakan bahwa suasana tersebut sudah muncul sejak masa pendaftaran transmigran di kampung halaman trans Lombok. Persaingan berupa keterbatasan alokasi kuota dan usia peserta transmigrasi. Petugas transmigrasi dari Bali datang ke Desa Perian untuk membatasi usia peserta transmigrasi Lombok dari 25–40 tahun. Pembatasan ini direspons negatif oleh para calon peserta transmigrasi di Lombok, yakni di salah satu kantor desa di Lombok Timur. Suasana kantor desa kala itu menjadi hiruk pikuk oleh teriakan protes para pendaftar (wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018). 64 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana cap tangan (yang digunakan untuk mandi sekaligus cuci pakaian) (wawancara IH dan IL, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IWM dan Istri, Ds. Kerta Buana, 11 April 2018). Kebutuhan sandang yang dipenuhi Kanwil Transmigrasi berupa 1 stel pakaian untuk bertani dan selimut kain. Perlengkapan lain berupa alat masak, seperti cerek, panci, wajan, kompor, minyak tanah, dan lampu templek (wawancara IWM; IWL; Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018). Perlengkapan bertani, seperti cangkul, sekop, linggis, parang, dan tetak juga disediakan, meskipun warga trans menerangkan buruknya kualitas yang dibagikan pemerintah (wawancara NKB; IWM; IND; IKD, Ds. Kerta Buana, 8 dan 11 April dan 12 dan 14 Agustus 2018). Kebutuhan lain yang diakomodasi Kanwil Transmigrasi adalah fasilitas kesehatan. Untuk cakupan L4, disediakan Balai Pengobatan dan petugas mantri kesehatan serta perawat. Untuk seluruh lokasi transmigrasi Teluk Dalam, disediakan puskesmas pembantu. Sedangkan, di tingkat kabupaten, diberikan pelayanan gratis oleh Rumah Sakit Daerah A.M. Parikesit di Tenggarong (wawancara NKB dan NMS; Pr; IND, Ds. Kerta Buana, 8–13 April; 12 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981: 15). Pada awal proses bermukim, baik dalam menempati rumah maupun memenuhi kebutuhan dasar, dapat dilihat beberapa aspek integrasi sosial yang muncul di L4. Aspek yang muncul pertama kali adalah “identifikasi” berdasarkan kesatuan etnik. Selanjutnya, kesatuan etnik dapat bercampur atau terpisah dengan identifikasi berdasarkan kesatuan agama. “Identifikasi” etnik cukup stabil (ajek dan bertahan29) mendasari berbagai 29 Identifikasi etnik relatif bertahan hingga kini ketika para pendatang dari etnik yang semakin beragam masuk dan menjadi penduduk desa. 65 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti perilaku warga trans, seperti yang tampak pada aspek integrasi sosial lain. Akan tetapi, dalam peristiwa atau situasi tertentu, “identifikasi” etnik dapat lebur dan cair sesuai kepentingan individu transmigran membentuk “identifikasi” kelompok lainnya. Identifikasi kelompok tersebut menghasilkan berbagai bentuk interaksi di dalam kelompok (ingroup). Adapun identifikasi dalam cakupan lebih luas sebagai warga trans menciptakan interaksi di luar kelompok-kelompok etnik dan agama, seperti kelompok gotong royong bersama tetangga sekitar rumah secara bergilir. Pembentukan kelompok kerja dilakukan secara spontan dengan menghimpun warga sekitar rumah. Biasanya, kelompok gotong royong tidak lebih dari 10 orang. Selebihnya, gotong royong dilakukan untuk membersihkan lapangan dan meluaskan selokan agar tidak banjir. Untuk cakupan kerja yang lebih luas, Kanwil Transmigrasi ikut mengerahkan warga trans. Dalam gotong royong, warga trans menjalin relasi dengan penduduk setempat yang memiliki usaha chainsaw (gergaji mesin) untuk membersihkan tunggul-tunggul kayu di sekitar pekarangan (wawancara IWL; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018 bdk., Kanwil Ditjen Transmigrasi, 1981: 27). Setelah beberapa hari bermukim, hal pertama yang warga trans lakukan adalah mencari rumah sanak saudara atau tetangga yang berasal dari satu kampung halaman. Keberadaan kerabat menjadi salah satu faktor penguat untuk tetap bertahan di lokasi asing (wawancara NKB; Km, Ds. Kerta Buana, 8 April; 14 Agustus 2018). Aspek “interaksi” juga terjadi saat tubuh warga mulai menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru sehingga cukup banyak warga terserang tifus. Mereka saling membantu mengantarkan orang sakit, terutama jika penyakit yang diderita cukup 66 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana serius dan harus ditangani di rumah sakit yang jaraknya cukup jauh (wawancara Pr, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018). Aspek positioning dari warga trans secara umum dapat dilihat saat warga trans tetap menerima makanan pembagian, meskipun menurut mereka tidak layak. Sikap tersebut muncul karena ketika itu tidak ada pilihan lain untuk dapat bertahan hidup (wawancara NKB dan Ni Made Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana, 8 April 2018). Sebagian lain menyatakan sikap penerimaan hadir karena selama ini mereka menghadapi kondisi yang lebih sulit di kampung halaman (wawancara Pr dan Istri, IWT, Ds. Kerta Buana, 13 April; 14 Agustus 2018). B. Memulai Hidup Baru 1980–1990-an Transmigran melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup. Strategi ini dipengaruhi oleh nilai yang mereka bawa dari daerah asal, seperti latar belakang sosial budaya, gaya hidup, dan pekerjaan sebelumnya (Hoppe dan Faust, 2004: 2–3). 1. Membangun Kehidupan Ekonomi a. Bertani di Pekarangan dan Berburuh di Tambang Dalam Setelah pekarangan dibersihkan sekitar 1 bulan lamanya, warga trans mulai bercocok tanam di area pekarangan. Tanaman pendahuluan, seperti singkong, jagung, ubi jalar, dan kacang panjang, diberi oleh Kanwil Transmigrasi untuk dikembangkan terlebih dahulu karena masa tumbuhnya cepat dan relatif mudah dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan pangan (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). 67 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Meskipun pihak Kanwil Transmigran menyatakan akan memberi bibit tanaman pendahuluan pada awal masa bermukim, informasi yang kami peroleh menunjukkan bahwa kebanyakan warga trans lebih mengingat penanaman pertama yang mereka lakukan berasal dari bibit yang mereka bawa dari kampung halaman, membeli ke penduduk kampung sekitar, ataupun meminta dari warga trans yang telah berhasil mengembangkan bibit. Warga trans tidak banyak mengungkapkan bantuan bibit tanaman pendahuluan dari Kanwil Transmigrasi karena masa pemberiannya tidak pada waktu yang tepat, yakni bukan masa lahan pekarangan siap ditanami. Selain itu, jumlah bibit yang diberikan sangat sedikit sehingga tidak dapat dikembangbiakkan ketika warga trans masih dalam proses pengenalan lingkungan (wawancara IKD dan Pr, Ds. Kerta Buana, 12 dan 14 April 2018). Bibit yang dibawa warga trans dari kampung halaman pada umumnya berupa bibit padi dan bibit kelapa. Khususnya, bagi trans Bali-Hindu, bibit kelapa dibawa karena dapat bertahan lama dan dibutuhkan untuk keperluan pembuatan upakara peribadatan. Selebihnya, bibit yang dibawa warga trans cukup bervariasi, bergantung pada kondisi (masa persiapan transmigrasi) individu transmigran. Sebagai gambaran, seorang transmigran Lombok (bertransmigrasi karena ditawarkan oleh ayah kekasihnya yang kemudian menikahkannya beberapa hari sebelum pergi transmigransi) tidak memiliki persiapan khusus, hanya membawa bibit berupa biji mangga, sampah bekal makanan selama perjalanan di kapal. Sebaliknya, warga trans Bali yang memiliki cukup waktu untuk persiapan dan sempat membawa 10 buah bibit kelapa yang seharusnya ditanam justru dikonsumsi sebagai 68 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana bahan campuran lauk (wawancara Pr; Sr, IWL, IWT, Km, Ds. Kerta Buana, 12 April; 12–15 Agustus 2018). Gambar 3.6 (Kiri); pasangan transmigran Bali, Priya dan istri, dengan latar pohon kelapa dari bibit yang dibawa dari kampung halaman. (Kanan); pohon mangga di muka pekarangan transmigran Lombok, Kamaruddin, dari bibit sisa perbekalan perjalanan transmigrasi. (Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018) Warga trans membeli 1 pohon singkong, lengkap dari daun, batang, hingga buahnya, di Embalut atau Maluhu seharga Rp500,00 kala itu. Biasanya, mereka akan memanfaatkan daun dan buahnya untuk dikonsumsi, sedangkan batangnya untuk ditanam (wawancara IKD; IWL, Ds. Kerta Buana, 14 April; 13 Agustus 2018). Akan tetapi, ada pula warga trans yang hanya membeli batang karena tujuannya untuk ditanam saja. Untuk batang singkongnya saja, penduduk setempat menghargai Rp25,00 (wawancara IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). 69 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Jika warga trans awal harus membeli bibit di kampung sekitar, maka warga trans gelombang selanjutnya cukup membeli kepada rekan sesama trans yang biasanya akan memberi bibit secara sukarela. Selanjutnya, jika pohon yang dihasilkan oleh trans berikutnya berhasil baik, maka mereka pun akan membagi kepada trans lain yang berminat (wawancara IKD; IWL; Km, Ds. Kerta Buana, 14 April; 13–14 Agustus 2018). Tanaman pendahuluan translok dan trans dari Bali gelombang I sudah menghasilkan pada tahun 1980. Sementara itu, tanaman trans berikutnya baru menghasilkan pada tahun 1981 (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Tanaman pendahuluan yang terbilang berhasil dikembangkan warga trans dalam 3–4 bulan pertama adalah singkong dan ubi. Kedua tanaman ini juga digemari oleh babi hutan yang kerap berkeliaran di pekarangan, karena area sekitar lokasi yang nantinya menjadi lahan usaha masih berwujud hutan belantara. Oleh karena itu, singkong dan ubi rambat warga trans kerap diserang babi hutan (wawancara AW; IWT; dan Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 14 Agustus 2018). Akan tetapi, sebagian warga trans yang berhasil menyelamatkan singkong dan ubi mereka dapat menyisihkan hasil panen untuk dijual. Begitu pula, warga trans yang posisi rumah-pekarangannya cukup berjarak dengan hutan dapat dikatakan aman dari serangan babi hutan (wawancara Pr; Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 14 Agustus 2018). Kala itu, mereka memasarkan singkong dan ubi hasil panen ke Pasar Tenggarong atau Pasar Segiri, Samarinda. 70 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Mereka menjual hasil pekarangan mereka secara langsung atau melalui perantara yang mulanya datang mencari panen warga. Warga yang memasarkan langsung ke Tenggarong harus berjalan kaki sejak Subuh ke Embalut untuk kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan kapal Mahakam. Sementara itu, dalam transaksi melalui perantara, transmigran biasanya akan dibayar uang muka (down payment) terlebih dahulu oleh pengepul. Transmigran di kemudian hari menghampiri pengepul ke Samarinda untuk mendapatkan sisa pembayaran panennya. Setelah relasi berjalan baik, warga trans terkadang langsung mendatangi pengepul setelah panen. Dalam berdagang, warga trans tidak membatasi diri bertransaksi dengan etnik tertentu. Warga trans biasanya mempertimbangkan logika ekonomi dan kepraktisan dalam memasarkan panennya (wawancara Pr; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April; 14 Agustus 2018). Tanaman pekarangan yang kemudian diberi oleh Kanwil Transmigrasi adalah bibit kelapa, melinjo, dan durian. Akan tetapi, karena kala itu pekarangan belum siap tanam, dan bibit yang diberi hanya 1 pohon, maka sedikit warga trans yang dapat menanamnya (wawancara IKD; IND, Ds. Kerta Buana, 13 April; 12 Agustus 2018). Ada pula warga trans yang mencoba menanam padi di pekarangan. Para transmigran umum bercocok tanam dengan pengetahuan yang mereka bawa dari kampung halaman masing-masing.30 Bibit padi yang ditanam juga merupakan bawaan dari kampung halaman atau dibagi oleh sanak 30 Kecuali, orang Kutai yang tetap di rumahnya, di kampung asal, dan tetap melanjutkan tradisi bercocok tanam yang biasa mereka lakukan, yakni dengan ladang rotasi (berbagai sumber informan di Ds. Kerta Buana). 71 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti saudara, karena pada masa awal bermukim, Kanwil belum memberi bibit padi. Usaha menanam padi di pekarangan tidak bisa dikerjakan oleh semua warga trans. Dua alasan utama yang dapat kami himpun adalah tidak sesuainya jenis bibit dengan kondisi tanah dan keterampilan bertani belum dimiliki sebagian warga. Hal itu seperti yang dikerjakan oleh transmigran Bali, IWL dan IWT, yang membawa bibit padi dari kampung halaman mereka. Bibit PB 36 yang dibawa ternyata cocok untuk lahan rawa. Oleh karena itu, sawah di pekarangan mereka tumbuh subur. Sayangnya, padi mereka diserang terlebih dahulu oleh tikus hutan (wawancara, IWL dan IWT, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018). Pengalaman serupa diceritakan oleh seorang transmigran Lombok. Ia mendapatkan bibit padi dari saudaranya, sesama trans, yang mendapatkan lokasi rumah-pekarangan di daerah tinggi (gunung), sedangkan bibit yang dibawanya cocok ditanam di daerah berair. Bibit padi yang tidak terpakai dari saudaranya ternyata memang cocok untuk pekarangan rumahnya yang disebut kolam ini. Hasil padinya sangat baik dan berisi. Akan tetapi, karena ia belum mengenal waktu tanam yang tepat dengan kondisi lingkungannya, padi yang tinggal menunggu hari itu diserang oleh tikus hutan dan tidak jadi dipanen (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Pengalaman lain dikisahkan oleh transmigran Bali, IND, yang juga sempat menanam padi pada masa awal bermukim. Berbeda dengan kisah sebelumnya, IND sepertinya tidak 72 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana memiliki pengetahuan dan keterampilan bercocok tanam. Alih-alih tumbuh, padi yang ia tanam di tanah rawa justru hanyut terbawa arus air hujan (wawancara IND, Ds. Kerta Buana 12 Agustus 2018). Kegagalan tanam dimaknai dan ditanggapi berbeda oleh trans Bali (Hindu). Bagi komunitas Bali Hindu yang percaya bahwa tanah adalah ibu pertiwi, padi adalah Betara Sri, dan hama memiliki penjaga atau pemelihara, kejadian yang dialami dikarenakan mereka belum izin kepada para pemelihara dan para Betara. Pemahaman ini pun terakumulasi, yang selanjutnya akan memunculkan inisiasi pendirian pura subak (wawancara IWM; IWT; IND, Ds. Kerta Buana, 11 April; 12 dan 14 Agustus 2018). Selain itu, sambil tetap memegang pemahaman tersebut, trans Bali (Hindu), sebagaimana trans lainnya, terus berusaha bercocok tanam dan berinteraksi, terutama dengan translok atau penduduk setempat, memberi pengetahuan tentang kondisi lingkungan setempat. Setelah mengetahui karakteristik lingkungan, komunitas Bali Hindu secara perlahan mencoba mengikuti strategi bercocok tanam penduduk setempat. Dan, selama belum berdiri, pura subak tetap menjalankan ritual pribadi dan keluarganya dengan mengandalkan kalender Bali (wawancara IWT; IWL, Ds. Kerta Buana, 13 dan 14 Agustus 2018). Berbekal pengetahuan dari penduduk setempat, warga trans memahami bahwa padi yang ditanam pada bulan 8 atau 9 tidak akan menghasilkan karena akan dimakan hama tikus. Mula-mula, warga trans, termasuk trans Bali (Hindu), kemudian ikut mencoba menanam padi gunung, sebagaimana penduduk setempat pada bulan 6 atau tanam 73 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti padi sawah pada bulan 5, sehingga saat akan bertemu masa panen pada bulan 7 atau 8, hama tikus rendah. Pada bulan panen ini, tikus hutan sedang musim hamil, sehingga kurang agresif mencari makan (wawancara IWT; IWL; Km, Ds. Kerta Buana, 13 dan 14 Agustus 2018). Warga trans yang tampaknya cukup berhasil pada masa awal bercocok tanam ini adalah trans yang telah memiliki keahlian bertani, seperti Kamaruddin, karena membantu orang tua bertani dan mengurus sapi. Atau, I Wayan Laster, karena telah menjadi buruh tani di kampung halamannya. Adapun trans lain yang tidak bisa bertani tampaknya baru memperoleh hasil setelah bergelut dan menekuni pertanian di lokasi trans. Keahlian bertani juga berhubungan dengan kondisi lahan di kampung halaman. Transmigran Bali dari Nusa Penida yang tanahnya berupa gunung mulanya tidak mengerti cara bercocok tanam. Namun, setelah melihat dan menekuni pertanian secara perlahan, akhirnya mereka bisa mengerjakan sawah basah (wawancara IND; IWL; Km, Ds. Kerta Buana, 12–14 Agustus 2018). Gambar 3.7 Glebek (lumbung padi) di pekarangan transmigran Bali, I Wayan Laster, telah dibangun sejak 1983 (setelah kebakaran akibat kemarau panjang) untuk menyimpan hasil padi pekarangan. Glebek ini telah diperbesar, namun fondasi tetap dipertahankan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 74 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Hasil bercocok tanam di pekarangan pada masa awal bermukim ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga transmigran. Oleh karena itu, separuh waktu warga trans digunakan untuk melakukan pekerjaan di tempat lain. Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian tersebut dapat dikatakan dilakukan oleh seluruh rumah tangga transmigran untuk dapat bertahan hidup. Berdasarkan wawancara transmigran di setiap blok, diketahui bahwa umumnya paling tidak ada 1 orang di setiap keluarga yang mengambil pekerjaan di luar tani. Pekerjaan yang umum dikerjakan adalah menjadi buruh pikul di perusahaan kayu atau chainshaw milik penduduk setempat. Sebagian lagi menjadi tukang bangunan di proyek transmigrasi lokasi berikutnya yang sedang dikerjakan oleh kontraktor Lampiri. Ada pula yang menjadi tukang bangunan di proyek pembangunan kantor perusahaan tambang Kitadin, sebuah perusahaan yang dipahami warga trans sebagai “penyokong” hidup para transmigran (tidak hanya di L4, tetapi juga L2, L3, dan Separi) karena lahan usaha mereka belum menghasilkan (wawancara informan transmigran, Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Selain untuk bertahan hidup, menyambi bekerja di luar tani, seperti yang IWT lakukan, adalah upaya untuk mencari modal untuk pulang kembali ke Bali. Niat tersebut, menurut IWT, juga menjadi niat banyak trans Bali (wawancara IWT; I Wayan Wander [IWW], Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Bercocok tanam di pekarangan mulai berkembang pada tahun selanjutnya. Warga trans mulai banyak menanam padi di pekarangan pada tahun 1982. Akan tetapi, tidak semua trans dapat menanam di pekarangan. Warga trans yang 75 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti pekarangannya tidak datar dan tidak becek, mereka tidak dapat menanam padi (wawancara IND, Ds. Kerta Buana, 12 Agustus 2018). Pada masa-masa awal, warga trans mulai aktif dikenalkan dengan tanaman palawija oleh PPL Kanwil Transmigrasi yang berkoordinasi dengan Departemen Pertanian dalam mengembangkan Program Germapalagung (Gerakan Menanam Palawija dan Jagung) kepada warga trans. Selain itu, tanaman perkebunan, seperti vanili31, juga mulai dikenalkan (wawancara IH dan Il, Desa Loa Janan, 10 April 2018). b. Penaklukan Lahan Usaha I Setelah pekarangan rumah dibersihkan, warga transmigrasi mulai membuka lahan usaha I. Proses pembukaan lahan ini dilakukan secara bertahap (tidak total), paling sedikit 2 tahun, karena dilakukan secara manual, tanpa alat mekanik. Aktivitas pembukaan lahan meliputi tebas, tebang, potong, pilah, kumpul, dan bersih. Aktivitas pilah-kumpul sangat sulit dilakukan karena lahannya basah (rawa), bukan lahan kering. Saking sulitnya, pembersihan lahan (landclearing) yang dikerjakan menggunakan anggaran pemerintah pusat ini diakui petugas transmigrasi sering menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan karena masih banyak menyisakan tunggul pepohonan. Oleh karena itu, Kanwil Transmigrasi kemudian melibatkan warga trans dengan cara “diborongkan”32 untuk membersihkan lahan, terutama 31 Vanili berhasil dibudidayakan, bahkan bisa dikirim ke Bali. Pengumpul vanili kala itu juga orang Bali. 32 Di antara transmigran L4, kelompok trans yang dapat dikatakan tidak ikut gotong royong membuka lahan adalah translok. Translok pada 1980-an belum masuk kelompok tani karena translok relatif tidak ada di tempat. Translok biasanya akan ke lokasi ketika pembagian “jadup”. 76 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana untuk mencacah tunggul-tunggul pohon dan pilah kumpul (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Warga trans diminta berkelompok membentuk kelompok tani untuk gotong royong membuka lahan dan membabat kayu hutan yang besar-besar oleh Kanwil Transmigrasi. Kelompok gotong royong ini biasanya terdiri atas warga trans yang rumahnya berdekatan, sehingga kemudian dijadikan dasar pembentukan RT dan RW. Gotong royong ini membuka interaksi tanpa batasan terhadap etnisitas dan agama bagi warga trans. Kelompok pembersihan lahan diberi upah borongan oleh Kanwil. Upah ini memberi tambahan modal bagi warga trans untuk bertani. Upah borongan nerabas (menebas) hutan, bergantung luas area yang mereka buka. Informan kami mengaku pernah mendapatkan upah hingga Rp100.000,00, sedangkan upah yang didapatkan rekannya yang lain beragam sekitar Rp35.000,00, Rp50.000,00, atau Rp75.000,00 (wawancara Pr; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018; 14 Agustus 2018). Upah borongan digunakan oleh sebagian warga trans untuk membeli bibit tanaman, seperti kelapa, di Tenggarong. Mereka biasanya pergi berkelompok membeli bibit lewat Embalut ke Tenggarong menggunakan kapal (wawancara Pr; IND, Ds. Kerta Buana, 13 April dan 12 Agustus 2018). Setelah lahan dibuka, para petugas dari Badan Pertanahan Nasional (warga trans menyebut dengan istilah agraria) dapat lebih mudah masuk dan mengukur batas Oleh karena itu, muncul anekdot di antara warga trans untuk translok yang disebut “trans jadup”. Saat pembagian “jadup”, biasanya translok datang untuk bersih-bersih dan kemudian membawa pulang “jadup” mereka ke kampung (wawancara informan, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). 77 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti bersama-sama warga yang membuka lahan tersebut. Petugas agraria kemudian membuat patok-patok pada lahan dan menghitung apakah lahan yang dibuka oleh kelompok tersebut memenuhi untuk jumlah orang itu atau tidak. Jika luas belum memenuhi, maka lahan harus dibuka lagi. Namun, apabila luas sudah memenuhi, maka petugas agraria akan membuat petak-petak tanah dan melalui Ketua RT warga trans terkait lokasi lahan ini dikumpulkan untuk mengikuti pembagian lahan. Pembagian dilakukan secara bertahap per RT. Pembagian dilakukan dengan cara mencabut undian lot langsung di area lahan I, yang disaksikan oleh KUPT dan Ketua RT. Karena pencabutan undian dilakukan oleh warga trans sendiri, maka tidak terjadi kecemburuan (wawancara IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12 dan 14 Agustus 2018).33 Lahan usaha yang mula-mula dibagi (sebelum tahun 1984) terbatas di sekitar pinggir jalan poros (jalan utama). Selanjutnya, kemarau panjang membuka luas lahan usaha I sehingga memudahkan pengkavelingan lahan. Pembagian lahan I (berdasarkan informasi beberapa informan) sudah mulai dibagikan 34 pada pertengahan tahun 1981, yang diperkirakan baru selesai setelah 1987, yakni setelah kemarau panjang kedua bagi warga trans L4 (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan 10 April 2018; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12 dan 14 Agustus 2018). Setelah lahan usaha I dibagikan, warga trans mulai menggarap kaveling mereka masing-masing. Penggarapan 33 Selama petugas agraria mengatur kaveling, transmigran pada praktiknya dapat menduduki dan mengakui lahan di luar kavelingnya sendiri (seperti pengakuan Pak Laster) setelah berhasil membersihkan lahan tersebut. 34 Sertifikat lahan usaha I baru dibagikan pada tahun-tahun berikutnya (sekitar tahun 1984). Pada sertifikat, tertera aturan tidak boleh dijual dan dihibahkan selama beberapa tahun. Tetapi, aturan tersebut tidak diindahkan, dan sertifikat itu pun beralih tangan. 78 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dilakukan secara bertahap di area yang sudah bersih. Sejak 1981, penggarapan lahan I di L4 sudah didampingi oleh PPL pertanian asal Kutai, yang bernama Syahran. Sejak itu pula, kelompok tani mulai dibentuk dan dipandu oleh PPL (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981: 27). Pada masa pembukaan lahan, sempat terjadi pula gesekan lahan. Gesekan pecah ketika trans Lombok hendak meng garap lahan yang diklaim oleh penduduk setempat. Orang Kutai tersebut sempat membuat cedera orang Lombok, sehingga memicu pertikaian antarkelompok. Penduduk kampung sekitar ikut turun. Beruntungnya, warga trans lain segera menghubungi PPL yang kemudian segera memanggil semua hansip dan melapor ke polisi di L2. Gesekan ini pun dapat diredam. Untuk kasus ini, petugas di ranah formal dapat menyelesaikannya (wawancara informan, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Sikap warga transmigran umum ketika timbul gesekan lahan dengan warga setempat, baik orang kampung sekitar lahan usaha ataupun translok, adalah mundur dan mengalah. Gesekan lahan yang pernah terjadi memunculkan simbol kekerasan dan label identifikasi yang memuat sentimen antarkelompok. Simbol kekerasan berupa parang dan identifikasi pribumi versus pendatang muncul sejak pembukaan lahan usaha I. Berikut kutipan pernyataan yang kami peroleh dari berbagai informan berlatar etnik berbeda: “…Saking berangnya itu orang, sedikit-sedikit mau main parang, mau main parang itu orang Lombok. Semua yang punya areal, termasuk Bali, termasuk Bali 79 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Islam juga ya itu, yang pendukungnya orang pribumi di sini, termasuk yang ditokohkan di situ, boleh dibilang tuan tanah. Udah ndak terhitung berapa….” “Saya terus terang aja, waktu itu ndak merasa takut. Rasa ketemu…, hanya satu aja saya ketemu takut. Waktu itu, kalo ada orang jalan, orang Kutai berjalan, bawa parang, itu saya paling takutin. Rasanya…, ada takut, tapi dia tu bagus. ‘Jangan takut, Pak. Saya bawa parang ke ladang untuk nerabas….” “…Kalau garap sawah, ini punya etam. Begitu dibagi, surat diberi, tapi hari-hari kelahi. Untuk lahan dua, saya rasa transmigrasi ini, itu se-Kabupaten Kutai sampai sekarang ndak punya, meskipun suratnya punya, tapi lahannya ga bisa digarap. Karena punya etam, di mana kita garap tanah, punya saya….” (Wawancara informan berbeda etnik, Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Gesekan dengan orang setempat tidak pernah menimbulkan pergolakan pada awal pembukaan lahan tahun 1980-an. Orang setempat bahkan menjadi tempat untuk belajar menanam dan mengenal lingkungan. Meskipun telah ada PPL, sepertinya pendampingan teknis belum berjalan efektif, dan warga trans mengolah tanahnya berdasarkan pe ngetahuan masing-masing sambil terus menimba pengetahuan, baik dari sesama trans maupun penduduk setempat.35 Dari sekian banyak pengetahuan yang masuk, 35 Akan tetapi, lahan di Kaltim adalah rawa. Sehingga, lebih cocok dengan pertanian sawah yang tekniknya dikuasai oleh Bali-Jembrana. Bersawah membutuhkan keterampilan, mulai dari membuat pematang, mengolah tanah, dll. Orang Nusa melihat, kemudian mencontoh. Orang Nusa Penida tidak tahu sawah, dan baru kenal bersawah di sini. Hal itu dipengaruhi oleh karakteristik lahan daerah asal yang berupa pegunungan. Orang Nusa Penida bersawah 80 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana pengetahuan dari penduduk setempatlah yang tampaknya memberi pengaruh besar dalam produktivitas penanaman padi mereka. Ada warga trans yang ikut menanam padi gunung, seperti penduduk setempat. Ada juga yang hanya mengambil pengetahuan tentang masa tanam yang tepat untuk menghindari hama di lingkungan setempat (wawancara IKD; IWL; IWT36; Km, IND, Ds. Kerta Buana, 12–13 April; 13–14 Agustus 2018). Meskipun sudah mulai tumbuh sawah di lahan usaha I, tetapi belum bisa dikatakan berhasil. Berbagai hasil dan hambatan dihadapi para warga trans, misalnya padi yang tumbuh tidak berbuah; padi yang ditanam hanyut terseret hujan; atau padi diserang berbagai hama lain, seperti babi hutan dan burung pipit; dan ada pula lahan yang kembali menjadi rawa tinggi, sehingga belum dapat ditanami (wawancara IWM; Pr; IWT; Km; IND, Ds. Kerta Buana, 11–13 April; 12–14 Agustus 2018). Maka dari itu, warga trans yang juga diarahkan PPL lebih memfokuskan pengolahan lahan di pekarangan. Berbagai program digerakkan untuk pekarangan, seperti penanaman kelapa, pisang, dan labu.37 Di sisi lain, warga trans juga memahami keadaan lahan yang secara logis mengikuti orang Jembrana. Orang Nusa hanya bisa bertani kering, serta menanam jagung dan singkong. Orang Bali-Denpasar ada yang bisa bersawah, ada yang tidak bisa. Sebab, tidak banyak sawah di Denpasar (IND). 36 Sawah mulai menghasilkan setelah kemarau 1983, hasil 1984. Lama juga mempelajari situasi untuk penyesuaian diri. Trans Bali mengikuti orang lokal menanam padi gunung. Hama kurang bulan 7/8 mengikuti orang Kutai. Bulan 11/12 menanam juga. Tetap menggunakan kalender Bali (identifikasi) untuk membuka lahan (wawancara IWT). 37 Bibit awal yang diberi oleh pemerintah bukan bibit padi, melainkan pisang dan kelapa, yang dikumpulkan di Balai Desa dan sudah ditentukan untuk si A sekian pohon dll. Tidak bisa mengambil semaunya. Hanya saja bebas memilih. Maka, yang awal datang akan mendapatkan hasil bagus, sedangkan yang belakangan datang akan mendapatkan sisa. Pembagian bibit masih diperankan oleh KUPT (wawancara Km). 81 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti bisa segera menopang kehidupan, sehingga fokus utama mereka adalah mengoptimalkan lahan pekarangannya. Mereka mengondisikan penanaman berdasarkan lahan pekarangan dengan mengolah tanah yang rendah untuk ditanami padi, sedangkan tanah yang tinggi ditanami labu atau cabai. Warga trans juga melakukan uji coba penanaman menggunakan bibit yang dibeli secara eceran (nempil).38 Bibit dibeli dari kampung sekitar, yakni Separi atau Embalut, atau dari sesama trans, dan terkadang mengambil dari hutan (wawancara IKD; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April; 12–14 Agustus 2018). Pada masa awal bercocok tanam, PPL dan transmigran yang menjadi KTNA (Kontak Tani Andalan) berperan dalam sosialisasi teknik pertanian dan jenis tanaman baru. KTNA biasanya akan memulai bercocok tanam di pekarangannya terlebih dahulu. Jika berhasil, biasanya informasi akan menyebar, sehingga tidak perlu memaksa, karena warga trans akan inisiatif sendiri mencari informasi untuk kemajuan pertanian mereka. PPL L4 pada periode awal ini mengakui bahwa trans Bali sudah memiliki dasar bertani yang cukup baik (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IKD dan Pr, Ds. Kerta Buana, 12–13 April 2018). Sebaliknya, transmigran Bali dan istri mereka menyatakan bahwa keterampilan bercocok tanam, khususnya kaum istri, diperoleh dari PPL. Mereka mengakui bahwa selama di Bali tidak pernah bertani karena tidak mempunyai lahan. Selain itu, kondisi lahan di Bali dan Kutai juga berbeda, 38 Selain untuk uji coba, nempil bibit kelapa dilakukan orang-orang Bali karena mereka membutuhkan banyak kelapa untuk keperluan ritual. Mereka membeli bibit kelapa dari Embalut. Dahulu, hasil panen untuk makan, tidak ada lebih. 82 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sehingga mereka harus mempelajari tanaman kering dan tanaman basah (wawancara istri Pr dan istri IWL, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13 Agustus 2018). Pada masa pembukaan lahan usaha I dan pertanian warga trans belum produktif, perusahaan tambang batu bara Kitadin sudah mulai beroperasi. Jika sebelumnya sudah diuraikan bahwa saat warga trans masuk, sebagian warga terlibat dalam pembangunan kantor, pada 1981/1982 proyek penggalian tambang sudah dimulai. Oleh karena itu, pertambangan yang kala itu masih berupa tambang dalam (underground mining) membutuhkan banyak pekerja kasar. Pembukaan besar-besaran lowongan kerja sebagai buruh, mulai dari membuka lahan sampai menggali terowongan, menjadi peluang bagi warga untuk mempertahankan hidup. Kesempatan tersebut disambut warga di sekitar lokasi tambang yang merupakan warga transmigran, terlebih perusahaan tidak meminta persyaratan khusus, kecuali surat keterangan dari kepala desa. Dengan demikian, semakin banyak warga transmigran L4 (dan trans sekitarnya) yang bekerja pada perusahaan (wawancara dengan berbagai informan warga transmigran). Dengan bekerja sebagai buruh tambang, warga trans harus membuat strategi agar lahannya tetap dapat diolah. Setidaknya, terdapat 3 strategi yang dijalankan oleh warga trans untuk menyiasati pekerjaan ganda ini. Pertama39, mengolah tanah setelah atau sebelum pulang kerja tambang. Pembagian waktu kerja tambang dalam tiga shift masih 39 Shift waktu kerja di perusahaan tambang Kitadin ialah pukul 06.00–12.00; 13.00– 22.00; dan 22.00–06.00. Warga trans mengaku jika mendapat giliran waktu kerja pada pagi atau siang masih bisa menangani lahan pekarangan. 83 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti memungkinkan warga trans membagi waktunya untuk bertani. Kedua40, gaji yang diperoleh dari perusahaan tambang digunakan untuk membayar buruh. Pada masa itu, buruh tani dipekerjakan untuk membuka lahan, kemudian mengolah tanah. Ketiga41, lahan yang sudah dibuka (pekarangan dan sebagian lahan usaha I digarap oleh keluarga (wawancara Km; IWL; Sarnan [Sr]; IWT;IND, Ds. Kerta Buana, 12–15 Agustus 2018). Bekerja sebagai buruh tambang menjadi sangat menarik bagi transmigran, terutama ketika memasuki kemarau panjang, sekitar tahun 1983. Kemarau yang di kemudian hari dianggap berkah karena lahan usaha I untuk pertama kalinya mulai terbuka, ternyata telah membuat banyak warga trans frustrasi dan ingin kembali ke kampung halaman. Tidak kurang dari 10 KK diketahui kembali ke kampung halaman. Rumah dan tanah ada yang ditinggalkan begitu saja, dan ada yang “dijual” dengan istilah ganti rugi seharga Rp100.000,00– Rp200.000,00 untuk pekarangan dan lahan 1. Sebagian yang bertahan pun sebenarnya telah merencanakan untuk pulang ke kampung halaman sambil mencari modal dengan cara bekerja sambilan, terutama di Kitadin. Dengan demikian, kemarau semakin meningkatkan jumlah transmigran yang bekerja di Kitadin, meskipun kemudian niat mereka untuk kembali urung dilakukan (wawancara IWT; NKB; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 8 April 2018; 14 Agustus 2018). 40 Tanam dan panen menggunakan buruh. Mengangkut pun menggunakan buruh. Borongan buruh per hektar sebesar Rp25.000,00 per hektar, sekarang Rp1.500.000,00. Tidak ada gotong royong dalam tahap penanaman di lahan usaha. Dan, saat warga trans lain pun sudah bekerja di tambang, uang dari Kitadin untuk membayar buruh. 41 Istri mengolah lahan. Ibu-ibu biasanya menjadi buruh tani. Penggunaan buruh mulai setelah kerja di tambang. 84 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Selain kemarau panjang, sudah dihentikannya “jatah hidup” dari pemerintah menambah keinginan pulang warga transmigran kala itu. Mereka yang bertahan hidup adalah transmigran yang bekerja di tambang atau buruh pikul kayu di perusahaan chainsaw (membawa kayu dari dalam hutan ke jalan). Ada pula yang menjadi buruh pembuat atap sirap, tukang di berbagai proyek di daerah sekitar atau bahkan ke Samarinda, mulai dari proyek membuat rumah hingga irigasi. Saat itu, segala ajakan untuk bekerja mereka ikuti, yang penting bisa bertahan hidup. Informasi dari relasi mana pun mereka jajaki. Agar dapat bertahan hidup pada masa yang kritis ini, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai etnik di L4 mengimbau untuk kerja di perusahaan tambang. Pendapatan sebagai buruh tambang kala itu memang paling besar dibandingkan pekerjaan lain. Gaji buruh membuka lahan tahun 1980-an ialah Rp850,00/hari, sedangkan buruh gali pada tahun 1980-an sebesar Rp35.000,00 per 15 hari. Sementara itu, gaji buruh kasar lainnya, seperti buruh pikul kayu sebesar Rp25,00 sekali pikul (kemampuan tertinggi biasanya hanya mencapai Rp300,00/hari). Dengan gaji buruh tambang, mereka pun dapat membayar orang untuk nerabas (menebas) buka lahan usaha I mereka. Oleh karena itu, saking banyaknya jumlah transmigran yang bekerja di perusahaan, pihak perusahaan bahkan menyediakan mobil jemputan pekerja tambang keliling L4 (wawancara IWT; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12–14 Agustus 2018). Kegagalan demi kegagalan pada masa awal menanam padi, terutama saat membuka lahan usaha I, dimaknai khusus oleh warga trans Bali. Mereka percaya bahwa tanah adalah Betara Ibu (ibu pertiwi), padi adalah Betara Sri, dan 85 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti hama juga ada yang memelihara, sehingga harus “disapa” atau diajak komunikasi. Jika Betara tidak disapa oleh manusia, maka apa pun yang ditanam tidak berhasil (wawancara IWM; IWT, Ds. Kerta Buana, 11 April; 14 Agustus 2018). Untuk berkomunikasi dengan para Betara, dibutuhkan sesembahan (sesaji atau canang) sebagai pemanggil atau alat komunikasi dengan para Betara. Jika sesembahan tidak disiapkan, maka dewa tidak akan datang (laporan JATAM, 2011). Sesembahan membutuhkan media berupa pura, khususnya pura subak. Kebutuhan terkait pura subak disadari, kemudian diinisiasi oleh sekelompok warga antara lain Dewa Aji, Ketut Teo, Wayan Dianta, Dewa Alit, Ketut Geter, Wayan Meri, Ketut Sirna, dan Nyoman Derman. Pura subak pun dibangun di bukit di tengah lahan. Lokasi bukit dipilih mereka dengan pertimbangan pandangan kosmologi Hindu yang memandang dataran tinggi adalah tempat para Betara Dewa bersemayam. Usaha untuk membangun pura sederhana berupa meja kayu ini tidak mudah. Mereka harus menyeberangi dan menyingkirkan rimbunan tanamantanaman rawa yang kembali tergenang air selama tidak kurang dari 3 jam, meskipun belukar sempat dibakar api kemarau panjang tahun 1983. Setelah membangun pura sederhana, secara simbolis, mereka mencangkul tanah dan mencetak sawah (wawancara IWM; IND, Ds. Kerta Buana, 11 April; 12 Agustus 2018). Pura subak dipimpin oleh seorang petugas adat yang memimpin prosesi ritual subak. Petugas yang digelari “mangku” (pemangku) juga petani dan anggota subak. Mangku memimpin sembahyang saat odalan (ulang tahun pura) yang 86 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana akan dihadiri oleh semua anggota subak dan upacara lain terkait penanaman padi, seperti mepiuning saat pertama kali hendak mengolah tanah pada masa tanam baru dan mecaru ketika menghadapi hama. Ritual untuk penanaman padi diibaratkan seperti ibu yang hamil, sehingga sejak jumput air, buka lahan, tanam, hingga mungut sari (setelah panen) diupacarakan (wawancara IWM;IWT; I Ketut Suanda [IKS]; IND, Ds. Kerta Buana, 11 April; 13–15 Agustus 2018). Lokasi Pura Subak Gambar 3.8 Pura subak pertama terletak di atas bukit kecil di antara hamparan lahan sawah sebelah timur desa/L4 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 87 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Pembangunan pura subak di sebelah timur desa ini diikuti oleh pendirian pura subak di sebelah barat desa dan pendirian “organisasi” subak. Subak yang dinaungi oleh pura sebelah timur dinamakan Subak Pakis Haji, sedangkan di sebelah barat dinamakan Subak Pandan Sari. Subak Pakis Haji dipimpin oleh klian (kepala subak) I Wayan Geter, sedangkan Subak Pandan Sari42 dipimpin oleh I Ketut Duglud (wawancara IWM; Pr; IKD, Ds. Kerta Buana, 11–13 April 2018). Setelah pura subak didirikan, hal pertama yang dikerjakan adalah membentuk kelompok gotong royong untuk membuat saluran air. Kelompok subak sebenarnya belum diorganisasi secara resmi, sehingga gotong royong pun bersifat sukarela. Pada proses pendirian dan ritual subak, transmigran agama lain tidak dilibatkan. Koordinasi antara pengurus subak dengan transmigran lain diwadahi oleh kelompok tani. Kelompok tani inilah yang akan mengoordinasi rencana sejak sebelum masa tanam dan tahapan bertani selanjutnya, sehingga subak dapat mempersiapkan dan melakukan ritual terlebih dahulu di pura subak (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). c. Menjadi Bagian dari “Lumbung Padi” Kutai Kartanegara Seiring dibentuknya subak, kelompok tani pun mulai ditata. Dalam wadah kelompok tani, warga trans yang bertahan di L4 pascakemarau 1983 bergotong royong 42 Setelah lahan usaha dan permukiman warga di Blok C1 digusur perusahaan tambang dan lahan usaha di sekitarnya tercemari tambang, Subak Pandan Sari kini (2018) dinyatakan bubar oleh Klian dan anggota subaknya (wawancara IKD dan Pr, Ds; Kerta Buana, 12–13 Agustus 2019). Pernyataan bubar ini sepertinya lebih menunjukkan kondisi tidak aktif karena berdasarkan informasi dari anggota subak tidak pernah resmi dibubarkan (wawancara IWT dan IND, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018). 88 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana membuka lahan usaha I yang diikuti dengan pembagian lahan. Lahan dibersihkan bersama dengan kelompok tani. Pembersihan kala itu dimudahkan oleh panas yang secara alami membakar lahan, dan kadang dengan sengaja belukar dan kayu dibakar begitu saja. Lahan yang belum total dibuka tersebut sedikit demi sedikit langsung diolah dan ditanami oleh sebagian warga (wawancara berbagai informan, April dan Agustus 2018). Kelompok tani yang dibentuk berdasarkan RT menghasilkan 16 kelompok tani. Adapun 8 kelompok berkoordinasi dengan Subak Pandan Sari, sedangkan 8 lainnya dengan Subak Pakis Haji. Kelompok-kelompok tani ini bergabung dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang bersifat formal. Gapoktan biasanya mengakomodasi keperluan petani dalam berhubungan dengan kelompok atau pihak di luar mereka, misalnya permohonan bantuan kepada pemerintah.43 Setelah aktivitas pertanian berjalan, kelompok tani mulai membangun balai kelompok tani sederhana yang mulanya digunakan sebagai tempat bagi PPL menyebarluaskan informasi, seperti program dan teknik pertanian. Meskipun ada balai, sosialisasi pertanian, baik oleh PPL, KTNA, ataupun sesama petani (transmigran), lebih sering dilakukan di lahan. Balai tani di area persawahan L4 memiliki ciri khas berupa meja canang, tempat menyimpan sesaji ritual petani Bali (wawancara IH, Ds. Loa Janan; IKD, Ds. Kerta Buana, 10 dan 13 April 2018). 43 Belakangan ini, Gapoktan sempat menjadi wadah memprotes limbah perusahaan tambang. Akan tetapi, petani menjadi “ogah-ogahan” karena Gapoktan tidak efektif menyuarakan protes. 89 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti kentongan meja canang sari Gambar 3.9 Balai tani di area Subak Pakis Haji terlihat kentongan bergantung di tonggak sebelah kiri dan dudukan canang sari (sesaji) di sebelah kanan (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Selain PPL, KTNA adalah tumpuan dalam mengembangkan aktivitas pertanian. KTNA dijadikan agen pertanian bagi kelompok-kelompok tani oleh pemerintah. KTNA diperkenalkan dan diberi pelatihan berbagai program pertanian hingga Jakarta. KTNA pada tahun 1980-an antara lain Kamhar dari Lombok, Mukhsin dari Jawa, dan I Ketut Duglud dari Bali (wawancara IKD; SR; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April, 13–14 Agustus 2018). Pemilihan KTNA dari beragam etnik ini sepertinya dilakukan untuk setidaknya memudahkan sosialisasi dengan transmigran dari etnisnya, karena kala itu banyak transmigran yang belum mampu berbahasa Indonesia. Pada 1980-an, peran PPL, terutama Ismadi Hanafi, sangat berkesan, khususnya bagi petani transmigran, yakni Bali. Berbagai teknik menanam dan membasmi hama 90 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dikenalkan dalam bentuk keterlibatan aktif PPL. Pengawasan PPL tersebut terkait waktu tanam44 dan penjangkitan hama sangat ketat karena kedua hal tersebut memberi dampak tular yang luas kepada sawah-yang lain. PPL akan marah ketika ada petani yang menanam di luar batas aman yang ditentukan. PPL juga tanpa sepengetahuan petani melakukan inspeksi keterjangkitan hama pada fase tumbuh (wawancara transmigran Bali, April dan Agustus 2018). Jika peringatan PPL tidak diindahkan oleh petani, PPL biasanya akan menghubungi tokoh-tokoh kelompok etnik yang disegani untuk menegur. Akan tetapi, pendekatan terhadap tokoh efektif dilakukan terhadap komunitas Bali-Hindu dan Lombok. Sementara itu, pendekatan personal akan lebih efektif untuk menegur petani Jawa dan Kutai (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Sementara itu, bagi kelompok lain, sebagaimana yang disampaikan Gambar 3.10 Ismadi Hanafi, figur penyuluh pertanian oleh informan petani Lombok, lapangan di L4 sekitar KTNA dipan dang lebih berperan 1982–1986 (Dokumentasi Lapangan, April 2018) dalam mengenalkan programprogram pertanian yang baru. KTNA dipandang sangat peduli dalam mengenalkan teknik sistem mina padi, yakni menanam padi sambil memelihara ikan ataupun program 44 Waktu tanam yang aman paling tidak dalam interval waktunya 10 hari. Sebab, jika terlalu berbeda, maka dapat menimbulkan hama yang menjangkit sawah lain. 91 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti ternak bebek di area sawah yang kala itu dibawa oleh TAD45 (Transmigration and Area Development Project) (wawancara dengan transmigran Bali dan Lombok). KTNA Bali juga menjadi ketua (klian) ataupun pengurus subak. Oleh karena itu, agenda tanam kelompok tani dan PPL, seperti menyerentakkan waktu tanam, distribusi bantuan, dan waktu menyemprot hama mudah diselaraskan (wawancara IWM; IKD; Pr, Ds. Kerta Buana, 11–13 April 2018). Jika terjadi hal yang tidak selaras hingga menimbulkan keributan, maka pemimpin desa akan turun tangan untuk menyelesaikan kesalahpahaman. Misalnya, saat terjadi cekcok antara seorang petani Bali dengan seorang petani Kutai sekitar tahun 1985. Cekcok dipicu oleh kematian bebek petani Bali di sawah petani Kutai yang sedang diberi antihama. Kala itu, petani Bali marah dan hendak menyerang petani Kutai. Peristiwa ini pun diklarifikasi di kantor desa. Setelah diketahui bahwa ketidakpedulian petani Bali terhadap simbol bendera merah dari subak sebagai pertanda masa pemberian antihama adalah pangkal persoalannya, maka petani Bali tersebutlah yang diberi teguran keras oleh Kepala Desa Persiapan yang kala itu juga dijabat oleh tokoh transmigran Bali (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Selain meningkatkan keterampilan teknis pertanian, pemerintah memberi bantuan pertama Saprodi (sarana produksi pertanian) berupa bibit, pestisida, dan pupuk. Bantuan ini berupa paket sehingga diserahkan seluruhnya 45 TAD (Transmigration and Area Development Project, kemudian berganti nama menjadi Technical Cooperation for Area Development) adalah organisasi pendampingan transmigrasi dari Jerman yang mengembangkan program pertanian terpadu (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). 92 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana ke Balai Unit (Balai Desa sekarang). Akan tetapi, karena pada masa awal ini tanah masih sangat subur, sehingga tidak membutuhkan pupuk, maka banyak transmigran yang tidak mengambil pupuk. Para petani sejak awal diajari dan mempelajari karakter tanah dan tanaman untuk dikembangkan (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IKD; IND, Ds. Kerta Buana, 14 April; 12 Agustus 2018). Pemerintah pusat melalui Kanwil Transmigrasi juga mendesak pembuatan subak seperti di Bali. Kepala Kanwil bahkan menyurati Kepala Desa Persiapan, I Dewa Ketut Alit, tentang hal itu. Kanwil transmigrasi juga mengumpulkan warga secara khusus, lalu diberi minum dan snack di Balai Unit untuk mengimbau pengembangan subak, termasuk pekaseh (pemimpin subak)-nya. Setelah pertemuan tersebut, warga trans yang dianggap dapat mengurus subak dipanggil ke Kantor Unit Transmigrasi di L2 untuk diberi honor (wawancara IKD, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018). Gambaran ini menunjukkan usaha campur tangan pemerintah dalam membentuk kegiatan lembaga-lembaga informal. Subak46 berkoordinasi dengan kelompok tani untuk mengembangkan persawahan. Persawahan di Kerta Buana menggunakan sistem tadah hujan. Oleh karena itu, para petani bergantung pada air hujan, dan kondisi hutan di hulu sebagai kawasan serapan air yang mengalirkan air dari hulu. Anggota subak yang juga menjadi anggota kelompok tani bergotong royong bersama anggota lain untuk 46 Dalam perkembangannya, subak di Kerta Buana sekarang bergerak di sisi ritual keagamaan saja. Keterlibatan dan tanggung jawab anggota subak terhadap lingkungannya relatif tidak berjalan lagi. Selain dari informasi pengelola subak, kondisi ini dapat terlihat dari tidak terawatnya saluran air dan lingkungan persawahan, seperti pematang (wawancara IWM; IKW;IKD, Ds. Kerta Buana, 11–13 April 2018). 93 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti membuat irigasi dan saluran air. Saluran air mencakup usaha membendung air gunung untuk pengairan sawah dan penanaman pohon waru di sisi kanan dan kiri agar saluran tidak longsor. Saluran air akan mengalirkan air dari celah gunung ke parit dan sawah para transmigran.47 Pentingnya saluran air bagi sawah mendasari subak membangun pura pintu air menuju sawah (pengulun carik) (wawancara IND; IKS, Ds. Kerta Buana, 13–15 Agustus 2018). pengulun carik Gambar 3.11 (Kiri); pengulun carik. (Kanan); sisa-sisa pohon waru penahan longsor saluran air yang masih bertahan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Persawahan di proyek transmigrasi Teluk Dalam terbilang berhasil, meskipun tidak semua transmigran dapat mengolah tanahnya dan lebih memilih untuk menekuni pekerjaan di perusahaan tambang karena lebih menguntungkan (wawancara IND, Ds. Kerta Buana 12 Agustus 2018; Sampe, 31 Agustus 1986: 1–2). Oleh karena itu, Teluk Dalam menjadi kebanggaan Kepala Kanwil Transmigrasi, Soedirdja, dan berani mengundang Presiden Soeharto48 untuk berkunjung 47 Kini, air yang digunakan untuk pertanian adalah tetesan air bekas perusahaan. Pengaruhnya, padi tidak tahan terendam, menjadi cepat busuk, dan terserang penyakit. 48 Kala itu, Soeharto mengunjungi Samarinda untuk meresmikan “Jembatan Mahakam” (Sampe, 23 Agustus 1986: 1). 94 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana ke L2 pada tahun 1986 (wawancara Il, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Persawahan yang sudah mulai menampakkan hasil disambut oleh para pemilik modal untuk membuka penggilingan padi (selipan dalam istilah masyarakat setempat, berasal dari slijperijen, Bld.). Selipan kerap pula berkeliling lokasi L4 untuk menjajakan jasa penggilingan padi. Pemilik modal yang muncul di L4 adalah kalangan transmigran sendiri, yakni translok Kutai bernama Aji Asmit. Aji Asmit, pemilik selipan pertama di L4, adalah menantu Kepala Kampung Embalut (wawancara para transmigran, April dan Agustus 2018). Gambar 3.12 (Kiri); ilustrasi selipan keliling pada masa kini. (Kanan); selip produksi lama berukuran lebih kecil. (Dokumentasi Lapangan, April 2018) 95 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Bangsawan atau elite-elite lokal inilah yang kala itu menjadi kaum pemilik modal yang memiliki peran dalam mata rantai ekonomi warga trans. Transmigran juga ada yang menggiling gabah ke Embalut. Pemilik penggilingan padi di Embalut juga merupakan elite kampung tersebut, yakni Aji Don. Para elite lokal ini tidak hanya menjalin hubungan ekonomi, tetapi juga sosial, dengan warga trans. Bahkan, ada warga trans Bali yang mulai mengembangkan usaha wiraswasta atas sumbang-saran mereka (wawancara IKD; Pr, Ds. Kerta Buana, 12; 14 April 2018). Pada masa awal menghasilkan panen, para transmigran membawa gabah ke Embalut dengan dipikul. Interaksi dan hubungan sosial mereka semakin terjalin dalam perjalanan jauh ke Embalut. Untuk menempuh perjalanan, mereka biasanya pergi bersama dengan berjalan kaki sejak dini hari agar pada pagi hari dapat sampai di Embalut dan samasama berbekal nasi untuk disantap saat beristirahat di jalan. Panjangnya perjalanan membuat transmigran bisa berhenti hingga tiga kali (wawancara IKD; Km, IND, Ds. Kerta Buana, 10 April; 12–14 Agustus 2018). Hasil persawahan transmigran memunculkan pula pengumpul yang memasarkan hasil panen transmigran ke Tenggarong atau Samarinda. Pelaku jejaring distribusi yang mulai terlihat setelah kemarau tahun 1983 ini dikerjakan oleh transmigran Lombok, seperti H. Sabriadi, Munantri, kemudian Wayan Kirna dari Bali. Di antara kedua pengumpul ini, Munantri lebih dikenal dan diminati para transmigran lain (baik Lombok maupun Bali) karena berani menawar dengan harga lebih tinggi. Pengumpul ini pun memasukkan gabah ke penggilingan Aji Asmit dan memasarkannya ke 96 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Tenggarong atau Samarinda. Kreativitas lain dalam memasarkan panen juga terlihat dari kelompok trans Bali, seperti pengumpulan panen per kelompok, seperti yang dilakukan oleh Suanda. Interaksi ekonomi yang relatif cair terbentuk tidak dibatasi oleh identitas etnik dan agama (wawancara IH; IND; Km, Ds. Kerta Buana, April; 12 dan 14 Agustus 2018). Produktivitas lahan semakin meningkat setelah kemarau panjang kedua sekitar 1986–1987 (wawancara transmigran Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Kala itu, lahan usaha I dapat dibuka total dan semakin menghasilkan. Beritaberita di koran lokal pun mengabadikan keberhasilan persawahan di lokasi transmigrasi pada 1987/1988 (Manuntung, 13 Juni 1988; Wisma Berita, Minggu III April 1987: 2; Meranti, 17 April 1988). Produktivitas lahan padi lokasi transmigrasi lahan kering di Kaltim, yang empat di antaranya di wilayah Kabupaten Kutai, yakni Teluk Dalam, Sebulu, Sebangun, dan Separi (satu wilayah berada di Kabupaten Pasir, yakni Sebakung) mencapai peringkat ke-2 se-Indonesia (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Gambar 3.13 Berita surat kabar setempat tentang produktivitas padi di lahan transmigrasi. (Manuntung, 13 Juni 1988; Wisma Berita, Minggu III April 1987: 2; Meranti, 17 April 1988) 97 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Panen meningkat juga dirasakan oleh petugas zakat di L4. Kamaruddin bahkan membangun tempat penyimpanan beras hasil zakat sebesar bangunan rumahnya sendiri agar dapat menampung zakat transmigran muslim, terutama untuk Blok B di L4. Hasil zakat hasil panen mencapai puluhan ton beras menjelang tahun 1990 (wawancara Kamaruddin, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Panen massal juga menjadi indikator keberhasilan transmigran Bali. Pada 1990, Kanwil Transmigrasi pernah mengirim I Ketut Duglud, Klian Subak Pandan Sari, ke Bali untuk mempromosikan transmigrasi kepada masyarakat Bali (wawancara IKD, Ds. Kerta Buana 13 April 2018). Peningkatan hasil panen juga menginisiasi wadah peng gilingan padi dan pemasaran yang difasilitasi pemerintah melalui Koperasi Unit Desa (KUD) di setiap lokasi transmigrasi. KUD di L4 berdiri pada 1 Oktober 1981 bernama KUD Praya Eka Dharma. KUD yang diketuai oleh Wayan Suanda ini memiliki anggota 295 orang pada awal pendiriannya. KUD yang mulanya hanya melakukan kegiatan konsumsi (Kanwil Transmigrasi, 1981: 11–12) tidak mengembangkan bidang usahanya. Para petani di L4 umumnya memasarkan hasil panen kepada para pengumpul (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Kurang diminatinya KUD juga terjadi di L1. KUD Sumber Hidup di L1 merupakan KUD serbausaha yang memiliki aktivitas penggilingan padi. Surat kabar Manuntung memberitakan surat keberatanatas pendirian gudang dan penggilingan padi PT Indo Mulia kepada Departemen Koperasi. Surat protes memuat kondisi kalah saing dan ancaman terhentinya aktivitas KUD. Surat yang berujung permintaan untuk 98 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana menutup perusahaan tersebut menunjukkan bahwa petani transmigran lebih memilih perusahaan penggilingan padi milik swasta di sana (Kanwil Transmigrasi, 1981: 11; Manuntung, 26 Desember 1988: 3). Gambar 3.14 Berita yang memuat surat protes KUD di L1 (Manuntung, 1 Oktober 1988: 3) Peningkatan panen, baik di L4 maupun wilayah transmigrasi sekitar, menyemangati warga trans untuk mengoptimalkan lahannya. Kondisi tanah sudah rata dan stabil serta bisa diolah menggunakan traktor. Sejak itu, inisiatif meminta bantuan traktor mulai diajukan oleh kelompok tani. Pengajuan ini pernah dikabulkan untuk satu atau dua kelompok tani. Akan tetapi, bantuan ini kemudian memunculkan kecemburuan karena seolah-olah dikuasai oleh ketua kelompok tani (wawancara IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12–14 Agustus 2018). 99 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Persoalan lain yang timbul pada masa optimalisasi lahan adalah perebutan lahan. Persoalan biasanya muncul ketika warga trans hendak mengolah atau menanam di lahan. Gesekan lahan sempat terjadi antara warga trans dengan penduduk setempat. Kala itu, penduduk setempat yang merasa lahannya hendak diolah melakukan ancaman menggunakan parang terhadap warga trans yang menanggapi dengan lari tunggang langgang atau sempat diamankan oleh KODIM setempat. Klaim yang dikemukakan penduduk terhadap warga trans biasanya adalah “tanah bekas garapan” atau “tanah leluhur”. Oleh karena itu, warga trans menyebut para elite penduduk setempat sebagai “tuan tanah” (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; Km; IWL, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018; bdk., Siburian,49 2015: 245). Panen di wilayah transmigrasi Kabupaten Kutai mendapat perhatian dari berbagai pihak pemerintah, termasuk Presiden Soeharto atau para gubernur dari daerah asal transmigran, yang kemudian melakukan kunjungan ke daerah-daerah tersebut (Sampe, 23 Agustus 1986: 1–2). Kunjungan tersebut berpengaruh terhadap kondisi jalan ke daerah transmigrasi. Pada 1988, kondisi jalan di Teluk Dalam diberitakan telah dibesarkan dan siap dilalui oleh armada bus Damri yang dilaksanakan oleh KUD Kopta Samarinda. Trayek bus mencakup rute trayek daerah transmigrasi di Tenggarong, yakni Samarinda-Sebulu (Manuntung, 1 Agustus 1988). 49 Klaim kepemilikan tanah juga ditemukan dalam studi perebutan lahan di Kecamatan Tenggarong Seberang oleh Robert Siburian yang mengemukakan kasus serupa di Desa Kerta Buana. Dalam tulisan Siburian, klaim penduduk setempat adalah “tanah ulayat” (Siburian, 2015: 245). 100 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Akses transportasi itu menjadi salah satu faktor kerasan dan kesuksesan transmigran di daerah baru. Transportasi ini membuka akses pemasaran ke Pasar Segiri di Samarinda dan Pasar Tenggarong (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Gambar 3.15 Armada transportasi Damri yang beroperasi melewati rute Teluk Dalam sejak 1988, ketika daerah-daerah transmigrasi menghasilkan surplus beras bagi Kalimantan Timur. (Manuntung, 1 Agustus 1988) Keberhasilan panen di area transmigrasi Teluk Dalam menjadikan wilayah L4 serta L1, L2, dan L3 sebagai lahan untuk proyek percontohan Balai Latihan Transmigrasi oleh Departemen Transmigrasi, Pemukiman, dan Perambahan Hutan pada 1995 (Suara Kaltim, 8 September 1995: 11). Oleh karena itu, lahan pertanian di Teluk Dalam dipahami oleh para petugas transmigrasi sebagai lahan terluas, yang kemudian dikenal sebagai “lumbung padi” Kutai Kartanegara (Laporan JATAM, 2011: 22, bdk., Siburian, 2015: 233). 101 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Gambar 3.16 Berita koran yang memuat instruksi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman Perambahan Hutan untuk menjadikan Teluk Dalam sebagai proyek percontohan. (Suara Kaltim, 8 September 1995: 11) 2. Penataan Kehidupan Sosial-Budaya a. Kehidupan Bermasyarakat Pada awal masa bermukim, sebagaimana yang pernah disinggung sebelumnya, warga trans akan mencari lokasi tempat tinggal kerabat atau tetangganya sekampung halaman. Jalinan kekerabatan merupakan salah satu penguat warga trans untuk tetap bertahan dan tidak pulang kampung. Oleh karena itu, aktivitas berkumpul dan membentuk perkumpulan berafiliasi etnis atau agama adalah bentuk interaksi yang mula-mula dilakukan oleh mereka. Aktivitas berkumpul masyarakat L4 kerap dilakukan oleh komunitas Bali-Hindu dan muslim-Lombok. Komunitas pertama biasa mengadakan keramaian berupa joged bumbung bersama dengan menabuh bumbung (alat musik bambu) sejak Maghrib hingga Subuh. Setelah ada pengeras suara, keramaian tersebut berkumandang seantero desa. Begitu pula dengan kebiasaan komunitas kedua saat bulan Ramadhan, 102 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana yakni mengaji (tadarus) dengan pengeras suara yang tidak kenal waktu. Mulanya, kebiasaan tersebut tidak ada yang memprotes. Warga trans bersikap menerima dan sama-sama menahan diri. Akan tetapi, selanjutnya, terutama setelah banyak pendatang (pekerja tambang) yang masuk ke permukiman transmigran, kegiatan-kegiatan itu menimbulkan protes. Keramaian suara dinilai mengganggu waktu istirahat. Oleh karena itu, pada 1987/1988, Kepala Desa I Dewa Ketut Alit mengadakan urun rembuk dengan tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai kalangan, seperti Kamaruddin dari Lombok, Guru Mahmud dari Kutai (Ketua LKMD dan guru PNS), Ramli dari Kutai, dan Muhsin dari Jawa, mengenai pembatasan penggunaan pengeras suara. Urun rembuk para tokoh perwakilan etnik menunjukkan pendekatan berdasarkan etnis menjadi cara yang dinilai efektif oleh kepala desa kala itu (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Perkumpulan yang dibentuk mula-mula adalah perkumpulan keagamaan dengan pusat aktivitas di Pura Pasupati untuk umat Hindu dan Masjid Blok A (sekarang bernama Masjid Ijtihad) untuk umat Islam (wawancara transmigran, Ds. Kerta Buana). Selanjutnya, komunitas Jawa muslim membangun masjid di Blok C1, area di mana jumlah trans Jawa relatif besar di L4. Masjid ini bermula dari kelompok pengajian berdasarkan etnik dalam bentuk pengajian transmigran Jawa (wawancara SR, Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018). Interaksi kelompok dalam aktivitas keagamaan kemudian menguatkan identifikasi etnik yang diwujudkan dengan berdirinya mushala, lalu masjid, oleh kelompok transmigran Jawa. 103 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Perkumpulan lain adalah kelompok kesenian yang masih berafiliasi etnik, yang telah dibentuk secara resmi pada tahun 1986 oleh komunitas Bali-Hindu. Perkumpulan bernama Eka Praya Dharma dibentuk dalam mempersiapkan penyambutan Presiden Soeharto ke lokasi transmigrasi Teluk Dalam, tepatnya di Kantor UPT L2. Untuk Penyambutan, perkumpulan berlatih tari Pendet dasar (tari penyambutan tamu), yang dipelajari menggunakan kaset yang dibawa oleh transmigran Bali, I Ketut Duglud, yang diiringi tabuhan gamelan sumbangan Gubernur Bali. Latihan pertama ini dilakukan tanpa guru. Sedangkan, para penari adalah transmigran yang belajar bersama bermodal petunjuk dari kaset saja. Kini, perkumpulan tersebut masih ada dan berkembang, bahkan beranggotakan di luar komunitas Bali (wawancara IKD, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018). Perkumpulan yang membuka interaksi antaretnis pertemuan warga secara umum dilakukan saat gotong royong bersih desa. Hingga masa kepala desa masih dijabat oleh I Dewa Ketut Alit, bersih desa dilakukan untuk membersihkan lapangan sepak bola di Blok A, sekaligus membersihkan kuburan dan pura bersama. Akan tetapi, kegiatan bersama untuk fasilitas umum semakin berkurang setelah Dewa Alit mundur (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Kebersamaan warga trans juga berlangsung dalam aktivitas keolahragaan para pemuda desa, seperti sepak bola dan voli yang pada tahun 1980-an dilatih oleh PPL Ismadi Hanafi (wawancara IKD; IWM; IND, Ds. Kerta Buana, 10 dan 13 April; 12 Agustus 2018). Selain itu, warga trans dari berbagai kalangan juga berkumpul, dan masing-masing mengeluarkan keseniannya, seperti reog dan ogoh-ogoh 104 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana (wawancara Sd; SR; IWL, Ds. Kerta Buana, Februari dan 13–14 Agustus 2018). Dalam masa awal interaksi ini, transmigran membawa kebiasaannya masing-masing, baik tata cara berpakaian maupun melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu kebiasaan yang kerap menimbulkan “pembicaraan” adalah penggunaan pakaian dan tata cara mandi. Setidaknya, hingga tahun 1985/1986, perempuan Bali masih jarang menggunakan atasan, termasuk saat mengolah lahan. Saat mandi di sumur atau aliran air dari celah gunung, perempuan Bali tidak memakai penutup sama sekali. Sementara itu, kebiasaan perempuan Lombok saat mandi hanya menutup bagian atas dan membiarkan bagian bawah tubuhnya terbuka. Kebiasaan ini sempat menimbulkan “keresahan” terhadap kelompok trans lain yang memiliki kebiasaan berbeda, terutama Jawa dan Kutai. Untuk mengatasi “keresahan” itu, Kepala UPT membentuk kelompok wanita tani, dan melalui PPL mengkampanyekan penggunaan kain penutup dalam keseharian dan saat mandi (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Bentuk adaptasi budaya yang didorong oleh pihak di luar komunitas ini tidak lazim berlaku pada masyarakat L4. Akan tetapi, kampanye yang merupakan kreasi adaptasi budaya bagi warga trans ini cukup berhasil. b. Sosial-Keagamaan Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya, transmigran Bali-Hindu akan membangun tempat peribadatan keluarga (sanggah) secara individu setelah menem105 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti pati rumah. Dalam sekup komunitas, mereka juga akan menyegerakan pembangunan pura bersama (wawancara IKW, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018). Pada masa awal bermukim, Kanwil Transmigrasi telah memplot lokasi pura utama. Oleh karena itu, mereka segera mendirikan pura tidak lama dari waktu tiba dalam bentuk sesuai kemampuan mereka. Kanwil Transmigrasi memberi bantuan alat berat untuk meratakan tanah. Kala itu, pura yang kini dikenal dengan nama Pura Pasupati hanya berupa meja kayu berkaki empat berbahan kayu dadap. Pura Pasupati berfungsi untuk pemujaan umat Hindu kepada Tuhan dalam manifestasi sebagai pencipta (Brahma) dan pemelihara alam semesta (Wisnu) (wawancara Transmigran Bali, April dan Agustus 2018). Selanjutnya, pura dibangun secara bertahap. Urunan pertama untuk pembangunan pura dilakukan pada tahun 1982. Pada pembangunan ini, pembangunan pura hanya bersumber dari swadaya masyarakat, baik finansial maupun tenaga. Kala itu, semua masyarakat, khususnya transmigran Bali, baik dari Jembrana, Klungkung, Nusa Penida, maupun Denpasar, bergotong royong membangun. Pengurus pura juga berasal dari berbagai daerah di Bali, yakni Santika dari Singaraja, Priya dari Jembrana, Mangku Suanda (Jembrana), Sali dari Karang Asem, I Dewa Alit (Klungkung), dan I Ketut Duglud (Badung) (wawancara IWA; Pr; IKD, Ds. Kerta Buana, Februari; 12–13 April 2018). Selain pura utama, transmigran Bali juga membangun pura desa lain yang berada dalam naungan PHDI (Parisadha Hindu Dharma Indonesia) yang kala itu diketuai oleh I 106 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Dewa Ketut Alit di tingkat desa. Pura Dalam adalah tempat pemuja Tuhan dalam wujud Syiwa sebagai pelebur atau mengembalikan segala sesuatu ke asalnya, Pura Meraja Pati untuk kegiatan upacara kematian (salah satu tahap dari Ngaben diselenggarakan di sini) dibangun di tengahtengah kuburan di hilir desa, dan Pura Beji untuk memohon penyucian dan pembersihan sebelum kegiatan upacara dilakukan. Pembiayaan pembangunan pura pada awalnya difasilitasi oleh KUPT I Nyoman Ramia, yang berhubungan dengan Pemda Bali maupun pihak lain (wawancara IKW, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018). Dalam pembangunan pura-pura desa, kelompok trans Bali-Hindu berhasil menghimpun jejaring sosial etnik untuk mendapatkan bantuan. Gambar 3.17 Pura umum desa, yakni (dari kiri, kanan, dan bawah) Pura Pasupati, Pura Dalam, dan Pura Meraja Pati. (Dokumentasi Lapangan, April 2018) 107 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Warga trans Bali-Hindu yang berasal dari berbagai daerah ternyata memiliki tradisi beragam dalam menjalankan ritual keagamaan. Tradisi yang beragam ini cenderung dipahami (oleh tokoh-tokoh tua yang telah mewarisi tradisi berabad-abad dari leluhur di kampung halaman) bisa mendatangkan karma buruk bagi kehidupan mereka pada masa kini ataupun masa yang akan datang. Perbedaan ini dulu cukup sederhana, misalnya dalam membuat canang atau sesembahan di pura yang biasanya terlihat dari besaran, posisi, dan penataan ornamen upakara (perlengkapan sesaji). Perbedaan ini akan memunculkan gesekan ketika mereka melakukan sembahyang bersama di pura umum. Kelompok yang memiliki jumlah umat lebih besar dan menyajikan sesembahan seragam akan membuat kelompok dengan jumlah umat yang lebih sedikit “mundur” ketika berkumpul di pura utama desa (wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April 2018). Dalam menghadapi gesekan ini, Kepala Desa sekaligus Ketua PHDI pada tahun 1980-an, I Dewa Ketut Alit, membuat kesepakatan umum dalam upakara. Meskipun kesepakatan itu untuk peribadatan bersama cenderung dipatuhi, namun tradisi pembuatan ornamen upakara dan ritual khas tetap bertahan dalam kelompok-kelompok kecil yang dipandu oleh mangku kelompoknya masing-masing (wawancara informan, Ds. Kerta Buana, April 2018). Perbedaan tersebut terfragmentasi secara kasat dengan dibentuknya pura-pura khusus berdasarkan asal daerah transmi gran Bali. Setiap pura khusus memiliki tokoh (mangku) sendiri yang berperan sebagai pemimpin umat. Pembangunan pura-pura kelompok menunjukkan bentuk 108 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana identifikasi kelompok-kelompok kecil dalam internal transmigran Bali-Hindu sendiri. Selanjutnya, fragmentasi ini menjadi tajam dalam kontes pemilihan kepala desa melalui voting setelah I Dewa Ketut Alit turun pada tahun 1998, bahkan pemilihan terakhir sebelum penelitian ini dilakukan. Gambar 3. 18 Pura khusus dibangun berdasarkan asal daerah, yang antara lain dibangun oleh komunitas Bali dari Jembrana (kiri-atas), Nusa Penida (kanan atas), dan Badung (bawah). (Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018). c. Pendidikan Sejak L4 didatangi para transmigran, Kanwil Transmigrasi telah mempersiapkan lokasi sekolah dasar. Kanwil Transmigrasi telah mempersiapkan 2 bangunan dengan 6 109 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti kelas untuk siswa-siswi SD Inpres yang kini menjadi SDN 027 (wawancara transmigran Ds. Kerta Buana; Kanwil Transmigrasi, 1981: 17). Pada masa awal bermukim, SD Inpres memiliki 7 orang guru tetap dan 2 orang guru honor (Kanwil Transmigrasi, 1981: 17–18). Akan tetapi, sejumlah guru-guru tersebut kemudian pindah tugas, dan sering kali warga trans setempat yang tidak memiliki pendidikan khusus dijadikan pengajar (wawancara SR, Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018). Keterbatasan lainnya adalah kurangnya ruang kelas karena SD Inpres ini menaungi seluruh anak usia sekolah dasar dari transmigran L4. Pada tahun 1981, siswanya sudah mencapai 373 orang (Kanwil Transmigrasi, 1981: 17). Ketidakseimbangan antara fasilitas ruang dan jumlah siswa sempat disiasati dengan berbagai cara. Pengelola sekolah sempat memanfaatkan gedung kosong di ujung desa untuk menempatkan sebagian muridnya. Usaha ini tidak bertahan lama karena kondisi bangunan yang tidak baik. Pengelola sekolah pernah juga membagi waktu masuk sekolah menjadi 2 shift. Berbagai strategi diupayakan pengelola sekolah bersama KUPT dan perangkat desa kala itu (wawancara SR, Ds. Kerta Buana 13 Agustus 2018). Kekurangan lokal belajar ini juga mendorong berdirinya Madrasah Ibtidaiyah Nadhatul Wathan (NW) di area Blok B yang diinisiasi warga trans Lombok yang sebagian besar adalah jemaat NW, selain karena mereka pun menginginkan sekolah yang berbasis agama Islam (wawancara Km dan SM, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018). 110 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Pembentukan sekolah berbasis agama Islam ini dibangun atas kerja sama antara inisiator, yakni Kamararuddin, seorang tokoh dari Lombok, dengan Kepala Desa I Dewa Ketut Alit. Pengajuan Kamaruddin ditanggapi positif oleh Kepala Desa dalam bentuk surat izin pemanfaatan lahan. Selanjutnya, hubungan yang dibangun antaretnik ini diikuti oleh kerja sama yang baik di kelompok Lombok, yang telah menghasilkan Madrasah Ibtidaiyah Nahdhatul Wathan (MI NW). Bangunan berhasil berdiri pada tahun 1986. Sebagaimana perencanaan yang disepakati secara musyawarah, bangunan juga dibangun oleh warga Lombok dengan bergotong royong (wawancara Km dan SM, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018). Keberadaan MI NW di sisi lain memperkuat identifikasi Bali di lembaga pendidikan SD Inpres. Seperti yang dapat dilihat pada masa kegiatan penelitian, unsur dekoratif Bali berupa gapura berukir khas Bali melekat pada bangunan fisik sekolah. Selain itu, penamaan gugus depan SD pun menggunakan nama tokoh pahlawan nasional dari Bali, yakni I Gusti Ngurah Rai. Gambar 3. 19 SD Inpres yang telah dirintis sejak transmigran bermukim di L4. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 111 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti d. Administrasi Desa Pada masa bermukim hingga dibentuknya desa definitif, lokasi transmigrasi berada di bawah tanggung jawab Kepala UPT. KUPT bertanggung jawab dalam administrasi permukiman transmigrasi hingga aparatur dapat menyatu dengan administrasi di tingkat daerah, yang mungkin baru dapat diambil setelah 5 tahun pendirian lokasi transmigrasi (wawancara Il dan Sg, Disnakertrans Kaltim, 9 April 2018; Clauss et al., 1988: 83). KUPT bekerja di Balai Unit yang dilengkapi dengan gudang logistik. KUPT juga bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan sekolah dan aktivitas kelembagaan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penyuluh lapangan pertanian dan peternakan, penyuluh KB, kegiatan PKK, kursus tani, kursus perkoperasian, serta penyelenggaraan puskesmas (wawancara Sd; SR, Ds, Kerta Buana, Februari; 13 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981: 19–20).Pada masa kepemimpinan KUPT, belum ada sistem pemerintahan desa (wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], 10 April 2018). Sistem pemerintahan desa mulai dirintis pada masa pemerintahan desa persiapan yang dipimpin oleh kepala desa persiapan, I Dewa Ketut Alit, sejak tahun 1989. Pemerintahan desa definitif dibentuk pada tahun 1992, yang ditandai dengan penamaan L4 menjadi Desa Kerta Buana. Nama Kerta Buana ditetapkan setelah serah terima dari transmigrasi menjadi desa definitif, oleh kepala desa persiapan (wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta Buana, 10 April 2018). 112 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Penamaan diputuskan oleh kepala desa dalam rapat yang melibatkan wakil transmigran, khususnya tokoh-tokoh etnik. Nama Kerta Buana menurut informasi yang dikumpulkan JATAM (2011) adalah sebagai berikut: “…Agar menjadi tanah harapan kami yang aman, damai, dan sentosa,” tutur I Dewa Ketut Alit, ketua rombongan transmi gran Bali gelombang pertama dan kepala desa pertama di Kerta Buana (Laporan JATAM, 2011). Pemimpin desa definitif pertama bagi Desa Kerta Buana adalah I Dewa Ketut Alit yang memimpin desa sejak 1992 hingga 1997. Pengangkatan I Dewa Ketut Alit tanpa melalui pemilihan langsung. Figur yang dituakan (sesepuh desa) sudah melekat padanya sejak awal bermukim karena ia memang telah berpengalaman sebagai kepala desa saat di kampung halaman. Figur ketokohan diperkuat oleh latar belakang pekerjaannya dulu sebagai TNI dan kelas sosialnya sebagai kesatria yang berada di atas transmigran Bali lain yang kebanyakan tergolong dalam kasta Sudra. Penetapan kepala desa dari kelompok Bali tampaknya tidak bisa dipisahkan dari kehadiran KUPT yang juga berasal dari Bali. Naiknya I Dewa Ketut Alit ditanggapi beragam oleh kelompok di luar etnik Bali; ada yang menerima, dan ada yang sebenarnya menginginkan bagian dari kelompok etniknya yang muncul. Bagi kalangan yang menerima, mereka berpendapat bahwa figur I Dewa Ketut Alit cukup netral dan dapat mengayomi semua etnik. Sedangkan, yang tidak menerima beralasan bahwa etnik Bali telah mendominasi citra kampung sehingga pihak luar (pemerintah kabupaten) pun melabelkan 113 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti kampung ini sebagai kampung Bali sehingga seolah-olah meniadakan kelompok etnik lain. Berikut kutipan wawancara dua sudut pandang transmigran bukan Bali terhadap kepemimpinan Bali (dalam hal ini, I Dewa Ketut Alit) (wawancara transmigran bukan Bali, Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Gambar 3.20 I Dewa Ketut Alit, kepala desa pertama di Desa Kerta Buana. “…Waktu zamannya Pak Dewa Alit itu aja yang terasa itu (kebersamaan dan gotong royong) macam-macam itu, pembersihan lapangan, sepak bola itu di sana di Blok A. Di tempattempat yang vital itu, seperti parit, air itu kan, pokoknya yang bersinggungan dengan publik, terutama itu untuk fasilitas umum, kita ajak itu bareng-bareng….” (Koleksi Keluarga) “…Di Kerta Buana ini, disebutlah sebagai bagian dari kabupaten maupun provinsi itu, Kampung Bali, itu kan ndak ada. Ndak ada itu. Ndak ada orang Lomboknya, ndak ada orang Kutainya, ndak ada orang Banjarnya. Kampung Bali gitu. Akhirnya, saya berpikir, saya mau pada saat itu untuk membuka tabir ini, supaya jangan hanya Bali yang kelihatan gitu….” Terlepas dari figur kepemimpinan desa, pembentukan desa diikuti oleh pembentukan dusun dan penataan struktur organisasi RT, RW, dan LKMD. Struktur organisasi desa dibentuk, sebagaimana pola administrasi desa lain di Indonesia, yang secara hukum diatur dalam Undang-Undang 114 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (Clauss et al., 1988: 83; wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta Buana, 10 April 2018). Gambar 3.21 Plang nama Posyandu “Rinjani Indah” mengidentifikasi keberadaan transmigran asal Lombok. (Dokumentasi Lapangan, April 2018) Penamaan dusun, PKK, ataupun posyandu di Desa Kerta Buana dibuat saat pembentukan struktur organisasi desa. Penamaannya mengakomodasi berbagai asal daerah transmigran, seperti penamaan Dusun 1 Rapak Rejo dan Dusun 2 Rinjani Indah (wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta Buana, 10 April 2018). 115 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Uraian Bab III menunjukkan pada ‘awal proses bermukim’, baik dalam menempati rumah maupun memenuhi kebutuhan dasar, dapat dilihat beberapa aspek integrasi sosial yang muncul di L4. Aspek yang muncul pertama kali adalah ‘identifikasi’ berdasarkan kesatuan etnik. ‘Identifikasi’ ini cukup stabil (ajek dan bertahan ) mendasari berbagai perilaku warga trans seperti yang nampak pada aspek integrasi sosial lain. Akan tetapi dalam peristiwa atau situasi tertentu, ‘identifikasi’ etnik dapat lebur dan cair sesuai kepentingan individu transmigran membentuk ‘identifikasi’ lain. Pada masa ‘bertahan hidup’ aspek integrasi sosial yang paling menonjol adalah ‘positioning’ berupa sikap menerima atas keadaan dan adaptasi lingkungan. Sementara pada masa ‘penataan kehidupan sosial budaya’ aspek yang paling menonjol adalah ‘interaksi’ terutama pembentukan aktivitas sosial berdasarkan kelompok etnik dan agama serta pemanfaatan jejaring sosial dalam membangun berbagai sarana keagamaan dan pendidikan. Secara umum, warga transmigran L4 menunjukkan upaya untuk menciptakan kondisi tenteram pada periode bermukim dan bertahan hidup. Berbagai hal pemicu konflik seperti gesekan lahan ataupun pemunculan simbol atau nama-nama etnik tertentu teredam oleh sikap mundur dan menerima dari kelompok-kelompok yang menganggap diri pendatang, minoritas, ataupun tidak punya kuasa. Potensi konflik tersebut di kemudian hari menguat dan menunjukkan indikasi yang berkebalikan dari tujuan penciptaan integrasi sosial, salah satu tujuan yang digaungkan pemerintah pelaksana transmigran. Penguatan potensi konflik akan tergambar jelas pada uraian periode selanjutnya di Bab IV. 116 Bab IV Invasi Open Pit Mining dan Titik Balik Kejayaan Pertanian di Kerta Buana (1990–2000-an) (Sri Murlianti) Pada bab sebelumnya, telah digambarkan masa-masa 1980–1990an Desa Kerta Buana secara detail dalam memasuki masa menuju puncak produktivitas pertanian. Para transmigran telah melampaui masa-masa sulit yang kompleks. Mulai dari merintis lahan, mengenali, dan mengendalikan hama-hama lokal; hingga mengelola sumber perairan yang sama sekali berbeda dengan topografi perairan di Bali. Tahun-tahun ini bisa dikatakan, para transmigran Bali telah terintegrasi dengan para transmigran Etnis Lombok dan para tranlokal. Beberapa adaptasi kultural berhasil dilakukan, terutama yang berkaitan dengan pengendalian sistem pengairan dan penanganan hama-hama. Bab ini akan membahas periode tahun 1990–2000-an sebagai periode puncak kejayaan produksi beras sekaligus titik balik rusaknya ruang hidup dan kemunduran pertanian di Kerta Buana. Periode ini bisa dipetakan ke dalam tiga periode menurut perubahan ruang hidup dan dukungan lingkungan terhadap usaha pertanian padi (Gambar 117 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti 4.1). Ketiga periode ini menyumbangkan pola-pola integrasi sosial yang berbeda, baik dari sisi adaptasi budaya, positioning, interaksi sosial, maupun identifikasi mereka sebagai warga transmigran. 1990-1998: 1998-2003 2003 ke atas Kuasa ‐ Underground mining ‐ Kelas buruh kontrak non-skill ‐ Banyak kecelakaan kerja dirahasiakan ‐ Perempuan penopang usaha tani ‐ Masa akhir tambang dalam dan awal open pit mining ‐ Tragedi lahan II/MKT ‐ Ekplorasi lahan MKT menjadi lembah ‐ Degradasi dan pembebasan sawah Blok B ‐ Kelas-kelas sosial baru ‐ Masa open pit mining ‐ Trik pemindahan desa yang gagal ‐ Jalan budaya pembebesan lahan besar-besaran ‐ Pekerja professional dan reorientasi generasi II transmigran Hubungan‐Hubungan Sosial ‐ Perasaan sebagai Pendatang ‐ Konflik laten fragmentasi ritual Hindu ‐ Konflik laten eksternal: lahan, benturan budaya ‐ Pengaruh Dewa Alit memudar, muncul calo tanah ‐ Fragemntasi ritual Hindu pura-pura berdasar desa asal ‐ Konflik manifes transmigran dengan trans lokal dan perusahaan (kompromi lahan II) ‐ Sikap Bali versus Lombok terhadap ganti rugi lahan ‐ Konflik manifes ‐ Elit desa sebagai perantara dan penengah hubungan masyarakatperusahaan ‐ PPL bertambah peran sebagai penengah konflik ‐ Konflik-konflik manifes masyarakat perusahaan Perkembangan Pertanian ‐ Subak ala Kerta Buana ‐ Adopsi budaya lokal (Hama dan bakar hutan) ‐ Ikatan dengan tanah (Dewi Sri) ‐ PPL penggerak pertanian dan aktivitas sosial ‐ Puncak surplus panen ‐ Membeli murah tanah ‐ Irigasi mulai tidak stabil ‐ Sawah tadah hujan sepenuhnya ‐ Glebek dan rumah zakat ‐ Lahan pertanian menyempit ‐ Penumbuhan bisnis penggilingan padi ‐ Dampak limbah: banjir, hama, dan penyakit baru ‐ RPU di L2/Desa Bangun Rejo ‐ Produktivitas padi turun drastis Gambar 4.1 Di bawah tahun 1998-2003: Kuasa Pertambangan (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 118 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana A. Underground Mining dan Masa Puncak Kejayaan Produksi Padi pada 1990–1998 Tahun 1990–1997 merupakan masa-masa menuju puncak kejayaan pertanian di Kerta Buana. Hambatan-hambatan alam dan kultural sudah teratasi. Setiap hektar sawah menghasilkan lebih dari 5 ton per hektar setiap panen. Pak Sd, penyuluh BKKBN asal Klaten, Jateng, yang datang pada tahun 1987, mengingat dengan baik situasi di Desa Kerta Buana dan sekitarnya. Hingga tahun 1997/1998, dari kilometer 10 jalan masuk menuju Desa Kerta Buana sampai Kecamatan Sebulu didominasi oleh hamparan sawah hijau di sebelah kanan kiri jalan. Pemandangan ini perlahan-lahan mulai berubah ketika tahun 1998 ada tambang terbuka diam-diam, walaupun izin resmi operasi tambang terbuka baru dimulai pada tahun 2003. Situasi internal transmigran Bali Ikatan dengan tanah (Dewi Sri) Karisma Dewa Alit kuat Konflik laten internal fragmentasi ritual Hindu Hubungan dengan perusahaan tambang (underground mining) Kelas buruh kontrak non-skill Banyak kecelakaan kerja dirahasiakan Perempuan penopang usaha tani Peran pemerintah (PPL) PPL penggerak pertanian dan aktivitas sosial Bantuan pupuk dan obat-obatan Hubungan dengan trans lokal dan trans Lombok Adopsi budaya lokal (hama dan bakar hutan) Membeli murah tanah trans lokal Konflik laten: lahan dan benturan budaya Tabel 4.1 Integrasi sosial transmigran Bali tahun 1990–1997 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 119 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Situasi integrasi sosial transmigran Bali di Kerta Buana secara singkat terlihat pada tabel tersebut. Masa ini masih ditandai dengan kuatnya pengaruh dari tokoh Dewa Alit, mantan kepala desa perdana. Filosofi orang Bali tentang ikatan dengan tanah yang cukup kuat diaplikasikan dalam gerak hidup sehari-hari transmigran Bali. Kepercayaan tanah sebagai Dewi Sri melandasi kerja keras mereka mengembangkan pertanian. Subak ala Kerta Buana telah berhasil menyangkokkan budaya subak Bali ke alam Kerta Buana yang sama sekali berbeda. Bahkan, warga trans lokal dan transmigran asal Lombok juga menirukan cara-cara transmigran Bali dalam mengelola sawah. 1. Dukungan Underground Mining terhadap Pertanian Eksplorasi tambang di sekitar Kerta Buana dimulai beriringan dengan kedatangan para transmigran. Desas-desus bahwa wilayah seputar L4, termasuk Kerta Buana, adalah wilayah tambang sudah beredar di antara sesama transmigran sejak awal kedatangan mereka. Pak I Wayan Try, salah satu bagian dari rombongan perdana transmigran, mendengar desas-desus itu sejak mereka dikumpulkan di lapangan untuk pembagian lokasi pemukiman. Seingat Pak Ty, seorang petugas yang ikut mengurusi pembagian lokasi pemukiman bernama Sianipar, pernah mengatakan sesuatu kepada beberapa orang transmigran yang berkerumun menunggu pembagian pemukiman. “Bapak ingat di sini ya, kepala proyek dulu orang Batak, namanya Sianipar siapa gitu, ndak ngerti. Dulu, dia tu ngomong pada waktu itu di masjid. Di balai desa, bahwa 120 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana penempatan transmigrasi ini adalah di daerah tambang. Pak Sianipar itu sudah ngomong. Karena ini batu bara, mereka tahu ada batu bara itu sudah sejak zaman dulu, mungkin ndak ngerti saya. Jadi, Pak Sianipar ngomong, penempatan transmigrasi ada di daerah tambang. Suruh nyari tanah yang sebanyak-banyaknya, itu disarankan oleh Pak Sianipar. Ndak ngerti ini, tambang ini apa, ndak ngerti. Dia dulu mengatakan sini ini wilayah tambang, cari tanah sebanyak-banyaknya! Tapi, ya namanya kita ini dulu ya nggak ngerti tambang itu apa sih, dengar omongan gitu ya lewat-lewat saja. Kita dulu niatnya kan ke sini cari tanah, jadi yang dipikirkan ya bagaimana bertani menggarap tanah,” ujar I Wayan Try. Izin tambang dikuasai oleh PT Kitadin (investor dari Thailand) dan mulai beroperasi di L4 tahun 1982. Industri tambang perdana di Tenggarong Seberang ini menggunakan sistem tambang bawah tanah (underground mining). Penduduk lokal biasa menyebutnya “tamda” atau tambang dalam.50 Ada 6 “tamda” di Embalut (sebelah Kerta Buana). Hingga tahun 2006, masih bisa dilihat dari pintu masuk lokasi pertambangan PT Kitadin lama.51 50 Menurut I Wayan Try, mulut terowongan mendekati balai desa (pakai centre line), dengan posisi kemiringan kurang lebih 20o, ada juga yang horizontal. I Wayan Try sering mendengarkan pembicaraan para staf ketika mereka sedang dalam sebuah pertemuan. Dari sini, ia mendapat informasi bahwa wilayah Kerta Buana sudah terkotak-kotak oleh konsensi perusahaan tambang. Sepanjang yang ia pernah dengar, wilayah Kerta Buana terbelah menjadi dua wilayah konsensi batu bara. Mulai dari wilayah Loa Kulu hingga ujung telah terkotak-kotak oleh konsensi PT Kitadin, PT MSJ, Fajar Bumi Sakti, dsb. 51 Kini, semua terowongan telah tertutup. Satu-satunya artefak yang masih bisa ditemui adalah sebuah monumen bertuliskan PT Kitadin, yang berdiri kokoh di sebelah kiri jalan menuju Kerta Buana dari arah Samarinda. Sebelumnya, pemilik saham terbesar PT Kitadin adalah Indocoal. Pada 1999, mayoritas saham mereka dijual kepada Group Perusahaan Banpu Thailand. Saat ini, Banpu yang mengelola Kitadin. 121 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Gambar 4.2 Monumen eksplorasi underground mining PT Kitadin di pinggir Jalan Poros L. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Tambang dalam tidak membawa dampak yang signifikan terhadap kualitas tanah pertanian. I Wayan Try mengatakan bahwa walaupun ada terowongan di dalam dan diperkirakan jauhnya mencapai sekitar Balai Desa Kerta Buana, namun tanaman tetap subur. Ia mengingat dengan baik, karena memang bidang tugasnya membuat terowongan. Pernah menurutnya, suatu ketika, ia melihat dengan memakai centre line, dengan kemiringan sekitar 28o, mulut terowongan mendekati balai desa. Ida Bagus MY tidak melihat ada penurunan pertanian yang cukup berarti ketika tambang dalam beroperasi. Banyak penduduk Kerta Buana dan sekitarnya terserap menjadi buruh tambang non-skill, namun mereka tidak meninggalkan usaha pertanian. Eksodus penduduk Kerta Buana dan sekitarnya, 122 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana terutama kaum laki-laki, menjadi buruh tambang. Bapak-bapak yang bekerja di tambang52 itu menurutnya masih bisa membagi waktu untuk tetap menggarap sawah mereka di sela-sela bekerja sebagai buruh tambang. Ladang pertanian tetap digarap oleh para istri mereka. Mereka yang bekerja di tambang dalam masih bisa mengerjakan sawah mereka pada hari libur atau sepulang kerja. Jam kerja sebagai tenaga kontrak menurut I Wayan Try tidak sepanjang dan seketat tambang terbuka (open pit mining) seperti sekarang. Jam kerja pada pukul 08.00–15.00 memungkinkan para lelaki buruh itu sempat mengerjakan lahan mereka sebelum dan sepulang kerja. “Dalam jangka 1 tahun, menanam padi diserang tikus. Menanam singkong dan ubi rambat, tapi diserang babi. Pada tahun 1981 memutuskan kerja di tambang kerja tambang dalam Kitadin. Pemerintah memberi jatah 2 tahun tidak berhasil, ditambah setengah tahun tidak berhasil. 52 Dalam jangka waktu 1 tahun, para transmigran mengalami banyak hambatan dalam menghidupkan pertanian di Kerta Buana. Beragam jenis tanaman dicoba dan gagal; padi diserang tikus, sedangkan singkong dan ubi rambat diserang babi. Selama 2 tahun, pemerintah memberi bantuan bahan pokok, namun para petani belum memiliki produktivitas yang baik. Bantuan diperpanjang selama setengah tahun, namun juga belum menunjukkan gejala para transmigran sudah bisa hidup mandiri di lokasi baru. Banyak dari mereka mulai putus asa dan memutuskan kembali ke daerah asal. Sebagian yang lain memilih melirik pekerjaan lain menjadi buruh pemikul kayu gelondongan, bahkan ke luar Kerta Buana untuk menjadi buruh bangunan di sekitar Tenggarong dan Samarinda. Banyak transmigran putus asa karena semua usaha belum membuahkan hasil yang berarti pada tahun-tahun perdana mereka menggarap lahan. Tak sedikit pula para transmigran yang kemudian memutuskan menjadi pekerja tambang dalam. Sejak tahun 1981, banyak transmigran memutuskan bekerja di tambang dalam Kitadin. Tak sedikit pula para transmigran beralih menjadi buruh karena ingin mendapatkan ongkos kembali ke daerah asal. Bekerja di tambang dalam tampaknya merupakan satu strategi bagi para transmigran laki-laki yang memutuskan menjadi buruh; tidak meninggalkan lahan mereka sama sekali. Namun, seiring berjalannya waktu, lebih banyak transmigran yang memilih bertahan di Kerta Buana. Beberapa di antaranya karena telah mengalami kemajuan ekonomi lantaran memperoleh penghasilan dari luar pertanian. Bagi mereka yang menjadi buruh lepas tambang dalam, besaran gaji mereka dirasa lumayan untuk menopang kehidupan sehari-hari, ketika pertanian mereka masih sangat tidak bisa diharapkan. 123 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Tujuannya adalah mencari modal untuk dibawa pulang. Di sini, karena tidak ada hasil, untuk biaya pulang, banyak orang yang memiliki pemikiran seperti Bapak. Banyak yang pulang. Orang Bali ada banyak yang pulang karena nggak tahan. Lama-lama, orang tambang memberikan gaji pintar juga, gaji pertama hanya seribu, terus seribu lima ratus, terus ditambah, terus akhirnya kecantol di tambang dalam sampai 2005. Mungkin 20-an tahun, lalu memutuskan keluar dari Kitadin karena sudah tua,” ungkap I Wayan Try. Minimnya keterampilan para buruh ini membuat mereka ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan non-skill, namun berisiko cukup tinggi. I Wayan Try mengemban tugas di bagian peledakan, dengan pengaturan tata cara peledakan yang sangat ketat. Salah satu yang diingatnya adalah peraturan UU (menyebut nomor dan tahun) yang memberi sanksi penjara sekitar 6–7 tahun ketika peledakan sampai memakan korban jiwa. Dari besaran gaji yang mula-mula hanya Rp1.000,00 per bulan pada tahun 1981, terus naik menjadi Rp1.500,00, dan terus merangkak naik membuat para buruh kerasan. Pada tahun 1985, I Wayan Try diangkat sebagai staf, yang bertugas mengawasi para pekerja kontrak. Pada tahun 2005, I Wayan Try memutuskan pensiun karena merasa sudah tua, dengan meninggalkan gaji Rp6.000.000,00. Jumlah ini sangat besar menurutnya pada masa itu, karena gaji PNS saat itu belum mencapai Rp1.000.000,00. 124 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 4.3 Ida Bagus MY, di sawah yang berbatasan langsung dengan eksplorasi tambang Kitadin. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Ida Bagus MY, generasi kedua transmigran yang datang ketika masih 6 tahun, juga memberikan kesaksian yang sama. Ia kini telah menjadi guru PNS di SD N 011 Tenggarong Seberang (Kerta Buana). Ia mengingat persis, pada masa kecilnya, hampir semua dari bapak-bapak di Kerta Buana bekerja sebagai buruh kontrak tambang. Sebagian besar suplai tenaga non-skill diisi oleh tenaga kerja dari para transmigran Kerta Buana dan sekitarnya saat tambang dalam dibuka. I Wayan Try menjadi buruh kontrak tambang dalam tanpa persyaratan yang ketat, hanya dengan menyerahkan fotokopi KTP, ia diterima sebagai buruh di bagian peledakan. Sebagian besar buruh dari kalangan transmigran bekerja sebagai tenaga non-skill. I Wayan Try yang hampir 2 tahun bekerja di tambang dalam PT Kitadin, bahkan sudah paham bahwa hampir seluruh 125 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti wilayah desa Kerta Buana ini sudah menjadi kaveling-kavelingan perusahaan tambang.53 Para petani laki-laki mulai beralih menjadi buruh “tamda”, lalu menjadi tenaga kerja kontrak. Mereka mengisi posisi-posisi non-skill sebagai satpam, bekerja di unit peledakan dinamit, atau penggali tanah. Tidak ada syarat khusus mereka untuk menjadi buruh “tamda”. Cukup dengan mengumpulkan KTP dan surat lamaran, siapa pun bisa menjadi karyawan kontrak di “tamda” PT Kitadin. “Tamda” mengubah struktur sosial masyarakat Kerta Buana, yang semula 100% petani, menjadi terbelah antara petani dan buruh tambang. Sejak saat inilah, mulai muncul kosakata “kerja” dan “tidak kerja” bagi penduduk Kerta Buana. Sebutan “kerja” adalah predikat bagi penduduk yang bekerja sebagai buruh kontrak tambang. Sementara itu, sebagian besar penduduk laki-laki mulai menjadi buruh kontrak di tambang, ibu-ibu dan anak-anak merawat sawah-sawah yang sudah tercetak di sekitar pemukiman. Para lelaki masih sempat mengurusi sawah mereka sepulang kerja atau pada hari libur kerja. Penghasilan sebagai buruh tambang menjadi subsidi silang bagi kebutuhan hidup dan kelancaran usaha tani yang saat itu masih belum terlalu bisa diharapkan. Pada tahun 1983–1984, sawah-sawah di dekat wilayah pemukiman sudah tercetak. Sebagian besar penduduk laki-laki bekerja sebagai buruh kontrak tambang dengan sistem 3 sift. Sisa waktu di luar kerja sebagai buruh masih bisa digunakan untuk bertani. 53 Menurutnya, dari Loa Kulu sampai entah ke mana, sudah jelas kotak-kotak kavelingnya; mulai dari Fajar Bumi Sakti, Loa Kulu, termasuk Kitadin, PT MSJ; namun dampak terhadap struktur sosial sangat masif. 126 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sekitar 1995-an hingga tahun 2003 adalah periode kejayaan pertanian padi di seluruh wilayah L, tak terkecuali di L4 Kerta Buana. Puncak panen raya di Kerta Buana terjadi pada tahun 2002–2004. Beberapa informan bersaksi, justru bersamaan dengan operasi tambang dalam ini, produktivitas pertanian beras merangkak naik. Rata-rata 1 hektar sawah menghasilkan 8–10 ton gabah. Sisi tergelap dari masa “tamda” ini adalah banyaknya korban tewas dari kalangan para buruh kontrak. Kecelakaan sering terjadi akibat para buruh yang mayoritas tidak bisa membaca atau mengenali simbol-simbol di dalam gua tambang. Tak sedikit dari para karyawan yang salah mengenali petunjuk tanda-tanda yang dipasang oleh pihak perusahaan. Konon, banyak korban tewas akibat para buruh, terutama yang buta huruf, tidak bisa membaca papan-papan petunjuk keamanan yang dipasang di sudut-sudut tambang. Namun, tidak dipungkiri juga, “tamda” ini menyokong kehidupan rakyat Kerta Buana yang saat itu masih memulai hidup di tanah baru. Tambang dalam tutup operasi pada tahun 2005, pascakematian seorang pekerja yang tercium media dan menjadi berita besar-besaran. Menurut I Wayan Try, sebenarnya ada banyak sekali kecelakaan kerja yang terjadi di dalam terowongan. Mulai dari kecelakaan kecil sampai yang menelan korban jiwa. Namun, sejauh itu masih terus ditutup-tutupi oleh pihak perusahaan. Barulah pada tahun 2005, seorang buruh asal Trenggalek, Jawa Timur, bernama Suharto, meninggal di dalam terowongan, dengan posisi kepala terjepit besi (kereta besi). Menurut I Wayan Try, kecelakaan itu terjadi karena lemah dan lambatnya pengawasan di dalam. Sebagian besar karyawan adalah tenaga non-skill yang tidak mengerti bahasa Inggris. Ada 127 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti banyak kecelakaan kerja di dalam terowongan, di antaranya karena para buruh tidak memahami bahasa Inggris dan tidak bisa membaca simbol-simbol. 2. Munculnya Kelas-Kelas Pebisnis Penggilingan Padi dan Penjaja Beras ke Luar Kerta Buana Pada tahun 1990-an, mulai bermunculan pebisnis penggilingan padi di sekitar Tenggarong Seberang. I Nyoman Ry adalah orang Bali pertama yang memiliki mesin penggilingan padi. Sebagai Kepala Unit Dinas Transmigrasi yang khusus memangku lokasi pemukiman transmigrasi dari L1 hingga L4, ia sangat cepat menangkap peluang bisnis ini. I Nyoman Ry adalah orang pertama yang memiliki mesin penggiling padi di Kecamatan Tenggarong Seberang, bahkan ia sempat menambah mesin penggilingnya menjadi 3 buah. Menyusul Pak Ry, beberapa pebisnis penggilingan padi lain mulai bermunculan. Bisnis penggilingan padi milik Pak Ry diurus oleh I Made Sky, keponakannya yang ia datangkan dari Bali ketika masih kelas 2 SMP. I Made Sky melanjutkan sekolah di L2 sambil mengelola bisnis penggilingan padi milik I Nyoman Ry. Saat itu, ia juga mendapatkan satu paket jatah lahan layaknya transmigran yang telah berkeluarga, yaitu lahan pekarangan dan rumah, lahan I dan lahan II. Ketika itu, segala sesuatunya masih mudah menurutnya. Segala sesuatunya diurus oleh pamannya, yang saat itu adalah Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi Kecamatan Tenggarong Seberang. 128 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 4.4 I Made Sky, salah satu pebisnis penggilingan padi yang masih bertahan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Di L2, bisnis penggilingan padi semakin menjamur. Usaha milik I Made Sky pun semakin sulit untuk bertahan. Dua mesin penggilingan rusak, satu-satunya yang masih bisa digunakan kemudian dibawa oleh I Made Sky ke Kerta Buana. Di Kerta Buana, ia menempati pekarangan I Nyoman Ry. Di Kerta Buana, saat itu telah muncul beberapa pebisnis serupa. Yang masih kuat dalam ingatan para informan adalah Pak Ilham, warga trans lokal yang mendapatkan banyak ganti rugi tanah dari klaim-klaim lahan eks praktik lahan berpindah. Saingan Pak Sky yang lain adalah Pak Moeis, warga Bugis pendatang yang berdagang di Jalan Poros Kerta Buana. 129 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Di Kerta Buana, Pak Sky mencoba membangun bisnis lain agar tidak terlalu bergantung pada pamannya. Tidak lagi menunggu para petani datang menggilingkan gabah untuk dikonsumsi atau dijual ke tengkulak. Pak Sky mulai mencoba peruntungan mengumpulkan gabah para petani dan menjajakan beras ke Samarinda. Tanpa modal sama sekali, ia mengumpulkan gabah para petani dan membayar mereka setelah mendapatkan bayaran dari Samarinda. Gambar 4.5 Rumah penggilingan padi yang lama, posisi di belakang warung Pak Sky, di samping rumah yang ditempati saat ini. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Dari Samarinda, I Made Sky membawa beberapa dagangan dari Samarinda, seperti garam, gula, sabun, dan lain-lain. Lagilagi tanpa modal, ia membayar dagangan dari Samarinda itu setelah dagangan-dagangan tersebut laku di Kerta Buana. Bisnis tanpa modal ini ia lakoni selama bertahun-tahun. Hidup terasa amat berat menurutnya, karena bisnis tanpa modal, dan sarana transportasi masih menyewa. 130 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 4.6 Kios Pak Sky yang lebih baru. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Tidak sia-sia, Pak Sky sedikit demi sedikit bisa membangun asetnya sendiri. Dari keuletannya, ia mendapatkan kepercayaan dari seorang juragan di Samarinda. Ia memperoleh pinjaman modal tanpa bunga untuk membeli mesin penggiling padi yang baru. Pinjaman itu ia kembalikan dengan cara mencicil tanpa ada ketentuan besaran, menurut kemampuan keuangannya. Bukan hanya sekali dua kali ia mendapatkan kepercayaan dari para juragan di Samarinda. Kesempatan lain juga ia dapatkan ketika ingin membeli sebuah mobil Charry untuk memperlancar bisnisnya. Dengan hanya bermodal 1 motor bekas, ia berhasil mendapatkan pin jaman tanpa bunga untuk menukarnya dengan mobil milik juragan yang dincarnya sekian lama. Mobil itu dihargai Rp12.000.000,00 kala itu. Motor bermerek Force One pun waktu itu hanya dihargai Rp3.000.000,00, selebihnya ia mencicil pelunasan sesuai kemampuan keuangannya. 131 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Perlahan namun pasti, Pak Sky bisa melepaskan diri dari bayang-bayang nama besar I Nyoman Ry. Perlahan-lahan, ia mampu membangun dan mengembangkan warungnya sendiri dengan menjadi reseller beberapa produk, seperti tabung gas 3 kg, obat-obatan untuk tanaman, dan sembako. Tidak terlalu banyak dagangannya, namun dari bisnis nyaris tanpa modal ini, ia berhasil menyekolahkan anak semata wayangnya di SMK Keperawatan di Samarinda. Kini, anaknya sudah bekerja sebagai seorang perawat di Papua. 3. Identifikasi Kultural, Konflik-Konflik Laten atas Akses Tanah dan Fragmentasi Tata Cara Ritual Persembahyangan Pada masa ini, secara kultural, tampak transmigran Bali berhasil mengidentifikasikan diri sebagai “orang Bali di Kerta Buana” dengan baik. Dari luar, terlihat jelas bahwa mereka bisa menghidupkan pesona budaya Bali di Kerta Buana. Berdirinya Pura Pasopati sebagai pusat persembahyangan umat Hindu Bali di Kerta Buana menjadi penanda utama hidupnya budaya Bali di kampung transmigran. Pada hari-hari besar, seluruh transmigran Bali melaksanakan persembahyangan di Pura Pasopati. Namun, sesungguhnya ada perbedaan-perbedaan kondisi yang sering menimbulkan fragmentasi-fragmentasi sosial. Fragmentasi vertikal terutama tampak pada perbedaan kemampuan akses terhadap kepemilikan dan perluasan lahan. Sedangkan, fragmentasi horisontal muncul pada acara-acara persembahyangan di mana warga transmigran yang berasal dari wilayah-wilayah yang berbeda di Bali merasa memiliki perbedaan tata cara persembahyangan. Ketegangan sering muncul akibat perbedaan-perbedaan kultural yang terbawa dari tanah asal. 132 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana a. Fragmentasi Sosial Berdasarkan Perbedaan Akses atas Tanah Sejak tahun 1990, ketika hampir semua warga telah berhasil menggarap lahan I, mulai tampak fragmentasifragmentasi laten antara warga yang bisa memiliki akses yang lebih baik dalam memilih lahan II atau memperluas lahan garapan di sekitar pemukiman, dengan mereka yang hanya bisa pasrah menerima sesuatu yang diberikan oleh Departemen Transmigrasi. I Wayan Try sebagai Kepala Unit Transmigrasi, sudah sejak awal kedatangannya, merupakan sosok yang paling memiliki akses bisnis dan perluasan kepemilikan tanah di Kerta Buana. Beberapa informan menuturkan bahwa pada masa ini, Pak Ry memiliki tanah di banyak lokasi tersebar di beberapa lokasi transmigran di Kecamatan Tenggarong Seberang, mulai dari L1 hingga L4. Ia juga membawa beberapa kerabat asal Bali menjadi transmigran di Kerta Buana. Bahkan, ia juga bisa meloloskan keponakannya yang kala itu masih kelas 1 SMP, menjadi transmigran yang mampu memperoleh akses jatah tanah yang sama dengan warga transmigran. Saat itu, persyaratan utama menjadi transmigran ialah sudah menikah. Namun, sebagai Ketua Unit Pemukiman Transmigran di Kecamatan Tenggarong Seberang, ia memiliki semacam privillage untuk mengakali semua itu.54 Pak Dewa Alit saat itu masih sebagai tokoh desa yang sangat disegani. Tidak begitu banyak informasi 54 I Made Sky kelak juga yang akan menjalankan bisnis penggilingan beras perdana di Tenggarong Seberang milik Pak Ry. Sambil meneruskan sekolah SMP-nya di L2, Pak Sky menjaga bisnis penggilingan beras milik Pak Ry dan bekerja apa pun sambil membantu rumah tangga pamannya ini. 133 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memperluas kepemilikan tanah. Namun, pada masa ini, ia berperan meloloskan beberapa elite warga transmigran Bali, yang bisa memilih lokasi lahan II yang berbeda dengan warga pada umumnya. Perbedaan bukan hanya lokasi lahan yang lebih dekat, tetapi juga terbebas dari penyerobotan oleh perusahaan saat eksplorasi open pit dimulai. Pak I Wayan Try dan I Nyoman Ltr adalah dua transmigran yang beruntung bisa memiliki lahan II di lokasi dekat pemukiman mereka. Keduanya adalah para petani yang terkenal memiliki keuletan di atas rata-rata petani yang lain. Ketika para transmigran lain masih bergelut dengan penggarapan lahan I, mereka sudah merintis pembukaan lahan kosong yang berada di dekat lokasi lahan I mereka. Saat itu, nilai tanah masih belum dianggap berharga. Siapa pun boleh membuka lahan kosong yang belum ada klaim kepemilikan oleh para trans lokal ataupun para transmigran Bali dan Lombok. Kemudian, mereka mendiskusikan dengan RT, Kades, dan Kepala UPT untuk mendapatkan sertifikat legalitas sebagai lahan II mereka. “Lahan II itu kebanyakan di daerah hutan. Sertifikatnya kebanyakan sudah dijual ke perusahaan. Saya dulu kan di kelompok tani. Sambil mengerjakan lahan I, saya juga membuka lahan kosong di dekat lahan I. Lahan ini dulu rawa, bukan bukit. Lalu, saya datang ke Pak RT, saya bilang, ‘Pak, saya minta lahan saya di sini saja, boleh?’ Pak RT menjawab, ‘Boleh.’ Lalu, saya lapor ke Kepala UPT saat itu, Pak Moeis, yang juga membolehkan. Orang-orang itu kemarin mencari lahan II di hutan-hutan itu, ya keluar memang keluar 134 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sertifikatnya, ya dijual ke perusahaan karena lokasi tambang,” ungkap I Wayan Try. Hal yang sama terjadi pada I Nyoman Lt yang rumahnya berseberangan dengan I Wayan Try. Pak Lt juga tergolong transmigran yang sangat gigih. Seperti Pak Ty, ia juga sudah membuka lahan-lahan kosong di sekitar area persawahan baru di lahan I. Lahan kosong di belakang lokasi pemukimannya ia bersihkan, kemudian ditanami singkong dan umbi-umbian lainnya. Dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan, tanaman ini sudah bisa dipanen, walaupun harus berbagi dengan babi hutan dan tikus. Berbeda dengan Pak Ty, Pak Lt mengalami masa-masa di mana ia harus berhadapan dengan “orang kampung” (penduduk lokal) yang mengaku pemilik semula lahan II yang dibukanya. Walaupun sudah memiliki sertifikat, ia mengalami beberapa ancaman agar bersedia menyerahkan lahan tersebut. Namun, konflik ini tidak sampai mencuat menjadi benturan fisik. Pak Lt dengan bantuan Pak Dewa Alit dan Pak Abdul Waid (Kades saat itu) berhasil meredakan ketegangan ini, dan tanah dianggap sah menjadi lahan II Pak Lt. Sebagian besar transmigran di Kerta Buana menerima sertifikat lahan II tanpa mengetahui dengan pasti lokasi lahan itu. Hingga tahun 1997/1998, para transmigran masih sangat disibukkan oleh penggarapan lahan I. Lahan sawah seluas 0,75 hektar terasa sangat luas bagi para petani yang tidak memiliki teknologi pertanian canggih, hanya mengandalkan tenaga manusia, bergotong-royong saat tertentu, atau membayar buruh bagi sebagian kecil yang mampu. 135 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Perbedaan mencolok kepemilikan lahan II ini tidak menimbulkan konflik-konflik laten yang cukup berarti untuk sesama transmigran Bali. Sebagian besar mereka meyakini bahwa lahan II tidak mungkin akan berpindah tangan, apalagi hilang, karena sudah menjadi hak mereka yang sah sebagai peserta program transmigrasi. Hingga akhir tahun 1990-an, sebagian besar warga transmigran, baik Bali ataupun Lombok, baru mulai mencari atau merintis lahan II ini, saat dimulainya eksplorasi tambang open pit mining. b. Fragmentasi Kultural di Dalam Tata Cara Persembahyangan Fragmentasi kultural laten sesama transmigran Bali sebenarnya sudah ada sejak mula kedatangan dan masih tetap bermunculan. Menurut Pariseade Hindu Dharma di Kerta Buana, fragmentasi instrumen ritual sering kali muncul karena perbedaan tata cara persembahyangan menurut wilayah desa asal para transmigran. Pada awalawal kedatangan, fragmentasi instrumen ritual muncul dengan penampakan dominasi kelompok ibu-ibu dari daerah tertentu yang menata sesajen untuk ibadah bersama di Pura Desa Kerta Buana (Pura Pasopat). Warga dari desa-desa lain yang memiliki perbedaan tata cara penyusunan sesajen dan persembahyangan cukup menjadi pengikut. Tahun 1990-an ke atas, ketika kondisi perekonomian telah beranjak naik, mereka yang memiliki ragam persembahyangan yang berbeda dengan yang digunakan di Pura Pasopati mulai mendirikan pura-pura dusun. Pura-pura ini tidak lantas mengalihkan sepenuhnya persembahyangan dari Pura Desa ke pura-pura dusun, namun hanya 136 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana mengakomodasikan persembahyangan warga dari desa asal yang sama untuk ibadah tingkat dusun di Kerta Buana. Sebenarnya, secara ajaran, agama Hindu dari asal daerah mana pun sama saja, menyembah Ang Hyang Widhi. Namun, dalam persembahyangan, sering kali ada perbedaan-perbedaan menurut asal desanya dari Bali. Perbedaan sebagian besar terletak pada tata cara pengaturan sesajen. Misalnya, kalau dari pengaturan susunan bunga untuk canang, atau menatanya di tempat ibadah, berbeda antara satu kampung asal yang satu dengan yang lain. Hal yang seperti ini bisa menimbulkan ribut-ribut kecil. Sebenarnya, perbedaan ini juga ada di keluarga-keluarga, contohnya saya dengan istri saja berbeda. Di sini, peribadatan rumah menggunakan tata cara persembahyangan dari kampung saya. Istri saya ikut saja. Soal tata cara penyusunan sesajen dan sebagainya, ia tidak mengerti karena berbeda dengan kampung asalnya. Ia ikut sembahyang bersama kami. Soal sesajen, ibu-ibu dari kampung saya yang menyiapkannya, kemudian Pak Dewa Alit yang mengatur untuk menyeragamkan agar tidak menjadi biang keributan. Sekarang, ini sudah tidak masalah, karena tata cara persembahyangan khusus untuk Pura Desa seragam, baru kalau persembahyangan di pura dusun masing-masing menurut tata cara adat desa masing-masing (Parisade Hindu Dharma Kerta Buana). Perbedaan-perbedaan instrumen ritual ini mulai jarang muncul di permukaan dalam acara-acara persembahyangan di Pura Desa. Karisma Dewa Alit yang cukup kuat bisa membuat semua warga transmigran asal Bali meredam perbedaanperbedaan ini. Saat persembahyangan di Pura Pasopati, tata 137 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti cara peribadatan mereka menggunakan tata cara yang telah ditentukan dalam kesepakatan para pemuka agama Hindu di Kerta Buana. Fragmentasi-fragmentasi dalam penyusunan sesajen dan perlengkapannya dalam peribadatan desa membentuk integrasi baru, walaupun tidak sepenuhnya stabil. Mereka yang merasa memiliki tradisi yang berbeda tetap ikut dalam kegiatan-kegiatan persiapan persembahyangan, seperti menyusun perlengkapan sesajen. Namun, mereka tidak mengambil peran dominan, melainkan mengambil posisi sebagai pembantu tenaga. Sementara itu, yang mengambil peran-peran dominan adalah warga dari kampung yang memiliki tata cara yang lebih familier dengan model dan tata cara yang digunakan. Namun, dalam persembahyangan level dusun, umat Hindu di Kerta Buana menggunakan tata cara persembahyangan yang sesuai dengan aliran-aliran yang mereka bawa dari desa asal masing-masing. Walaupun belum mencapai tahap yang sempurna, masa ini telah mulai bermunculan pura-pura dusun yang merepresentasikan asal desa para transmigran. Pura-pura dusun ini sekaligus menandakan adaptasi kultural internal warga transmigran dalam menghadapi fragmentasi-fragmentasi perbedaan tata peribadatan dengan sesama warga transmigran Bali asal desa lain. Pura Pasopati menjadi sentra integrasi transmigran Bali di Kerta Buana, sekaligus menjadi wadah bagi persembahyangan bersama, tanpa memandang asal desa. Pura ini menjadi penegasan posisi (cultural positioning) mereka, sekaligus menjadi tanda bahwa mereka telah berhasil 138 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana membangun eksistensi dan identitas bersama sebagai “orang Bali di Kerta Buana”. Di sisi lain, pura-pura dusun adalah sarana untuk mengekspresikan identitas-identitas kultural desa asal yang tidak bisa dimunculkan saat persembahyangan di Pura Pasopati. Pola adaptasi ini menjelma menjadi integrasi kultural baru, yang menyatukan perbedaan-perbedaan ini, sekaligus mengurangi ketegangan-ketegangan yang dulu sering muncul dalam persembahyangan bersama. 4. Keseimbangan yang tidak Stabil: Konflik-Konflik Laten dengan Transmigran Lokal (Kutai, Dayak) dan Transmigran Asal Lombok Pada tahun 1990–1997, nyaris tidak ada konflik-konflik rasial terbuka yang cukup mengkhawatirkan. Seakan-akan masamasa ini Desa Kerta Buana telah mencapai keseimbangan yang membanggakan dalam hubungan antara penduduk desa, yang diwarnai secara mencolok oleh transmigran asal Bali dan Lombok, serta beberapa keluarga dari transmigran lokal. Integrasi sosial seakan-akan tercapai secara sempurna dengan adaptasi budaya antaretnis yang menghasilkan kejayaan pertanian di Kerta Buana. Orang Bali menerapkan sistem subak, yang ditiru oleh transmigran Lombok dan lokal. Warga transmigran lokal mengajarkan kepada warga Bali dan Lombok mengenai cara-cara pengendalian hama-hama hutan dan musim tanam yang tepat di Kerta Buana. Warga Bali menghormati norma-norma Islam dalam hal makanan dengan cara menyajikan makanan halal satu hari khusus untuk undangan muslim di acara-acara hajatan. 139 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Namun, asimilasi budaya yang tampak sempurna dari luar ini sebenarnya sangat rawan perpecahan. Keteganganketegangan kecil akibat perbedaan latar belakang kultural, kepentingan-kepentingan berkaitan dengan akses kepemilikan lahan, bantuan pemerintah, dan lain sebagainya sering terjadi. Perbedaan-perbedaan pandangan dan kepentingan sesekali menguat menghasilkan ketegangan-ketegangan, tetapi tidak muncul dalam konflik yang lebih terbuka. Perasaan sebagai pendatang mendasari sikap dan tingkah laku para transmigran Bali ketika berhubungan dengan transmigran lokal maupun asal Lombok. Perasaan sebagai pendatang ini membuat semacam batas sekaligus kontrol perilaku yang cukup kuat terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan kelompok etnis lain. Sikap sangat menjaga jarak terutama ketika mereka harus berhadapan dengan perilaku beberapa penduduk lokal yang masih meneruskan budaya ladng berpindah dan berburu binatang. Kebiasaan ini berimplikasi terhadap klaim-klaim kepemilikan lahan, jejak-jejak berkebun, dan perburuan, yang digunakan sebagai klaim kepemilikan lahan. Sikap kehati-hatian juga sangat dijaga, khususnya dalam hal yang berurusan dengan tanah-tanah yang telah diklaim oleh orang lokal yang biasa mereka sebut sebagai “orang kampung”. Orang kampung yang dimaksud adalah penduduk lokal yang ikut menjadi transmigran lokal. Walaupun tidak terlalu masif seperti ketika eksplorasi open pit mining sudah dimulai, namun sesekali kebiasaan segelintir transmigran lokal ini bersinggungan juga dengan para transmigran Bali di Kerta Buana. Menurut I Wayan Dm, hingga tahun 1998, ketika open pit, sesekali transmigran Bali masih sering bersinggungan dengan transmigran lokal yang masih berburu dan berpindah-pindah 140 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana tempat. Sepanjang hal itu tidak bersinggungan langsung dengan tanah-tanah yang telah dilegalkan untuk para transmigran Bali, maka mereka cenderung akan membiarkan saja perilaku itu, sekaligus menghindari persinggungan yang tidak diharapkan. “Pak Ilham dulu namanya, orang kampung, orang Kutai. Dia itu sebenarnya bukan petani, tetapi pemburu binatang. Rumahnya ndak pernah ditinggali, tanahnya ndak pernah ditanami. Banyak tidur di hutan, bawa anjing. Tanah ndak dikerjakan, namun tetap diakui. Lebih sering tidur di atas pohon-pohon besar, dulu kan banyak. Dia itu tidak pernah nanam. Dia lempar-lempar saja biji-bjian. Biji karet dilempar jauh-jauh dari atas pohon. Pas tumbuh, lalu tanahnya diklaim. Ndak cuma di sini saja, di Kilo 16 juga begitu. Dulu banyak yang begitu katanya, tetapi setelah transmigran datang, diusir semua sama Pak Harto. Tentara sama tentara. Masa itu, kalau sudah tentara maju, mana ada yang berani? Nah, Pak Ilham itu saja yang tinggal masih suka mencari binatang buruan. Kita ini namanya pendatang ke sini mau cari penghidupan ya biarkan saja. Liat dia ya kita biarkan saja. Pokoknya, tanah-tanah yang diklaim itu tidak perlu kita apa-apain,” ujar I Wayan Dm. Sikap-sikap kompromi terhadap perilaku orang-orang seperti Pak Ilham ini didorong oleh perasaan sebagai pendatang. Para informan merasa, setidaknya pada masa itu, tujuan untuk mendapatkan tanah yang luas telah berhasil didapat di Kerta Buana. Mereka cenderung menghindari benturan-benturan dengan orang di luar transmigran Bali agar tidak membuat ketegangan-ketegangan. Sikap itu masih berusaha dipertahankan ketika mereka harus bersinggungan dengan warga transmigran lokal yang mengklaim tanah garapannya. Para transmigran Bali 141 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti sebisa mungkin menghindari konflik terbuka dengan transmigran lokal. Mereka memilih melaporkan tekanan-tekanan klaim lahan itu kepada kepala desa dan Kepala UPT. Selain soal ketegangan-ketegangan yang timbul akibat klaim-klaim tanah oleh penduduk lokal, muncul juga keteganganketegangan akibat perbedaan kultur budaya antaretnis. Ketegangan dipicu oleh perbedaan budaya, agama, atau kepercayaan. Beberapa hal yang sering menjadi sumber ketegangan adalah masalah anjing peliharaan yang lazim dipelihara oleh transmigran Bali atau sanggah-sanggah tempat sesajen. Ketegangan masalah makanan halal haram, terutama pada acara-acara hajatan, telah bisa dikompromikan pada tahuntahun ini. Orang Bali jika mengadakan hajatan mengundang warga beragama lain, terutama muslim, telah mampu melakukan antisipasi dengan baik. Mereka menyajikan makanan halal yang dimasak oleh warga muslim dan didatangkan khusus untuk warga muslim pada hari sebelumnya. Barulah pada hari berikutnya, hajatan khusus warga Hindu dan nonmuslim yang bisa mengonsumsi makanan tidak halal. Adaptasi budaya ini sudah mulai mapan pada masa-masa ini. Ketegangan-ketegangan akibat prasangka-prasangka rasial masih ada di antara warga Bali dengan warga transmigran Lombok yang muslim. I Nyoman Mk mengatakan, dulu ada banyak penamaan yang sangat tidak mengenakkan ketika segelintir warga transmigran Lombok membicarakan instrumeninstrumen persembahyangan orang Hindu di Kerta Buana. Mereka mengatakan bahwa orang Bali membuat tempat sarang burung untuk sembahyang. Sarang burung adalah nama olok-olok orang Lombok ketika melihat sanggah-sanggah yang ada di setiap halaman depan rumah orang Bali. 142 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Sanggah-sanggah ini biasa digunakan untuk meletakkan sesajen, bagian dari ritual persembahyangan rutin umat Hindu di Kerta Buana. Pada masa-masa ini, sanggah masih terbuat dari kayu-kayu yang sangat sederhana dalam ukuran relatif kecil, sehingga ada olok-olok dari seorang transmigran Lombok yang memberi nama dengan sarang burung. Penamaan ini menjadi hal yang kurang mengenakkan, namun tidak sampai memicu konflik-konflik terbuka. Ketegangan lain juga pernah muncul akibat banyaknya anjing peliharaan transmigran Bali yang berkeliaran di jalanan menuju SD N 11 Tenggarong Seberang, arah ke belakang dari kantor kepala desa. Anjing-anjing ini, menurut Bu Kmd, istri tokoh transmigran Lombok, membuat anak-anak takut pergi ke sekolah. Ketegangan ini menjadi salah satu hal yang memicu warga etnis Lombok untuk mendirikan sekolah madrasah di Blok A agar anak-anak Lombok bisa bersekolah di dekat pemukiman mereka. Konflik-konflik ini walaupun sering memanas, namun jarang muncul ke permukaan dan menjadi konflik terbuka. Sesekali mengendap, tetapi tidak juga padam atau hilang sama sekali. Namun, seiring waktu mengalami perubahan-perubahan bentuk yang lebih halus atau mengalami penyesuaian-penyesuaian. B. Puncak Kejayaan Pertanian dan Tragedi Lahan II: 1998-2003 Masa open pit mining merupakan masa titik balik kejayaan pertanian di Kerta Buana. Masa kejayaan pertanian ditandai dengan pembuatan tempat-tempat khusus penyimpanan gabah di pemu- 143 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti kiman warga transmigran Bali. Di pemukiman transmigran Lombok, itu ditandai dengan adanya rumah khusus penampungan zakat. Di wilayah Desa Karang Tunggal (L2), pemerintah Dati II Tenggarong mendirikan Rice Prossecing Unit (RPS) untuk pengolahan pascapanen. Dari DPU pusat, rencana pembangunan bendungan telah sampai pada tahap pembebasan tanah sepanjang jalur irigasi. Open pit mining menjadi titik balik semua tanda puncak kejayaan pertanian di sini. Secara legal, eksplorasi open pit baru dimulai tahun 2003. Namun, menurut keterangan para informan, secara ilegal, PT Kitadin telah memulai eksplorasi open pit sejak akhir 1998. Tahun ini, perusahaan tersebut sebenarnya hanya memiliki konsensi resmi untuk underground mining. Tetapi, menurut keterangan Pak Sdy, open pit diam-diam dimulai di Blok B, sekitar lokasi jalan masuk ke Desa Kerta Buana yang kini berdiri monumen PT Kitadin. Pada tahun 2003, semakin resmi beroperasi. Eksplorasi dimulai tepat di perbukitan yang menjadi sumber irigasi para petani. Rencana pemindahan desa yang gagal menjadi titik balik penggerusan lahanlahan produktif pertanian secara perlahan, namun pasti. Kelas-kelas calo tanah mulai bermunculan. Perlahan, tetapi pasti, eksplorasi memperluas alih fungsi lahan hingga tanah-tanah persawahan produktif. Lahan persawahan kian menyempit, sumber irigasi musnah, dan lahan berubah menjadi 100% sawah tadah hujan. Dampak buruk eksplorasi open pit mulai bermunculan. Musim tanam mulai sulit dikenali, produktivitas menurun, banyak hama dan penyakit padi baru yang sulit dikenali, serta banjir dan polusi menjadi hal yang biasa. 144 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 1. Tanda-Tanda Puncak Produktivitas Padi (1998-2000) Glebek adalah semacam tempat penyimpanan gabah padi yang terbuat dari kayu, mirip bangunan lumbung padi di pedesaan Jawa masa lalu. Bedanya, glebek dibangun oleh keluarga-keluarga, milik keluarga, bukan milik desa atau komunitas. Di lokasi pemukiman etnis Bali, panen melimpah ruah ditandai dengan adanya glebek-glebek di rumah warga.55 Tidak semua glebek dibangun pada masa puncak produksi beras. Sebagian kecil transmigran telah membangun glebek pada masa-masa sulit. Pak I Wayan Ltr membangun glebek pada masa-masa perjuangan. Ia membuat glebek kecil, sekaligus memanfaatkan banyaknya kayu di sekeliling pemukiman pada tahun 1985. Saat itu, panen belum terlalu banyak, namun dirasa sangat berguna untuk menyimpan hasil panen. Pada akhir tahun 1990-an, glebek dibesarkan ukurannya. I Ketut BY, generasi kedua transmigran yang sudah lahir dan besar di Kerta Buana, memberikan gambaran lebih detail. Menurutnya, pada tahun 2000–2004, keluarga-keluarga transmigran Bali di Kerta Buana marak membuat glebek. Hampir di semua halaman rumah warga ada glebek dengan berbagai ukuran. Glebekglebek ini menandai mas-masa surplus produksi, di mana banyak penduduk lokal dari Kampung Separi membeli beras murah dari warga Kerta Buana. 55 Kmd, tokoh transmigran etnis Lombok yang sering dipanggil “Pak Imam”, memberikan kesaksian bahwa pertanian transmigran Lombok sebenarnya juga sudah mulai meningkat pada masa-masa itu. Momentum ini ditandai dengan melimpahnya gabah zakat masyarakat Blok A dan B di rumahnya. Pada tahun-tahun ini, Pak Imam sampai membangun rumah baru yang khusus untuk menampung zakat panen warga etnis Lombok. 145 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Gambar 4.7 Glebek Pak I Wayan Lt (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Bantuan traktor-traktor dan rencana pembangunan bendungan adalah penanda lain puncak pertanian padi di Kerta Buana. Traktor diberikan kepada kelompok-kelompok tani untuk memudahkan penggarapan sawah. I Ketut Ys, generasi kedua yang lahir di Kerta Buana, masih ingat bahwa tahun 2004 adalah masa-masa ledakan panen yang luar biasa di Kerta Buana. Saat itu, Desa Kerta Buana mendapatkan bantuan 6 buah traktor dari pemerintah Provinsi Kaltim, yang dibagikan kepada beberapa kelompok tani. Ayahnya, Pak Dr, pernah menjadi tukang traktor. Ia sering mengikuti ayahnya mentraktor lahan-lahan pertanian keliling persawahan di seputaran Kerta Buana. Masa-masa ini juga ditandai dengan pembinaan pertanian intensif dari dinas pertanian provinsi. Bantuan obat-obatan 146 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dan pupuk sangat intens. Sosialisasi-sosialisasi tentang teknik pertanian digalakkan. I Ketut BY mengingat, pada masa kecilnya hingga akhir tahun 1990-an, Departemen Penerangan sering memutar film layar tancap di pertigaan Jalan Poros, Desa Kerta Buana (sekarang depan Kantor Desa Kerta Buana). Film-film tentang budi daya pertanian seminggu sekali diputarkan. Penyuluhan juga digalakkan secara intensif oleh seorang PPL bernama Ismadi yang sangat dikenang oleh masyarakat. Menurut Mangku Sw, pada tahun 2000-an awal, DPU telah membebaskan banyak tanah warga untuk membuat bendungan irigasi. Menurut mantan Kades Kedua Kerta Buana, Pak AW, rencana pembangunan bendungan/waduk untuk irigasi mulai dibicarakan sejak tahun 1997. Pembicaraan tentang pembebasan tanah pun sudah dimulai pada tahun-tahun ini. Pada tahun 2000-an, beberapa check dumb telah terbangun. Seharusnya, pembangunan berlanjut ke pembuatan bendungan untuk menampung aliran air yang biasanya mengalir dari bukit-bukit di sekitar Desa Kerta Buana. “Dulu, ada PU mau bikin check dumb di sini, masuk CD (community development) di sini, dan sudah banyak yang dapat ganti rugi. Belakang, rumah saya kena, dari sini sampai di sana, ndak jadi. Di Berambai, Gang Sepayung, rencana bikin dumb. Semua yang masuk jalur irigasi sudah dipatok-patok oleh PU, sudah dibebaskan. Itu pada tahun 2000-an, zaman Bupati Pak Syaukani. Presidennya kalau tidak salah Pak Habibie. Karena di sini kan memang direncanakan jadi lumbung padi. Namun, rencana pembuatan waduk ini kemudian tidak jelas, menguap, setelah adanya open pit,” ujar Pak AW. 147 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Rencana pembangunan waduk irigasi ini menguap seiring dengan dimulainya eksplorasi open pit mining. Tidak ada kejelasan tentang kelanjutan proyek ini. Yang terjadi adalah lahan II para transmigran dibebaskan dan di-land clearing tak lama setelah pembagian sertifikat lahan ke para transmigran. Lahan II yang dikenal para transmigran sebagai lahan MKT ini menjadi lokasi pertama yang dieksplorasi ketika PT Kitadin mendapatkan izin resmi eksplorasi open pit mining. 2. Tragedi Lahan II, Rusaknya Sumber Irigasi Pertanian dan Pembebasan Sawah Transmigran Blok B (2000–2003) Sengkarut lokasi dan batas-batas lahan II menjadi penanda permulaan wacana akan beroperasinya tambang terbuka (open pit mining). Lahan II adalah lahan jatah untuk transmigran yang semula disediakan untuk usaha perkebunan bagi para transmigran. Para transmigran pada awal-awal kedatangan sudah ditunjukkan sebuah lokasi perbukitan di sisi selatan lokasi pemukiman mereka, sebagai lahan II mereka. Pada masa-masa awal, para transmigran masih berkonsentrasi membuka lahan I, sekaligus mengubah lokasi hutan gambut/rawa-rawa menjadi lahan persawahan yang bisa ditanami. Seluruh energi dikerahkan untuk menaklukkan lokasi rawa yang nyaris tidak mereka kenali di tempat asal. Butuh waktu bertahun-tahun hingga mereka benar-benar bisa memiliki sawah yang bisa digunakan untuk budi daya pertanian. Sebagian kecil transmigran yang ulet dan memiliki kedekatan dengan para elite desa atau petugas PPL bisa memperoleh lahan II dengan membuka lahan-lahan kosong tak bertuan yang berlokasi di dekat pemukiman atau lahan I mereka. Ada setidaknya 148 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana dua informan yang beruntung tidak harus kehilangan lahan II mereka, yaitu I Wayan Gs dan I Wayan Try. I Wayan Try mengaku, saat heboh pencarian lahan II, ia menjadi pengurus kelompok tani. Posisi ini membuatnya bisa menawar ke petugas transmigrasi saat itu untuk menawar lokasi lain sebagai lahan II. Saat itu, I Wayan Try telah membersihkan lahan kosong tak jauh dari pemukimannya. Ia mengajukan lahan ini sebagai lahan II dengan sertifikat yang telah dipegangnya. Petugas mengabulkan keinginannya, dan ia mendapatkan lokasi lahan II di lokasi persawahan tak jauh dari rumahnya. I Wayan Gs tak jauh beda. Ia mengajukan lahan pekarangan belakang rumahnya yang sudah dibukanya sebagai lahan II. I Wayan Try dan I Wayan Gs adalah contoh dua transmigran Bali yang beruntung tidak harus kehilangan lahan II mereka. Gambar 4.8 Dari kejauhan, lokasi lahan II telah menjadi lembah pascaeksplorasi. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 149 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Sebagian besar para transmigran yang lain memperoleh lahan II di lokasi eks lahan MKT (perusahaan HPH). Lahan II yang masih berupa hutan belantara di atas perbukitan sekaligus merupakan sumber air yang sangat bermanfaat bagi pengairan sawah-sawah para transmigran. I Wayan Dm memberikan kesaksian bahwa hutan belantara di perbukitan itu menjadi semacam pengendali alamiah aliran air dari atas gunung yang turun ke sawah-sawah yang mereka rintis. Hutan dan rawa-rawa yang belum terbuka itu membuat air pada saat hujan tidak terlalu deras. Dan, ketika kemarau, air tetap mengalir jernih dari sana, tidak pernah membuat sawah kekeringan. Gambar 4.9 Mangku Swd (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 150 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Para transmigran tidak pernah membayangkan akan kehilangan lahan II dengan cara-cara di luar kuasa mereka. Sebagian besar transmigran menganggap bahwa tanah mereka tidak akan mudah hilang karena mereka telah memiliki sertifikat tanah yang sah, bahkan diberikan langsung oleh presiden saat itu. Para transmigran ini tidak familier atau asing dengan budaya ladang berpindah dan kebiasaan klaim kepemilikan tanah berdasarkan jejak berladang. Kondisi ini membuat mereka tidak begitu merisaukan akan kehilangan lahan yang bersangkutan. Pada tahun 1989, I Ketut Swd, saat itu menjabat sebagai Kasi Pembangunan Desa Kerta Buana, menghadiri acara pemberian sertifikat untuk para transmigran di Bontang. Ketika itu, Presiden Soeharto langsung memberikan sertifikat lahan I dan II kepada perwakilan para transmigran. I Ketut Swd saat itu menerima sertifikat untuk seluruh warga transmigran Desa Kerta Buana, lahan I dan II. Setiap nama transmigran mendapatkan dua sertifikat, dengan nama terang dan nomor yang jelas. Lahan I tidak terlalu menimbulkan masalah. Lahan II menjadi polemik saat itu karena posisi lahan yang masih belum jelas. Kebanyakan informan memberikan kesaksian mirip tentang lokasi lahan II. Mereka merujuk kepada lokasi eks perusahaan kayu PT MKT yang berada di sisi selatan Desa Kerta Buana. Kondisi lokasi berupa perbukitan hutan belantara. Sebagian besar transmigran akhirnya tidak sempat menggarap lahan II ini. Mereka menjual lahan II dengan harga sangat murah. Ada beberapa versi keterangan yang berbeda dari beberapa informan tentang keputusan menjual lahan II. Versi pertama adalah yang memberi kesaksian bahwa lahan II habis terbakar 151 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti saat kebakaran besar terjadi sekitar tahun 1987. Kebakaran ini membuat batas-batas kepemilikan lahan II menjadi hilang sama sekali. Menurut tokoh transmigran etnis Lombok dan mantan Kades Kerta Buana, AW; sebenarnya lokasi lahan II sudah ditunjukkan oleh para petugas lapangan pada awal-awal kedatangan mereka. Menurutnya, petugas saat itu menunjuk arah perbukitan yang masih berupa hutan belantara itu sebagai lahan II. Pernah suatu ketika, AW dan beberapa orang mencoba mengecek lahan II. Saat itu, jalan setapak, dan menurutnya belum ada jalanan yang bagus menuju lokasi tersebut. Menyusuri rawa-rawa dan semak belukar, mereka tiba di lokasi. Hampir seharian mereka baru bisa menembus lokasi itu. Sesampainya di sana, mereka menyaksikan lokasi yang dimaksud masih berupa bentangan hutan belantara. Tidak ada patok-patok pembatas yang bisa digunakan untuk mengenali batasan-batasan hak milik tanah antarwarga. Melihat keadaan ini, mereka memutuskan kembali ke pemukiman dan konsentrasi menggarap lahan I yang sudah mulai bisa digarap. Pada sekitar tahun 1987, menurut Pak AW, terjadi kebakaran hebat di lokasi lahan II. Kebakaran dahsyat ini menghanguskan hutan belantara hingga menjadi hamparan arang. Saat-saat itulah, menurutnya, pihak perusahaan mendekati pihak pemerintah desa untuk membujuk warga agar menjual lahan II kepada perusahaan. Alasan yang dihembuskan pihak perusahaan saat itu adalah lahan tersebut tidak jelas batas-batas pemiliknya. Walaupun mereka memegang sertifikat hak milik, mereka tidak bisa mengklaim lokasi persis dari tanah yang menjadi hak milik. Sejak itu, mulailah warga transmigran ramai-ramai menjual lahan 152 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana II dengan harga yang sangat murah. Setiap satu sertifikat hanya dijual sekitar Rp1.000.000,00–Rp5.000.000,00. Beberapa informan yang lain menjelaskan versi lain raibnya lahan II. Mereka memberikan kesaksian tentang adanya tumpang tindih klaim tanah antara para warga transmigran, masyarakat lokal, dan pendatang lain. I Ketut Swd mengatakan bahwa tahuntahun awal setelah mendapatkan sertifikat lahan II, beberapa kelompok transmigran sudah pernah berusaha membuka lahan II. Mereka berkelompok per RT, membuka sedikit demi sedikit lahan II secara bergotong-royong agar bisa segera ditanami. Kegiatan ini mereka lakukan di sela-sela kesibukan menggarap lahan I. Ketika mendapat 2 hektar, kemudian mereka undikan atas nama salah satu warga. Namun, saat mereka bermaksud kembali menggarap lahan yang telah dibuka itu, mereka mendapati ada pihak-pihak lain yang telah menggarap lahan yang telah mereka buka. Yang diingat Pak Ketut Swd ialah tanah itu sebagian besar diklaim oleh warga lokal, seperti warga Separi Kampung, serta beberapa etnis pendatang, seperti Buton, Jawa, dan Bugis. Pak Swd mengatakan, sebagai warga transmigran, posisi mereka menjadi terasa sulit. Mereka menyadari posisi mereka lemah. Akhirnya, mereka pun menjual murah sertifikat lahan II. Pada masa-masa ini, sudah beberapa orang yang berperan sebagai pembeli sertifikat tanah lahan II. Di antara orang yang diingat oleh I Ketut Swd adalah kepala desa masa itu, yakni I Wayan Adn dan Pak Mkr. Tokoh muslim etnis Lombok, Kmd, memberikan kesaksian serupa. Menurutnya, warga transmigran etnis Lombok enggan mengurusi tanah lahan II karena batas-batas yang tidak jelas. 153 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Selain batas yang tak jelas, lokasi tersebut telah banyak digarap oleh warga lokal dan beberapa pendatang etnis lain. Karena alasan menghindari keributan, mereka memilih menjual sertifikat lahan II kepada perusahaan, baik langsung ataupun yang melalui perantara. Kesaksian lain diberikan oleh generasi II transmigran etnis Bali, I Ketut Y. Pada tahun 2002, beberapa penduduk etnis Bali berusaha mengecek tanah mereka. Mereka bermaksud membuka kebun-kebun baru, karena pengerjaan sawah di sekitar desa sudah selesai dan beberapa kali panen. Namun, saat itu, tanah yang dimaksud sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah hamparan tanah bekas kebakaran, sudah dikuasai perusahaan, dan tidak ada lagi batas-batas sebagai penanda hak milik orang per orang. Dalam keadaan demikian, perusahaan mendekati warga dan memberikan tawaran untuk menjual saja tanah itu kepada perusahaan. Penduduk terpojok karena mereka tidak lagi bisa menunjukkan di mana posisi tanahnya. Atas dasar itulah, perusahaan memberi opsi, apakah mau melepaskan tanah dengan harga yang sudah ditentukan, istilah mereka “jual surat”, atau kehilangan tanah mereka sama sekali. Akhirnya, seluruh penduduk menjual “surat tanah” kepada perusahaan. Ungkapan “tanah diluh bojok” keluar sebagai ungkapan kekecewaan, sindiran, sekaligus perlawanan khas segelintir warga etnis Bali atas ketidakberdayaan mereka di hadapan perusahaan dan pemerintah. Tidak terlacak siapa yang pertama kali mengatakan istilah ini. Tetapi, menurut seorang pemuda Kerta Buana, istilah ini mulai banyak dilontarkan ketika menyadari mereka telah dikelabui. 154 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Istilah “tanah diluh bojok” atau “tanah dilewati monyet” (tanah dicuri monyet) digunakan oleh penduduk Kerta Buana untuk menyindir perusahaan yang tidak adil dalam menghargai tanah mereka. Istilah ini menjadi semacam perlawanan melalui bahasa, yang digunakan setiap kali mereka sedang membicarakan jatah tanah kebun 1 hektar per KK yang telah diambil alih oleh perusahaan dengan cara yang sangat “halus”. Istilah ini juga sering mereka lontarkan dengan nyinyir saat melintasi lokasi tanah yang kini sudah menjadi bekas area pertambangan. Pada tahun 2000, pada masa kepemimpinan I Wayan Adn sebagai kepala desa, hampir semua lokasi lahan II telah dikuasai oleh PT Kitadin. C. Masa Open Pit Mining dan Titik Balik Kemunduran Pertanian (2003-sekarang) Pada 22 Desember 2000, Komisi Andal Departemen Pertambangan dan Energi menyetujui revisi Andal PT Kitadin di Embalut untuk peningkatan produksi dan perluasan kawasan tambang.56 Perusahaan ini memiliki konsesi baru seluas 2.973 hektar, yang bertambah 2.000 hektar dari luas areal konsesi lama yang hanya seluas 973 hektar. Menurut tabel rencana produksi PT Kitadin yang tercatat dalam revisi AMDAL PT Kitadin, pada tahun 2000, jumlah rencana produksi hingga tahun 201057 adalah 1.026.389 juta ton. Desa Kerta Buana disebutkan menjadi bagian dari wilayah operasi tambang, bahkan merambah sisi selatan. Jatam Kaltim mencatat, pada tahun 2003, open pit mining dimulai. Pemerintah dan perusahaan mulai membuat tim survei 56 57 Ibid., hlm. 31, Kode Dokumen Andal KW. 96P00174/Kalimantan Timur Ibid., hlm. 31, Kode Dokumen Andal KW. 96P00174/Kalimantan Timur 155 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti terhadap harga-harga tanah, dan mereka mulai menemui penduduk dan pengurus desa. Lahan yang pertama kali dieksplorasi ada di lokasi bekas lahan II milik para transmigran yang telah dijual kepada perusahaaan. Tanah perbukitan yang semula merupakan sumber air untuk mengairi sawah para transmigran segera berubah menjadi kolam tambang menganga di dekat permukiman. Pada tahun 2004, PT Mahakam Sumber Jaya mengeruk batu bara dari sisi utara Desa Kerta Buana. Luas konsesi, Mahakam Sumber Jaya (MSJ), adalah 20.380 hektar.58 Ada 2 kontraktor yang bertugas melakukan eksplorasi di kawasan konsesi PT MSJ, yaitu Leighton dan Cipta Kridatama (CK). PT MSJ memiliki tiga pit aktif. Pertama, pit L0 yang terletak di Kilometer 27 dari arah Bontang menuju Separi, Kutai Kartanegara. Kedua, pit Blok E yang berada di Kilometer 50 di kawasan Bontang. Ketiga, pit di Kilometer 2, sekitar Desa Kerta Buana dan Desa Separi. Batu bara yang dikeruk dari ketiga pit tersebut kemudian diangkut melalui jalan houling yang membentang 50 kilometer dari pit Blok E di Kilometer 50 Bontang hingga Separi Port (Pelabuhan Penuangan Batu Bara) berdampingan dengan Sungai Mahakam. Jalan houling disediakan bagi tongkang-tongkang pengangkutan batu bara. Ada tiga perusahaan kontraktor transportasi Mahakam Sumber Jaya (MSJ) yang bertugas mengangkut batu bara dari pit ke Separi Port (Pelabuhan Penuangan Separi), yaitu PT PCP, PT BSS, dan PT Dwi Makmur. Sumber Jatam Kaltim menyebutkan bahwa 1 kontraktor (PT PCP) saja mengoperasikan 76 dump truck bermuatan maksimal 37 ton dan 50 heavy duty (HD) bermerek Komatsu yang muatan maksimalnya 60 ton. Satu perusahaan kontraktor ini saja jika bekerja maksimal, 58 Daftar PKP2B, Distamben Kaltim, 2009. 156 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sekali angkut bisa mengangkut 5.812 ton batu bara. Dalam 1 hari, minimal terjadi 2 kali pengangkutan. Artinya, terdapat 11.624 ton batu bara yang dikapalkan ke Pelabuhan Separi. Rerata volume pengangkutan ketiga kontraktor PT MSJ per hari adalah 11.624 ton. Maka, perusahaan ini mengeruk 34.872 ton batu bara per harinya. Dalam 1 bulan penuh (30 hari), pengapalan batu bara PT MSJ bisa mencapai 1.0461.600 ton. 1. Strategi Relokasi Desa yang Gagal Laporan Setelah lahan II, seluruh Desa Kerta Buana dijadikan target lokasi eksplorasi PT Kitadin. Beberapa informan mengatakan bahwa mereka pernah mendengar desas-desus bahwa justru di bawah lokasi Desa Kerta Buana ini ada pusat deposit batu bara dengan kualitas yang baik. Monitoring Jatam Kaltim mencatat bahwa pada sosialisasi besar-besaran tersebut59, tim sosialisasi dari PT Kitadin menawarkan 4 buah opsi pembebasan tanah.60 Tokoh masyarakat muslim etnis Lombok, Kmd, mengatakan bahwa pada tahun 2003, terbit SK Resetlement yang bertugas menggagas relokasi Desa Kerta Buana. SK ini terbit pada tahun 2003 di mana ada nama-nama pejabat kabupaten, kecamatan, desa, hingga tokoh-tokoh masyarakat desa. “SK Resetlement itu dari gubernur, yang dikumpulkan di Hotel Singgasana Samarinda untuk membicarakan rencana relokasi Desa Kerta Buana. Ada Pak Kodim, Pak Camat, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh desa. Perusahaan menawarkan model bedol desa; semua fasilitas desa 59 Laporan monitoring Desa Kerta Buana, Jatam Kaltim, September 2003, hlm. 2. Di antara opsi itu ada jual putus, relokasi penuh, relokasi hitung aset, dan relokasi pemukiman saja. 60 Ibid., hlm. 3. 157 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti dan pribadi diganti oleh perusahaan. Semuanya sudah dihitung; rumah, pekarangan, sawah, bahkan jumlah pohon kelapa dan tanaman-tanaman lain, semua diganti oleh perusahaan. Rumah-rumah, tempat ibadah, dan kantor desa. Namun, yang membuat para tokoh keberatan saat itu adalah pembangunan rumah dipotongkan di dalam hitung-hitungan ganti rugi. Semuanya hampir tidak sepakat. Pak Kodim walk out, Pak Camat menyusul, Pak Dewa Alit juga ikutan. Jadi, pertemuan hari itu sama sekali tidak menghasilkan apa-apa,” ungkap Kmd, tokoh transmigran Lombok. Pertemuan tersebut bahkan sampai membahas rincian harga semua aset sesuai dengan keadaannya. Harga tanah dibedakan antara tanah lahan I dan lahan II (yang masih ada), tanah yang memiliki posisi strategis lebih mahal, ukuran dan bahan bangunan juga menentukan harga; bahkan berbagai rumah ibadah dengan beragam tipenya juga menentukan hitungan penggantian. Hal yang membuat pembicaraan relokasi ini menjadi alot adalah penggantian bangunan pemukiman dimasukkan ke dalam perhitungan komponen ganti rugi. Dengan ungkapan lain, jumlah uang ganti rugi dipotong sebesar harga penggantian rumah baru. Pembicaraan menjadi sangat panas, hingga Danramil, Pak Camat setempat, dan Pak Dewa Alit walk out. Pertemuan hari itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.61 Walaupun tidak mendapatkan kesepakatan bulat dari Tim Resetlement saat pertemuan di Samarinda, pihak perusahaan 61 Pak Kmd mengingat dengan baik bahwa isu relokasi ini telah ditunggangi beberapa warga yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Sejumlah warga yang dikoordinasikan oleh warga Lombok, salah satunya bernama Kh, yang melakukan demonstrasi di depan jalan houling menuntut agar perusahaan segera merelokasi Desa Kerta Buana. Demonstrasi ini baru bisa dibubarkan ketika aparat keamanan menyampaikan ada ancaman dari ibu-ibu kampung Embalut yang merasa terganggu dengan aktivitas demo ini dan siap menyerang mereka. 158 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana tidak menghentikan rencana relokasi desa. Tim monitoring Jatam mencatat, pada 28 Agustus 2003, perusahaan mengumpulkan warga Kerta Buana di lapangan, berniat menyampaikan kembali rencana untuk memindahkan pemukiman masyarakat ke daerah seberang jalan desa atau tepatnya lagi ke arah selatan Desa Kerta Buana. Sosialisasi ini dilengkapi dengan pemasangan sejumlah informasi seputar besaran harga ganti rugi setiap item aset yang dimiliki warga. Gambar 4.10 Peta konsensi tambang di Kecamatan Samarinda Deberang, tahun 2003. (Data Investigasi Jatam Kaltim 2003) Pak Kmd mengenang, lapangan desa saat itu dipenuhi dengan papan-papan pengumuman yang berkaitan dengan daftar ganti rugi harga aset yang akan diberikan oleh perusahaan. Namun, usaha ini pun kembali gagal. Kelompok transmigran Bali (mayoritas) menyatakan menolak lewat pernyataan resmi 159 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti tokohnya, Ketua Parisade Hindu Darma Kerta Buana, Ida Bagus Purwa.62 Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun. Trik kedua dilakukan perusahaan dengan melakukan jajak pendapat yang dilakukan dengan kerja sama perusahaan, ITB, dan lembaga konsultan asing Moores Rowlands. Hasil jajak pendapat ini diberitakan secara besar-besaran di media nasional Kompas. Hasil penelitian yang dicurigai oleh masyarakat sebagai bagian dari trik dan dibiayai oleh PT Kitadin itu menyebutkan, 47% KK setuju dengan program pemindahan, 11% menerima dengan syarat, 7% ragu-ragu, 13% tidak berkomentar, dan 22% tidak setuju.63 Hasil jajak pendapat ini berlawanan dengan pendapat para tokoh masyarakat setempat yang mayoritas menolak pemindahan desa. Beberapa kali perusahaan membuat verifikasi atas hasil jajak pendapat ini, namun hingga sekarang tidak ada tindak lanjut pemindahan desa. Bagi pihak-pihak yang menyetujui rencana relokasi ini, gembar-gembor sosialisasi relokasi desa dianggap sebagai politik pihak perusahaan saja. Pihak-pihak yang menyetujui relokasi desa, umumnya bukanlah para transmigran yang memiliki ikatan tanah kuat. Kebanyakan warga yang langsung menyetujui relokasi adalah kelas para pekerja/buruh yang tidak mengalami masa-masa sulit merintis lahan pertanian dari hutan belantara. Mantan Kepala Sekolah SD N 011, Tenggarong Seberang, Ch, adalah salah satu bagian dari kelompok yang menghendaki relokasi dilakukan. Berlawanan dengan banyak kesaksian warga transmigran, menurutnya, sebenarnya banyak penduduk Kerta Buana yang bersedia direlokasi. Tetapi, di mata Ch, perusahaan 62 63 Ibid., hlm. 3. Laporan monitoring Desa Kerta Buana, Jatam Kaltim, September 2003, hlm. 3. 160 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana tidak sungguh-sungguh mengambil langkah demi suksesnya relokasi desa tersebut. 2. Strategi Gerilya Budaya dalam Pembebasan Tanah: Penguatan Sentimen Budaya Lokal dan Pesona Gelar Haji untuk Warga Muslim Lombok Rencana relokasi desa yang gagal membuat perusahaan menempuh cara-cara lain untuk membebaskan tanah di Desa Kerta Buana. Pihak-pihak perusahaan menggandeng orangorang yang setuju dengan relokasi untuk membujuk masyarakat setempat agar bersedia melepaskan tanah mereka. Tahun-tahun 2000-an, menurut beberapa informan di Desa Kerta Buana, telah muncul beberapa orang yang berperan sebagai perantara penjualan tanah antara masyarakat dan perusahaan. Ada beberapa orang yang muncul menjadi calo-calo tanah, yakni Kh (etnis Lombok), I Wayan Ad (Bali, kades pada masa itu), dan Mkm (Bali). Para perantara ini terus melakukan pendekatan dengan masyarakat agar mau melepaskan tanahnya kepada perusahaan. Pada saat yang sama, mereka juga terus menawarkan beberapa tanah kepada masyarakat yang telah terbujuk ke pihak perusahaan. Tugas para perantara ini adalah mendatangi rumah warga satu-per satu untuk membujuk mereka melepaskan tanahnya. Harga awal-awal yang mereka tawarkan, menurut Kmd, mulai dari Rp60.000.000,00 untuk 1 hektar lahan persawahan. Jumlah ini dirasakan sangat besar bagi masyarakat setempat pada masa itu. Para perantara mengantarkan warga yang telah setuju melepaskan tanahnya kepada perusahaan, melakukan transaksi, dan dibayar secara tunai. Pergerakan harga tanah terus merangkak naik untuk mempercepat masyarakat melepaskan tanahnya. 161 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Harga mula-mula tanah dan pekarangan bergerak dari sekitar Rp60.000.000,00, terus naik secara bertahap hingga sekitar Rp300.000.000,00. Pada tahun 2005, menurut Pak Kmd, hanya tinggal 2 orang yang masih mempertahankan lahan persawahan dan rumah mereka. Satu warga terakhir yang akhirnya bersedia melepaskan tanahnya dengan negosiasi sangat alot dibayar dengan harga Rp1.000.000.000,00.64 Ada perbedaan khas strategi-strategi budaya yang digunakan oleh para calo tanah dalam membujuk warga untuk melepas kan tanahnya. Strategi-strategi ini dilancarkan dengan menggabungkan sentimen budaya lokal, semangat keagamaan, dan iming-iming keuntungan bisnis. I Wayan Try memberikan kesaksian bahwa masa-masa ledakan pembebasan tanah itu diwarnai dengan isu-isu sentimen budaya lokal. Warga transmigran ditakut-takuti oleh isu rasial untuk menghidupkan kekhawatiran atau ketakutan di kalangan warga. Sentimen budaya lokal dihembuskan dengan membenturkan orang-orang kampung65 terdekat (Separi). Para calo tanah selalu menghembuskan isu bahwa orang-orang kampung masih ingin merebut hak atas klaim-klaim tanah yang eks lokasi ladang berpindah, yang kini menjadi milik warga transmigran. Mereka selalu mengingatkan kemungkinan risiko para transmigran akan kehilangan tanah mereka, baik dengan cara legal (gugatan pengadilan) maupun kekerasan, seperti kerusuhan yang pernah terjadi di Lampung. Orang-orang yang menghembuskan isu-isu 64 Pada awalnya, keluarga ini lama bertahan untuk tidak menjual tanahnya. Namun, karena terus-terusan dibujuk, warga tersebut menawarkan harga fantastis, yakni Rp3.000.000.000,00. Harga fantastis ini dipasang sebenarnya agar perusahaan menyerah. Melalui negosiasi bolak-balik, warga ini menyetujui melepas tanah persawahan mereka dengan harga Rp1.000.000.000,00; harga yang sangat mahal saat itu, atau 3 kali lipat dari harga lahan warga lain. 65 Sebutan “orang kampung” digunakan oleh warga transmigran untuk menunjuk kepada warga etnis lokal (Dayak, Kutai) yang dulu turut menjadi warna trans lokal. 162 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana rasial ini berasal dari para calo warga sesama etnis Bali maupun orang-orang dari perusahaan. Beberapa warga, baik etnis Bali ataupun Lombok, ada yang kemudian melepaskan tanahnya karena terhasut oleh isu rasial ini. “Sebenarnya, pascapertemuan yang gagal itu, saya mengumpulkan warga di rumah ini untuk menguatkan daya pertahanan mereka terhadap perusahaan. Kita ke sini ini kan mencari lahan, mengalami masa-masa susah membuka lahan, mereka itu kan tidak tahu rasanya. Memang duitnya dipakai untuk beribadah, tapi yang namanya naik haji itu kan tidak semudah membalik telapak tangan. Asal punya uang, lalu bisa naik haji. Haji itu tidak sembarangan. Namun, rupanya ada pihak-pihak yang kurang menyukai saya. Mereka sengaja menjajakan tanah orang transmigran kepada perusahaan. Bahkan, saya pernah difitnah cari untung bisnis pribadi dengan menahan warga menjual tanah. Mereka mendatangi warga dari pintu-ke pintu, dan akhirnya banyak yang tergiur menjual sawahnya. Di Blok A ini, hanya tinggal 2 orang yang bertahan hingga tahun kemarin; saya dan itu (menunjuk rumah seberang jalan). Itu juga karena dia mendengarkan nasihat saya. Kalau seandainya dia menggunakan pendiriannya sendiri, mungkin juga sudah terbawa arus. Istrinya juga sangat mendukung untuk menjual tanah. Sekarang ini, satusatunya trans Lombok yang tanahnya masih utuh cuma saya. Bahkan, tanah pekarangan pun sudah banyak yang mereka jual pecah-pecah kavelingan, satu pekarangan ada yang sampai 5 atau 7 rumah. Sekarang, mereka menyesal, tetapi sudah telanjur,” ujar Pak Imam/Kmd, tokoh transmigran etnis Lombok. 163 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Strategi kedua yang dilakukan khusus untuk warga transmigran etnis Lombok adalah pesona ibadah haji. Bagi para transmigran muslim, bisa menunaikan ibadah haji adalah impian tersendiri. Sebelum invasi perusahaan, menunaikan haji hanyalah merupakan impian yang mustahil diwujudkan di kalangan masyarakat transmigran ini. Walaupun produksi padi beranjak naik, saat itu, rata-rata hasil panen belum banyak dijual ke luar Kerta Buana. Untuk menghasilkan untung, kebanyakan orang masih menyimpan hasil panen untuk persediaan makanan keluarga. Tidak pernah terbayangkan pada masa itu mereka bisa memegang uang juta-jutaan. Sejak tahun 2003-an, menurut Pak Imam, mulai ada 1 atau 2 warga tergiur uang. Semakin lama, semakin banyak warga etnis Lombok yang melepas tanahnya ke perusahaan. Ledakan orang naik haji terjadi mulai tahun-tahun ini. Lahan persawahan warga etnis Lombok, terutama yang di Blok B, sudah diambil alih perusahaan. Pak Imam kini satu-satunya warga etnis Lombok yang masih memiliki tanah utuh, baik pekarangan maupun lahan sawahnya. 3. Transmigran Bali Menghadapi Godaan Pelepasan Tanah Lahan II menjadi lahan transmigran Bali yang pertama kali dilepas untuk dijual kepada perusahaan. Keputusan menjual lahan II pada umumnya karena kesadaran akan posisi sebagai pendatang yang lemah dalam berhadapan dan mempertahankan klaim tanah melawan transmigran lokal. Hampir semua informan dari transmigran Bali sangat berhati-hati dalam menjawab pertanyaan terkait dengan pelepasan lahan ke perusahaan. 164 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Menurut Pak Ty, ikatan orang Bali dengan tanah sangat kuat. Terlebih lagi tujuan para transmigran datang ke Kerta Buana adalah mencari tanah. Namun, perusahaan juga terus melakukan pendekatan. Menurutnya, ada orang dalam perusahaan yang memang ditugaskan khusus untuk melakukan pendekatan kepada warga transmigran. Perusahaan juga menggunakan orangorang dari warga transmigran yang dipercaya untuk melakukan pendekatan langsung ke rumah-rumah warga. Pada tahun 2000–2003, dipastikan hampir semua lahan II yang berlokasi di eks lahan MKT sudah dikuasai oleh PT Kitadin. Tidak ada satu pun informan dari warga transmigran Bali yang bersedia menggambarkan situasi pendekatan-pendekatan pihak perusahaan agar para transmigran melepaskan lahan II. Namun, tokoh transmigran etnis Lombok, Pak Kmd, menggambarkan agak detail tentang masa-masa perusahaan terusmenerus melakukan persuasi agar warga transmigran bersedia melepaskan tanahnya. Jalan gerilya membujuk penduduk dari rumah ke rumah tampaknya menjadi sangat efektif untuk mendapatkan lebih banyak lahan masyarakat yang bisa ditambang. Beberapa tokoh masyarakat mengatakan bahwa peran kepala desa pengganti Dewa Alit memuluskan jalan penundukan penduduk yang antipasti tambang. Kades yang berkuasa seputaran 2003 ini konon juga menjadi makelar yang menghubungkan masyarakat yang telah bersedia melepas tanah kepada perusahaan. Ada perbedaan karakter budaya yang cukup signifikan antara penduduk etnis Bali dan Lombok dalam menghadapi kepungan tambang dan godaan melepas tanah. Perbedaan meliputi ikatan terhadap tanah, alasan pelepasan tanah, dan penggunaan uang ganti rugi, sebagaimana yang tampak pada tabel berikut: 165 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Perbedaan Karakter Budaya dan Sikap Hal Bali Lombok Ikatan dengan tanah Sangat kuat; mitos Cair; sekadar aset Dewi Sri Alasan pelepasan tanah Karena sudah tercemar tambang Karena harga cocok Penggunaan uang ganti rugi Investasi Naik haji Peralihan profesi Pekebun sawit dan pengusaha transportasi Buruh tambang dan petani tanpa lahan Tabel 4.2 Perbedaan sikap etnis Bali versus Lombok dalam merespons godaan pelepasan tanah (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Etnis Bali memiliki ikatan sangat kuat dengan tanah. Bagi mereka, Kerta Buana adalah “tanah harapan”. Tanah di Kerta Buana telah diberkahi oleh Dewi Sri, dewi dalam limpah ruah panen padi. Sikap ini dianggap mutlak sebagai perwujudan rasa syukur kepada Dewi Sri yang telah memberi kesejahteraan. Orang Bali sangat sulit melepas tanah, apalagi tanah masih produktif, walaupun ditawari ganti rugi yang menggiurkan. Sebagian besar penduduk Bali keberatan melepas tanah. Sebagian kecil yang melepaskan tanah adalah orang-orang yang beralasan tanahnya telah tercemar tambang atau sulit digarap karena tidak ada lagi sumber air dari atas. Beruntung jika tanah yang ingin dilepas ini ada kandungan batu bara, maka harga tanah bisa dibayar layak. Namun, bagi tanah-tanah yang di lapisan bawahnya tidak ada kandungan batu bara, atau ada kandungan 166 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana batu bara, namun kalorinya dianggap kurang, maka harga tanah akan sangat murah. Di sini, petani rugi dua kali; pertama, tanahnya sudah kritis, tidak bisa ditanami lagi atau produksinya sangat rendah, dan kedua, harga jual sangat rendah, sedangkan tanah adalah satu-satunya aset mereka. Berbeda dengan etnis Lombok, kebanyakan penduduk etnis Bali yang menjual tanah menggunakan uang untuk investasi. Sebagian besar dari mereka membeli tanah di luar Kerta Buana, kemudian membeli kebun kelapa sawit di sekitar Kukar dan Kutim. Di Kerta Buana, muncul kelas-kelas pemilik kebun sawit yang relatif luas di luar Kerta Buana. Banyak keluarga etnis Bali bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai bangku kuliah dari hasil sawit ini, walaupun di Kerta Buana, mereka hanya petani dengan lahan sangat sempit. Beberapa keluarga lain menggunakan uang ganti rugi untuk investasi di bidang jasa angkutan, seperti membeli armada bus untuk disewakan ke tambang. I Wayan Adn adalah salah satu wirausahawan sukses pada masanya. Saat para transmigran masih berpeluh keringat membuka lahan, ia menjual rumah transmigrannya untuk modal usaha. Penjualan lahan ini digunakannya untuk membeli pekarangan di pinggir Jalan Poros, meskipun hanya bisa mendapatkan pekarangan yang jauh lebih sempit. Lokasi baru ini digunakan untuk merintis usaha warung sembako. Ia muncul sebagai pedagang sukses di Kerta Buana, bahkan sempat melebarkan usaha di bidang transportasi. Ketika kondisi jalan dan transportasi Kerta Buana-Samarinda masih begitu sulit, ia telah memiliki armada mobil merek Charry yang difungsikan sebagai jasa transportasi Kerta Buana-Samarinda atau sesuai pesanan penyewa. Kesuksesan 167 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti usaha ini mengantarkannya memenangkan pilihan kepala desa dan menjabat pada tahun 2000-an. Akhirnya, ia mengalami kemunduran usaha saat memasuki ranah bisnis kayu. Sebagian besar transmigran etnis Bali memilih investasi tanah sawah atau perkebunan ketika harus menjual lahan mereka. Ada semacam rumus baku yang berlaku universal di kalangan mereka, yakni “jual tanah kembali ke tanah”. Ini merupakan prinsip yang dipegang cukup kuat. Beberapa informan bersaksi bahwa banyak warga transmigran Bali yang kelihatan di Kerta Buana biasa-biasa saja, tetapi mereka memiliki aset yang cukup besar di luar Kerta Buana. Ni Wayan Gs adalah contoh dari tipe ini. Lahan I yang tak bisa lagi dipertahankan karena lokasi sudah terkepung tambang. Keluarganya menginvestasikan hasil penjualan lahan untuk perbaikan rumah ibadah, rumah tinggal, membeli beberapa petak sawah dari transmigran lain, dan membeli 2 hektar kebun sawit di wilayah Kutai Timur. Walaupun lahan persawahan (lahan II) jatah transmigran sudah habis, namun keluarganya tidak mengalami kesulitan ekonomi yang cukup berarti. Satu orang anaknya masih kuliah di Samarinda, anak yang pertama sudah bekerja; mereka tampak hidup dengan bersahaja, tetapi memiliki aset cukup besar untuk ukuran para transmigran di Kerta Buana. Sebaliknya, warga etnis Lombok kurang memiliki ikatan yang kuat terhadap tanah. Sejak awak kedatangan saja, banyak etnis Lombok yang sudah menyerah kembali pulang ke kampung halaman dan menjual tanah mereka ke sesama warga transmigran dengan harga yang sangat murah. Pada tahun 2003/2004, saat PT Kitadin mulai melakukan gerilya dari rumah ke rumah, mulai 168 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana muncul tren naik haji di kalangan penduduk etnis Lombok yang mayoritas muslim. Ketika itu, berkembang semacam tren bahwa warga yang mampu naik haji adalah warga yang hidup sukses di perantauan. Tahun-tahun ini merupakan masa penduduk etnis Lombok berbondong-bondong naik haji dengan uang ganti rugi lahan. Pada tahun 2004, sebagian besar tanah warga etnis Lombok di Blok B sudah menjadi milik perusahaan. Sebagian tanah langsung dieksplorasi, sedangkan sebagian lain tetap dikerjakan oleh penduduk, namun status kepemilikan sudah berada di tangan perusahaan. Pada periode ini, muncul kelas-kelas sosial baru di Kerta Buana; penduduk laki-laki etnis Lombok yang menunaikan ibadah haji dengan uang ganti rugi tanah. Secara religi, mereka menyandang status haji. Namun, pada saat yang sama, mereka menjadi petani penggarap tanah perusahaan yang harus mereka tinggalkan kapan pun perusahaan akan melakukan eksplorasi di tanah yang bersangkutan. Pada tahun 2003 ke atas, menurut beberapa informan, terjadi ledakan animo masyarakat pergi naik haji yang cukup besar; warga muslim Lombok di Kerta Buana. I Ketut Ys mengingat bahwa tahun-tahun ini, ada semacam tren baru di kalangan masyarakat etnis Lombok di Kerta Buana, bahwa yang dianggap sebagai “orang keren” adalah yang sudah berhaji. Gelar haji menjadi penanda kesuksesan hidup umat muslim etnis Lombok di Kerta Buana. Semua keluarga yang melepaskan tanah ke perusahaan digunakan untuk naik haji. Suatu kali, menurut Pak Kmd, satu keluarga sampai ada 6 anggota keluarganya naik haji secara bersamaan. Bahkan, pernah terjadi dalam 1 kali masa pemberangkatan haji, warga Kerta Buana tercatat sebanyak 40 warga melakukan ibadah haji 169 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti pada tahun yang sama; semuanya warga etnis Lombok. Jumlah ini sangat fantastis untuk wilayah desa. Ia mengingat, betapa ia kewalahan membantu melayani pengurusan surat-menyurat berkas perlengkapan naik haji warga. 4. Munculnya Kelas-Kelas Sosial Baru di Kerta Buana Perubahan Kerta Buana dari wilayah desa pertanian padi menjadi desa terkepung tambang melahirkan kelas-kelas sosial baru. Kelas-kelas baru ini muncul, terutama pascatambang terbuka. Beberapa kelas baru yang muncul pascatambang open pit mining adalah sebagai berikut: a. Kelas Pengusaha Transportasi Kelas ini muncul dari segelintir warga etnis Bali yang memutuskan menjual tanah mereka kepada perusahaan untuk berinvestasi di luar bidang pertanian. Salah satu yang pernah dianggap sukses adalah I Wayan Adn, mantan kades, yang juga dikenal sebagai makelar tanah ke perusahaan. Ia juga sering disebut-sebut beberapa informan sebagai “tertuduh” yang juga turut serta menjadi corong perusahaan, sekaligus membujuk warga agar bersedia melepaskan tanahtanah mereka. Belakangan, ia juga dikenal sebagai pengusaha kayu lokal, sebelum akhirnya bangkrut karena larangan perdagangan kayu ulin. Selain I Wayan Adn, muncul seorang pendatang yang juga sukses membangun usaha transportasi lokal, yang membeli banyak armada bus untuk antar-jemput karyawan tambang, 170 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana sekaligus menyewakan dumb truck atau mobil double garden. Beberapa pengusaha transportasi lokal muncul dari kelaskelas karyawan tambang. Umumnya, mereka mengajukan kredit bank untuk membeli armada double garden atau mobil biasa untuk disubkontrakkan sebagai kendaraan tambang. b. Kelas Karyawan Tambang Kelas buruh tambang didominasi oleh tenaga kerja pendatang yang bekerja sebagai para operator tambang. Saatsaat awal tambang terbuka beroperasi di sekitar Kerta Buana, para pekerja yang bertindak sebagai para operator masih banyak didatangkan dari luar Kerta Buana, bahkan luar Kaltim. Saat ini, generasi kedua dan ketiga keturunan para transmigran, telah banyak yang bekerja sebagai operator. Kelas karyawan tambang sebagai karyawan tetap muncul pada generasi kedua transmigran, yakni anak-anak yang lahir di Kerta Buana, yang sebagian berpendidikan SMP/SMU. c. Kelas Buruh Non-Skill/Buruh Kontrak Kelas ini telah muncul sejak PT Kitadin melakukan eksplorasi dengan sistem tambang dalam. Jumlahnya semakin berkurang seiring ditututupnya tambang dalam berganti dengan tambang terbuka. Pada sistem tambang terbuka, tenaga buruh minimal memiliki ijazah SMU sederajat dan mampu mengoperasikan alat berat. Posisiposisi untuk tenaga buruh non-skill semakin terbatas hanya untuk tenaga peledakan dinamit dan waker. 171 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti d. Petani Tak Berlahan Bergelar Haji Kelas petani penggarap lahan perusahaan muncul seiring keberhasilan perusahaan membujuk penduduk Kerta Buana untuk melepaskan tanah. Jumlah terbanyak dari kelas petani tanpa lahan ini adalah para transmigran etnis Lombok yang melepaskan tanah dan menggunakan uang untuk beribadah haji. Mereka masih tetap menggarap lahan bekas milik mereka, namun harus siap setiap saat merelakan tanamannya tergusur kapan pun oleh perusahaan, yang akan mengeksplorasi lahan itu. e. Polisi Kelas polisi muncul pada generasi kedua para transmigran. Sangat menarik bahwa kelas baru di atas kelas buruh tambang yang muncul adalah kelas para polisi. Setidaknya, ada 20 generasi kedua dari para transmigran ini menjadi polisi. Namun, beberapa kesaksian mengaku belum ada peran yang cukup berarti terkait para polisi warga asli Kerta Buana ini dalam meningkatkan daya tawar masyarakat di hadapan tambang. D. Pergeseran Tipe-Tipe Konflik (2005–Sekarang) Konflik-konflik memang sudah ada sejak awal mula kedatangan para transmigran. Konflik-konflik lebih banyak bersifat laten. Ketegangan-ketegangan rasial sesekali ada, namun tidak pernah muncul dalam skala manifes. I Wayan Mkr pernah merasakan ada tekanan atau semacam pelecehan yang tak terang-terangan terhadap aktivitas peribadatan Hindu dan sesajen yang dibuat oleh para 172 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana transmigran Bali. Sebaliknya, istri Kmd, sesepuh transmigran muslim etnis Lombok, juga mengaku pendirian madrasah di Blok A, salah satunya dilatarbelakangi keluhan banyaknya anjing peliharaan warga etnis Bali yang membuat anak-anak etnis Lombok takut pergi ke sekolah. Konflik-konflik laten berbau rasial sangat sering terjadi, namun jarang sekali yang berkaitan dengan perebutan aset-aset material. Ismadi mengatakan, pernah sekali saja ia melerai konflik antara etnis Lombok dengan Kutai. Konflik itu dipicu oleh penyemprotan pestisida di sawah-sawah yang menyebabkan matinya bebek-bebek peliharaan transmigran lokal etnis Kutai. Saat itu, konflik sempat sangat panas, hampir saja terjadi perkelahian massal. Tetapi, petugas keamanan dari Polda Samarinda datang tepat waktu. Setelah itu, menurut Ismadi, tak pernah lagi terjadi konflik rasial yang serius. Namun, sering terjadi pencurian bantuan jatah pupuk, pestisida, dan bibit-bibit oleh oknum-oknum transmigran lokal, tetapi sepenuhnya adalah kasus-kasus kriminal biasa. Konflik-konflik yang terjadi pascaeksplorasi open pit mining menampilkan tipe-tipe yang sama sekali berbeda. Konflik-konflik lebih bersifat manifes, sangat kelihatan di permukaan dengan cakupan pihak-pihak yang lebih kompleks dan meluas. Konflik-konflik juga lebih mengarah kepada klaim-klaim aset material, bukan lagi kecurigaan-kecurigaan, stereotip, ataupun perbedaan nilai-nilai etnisitas dan agama. Pada awal-awal eksplorasi, konflik-konflik didominasi oleh pencemaran limbah tampang yang dirasakan mengganggu aktivitas pertanian ataupun ketenangan hidup di pemukiman. Makin lama, konflik bergerak ke arah isu-isu kepemilikan dan ganti rugi tanah. 173 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti 1. Konflik Ganti Rugi Gagal Panen Jatam Kaltim mencatat, sejak tahun 2003, banyak kasus pencemaran limbah tambang ke kawasan pertanian warga Kerta Buana. Sawah-sawah yang berdekatan dengan lokasi eksplorasi tambang mulai merasakan dampak sedikit demi sedikit. Dampak yang pertama kali dirasakan adalah kondisi air yang mengairi sawah-sawah mereka menjadi tidak sejernih sebelumnya. Air irigasi mulai berwarna kecokelatan, semakin lama semakin keruh, bahkan hingga berwarna cokelat tua atau kehitam-hitaman. Kualitas air dicurigai menjadi kurang baik untuk pertumbuhan tanaman, namun 1 atau 2 tahun pertama, warga masih sebatas saling mengeluh. Lama-kelamaan, para petani merasakan kerugian yang semakin besar, yang mendorong warga melakukan protes ke perusahaan. Berikut penjelasan selengkapnya: a. Jatam Kaltim mencatat, setidaknya 2 kali protes warga terjadi pada tahun 2005 karena gagal panen. Protes pertama terjadi karena seluas 100 hektar sawah petani di Dusun Sidha Karya dan Budi Daya dicemari oleh limbah tambang, termasuk oli mobil berat. Protes ini mendorong perusahaan untuk memberikan ganti rugi kepada petani, namun tidak sebanding dengan kerugiannya. PPL setempat, Bu Leleng, menceritakan bahwa besaran ganti rugi dalam kejadian ini hanya berkisar Rp1.000.000,00–Rp1.5000.000,00. Jumlah ini menurutnya sangat tidak sebanding dengan nilai kerugian para petani. Hitung-hitungan saat itu, biaya tanam untuk lahan seluas I hektar mencapai Rp5.000.000,00. b. Masih pada tahun yang sama, limbah PT MSJ kembali membenamkan lahan sawah warga. Menurut ketua kelompok Tani 174 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Karya Bhakti, MK; banjir disertai limbah MSJ disebabkan oleh jebolnya tanggul perusahaan. Para petani gagal panen total dan hanya diganti rugi uang Rp1.500.000,00 untuk kerusakan 100%. Sedangkan, untuk kerusakan 50% hanya diganti uang Rp750.000,00. c. Mantan Kepala Sekolah SD N 011, Tenggarong Seberang, Ch, mengatakan bahwa jebolnya tanggul perusahaan mengakibatkan banjir, bukan hanya menimpa sawah-sawah warga, namun juga masuk ke rumah-rumah penduduk, terutama di sekitar Blok A dan B. Ch tidak ingat persis tahun kejadiannya, sekitar 2006–2007. Karena kerugian yang ditanggung masyarakat dirasa sangat besar, menurutnya saat itu terjadi demo besar-besaran oleh warga pemilik sawah dan penghuni Blok A dan B. Ch menggambarkan demo itu sebagai demo spontan karena tiba-tiba banjir sampai masuk rumah, bahkan mencemari sumur-sumur warga. Namun, ia juga mengaku mengorganisir demo warga ini bersama Dm (anak Dewa Alit), Kh, Rv, dan lain-lain. Ch dan teman-temannya mengaku merasa bertanggungjawab agar warga bisa mendapatkan ganti rugi yang layak dengan hitung-hitungan yang rinci dan jelas. Menurutnya, saat itu, hitung-hitungan hingga sampai pada item kerugian terkecil, seperti sandal yang rusak, air sumur yang tercemar, jemuran yang hanyut, dan lain sebagainya. Demo segera dihentikan setelah perusahaan dan perwakilan masyarakat mencapai kesepakatan besaran ganti rugi. Ch tidak mengingat dengan rinci besaran ganti rugi per item barang, namun menurutnya respons perusahaan cukup baik. 175 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Gambar 4.11 Pak Ch., Mantan Kepala SDN 011, Tenggarong Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) d. Kerugian nonmaterial pernah dirasakan oleh warga Blok C1 dan C2 yang berdekatan dengan eksplorasi PT Kitadin. Kepada Jatam Kaltim, Dewa Alit pernah mengeluhkan jarak eksplorasi tambang yang hanya 50 meter dari rumahnya, dan ada danau raksasa seluas 30 hektar dengan kedalaman 30 meter (ukuran terpampang tak jauh dari lubang tambang ini) di sebelahnya. Waktu masih beroperasi, blok ini paling merasakan getaran blasting sampai-sampai membuat rumah warga retak-retak. Pekarangan pelan-pelan longsor, dan pohon-pohon singkong di belakang rumah juga ikut mati. Lubang semakin besar karena terkena air hujan. Jika 176 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana perusahaan melakukan peledakan, kerap terjadi getaran yang mampu membuat retak rumah beton, debu yang tidak dapat dikontrol, suara gemuruh operasi yang mengganggu istirahat penduduk, dan hilangnya sumber air penduduk. Perusahaan sempat menghentikan operasinya di Blok C2 ini karena diprotes warga. 2. Ketegangan Rasial Konflik Kepemilikan Tanah Sebenarnya, konflik-konflik sudah ada sejak awal mula kedatangan para transmigran. Konflik-konflik laten pun telah ada ketika penduduk lokal dipaksa keluar dari wilayah Kerta Buana dan sebagian besar wilayah Tenggarong Seberang. Para informan dari kalangan transmigran etnis Jawa dan Bali maupun para transmigran lokal sama-sama mengerti bahwa sebagian besar lokasi Desa Kerta Buana adalah lokasi eks ladang berpindah penduduk lokal. Berikut penjelasan selengkapnya: a. Pada tahun 2007–2008, warga Blok D, Pak Dr, memimpin gerakan karena eksplorasi tambang PT MSJ menyumbat jalur irigasi pertanian mereka. Pak Dr sendiri hanya mengingat berdemo dengan 7 orang anggota yang memiliki sawah di sekitarnya. Namun, Jatam Kaltim mencatat, demo ini semula diikuti oleh perwakilan 13 kelompok tani yang lokasi sawahnya saling berdekatan. Demo berlangsung kurang lebih 1 minggu, tetapi pada hari-hari terakhir hanya menyisakan 7 orang anggota. Para pendemo melakukan aksi dengan memasang tali rafia mengelilingi lahan sawah mereka yang juga berfungsi memblokade lalu-lalang kendaraan tambang. Pada hari ketujuh aksi, Dr dan teman-temannya diintimidasi oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai 177 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti orang Kutai, putra daerah. Kelompok orang ini memaksa agar demo dihentikan karena mengganggu keamanan eksplorasi tambang. Intimidasi terus berlangsung hingga akhirnya seluruh anak buah Dr menghentikan demo dan menyerah menjual lahan mereka ke PT MSJ. Setelah itu, satu per satu lahan di sekitar Pak Dr dibeli oleh PT MSJ dengan harga yang bervariasi. Orang-orang yang melepaskan lahan pada masa awal hanya dihargai Rp30.000.000,00, yang terus beranjak naik dan mentok pada harga tertinggi, yakni Rp80.000.000,00. Beberapa bulan kemudian, tinggal Pak Dr yang mempertahankan sawahnya. Pak Dr melanjutkan aksi demo sendirian dengan cara yang sama, yaitu membentangkan tali rafia di sekeliling lahan sawahnya, sedangkan di tengah-tengahnya dipasang bendera merah putih. Berkali-kali perusahaan berusaha melakukan negosiasi agar ia mau melepaskan tanahnya, karena hanya ia satusatunya orang yang belum melepaskan sawahnya. Berbagai bujukan perusahaan gagal, akhirnya pengalaman intimidasi sekelompok orang mengaku putra daerah kembali dialaminya. Intimidasi ini pun dilawannya dengan berani. Akhirnya, ia ditangkap polisi tanpa pengadilan dan dijebloskan ke dalam penjara selama 3 bulan. Atas pertolongan pejabat setempat yang berempati terhadap Pak Dr, ia bisa keluar dari penjara, dan berhasil membuat perusahaan mengalami tekanan dari pemerintah kabupaten saat itu. Dengan nego yang alot, Pak Dr melepas tanahnya dengan harga Rp1.000.000.000,00 atau 10 kali lipat dari harga yang dibayarkan kepada para petani sebelumnya. 178 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 4.12 Pak Dr dari Blok D (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) b. Pada tahun 2015–2016, beberapa pemuda yang dimotori oleh seorang mahasiswa asal Kerta Buana juga melakukan demo menuntut penghentian semua perusahaan tambang di sekitar Kerta Buana. I Ketut Y mengatakan bahwa demo ini kemudian dibenturkan dengan orang-orang kampung (penduduk lokal). Menurutnya, perusahaan sengaja membenturkan warga secara horizontal agar masyarakat berkelahi sesama teman sendiri. Demo ini pun dibubarkan oleh aparat desa dan keamanan dengan dalih keamanan, tanpa ada jawaban pasti dari pihak perusahaan. Sejak saat itu, intensitas demonstrasi semakin menurun, bahkan cenderung dihindari karena mereka mengaku hanya akan diadu oleh sesama teman sendiri. 179 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti c. Pada tahun 2017 akhir, ketika harga batu bara mulai naik, warga Blok C mengalami intimidasi rasial yang kemudian mendorong mereka melepaskan tanah mereka kepada perusahaan. Salah satu yang mengalami hal ini adalah menantu Mangku Swd. Menurut Mangku Swd, “orang kampung” mendatangi Blok C, lalu melakukan intimidasiintimidasi yang membuat warga etnis Bali gelisah. Mereka mengklaim tanah-tanah warga Blok C adalah tanah leluhur mereka yang seharusnya menjadi hak milik mereka. Atas dasar itu, mereka meminta agar menantunya itu menjual tanah ke perusahaan dan membagi dua hasil penjualan kepada orang ini. Karena terus ditekan, maka menantu Swd menyerah. Lahan pekarangan yang sudah berbatasan dengan eksplorasi tambang itu dijual seharga Rp3.000.000.000,00, dan dibagi 2 dengan orang yang mengklaim itu. Saat ini, menantu Swd telah membeli tanah di lokasi lain dan membangun rumah baru yang megah. Menurut Swd, banyak warga Blok C yang mau tak mau melepaskan tanah mereka karena intimidasi yang sama. Kini, menurutnya, sudah separuh lebih pemukiman Blok C beralih tangan ke perusahaan. E. Kampung Terkepung Tambang, Penyempitan Lahan, dan Penurunan Produktivitas Pertanian Pada tahun 2010, Jatam Kaltim membuat peta kasar kondisi Desa Kerta Buana yang cukup memprihatinkan. Desa ini terapit oleh dua perusahaan tambang besar di sisi kanan dan kiri, beserta puluhan kontaktor dan subkontraktor. Eksplorasi tambang yang mengepung Desa Kerta Buana ini pada tahun 2010 setidaknya telah menghasilkan 180 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 14 danau lubang tambang dengan ukuran bervariasi di sekitar desa. Lubang tambang ini sekarang sebagian sudah ditutup, sedangkan sebagian masih menganga, bahkan dimanfaatkan oleh warga untuk mengairi sawah dan memelihara ikan. Pada tahun 2015, danau lubang tambang di belakang Blok A “menelan” 3 pelajar SMU. Gambar 4.13 Peta kasar jumlah lubang tambang pada sekitar tahun 2010 (Jatam Kaltim 2010) Pembebasan lahan pertanian yang terus berlangsung selama 2 dasawarsa terakhir juga menyebabkan perubahan distribusi pemanfaatan lahan di Desa Kerta Buana. Monografi Desa Kerta Buana menunjukkan presentasi lahan sawah kurang dari 25%, sekitar 15% lahan sawah nonproduktif, dan selebihnya adalah lahan pemukiman. Data tahun yang sama menunjukkan kenyataan yang mencengangkan. Kurang dari 25% lahan persawahan yang masih menjadi milik sah 181 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti warga Kerta Buana, dan hampir 80% area persawahan telah menjadi lahan milik perusahaan. Gambar 4.14 Komposisi fungsi dan kepemilikan lahan di Kerta Buana (Jatam 2010) Lahan pertanian di Kerta Buana kini mengalami degradasi yang memprihatinkan. Luas lahan pertanian semakin menyempit karena desakan korporasi tambang. Kualitas air irigasi juga dikhawatirkan tak lagi ramah untuk pertumbuhan padi karena tak ada satu pun aliran air ke sawah-sawah di Kerta Buana kini yang tidak terkontaminasi oleh limbah tambang. Hilangnya hutan di perbukitan maupun belukar rawa-rawa di lembah-lembah membuat aliran air sangat berlimpah dan rentan banjir pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau kian rentan terhadap kekeringan. Pertanian padi saat ini sangat tergantung musim penghujan, itu pun jika tidak terlibas banjir dan risiko jebolnya tanggul-tanggul tambang batu bara. 182 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Gambar 4.15 Penyakit “padi putih” (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Beberapa informan mengeluhkan menurunnya kualitas panen dan munculnya penyakit dan hama-hama baru yang tak mereka kenali sebelumnya. Gejala penyakit padi yang baru muncul pascatambang terbuka adalah penyakit “padi putih”. Penyakit ini tidak begitu terlihat ketika padi belum berbunga. Padi terlihat seperti tumbuh subur dan normal. Namun, setelah padi berbuah dan menguning, pohon bagian atas akan berwarna putih, dan bulir-bulir padi menjadi kosong. Gejala ini mulai muncul kurang lebih 5 tahun setelah eksplorasi tambang terbuka. Penyakit ini bisa memangkas jumlah panen petani hingga turun 60–80% dari luasan lahan yang ditanami. Fenomena banjir juga menimbulkan dampak yang jauh berbeda antara banjir masa sebelum dan pascatambang. Menurut Pak Dr dan I Ketut Ys, dulu kalau terjadi banjir, sampai 3 hari pun padi terendam air, padi masih bisa tumbuh normal dan tetap dapat dipanen. Namun, sekarang, apabila terjadi banjir 1 hari saja, maka padi dipastikan akan membusuk dan gagal panen. Warna air banjir juga berbeda drastis. 183 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Dahulu, air banjir berwarna kecokelatan. Kini, air banjir berwarna cokelat kehitaman akibat limbah tambang. Gambar 4.16 Panen padi di Kerta Buana (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) Dilihat dari jumlah tonase, panen pascatambang terbuka dirasakan kian menurun drastis dan terus menurun sejak tahun 2010. Dahulu, menurut pengakuan Mangku Swd, Dr, I Ketut Y, dan beberapa informan lain; sebelum ada tambang terbuka dan polusi yang parah, 1 hektar sawah bisa menghasilkan 8–10 ton padi. Namun, kini, 1 hektar hanya menghasilkan 4–5 ton, itu pun bagi petani yang sungguh-sungguh bisa membiayai maksimal pertumbuhan padi. Jika padi terserang penyakit “putih”, maka panen bisa anjlok drastis, dan hanya memperoleh 1–1,5 ton. Pertanian padi di Kerta Buana kini menghadapi masalah yang sangat kompleks, sejak tahun 2010-an. Lahan semakin menyempit, sekaligus banyak petani bekerja di lahan milik perusahaan yang sudah dibeli dari anggota transmigran. 184 Bab V Kesimpulan dan Saran (Sri Murlianti) A. Kesimpulan Transmigrasi Etnis Bali ke Desa Kerta Buana menjadi salah satu bagian kecil dari instrument pelaksanaan jargon pemerataan pembangunan di era Orde Baru. Ada prakondisi dua arah yang menjadi pembenaran untuk memindahkan penduduk desa-desa di Bali ke Kerta Buana. Satu sisi, desa-desa di Bali sangat padat penduduk, banyak keluarga petani tidak memiliki lahan garapan, menjadi buruh tani dengan penghasilan minim atau kerja serabutan dengan hasil tidak pasti. Di sisi lain, wilayah Kerta Buana dan Kecamatan tenggarong Seberang pada umumnya, saat itu masih berupa belantara yang luas dengan penduduk yang sangat sedikit. Wilayah ini 185 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti sulitanggap maju karena kekurangan tenaga untuk membuka lahan menjadi pusat-pusat perkembangan yang baru. Transmigrasi mulai dilaksanakan pada akhir tahun 1980. Semula transmigrasi ini tampak menjadi formulasi yang sangat tepat untuk memajukan kehidupan masyarakat baik bagi transmigran maupun bagi wilayah lokal yang menjadi tujuan. Mereka membawa kehidupan social budaya dari tanah asal, membangun kehidupan baru berdampingan dengan tranmigran Etnis Lombok dan juga para tranmigran lokal Etnis Kutai dan Dayak. Perjuangan membangun identitas sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ tidak selalu mudah. Indentifikasi diri sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ harus dikompromikan dengan kondisi alam yang berat, Positioning sebagai pendatang yang harus berinteraksi dengan perbedaan budaya dari para transmigran Lombok, transmigran Lokal, dan infiltrasi budaya pertanian modern dari pemerintah. Integrasi social transmigran Bali di lokasi baru mengalami pasang surut mengikuti perubahan-perubahan konteks social, budaya, politik ekonomi lokal dan nasional. Perjuangan membangun identitas baru sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ melalui dentifikasi diri, positioning dan interaksi social berlangsung kompleks dan dinamis. Tahun 19801998 adalah masa-masa perjuangan memulai hidup baru, membangun identitas diri sebagai ‘orang Bali di Kerta Buana,’ membangun integrasi social bersama transmigran Lombok dan para trans lokal. Spiritualitas Hindu membentuk ikatan dengan tanah yang kuat, budaya kerja keras pantang menyerah dan perasaan sebagai pendatang menjadi sarana identifikasi diri yang khas. Pengetahuan penduduk lokal tentang musim, pengendalian hama dan karakter lahan gambut diadopsi dengan baik, membantu transmigran Bali mengenali dan 186 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana menahlukkan belantara Kerta Buana. Petugas Penyuluh Lapangan menyokong pengetahuan tentang budaya pertanian modern (bibit unggul dan obat-obatan), walaupun datang agak terlambat cukup membantu mengkoordinasikan pekerjaan-pekerjaan pertanian yang sulit mereka kendalikan termasuk berkoordinasi dengan para transmigran Bali dan Lokal Di sisi lain, perasaan sebagai pendatang menuntun sikap menarik diri terhadap ketegangan-keteganagan rasial yang sesekali muncul dari transmigran Lombok dan trans lokal. Kesadaran sebagai pendatang membuat mereka tidak mudah terprovoksai oleh perbedaanperbedaan budaya yang sesekali mendeskreditkan ritual-ritual Agama Hindu yang mereka yakini mendapat banyak stereotip negative dari para transmigran Lombok yang Muslim. Klaim-klaim kepemilikan tanah oleh para warga trans lokal sesekali terjadi namunmasih bisa diselesaikan oleh aparat dan tokonh masyarakat setempat. Penghormatan terhadap nilai spiritualitas tanah yang Sangat kuat, kemauan kerja keras dan mengadopsi pengetahuan lokal akan alam baru dan pengetahuan pertanian modern; membuat para transmigran lebih mudah melakukan adaptasi di lokasi pemukiman yang baru. Identifikasi Diri sebagai pendatang, membuat mereka tidak menghadapi ketegangan-ketegangan rasial dengan cara-cara frontal. Eksplorasi korporasi batubara dengan system under ground mining menjadi katub pengaman di masa-masa merintis pertanian dengan tantangan alam yang sulit. Kepala Unit transmigran yang kebetulan Etnis Bali, Figur kuat Dewa Alit sebagai kepala desa sekaligus tokoh masyarakat, dan kekuatan PPl yang ikonik berhasil meredam ketegangan-ketegangan rasial tetap berada di bawah permukaan sebagai konflik-konflik laten. 187 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Intergrasi social terbentuk melalui perpaduan adaptasi-adaptasi kultural yang cukup berat, mengukuhkan Desa Kerta Buana sebagai bagian dari lumbung padinya Kabupaten Kutai bersama hampir wilayah di Tenggarong Seberang. Memasuki tahun 1990-1997 bisa dikatakan tercapai integrasi social baru, di mana bertahan hidup dan membangun kawasan pertanian dari rimba rawa Kerta Buana. Identifikasi diri sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ berhasil dibangun dengan memadukan adaptasi nilai-nilai spiritualitas Hindu Bali atas tanah, perasaahan ‘tahu diri’ sebagai pendatang, adopsi budaya pertanian modern dan peran tokoh-tokoh ikonik seperti Dewa Alit dan PPL Ismadi Hanafi; memudahkan interaksi dengan kelompok etnis lain dan menguatkan positioning sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’. Integrasi social yang lama terbangun ini kemudian mengalami pergeseran yang signifikan memasuki tahun 1997 ketika desas-desus perusahaan batubara akan mulai menerapkan open pit mining. Tragedy lahan II di sekitar tahun 2000 menjadi titik awal di mana sebagian besar transmigran Bali melepas lahan II dengan harga sangat murah untuk segera dijadikan lokasi eksplorasi tambang. Eksplorasi open pit mining secara legal dimulai tahun 2003 di lokasi esk Lahan II memberi dampak pada lokasi sawah petani di Blok B, yang mayoritas dimiliki oleh para transmigran Lombok. Eks Lahan II adalah hutan dataran tinggi yang tadinya menjadi sumber pengairan sawah di Blok B menjadi gundul. Dampaknya para petani kehilangan sumber air yang mengairi sawah mereka, akhirnya sepenuhnya bergantung pada curah hujan, Masa ini adalah titik di mana para calo tanah mulai bertebaran di sekitar Kerta Buana. Godaan dan bujukan melepas tanah ke perusahaan mulai massif. Masa ini juga ditandai dengan meleahnya pengaruh Dewa Alit yang kalah dalam perebutan posisi 188 kepala desa, dimenangkan oleh Abdul Waid dari Etnis Lombok. Segelintir tranmigran Bali yang memiliki sawah di Blok B terpaksa turut menjual lahan karena sudah tidak bisa produktif lagi. Eksplorasi open pit mining menjadi titik balik kejayaan integrasi social dan kejayaan masa pertanian di Kerta Buana. Walaupun dengan proses panjang dan menghadapi perlawanan yang transmigran Bali, dengan berbagai strategi pada akhirnya tambang batubara mengepung Desa Kerta Buana. Himpitan korporasi yang terus membujuk warga melepas tanah, aparat pemerintah desa yang seakan tak berdaya, dan para makelar tanah yang muncul dari baik dari kalangan transmigran Bali, Lombok dan bahkan dari beberapa karyawan perusahaan dan aparat desa. Ada perbedaan strategi positioning warga transmigran Bali ketika mereka dihadapkan pada kekuatan perusaan yang mendesak mereka untuk bersedia direlokasi di tahun 2003. Sebelumnya, perasaan ‘tahu diri’ sebagai pendatang digunakan untuk menghambat tejadinya konflik-konflik manifest rasial dengan transmigran Lombok dan trans lokal. Ketika mereka berhadapan dengan desakan relokasi desa, identitas sebagai ‘orang Bali di Kerta Buana’ justru digunakan untuk penguatan posisi mereka menolak usaha bedol desa. Kekuatan identitas ‘Orang Bali di Kerta Buana’ tampak jelas dalam kegagalan perusahaan melakukan bedol desa memindahkan penduduk Kerta Buana ke lokasi lain agar wilayah Kerta Buana bisa dieksplorasi. Mereka sanggup membuat membuat perhitungan untung rugi relokasi desa bukan hanya mencakup rumah, kebun, persawahan, namun juga nilai tempat ibvadah dan harga yang harus dibayar untuk setiap ritual pendirian dan perpindahan pura-pura yang harus ditebus perusahaan. 189 Kegagalan usaha relokasi mengubah pola pendekatan perusahaan agar warga transmigran Bali bersedia melepas tanah. Tidak lagi memaksakan relokasi desa, tetapi membujuk warga satu persatu dari rumah-ke rumah dengan berbagai iming-iming pesona memiliki lahan sawit di luar Kerta Buana atau orang lain yang sukses bisnis di luar pertanian. Strategi ini ampuh memecah belah solidaritas transmigran Bali dalam hal pertahanan akan kepemilikan tanah. Pola-pola pembebasan tanah bergeser menjadi persoalan individual pemilik tanah melawan perusahaan. Tekanan bagi pihak-pihak yang sedikit radikal mempertahankan tanah, mulai dihadapkan pada konflik-konflik rasial, warga trans lokal mulai berani mengklaim tanah transmigran sebagai tanah leluhur mereka. Kebanyakan warga transmigran Bali terdesak dan memilih melepas tanah ke perusahaan karena ancaman konflik rasial seperti ini. Ada pergeseran pola-pola konflik semenjak open pit mining mulai beroprasi. Konflik-konflik rasial soal tanah yang sebelumnya hanya menjadi konflik laten, muncul sebagai konflik-konflik manifest ketika tanah memiliki nilai tukar rupiah yang tinggi. Warga transmigran Bali dihadapkan pada desakan perusahaan, klaim warga trans lokal dan sikap aparat desa yang cenderung diam menunggu pelepasan tanah untuk disyahkan. Tahun 2003-2005 mulailah tak terkendali satu-persatu warga transmigran Bali mulai menyerah melepaskan tanah ke perusahaan, terutama ketika mereka harus dihadapkan dengan konflik-konflik rasial dengan warga transmigran lokal. Strategi budaya penguasaan tanah ini sukses menggerogoti lahan pertanian di Kerta Buana. Kini Desa Kerta Buana telah berubah wajah menjadi desa yang terkepung tambang. Cerita kejayaan produksi beras tinggal kenangan. Banyak kerugian diderita para petani Kerta Buana mulai dari banjir 190 yang menggagalkan panen, hama dan penyakit padi baru yang tak dikenali sebelumnya, pencemaran udara hingga suara bising deru alatalat berat. Struktur usia para petani lebih banyak berada di usia tua, kaum muda lebih banyak menjadi pekerja tambang. Konflik-konflik bergeser ke arah konflik-konflik manifest, lebih banyak berurusan dengan konflik ganti rugi tanah, konflik rasial klaim kepemilikan lahan dan klaim-klaim kerugian lain akibat limbah tambang. Integrasi social lama yang dulu terbangun dan berhasil menampilkan kekuatan identitas ‘Orang Bali di Kerta Buana’ kini terancam hilang seiring desakan korporasi tambang. B. Saran 1. Kajian pemetaan social, ekonomi, kultural dn lingkunganyang menyeluruh perlu dilakukan di Desa Kerta Buana. Kajian ini diperlukan agar bisa didapatkan pemetaan yang detail tentang kondisi-kondisi soial, ekonomi, kultural dan lingkungan. Pemetaan yang detail membantu untuk mengarahkan pengembangan masyarakat yang tepat bagi masyarakat Kerta Buana. Kajian ini juga bisa digunakan untuk melakukan evaluasi tentang kualitas ruang hidup yang saat ini didiami warga transmigran Bali di Kerta Buana. 2. Evaluasi ijin-ijin eksplorasi tambang batubara yang jaraknya Sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan loka. Eksplorasi PT Kitadin di Blok C yang Sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan lahan produktif pertanian perlu ditinjau ulang. Batas toleransi ekslporasi yang diijinkan minimal 500 meter dari perumahan penduduk harus ditegakkan. 191 3. Fasilitasi dan advokasi terhadap transmigran Bali perlu dilakukan intensif, terutama dalam hal konflik-konflik ganti rugi tanah, ganti rugi akibat dampak eksplorasi tambang ataupun klaimklaim kepemilikan lahan. Upaya ini perlu dilakukan untuk menjadga agar mereka memiliki posisi tawar yang memadai dan tidak menjadi pihak yang terus dirugikan dalam hal materi (ganti rugi) atau pun social (diadu dengan penduduk lokal) dalam konflik-konfli tanah. 192 Daftar Pustaka Bab I Buku: Charras, Muriel. 1997. Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata: Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi. Yogyakarta: UGM Press. Hardjono, Joan. 1985. “Beberapa Segi Geografis daripada Transmigrasi Swakarsa,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. Heeren, H.J. 1985. “Beberapa Masalah tentang Pemukiman Kolektif Pedesaan di Indonesia,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-KITLV. 193 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Mangoenpoerojo, Roch Basoeki. 1985. “Rancunya Pola Pikir Cendekiawan dan Akibat terhadap Transmigran,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. Sayogyo. 1985. “Transmigrasi di Indonesia, 1905–1985: Apa yang Kita Cari Bersama?,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. Singarimbun, Masri et al. 1977. Transmigrants in South Kalimantan and South Sulawesi, Inter-island Governement Sponsored Migration in Indonesia. Yogyakarta: Population Institute UGM. Soetrisno, Loekman. 1985. “Peranan Transmigrasi dalam Stabilitas Sosial Politik Daerah dan Problematiknya: Kasus Irian Jaya,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. Swasono, Sri-Edi. 1985a. “Kependudukan, Kolonisasi, dan Transmigrasi,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. ------------. 1985b. “Transmigrasi di Indonesia: Suatu Reorientasi,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press. 194 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Disertasi: Yulianto. 2011. “Membali di Lampung: Studi Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga Lampung Selatan.” Disertasi. Salatiga: Studi Pembangunan, UKSW. Jurnal: Clauss, Wolfgang, Hans-Dieter Evers, dan Solvay Gerke. 1988. “The Formation of a Peasant Society: Javanese Transmigrants in East Kalimantan,” dalam Indonesia, No. 46. Hoey, Brian A. 2003. “Nationalism in Indonesia: Building Imagined and Intentional Communities through Transmigration,” dalam Ethnology Vol. 42, No. 2. Hoshour, Cathy A. 1997. “Resettlement and the Politicization of Ethnicity in Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-, Land- en Volkenkunde, Deel 153, 4de Afl. Humaedi, M. Alie. 2014. “Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu Agama dalam Konflik Lampung,” dalam Analisa Vol. 21, No. 2. Jonge, Huub de dan Gerben Nooteboom. 2006. “Why Madurese? Ethnic Conflicts in West and East Kalimantan Compared,” dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 34, No. 3. O’Connor, C.M. 2004. “Effects of Central Decisions on Local Livelihoods in Indonesia: Potential Synergies between the Programs of Transmigration and Industrial Forest Conversion,” dalam Population and Environment, Vol. 25, No. 4. 195 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Roth, Dik. 2011. “The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and the Subak in South Sulawesi,” dalam Human Ecology, Vol. 39, No. 1. Tirtosudarmo, Riwanto. 1997. “Economic Development, Migration, and Ethnic Conf lict in Indonesia: A Preliminary Observation,” dalam Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia, Vol. 12, No. 2. Weber, Robert, Werner Kreisel, dan Heiko Faust. 2003. “Colonial Interventions on the Cultural Landscape of Central Sulawesi by Ethical Policy: The Impact of the Dutch Rule in Palu and Kulawi Valley, 1905–1942,” dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 31, No. 3. Wijst, Ton van der. 1985. “Transmigration in Indonesia: An Evaluation of a Population Redistribution Policy,” dalam Population Research and Policy Review, Vol. 4, No. 1. Website: Hoppe, Michael dan Heiko Faust. 2004. “Transmigration and Integration in Indonesia: Impact on Resource Use in the Napu Valley, Central Sulawesi,” dalam https:// www.researchgate.net/publication/242146402_ Transmigration_and_Integration_in_Indonesia_-_ Impacts_on_Resource_Use_in_the_Napu_Valley_ Central-Sulawesi, Research Project on Stability of Rain Forest Margins (STORMA), diunduh pada April 2018. 196 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Bab II Buku: Disnakertrans Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. 2013. Profil Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Kaltim: Kaltim Bangkit, Disnakertrans Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Goldman, Michael. 2006. Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization. London: Yale University Press. Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. 2015. Transmigrasi, Masa Doeloe, Kini, dan Harapan ke Depan. Jakarta: Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI. Muriel Charras, 1997. Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata. Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: DemografiPolitik pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lain-Lain: Monografi SPT Teluk Dalam, Kab. Kutai, 1981, Samarinda, Kaltim. Website: http://fadilfadilblogspotcom-alpachino.blogspot.com/2011/03/ kebijakan-pembangunan-pelita-i-pelita.html, yang diunduh pada 23 Oktober 2018. 197 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti http://mhs.pin.or.id/kerthabuana/2016/05/25/jalan-jalan-kepermukiman-kampung-bali-di-desa-kerta-buana-kukar/, yang diunduh pada 15 Oktober 2018. https://www.cendananews.com/2017/01/mengintip-desapasuruan-desa-transmigrasi-dari-era-kolonial-ke-desaswadaya.html. Bab III Buku: Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur. 2003. “Realisasi Penempatan Transmigrasi Pelita III Kabupaten Kutai Kartanegara,” dalam Data Penempatan Transmigrasi Pelita Ke I, II, III, IV, V, VI dan Otonomi Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur. 1981. Monografi Satuan Pemukiman Transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai, Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Kanwil Dirjen Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur. Jurnal: Siburian, Robert. 2015. “Antara Pertanian dan Pertambangan Batu Bara: Studi ‘Perebutan’ Lahan di Kecamatan Tenggarong Seberang,” dalam Jurnal Masyarakat dan Budaya, Vol. 17, No. 2. 198 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Lain-Lain: Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). 2011. Lumbung Pangan ke Lubang Tambang: Studi Kasus Desa Kertabhuana, Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara. Samarinda: Naskah Tidak Diterbitkan. Surat Kabar: Ah. 26 Desember 1988. Penggilingan Padi di Teluk Dalam Resahkan KUD. Manuntung, hlm. 3. Anonim. 17 April 1988. Panen Raya di UPT Sebakung Kec. Waru. Meranti. ------------. 1986. Proyek Transmigrasi Lokal Terancam Gagal. BS Jaya, hlm. 3. Di. 8 September 1995. Jika Ada Tanah yang Kosong, Percontohan Dinilai Gagal. Suara Kaltim, hlm. 11. Ds. 1 Agustus 1988. 6 Bus Damri Masuk Lokasi Transmigrasi. Manuntung. Mazhar, Hanafie K.A. April 1987. Kecamatan Loa Kulu Surplus Pangan Beras. Wisma Berita, hlm. 2. Pernyata, Safruddin. 23 Agustus 1986. Mlongok 3 UPT: Mengapa Tidak Bertransmigrasi Swakarsa Saja? Sampe, hlm. 1–2. Sumas, Sugiarto. 13 Juni 1988. Rimba Ayu, Daerah yang Berkembang tanpa Karbitan dari Atas. Manuntung. Tim Sampe. 23 Agustus 1986. Presiden Resmikan Jembatan Mahakam: Pembangunan Jembatan Mahakam merupakan Satu Prestasi Besar; Hilangkan Kebiasaan Ladang Berpindah & Pembakaran Hutan. Sampe, hlm. 1–2. 199 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Z., M. Januari 1987. 1000 KK Trans untuk Muara Wahau dan Sangkulirang. Wisma Berita, hlm. 3. Informan: 1. Ismadi Hanafi, PPL L4 1982–1985/1986. 2. Ilham, Petugas Transmigrasi Kanwil Transmigrasi Prov. Kaltim. 3. I Wayan Artina, Transmigran L4. 4. I Ketut Duglud, Transmigran L4. 5. Priya, Transmigran L4. 6. Istri Priya, Transmigran L4. 7. I Nyoman Derman, Transmigran L4. 8. I Wayan Laster, Transmigran L4. 9. Istri I Wayan Laster, Transmigran L4. 10. I Wayan Tariya, Transmigran L4. 11. Ni Komang Budiasih, Transmigran L4. 12. Siti Murni, Transmigran L4. 13. Kamaruddin, Transmigran L4. 14. Siti Rahmawati, Transmigran L4. 15. Abdul Wahid, Transmigran L4. 16. I Wayan Meri, Transmigran L4. 17. Istri I Wayan Meri, Transmigran L4. 18. Ni Made Surage, Transmigran L4. 19. I Komang Widyana, Ketua Parisadha Hindu Dharma Desa Kerta Buana. 20. Hari Kurnia Wibawa, Sekretaris Desa Kerta Buana. 21. I Wayan Wander, Transmigran L4. 200 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 22. Sejumlah informan yang tidak dapat kami sebutkan namanya, Kecamatan Tenggarong Seberang. Bab IV Buku: Ellen, Roy; Parkes, Peter; dan Bicker, Alan. 2000. Indigenous Environmental Knowledge and its Transformations: Critical Anthropoligical Perspectives. Tanpa Kota: Psychology Press. Goldman, Michael. 2006. Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in the Age of Globalization. London: Yale University Press. Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: DemografiPolitik pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Lain-Lain: Menetrey, T, PNG Section, Department of Foreign Affairs in Transmigration–Australia’s Policy, 19 November 1984, National Archives; also Cabinet Minute No. 9702, 11 August 1987, Submission No. 4956 Papua New Guinea Proposals on Australia/Papua New Guinea Relations, National Archives of Australia. Tirtosudarmo, Riwanto. Transmigration in Indonesia: Lessons from Its Environmental and Social Impacts. Philip M. Fearnside, Department of Ecology, National Institute for Research in the Amazon, 1997, Springer-Verlag New York Inc., Accessed Online 17 November 2014. 201 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti Informan: 1. IWA, Transmigran L4. 2. IKD, Transmigran L4. 3. IND (Dm), Transmigran L4. 4. IMT, Transmigran L4. 5. Ch, Transmigran L4. 6. IWT, Transmigran L4. 7. Km, Transmigran L4. 8. AW, Transmigran L4. 202 Daftar Informan 1. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Ilham : 52 Tahun : PNS, Dep. Trans Prov. Kaltim : Jl. Pembangunan, Loa Jonan, Samarinda 2. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Ismadi Hanafi : 60 Tahun : Pensiunan, Penyuluh Pertanian : Samarinda Seberang 3. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Ni Komang Budiarsi : 53 Tahun : Petani : Blok C, Desa Kerta Buana 4. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Ni Made Suhartini : 42 Tahun : Petani : Blok A, Desa Kerta Buana 203 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti 5. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Wayan Meri : 70 Tahun : Petani : Dusun Rapak, Desa Kerta Buana 6. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Harry Kurnia Wibawa : 42 Tahun : Sekretaris Desa : Desa Kerta Buana 7. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Ketut Arsana/Sanok : 50 Tahun : Bagian Pemerintahan Desa : Desa Kerta Buana 8. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Made Sukarya : 50 Tahun : Bagian Pemerintahan Desa : Desa Kerta Buana 9. Nama Umur Pekerjaan Alamat : H. Abdul Wahid : 70 Tahun : Mantan Kepala Desa : RT 03, Desa Kerta Buana 10. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Wayan Priya : 60 Tahun : Petani : RT 18, Desa Kerta Buana 11. Nama Umur : I Komang Widyana : 46 Tahun 204 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana Pekerjaan Alamat : PHDI : Desa Kerta Buana 12. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Ketut Duglud : 46 Tahun : Petani : RT 18, Desa Kerta Buana 13. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Ketut Bagya Yasa : 26 Tahun : Mahasiswa : RT 20, Desa Kerta Buana 14. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Treisjane Leleng : 46 Tahun : PNS : RT 22, Desa Kerta Buana 15. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Wayan Laster : 60 Tahun : Petani : Desa Kerta Buana 16. Nama Umur Pekerjaan Alamat : Derman : 54 Tahun : Petani : Jl. Poros, Desa Kerta Buana 17. Nama Umur Pekerjaan Alamat : I Wayan Wander : 60 Tahun : Petani : Desa Kerta Buana 205 Tentang Penulis 1. Juniar Purba Juniar Purba, salah seorang tenaga fungsional di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan. Menamatkan S1 ilmu Sejarah dari Universitas Sumatera Utara (USU, 1988) dan S2 pada Jurusan Sosiologi Univ. Tanjungpura (2008) dengan tesis berjudul “ Fungsi dan Makna Simbol dalam Tradisi Imlek dan Cap Go Meh pada Masyarakat Tionghoa di Kota Pontianak”. Melakukan sejumlah penelitian kesejarahan dan budaya di wilayah Kalimantan; aktif dalam kegiatan ilmiah. Pada tahun 1999/2000 aktif di Badan Pembina Pahlawan Daerah (BP2D) wilayah Kalbar. Tulisan yang dihasilkan antara lain Biografi Rahadi Osman, Bardan Nadi, J.C. Oevang Oeray, Oemar Dachlan, Pang Suma, Alianyang, Awang Long, Kota Pangkalan Bun, dan Orang Kantuk di Bika (2006), Sejarah Penyebaran dan Pengaruh Budaya Melayu Di Kalimantan (2011, Adat Dan Tradisi Masyarakat Suku Dayak Kayan di Miau Baru, Kaltim (2012), Pelabuhan Silo di Berau 92015) Elite Dalam Struktur Politik di Bera (2014), Sejarah Dan Pengaruh Islam di Kotawaringin (2014) Marsyarakat Bugis Diaspora Di Bontang (2015), Pelabuhan Tanjung Laut di Bontang(2017) dan beberapa tulisan lainnya. Tahun 2008-2012 sebagai tenaga pengajar di Program Studi Sejarah, Sekolah Tinggi Keguruan Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Pontianak, tahun 2016 sebagai tenaga pengajar di Univ Tanjungpura dan aktif sebagai narasumber dan juri lomba di Dinas Arsip Kota Pontianak, Dinas Pendidikan Propinsi Kalbar dan Dinas Sosial Propinsi Kalimantan Barat. ([email protected]) 206 Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana 2. DANA LISTIANA ([email protected]) DANA LISTIANA ([email protected]), lulus dari jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran tahun 2006 dengan skripsi “Perkembangan Pasar Pontianak sebagai Pusat Perekonomian Afdeelingshoofdplaats Pontianak 1918-1942.” Lulus dari Program Studi S2 Sejarah Universitas Gadjah Mada pada 2017 dengan tesis “Sistem Pacht dan Perluasan Negara Kolonial di Pontianak 1819-1909.” Sejak tahun 2008 bekerja di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat (dulu, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak). Kajian yang pernah ditulis antara lain “Kota Pontianak 1779-1942: Lahir dan Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial,” tahun 2009; “Dua Wajah Kota Martapura: Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi,” tahun 2010; “Banjarmasin Akhir Abad XIX hingga Medio Abad XX: Perekonomian di Kota Dagang Kolonial,” tahun 2011; “Tanah Sintang Masa Kolonial: Telaah Sederhana tentang Perubahan Status Pemerintahan dan Wilayah Kekuasaan,” tahun 2012; “Pasir Abad XVIII-XX: Kota Bandar Menjadi Lanskap Gubernemen,” tahun 2013; “Kampung Cina Banjar di Banjarmasin”; “Pers dan Pemikiran Intelektual di Borneo Barat Masa Kolonial” tahun 2014; dan “Rubrik Sinar Iboe di Majalah Tjaja Timoer: Gagasan Penguatan Perempuan Dalam Pers Lokal di Kalimantan Barat Tahun 1928,” tahun 2017. 3. Sri Murlianti Sri Murlianti, staf pengajar Prodi Pembangunan Sosial/Ilmu Sosiatri Fisip Unmul. Menamatkan Program Sarjana di Prodi Ilmu Sosiatri (1998), Program Master Sosiologi (2005), dan Program Doktor Sosiologi (2011) di Fisipol UGM; dengan judul desertasi : “Komunitas Cantik Mengaku Melek Medis: Kajian Budaya tentang Bagaimana Klinik Kecantikan Menjadi Ba g ian Hidup Sehar i-Hari Para Kondumen di Natasha Skin Care Yogyakarta”. Direktur Borneo Institue For Community Development (BICE), 2013-2016. Ketua Divisi Riset Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia (APSI), 2015-2018. Direktur 207 Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti di Jaringan Pembangunan Sosial Kalimantan (Japsika), 2016-sekarang. Peneliti senior di Lembaga Kajian Kebijakan dan Isu-Isu Publik (Lakestra Kaltim), 2016-sekarang. Ketua Pusat Kajian Pembangunan Sosial Prodi Pembangunan Sosial Fisip Unmul, 2017-sekarang. Wakil Ketua Kualesi Kependudukan Prov. Kalimantan Timur, 2016-Sekarang. Aktif melakukan penelitian social, sejarah kritis dan evaluasi kebijakan. Tulisan yang telah dihasilkan antara lain: 2017: “Perbandingan Partisipasi Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan Publik di Pemerintahan Kabupaten Kutai Barat, Kutai Kertanegara dan Kutai Timur,” LAKESTRA KALTIM. 2017: “Kajian Perbandingan Kebijakan Jalan dan Masalah PKL di Kota Bontang, Balikpapan dan Samarinda,” LAKESTRA Kaltim. 2017, Sejarah Perkembanngan Pelabuhan Tanjung Laut, Bontang, Balai Pelestarian Nilai Budaya, Kalimantan. 2016, Individual Consultant to Inaya Rakhmani & Fajri Siregar, “Global development Network Working Paper Series. Reforming Research in Indonesia: Policies and Practice”, GDN Murdoch University & Puskakom UI. 2016: Masyarakat Bugis Diaspora di Bontang Kuala, Bontang, Kalimantan Timur, Balai Pelestarian Nilai Budaya. Kalimantan. 2015: “The 2015 Survey On Stakeholder’s Perception in the Oprational Areas of Tatal E&P Indonesie,” Borneo Institute of Empowerment Commnunity, Samarinda. 2015: “The 2015 Survey On Community Satisfication Index of Beneficiaries of Total E&P Indonesie,” Borneo Institute of Empowerment Commnunity, Samarinda. 2015: “Cycles Of beauty Culture: Etnoghaphy of Beauty Clinics Commodification,” Jurnal Komunitas Universitas Negri Semarang, Vol 6 No: 2, DOI: http://dx.doi.org/10.15294/komunitas. v6i2.3312. 2014: “Parodi kampanye Pemilu di Media jejaring Sosial: Retekstualisasi Para Pengguna Fecebook Terhadap Mitos Kesempurnaan Prabowo Subianto Yogyakarta, 20 Mei 2014. 2013: “Tranformasi Kultural Elemen-Elemen Budaya Disiplin Klinis ke dalam Praktik Jasa Kecantikan,” Prosiding Seminar Kerjasama ISI & UNS. 2012: “Agama Sebagai Teks Budaya: Tantangan Islam Garis Keras Indonesia,” Prosiding Konferensi antar Bangsa Islam Borneo, MARA University, Serawak, Malaysia. 2012: “Parodi Kuda Prabowo Dalam Kampanye Akbar Partai Gerindra 23 Maret 2014,” Prosiding Diskusi pada Konferensi Nasional Sosiologi III, UGM. 2011: “Komunitas Cantik Mengaku Melek Medis, Kajian tentang Bagaimana Klinik Kecantikan Menjadi Bagian Hidup Sehari-hari Para Konsumen,” Sponsor Dikti. 2005: “Wacana seksualitas Dalam bingkai kapitalisme Modern, kajian terhadap tayangan desah Malam di Lativi,” Sponsor Dikti. 208