INTEGRASI SOSIAL TRANSMIGRAN BALI DI DESA KERTA BUANA,
KABUPATEN KUTAI KARTANEGARA, PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
Penulis: Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Editor: Veni Putri
Tata Sampul: Wulan Nugra
Tata Isi: Violetta
Pracetak: Antini, Dwi, Wardi
Cetakan Pertama, Desember 2018
Penerbit
DIVA Press
(Anggota IKAPI)
Sampangan Gg. Perkutut No.325-B
Jl. Wonosari, Baturetno
Banguntapan Yogyakarta
Telp: (0274) 4353776, 081804374879
Fax: (0274) 4353776
E-mail:
[email protected]
[email protected]
Blog: www.blogdivapress.com
Website: www.divapress-online.com
Gambar sampul: sawah transmigran berlatar aktivitas pengerukan batubara ex-permukiman transmigran Blok C1
Desa Kerta Buana yang telah menjadi lahan tambang (Dokumentasi Peneliti, April 2018).
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
Purba, Juniar, Dana Listiana, Sri Murlianti
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan
Timur/Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti; editor, Veni Putri–cet. 1–Yogyakarta: DIVA Press, 2018
208 hlmn; 15,5 x 23 cm
ISBN 978-602-391-672-6
1. Penelitian
II. Veni Putri
I. Judul
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat
Kata Pengantar
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, atas berkah
dan rahmat-Nya, penulisan sejarah yang berjudul Integrasi Sosial
Transmigran Bali di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur bisa diselesaikan dengan baik sesuai waktu
yang ditentukan. Penulisan ini merupakan salah satu kegiatan rutin
yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB)
Kalbar tahun anggaran 2018.
Kegiatan penulisan ini bertujuan menghimpun dan mendokumentasikan tentang sejarah dan integrasi transmigrasi masyarakat
Bali, NTB, dan transmigran lokal yang ada di L4 atau Desa Kerta
Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur.
Dengan adanya penulisan ini, dapat diketahui tentang perjalanan
sejarah masyarakat dari luar Pulau Kalimantan dalam memulai
kehidupan di tempat baru sekaligus menjadi padu dengan alam dan
masyarakat lokal. Melalui pengungkapan sejarah dan integrasi masyarakat Bali ini, diharapkan generasi muda, masyarakat, dan pengambil
kebijakan mengetahui tentang sejarah transmigrasi dan integrasi
sosial masyarakat di Desa Kerta Buana, Kabupaten Kutai Kartanegara,
Provinsi Kalimantan Timur.
3
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Penulisan laporan ini dapat terwujud dengan adanya kerja sama
dan arahan yang baik dari Kepala Balai Pelestarian Nilai Budaya,
Sekretaris Desa Kerta Buana dan staf, Ilham dari Dinas Transmigrasi
Provinsi Kalimantan Timur, Ismadi, tokoh masyarakat di Desa Kerta
Buana, dan informan lain yang tidak kami sebutkan satu per satu,
serta rekan-rekan peneliti BPNB. Untuk itulah, kepada semua pihak
yang telah mendukung penulisan ini, kami mengucapkan terima
kasih.
Dalam penulisan ini, kami menyadari masih banyak terdapat
kekurangan. Tiada gading yang tak retak. Oleh karena itu, adanya
saran dan kritik sangat bermanfaat untuk kesempurnaan tulisan
ini. Harapan kami, semoga tulisan ini dapat menambah khazanah
kesejarahan dan membawa manfaat bagi kita.
Pontianak, November 2018
Juniar Purba
Dana Listiana
Sri Murlianti
4
Daftar Isi
Kata Pengantar .............................................................................
Daftar Isi .......................................................................................
Daftar Tabel ..................................................................................
Daftar Gambar .............................................................................
3
5
7
8
Bab I
Pendahuluan...................................................................
A. Latar Belakang ........................................................
B. Perumusan Masalah................................................
C. Tujuan ......................................................................
D. Ruang Lingkup ........................................................
E. Tinjauan Pustaka ....................................................
F. Kerangka Konseptual..............................................
G. Metode Penelitian ...................................................
H. Sistematika Penulisan .............................................
11
11
14
15
16
16
22
23
25
Bab II
Transmigrasi: Kebijakan, Geografi Kerta Buana,
Sejarah Desa, Asal Usul, dan Kedatangan ....................
A. Kebijakan dan Pelaksanaan Transmigrasi ............
B. Keadaan di Desa Kerta Buana ................................
27
27
33
5
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Bab III Menggapai Harap: Masa Bermukim dan Bertahan
Hidup 1980–1990-an ....................................................
A. Datang dan Bermukim, 1980 .................................
B. Memulai Hidup Baru 1980–1990-an .....................
Bab IV Invasi Open Pit Mining dan Titik Balik Kejayaan
Pertanian di Kerta Buana (1990–2000-an) ..................
A. Underground Mining dan Masa Puncak
Kejayaan Produksi Padi pada 1990–1998 .............
B. Puncak Kejayaan Pertanian dan Tragedi Lahan II:
1998-2003 ...............................................................
C. Masa Open Pit Mining dan Titik Balik
Kemunduran Pertanian (2003-sekarang)..............
D. Pergeseran Tipe-Tipe Konflik (2005–Sekarang) ...
E. Kampung Terkepung Tambang, Penyempitan
Lahan, dan Penurunan Produktivitas Pertanian ..
Bab V
49
49
67
117
119
143
155
172
180
Kesimpulan dan Saran ................................................... 185
A. Kesimpulan ............................................................. 185
B. Saran ........................................................................ 191
Daftar Pustaka.............................................................................. 193
Daftar Informan ........................................................................... 203
Tentang Penulis ............................................................................ 206
6
Daftar Tabel
Tabel 2.1 Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali [“Dari
Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”,
Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali
di Sulawesi (Yogyakarta: Gadjah Mada University
Press, hlm. 32)] ..........................................................
30
Tabel 2.2 Penempatan transmigran di Teluk Dalam pada
tahun 1979/1980 (Monografi SPT Teluk Dalam,
Kab. Kutai, 1981, Samarinda, Kaltim)......................
34
Tabel 4.1 Integrasi sosial transmigran Bali tahun
1990–1997 (Dokumentasi Lapangan,
Agustus 2018) ............................................................ 119
Tabel 4.2 Perbedaan sikap etnis Bali versus Lombok
dalam merespons godaan pelepasan tanah
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................. 166
7
Daftar Gambar
Gambar 2.1
Papan nama Desa Kerta Buana di Jl. Poros, Kec. Tenggarong
Gambar 2.2
Salah satu bentuk rumah dan pekarangan transmigran
Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................
Gambar 3.1
37
41
Contoh kartu tanda pengenal transmigran yang menunjukkan
waktu transmigrasi dari Lombok pada November 1980
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................
Gambar 3.2
Peta proyek permukiman transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten
Kutai (Kanwil Ditjen Transmigrasi Kaltim, 1981: 30) ....................
Gambar 3.3
51
53
Bentuk rumah transmigrasi, hanya mengalami penggantian
bahan di bagian atap dari rumbia menjadi seng
(Dokumentasi Lapangan, April 2018) .............................................
Gambar 3.4
55
Halaman masjid L4 (kini, Masjid Ijtihad) adalah tempat
kumpul dan undian kaveling rumah pekarangan transmigrasi
dari Bali (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .........................
Gambar 3.5
Ilustrasi sanggah kemulan sederhana masa kini
(Dokumentasi Lapangan, 9 April 2018) ..........................................
Gambar 3.6
57
60
(Kiri); pasangan transmigran Bali, Priya dan istri, dengan latar
pohon kelapa dari bibit yang dibawa dari kampung
halaman. (Kanan); pohon mangga di muka pekarangan
transmigran Lombok, Kamaruddin, dari bibit sisa perbekalan
perjalanan transmigrasi. (Dokumentasi Lapangan, April
dan Agustus 2018) ............................................................................
Gambar 3.7
69
Glebek (lumbung padi) di pekarangan transmigran Bali,
I Wayan Laster, telah dibangun sejak 1983 (setelah
kebakaran akibat kemarau panjang) untuk menyimpan hasil
padi pekarangan. Glebek ini telah diperbesar, namun fondasi
tetap dipertahankan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ....
8
74
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 3.8
Pura subak pertama terletak di atas bukit kecil di antara
hamparan lahan sawah sebelah timur desa/L4 (Dokumentasi
Lapangan, Agustus 2018) ................................................................
Gambar 3.9
87
Balai tani di area Subak Pakis Haji terlihat kentongan
bergantung di tonggak sebelah kiri dan dudukan canang sari
(sesaji) di sebelah kanan (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) 90
Gambar 3.10
Ismadi Hanafi, figur penyuluh pertanian lapangan
di L4 sekitar 1982–1986 (Dokumentasi Lapangan, April 2018) ....
Gambar 3.11
91
(Kiri); pengulun carik. (Kanan); sisa-sisa pohon waru penahan
longsor saluran air yang masih bertahan. (Dokumentasi
Lapangan, Agustus 2018) .................................................................
Gambar 3.12
94
(Kiri); ilustrasi selipan keliling pada masa kini. (Kanan); selip
produksi lama berukuran lebih kecil. (Dokumentasi Lapangan,
April 2018) ........................................................................................
Gambar 3.13
95
Berita surat kabar setempat tentang produktivitas padi
di lahan transmigrasi. (Manuntung, 13 Juni 1988; Wisma
Berita, Minggu III April 1987: 2; Meranti, 17 April 1988) .............
Gambar 3.14
Berita yang memuat surat protes KUD di L1 (Manuntung,
1 Oktober 1988: 3) ............................................................................
Gambar 3.15
97
99
Armada transportasi Damri yang beroperasi melewati rute
Teluk Dalam sejak 1988, ketika daerah-daerah
transmigrasi menghasilkan surplus beras bagi Kalimantan
Timur. (Manuntung, 1 Agustus 1988) ............................................. 101
Gambar 3.16
Berita koran yang memuat instruksi Menteri Transmigrasi
dan Pemukiman Perambahan Hutan untuk menjadikan
Teluk Dalam sebagai proyek percontohan. (Suara Kaltim,
8 September 1995: 11)...................................................................... 102
Gambar 3.17
Pura umum desa, yakni (dari kiri, kanan, dan bawah) Pura
Pasupati, Pura Dalam, dan Pura Meraja Pati. (Dokumentas
Lapangan, April 2018) ...................................................................... 107
Gambar 3. 18
Pura khusus dibangun berdasarkan asal daerah, yang antara
lain dibangun oleh komunitas Bali dari Jembrana (kiri-atas),
Nusa Penida (kanan atas), dan Badung (bawah).
(Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018). ....................... 109
Gambar 3. 19
SD Inpres yang telah dirintis sejak transmigran bermukim
di L4 (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ............................... 111
9
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Gambar 3.20
I Dewa Ketut Alit, kepala desa pertama di Desa Kerta Buana.
Gambar 3.21
Plang nama Posyandu “Rinjani Indah” mengidentifikasi
(Koleksi Keluarga) ............................................................................. 114
keberadaan transmigran asal Lombok. (Dokumentasi Lapangan,
April 2018) ........................................................................................ 115
Gambar 4.1
Tiga periode masa puncak dan titik balik kejayaan pertanian
padi di Kerta Buana. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ..... 118
Gambar 4.2
Monumen eksplorasi underground mining PT Kitadin di pinggir
Jalan Poros L. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ................ 122
Gambar 4.3
Ida Bagus MY, di sawah yang berbatasan langsung dengan
eksplorasi tambang Kitadin. (Dokumentasi Lapangan,
Agustus 2018) ................................................................................... 125
Gambar 4.4
I Made Sky, salah satu pebisnis penggilingan padi yang masih
Gambar 4.5
Rumah penggilingan padi yang lama, posisi di belakang
bertahan. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ....................... 129
warung Pak Sky, di samping rumah yang ditempati saat ini.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................................ 130
Gambar 4.6
Kios Pak Sky yang lebih baru. (Dokumentasi Lapangan,
Agustus 2018) ................................................................................... 131
Gambar 4.7
Glebek Pak I Wayan Lt (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ... 146
Gambar 4.8
Dari kejauhan, lokasi lahan II telah menjadi lembah
pascaeksplorasi. (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ............ 149
Gambar 4.9
Mangku Swd (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .................. 150
Gambar 4.10
Peta konsensi tambang di Kecamatan Samarinda Deberang,
tahun 2003. (Data Investigasi Jatam Kaltim 2003) ........................ 159
Gambar 4.11
Pak Ch., Mantan Kepala SDN 011, Tenggarong
Seberang (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........................ 176
Gambar 4.12
Pak Dr dari Blok D (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) ........ 179
Gambar 4.13
Peta kasar jumlah lubang tambang pada sekitar tahun 2010
Gambar 4.14
Komposisi fungsi dan kepemilikan lahan di Kerta Buana
Gambar 4.15
Penyakit “padi putih” (Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018) .... 183
Gambar 4.16
Panen padi di Kerta Buana (Dokumentasi Lapangan,
(Jatam Kaltim 2010) ......................................................................... 181
(Jatam 2010) ..................................................................................... 182
Agustus 2018) ................................................................................... 184
10
Bab I
Pendahuluan
(Dana Listiana)
A. Latar Belakang
Beberapa dekade terakhir, konflik komunal bermotif identitas
etnik berulang kali terjadi. Sebagian konflik terjadi berkenaan dengan
masyarakat transmigran. Sejumlah studi bahkan menyatakan bahwa
transmigrasi telah menyebabkan konflik etnis di beberapa daerah
(O’Connor, 2004; Hoshour, 1997; Tirtosudarmo, 1997; dan Hoey,
2003).
Konflik etnik antara kelompok transmigran Madura dengan
kelompok etnik Dayak setempat pecah pada Desember 1996 hingga
Januari 1997 di Bengkayang. Selanjutnya, konflik kembali muncul
antara kelompok transmigran Madura dengan kelompok etnik Melayu
pada awal 1999 di Sambas. Kedua konflik menimbulkan korban jiwa
dan terusirnya sekitar 80.000 migran Madura (Jonge dan Nooteboom,
2006: 456; Klinken, 2007: 88–91).
11
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Pecahnya konflik di Kalimantan Barat ini dalam riset Tirtosudarmo disebut terkait program transmigrasi berupa terganggunya
akses terhadap tempat hidup (tanah, hutan, dan sungai) masyarakat
setempat dan kompetisi ekonomi yang telah menempatkan
transmigran Madura berhasil secara ekonomi. Konflik dipicu oleh
stereotipe kelompok migran Madura yang dinilai masyarakat
setempat berperilaku “keras” (Tirtosudarmo, 1997: 318).
Konflik serupa juga terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah, pada
2001. Kelompok transmigran Madura kembali berseteru dengan
kelompok Dayak di Sampit. Konflik ini juga menimbulkan besarnya
korban jiwa dan kembalinya sekitar 150.000 jiwa migran Madura ke
Jawa dan Madura (Jonge dan Nooteboom, 2006: 456–457).1
Konflik etnik juga dialami oleh kelompok transmigran Bali di
Lampung, khususnya komunitas Balinuraga, pada Oktober 2012.
Konflik antara kelompok transmigran Bali-Hindu dengan kelompok
yang menyebut diri mereka sebagai warga Lampung menyeruak dalam
isu agama dan etnis, yang juga sarat dengan kekerasan, sehingga
menimbulkan korban jiwa yang besar di pihak Balinuraga (Humaedi,
2014: 150).
Rangkaian konflik ini berkebalikan dengan kampanye integrasi
nasional yang digaungkan oleh pemerintah Orde Lama (Orla) dan
Orde Baru (Orba) saat mengajukan program transmigrasi. Program
transmigrasi yang mengandung praktik korupsi, pelanggaran
Hak Asasi Manusia (HAM), dan bencana ekologis menyebabkan
1
Mencuatnya konflik etnik di Kalimantan mungkin dikarenakan bentuk kekerasan yang
muncul sudah di luar nalar, seperti pemenggalan kepala dan melibatkan jumlah massa yang
besar. Padahal, ketegangan antara kelompok transmigran dengan penduduk lokal sudah
muncul sebelumnya di daerah-daerah lain. Di Irian Jaya (kini, Papua) dan Timor Timur (kini,
Timor Leste), kebencian terhadap kelompok transmigran, terutama Jawa, muncul sejak 1980.
Kebencian berupa persepsi tidak adil terhadap pemerintah hingga isu “jawanisasi”, “islamisasi”,
dan “kolonisasi internal” terhadap program transmigrasi dari penduduk setempat (Tirtosudarmo,
1997: 314–316).
12
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
kekecewaan, terutama bagi masyarakat lokal. Atas nama akumulasi
kekecewaan, gerakan resistensi masyarakat lokal meningkat setelah
penetapan Undang-Undang Otonomi Daerah. Bagaimanapun, alasan
tersebutlah yang mengemuka di hadapan publik, meskipun berbagai
riset menemukan bahwa kompetisi untuk menguasai sumber daya
alam dan politik lokal di daerah adalah alasan sebenarnya (Hoey,
2003: 110; 123–124; Klinken, 2007: 10–12; 62; 157).2
Melihat gejala konflik yang berlaku pada kelompok transmigran
di berbagai daerah menghadirkan pertanyaan bagi kami, bagaimana
dengan kelompok transmigran lainnya? Pandangan kami pun
mengarah pada kelompok transmigran Bali-Hindu di Kalimantan
Timur (Kaltim). Di sebuah desa yang kini bernama Kerta Buana,
kelompok transmigran Bali hidup berdampingan dengan kelompok
etnis lain, yang terbesar adalah etnis Lombok, Jawa, dan Kutai. Di
desa yang pada 1980 merupakan sebuah lokasi transmigrasi di Desa
Teluk Dalam ini, terlihat rumah-rumah khas Bali dengan gapura,
sanggah (tempat peribadatan), dan kebun bunga berderet asri. Purapura Hindu juga tampak berdiri anggun di berbagai sudut desa. Di
sudut lain desa, juga terlihat berdiri sejumlah masjid, madrasah, dan
Taman Pendidikan Alquran (TPA).
Gambaran terakhir tersebut memberikan suguhan berbeda dari
kisah tragis keadaan wilayah transmigrasi yang telah dituturkan
di awal tulisan. Oleh karena itu, penelitian ini ingin memahami
bagaimana kelompok transmigran Bali-Hindu sebagai komunitas
minoritas yang kehidupan sehari-harinya terikat dengan ritual yang
bersifat komunal dapat hidup kerasan dan membangun komunitas
2
Selain perspektif demografis dan pembangunan ekonomi, program transmigrasi
diproyeksi dapat mendukung integrasi nasional. Oleh karena itu, mereka ditempatkan di suatu
lokasi dan diharapkan bisa membangun komunitas bersama (Hoey, 2003: 109).
13
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
budaya di daerah baru, di lokasi dengan komposisi penduduk desa
yang beragam.
Bagaimana komunitas transmigran Bali menaklukkan lingkungan
baru dan komunitas baru? Apakah kelompok transmigran Bali
selalu berjalan selaras dan serasi dengan komunitas lain? Kapan
(pada momen apa) keharmonisan terganggu? Bagaimana cara untuk
memulihkan keharmonisan yang terganggu? Siapa yang berperan
dalam memulihkan keharmonisan tersebut? Bagaimana pula
perkembangan integrasi sosial transmigrasi Bali setelah lingkungan
tempat hidupnya (permukiman dan lahan garap) dipapar faktor
eksternal (seperti pertambangan)?
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, penelitian ini
mengajukan sebuah pertanyaan utama, mengapa transmigran Bali
dapat membangun integrasi sosial dalam berkehidupan dengan
komunitas yang beragam di Lokasi IV (SP IV) Satuan Permukiman
Transmigrasi Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong, Wilayah
Pengembangan Partial (WPP) XIV Kabupaten Kutai (kini, Desa
Kerta Buana, Kecamatan Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai
Kartanegara) sejak 1980 hingga 2000-an? Pertanyaan utama ini kami
turunkan dalam beberapa pertanyaan operasional berikut:
1. Bagaimana latar belakang (kebijakan, asal usul, alasan, dan
motivasi) serta proses transmigrasi penduduk Bali ke Desa Kerta
Buana?
2. Bagaimana para transmigran Bali bermukim dan membangun
kehidupan (sosial, ekonomi, budaya, dan politik) bersama
14
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
transmigran lain di Desa Kerta Buana sejak kedatangan pada
1980 hingga 1990-an sejak mekanisasi pertanian?
3. Bagaimana perkembangan kehidupan para transmigran Bali di
Desa Kerta Buana hingga 2000-an, yakni ketika tambang terbuka
aktif beroperasi? Apakah transmigran mengalami kemajuan atau
kemunduran? Mengapa terjadi demikian? Bagaimana masyarakat
beradaptasi dengan kondisi yang berubah setelah pertambangan
masuk?
C. Tujuan
1. Menguraikan kebijakan transmigrasi, asal wilayah, alasan, dan
motivasi penduduk Bali mengikuti transmigrasi ke Desa Kerta
Buana.
2. Menguraikan proses pemindahan transmigran Bali ke Desa Kerta
Buana.
3. Menjelaskan proses bermukim para transmigran Bali bersama
transmigran lain di Desa Kerta Buana.
4. Menjelaskan usaha para transmigran Bali membangun kehidupan
(baca: melakukan integrasi sosial: adaptasi, positioning, interaksi,
dan identifikasi; ekonomi, budaya, dan politik) bersama
transmigran lain di Desa Kerta Buana sejak membuka lahan pada
1980 hingga aktivitas pertanian mulai stabil yang ditandai oleh
mekanisasi pertanian pada 1990-an.
5. Menjelaskan perkembangan kehidupan (baca: perubahan bentuk
integrasi sosial: adaptasi, positioning, interaksi, dan identifikasi)
para transmigran Bali di Desa Kerta Buana hingga 2000-an, yakni
pada awal pertambangan beroperasi di area sekitar permukiman
transmigrasi.
15
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
D. Ruang Lingkup
Penelitian ini berfokus pada transmigran Bali, yaitu orang
Bali-Hindu. Pembahasan transmigran di luar Bali dilakukan untuk
memberi penjelasan bagaimana perilaku komunitas transmigrasi
Bali-Hindu dalam berintegrasi (dalam beradaptasi, memosisikan diri,
mengidentifikasi, dan berinteraksi).
Batasan lokasi studi kami adalah Satuan Permukiman Transmigrasi Lokasi IV (L4) di Desa Teluk Dalam atau kemudian dinamakan
Desa Kerta Buana. Batasan waktu kajian kami sejak transmigran
datang dan bermukim di L4 pada 1980 hingga 2000-an saat
permukiman dan lahan usaha transmigran secara perlahan, namun
pasti, dijadikan area pertambangan terbuka.
E. Tinjauan Pustaka
Transmigrasi di Indonesia telah banyak dikaji, terutama sekitar
tahun 1980-an. Kajian masa itu utamanya berfokus pada fungsi
transmigrasi sebagai program pemerintah di bidang kependudukan,
ekonomi, dan pertanian. Kajian yang selanjutnya berkembang sejak
akhir tahun 1990-an lebih banyak menyoroti dampak transmigrasi terhadap dinamika penduduk, terutama masalah sosial dan lingkungan.
Sebuah buku kumpulan tulisan akademisi dari beragam disiplin
menyampaikan gagasan dan evaluasi mengenai program transmigrasi.
Akademisi yang ambil bagian antara lain dari kependudukan UGM,
ekonomi UI, dan pertanian IPB. Masalah yang mengemuka adalah
persebaran populasi (population redistribution dan resettlement) dan
ketahanan pangan (scarcity of food), kekayaan (poverty) dan kemiskinan, serta pengembangan program pertanian.
16
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sri-Edi Swasono dalam tulisan “Kependudukan, Kolonisasi, dan
Transmigrasi” dan “Transmigrasi di Indonesia: Suatu Reorientasi”
berfokus pada latar belakang kebijakan dan orientasi transmigrasi.
Swasono mengkritisi kebijakan transmigrasi yang bertolak pada
alasan demografis. Isu kelebihan penduduk di Jawa yang juga menjadi
argumen pemerintah kolonial dalam pelaksanaan program kolonisasi3
atau transmigrasi ke luar Jawa dinilainya sempit dan tidak pernah
terbukti dapat diatasi oleh program ini. Oleh karena itu, Swasono
lebih setuju pada isu peningkatan kondisi keamanan, kemakmuran,
dan kesejahteraan rakyat dari pemerintah pascakolonial dalam
menetapkan kebijakan transmigrasi. Terkait alasan terakhir ini,
Swasono merumuskan orientasi pembangunan (development oriented).
Orientasi menempatkan program transmigrasi sebagai program
turunan (derived project) dari proyek pembangunan lain sebagai
program utama (main project), misalnya proyek kelapa sawit, proyek
kopi, proyek beras, proyek tambang, proyek perkayuan, atau proyek
perkebunan. Gagasan terakhir ini dinamakannya orientasi integratif
(integrative project)4 (1985: 70–95; 330–339).
Sayogyo (1985: 33–38) dalam judul “Transmigrasi di Indonesia,
1905–1985: Apa yang Kita Cari Bersama?” berpendapat bahwa keberhasilan aktivitas pertanian di daerah baru adalah kunci keberhasilan
program transmigrasi. Oleh karena itu, Sayogyo mengajukan pola
Perkebunan Inti Rakyat (PIR) dan Tanaman Inti Rakyat (TIR) untuk
dikembangkan di daerah transmigrasi. Menurut Sayogyo, PIR yang
mengarah kepada usaha tani komersial dapat mengatasi kendala
3
Sri-Edi Swasono menyebutkan dasar awal kolonisasi untuk keperluan buruh-buruh murah
(kuli kontrak) perusahaan kapitalis asing di Sumatra. Terkait dengan penelitian ini, informasi
tentang kolonisasi di Kalimantan Timur juga diketahui telah dilakukan pada 1938 (Swasono,
1985a: 70–71; 76).
4
Sri-Edi Swasono telah mengajukan orientasi integratif tahun 1971 dalam evaluasi program
transmigrasi yang diadakan Bappenas (Swasono, 1985b: 334).
17
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
pengembangan sawah5 dan membangun kesatuan ekonomi berbasis
pertanian antara masyarakat di desa-desa terdekat.
Selain Sayogyo, Joan Hardjono (1985: 291–296) juga berpendapat
bahwa pertanian merupakan penentu kesuksesan transmigrasi.
Hardjono mengemukakan pentingnya pemilihan dan penentuan
lokasi geografis area transmigrasi untuk mencapai sukses. Ia juga
menyampaikan sejumlah gagasan program pendukung transmigrasi di
luar pertanian sebagai solusi antisipatif dari buruknya kondisi tanah.
Berbeda dengan yang lain, H.J. Heeren (1985: 86–95) dalam
“Beberapa Masalah tentang Pemukiman Kolektif Pedesaan di
Indonesia” menyoroti konflik yang muncul antara transmigran dengan penduduk setempat. Menurut Heeren, konflik tersebut biasanya dipicu oleh perebutan hak atas tanah, serta perbedaan agama
dan budaya.
Selain Heeren, Loekman Soetrisno (1985: 115–126) juga menyoroti relasi sosial transmigran dengan masyarakat lokal, dalam hal
ini masyarakat Irian Jaya (Papua). Mengajukan judul “Peranan
Transmigrasi dalam Stabilitas Sosial Politik Daerah Perbatasan dan
Problematikanya: Kasus Irian Jaya”, Soetrisno bersimpulan bahwa
program transmigrasi yang direncanakan pemerintah cenderung
berfokus pada transmigran pendatang dan kurang menyesuaikan
dengan kebiasaan masyarakat setempat. Oleh karena itu, program
transmigrasi yang dicanangkan dapat mendukung stabilitas sosial
politik justru berpotensi menciptakan konflik sosial.
Kumpulan tulisan tersebut masih berupa tinjauan bersifat
umum. Tulisan dibuat saat program transmigrasi masih berjalan
5
Pertanian monokultur berupa penanaman padi dinilai Sayogyo membutuhkan biaya
tinggi untuk irigasi; karakteristik tanah di daerah transmigrasi berbeda dengan Jawa, sehingga
transmigran kesulitan mengembangkan pertanian, dan pemasaran hasil pertanian monokultur
pun terbatas sehingga lamban memberi pengaruh ekonomi bagi para transmigran (Sayogyo,
1985: 34–38).
18
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sehingga uraiannya ditulis dalam konteks program pembangunan
ekonomi Orba. Oleh karena itu, tulisan bersifat evaluasi dengan narasi
bertujuan untuk memperbaiki kebijakan program transmigrasi.6
Artikel menarik pada tahun 1980-an ditulis oleh Wolfgang Clauss,
Hans-Dieter Evers, dan Solvay Gerke (1988). Mereka menyoroti
relasi sosial di daerah transmigrasi dalam “The Formation of Peasant
Society: Javanese Transmigrant in East Kalimantan”. Clauss dkk. fokus
membahas pembentukan organisasi sosial masyarakat transmigran
di Desa Rimbayu, Kabupaten Kutai, Kaltim. Claus dkk. melihat
bagaimana masyarakat yang berasal dari berbagai daerah berelasi
dan beradaptasi dalam membentuk sebuah komunitas baru bersama,
komunitas petani. Riset Clauss dkk. menunjukkan komunitas
bersama terbentuk dalam skala formal administratif. Selebihnya, para
transmigran akan membentuk beragam kelompok informal sekaligus
kelompok negasinya masing-masing (ingroup dan outgroup) dalam
konteks budaya, sosial, ekonomi, dan politik.
Kajian yang menyoroti aspek sosial masyarakat transmigrasi
mulai berkembang pasca-Orba. Permasalahan yang mengemuka
antara lain relasi etnik serta kaitannya dengan lingkungan dan
ekonomi “proyek pembangunan”, seperti bidang perkayuan dan
pertambangan.
Tulisan Riwanto Tirtosudarmo (1997) berjudul “Economic
Development, Migration, and Ethnic Conflict in Indonesia” mengangkat
isu konflik antara transmigran dengan berbagai kelompok etnik
lokal dari perspektif perubahan politik-ekonomi pasca-Orba. Riset
Tirtosudarmo menunjukkan bahwa konflik yang pecah menjelang
6
Evaluasi kebijakan program transmigrasi juga diperoleh dari tulisan Singarimbun et al.
(1977) bersama para peneliti Lembaga Studi Kependudukan (Population Institute) Universitas
Gadjah Mada “Transmigrants in South Kalimantan and South Sulawesi: Inter-Island Government
Sponsored Migration in Indonesia”.
19
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
akhir Orba telah didahului oleh sentimen terhadap transmigran di
daerah tertinggal (economically backward region) sejak pertengahan
1980 dengan munculnya isu jawanisasi, pendudukan internal
(internal colonization), dan islamisasi. Ia menyimpulkan bahwa
sentimen primordial dari masyarakat setempat merupakan usaha
pertahanan (defense mechanism) untuk melindungi hak hidup dan
keistimewaan sebagai penduduk lokal. Sebagai solusi, ia mengajukan
agar pemerintah memberi wadah bagi masyarakat setempat untuk
mengajukan aspirasi politik dan budaya.
Cathy A. Hoshour (1997) dalam artikel “Resettlement and the
Politicization of Ethnicity in Indonesia” fokus pada implikasi transmigrasi
dalam skala besar terhadap negosiasi identitas, perbedaan, dan politik lokalitas. Houshour menunjukkan bahwa transmigrasi yang
semula diprogramkan untuk meningkatkan integrasi dan keamanan
nasional justru menjadi wadah semai konflik etnik. Gejala konflik
yang dikemukakan oleh Houshour di Riau berlatar kompetisi lahan
yang berkembang menjadi kompetisi politik lokal bermuatan etnik
dan agama.
C.M. O’Connor (2004) pada artikel “Effects of Central Decisions on
Local Livelihoods in Indonesia: Potential Synergies between the Programs
of Transmigration and Industrial Forest Conversion” menyatakan bahwa
transmigrasi dan industri perkayuan adalah penyebab degradasi lingkungan, konflik etnis, dan perampasan hak komunitas lokal yang
bergantung pada hutan. Konflik etnis terjadi karena persaingan
transmigran dengan penduduk lokal atas pemilikan tanah dan sebagai
tenaga kerja di industri perkebunan.
Transmigran Bali ditulis oleh Dik Roth (2011) dalam artikel
berjudul “The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and the Subak in
South Sulawesi”. Riset Roth berfokus pada muncul dan berkembangnya
subak di dua area transmigrasi di Sulawesi, yakni Desa Kertoharjo
20
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dan Alam Buana. Dengan membandingkan kedua subak tersebut
dengan karakteristik subak yang berlaku di Bali, Roth menyimpulkan
bahwa subak merupakan institusi yang beragam dan mudah menyesuaikan diri. Dari kedua lokasi permukiman transmigran Bali, Roth
menemukan perbedaan bentuk dan struktur organisasi, otoritas,
nilai, norma, peraturan, kebiasaan, dan hasil tindakan organisasi.
Perilaku transmigran Bali dibahas lebih luas oleh Muriel
Charras (1997) dalam Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata,
Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi. Charras berfokus pada
usaha penyesuaian diri orang-orang Bali di dua lokasi transmigrasi,
dengan kondisi geografis dan komposisi masyarakat yang berbeda di
Sulawesi. Bermodal studi tentang pandangan hidup, nilai, norma, dan
perilaku orang Bali di Bali, Charras menyimpulkan bahwa orang-orang
Bali memiliki kekuatan sikap (dalam mempertahankan nilai) dan daya
tahan yang tinggi dalam menghadapi lingkungan baru. Ketahanan
mereka berwujud kelenturan dalam membentuk masyarakat baru
dengan karakter yang berbeda, namun memuat sebuah pandangan
hidup yang sama di kedua lokasi transmigrasi.
Disertasi Yulianto (2011) berjudul Membali di Lampung: Studi
Kasus Identitas Kebalian di Desa Balinuraga, Lampung Selatan menganalisis kegagalan para migran etnis Bali dalam membangun identitas
khas Bali di Lampung. Fokus analisis Yulianto adalah tindakan para
aktor dalam menginisiasi perjuangan identitas, hubungan dengan
“pusat” identitas, sekaligus faktor-faktor penghambat dan pendukung
identitas, serta pemapanan identitas Bali di tanah Lampung.
Pustaka yang belakangan ditinjau merupakan kajian para ilmuwan sosial pada masa program transmigrasi telah berlangsung
setidaknya selama 10 tahun. Oleh karena itu, riset yang dilakukan
lebih menyoroti perkembangan sosial yang berlaku pada masyarakat
transmigran dalam periode tertentu. Permasalahan yang diajukan
21
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
ialah interaksi sosial di dalam komunitas, dan dengan komunitas di
luarnya dalam konteks membangun komunitas baru di daerah baru;
adaptasi sosial-ekonomi komunitas transmigran terkait lingkungan
baru dan keberadaan perusahaan di luar program transmigrasi; serta
relasi sosial dalam proses interaksi dan adaptasi tersebut.
Secara umum, kajian sosial tersebut mengajukan persoalan relasi
antaretnik, khususnya transmigran dengan penduduk setempat. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat integrasi sosial di
kalangan transmigran Bali dalam membangun komunitasnya (sosialekonomi-budaya) secara berdampingan dengan transmigran dari
etnik lain (termasuk transmigran lokal) dan penduduk setempat.
Bedanya, penelitian ini melihat perubahan perilaku transmigran
dalam menyikapi perkembangan situasi (lingkungan, sosial, dan
ekonomi) secara diakronis, yakni pada tahap awal ketika membuka
lahan; tahap penyesuaian saat kondisi ekonomi membaik sehingga
tatanan sosial-budaya mulai ditata; dan tahap penyesuaian ketika
kondisi ekonomi relatif stabil, namun di waktu yang bersamaan
terpapar aktivitas pertambangan terbuka.
F. Kerangka Konseptual
Untuk memahami proses integrasi dalam masyarakat transmigran, tulisan ini menggunakan dua perspektif integrasi, yakni sistem
integrasi dan integrasi sosial yang dikemukakan oleh Hartmut
Esser dalam Hoppe dan Faust (2004: 4) pada tulisannya tentang
transmigrasi dan integrasi di Indonesia. Sebagaimana yang dikutip
oleh Hoppe, sistem integrasi adalah integrasi sistem masyarakat dalam
berbagai hal menyangkut integrasi sosial yang terkait dengan integrasi
aktor (individu atau kelompok) ke dalam sistem. Sistem ini mengacu
pada kondisi hubungan yang tenteram (orderly) atau bertentangan
22
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
(conflictual). Integrasi sosial menurut Esser mencakup empat dimensi,
yaitu adaptasi budaya (cultural adaptation), memosisikan (positioning),
interaksi (interaction), dan identifikasi (identification).
“Adaptasi budaya” yang dimaksud adalah usaha individu dalam
meme nuhi kebutuhan akan pengetahuan yang penting untuk
bertindak dan berinteraksi dalam situasi khusus di masyarakat.
“Adaptasi budaya” terutama fokus pada proses penerimaan pengetahuan dan kompetensi. “Positioning” mengacu pada penempatan
individu dalam sistem sosial. “Positioning” merupakan indikator dari
keterlibatan individu dalam masyarakat. “Interaksi” menggambarkan
aktivitas keseharian yang tidak formal. “Interaksi” meliputi
relasi antara individu dalam membangun interaksi. Dalam proses
“interaksi”, latar belakang budaya, norma, dan nilai merupakan faktor yang menentukan kemampuan dan kemauan individu menerima
satu sama lain. “Identifikasi” adalah sikap individu untuk mempertimbangkan dirinya dan sistem sosialnya sebagai sebuah entitas.
“Identifikasi” menunjukkan relasi emosional dengan sistem sosial,
seperti bangsa, kelompok etnik, atau komunitas desa (Hoppe dan
Faust, 2004: 4–5).
G. Metode Penelitian
Penelitian ini menerapkan metode penelitian sejarah. Metode
meliputi empat tahap, yakni heuristik, kritik, interpretasi, dan
historiografi.
Heuristik dalam penelitian ini mencakup penelusuran sumber
pustaka, wawancara, dan pengamatan lapangan. Pengumpulan sumber
pustaka dilakukan di Kaltim, yakni Perpustakaan Provinsi Kaltim di
Samarinda, Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kaltim, serta Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim. Wawancara dilakukan
23
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
di Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kaltim dan Dinas
Pertanian, Tanaman Pangan, dan Hortikultura Provinsi Kaltim di
Kota Samarinda sekaligus Kantor Kecamatan Tenggarong Seberang,
Kantor Desa Kerta Buana, serta sejumlah narasumber di Desa Kerta
Buana dan Loa Janan di Kabupaten Kutai Kartanegara. Pengamatan
lapangan intensif dilakukan di Desa Kerta Buana dan sekitarnya.
Pustaka koleksi Perpustakaan Provinsi Kaltim yang berarti untuk
penelitian ini berupa surat kabar sezaman. Informasi yang dimuat
berupa opini maupun berita yang dapat menunjukkan propaganda
pemerintah pusat tentang program transmigrasi, pandangan
pemerintah daerah dan opini peliput tentang penerapan program
transmigrasi di Kaltim, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi di lokasi
transmigrasi Kaltim. Adapun data utama dari BPS berupa laporan
tahunan keadaan Kaltim sejak 1984. Data lain dari BPS berupa peta
Kabupaten Tenggarong serta peta Desa Kerta Buana dan sekitarnya.
Sementara itu, data penting dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Kaltim berupa Peta Rencana Satuan Permukiman sewilayah
Desa Teluk Dalam, termasuk Lokasi IV yang nantinya menjadi Desa
Kerta Buana dan data statistik Realisasi Penempatan Transmigran di
Kaltim, termasuk periode PELITA III 1978–1982.
Wawancara intensif terutama dilakukan dengan sejumlah narasumber primer, yaitu transmigran dari tiga gelombang kedatangan,
petugas transmigrasi, serta aparat penyuluh pertanian dari 3 kurun
waktu (1980-an, 1990-an, dan 2000-an). Transmigran generasi
pertama (kepala keluarga maupun anggota keluarga kelahiran
daerah asal) yang diwawancara mewakili beragam kelompok etnik
(Bali, Lombok, Jawa, dan Kutai); kelompok formal terdiri atas
aparat pemerintahan desa, termasuk mantan aparat desa, organisasi
keagamaan Hindu-Bali (Parisadha Hindu Darma Indonesia Desa Kerta
Buana) dan Nahdlatul Wathan, kelompok tani, organisasi PKK Desa
24
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Kerta Buana, dan Karang Taruna Desa Kerta Buana; serta kelompok
informal, seperti subak.
Kritik eksternal dalam penelitian ini terutama dilakukan dengan
menelaah riwayat narasumber. Kritik internal utamanya dilakukan
untuk membandingkan masa dengan berbagai momentum penting
dalam perkembangan kehidupan transmigran, mengklarifikasi
proses interaksi dari berbagai sudut pandang, melakukan kolaborasi
informasi, serta memahami latar belakang (kandungan nilai dan
pandangan hidup) yang dikandung dalam pernyataan individu, baik
ketika mewakili kelompok etnik, sosial-ekonomi, ataupun politik
tertentu. Verifikasi lain lebih bersifat teknis, terutama dilakukan pada
istilah-istilah Bali, ritual agama Hindu, dan adat istiadat etnis Bali.
Data yang telah diuji validitas dan reliabilitasnya, selanjutnya
diinterpretasi dan dirangkai menjadi kesatuan peristiwa sejarah
secara kronologis sehingga harmonis dan masuk akal. Penafsiran dan
penyusunan pembahasan dituntun dan dikerangkai oleh kerangka
konseptual tersebut. Pada akhir kerja, penulis berharap dapat
menghasilkan historiografi yang bisa dipertanggungjawabkan secara
keilmuan.
H. Sistematika Penulisan
Bab I “Pendahuluan” berisi kerangka ilmiah penulisan yang
memuat batasan kajian historis sebagai pedoman pengkajian bagi
penulis, sekaligus berbagai pertanggungjawaban ilmiah penulis.
Bagian ini juga menguraikan hal-hal pokok yang mendasari pemilihan
topik serta permasalahan yang akan diteliti.
Bab II “Transmigrasi: Kebijakan, Asal Usul Transmigran, dan
Kedatangan” memuat tiga informasi utama, yakni pijakan program
25
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
transmigrasi, gambaran hidup dan wilayah transmigran di daerah
asal, serta proses kedatangan ke lokasi transmigran. Bagian pertama
berisi uraian program transmigrasi di tingkat pusat dan daerah, serta
gambaran skema proses transmigrasi dan pelibatan berbagai lembaga
sepanjang pelaksanaan program. Bagian kedua mengungkap latar
belakang, alasan dan motivasi, serta karakteristik wilayah asal guna
mengetahui pandangan hidup, kebiasaan, dan kemampuan dasar
yang selanjutnya mendasari sekaligus mempengaruhi perilaku dan
aktivitas para transmigran di daerah baru. Bagian ketiga memaparkan
proses perpindahan kelompok-kelompok transmigrasi dari daerah
asal hingga tiba di daerah baru.
Bab III “Menggapai Harap: Masa Bermukim dan Bertahan
Hidup, 1980–1990-an” meliputi proses pemukiman dan fase kritis
kehidupan. Fase kritis yang dimaksud mencakup pembukaan lahan
dan proses membangun usaha ekonomi (pertanian) serta tatanan
sosial (formal dan informal) sejak datang, bermukim, hingga relatif
stabil. Kedua bagian ini diuraikan dalam konteks integrasi sosial.
Bab IV “Invasi Industri Pertambangan Titik Puncak sekaligus
Titik Balik Kejayaan Pertanian di Kerta Buana, 1990–2000-an”
menguraikan perkembangan kehidupan para transmigran pada fase
mapan. Uraian fase ini mengungkap perkembangan tatanan sosialekonomi dan politik transmigran pada masa yang dapat dikatakan
puncak pencapaian aktivitas pertanian transmigran hingga masuknya
tambang terbuka yang mempengaruhi permukiman, pertanian, sikap,
bahkan pandangan hidup transmigran atau keturunannya.
Terakhir, uraian keseluruhan disimpulkan dalam Bab V. Bab ini
menjawab permasalahan yang dirumuskan pada Bab I.
26
Bab II
Transmigrasi: Kebijakan,
Geografi Kerta Buana, Sejarah
Desa, Asal Usul, dan Kedatangan
(Juniar Purba)
A. Kebijakan dan Pelaksanaan Transmigrasi
Sejak masa kolonialisme Belanda awal abad ke-19, telah terjadi pemindahan penduduk, tetapi belum disebut dengan istilah
transmigrasi. Dalam pelaksanaannya, kegiatan ini dilatarbelakangi
oleh gagasan “politik balas budi” yang pernah diungkapkan oleh Van
Deventer tentang keadaan penduduk di Pulau Jawa. Sejak tahun
1905–1941, pemindahan penduduk dari Pulau Jawa telah dilakukan
secara bertahap ke wilayah Lampung; tercatat sebanyak 44.687 KK
berasal dari Jawa Tengah, Jawa timur, dan daerah-daerah lainnya.
Pemindahan tersebut bertujuan untuk pemerataan penduduk dari
tempat yang dianggap padat, lalu ditempatkan di wilayah yang masih
sedikit penduduknya.
Program pemindahan penduduk oleh pemerintahan Kolonial
Belanda ternyata bukan hanya dari Pulau Jawa, tetapi beberapa
27
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
wilayah lainnya, seperti Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Pulau Bali. Pemindahan itu bukan hanya untuk pemerataan,
tetapi juga bertujuan memenuhi kebutuhan tenaga kerja untuk
perkebunan Belanda di wilayah Pulau Kalimantan dan Pulau Sumatra.
Pada masa puncaknya, yakni tahun 1929, 260.000 lebih pekerja
kontrak cultuurstelsel dibawa ke pesisir timur Sumatra; 235.000
orang di antaranya berasal dari Pulau Jawa7. Mereka menjadi kuli;
dengan beban kerja dan upah yang tidak manusiawi. Praktik ini
terus berlangsung sepanjang masa kolonial, dan baru mulai surut
bersamaan dengan melemahnya kekuatan kolonialisme Belanda pada
masa pemerintahan Hindia Belanda.
Pada masa kemerdekaan, program transmigrasi dimulai pada
tahun 1949 dengan luasnya cakupan pulau tujuannya hingga Pulau
Papua. Pemindahan penduduk dilakukan tidak lagi untuk mengirim
tenaga kuli perkebunan pemerintah, namun untuk peningkatan
kesejahteraan penduduk miskin dan pemerataan penduduk serta
pembangunan di luar Pulau Jawa.
Pada masa pemerintahan Orde Baru, regulasi transmigrasi
menjadi semakin terstruktur. Undang-Undang perdana produk NKRI
muncul, yakni UU Nomor 3 Tahun 1972; dengan aturan pelaksanaan
berupa PP Nomor 42 Tahun 1973. Dalam UU No. 3/1972, Bab I, Pasal
1, disebutkan bahwa transmigrasi adalah pemindahan penduduk dari
satu daerah untuk menetap ke daerah lain yang ditetapkan dalam
wilayah Republik Indonesia guna kepentingan pembangunan negara
dan semua diatur berdasarkan ketentuan yang diatur dalam undangundang. Pada tahun 1997, UU ini kembali direvisi menjadi UU No. 15
Tahun 1997. Aturan pelaksanaan UU baru ini berupa PP No. 2 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Transmigrasi.
7
Michael Goldman, Imperial Nature: The World Bank and Struggles for Social Justice in
the Age of Globalization (London: Yale University Press, 2006, hlm. 299).
28
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Pada tahun 1979, program transmigrasi sempat tersendat.
Anggaran pelaksanaan transmigrasi dipotong akibat krisis energi dan
peningkatan biaya transportasi. Namun, pada tahun 1980-an, Bank
Dunia, Bank Pembangunan Asia, dan negara-negara Barat mendanai
program transmigrasi. Tahun 1979–1984, 535.000 keluarga (hampir
2,5 juta jiwa) pindah tempat tinggal melalui program transmigrasi.
Dampak demografis transmigrasi sangat besar di sejumlah daerah.
Pada tahun 1981, 60% dari 3 juta penduduk Provinsi Lampung
adalah para transmigran.8 Transmigrasi membuat jumlah penduduk
di daerah tujuan meningkat tajam, terutama di Sumatra, Kalimantan,
dan Papua.
Perpindahan etnis Bali ke luar Pulau Bali sudah ada jejak-jejaknya
pada masa kolonialisme. Mereka bersama-sama dengan orang Jawa
dan Madura dikirim ke wilayah perkebunan kolonial di luar Pulau
Jawa untuk dijadikan buruh perkebunan. Di Lampung, ada satu
wilayah lingkar eks perkebunan Belanda yang terkenal dengan
sebutan Kampung Bali. Penduduk di lokasi ini didominasi oleh etnis
Bali dan masih memegang teguh budaya hidup seperti tanah asal.
Setelah kemerdekaan, pemberangkatan para transmigran yang
berasal dari Pulau Bali dimulai pada tahun 1953. Sekitar 1953–1968,
jumlah transmigran Bali mencapai 10,4% dari seluruh peserta
transmigrasi. Jumlah transmigran yang diberangkatkan per tahun
bervariasi, sekitar 2 tahun tercatat kurang dari 1.000 orang, 5 tahun
sekitar 1.000–3.000 orang, 5 tahun sekitar 3.000–5.000 orang, dan
akhirnya, pada tahun 1963, sesudah meletusnya Gunung Agung,
tercatat 12.000 pengungsi yang diberangkatkan. Selama periode
tersebut, 84% orang Bali bertransmigrasi ke Sumatra.9
8
https://www.cendananews.com/2017/01/mengintip-desa-pasuruan-desa-transmigrasidari-era-kolonial-ke-desa-swadaya.html.
9
Muriel Charras, “Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”, Transmigrasi di
Indonesia: Orang Bali di Sulawesi (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1997, hlm.
25) dan Ibid, hlm. 18.
29
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
1953/1968
1969/1974
1975/1976
Kel.
Kel.
Jiwa
Kel.
Jiwa
8.556 35.124
264
1.132
1
7
333
1.357
501
2.222
4
18
1.096
5.204
100
470
Sebelum 1978
Tujuan
Sumatra
Kalimantan
Sulawesi
Nusa Tenggara
Jumlah
Jiwa
Kel.
Jiwa
4.224 19.292 1.731 7.655 500–1.000
410
1.162
10.085 41.854 5.399 23.808 1.736 7.680
Rata-rata per
tahun
2.790
Tabel 2.1 Jumlah dan arah tujuan transmigran Bali
[“Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan Dewata”, Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi
(Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, hlm. 32)]10
Memasuki rencana program Pembangunan Lima tahun (Pelita),
yang dimulai pada tahap Pelita I sampai Pelita III, pemerintah mempunyai tujuan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan meletakkan
dasar-dasar bagi pembangunan dengan sasaran dalam bidang pangan,
sandang, perbaikan sarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan
pekerjaan, dan kesejahteraan masyarakat. Pada masa Pelita III
(1979–1984), pemerintah lebih menekankan pada program Trilogi
Pembangunan yang bertujuan menciptakan masyarakat yang adil
dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, yang arah dan
kebijakan pembangunannya dalam segala bidang.
Luas Provinsi Kalimantan Timur adalah 211.140 km2; penduduknya masih jarang, yaitu sekitar 1.000.000 orang. Sementara itu, di
pulau lain, seperti Pulau Jawa dan Madura, penduduknya padat, yakni
sekitar 664 orang/km2, sehingga keadaan ini sangat memerlukan
10
proposal awal, Feb 2018
30
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
tenaga kerja guna mengembangkan potensi alam dan hutannya.
Keadaan itu menimbulkan masalah bagi daerah Kalimantan Timur;
lahannya luas, tetapi penduduk sangat sedikit yang mengerjakannya.
Oleh karena itu, melalui Program Pengembangan Daerah Transmigrasi
Kalimantan Timur, guna membantu program nasional, maka salah
satu upaya yang dilakukan untuk memajukan persatuan dan
kesatuan adalah transmigrasi, yang selaras dengan tujuan pelita dan
sejalan dalam pelaksanaan kegiatan pembangunan daerah. Dengan
demikian, kegiatan Transmigration Areal Development (TAD) atau
Program Pengembangan Daerah Transmigrasi Kalimantan Timur yang
dipusatkan di Kabupaten Kutai akan membuka daerah pemukiman
baru bagi 12.000 KK guna memperbaiki tingkat hidup dan kondisi
kerja bagi masyarakat setempat.11
Pelaksanaan program TAD melalui program Direktorat Jenderal
Transmigrasi dari Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi, yang
bekerja sama dengan badan pelaksana lainnya di bawah koordinasi
Menteri Muda Transmigrasi. Sedangkan, pada tingkat provinsi,
gubernur yang bertindak sebagai ketua pelaksana transmigrasi
dan bertanggung jawab atas semua kegiatan badan pelaksana. Jika
gubernur itu berhalangan, maka dapat mewakilkannya kepada Ketua
Badan Perencana daerah (BAPPEDA).
Penempatan transmigrasi mulai Repelita, Pelita, dan Era Otonomi
Daerah di Provinsi Kalimantan Timur telah membangun unit pemukiman dan penempatan transmigrasi sebanyak 253 UPT (Unit
Pemukiman Transmigrasi) dan penempatan transmigrasi sebanyak
78.929 KK, dengan jumlah jiwa sebanyak ±317.513 jiwa12. Dan, jika
TOR, Depnaker Trans, hlm. 10.
Profil Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian, Disnakertrans Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur, Kaltim Bangkit 2013, hlm. 18.
11
12
31
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
dilihat pada Pelita III (1979–1984), maka terdiri atas 12.672 KK atau
52.498.
Sesuai dengan rencana program transmigrasi di Kalimantan
Timur yang diperoleh dari data Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, diterangkan bahwa pada
tahun 1977/1978, ada sekitar 40.000 hektar lahan dan 10.000 hektar
areal pertanian yang sudah disiapkan untuk program transmigrasi di
Kecamatan Tanjung Redeb, Gunung Tabur, Sambaliung, dan Tanjung
Palas. Sedangkan, pada tahun 1978/1979, ada lahan seluas 25.00
hektar dan 35.000 hektar untuk lahan pertanian di Sambaliung,
Gunung Tabur, Tanjung Redeb, Tanjung Palas, Gunung Tabur, dan
Tenggarong. Sementara itu, pada tahun 1979/1980, ada tanah hutan
seluas 30 hektar dan 50.000 hektar areal lahan pertanian untuk
transmigrasi di daerah Jalan Samarinda- Balikpapan, Teluk Dalam
(Tenggarong), dan Gunung Tabur.13
Dalam pengelolaan susunan organisasi dan tata kerja, proyek
pengembangan daerah transmigrasi di Kalimantan Timur tidak
dapat terlaksana tanpa adanya kerja sama teknik antara pemerintah
Indonesia dengan pemerintah Republik Federasi Jerman, sekaligus
peran dari Bank Dunia yang tak kalah penting. Hal ini seperti
yang tertuang dalam Surat Keputusan Menteri Tenaga Kerja dan
Transmigrasi Nomor Kep. 06/ Men/1981.
Proses terbentuknya areal transmigrasi di Teluk Dalam dilakukan
dengan suatu studi kelayakan yang dilakukan oleh instansi yang
berwenang, mulai dari persiapan hingga penempatan. Pembangunan
sarana dan prasarana juga dilakukan, yang meliputi pembangunan
perumahan, penyiapan lahan pertanian, pembangunan jalan, dan
13
TAD report 1, 1978: 92.
32
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
pembangunan fasilitas yang dibutuhkan untuk menunjang program
transmigrasi.
B. Keadaan di Desa Kerta Buana
Dahulu, Kerta Buana bernama L4 (lokasi 4). Daerah ini merupakan proyek pemukiman transmigrasi Teluk Dalam, yang terletak
dalam wilayah Kabupaten Kutai. Pada tahun 1979, dilaksanakan
pembangunan pemukiman oleh PLPT Departemen Pekerjaan
Umum Provinsi Kalimantan Timur, yang diperuntukkan bagi
tempat transmigran umum dan transmigrasi lokal APPDT (Alokasi
Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi). Secara bertahap, mulai
bulan Mei 1980 sampai Maret 1981, sebanyak 2.000 KK atau 8.375
jiwa ditempatkan di sana. Para anggota transmigrasi tersebut berasal
dari DKI Jaya, DIY, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat,
dan Kabupaten Kutai14.
Secara administrasi, lokasi itu berada di Desa Teluk Dalam dan
Embalut, Kecamatan Tenggarong, Kabupaten Kutai. Luas areal proyek
11.112 hektar, dan penyerahan tanah diperoleh dari Gubernur KDH
Tk. I Provinsi Kalimantan Timur sesuai dengan SK No. 06-DA-Tahun
1981, tanggal 23 Maret 1981. Jarak desa dari ibu kota provinsi ialah
33 km, sedangkan jarak dari ibu kota kecamatan adalah 17 km, yang
dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan roda dua dan roda
empat.
•
•
Adapun batas-batas lokasinya adalah sebagai berikut:
Sebelah barat berbatasan dengan Sungai Mahakam.
Sebelah timur berbatasan dengan Kotamadya Samarinda.
14
Monografi, SPT Teluk Dalam 1981, dan untuk penyerahan tanah dilakukan dari
Gubernur KDH Tk. I Propinsi Kaltim No. 06-DA-Tahun 1981, tanggal 23 Maret 1981.
33
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
•
•
Sebelah utara berbatasan dengan Kampung Embalut.
Sebelah selatan berbatas dengan Kampung Sungai Pering.
Jika dilihat dari topografi, di sebelah selatan pada umumnya
kemiringan tanahnya bervariasi (8–25%), bagian utara (15–40%),
dan daerah bagian rapak palajawan (0–25%). Jenis tanahnya alluvial,
organosol, dan podsolik, dengan struktur tanah lempung serta
kesuburan tanahnya sedang. Iklimnya tropis basah. Banyaknya curah
hujan pada bulan Agustus–Oktober, sedangkan curah hujan yang
kurang pada bulan Desember–Februari.
Pada tahun 1980, sekitar 2.000 KK atau 8.375 jiwa ditempatkan di
salah satu lokasi, yaitu Teluk Dalam, Kecamatan Tenggarong Seberang,
Kabupaten Kutai (kini, Kabupaten Kutai Kartanegara). Sebagai Unit
Pemukiman Transmigrasi (UPT), di wilayah ini terdapat 4 satuan
pemukiman yang disebut L1, L2, L3, dan L4. Satuan pemukiman
ini diperuntukkan bagi para transmigran yang berasal dari daerah
Jawa Timur, Jawa Tengah, DIY, DKI, NTB, Kaltim, dan Bali. Mereka
didatangkan dengan waktu yang berbeda, dan ditempatkan sesuai
dengan nomor undian yang ditentukan saat kedatangan di lokasi.
Mengenai penempatan mereka dapat dilihat pada tabel berikut:
No. Lokasi
KK
Jiwa
Asal
1
UPT 1
459
1.767
Jatim, Jateng, DIY, DKI, dan NTB
2
UPT 2
564
2.340
Jatim, Jateng, DKI, Kaltim, dan NTB
3
UPT 3
547
2.356
DIY, Jatim, Kaltim, NTB, dan DKI
4
UPT 4
430
1.912
Bali, Kaltim, dan NTB
Jumlah
2.000 8.375
Tabel 2.2 Penempatan transmigran di Teluk Dalam pada tahun 1979/1980
(Monografi SPT Teluk Dalam, Kab. Kutai, 1981, Samarinda, Kaltim)
34
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Jika dilihat dari tabel tersebut, maka asal transmigran di setiap
unit pemukiman lebih dari satu suku dan dari daerah yang berbeda
pula. Ini dimaksudkan agar mereka saling membaur dan bertukar
informasi sekaligus agar terintegrasi dalam satu kesatuan masyarakat
Indonesia.
Realisasi penempatan transmigrasi di empat UPT berbeda-beda
jumlah pesertanya. Lokasi UPT 4 (L4) sebanyak 430 KK, yang terdiri
atas NTB 76 KK atau 314 jiwa, Bali 300 KK atau 1.333 jiwa, dan
APDDT 54 KK atau 266 jiwa.15
Sejarah Desa
Pada awalnya, sebelum tahun 1980, kawasan Lokasi 4 (L4) atau
Kerta Buana merupakan sebuah areal kosong yang berada dalam
wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Lokasi ini direncanakan
sebagai proyek unit pemukiman transmigrasi oleh pemerintah
dalam program transmigrasi umum, swakarsa, dan lokal. Lokasi itu
diupayakan sebagai lokasi yang dapat dipergunakan sebagai lahan
sektor pertanian dan peningkatan sumber ekonomi masyarakat
setempat. Apalagi, saat itu, penduduk di Kalimantan Timur masih
jarang, sehingga dalam pengembangannya, perlu didatangkan
transmigrasi umum dari luar Pulau Kalimantan, dan semua biaya yang
timbul dari kegiatan transmigrasi umum ini dibiayai oleh pemerintah.
Pembangunan pemukiman transmigrasi L4 merupakan salah
satu proyek pengembangan dan penempatan transmigran yang
ada di Direktorat Jenderal Transmigrasi bersama pemerintah
daerah Kabupaten Kutai. Pembangunan ini merupakan kerja sama
antara pemerintah pusat dan daerah, mulai dari penyediaan lahan
15
Disnaker dan Trans Prov. Kaltim, Maret 2003.
35
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
hingga pembangunan sarana dan prasarana di lokasi pemukiman.
Penyediaan lahan oleh gubernur (selaku kepala daerah), yang bekerja
sama dengan Badan Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda),
dalam pelaksanaannya berkoordinasi dengan beberapa instansi,
seperti Dinas Pekerjaan Umum (membangun prasarana jalan dan
jembatan), Departemen Dalam Negeri (urusan pemerintahan desa),
Jawatan Agraria (BPN, saat ini) untuk pengkavelingan tanah hingga
pembuatan sertifikat, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
(pembangunan sekolah dan pengadaan tenaga pengajar), Departemen
Kesehatan (pembangunan puskesmas dan tenaga kesehatan), dan
penempatan transmigran oleh Departemen Tenaga Kerja.
Dalam pelaksanaannya, pengerjaan pembangunan sarana dan
prasarana di unit pemukiman berupa bangunan rumah, kantor kepala
UPT, gudang, 2 unit rumah staf, dan jalan-jalan pemukiman diserahkan kepada salah satu proyek yang bernama PT Lampiri (wawancara
dengan Bp I Wayan Laster, Agustus 2018). Dalam penuturannya,
beliau mengatakan bhwa lahan pekarangannya pernah dipakai oleh
PT Lampiri untuk menempatkan material bahan bangunan yang akan
dipergunakan dalam pembangungan pemukiman di Kerta Buana.
Sebelum dibangun, kawasan ini dinamakan Teluk Dalam. Melalui
penelusuran, asal usul nama Teluk Dalam belum diperoleh informasi
yang jelas. Menurut Pak Derman, Teluk itu berarti losok; daerah ini
berawa dan sepi, serta berada di pelosok pedalaman, sehingga diberi
nama Teluk Dalam. Itu pun sesuai dengan nama yang diberikan oleh
orang Kutai saat itu. Setelah adanya transmigran, maka daerah ini
menjadi ramai. Adapun tokoh masyarakat yang dipercaya sewaktu
itu adalah Bapak I Dewa Ketut Alit. Ia dipilih karena dianggap arif
dan termasuk seorang veteran dari TNI Angkatan Laut, serta pernah
menjadi kepala desa di Kabupaten Klungkung (wawancara dengan
Jero Nini, April 2018, dan Bapak Derman, Agustus 2018).
36
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sebelumnya, berlaku sistem pemerintahan di lokasi L4; salah
seorang dari pemerintahan bernama I Nyoman Ramiye ditugaskan
sebagai Kepala UPT di L4. Ia yang bertanggung jawab dalam membina
warga transmigran dan mengatur segala keperluan warga. Ia dibantu
oleh I Dewa Ketut Alit (sebagai “perpanjangan tangan” dari Kepala
UPT) untuk mengurusi warga transmigran pada masa-masa persiapan
pembentukan desa. Ia dipilih secara langsung oleh Kepala UPT dan
sesepuh warga. Terhitung sejak tahun 1980–1990, pemukiman di L4
untuk sementara waktu dipimpin oleh I Dewa Ketut Alit.
Pada tahun 1990, dilakukan pembenahan administrasi dari L4
menjadi desa secara definitif dalam wilayah Kecamatan Tenggarong.
Setelah masa persiapan, di L4 harus ada kepala desa sementara. Ketika
itu, ada 2 nama yang diusulkan, yaitu I Dewa Ketut Alit (dari kelompok
Bali Barat) dan I Wayan Santika (dari kelompok Bali Timur). Secara
definitif, mereka memilih nama I Dewa Ketut Ali untuk menjadi
kepala desa pertama, dengan masa jabatan 6 tahun (1992–1997).
Pada masanya, nama L4 ditetapkan menjadi nama Desa Kerta Buana.
Gambar 2.1 Papan nama Desa Kerta Buana di Jl. Poros, Kec. Tenggarong Seberang
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
37
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Setelah menjadi Desa Kerta Buana, terjadi perubahan letak desa,
yaitu:
• Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Tenggarong.
• Sebelah selatan berbatasan dengan Kota Samarinda.
• Sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan Marang Kayu.
• Sebelah utara berbatasan dengan Sebulu.
Selanjutnya, desa ini memiliki 4 dusun, yakni Dusun Rapak Rejo
(yang banyak dihuni oleh suku Bali), Dusun Rinjani Indah (yang
banyak dihuni oleh orang Lombok dan Jawa), Dusun Sida Karya
(yang banyak dihuni oleh suku Bali), dan Dusun Budi Daya (yang
banyak dihuni oleh suku Bali dan Jawa)(wawancara dengan Bp Harry
Kurniawan, April 2018).
Kerta Buana adalah nama desa yang diberikan dari hasil kesepakatan sesepuh dan warga desa, yang didukung oleh warga yang
saat itu mayoritas suku Bali. Menurut beberapa informan, nama
Kerta Buana erat kaitannya dengan pengalaman yang dialami oleh
masyarakat L4. Seperti yang diungkapkan oleh Harry Kurniawan,
Kerta berarti sejahtera, sedangkan Buana bermakna alam atau hutan.
Jadi, menurutnya, saat transmigran datang, daerah itu sangat sepi
dan binatang hutan pun masih banyak. Hutannya lebat, dan pepohonannya tinggi. Namun, dengan keadaan yang berat dan penuh
tantangan, serta adanya kerja keras untuk mengolah lahan, maka
akhirnya tanah memberikan sumber kehidupan dan kesejahteraan
bagi mereka (wawancara dilapangan dengan Bp A. Wahid, April 2018
dan Bp Derman, Agustus 2018).
Pada tahun 1997–2003, kepala desa dijabat oleh Abdul Wahid.
Ia adalah salah seorang transmigran berasal dari Lombok, yang
datang pada tahap ke-2 bulan November 1980. Lantas, pada tahun
38
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
2003–2008, dijabat oleh I Wayan Artina, salah seorang dari suku Bali.
Setelah tahun 2003, terjadi perubahan batas Desa Kerta Buana karena
adanya faktor letak dan tanah sebagian yang kena di lahan tambang
PT Kitadin. Adapun batas Desa Kerta Buana saat itu adalah:
• Sebelah barat berbatasan dengan Desa Separi dan Embalut.
• Sebelah selatan berbatasan dengan Desa Embalut.
• Sebelah timur berbatasan dengan Kota Samarinda, Kecamatan
Sempaja.
• Sebelah utara berbatasan dengan Desa Bukit Pariaman.
Pada tahun 2008–2013, kepala desa dijabat oleh Sukisno dari
suku Jawa. Ia pernah bekerja sebagai karyawan di PT Kitadin.
Sedangkan, kepala desa ke-5 ialah Zainuddin (2013–sekarang). Ia termasuk salah seorang dari suku Lombok (wawancara dengan bp Hari
Kurniawan, April 2018). Dalam pemilihan kepala desa, ada beberapa
orang yang mencalonkan diri, dan setiap calon menyampaikan visi
dan misi. Dan, pada akhirnya, pemilihan kepala desa dilakukan
dengan suara terbanyak.
Asal Usul Para Transmigran di Kerta Buana
Sebelum tahun 1980, pemerintah merencanakan pembangunan
bagi transmigrasi umum. Penempatan transmigran ini dimulai sejak
masa Repelita III tahun 1980 dan dilakukan secara bertahap. Tahap
pertama sekitar bulan September 1980, sedangkan tahap kedua pada
bulan November 1980. Para transmigran ini berasal dari berbagai
wilayah di Pulau Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan beberapa
penduduk lokal (Kutai). Mereka menempati rumah-rumah di lokasi
pemukiman program transmigran yang telah disiapkan sebelumnya.
39
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Pada awalnya, sebelum menjadi peserta transmigran, dilakukan
proses perekrutan dari daerah asal peserta oleh petugas desa yang
telah ditunjuk dari kantor transmigrasi setempat. Tetapi, ada
juga yang datang sendiri mendaftar ke kantor setelah mengetahui
bahwa pemerintah akan melakukan program transmigrasi ke Pulau
Kalimantan. Setelah mendaftar, maka mereka didata dan dipanggil
oleh petugas transmigrasi untuk melengkapi persyaratan yang
diperlukan.
Dalam penyelenggaraan transmigrasi, petugas menyampaikan
bahwa dalam kegiatan transmigrasi ini perlu suatu sistem yang
sinergi antara daerah pengirim dan daerah penerima penempatan
para transmigran. Sebab, yang diharapkan adalah para peserta
dapat mewujudkan tiga hal yang diinginkan, yaitu kesejahteraan,
pembangunan masyarakat, dan integrasi masyarakat. Oleh karena
itu, diperlukan transmigran yang ulet dan berkualitas. Untuk
mewujudkan keinginan tersebut, maka beberapa persyaratan yang
harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
1. Transmigran yang gigih, ulet, berinovasi, dan berkreasi.
2. Warga Negara Indonesia (WNI) dan memiliki Kartu Tanda
Penduduk (KTP).
3. Sudah berkeluarga.
4. Usia 20–45 tahun.
5. Pendidikan minimal SMA.
6. Memiliki kompetensi sesuai dengan kebutuhan daerah tujuan.
7. Berbadan sehat.
8. Belum pernah ikut transmigrasi (Kementerian Desa, 2015, hlm.
7).
40
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sebelum berangkat, peserta transmigrasi dikumpulkan di Aula
Transito setempat, baik yang berasal dari Bali maupun NTB. Mereka
dibekali informasi tentang keadaan di daerah tujuan dan kesiapan
untuk bertransmigrasi, waktu keberangkatan, serta fasilitas yang
akan diterima. Adapun yang diterima di lokasi adalah sebagai berikut:
1. Sebuah rumah yang terbuat dari kayu.
2. Tanah pekarangan 0,25 hektar.
3. Tanah sawah 1 hektar.
4. Tanah kering/ladang 0,75 hektar.
5. Jaminan hidup selama 12 bulan atau 1 tahun.
6. Peralatan dan bibit tanaman pertanian.
Gambar 2.2 Salah satu bentuk rumah dan pekarangan transmigran
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
41
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Setelah didata, para peserta transmigrasi yang akan berangkat dari
Provinsi Bali berasal dari wilayah Jembrana, Klungkung, Nusa Penida,
Badung, Karang Asem, Mengwui, dan Banyuwangi. Kebanyakan dari
mereka adalah petani, terutama yang berasal dari daerah Jembrana
dan Klungkung. Namun, ada juga yang kurang paham tentang bertani,
karena selama di Bali, mereka mengerjakan ladang yang letaknya di
pegunungan, seperti di daerah Nusa Penida. Dalam keberangkatan
itu, ada pula suku Jawa yang berasal dari Banyuwangi, tetapi sudah
lama tinggal di Bali. Mereka mempersiapkan segala sesuatu yang
akan mereka bawa dan butuhkan di sana. Semua keperluan tersebut
dimasukkan ke dalam sebuah peti kayu yang sudah disiapkan. Mereka
pun membawa bibit padi, bibit kelapa, dan bibit sayuran.
Proses kedatangan mereka secara bertahap dan menggunakan
transportasi yang berbeda. Kelompok pertama berjumlah sekitar
250 KK, yang berangkat dari Bali menggunakan pesawat AURI yang
dulu disebut pesawat Hercules. Setelah di Balikpapan, Kalimantan
Timur, mereka langsung dibawa ke lokasi dengan menggunakan bus
dan truk untuk mengangkut transmigran dan barang-barang mereka.
Perjalanan dari Balikpapan ke Teluk Dalam saat itu ditempuh
sekitar 5 jam, dan mereka tiba di lokasi sudah hampir malam. Mereka
dikumpulkan di sebuah tanah lapang. Selanjutnya, mereka didata
kembali dan dipanggil untuk mencabut nomor lot atau nomor undian
di blok mana mereka tinggal. Setelah memperoleh nomor undian,
mereka dikumpulkan menjadi satu, lalu diarahkan menuju lokasi dan
rumah yang sudah ditentukan. Rumah yang disediakan terbuat dari
kayu, yang terdiri atas 2 kamar tidur, dan jenisnya rumah berkolong.
Sewaktu pertama kali datang dan tinggal di L4, itu merupakan
masa-masa sulit. Mereka dituntut untuk sabar, bekerja keras, dan
bersemangat. Keadaan rumah yang ditempati ditumbuhi oleh semak
belukar dan pohon-pohon kayu yang tinggi, sehingga mereka harus
42
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
menebas, menyiangi, bahkan berjuang untuk menyisihkan batangbatang pohon yang besar. Apalagi, pengalaman pahit mereka, saat
curah hujan banyak, tempat mereka banjir dan air tergenang sampai
masuk ke rumah. Mereka tidak bisa bekerja. Karena ketika itu masih
banyak rumah yang kosong, maka mereka pindah sekaligus memilih
tempat dan rumah yang tanahnya tinggi dan tidak banjir, yaitu Blok
A dan Blok B. Oleh karena itu, hingga saat ini, blok itu ditempati oleh
mayoritas orang Bali.
Perekrutan transmigran tidak hanya di Bali, tetapi juga dari NTB,
utamanya dari wilayah Lombok Barat, Lombok Timur, dan Lombok
Tengah. Persyaratan yang diberlakukan sama dengan yang di Bali,
yakni harus menikah dan memiliki kartu keluarga. Pendaftaran
dilakukan melalui petugas, atau ada juga yang datang langsung ke
kantor transmigrasi setempat. Persyaratan yang utama sebagai petani,
tetapi ada juga yang bukan petani, tetapi sudah mempunyai tekad
akan belajar bertani di lokasi.
Setelah tiga bulan kemudian, bulan November 1980, sekitar 200
KK transmigran dari NTB akan diberangkatkan dengan menggunakan
kapal laut ke Kalimantan Timur. Sebelum berangkat, mereka
ditampung di Wisma Transito Lombok selama 1 hari 1 malam. Semua
kebutuhan makan dan minum sudah disiapkan sekaligus kebutuhan
selama perjalanan menuju lokasi. Mereka berangkat dengan
menggunakan kapal laut dari Pelabuhan Lembar, Lombok Barat,
selama 2 hari 2 malam, kemudian berlabuh di Pelabuhan Samarinda,
dekat Pasar Pagi Samarinda. Di sana, bus dan truk sudah disiapkan
untuk membawa mereka ke lokasi.
Setibanya di Teluk Dalam, rombongan ini diturunkan di lapangan
dan ditampung di kantor desa dan masjid. Keesokan harinya, Kepala
UPT I Nyoman Ramiya dan beberapa petugas membagikan nomor
undian guna mendapatkan rumah. Setelah semua mencabut nomor
43
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
undian, maka mereka diantarkan ke tempat masing-masing, yang
sebelumnya mereka belum mengetahui keadaan di lokasi tersebut.
Alasan Mengikuti Program Transmigrasi
Salah satu program pemerintah dan merupakan tujuan dari
program transmigrasi adalah memanfaatkan potensi sumber daya
alam dan manusia guna meningkatkan kesejahteraan rakyat dan
pemerataan pembangunan.
Alasan beberapa informan yang dijumpai ialah mereka mengikuti
program transmigrasi karena beberapa hal, dan semuanya itu hampir
sama dengan peserta lainnya. Mereka menerangkan bahwa mereka
tidak memiliki tanah di Bali; ada yang tidak mempunyai pekerjaan
tetap, ada pula yang tergiur karena diajak oleh teman. Salah seorang
transmigran Bali yang berasal dari Klungkung menjelaskan alasan
mengikuti program transmigrasi karena ikut suaminya yang telah
pensiun. Mereka memiliki banyak anak, sedangkan mereka tidak
mempunyai tanah di Bali. Saat itu, ada petugas yang mencari orang
untuk transmigrasi. Kesempatan ini dimanfaatkan sekaligus digunakan untuk mengubah nasib. Selain itu, semua biaya, mulai dari
berangkat hingga biaya hidup selama setahun di lokasi, ditanggung
oleh pemerintah. Setelah mendaftar, maka 15 hari kemudian, mereka
berangkat dengan menggunakan pesawat Hercules. Mereka termasuk
rombongan pertama. Mereka berasal dari Lombok, Jawa, dan Bali.
Setelah tiba di lokasi, mereka diberi jatah hidup berupa beras, gula,
garam, ikan asin, peralatan memasak, serta alat tebas dan cangkul
(wawancara dengan I Made Suratne, yang dikenal dengan panggilan
Jeronini, April 2018).
44
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Berbeda dengan yang diungkapkan oleh salah seorang anggota
transmigran. Alasan mengikuti transmigran karena di Bali tidak
mempunyai tanah, dan ia pernah mendaftar untuk ikut bertransmigrasi ke Sulawesi. Ia sudah mendaftar, tetapi tidak dipanggil. Mendengar informasi dari penyuluh yang di Jembrana, bahwa ada buka
pendaftaran transmigrasi ke Kalimantan, maka ia mendaftarkan diri
untuk bisa ikut dan membawa keluarganya. Saat ikut trans, ia telah
memiliki seorang anak, dan ia berangkat pada gelombang kedua dari
Transito Bali. Ketika itu, ada sekitar 50 KK dari Jembrana, Bali Utara.
Selama di Bali, ia bekerja sebagai petani; sama dengan pekerjaan orang
tuanya. Sebelum berangkat ke Kalimantan, ia mempersiapkan bibit
padi dan bibit kelapa untuk ditanam di lokasi. Bibit kelapa sangat
dibutuhkan bagi orang Bali karena semua bagian dari kelapa dapat
digunakan, mulai dari daun, buah, hingga batang, untuk keperluan
ibadah dan makanan (wawancara dengan I Wayan Wander, Agustus
2018) beliau merupakan salah seorang petani yang menanam ; kelapa
di pematangsawahnya.
Dalam proses berikutnya, para transmigran tidak lagi didanai oleh
pemerintah. Para transmigran mandiri dari berbagai pulau, bukan
hanya Bali, tetapi dari daerah lain menyusul berdatangan. Mereka
tergiur memulai hidup baru dan menetap di sana setelah mendengar
banyak sanak saudaranya tinggal di lokasi dan mendapatkan tanah
yang luas. Tidak semuanya transmigran bertahan di lokasi. Secara
diam-diam, mereka mulai menjual atau menyerahkan tanah kepada
keluarga dengan penggantian yang disepakati, dan mereka pindah
atau kembali ke tempat asal. Kesempatan ini merupakan kesempatan
baru bagi sanak saudara peserta transmigrasi yang memiliki tekad
kuat untuk mengubah kehidupan mereka di tempat yang baru.
45
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Motivasi Mengikuti Transmigrasi
Hidup layak dan dibiayai menjadi dambaan manusia. Demikian
yang ada di pikiran para transmigran Bali dan Nusa Tenggara Barat
saat mengetahui ada program transmigrasi ke Pulau Kalimantan.
Awalnya, mereka melihat foto atau gambar-gambar tentang orang
lokal yang memiliki kebun cengkih di depan rumah dan foto hutan.
Sebelumnya, sudah terpikir bahwa ikut transmigrasi akan sakit
karena harus memulai kehidupan baru. Tetapi, karena di Bali tidak
mempunyai tanah untuk bertani, ada kesempatan, serta persyaratan
memenuhi, maka niat bulat untuk keluar dari Bali dan berjuang
untuk hidup semakin membara. Apalagi, saat itu, ada yang tidak
diperbolehkan ikut karena faktor usia, dan ini menjadi penambah
semangat untuk berangkat ke Pulau Kalimantan, walaupun ketika
itu tidak diberi tahu terkait lokasi yang akan ditempati (wawancara
dengan Pak Berman, Agustus 2018).
Menurut Pak Komaruddin, salah seorang warga Lombok yang
termasuk sesepuh desa, ikut program transmigrasi menjadi cara untuk
bisa mengubah kehidupan. Fasilitas dan jaminan hidup yang diberikan
oleh pemerintah merupakan bekal yang dapat menopang kehidupan,
yang penting mau bekerja keras. Saat itu, ia belum menikah. Padahal,
ada program transmigrasi, dan salah satu syarat yang harus dipenuhi
adalah menikah dan memiliki kartu keluarga. Oleh karena itu, sebelum berangkat, ia menikah terlebih dahulu dengan gadis pilihannya. Ia berangkat bersama 3 KK anggota keluarganya, termasuk
mertuanya. Kadang, karena besarnya keinginan untuk mendapatkan
kesempatan menjadi anggota transmigran, maka sampai ada orang
yang melakukan pernikahan hanya untuk dicatatkan di buku nikah
atau istilah kawin gantung. Jika sudah tercatat maka dianggap resmi
berkeluarga.
46
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sebelum berangkat, Pak Komaruddin hanya mempersiapkan
perlengkapan pribadi, sebagaimana yang dibawa oleh peserta
transmigrasi lainnya berupa cerek, wajan, panci, cangkul, dan
pakaian. Mereka berangkat menggunakan kapal laut. Selama di kapal,
keperluan makanan sudah disediakan. Mereka juga membawa bibit
padi. Meskipun tidak semua peserta sebagai petani, tetapi jika sampai
di lokasi, mereka akan belajar tentang bertani dari orang lain.
Setelah tiba di lokasi, mereka menempati rumah yang telah
ditentukan. Saat itu, mereka mendapati bahwa rumah yang didiami
sudah pernah ditempati oleh rombongan yang pertama kali datang.
Kondisi rumah mereka, tanahnya rendah, dan jika curah hujan lama,
maka akan banjir, apalagi pembuatan selokan atau parit belum
ada. Meskipun situasi yang mereka jumpai merupakan tantangan
tersendiri, namun mereka tetap semangat. Secara spontan, mereka
membentuk kelompok kerja beranggotakan 10 orang. Dengan
kelompok kerja ini, pekerjaan membersihkan dan menyiapkan lahan
tanam bisa terwujud. Sistem kerja mereka ialah gotong royong dan
bergantian. Kelompok kerja itu akan mempercepat mereka untuk
membersihkan dan menyiapkan lahan untuk ditanami.
Kondisi tanah di Blok D termasuk sangat subur. Maka dari itu,
bibit padi tumbuh dengan baik dan berbuah lebat. Sewaktu hendak
berangkat, istri Pak Komaruddin membawa beberapa buah mangga
untuk dimakan di kapal. Setelah buahnya dimakan, bijinya disimpan
untuk ditanam. Hingga saat ini, pohon mangga itu tumbuh subur dan
berbuah banyak. Batang pohonnya pun besar. Ini sebagai bukti bahwa
mereka telah lama mendiami rumah tersebut, yang diperkirakan 38
tahun (wawancara dengan pak Komaruddin, Agustus 2018).
47
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Setelah di Kerta Buana
Sewaktu pertama kali datang dan tinggal di L4 (atau sekarang
disebut Desa Kerta Buana), para transmigran menghadapi masa-masa
sulit. Pada tahun pertama kedatangan, mereka dituntut untuk sabar,
bekerja keras, dan memiliki semangat yang tinggi.
Keadaan rumah yang akan ditempati pun ditumbuhi oleh
pohon-pohon yang merambat. Di sekitarnya, ada semak belukar
serta pohon-pohon kayu yang tinggi. Oleh karena itu, mereka harus
menebas, menyiangi, bahkan berjuang untuk menyisihkan batangbatang pohon yang besar agar bisa bertanam dan memulai hidup di
tempat yang baru tersebut.
48
Bab III
Menggapai Harap: Masa
Bermukim dan Bertahan Hidup
1980–1990-an
(Dana Listiana)
A. Datang dan Bermukim, 1980
1. Kedatangan Transmigran di L4
Sebagaimana penjelasan dalam Bab II, transmigran program
transmigrasi Pelita III (1978–1982) yang ditempatkan di Lokasi
4 (L4) 16, Satuan Permukiman Transmigrasi Teluk Dalam,
Kecamatan Tenggarong, Wilayah Pengembangan Partial (WPP)
XIV, Kabupaten Kutai, menempati lokasi dalam 4 gelombang pada
1980. Gelombang I adalah kelompok transmigrasi lokal (Alokasi
16
L pada nama L4 diartikan oleh Kanwil Transmigrasi sebagai lokasi sebenarnya, yang
berasal dari kata “Lampiri”, sebuah perusahaan pemegang bekas konsesi hutan pemilik HPH.
Asal penamaan lokasi tersebut, selain dari riset Robert Siburian (peneliti LIPI) yang diperolehnya
berdasarkan informasi Sekretaris Laskar Kebangkitan Kutai, juga kami peroleh dari informan
kami, warga transmigran L4 (Siburian, 2005: 236 bdk., wawancara IND dan Km, Ds. Kerta
Buana, Agustus 2018).
49
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Penempatan Penduduk Daerah Transmigrasi atau APPDT17) dari
daerah setempat (wawancara Ni Komang Budiarsih [NKB]; Siti
Murni [SM]; I Wayan Laster [IWL], Ds. Kerta Buana, 8 April,
dan 13–14 Agustus 2018). Gelombang II kelompok transmigran
dari Bali masuk ke lokasi pada September 1980. Gelombang III
kelompok transmigran dari Bali masuk ke lokasi pada November
1980 (wawancara I Nyoman Derman [IND]; IWL; Priya [Pr],
Ds. Kerta Buana, 12–13 Agustus; 13 April 2018). Sedangkan,
gelombang IV kelompok transmigrasi dari Lombok masuk ke
lokasi pada November 1980 (wawancara Kamaruddin [Km], Ds.
Kerta Buana, 13 Agustus 2018).
Transmigrasi lokal (translok)18 adalah penduduk kampung
sekitar L4, yaitu Kampung Embalut dan Separi yang pada
Desember 1981 dilaporkan berjumlah 54 KK, yang terdiri atas
366 jiwa (Bid. Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Prov. Kaltim, 2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 3).
Waktu kedatangan mereka belum diketahui secara pasti karena
sebagian besar translok kerap kembali ke kampung dan meninggalkan lokasi transmigrasi dalam waktu yang lama (wawancara semua informan, Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018).
Secara umum, berdasarkan informasi dari berbagai kalangan, dapat disimpulkan bahwa translok datang ke L4 tidak
bersamaan.19 Ada translok yang datang sebelum gelombang
17
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur, Monografi
Satuan Pemukiman Transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai, Provinsi Kalimantan Timur
(Samarinda: Naskah Sumber Tidak Diterbitkan, 1981).
18
Translok di setiap lokasi transmigrasi ditargetkan berjumlah sekitar 10% dari total
transmigran (wawancara Il dan Sigit [Sg], Disnakertrans Prov. Kaltim; Ds. Loa Janan, 9 April
2018 bdk., Clauss et al., 1988: 80).
19
Reportase surat kabar lokal juga memberitakan kegiatan pendatangan translok dilakukan
secara bertahap ke lokasi transmigrasi (Warta Berita, Januari 1987: 3). Pengerahan kelompok
translok tidak mudah dan sering kali gagal (BS Jaya, 1986: 3).
50
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
I transmigran umum dari Bali20 (wawancara SM dan Km, Ds.
Kerta Buana, 14 Agustus 2018), ada juga yang bersamaan
dengan gelombang I (wawancara I Wayan Artina [IWA], Ds. Kerta
Buana, Februari 2018), dan ada yang datang bersamaan dengan
gelombang II dari Bali (wawancara IND, Ds. Kerta Buana, 12
Agustus dan 9 Oktober 2018).21
Transmigrasi umum datang ke L4 dalam 3 kelompok. Adapun
2 kelompok pertama dari Bali, sedangkan kelompok terakhir dari
Lombok.
Gambar 3.1 Contoh kartu tanda pengenal transmigran yang menunjukkan waktu transmigrasi
dari Lombok pada November 1980
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
20
Transmigran umum gelombang III dari Lombok menyampaikan bahwa saat kelompok
mereka datang pada November 1980, pohon singkong translok sudah menghasilkan (wawancara
SM dan Kamaruddin [Km], Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018). Informasi tersebut kemudian
kami bandingkan dengan keterangan Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang menyatakan
bahwa setelah lokasi transmigrasi dibuka, Kantor Wilayah Transmigrasi memberikan bantuan
bibit “tanaman pendahuluan”, seperti singkong, kepada warga transmigran yang datang untuk
ditanam di pekarangan. Dengan demikian, jika masa tanam-tumbuh singkong sekitar 3–4
bulan, maka dapat disimpulkan bahwa translok kelompok pertama telah masuk ke L4 antara
Juli–Agustus 2018 (wawancara Ismadi Hanafi [IH], Ds. Loa Janan, 11 April dan 9 Oktober 2018).
21
IND menyampaikan bahwa translok sekitar kediamannya baru datang beberapa hari
sebelum kedatangan kelompoknya, gelombang II dari Bali. Ketika ia datang pada November
1980, translok di sekitar rumahnya belum mulai bercocok tanam di pekarangan (wawancara
IND, Ds. Kerta Buana, 12 Agustus dan 9 Oktober 2018).
51
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Kelompok I tiba di L4 pada September 1980, dengan perkiraan
sebanyak 150 KK. Kelompok II tiba di L4 pada November 1980,
dengan perkiraan sebanyak 150 KK (wawancara IWA dan I
Wayan Meri [IWM], Ds. Kerta Buana, Februari dan 12 April 2018
bdk., Disnakertrans, 2003; Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981:
3). Sedangkan, kelompok III tiba di L4 pada November 1980
sebanyak 76 KK22, yang terdiri atas 314 jiwa (wawancara Abdul
Wahid [AW] dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April dan 14 Agustus
2018; Disnakertrans, 2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi,
1981: 3).
2. Pemukiman23 Transmigran
Permukiman24 transmigrasi dirancang dalam sebuah cetak
biru administrasi standar.25 Walaupun realisasinya sering tidak
sesuai rencana, permukiman transmigrasi era Orba memiliki
karakteristik khas berupa komposisi penduduk yang beragam.
Melalui keragaman ini, warga trans mau tidak mau harus membangun tatanan sosial-ekonomi baru berbasis heterogenitasetnik,
budaya, bahasa, dan agama. Oleh karena itu, warga trans dihadapkan pada tugas ganda, yaitu meningkatkan taraf ekonomi
dan membangun integrasi sosial (Clauss et al., 1988: 78). Tugas
tersebut saling terjalin dan berjalan seiring setiap fase hidup
warga di lokasi transmigrasi, termasuk fase pemukiman.
22
AW dan Km menyebutkan kelompok transmigran dari Lombok yang ditempatkan di
L4 sekitar 70 KK dari total transmigran berjumlah 300 KK. Adapun 300 KK tersebut kemudian
dibagi dan ditempatkan di L1, L2, L3, dan L4 lokasi transmigrasi Teluk Dalam (wawancara
Abdul Wahid [AW] dan Km, Ds. Kerta Buana, 12 April dan 14 Agustus 2018; Disnakertrans,
2003 bdk., Kanwil Dirjen Transmigrasi, 1981: 4).
23
Pemukiman adalah proses, cara, dan perbuatan memukimkan (https://kbbi.kemdikbud.
go.id/entri /pemukiman), yang diakses pada 30 September 2018, pukul 08.58 WIB.
24
Permukiman adalah daerah tempat bermukim (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/
permukiman), yang diakses pada 30 September 2018, pukul 08.58 WIB.
25
Cetak biru juga mencakup tata ruang desa yang terdiri atas permukiman, pasar, lapangan
sepak bola, sekolah, serta sarana peribadatan (masjid dan pura).
52
Gambar 3.2 Peta proyek permukiman transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai
(Kanwil Ditjen Transmigrasi Kaltim, 1981: 30)
L4
Lahan
Usaha
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
53
Lahan
Cadangan
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Setelah tiba di lokasi, para transmigran menempati permukiman yang telah dibuka oleh Direktorat PLPT Departemen
Pekerjaan Umum Kaltim pada tahun 1979 (Kanwil Dirjen
Transmigrasi, 1981: 1). Dalam bagian ini, proses bermukim
dari berbagai kelompok juga dibahas untuk melihat proses
integrasi sosial (adaptasi, interaksi, positioning, dan identifikasi)
transmigran Bali dengan berbagai kelompok etnik pada tahap ini.
Sebelum pembahasan lebih lanjut, perlu diketahui bahwa
permukiman transmigrasi L4 terdiri atas 5 blok yang terpisah
jalan poros (dari selatan ke utara menghubungkan Samarinda dan
Tenggarong). Ada dua blok, yaitu blok A dan B, di sebelah timur
jalan, serta blok C1, C2, dan D di sebelah barat jalan. Lokasi di
perbukitan membentuk 2 jenis kontur tanah permukiman. Blok
A dan B rendah menyerupai lembah, sedangkan blok C1, C2, dan
D relatif tinggi. Permukiman transmigrasi terdiri atas rumah dan
pekarangan seluas ¼ hektar untuk setiap KK. Area permukiman
dikelilingi lahan usaha 1 di lingkar pertama dan lahan usaha 2
di lingkar kedua (untuk lahan 2 tidak persis mengelilingi lokasi).
Kelompok I yang menempati permukiman transmigrasi
L4 adalah translok. Translok diberi prioritas untuk menempati
tempat tinggal (lahan pekarangan) sesuai keinginan mereka,
tanpa diundi.26 Prioritas ini diberikan oleh pemerintah karena
lokasi transmigrasi (setidaknya terdapat sebagian dari lokasi),
baik pekarangan ataupun lahan usaha, sebelumnya dipahami
sebagai area garap orang-orang kampung sekitar. Oleh karena itu,
penduduk kampung sekitar diajak dan diberi kesempatan untuk
mengikuti program transmigrasi dan mendapatkan hal yang
26
Praktik serupa juga berlaku di lokasi transmigrasi Rimbayu (sebelah utara Teluk Dalam).
Di Rimbayu, orang Kutai juga diizinkan untuk memilih lokasi permukiman mereka sendiri.
Oleh karena itu, rumah pekarangan orang Kutai berdekatan dan relatif homogen dalam sebuah
blok (Clauss et al., 1988: 82).
54
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sama seperti transmigran umum lain (wawancara IWA, Ds. Kerta
Buana, Februari 2018). Rumah dan pekarangan translok yang
tengah ditinggalkan karena mereka kerap kembali ke kampung
dalam jangka waktu lama juga dilarang untuk ditempati oleh
transmigran umum yang tiba setelah mereka. Peringatan dari
Kepala Unit Permukiman Transmigrasi (KUPT) ini, menurut
informan kami, menunjukkan usaha pemerintah untuk tetap
mempertahankan penduduk sekitar sebagai penggarap awal
lahan transmigrasi (wawancara AW, Ds. Kerta Buana, 12 April
2018).27
Gambar 3.3 Bentuk rumah transmigrasi, hanya mengalami penggantian bahan di bagian atap
dari rumbia menjadi seng
(Dokumentasi Lapangan, April 2018)
27
Penetapan lokasi transmigrasi melalui tahap observasi lahan oleh petugas Kanwil
Transmigrasi untuk memastikan bahwa lokasi tidak ada pemiliknya. Kalaupun lokasi tersebut
dinilai ada yang memiliki, pemerintah akan meminta izin terlebih dahulu dan meminta mereka
untuk ikut serta dalam program transmigrasi. Jika penduduk setempat tidak berkenan ikut,
mereka akan diberi kompensasi atas tanah beserta tanam-tumbuh di atasnya (wawancara Il dan
IH, Ds. Loa Janan, 11 April dan 9 Oktober 2018; Clauss et al., 1988: 86–87).
55
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Kesempatan tersebut dimanfaatkan oleh translok yang
berasal dari kampung sekitar, yaitu Separi dan Embalut, untuk
memilih lokasi tempat tinggal di dekat kampungnya (blok di
tepi barat dan selatan L4) supaya dekat dengan kampungnya
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Alhasil, permukiman translok berdekatan dan mengelompok di sekitar blok A,
B, dan C2 (wawancara AW; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12 April;
12 dan 14 Agustus 2018).
Perilaku translok dalam menempati rumah yang berdekatan
sehingga berkelompok di deretan blok-blok tertentu ini adalah
bentuk “identifikasi” kelompok yang paling awal muncul dari
masyarakat transmigran. Identifikasi sebagai satu kesatuan etnik
nantinya semakin menguat setelah kehadiran transmigran lain.
Identifikasi yang paling mencolok adalah penyebutan sebagai
kelompok “translok Kutai” dari warga trans lain, meskipun
menurut informan kami, translok sebenarnya terdiri atas orang
Dayak (Kenyah), Etam, dan Kutai (wawancara informan, Ds.
Kerta Buana, 12 April; 13 Agustus 2018).
Kelompok II (transmigran umum gelombang I dari Bali)
tiba di lokasi sehari setelah hari keberangkatan dari Denpasar.
Rombongan harus menginap semalam di kantor transmigrasi
Balikpapan, sebelum melanjutkan perjalanan melalui Samarinda
keesokan paginya. Rombongan baru tiba di Kerta Buana pukul
4 sore, dan dikumpulkan di halaman masjid area Kantor UPT
Transmigrasi L4 untuk dibagi undian kaveling rumah pekarangan.
Untuk kelompok ini, kaveling yang diundi hanya area blok A dan
B (wawancara IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
Sebagian transmigran langsung mencari kaveling undiannya,
sedangkan sebagian lainnya bertahan sementara di area Kantor
UPT dan masjid karena masih kaget melihat kondisi lokasi
56
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
berupa rimba. Warga yang langsung mencari rumah kemudian
menelusuri jalan setapak. Rumah yang dibangun oleh kontraktor
Lampiri pada 1979 tersebut kala itu hanya terlihat bagian atap
dari jalan, karena sudah ditumbuhi tanaman merambat. Warga
trans tersebut pun membersihkan rumah, sekadar untuk bisa
masuk dan istirahat malam itu juga, bermodal arit dan peralatan
lain yang dibawa dari Bali (wawancara IWA; IWT; dan Bu IWM,
Ds. Kerta Buana, Februari; 14 Agustus dan 12 April 2018).
Gambar 3.4 Halaman masjid L4 (kini, Masjid Ijtihad) adalah tempat kumpul dan undian
kaveling rumah pekarangan transmigrasi dari Bali
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Rumah yang diundi untuk kelompok II masih kosong dan
belum pernah dihuni sebelumnya. Rumah kayu berbentuk huruf
L berukuran 5 × 7 m2 tersebut terdiri atas 2 kamar tidur, 1 ruang
keluarga, dan dapur. Konstruksi panggung membuat kolong
57
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
rumah trans menjadi tempat persinggahan tikus hutan dan
perlindungan kawanan babi hutan pada malam hari. Oleh karena
itu, selain nyamuk hutan, keluarga transmigran harus berkawan
dengan suara decit dan ngorok kedua hewan itu setiap malam pada
masa awal bermukim di lokasi transmigrasi (wawancara IWA dan
IWT, Ds. Kerta Buana, Februari; 14 Agustus 2018).
Lokasi blok A dan B yang dihuni sebagian besar kelompok II
terkena banjir besar setelah sekitar 2 bulan dihuni. Lalu, sebagian
dari mereka pindah ke blok lain yang lebih tinggi lokasinya;
sebelumnya mengajukan izin kepada KUPT (wawancara IWA dan
NKB, Ds. Kerta Buana, Februari; 8April 2018).
Kelompok III (transmigran umum gelombang II dari Bali)
tiba di L4 setelah melanjutkan perjalanan udara─dari Bali
ke Balikpapan menggunakan pesawat Hercules─dengan perja lanan darat menggunakan mobil colt dari Balikpapan ke
Samarinda Seberang. Kemudian, rombongan transmigran
melanjutkan perjalanan menggunakan truk hingga Mahakam
untuk menyeberang sungai menggunakan kapal laut. Terakhir,
rombongan kembali menggunakan truk hingga L4 (wawancara
Siti Rahmawati [SR], Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018).
Setibanya di L4, rombongan dikumpulkan di halaman masjid
(berfungsi sebagai lapangan unit) untuk mengikuti undian
kaveling rumah pekarangan. Kaveling yang diundi adalah lot
(bidang kaveling) yang kosong dan telah ditinggal oleh trans dari
Bali yang pindah karena banjir. Oleh karena itu, penempatan
trans ini menjadi bercampur (wawancara SR; IND; IWL, Ds. Kerta
Buana, 12–13 Agustus 2018).
Setelah transmigran memegang nomor undian kaveling,
petugas transmigrasi menunjukkan lokasi blok. Lalu, mereka
58
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
mencari sendiri rumahnya masing-masing dengan melihat
nomor yang ditempel di rumah. Meskipun pohon merambat
masih saja ada yang menutupi beberapa rumah pekarangan,
namun kondisi lingkungan ketika mereka datang sudah lebih
baik, sehingga kelompok ini sudah mendapatkan rumahnya hari
itu juga. Bahkan, sebagian pekarangan warga trans sebelumnya
sudah tampak tumbuh jagung dan singkong. Beruntung pula bagi
warga trans yang rumahnya sempat menjadi tempat menginap
pegawai kontraktor Lampiri, serta pembangun rumah dan jalan
transmigrasi, karena kondisi pekarangan relatif lebih bersih
daripada semak belukar (wawancara IWL; IND, Ds. Kerta Buana,
12–13 Agustus 2018).
Ada pula warga trans yang kurang beruntung, yang mendapatkan kaveling di daerah rendah berawa, yang saat itu kolong
rumahnya tengah dipenuhi air. Akan tetapi, nomor undian
tersebut tidak kaku diberlakukan. Kebijakan untuk kondisi luar
biasa tetap dapat diberikan. Hal ini terjadi pada transmigran Pr
yang datang berdua dengan seorang anaknya yang masih kecil.
Istri Pr untuk sementara ditinggal di Bali karena baru saja melahirkan. Karena khawatir terhadap kondisi anaknya jika harus
ditinggal sendiri di rumah, Pr diizinkan pindah ke daerah yang
lebih tinggi oleh KUPT keesokan hari (wawancara Priya [Pr], Ds.
Kerta Buana, 13 April 2018).
Setelah menghuni rumah, hal pertama yang dilakukan oleh
transmigran Bali [Hindu] (etnik Bali yang beragama Hindu,
bukan etnik Jawa yang melakukan urbanisasi ke Bali ataupun
Bali Islam yang leluhurnya adalah migran Lombok) adalah
mendirikan sanggah kemulan (tempat peribadatan kepada Sang
Hyang Widi dan pemujaan leluhur) untuk keluarga di halaman
rumah. Pendirian sanggah pada masa awal bermukim dibuat oleh
59
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
warga trans Bali secara sangat sederhana berupa kotak kayu dari
kayu dadap atau kayu apa pun yang tersedia di lingkungan rumah
(wawancara IWA; NKB, Ds. Kerta Buana, Februari; 8 April 2018).
Gambar 3.5 Ilustrasi sanggah kemulan sederhana masa kini
(Dokumentasi Lapangan, 9 April 2018)
Pendirian sanggah membentuk “identifikasi” berdasarkan
kesatuan etnik yang sekaligus mengacu pada kesatuan agama.
Keberadaan sanggah di depan rumah menguatkan identifikasi
tersebut, baik dari dalam kelompok maupun luar kelompok.
Menguatnya sikap individu dari dalam kelompok terlihat dari
pernyataan informan ketika menanggapi pertanyaan kami terkait
munculnya “cibiran” dari trans lain atas praktik kebiasaan atau
tradisi yang berbeda.
“…Galungan orang Bali kan ada junjung bambu, eehh ditebas.
Bikin gini, sanggah. Pura-pura dia beli anu, beli burung, rumah
burung ni, Pak....” (Wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12
April 2018).
60
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Menguatnya identifikasi dalam bentuk tersebut tidak
memunculkan pertentangan yang lebih besar karena individu Bali
kemudian bersikap “menerima”. Sikap ini lahir dari kesadaran
atas posisi mereka sebagai warga dengan tradisi “berbeda” di
lingkungan baru yang beragam.
Selain identifikasi kelompok, pembuatan sanggah dari
bahan yang ada juga menunjukkan penyesuaian diri warga trans
Bali terhadap lingkungan. Penyesuaian dengan lingkungan
juga dilakukan dalam menyiapkan perlengkapan upakara
ritual peribadatan sehari-hari. Mereka membuat canang sari
(persembahan) menggunakan bunga hutan dan bahan lain yang
tersedia di lingkungan sekitar (wawancara NKB dan Ni Made
Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana, 8 April 2018).
Penyesuaian dalam persiapan upakara ini sempat memunculkan kebingungan dan gesekan di dalam kelompok transmigran
Bali. Gesekan dipicu oleh perbedaan tradisi keagamaan yang
dibawa dari daerah asal transmigran, yakni 8 kabupaten/kota
di Bali. Perbedaan dapat dilihat pada upacara keagamaan,
seperti perbedaan volume, posisi, dan ornamen dalam upakara
(kelengkapan upacara) berupa perangkat sesajian. Gesekan
muncul ketika semua kelompok tradisi mengadakan upacara
bersama di desa. Gesekan itu dihadapi oleh Lembaga Parisadha
Hindu Dharma Indonesia tingkat desa yang kala itu dipimpin
oleh I Dewa Jati dengan mengajak umat lain untuk mempelajari
tradisi umat Hindu-Bali dari tradisi lain. I Dewa Jati kala itu
adalah figur satu-satunya untuk tempat bertanya. Akan tetapi,
I Dewa Jati sendiri pun adalah pelaksana tradisi keagamaan
dari kelompoknya. Oleh karena itu, imbauan untuk saling
mempelajari tradisi tetap menyisakan ketidakpuasan dari warga.
Ketidakpuasan warga kemudian memunculkan para tokoh di
61
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
lingkungan sendiri, yang mendalami pelajaran tradisi untuk
kelompoknya masing-masing. Pembelajaran ini di kemudian hari
diterapkan saat setiap kelompok tradisi keagamaan membangun
tempat ibadahnya masing-masing. Kala itu, PHDI belum dibuat
satu pola panduan yang menjadi acuan dalam pelaksanaan
upacara di tingkat desa (wawancara informan, Ds. Kerta Buana,
April 2018).
Bentuk-bentuk integrasi sosial semakin beragam setelah
masuknya kelompok IV. Kelompok ini (transmigran umum
gelombang III dari Lombok) tiba di L4 setelah perjalanan laut
3 hari 2 malam dari Pelabuhan Lembar (Lombok Barat) ke
Samarinda, kemudian lanjut menyeberang Sungai Mahakam
dari Samarinda ke Tenggarong. Lalu, transmigran dari Lombok
melanjutkan perjalanan darat menggunakan colt ke lapangan
L3, halaman kantor Lampiri. Di L3, transmigran dibagi menjadi
4 lokasi transmigrasi di Teluk Dalam. Transmigran yang
ditempatkan di L4 melanjutkan ke L4 pada senja hari sehingga
baru dapat berkumpul di halaman masjid L4 pada malam hari.
Oleh karena itu, malam itu, pembagian rumah belum bisa dilakukan, dan transmigran bermalam di masjid ataupun kantor dan
rumah-rumah petugas transmigran di sebelah masjid (wawancara
SM dan Km, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018).
Transmigran dari Lombok baru mencabut undian lot dipimpin KUPT keesokan pagi. Lot yang dibagi untuk mereka tentu
saja adalah sisa dari kelompok-kelompok sebelumnya, yakni di
blok A dan B. Oleh karena itu, pintu rumah terlihat sudah pernah
dibuka, dan di dalam rumah terdapat bekas aktivitas memasak
atau bahkan meninggalkan perabot. Rumah dan pekarangan pun
kembali ditumbuhi belukar, dan di bagian belakang rumah adalah
hutan rimba lahan usaha. Mengetahui kondisi rumah pernah
62
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dihuni, memunculkan prasangka dari trans Lombok bahwa trans
sebelumnya (khususnya Bali) mendapatkan keistimewaan karena
KUPT adalah orang Bali. Trans Lombok juga menyangka bahwa
trans dari Bali bebas mau menempati rumah yang mana saja,
dan memperoleh rumah tanpa mengambil nomor undian seperti
prosedur yang mereka lalui (wawancara AW; SM; dan Km, Ds.
Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018).
Situasi awal bermukim berupa perolehan rumah bekas
hunian transmigran lain tersebut menimbulkan kecemburuan
kolektif terhadap transmigran Bali-Hindu yang membentuk
“identifikasi” etnik Lombok. Kecemburuan mengarah pada BaliHindu, walaupun transmigran Lombok memahami bahwa rumahrumah mereka tidak hanya bekas dihuni oleh Bali-Hindu, tetapi
juga translok. Kecemburuan muncul karena KUPT L4 adalah
orang Bali-Hindu. Berikut lontaran kecemburuan tersebut:
“…Jauh-jauh hari sudah dijanjikan harus cepat berangkat ke
Kalimantan Timur. Tetapi, karena di sini ditekankan KUPT-nya
orang Bali, jadi pada waktu itu, kepala unitnya ditugaskan dari
Bali. Jadi, Bali yang didahulukan (datang) gitu. Bali waktu datang
pertama itu bebas memilih. Bebas memilih tempat mana yang
dianggap baik.” (Wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12
April 2018).
“…Ternyata, di sini kan orang Bali yang duluan datang. Kan
boleh dibilang semua, kan enak dia di sini, boleh milih mana
sukanya gitu kan. Jadi, ndak terbatas kalau orang yang pertama
itu datang. Kita yang datang ini bekasnya udah ditempati orang,
gitu, tapi karena ndak tau bagaimana pikirannya, bagaimana
ngumpul-ngumpul, mungkin ndak pake nomor dia kalo yang
pertama datang itu. Ya ngumpul-ngumpul cari keluarganya yang
dekat-dekat di situ dia pindah.” (Wawancara informan, Ds. Kerta
Buana, 14 Agustus 2018).
63
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Kondisi di blok A dan B memang rendah dan berawa, sehingga selalu berair. Karena belum ada drainase, dan saluran air
alami tertimbun batang-batang kayu yang ditebangi, maka lokasi
ini sering terkena banjir (wawancara AW; SM; dan Km, Ds. Kerta
Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018).28
Pada masa awal bermukim, kebutuhan dasar warga trans
dipenuhi atau dalam koordinasi Kanwil Transmigrasi. Kebutuhan
dasar mencakup pangan, sandang, alat pertanian primer, dan
fasilitas kesehatan.
Kebutuhan pangan warga trans dalam satu bulan pertama
dicukupi oleh dapur umum Kanwil Transmigrasi. Dapur umum
ala kondisi darurat pengungsian dengan perlengkapan masak
berupa tong kaleng dibelah dua ini menyediakan makanan 2 kali
sehari. Makanan dimasak oleh petugas transmigrasi dalam menu
yang sederhana.
Menurut informan kami, kadang kala ada saja makanan yang
tidak layak dijadikan menu, seperti tempe kering yang berulat.
Selanjutnya, warga trans memperoleh “jatah hidup” atau biasa
mereka singkat “jadup” selama 1 tahun 6 bulan (wawancara NKB
dan Ni Made Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana, 8 April 2018).
Jatah hidup terdiri atas beras untuk 4 jiwa 42,5 kg (kepala
keluarga 17,5 kg, istri 10 kg, dan anak 7 kg), ikan kering (ikan
asin), minyak tanah, minyak goreng, gula, garam, serta sabun
28
Transmigran Lombok merasa terdapat persaingan antara Lombok dan Bali dalam
program transmigrasi ke Kalimantan Timur, khususnya untuk proyek lokasi Teluk Dalam.
Informan kami menceritakan bahwa suasana tersebut sudah muncul sejak masa pendaftaran
transmigran di kampung halaman trans Lombok. Persaingan berupa keterbatasan alokasi kuota
dan usia peserta transmigrasi. Petugas transmigrasi dari Bali datang ke Desa Perian untuk
membatasi usia peserta transmigrasi Lombok dari 25–40 tahun. Pembatasan ini direspons negatif
oleh para calon peserta transmigrasi di Lombok, yakni di salah satu kantor desa di Lombok
Timur. Suasana kantor desa kala itu menjadi hiruk pikuk oleh teriakan protes para pendaftar
(wawancara informan, Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018).
64
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
cap tangan (yang digunakan untuk mandi sekaligus cuci pakaian)
(wawancara IH dan IL, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IWM dan
Istri, Ds. Kerta Buana, 11 April 2018).
Kebutuhan sandang yang dipenuhi Kanwil Transmigrasi
berupa 1 stel pakaian untuk bertani dan selimut kain. Perlengkapan lain berupa alat masak, seperti cerek, panci, wajan,
kompor, minyak tanah, dan lampu templek (wawancara IWM;
IWL; Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 13–14 Agustus 2018).
Perlengkapan bertani, seperti cangkul, sekop, linggis, parang,
dan tetak juga disediakan, meskipun warga trans menerangkan
buruknya kualitas yang dibagikan pemerintah (wawancara NKB;
IWM; IND; IKD, Ds. Kerta Buana, 8 dan 11 April dan 12 dan 14
Agustus 2018).
Kebutuhan lain yang diakomodasi Kanwil Transmigrasi
adalah fasilitas kesehatan. Untuk cakupan L4, disediakan Balai
Pengobatan dan petugas mantri kesehatan serta perawat. Untuk
seluruh lokasi transmigrasi Teluk Dalam, disediakan puskesmas
pembantu. Sedangkan, di tingkat kabupaten, diberikan pelayanan
gratis oleh Rumah Sakit Daerah A.M. Parikesit di Tenggarong
(wawancara NKB dan NMS; Pr; IND, Ds. Kerta Buana, 8–13 April;
12 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981: 15).
Pada awal proses bermukim, baik dalam menempati rumah
maupun memenuhi kebutuhan dasar, dapat dilihat beberapa
aspek integrasi sosial yang muncul di L4. Aspek yang muncul
pertama kali adalah “identifikasi” berdasarkan kesatuan etnik.
Selanjutnya, kesatuan etnik dapat bercampur atau terpisah
dengan identifikasi berdasarkan kesatuan agama. “Identifikasi”
etnik cukup stabil (ajek dan bertahan29) mendasari berbagai
29
Identifikasi etnik relatif bertahan hingga kini ketika para pendatang dari etnik yang
semakin beragam masuk dan menjadi penduduk desa.
65
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
perilaku warga trans, seperti yang tampak pada aspek integrasi
sosial lain. Akan tetapi, dalam peristiwa atau situasi tertentu,
“identifikasi” etnik dapat lebur dan cair sesuai kepentingan individu transmigran membentuk “identifikasi” kelompok lainnya.
Identifikasi kelompok tersebut menghasilkan berbagai
bentuk interaksi di dalam kelompok (ingroup). Adapun identifikasi
dalam cakupan lebih luas sebagai warga trans menciptakan
interaksi di luar kelompok-kelompok etnik dan agama, seperti
kelompok gotong royong bersama tetangga sekitar rumah secara
bergilir. Pembentukan kelompok kerja dilakukan secara spontan
dengan menghimpun warga sekitar rumah. Biasanya, kelompok
gotong royong tidak lebih dari 10 orang. Selebihnya, gotong
royong dilakukan untuk membersihkan lapangan dan meluaskan
selokan agar tidak banjir. Untuk cakupan kerja yang lebih luas,
Kanwil Transmigrasi ikut mengerahkan warga trans. Dalam
gotong royong, warga trans menjalin relasi dengan penduduk
setempat yang memiliki usaha chainsaw (gergaji mesin) untuk
membersihkan tunggul-tunggul kayu di sekitar pekarangan
(wawancara IWL; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018
bdk., Kanwil Ditjen Transmigrasi, 1981: 27).
Setelah beberapa hari bermukim, hal pertama yang warga
trans lakukan adalah mencari rumah sanak saudara atau tetangga
yang berasal dari satu kampung halaman. Keberadaan kerabat
menjadi salah satu faktor penguat untuk tetap bertahan di lokasi
asing (wawancara NKB; Km, Ds. Kerta Buana, 8 April; 14 Agustus
2018).
Aspek “interaksi” juga terjadi saat tubuh warga mulai menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan baru sehingga cukup
banyak warga terserang tifus. Mereka saling membantu mengantarkan orang sakit, terutama jika penyakit yang diderita cukup
66
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
serius dan harus ditangani di rumah sakit yang jaraknya cukup
jauh (wawancara Pr, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018).
Aspek positioning dari warga trans secara umum dapat dilihat
saat warga trans tetap menerima makanan pembagian, meskipun
menurut mereka tidak layak. Sikap tersebut muncul karena
ketika itu tidak ada pilihan lain untuk dapat bertahan hidup
(wawancara NKB dan Ni Made Suhartini [NMS], Ds. Kerta Buana,
8 April 2018). Sebagian lain menyatakan sikap penerimaan hadir
karena selama ini mereka menghadapi kondisi yang lebih sulit
di kampung halaman (wawancara Pr dan Istri, IWT, Ds. Kerta
Buana, 13 April; 14 Agustus 2018).
B. Memulai Hidup Baru 1980–1990-an
Transmigran melakukan berbagai strategi untuk bertahan hidup.
Strategi ini dipengaruhi oleh nilai yang mereka bawa dari daerah
asal, seperti latar belakang sosial budaya, gaya hidup, dan pekerjaan
sebelumnya (Hoppe dan Faust, 2004: 2–3).
1. Membangun Kehidupan Ekonomi
a. Bertani di Pekarangan dan Berburuh di Tambang Dalam
Setelah pekarangan dibersihkan sekitar 1 bulan lamanya,
warga trans mulai bercocok tanam di area pekarangan. Tanaman pendahuluan, seperti singkong, jagung, ubi jalar,
dan kacang panjang, diberi oleh Kanwil Transmigrasi untuk
dikembangkan terlebih dahulu karena masa tumbuhnya
cepat dan relatif mudah dikembangkan untuk memenuhi
kebutuhan pangan (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan, 10
April 2018; IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
67
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Meskipun pihak Kanwil Transmigran menyatakan
akan memberi bibit tanaman pendahuluan pada awal masa
bermukim, informasi yang kami peroleh menunjukkan
bahwa kebanyakan warga trans lebih mengingat penanaman
pertama yang mereka lakukan berasal dari bibit yang mereka
bawa dari kampung halaman, membeli ke penduduk kampung
sekitar, ataupun meminta dari warga trans yang telah
berhasil mengembangkan bibit. Warga trans tidak banyak
mengungkapkan bantuan bibit tanaman pendahuluan dari
Kanwil Transmigrasi karena masa pemberiannya tidak pada
waktu yang tepat, yakni bukan masa lahan pekarangan siap
ditanami. Selain itu, jumlah bibit yang diberikan sangat sedikit sehingga tidak dapat dikembangbiakkan ketika warga
trans masih dalam proses pengenalan lingkungan (wawancara IKD dan Pr, Ds. Kerta Buana, 12 dan 14 April 2018).
Bibit yang dibawa warga trans dari kampung halaman
pada umumnya berupa bibit padi dan bibit kelapa. Khususnya,
bagi trans Bali-Hindu, bibit kelapa dibawa karena dapat
bertahan lama dan dibutuhkan untuk keperluan pembuatan
upakara peribadatan. Selebihnya, bibit yang dibawa warga
trans cukup bervariasi, bergantung pada kondisi (masa
persiapan transmigrasi) individu transmigran. Sebagai
gambaran, seorang transmigran Lombok (bertransmigrasi
karena ditawarkan oleh ayah kekasihnya yang kemudian
menikahkannya beberapa hari sebelum pergi transmigransi)
tidak memiliki persiapan khusus, hanya membawa bibit
berupa biji mangga, sampah bekal makanan selama perjalanan
di kapal. Sebaliknya, warga trans Bali yang memiliki cukup
waktu untuk persiapan dan sempat membawa 10 buah bibit
kelapa yang seharusnya ditanam justru dikonsumsi sebagai
68
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
bahan campuran lauk (wawancara Pr; Sr, IWL, IWT, Km, Ds.
Kerta Buana, 12 April; 12–15 Agustus 2018).
Gambar 3.6 (Kiri); pasangan transmigran Bali, Priya dan istri, dengan latar pohon kelapa dari
bibit yang dibawa dari kampung halaman. (Kanan); pohon mangga di muka pekarangan
transmigran Lombok, Kamaruddin, dari bibit sisa perbekalan perjalanan transmigrasi.
(Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018)
Warga trans membeli 1 pohon singkong, lengkap dari
daun, batang, hingga buahnya, di Embalut atau Maluhu
seharga Rp500,00 kala itu. Biasanya, mereka akan memanfaatkan daun dan buahnya untuk dikonsumsi, sedangkan
batangnya untuk ditanam (wawancara IKD; IWL, Ds. Kerta
Buana, 14 April; 13 Agustus 2018).
Akan tetapi, ada pula warga trans yang hanya membeli
batang karena tujuannya untuk ditanam saja. Untuk batang
singkongnya saja, penduduk setempat menghargai Rp25,00
(wawancara IWT, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
69
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Jika warga trans awal harus membeli bibit di kampung
sekitar, maka warga trans gelombang selanjutnya cukup
membeli kepada rekan sesama trans yang biasanya akan
memberi bibit secara sukarela. Selanjutnya, jika pohon
yang dihasilkan oleh trans berikutnya berhasil baik, maka
mereka pun akan membagi kepada trans lain yang berminat
(wawancara IKD; IWL; Km, Ds. Kerta Buana, 14 April; 13–14
Agustus 2018).
Tanaman pendahuluan translok dan trans dari Bali
gelombang I sudah menghasilkan pada tahun 1980. Sementara itu, tanaman trans berikutnya baru menghasilkan pada
tahun 1981 (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus
2018).
Tanaman pendahuluan yang terbilang berhasil dikembangkan warga trans dalam 3–4 bulan pertama adalah singkong dan ubi. Kedua tanaman ini juga digemari oleh babi
hutan yang kerap berkeliaran di pekarangan, karena area
sekitar lokasi yang nantinya menjadi lahan usaha masih berwujud hutan belantara. Oleh karena itu, singkong dan ubi
rambat warga trans kerap diserang babi hutan (wawancara
AW; IWT; dan Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 14 Agustus
2018).
Akan tetapi, sebagian warga trans yang berhasil menyelamatkan singkong dan ubi mereka dapat menyisihkan hasil
panen untuk dijual. Begitu pula, warga trans yang posisi
rumah-pekarangannya cukup berjarak dengan hutan dapat
dikatakan aman dari serangan babi hutan (wawancara Pr;
Km; Ds. Kerta Buana, 12 April; 14 Agustus 2018).
Kala itu, mereka memasarkan singkong dan ubi hasil
panen ke Pasar Tenggarong atau Pasar Segiri, Samarinda.
70
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Mereka menjual hasil pekarangan mereka secara langsung
atau melalui perantara yang mulanya datang mencari panen
warga. Warga yang memasarkan langsung ke Tenggarong
harus berjalan kaki sejak Subuh ke Embalut untuk kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan kapal Mahakam.
Sementara itu, dalam transaksi melalui perantara, transmigran biasanya akan dibayar uang muka (down payment)
terlebih dahulu oleh pengepul. Transmigran di kemudian hari
menghampiri pengepul ke Samarinda untuk mendapatkan
sisa pembayaran panennya. Setelah relasi berjalan baik, warga
trans terkadang langsung mendatangi pengepul setelah
panen. Dalam berdagang, warga trans tidak membatasi diri
bertransaksi dengan etnik tertentu. Warga trans biasanya
mempertimbangkan logika ekonomi dan kepraktisan dalam
memasarkan panennya (wawancara Pr; Km, Ds. Kerta Buana,
13 April; 14 Agustus 2018).
Tanaman pekarangan yang kemudian diberi oleh Kanwil
Transmigrasi adalah bibit kelapa, melinjo, dan durian. Akan
tetapi, karena kala itu pekarangan belum siap tanam, dan
bibit yang diberi hanya 1 pohon, maka sedikit warga trans
yang dapat menanamnya (wawancara IKD; IND, Ds. Kerta
Buana, 13 April; 12 Agustus 2018).
Ada pula warga trans yang mencoba menanam padi di
pekarangan. Para transmigran umum bercocok tanam dengan
pengetahuan yang mereka bawa dari kampung halaman
masing-masing.30 Bibit padi yang ditanam juga merupakan
bawaan dari kampung halaman atau dibagi oleh sanak
30
Kecuali, orang Kutai yang tetap di rumahnya, di kampung asal, dan tetap melanjutkan
tradisi bercocok tanam yang biasa mereka lakukan, yakni dengan ladang rotasi (berbagai sumber
informan di Ds. Kerta Buana).
71
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
saudara, karena pada masa awal bermukim, Kanwil belum
memberi bibit padi.
Usaha menanam padi di pekarangan tidak bisa dikerjakan
oleh semua warga trans. Dua alasan utama yang dapat kami
himpun adalah tidak sesuainya jenis bibit dengan kondisi
tanah dan keterampilan bertani belum dimiliki sebagian
warga.
Hal itu seperti yang dikerjakan oleh transmigran Bali,
IWL dan IWT, yang membawa bibit padi dari kampung
halaman mereka. Bibit PB 36 yang dibawa ternyata cocok
untuk lahan rawa. Oleh karena itu, sawah di pekarangan
mereka tumbuh subur. Sayangnya, padi mereka diserang
terlebih dahulu oleh tikus hutan (wawancara, IWL dan IWT,
Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018).
Pengalaman serupa diceritakan oleh seorang transmigran
Lombok. Ia mendapatkan bibit padi dari saudaranya, sesama
trans, yang mendapatkan lokasi rumah-pekarangan di daerah
tinggi (gunung), sedangkan bibit yang dibawanya cocok
ditanam di daerah berair. Bibit padi yang tidak terpakai
dari saudaranya ternyata memang cocok untuk pekarangan
rumahnya yang disebut kolam ini. Hasil padinya sangat baik
dan berisi. Akan tetapi, karena ia belum mengenal waktu
tanam yang tepat dengan kondisi lingkungannya, padi yang
tinggal menunggu hari itu diserang oleh tikus hutan dan
tidak jadi dipanen (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14
Agustus 2018).
Pengalaman lain dikisahkan oleh transmigran Bali, IND,
yang juga sempat menanam padi pada masa awal bermukim.
Berbeda dengan kisah sebelumnya, IND sepertinya tidak
72
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
memiliki pengetahuan dan keterampilan bercocok tanam.
Alih-alih tumbuh, padi yang ia tanam di tanah rawa justru
hanyut terbawa arus air hujan (wawancara IND, Ds. Kerta
Buana 12 Agustus 2018).
Kegagalan tanam dimaknai dan ditanggapi berbeda
oleh trans Bali (Hindu). Bagi komunitas Bali Hindu yang
percaya bahwa tanah adalah ibu pertiwi, padi adalah Betara
Sri, dan hama memiliki penjaga atau pemelihara, kejadian
yang dialami dikarenakan mereka belum izin kepada para
pemelihara dan para Betara. Pemahaman ini pun terakumulasi, yang selanjutnya akan memunculkan inisiasi pendirian pura subak (wawancara IWM; IWT; IND, Ds. Kerta
Buana, 11 April; 12 dan 14 Agustus 2018).
Selain itu, sambil tetap memegang pemahaman tersebut,
trans Bali (Hindu), sebagaimana trans lainnya, terus berusaha bercocok tanam dan berinteraksi, terutama dengan
translok atau penduduk setempat, memberi pengetahuan
tentang kondisi lingkungan setempat. Setelah mengetahui
karakteristik lingkungan, komunitas Bali Hindu secara
perlahan mencoba mengikuti strategi bercocok tanam
penduduk setempat. Dan, selama belum berdiri, pura subak
tetap menjalankan ritual pribadi dan keluarganya dengan
mengandalkan kalender Bali (wawancara IWT; IWL, Ds. Kerta
Buana, 13 dan 14 Agustus 2018).
Berbekal pengetahuan dari penduduk setempat, warga
trans memahami bahwa padi yang ditanam pada bulan
8 atau 9 tidak akan menghasilkan karena akan dimakan
hama tikus. Mula-mula, warga trans, termasuk trans Bali
(Hindu), kemudian ikut mencoba menanam padi gunung,
sebagaimana penduduk setempat pada bulan 6 atau tanam
73
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
padi sawah pada bulan 5, sehingga saat akan bertemu masa
panen pada bulan 7 atau 8, hama tikus rendah. Pada bulan
panen ini, tikus hutan sedang musim hamil, sehingga kurang
agresif mencari makan (wawancara IWT; IWL; Km, Ds. Kerta
Buana, 13 dan 14 Agustus 2018).
Warga trans yang tampaknya cukup berhasil pada masa
awal bercocok tanam ini adalah trans yang telah memiliki
keahlian bertani, seperti Kamaruddin, karena membantu
orang tua bertani dan mengurus sapi. Atau, I Wayan Laster,
karena telah menjadi buruh tani di kampung halamannya.
Adapun trans lain yang tidak bisa bertani tampaknya baru
memperoleh hasil setelah bergelut dan menekuni pertanian
di lokasi trans. Keahlian bertani juga berhubungan dengan
kondisi lahan di kampung halaman. Transmigran Bali dari
Nusa Penida yang tanahnya berupa gunung mulanya tidak
mengerti cara bercocok tanam. Namun, setelah melihat dan
menekuni pertanian secara perlahan, akhirnya mereka bisa
mengerjakan sawah basah (wawancara IND; IWL; Km, Ds.
Kerta Buana, 12–14 Agustus 2018).
Gambar 3.7 Glebek (lumbung padi) di pekarangan transmigran Bali, I Wayan Laster, telah
dibangun sejak 1983 (setelah kebakaran akibat kemarau panjang) untuk menyimpan hasil
padi pekarangan. Glebek ini telah diperbesar, namun fondasi tetap dipertahankan.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
74
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Hasil bercocok tanam di pekarangan pada masa awal
bermukim ternyata belum dapat memenuhi kebutuhan
hidup keluarga transmigran. Oleh karena itu, separuh waktu
warga trans digunakan untuk melakukan pekerjaan di tempat
lain. Pekerjaan-pekerjaan di luar pertanian tersebut dapat
dikatakan dilakukan oleh seluruh rumah tangga transmigran
untuk dapat bertahan hidup. Berdasarkan wawancara
transmigran di setiap blok, diketahui bahwa umumnya paling
tidak ada 1 orang di setiap keluarga yang mengambil pekerjaan di luar tani.
Pekerjaan yang umum dikerjakan adalah menjadi buruh
pikul di perusahaan kayu atau chainshaw milik penduduk
setempat. Sebagian lagi menjadi tukang bangunan di proyek
transmigrasi lokasi berikutnya yang sedang dikerjakan oleh
kontraktor Lampiri. Ada pula yang menjadi tukang bangunan
di proyek pembangunan kantor perusahaan tambang
Kitadin, sebuah perusahaan yang dipahami warga trans
sebagai “penyokong” hidup para transmigran (tidak hanya di
L4, tetapi juga L2, L3, dan Separi) karena lahan usaha mereka
belum menghasilkan (wawancara informan transmigran, Ds.
Kerta Buana, April dan Agustus 2018).
Selain untuk bertahan hidup, menyambi bekerja di luar
tani, seperti yang IWT lakukan, adalah upaya untuk mencari
modal untuk pulang kembali ke Bali. Niat tersebut, menurut
IWT, juga menjadi niat banyak trans Bali (wawancara IWT; I
Wayan Wander [IWW], Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
Bercocok tanam di pekarangan mulai berkembang pada
tahun selanjutnya. Warga trans mulai banyak menanam padi
di pekarangan pada tahun 1982. Akan tetapi, tidak semua
trans dapat menanam di pekarangan. Warga trans yang
75
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
pekarangannya tidak datar dan tidak becek, mereka tidak
dapat menanam padi (wawancara IND, Ds. Kerta Buana, 12
Agustus 2018).
Pada masa-masa awal, warga trans mulai aktif dikenalkan
dengan tanaman palawija oleh PPL Kanwil Transmigrasi yang
berkoordinasi dengan Departemen Pertanian dalam mengembangkan Program Germapalagung (Gerakan Menanam
Palawija dan Jagung) kepada warga trans. Selain itu,
tanaman perkebunan, seperti vanili31, juga mulai dikenalkan
(wawancara IH dan Il, Desa Loa Janan, 10 April 2018).
b. Penaklukan Lahan Usaha I
Setelah pekarangan rumah dibersihkan, warga transmigrasi mulai membuka lahan usaha I. Proses pembukaan lahan
ini dilakukan secara bertahap (tidak total), paling sedikit 2
tahun, karena dilakukan secara manual, tanpa alat mekanik.
Aktivitas pembukaan lahan meliputi tebas, tebang, potong,
pilah, kumpul, dan bersih. Aktivitas pilah-kumpul sangat
sulit dilakukan karena lahannya basah (rawa), bukan lahan
kering. Saking sulitnya, pembersihan lahan (landclearing)
yang dikerjakan menggunakan anggaran pemerintah
pusat ini diakui petugas transmigrasi sering menjadi
temuan Badan Pemeriksa Keuangan karena masih banyak
menyisakan tunggul pepohonan. Oleh karena itu, Kanwil
Transmigrasi kemudian melibatkan warga trans dengan
cara “diborongkan”32 untuk membersihkan lahan, terutama
31
Vanili berhasil dibudidayakan, bahkan bisa dikirim ke Bali. Pengumpul vanili kala itu
juga orang Bali.
32
Di antara transmigran L4, kelompok trans yang dapat dikatakan tidak ikut gotong royong
membuka lahan adalah translok. Translok pada 1980-an belum masuk kelompok tani karena
translok relatif tidak ada di tempat. Translok biasanya akan ke lokasi ketika pembagian “jadup”.
76
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
untuk mencacah tunggul-tunggul pohon dan pilah kumpul
(wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan, 10 April 2018).
Warga trans diminta berkelompok membentuk kelompok
tani untuk gotong royong membuka lahan dan membabat
kayu hutan yang besar-besar oleh Kanwil Transmigrasi.
Kelompok gotong royong ini biasanya terdiri atas warga trans
yang rumahnya berdekatan, sehingga kemudian dijadikan
dasar pembentukan RT dan RW. Gotong royong ini membuka
interaksi tanpa batasan terhadap etnisitas dan agama bagi
warga trans.
Kelompok pembersihan lahan diberi upah borongan
oleh Kanwil. Upah ini memberi tambahan modal bagi warga trans untuk bertani. Upah borongan nerabas (menebas)
hutan, bergantung luas area yang mereka buka. Informan kami mengaku pernah mendapatkan upah hingga
Rp100.000,00, sedangkan upah yang didapatkan rekannya
yang lain beragam sekitar Rp35.000,00, Rp50.000,00, atau
Rp75.000,00 (wawancara Pr; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April
2018; 14 Agustus 2018).
Upah borongan digunakan oleh sebagian warga trans
untuk membeli bibit tanaman, seperti kelapa, di Tenggarong.
Mereka biasanya pergi berkelompok membeli bibit lewat
Embalut ke Tenggarong menggunakan kapal (wawancara
Pr; IND, Ds. Kerta Buana, 13 April dan 12 Agustus 2018).
Setelah lahan dibuka, para petugas dari Badan Pertanahan Nasional (warga trans menyebut dengan istilah
agraria) dapat lebih mudah masuk dan mengukur batas
Oleh karena itu, muncul anekdot di antara warga trans untuk translok yang disebut “trans jadup”.
Saat pembagian “jadup”, biasanya translok datang untuk bersih-bersih dan kemudian membawa
pulang “jadup” mereka ke kampung (wawancara informan, Ds. Loa Janan, 10 April 2018).
77
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
bersama-sama warga yang membuka lahan tersebut. Petugas
agraria kemudian membuat patok-patok pada lahan dan
menghitung apakah lahan yang dibuka oleh kelompok
tersebut memenuhi untuk jumlah orang itu atau tidak. Jika
luas belum memenuhi, maka lahan harus dibuka lagi. Namun,
apabila luas sudah memenuhi, maka petugas agraria akan
membuat petak-petak tanah dan melalui Ketua RT warga
trans terkait lokasi lahan ini dikumpulkan untuk mengikuti
pembagian lahan. Pembagian dilakukan secara bertahap per
RT. Pembagian dilakukan dengan cara mencabut undian lot
langsung di area lahan I, yang disaksikan oleh KUPT dan
Ketua RT. Karena pencabutan undian dilakukan oleh warga
trans sendiri, maka tidak terjadi kecemburuan (wawancara
IND; Km, Ds. Kerta Buana, 12 dan 14 Agustus 2018).33
Lahan usaha yang mula-mula dibagi (sebelum tahun
1984) terbatas di sekitar pinggir jalan poros (jalan utama).
Selanjutnya, kemarau panjang membuka luas lahan usaha I
sehingga memudahkan pengkavelingan lahan. Pembagian
lahan I (berdasarkan informasi beberapa informan) sudah
mulai dibagikan 34 pada pertengahan tahun 1981, yang
diperkirakan baru selesai setelah 1987, yakni setelah
kemarau panjang kedua bagi warga trans L4 (wawancara
IH dan Il, Ds. Loa Janan 10 April 2018; IND; Km, Ds. Kerta
Buana, 12 dan 14 Agustus 2018).
Setelah lahan usaha I dibagikan, warga trans mulai
menggarap kaveling mereka masing-masing. Penggarapan
33
Selama petugas agraria mengatur kaveling, transmigran pada praktiknya dapat
menduduki dan mengakui lahan di luar kavelingnya sendiri (seperti pengakuan Pak Laster)
setelah berhasil membersihkan lahan tersebut.
34
Sertifikat lahan usaha I baru dibagikan pada tahun-tahun berikutnya (sekitar tahun 1984).
Pada sertifikat, tertera aturan tidak boleh dijual dan dihibahkan selama beberapa tahun. Tetapi,
aturan tersebut tidak diindahkan, dan sertifikat itu pun beralih tangan.
78
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dilakukan secara bertahap di area yang sudah bersih. Sejak
1981, penggarapan lahan I di L4 sudah didampingi oleh
PPL pertanian asal Kutai, yang bernama Syahran. Sejak itu
pula, kelompok tani mulai dibentuk dan dipandu oleh PPL
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; Km, Ds. Kerta
Buana, 14 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981: 27).
Pada masa pembukaan lahan, sempat terjadi pula gesekan lahan. Gesekan pecah ketika trans Lombok hendak
meng garap lahan yang diklaim oleh penduduk setempat.
Orang Kutai tersebut sempat membuat cedera orang
Lombok, sehingga memicu pertikaian antarkelompok.
Penduduk kampung sekitar ikut turun. Beruntungnya,
warga trans lain segera menghubungi PPL yang kemudian
segera memanggil semua hansip dan melapor ke polisi di L2.
Gesekan ini pun dapat diredam. Untuk kasus ini, petugas di
ranah formal dapat menyelesaikannya (wawancara informan,
Ds. Loa Janan, 10 April 2018).
Sikap warga transmigran umum ketika timbul gesekan
lahan dengan warga setempat, baik orang kampung sekitar
lahan usaha ataupun translok, adalah mundur dan mengalah.
Gesekan lahan yang pernah terjadi memunculkan simbol
kekerasan dan label identifikasi yang memuat sentimen
antarkelompok. Simbol kekerasan berupa parang dan identifikasi pribumi versus pendatang muncul sejak pembukaan
lahan usaha I. Berikut kutipan pernyataan yang kami peroleh
dari berbagai informan berlatar etnik berbeda:
“…Saking berangnya itu orang, sedikit-sedikit mau
main parang, mau main parang itu orang Lombok.
Semua yang punya areal, termasuk Bali, termasuk Bali
79
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Islam juga ya itu, yang pendukungnya orang pribumi di
sini, termasuk yang ditokohkan di situ, boleh dibilang
tuan tanah. Udah ndak terhitung berapa….”
“Saya terus terang aja, waktu itu ndak merasa takut.
Rasa ketemu…, hanya satu aja saya ketemu takut.
Waktu itu, kalo ada orang jalan, orang Kutai berjalan,
bawa parang, itu saya paling takutin. Rasanya…, ada
takut, tapi dia tu bagus. ‘Jangan takut, Pak. Saya bawa
parang ke ladang untuk nerabas….”
“…Kalau garap sawah, ini punya etam. Begitu dibagi,
surat diberi, tapi hari-hari kelahi. Untuk lahan dua, saya
rasa transmigrasi ini, itu se-Kabupaten Kutai sampai
sekarang ndak punya, meskipun suratnya punya,
tapi lahannya ga bisa digarap. Karena punya etam, di
mana kita garap tanah, punya saya….” (Wawancara
informan berbeda etnik, Ds. Kerta Buana, April dan
Agustus 2018).
Gesekan dengan orang setempat tidak pernah menimbulkan pergolakan pada awal pembukaan lahan tahun
1980-an. Orang setempat bahkan menjadi tempat untuk
belajar menanam dan mengenal lingkungan. Meskipun telah
ada PPL, sepertinya pendampingan teknis belum berjalan
efektif, dan warga trans mengolah tanahnya berdasarkan
pe ngetahuan masing-masing sambil terus menimba
pengetahuan, baik dari sesama trans maupun penduduk
setempat.35 Dari sekian banyak pengetahuan yang masuk,
35
Akan tetapi, lahan di Kaltim adalah rawa. Sehingga, lebih cocok dengan pertanian sawah
yang tekniknya dikuasai oleh Bali-Jembrana. Bersawah membutuhkan keterampilan, mulai
dari membuat pematang, mengolah tanah, dll. Orang Nusa melihat, kemudian mencontoh.
Orang Nusa Penida tidak tahu sawah, dan baru kenal bersawah di sini. Hal itu dipengaruhi
oleh karakteristik lahan daerah asal yang berupa pegunungan. Orang Nusa Penida bersawah
80
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
pengetahuan dari penduduk setempatlah yang tampaknya
memberi pengaruh besar dalam produktivitas penanaman
padi mereka. Ada warga trans yang ikut menanam padi
gunung, seperti penduduk setempat. Ada juga yang hanya
mengambil pengetahuan tentang masa tanam yang tepat
untuk menghindari hama di lingkungan setempat (wawancara IKD; IWL; IWT36; Km, IND, Ds. Kerta Buana, 12–13
April; 13–14 Agustus 2018).
Meskipun sudah mulai tumbuh sawah di lahan usaha
I, tetapi belum bisa dikatakan berhasil. Berbagai hasil dan
hambatan dihadapi para warga trans, misalnya padi yang
tumbuh tidak berbuah; padi yang ditanam hanyut terseret
hujan; atau padi diserang berbagai hama lain, seperti babi
hutan dan burung pipit; dan ada pula lahan yang kembali
menjadi rawa tinggi, sehingga belum dapat ditanami
(wawancara IWM; Pr; IWT; Km; IND, Ds. Kerta Buana, 11–13
April; 12–14 Agustus 2018).
Maka dari itu, warga trans yang juga diarahkan PPL
lebih memfokuskan pengolahan lahan di pekarangan.
Berbagai program digerakkan untuk pekarangan, seperti
penanaman kelapa, pisang, dan labu.37 Di sisi lain, warga
trans juga memahami keadaan lahan yang secara logis
mengikuti orang Jembrana. Orang Nusa hanya bisa bertani kering, serta menanam jagung dan
singkong. Orang Bali-Denpasar ada yang bisa bersawah, ada yang tidak bisa. Sebab, tidak
banyak sawah di Denpasar (IND).
36
Sawah mulai menghasilkan setelah kemarau 1983, hasil 1984. Lama juga mempelajari
situasi untuk penyesuaian diri. Trans Bali mengikuti orang lokal menanam padi gunung. Hama
kurang bulan 7/8 mengikuti orang Kutai. Bulan 11/12 menanam juga. Tetap menggunakan
kalender Bali (identifikasi) untuk membuka lahan (wawancara IWT).
37
Bibit awal yang diberi oleh pemerintah bukan bibit padi, melainkan pisang dan kelapa,
yang dikumpulkan di Balai Desa dan sudah ditentukan untuk si A sekian pohon dll. Tidak bisa
mengambil semaunya. Hanya saja bebas memilih. Maka, yang awal datang akan mendapatkan
hasil bagus, sedangkan yang belakangan datang akan mendapatkan sisa. Pembagian bibit masih
diperankan oleh KUPT (wawancara Km).
81
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
bisa segera menopang kehidupan, sehingga fokus utama
mereka adalah mengoptimalkan lahan pekarangannya.
Mereka mengondisikan penanaman berdasarkan lahan
pekarangan dengan mengolah tanah yang rendah untuk
ditanami padi, sedangkan tanah yang tinggi ditanami labu
atau cabai. Warga trans juga melakukan uji coba penanaman
menggunakan bibit yang dibeli secara eceran (nempil).38 Bibit
dibeli dari kampung sekitar, yakni Separi atau Embalut, atau
dari sesama trans, dan terkadang mengambil dari hutan
(wawancara IKD; IND; Km, Ds. Kerta Buana, 13 April; 12–14
Agustus 2018).
Pada masa awal bercocok tanam, PPL dan transmigran
yang menjadi KTNA (Kontak Tani Andalan) berperan dalam
sosialisasi teknik pertanian dan jenis tanaman baru. KTNA
biasanya akan memulai bercocok tanam di pekarangannya
terlebih dahulu. Jika berhasil, biasanya informasi akan
menyebar, sehingga tidak perlu memaksa, karena warga trans
akan inisiatif sendiri mencari informasi untuk kemajuan
pertanian mereka. PPL L4 pada periode awal ini mengakui
bahwa trans Bali sudah memiliki dasar bertani yang cukup
baik (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IKD dan
Pr, Ds. Kerta Buana, 12–13 April 2018).
Sebaliknya, transmigran Bali dan istri mereka menyatakan bahwa keterampilan bercocok tanam, khususnya kaum
istri, diperoleh dari PPL. Mereka mengakui bahwa selama
di Bali tidak pernah bertani karena tidak mempunyai lahan.
Selain itu, kondisi lahan di Bali dan Kutai juga berbeda,
38
Selain untuk uji coba, nempil bibit kelapa dilakukan orang-orang Bali karena mereka
membutuhkan banyak kelapa untuk keperluan ritual. Mereka membeli bibit kelapa dari Embalut.
Dahulu, hasil panen untuk makan, tidak ada lebih.
82
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sehingga mereka harus mempelajari tanaman kering dan
tanaman basah (wawancara istri Pr dan istri IWL, Ds. Kerta
Buana, 12 April; 13 Agustus 2018).
Pada masa pembukaan lahan usaha I dan pertanian
warga trans belum produktif, perusahaan tambang batu
bara Kitadin sudah mulai beroperasi. Jika sebelumnya
sudah diuraikan bahwa saat warga trans masuk, sebagian
warga terlibat dalam pembangunan kantor, pada 1981/1982
proyek penggalian tambang sudah dimulai. Oleh karena itu,
pertambangan yang kala itu masih berupa tambang dalam
(underground mining) membutuhkan banyak pekerja kasar.
Pembukaan besar-besaran lowongan kerja sebagai buruh,
mulai dari membuka lahan sampai menggali terowongan,
menjadi peluang bagi warga untuk mempertahankan hidup.
Kesempatan tersebut disambut warga di sekitar lokasi
tambang yang merupakan warga transmigran, terlebih
perusahaan tidak meminta persyaratan khusus, kecuali surat
keterangan dari kepala desa. Dengan demikian, semakin
banyak warga transmigran L4 (dan trans sekitarnya) yang
bekerja pada perusahaan (wawancara dengan berbagai
informan warga transmigran).
Dengan bekerja sebagai buruh tambang, warga trans
harus membuat strategi agar lahannya tetap dapat diolah.
Setidaknya, terdapat 3 strategi yang dijalankan oleh warga
trans untuk menyiasati pekerjaan ganda ini. Pertama39,
mengolah tanah setelah atau sebelum pulang kerja tambang.
Pembagian waktu kerja tambang dalam tiga shift masih
39
Shift waktu kerja di perusahaan tambang Kitadin ialah pukul 06.00–12.00; 13.00–
22.00; dan 22.00–06.00. Warga trans mengaku jika mendapat giliran waktu kerja pada pagi
atau siang masih bisa menangani lahan pekarangan.
83
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
memungkinkan warga trans membagi waktunya untuk
bertani. Kedua40, gaji yang diperoleh dari perusahaan tambang
digunakan untuk membayar buruh. Pada masa itu, buruh tani
dipekerjakan untuk membuka lahan, kemudian mengolah
tanah. Ketiga41, lahan yang sudah dibuka (pekarangan dan
sebagian lahan usaha I digarap oleh keluarga (wawancara
Km; IWL; Sarnan [Sr]; IWT;IND, Ds. Kerta Buana, 12–15
Agustus 2018).
Bekerja sebagai buruh tambang menjadi sangat menarik
bagi transmigran, terutama ketika memasuki kemarau
panjang, sekitar tahun 1983. Kemarau yang di kemudian
hari dianggap berkah karena lahan usaha I untuk pertama
kalinya mulai terbuka, ternyata telah membuat banyak warga
trans frustrasi dan ingin kembali ke kampung halaman. Tidak
kurang dari 10 KK diketahui kembali ke kampung halaman.
Rumah dan tanah ada yang ditinggalkan begitu saja, dan ada
yang “dijual” dengan istilah ganti rugi seharga Rp100.000,00–
Rp200.000,00 untuk pekarangan dan lahan 1. Sebagian yang
bertahan pun sebenarnya telah merencanakan untuk pulang
ke kampung halaman sambil mencari modal dengan cara
bekerja sambilan, terutama di Kitadin. Dengan demikian,
kemarau semakin meningkatkan jumlah transmigran yang
bekerja di Kitadin, meskipun kemudian niat mereka untuk
kembali urung dilakukan (wawancara IWT; NKB; IND; Km,
Ds. Kerta Buana, 8 April 2018; 14 Agustus 2018).
40
Tanam dan panen menggunakan buruh. Mengangkut pun menggunakan buruh.
Borongan buruh per hektar sebesar Rp25.000,00 per hektar, sekarang Rp1.500.000,00. Tidak
ada gotong royong dalam tahap penanaman di lahan usaha. Dan, saat warga trans lain pun
sudah bekerja di tambang, uang dari Kitadin untuk membayar buruh.
41
Istri mengolah lahan. Ibu-ibu biasanya menjadi buruh tani. Penggunaan buruh mulai
setelah kerja di tambang.
84
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Selain kemarau panjang, sudah dihentikannya “jatah
hidup” dari pemerintah menambah keinginan pulang warga
transmigran kala itu. Mereka yang bertahan hidup adalah
transmigran yang bekerja di tambang atau buruh pikul kayu
di perusahaan chainsaw (membawa kayu dari dalam hutan
ke jalan). Ada pula yang menjadi buruh pembuat atap sirap,
tukang di berbagai proyek di daerah sekitar atau bahkan ke
Samarinda, mulai dari proyek membuat rumah hingga irigasi.
Saat itu, segala ajakan untuk bekerja mereka ikuti,
yang penting bisa bertahan hidup. Informasi dari relasi
mana pun mereka jajaki. Agar dapat bertahan hidup pada
masa yang kritis ini, tokoh-tokoh masyarakat dari berbagai
etnik di L4 mengimbau untuk kerja di perusahaan tambang.
Pendapatan sebagai buruh tambang kala itu memang paling
besar dibandingkan pekerjaan lain. Gaji buruh membuka
lahan tahun 1980-an ialah Rp850,00/hari, sedangkan buruh
gali pada tahun 1980-an sebesar Rp35.000,00 per 15 hari.
Sementara itu, gaji buruh kasar lainnya, seperti buruh pikul
kayu sebesar Rp25,00 sekali pikul (kemampuan tertinggi
biasanya hanya mencapai Rp300,00/hari). Dengan gaji
buruh tambang, mereka pun dapat membayar orang untuk
nerabas (menebas) buka lahan usaha I mereka. Oleh karena
itu, saking banyaknya jumlah transmigran yang bekerja di
perusahaan, pihak perusahaan bahkan menyediakan mobil
jemputan pekerja tambang keliling L4 (wawancara IWT; IND;
Km, Ds. Kerta Buana, 12–14 Agustus 2018).
Kegagalan demi kegagalan pada masa awal menanam
padi, terutama saat membuka lahan usaha I, dimaknai
khusus oleh warga trans Bali. Mereka percaya bahwa tanah
adalah Betara Ibu (ibu pertiwi), padi adalah Betara Sri, dan
85
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
hama juga ada yang memelihara, sehingga harus “disapa” atau
diajak komunikasi. Jika Betara tidak disapa oleh manusia,
maka apa pun yang ditanam tidak berhasil (wawancara IWM;
IWT, Ds. Kerta Buana, 11 April; 14 Agustus 2018).
Untuk berkomunikasi dengan para Betara, dibutuhkan
sesembahan (sesaji atau canang) sebagai pemanggil atau
alat komunikasi dengan para Betara. Jika sesembahan tidak
disiapkan, maka dewa tidak akan datang (laporan JATAM,
2011).
Sesembahan membutuhkan media berupa pura, khususnya pura subak. Kebutuhan terkait pura subak disadari,
kemudian diinisiasi oleh sekelompok warga antara lain
Dewa Aji, Ketut Teo, Wayan Dianta, Dewa Alit, Ketut Geter,
Wayan Meri, Ketut Sirna, dan Nyoman Derman. Pura
subak pun dibangun di bukit di tengah lahan. Lokasi bukit
dipilih mereka dengan pertimbangan pandangan kosmologi
Hindu yang memandang dataran tinggi adalah tempat para
Betara Dewa bersemayam. Usaha untuk membangun pura
sederhana berupa meja kayu ini tidak mudah. Mereka harus
menyeberangi dan menyingkirkan rimbunan tanamantanaman rawa yang kembali tergenang air selama tidak
kurang dari 3 jam, meskipun belukar sempat dibakar api
kemarau panjang tahun 1983. Setelah membangun pura
sederhana, secara simbolis, mereka mencangkul tanah dan
mencetak sawah (wawancara IWM; IND, Ds. Kerta Buana,
11 April; 12 Agustus 2018).
Pura subak dipimpin oleh seorang petugas adat yang memimpin prosesi ritual subak. Petugas yang digelari “mangku”
(pemangku) juga petani dan anggota subak. Mangku memimpin sembahyang saat odalan (ulang tahun pura) yang
86
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
akan dihadiri oleh semua anggota subak dan upacara lain
terkait penanaman padi, seperti mepiuning saat pertama kali
hendak mengolah tanah pada masa tanam baru dan mecaru
ketika menghadapi hama. Ritual untuk penanaman padi
diibaratkan seperti ibu yang hamil, sehingga sejak jumput
air, buka lahan, tanam, hingga mungut sari (setelah panen)
diupacarakan (wawancara IWM;IWT; I Ketut Suanda [IKS];
IND, Ds. Kerta Buana, 11 April; 13–15 Agustus 2018).
Lokasi Pura Subak
Gambar 3.8 Pura subak pertama terletak di atas bukit kecil
di antara hamparan lahan sawah sebelah timur desa/L4
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
87
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Pembangunan pura subak di sebelah timur desa ini
diikuti oleh pendirian pura subak di sebelah barat desa dan
pendirian “organisasi” subak. Subak yang dinaungi oleh pura
sebelah timur dinamakan Subak Pakis Haji, sedangkan di
sebelah barat dinamakan Subak Pandan Sari. Subak Pakis
Haji dipimpin oleh klian (kepala subak) I Wayan Geter,
sedangkan Subak Pandan Sari42 dipimpin oleh I Ketut Duglud
(wawancara IWM; Pr; IKD, Ds. Kerta Buana, 11–13 April
2018).
Setelah pura subak didirikan, hal pertama yang dikerjakan
adalah membentuk kelompok gotong royong untuk membuat
saluran air. Kelompok subak sebenarnya belum diorganisasi
secara resmi, sehingga gotong royong pun bersifat sukarela.
Pada proses pendirian dan ritual subak, transmigran agama
lain tidak dilibatkan. Koordinasi antara pengurus subak
dengan transmigran lain diwadahi oleh kelompok tani.
Kelompok tani inilah yang akan mengoordinasi rencana
sejak sebelum masa tanam dan tahapan bertani selanjutnya,
sehingga subak dapat mempersiapkan dan melakukan ritual
terlebih dahulu di pura subak (wawancara Km, Ds. Kerta
Buana, 14 Agustus 2018).
c.
Menjadi Bagian dari “Lumbung Padi” Kutai Kartanegara
Seiring dibentuknya subak, kelompok tani pun mulai
ditata. Dalam wadah kelompok tani, warga trans yang
bertahan di L4 pascakemarau 1983 bergotong royong
42
Setelah lahan usaha dan permukiman warga di Blok C1 digusur perusahaan tambang
dan lahan usaha di sekitarnya tercemari tambang, Subak Pandan Sari kini (2018) dinyatakan
bubar oleh Klian dan anggota subaknya (wawancara IKD dan Pr, Ds; Kerta Buana, 12–13
Agustus 2019). Pernyataan bubar ini sepertinya lebih menunjukkan kondisi tidak aktif karena
berdasarkan informasi dari anggota subak tidak pernah resmi dibubarkan (wawancara IWT dan
IND, Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018).
88
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
membuka lahan usaha I yang diikuti dengan pembagian
lahan. Lahan dibersihkan bersama dengan kelompok tani.
Pembersihan kala itu dimudahkan oleh panas yang secara
alami membakar lahan, dan kadang dengan sengaja belukar
dan kayu dibakar begitu saja. Lahan yang belum total dibuka
tersebut sedikit demi sedikit langsung diolah dan ditanami
oleh sebagian warga (wawancara berbagai informan, April
dan Agustus 2018).
Kelompok tani yang dibentuk berdasarkan RT menghasilkan 16 kelompok tani. Adapun 8 kelompok berkoordinasi
dengan Subak Pandan Sari, sedangkan 8 lainnya dengan
Subak Pakis Haji. Kelompok-kelompok tani ini bergabung
dalam Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) yang bersifat
formal. Gapoktan biasanya mengakomodasi keperluan
petani dalam berhubungan dengan kelompok atau pihak
di luar mereka, misalnya permohonan bantuan kepada
pemerintah.43
Setelah aktivitas pertanian berjalan, kelompok tani mulai
membangun balai kelompok tani sederhana yang mulanya
digunakan sebagai tempat bagi PPL menyebarluaskan
informasi, seperti program dan teknik pertanian. Meskipun
ada balai, sosialisasi pertanian, baik oleh PPL, KTNA, ataupun sesama petani (transmigran), lebih sering dilakukan di
lahan. Balai tani di area persawahan L4 memiliki ciri khas
berupa meja canang, tempat menyimpan sesaji ritual petani
Bali (wawancara IH, Ds. Loa Janan; IKD, Ds. Kerta Buana,
10 dan 13 April 2018).
43
Belakangan ini, Gapoktan sempat menjadi wadah memprotes limbah perusahaan
tambang. Akan tetapi, petani menjadi “ogah-ogahan” karena Gapoktan tidak efektif
menyuarakan protes.
89
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
kentongan
meja canang sari
Gambar 3.9 Balai tani di area Subak Pakis Haji terlihat kentongan bergantung
di tonggak sebelah kiri dan dudukan canang sari (sesaji) di sebelah kanan
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Selain PPL, KTNA adalah tumpuan dalam mengembangkan aktivitas pertanian. KTNA dijadikan agen pertanian
bagi kelompok-kelompok tani oleh pemerintah. KTNA
diperkenalkan dan diberi pelatihan berbagai program
pertanian hingga Jakarta. KTNA pada tahun 1980-an
antara lain Kamhar dari Lombok, Mukhsin dari Jawa, dan I
Ketut Duglud dari Bali (wawancara IKD; SR; Km, Ds. Kerta
Buana, 13 April, 13–14 Agustus 2018). Pemilihan KTNA dari
beragam etnik ini sepertinya dilakukan untuk setidaknya
memudahkan sosialisasi dengan transmigran dari etnisnya,
karena kala itu banyak transmigran yang belum mampu
berbahasa Indonesia.
Pada 1980-an, peran PPL, terutama Ismadi Hanafi,
sangat berkesan, khususnya bagi petani transmigran,
yakni Bali. Berbagai teknik menanam dan membasmi hama
90
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dikenalkan dalam bentuk keterlibatan aktif PPL. Pengawasan
PPL tersebut terkait waktu tanam44 dan penjangkitan hama
sangat ketat karena kedua hal tersebut memberi dampak
tular yang luas kepada sawah-yang lain. PPL akan marah
ketika ada petani yang menanam di luar batas aman yang
ditentukan. PPL juga tanpa sepengetahuan petani melakukan
inspeksi keterjangkitan hama pada fase tumbuh (wawancara
transmigran Bali, April dan Agustus 2018).
Jika peringatan PPL tidak diindahkan oleh petani, PPL biasanya
akan menghubungi tokoh-tokoh
kelompok etnik yang disegani untuk
menegur. Akan tetapi, pendekatan
terhadap tokoh efektif dilakukan
terhadap komunitas Bali-Hindu dan
Lombok. Sementara itu, pendekatan
personal akan lebih efektif untuk
menegur petani Jawa dan Kutai
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10
April 2018).
Sementara itu, bagi kelompok
lain, sebagaimana yang disampaikan Gambar 3.10 Ismadi Hanafi,
figur penyuluh pertanian
oleh informan petani Lombok,
lapangan di L4 sekitar
KTNA dipan dang lebih berperan
1982–1986
(Dokumentasi Lapangan, April 2018)
dalam mengenalkan programprogram pertanian yang baru. KTNA dipandang sangat
peduli dalam mengenalkan teknik sistem mina padi, yakni
menanam padi sambil memelihara ikan ataupun program
44
Waktu tanam yang aman paling tidak dalam interval waktunya 10 hari. Sebab, jika
terlalu berbeda, maka dapat menimbulkan hama yang menjangkit sawah lain.
91
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
ternak bebek di area sawah yang kala itu dibawa oleh TAD45
(Transmigration and Area Development Project) (wawancara
dengan transmigran Bali dan Lombok).
KTNA Bali juga menjadi ketua (klian) ataupun pengurus
subak. Oleh karena itu, agenda tanam kelompok tani dan PPL,
seperti menyerentakkan waktu tanam, distribusi bantuan,
dan waktu menyemprot hama mudah diselaraskan (wawancara IWM; IKD; Pr, Ds. Kerta Buana, 11–13 April 2018).
Jika terjadi hal yang tidak selaras hingga menimbulkan
keributan, maka pemimpin desa akan turun tangan untuk
menyelesaikan kesalahpahaman. Misalnya, saat terjadi
cekcok antara seorang petani Bali dengan seorang petani
Kutai sekitar tahun 1985. Cekcok dipicu oleh kematian
bebek petani Bali di sawah petani Kutai yang sedang diberi
antihama. Kala itu, petani Bali marah dan hendak menyerang
petani Kutai. Peristiwa ini pun diklarifikasi di kantor desa.
Setelah diketahui bahwa ketidakpedulian petani Bali terhadap simbol bendera merah dari subak sebagai pertanda
masa pemberian antihama adalah pangkal persoalannya,
maka petani Bali tersebutlah yang diberi teguran keras oleh
Kepala Desa Persiapan yang kala itu juga dijabat oleh tokoh
transmigran Bali (wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April
2018).
Selain meningkatkan keterampilan teknis pertanian,
pemerintah memberi bantuan pertama Saprodi (sarana
produksi pertanian) berupa bibit, pestisida, dan pupuk.
Bantuan ini berupa paket sehingga diserahkan seluruhnya
45
TAD (Transmigration and Area Development Project, kemudian berganti nama menjadi
Technical Cooperation for Area Development) adalah organisasi pendampingan transmigrasi
dari Jerman yang mengembangkan program pertanian terpadu (wawancara IH, Ds. Loa Janan,
10 April 2018).
92
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
ke Balai Unit (Balai Desa sekarang). Akan tetapi, karena
pada masa awal ini tanah masih sangat subur, sehingga tidak
membutuhkan pupuk, maka banyak transmigran yang tidak
mengambil pupuk. Para petani sejak awal diajari dan mempelajari karakter tanah dan tanaman untuk dikembangkan
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018; IKD; IND, Ds.
Kerta Buana, 14 April; 12 Agustus 2018).
Pemerintah pusat melalui Kanwil Transmigrasi juga
mendesak pembuatan subak seperti di Bali. Kepala Kanwil
bahkan menyurati Kepala Desa Persiapan, I Dewa Ketut Alit,
tentang hal itu. Kanwil transmigrasi juga mengumpulkan
warga secara khusus, lalu diberi minum dan snack di Balai
Unit untuk mengimbau pengembangan subak, termasuk
pekaseh (pemimpin subak)-nya. Setelah pertemuan tersebut,
warga trans yang dianggap dapat mengurus subak dipanggil
ke Kantor Unit Transmigrasi di L2 untuk diberi honor
(wawancara IKD, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018). Gambaran
ini menunjukkan usaha campur tangan pemerintah dalam
membentuk kegiatan lembaga-lembaga informal.
Subak46 berkoordinasi dengan kelompok tani untuk
mengembangkan persawahan. Persawahan di Kerta Buana
menggunakan sistem tadah hujan. Oleh karena itu, para
petani bergantung pada air hujan, dan kondisi hutan di
hulu sebagai kawasan serapan air yang mengalirkan air dari
hulu. Anggota subak yang juga menjadi anggota kelompok tani bergotong royong bersama anggota lain untuk
46
Dalam perkembangannya, subak di Kerta Buana sekarang bergerak di sisi ritual
keagamaan saja. Keterlibatan dan tanggung jawab anggota subak terhadap lingkungannya
relatif tidak berjalan lagi. Selain dari informasi pengelola subak, kondisi ini dapat terlihat dari
tidak terawatnya saluran air dan lingkungan persawahan, seperti pematang (wawancara IWM;
IKW;IKD, Ds. Kerta Buana, 11–13 April 2018).
93
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
membuat irigasi dan saluran air. Saluran air mencakup
usaha membendung air gunung untuk pengairan sawah dan
penanaman pohon waru di sisi kanan dan kiri agar saluran
tidak longsor. Saluran air akan mengalirkan air dari celah
gunung ke parit dan sawah para transmigran.47 Pentingnya
saluran air bagi sawah mendasari subak membangun pura
pintu air menuju sawah (pengulun carik) (wawancara IND;
IKS, Ds. Kerta Buana, 13–15 Agustus 2018).
pengulun carik
Gambar 3.11 (Kiri); pengulun carik. (Kanan); sisa-sisa pohon waru penahan longsor saluran air
yang masih bertahan.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Persawahan di proyek transmigrasi Teluk Dalam terbilang
berhasil, meskipun tidak semua transmigran dapat mengolah
tanahnya dan lebih memilih untuk menekuni pekerjaan
di perusahaan tambang karena lebih menguntungkan
(wawancara IND, Ds. Kerta Buana 12 Agustus 2018; Sampe,
31 Agustus 1986: 1–2). Oleh karena itu, Teluk Dalam menjadi
kebanggaan Kepala Kanwil Transmigrasi, Soedirdja, dan
berani mengundang Presiden Soeharto48 untuk berkunjung
47
Kini, air yang digunakan untuk pertanian adalah tetesan air bekas perusahaan.
Pengaruhnya, padi tidak tahan terendam, menjadi cepat busuk, dan terserang penyakit.
48
Kala itu, Soeharto mengunjungi Samarinda untuk meresmikan “Jembatan Mahakam”
(Sampe, 23 Agustus 1986: 1).
94
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
ke L2 pada tahun 1986 (wawancara Il, Ds. Loa Janan, 10
April 2018).
Persawahan yang sudah mulai menampakkan hasil
disambut oleh para pemilik modal untuk membuka penggilingan padi (selipan dalam istilah masyarakat setempat,
berasal dari slijperijen, Bld.). Selipan kerap pula berkeliling
lokasi L4 untuk menjajakan jasa penggilingan padi. Pemilik
modal yang muncul di L4 adalah kalangan transmigran
sendiri, yakni translok Kutai bernama Aji Asmit. Aji Asmit,
pemilik selipan pertama di L4, adalah menantu Kepala
Kampung Embalut (wawancara para transmigran, April dan
Agustus 2018).
Gambar 3.12 (Kiri); ilustrasi selipan keliling pada masa kini. (Kanan); selip produksi lama
berukuran lebih kecil.
(Dokumentasi Lapangan, April 2018)
95
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Bangsawan atau elite-elite lokal inilah yang kala itu menjadi kaum pemilik modal yang memiliki peran dalam mata
rantai ekonomi warga trans. Transmigran juga ada yang
menggiling gabah ke Embalut. Pemilik penggilingan padi
di Embalut juga merupakan elite kampung tersebut, yakni
Aji Don. Para elite lokal ini tidak hanya menjalin hubungan
ekonomi, tetapi juga sosial, dengan warga trans. Bahkan,
ada warga trans Bali yang mulai mengembangkan usaha
wiraswasta atas sumbang-saran mereka (wawancara IKD;
Pr, Ds. Kerta Buana, 12; 14 April 2018).
Pada masa awal menghasilkan panen, para transmigran
membawa gabah ke Embalut dengan dipikul. Interaksi dan
hubungan sosial mereka semakin terjalin dalam perjalanan
jauh ke Embalut. Untuk menempuh perjalanan, mereka
biasanya pergi bersama dengan berjalan kaki sejak dini hari
agar pada pagi hari dapat sampai di Embalut dan samasama berbekal nasi untuk disantap saat beristirahat di jalan.
Panjangnya perjalanan membuat transmigran bisa berhenti
hingga tiga kali (wawancara IKD; Km, IND, Ds. Kerta Buana,
10 April; 12–14 Agustus 2018).
Hasil persawahan transmigran memunculkan pula
pengumpul yang memasarkan hasil panen transmigran ke
Tenggarong atau Samarinda. Pelaku jejaring distribusi yang
mulai terlihat setelah kemarau tahun 1983 ini dikerjakan
oleh transmigran Lombok, seperti H. Sabriadi, Munantri,
kemudian Wayan Kirna dari Bali. Di antara kedua pengumpul
ini, Munantri lebih dikenal dan diminati para transmigran
lain (baik Lombok maupun Bali) karena berani menawar
dengan harga lebih tinggi. Pengumpul ini pun memasukkan
gabah ke penggilingan Aji Asmit dan memasarkannya ke
96
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Tenggarong atau Samarinda. Kreativitas lain dalam memasarkan panen juga terlihat dari kelompok trans Bali, seperti
pengumpulan panen per kelompok, seperti yang dilakukan
oleh Suanda. Interaksi ekonomi yang relatif cair terbentuk
tidak dibatasi oleh identitas etnik dan agama (wawancara IH;
IND; Km, Ds. Kerta Buana, April; 12 dan 14 Agustus 2018).
Produktivitas lahan semakin meningkat setelah kemarau
panjang kedua sekitar 1986–1987 (wawancara transmigran
Ds. Kerta Buana, April dan Agustus 2018). Kala itu, lahan
usaha I dapat dibuka total dan semakin menghasilkan. Beritaberita di koran lokal pun mengabadikan keberhasilan persawahan di lokasi transmigrasi pada 1987/1988 (Manuntung,
13 Juni 1988; Wisma Berita, Minggu III April 1987: 2;
Meranti, 17 April 1988). Produktivitas lahan padi lokasi
transmigrasi lahan kering di Kaltim, yang empat di antaranya di wilayah Kabupaten Kutai, yakni Teluk Dalam, Sebulu,
Sebangun, dan Separi (satu wilayah berada di Kabupaten
Pasir, yakni Sebakung) mencapai peringkat ke-2 se-Indonesia
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018).
Gambar 3.13 Berita surat kabar setempat tentang produktivitas padi di lahan transmigrasi.
(Manuntung, 13 Juni 1988; Wisma Berita, Minggu III April 1987: 2; Meranti, 17 April 1988)
97
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Panen meningkat juga dirasakan oleh petugas zakat di
L4. Kamaruddin bahkan membangun tempat penyimpanan
beras hasil zakat sebesar bangunan rumahnya sendiri agar
dapat menampung zakat transmigran muslim, terutama
untuk Blok B di L4. Hasil zakat hasil panen mencapai puluhan
ton beras menjelang tahun 1990 (wawancara Kamaruddin,
Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
Panen massal juga menjadi indikator keberhasilan
transmigran Bali. Pada 1990, Kanwil Transmigrasi pernah
mengirim I Ketut Duglud, Klian Subak Pandan Sari, ke Bali
untuk mempromosikan transmigrasi kepada masyarakat Bali
(wawancara IKD, Ds. Kerta Buana 13 April 2018).
Peningkatan hasil panen juga menginisiasi wadah
peng gilingan padi dan pemasaran yang difasilitasi pemerintah melalui Koperasi Unit Desa (KUD) di setiap lokasi
transmigrasi. KUD di L4 berdiri pada 1 Oktober 1981
bernama KUD Praya Eka Dharma. KUD yang diketuai
oleh Wayan Suanda ini memiliki anggota 295 orang pada
awal pendiriannya. KUD yang mulanya hanya melakukan
kegiatan konsumsi (Kanwil Transmigrasi, 1981: 11–12)
tidak mengembangkan bidang usahanya. Para petani di L4
umumnya memasarkan hasil panen kepada para pengumpul
(wawancara IH, Ds. Loa Janan, 10 April 2018). Kurang
diminatinya KUD juga terjadi di L1. KUD Sumber Hidup
di L1 merupakan KUD serbausaha yang memiliki aktivitas
penggilingan padi. Surat kabar Manuntung memberitakan
surat keberatanatas pendirian gudang dan penggilingan
padi PT Indo Mulia kepada Departemen Koperasi. Surat
protes memuat kondisi kalah saing dan ancaman terhentinya
aktivitas KUD. Surat yang berujung permintaan untuk
98
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
menutup perusahaan tersebut menunjukkan bahwa petani
transmigran lebih memilih perusahaan penggilingan padi
milik swasta di sana (Kanwil Transmigrasi, 1981: 11;
Manuntung, 26 Desember 1988: 3).
Gambar 3.14 Berita yang memuat surat protes KUD di L1
(Manuntung, 1 Oktober 1988: 3)
Peningkatan panen, baik di L4 maupun wilayah transmigrasi sekitar, menyemangati warga trans untuk mengoptimalkan lahannya. Kondisi tanah sudah rata dan stabil
serta bisa diolah menggunakan traktor. Sejak itu, inisiatif
meminta bantuan traktor mulai diajukan oleh kelompok
tani. Pengajuan ini pernah dikabulkan untuk satu atau
dua kelompok tani. Akan tetapi, bantuan ini kemudian
memunculkan kecemburuan karena seolah-olah dikuasai
oleh ketua kelompok tani (wawancara IND; Km, Ds. Kerta
Buana, 12–14 Agustus 2018).
99
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Persoalan lain yang timbul pada masa optimalisasi lahan
adalah perebutan lahan. Persoalan biasanya muncul ketika
warga trans hendak mengolah atau menanam di lahan.
Gesekan lahan sempat terjadi antara warga trans dengan penduduk setempat. Kala itu, penduduk setempat yang merasa
lahannya hendak diolah melakukan ancaman menggunakan
parang terhadap warga trans yang menanggapi dengan lari
tunggang langgang atau sempat diamankan oleh KODIM setempat. Klaim yang dikemukakan penduduk terhadap warga
trans biasanya adalah “tanah bekas garapan” atau “tanah
leluhur”. Oleh karena itu, warga trans menyebut para elite
penduduk setempat sebagai “tuan tanah” (wawancara IH, Ds.
Loa Janan, 10 April 2018; Km; IWL, Ds. Kerta Buana, 13–14
Agustus 2018; bdk., Siburian,49 2015: 245).
Panen di wilayah transmigrasi Kabupaten Kutai mendapat perhatian dari berbagai pihak pemerintah, termasuk
Presiden Soeharto atau para gubernur dari daerah asal
transmigran, yang kemudian melakukan kunjungan ke
daerah-daerah tersebut (Sampe, 23 Agustus 1986: 1–2).
Kunjungan tersebut berpengaruh terhadap kondisi
jalan ke daerah transmigrasi. Pada 1988, kondisi jalan di
Teluk Dalam diberitakan telah dibesarkan dan siap dilalui
oleh armada bus Damri yang dilaksanakan oleh KUD
Kopta Samarinda. Trayek bus mencakup rute trayek daerah
transmigrasi di Tenggarong, yakni Samarinda-Sebulu
(Manuntung, 1 Agustus 1988).
49
Klaim kepemilikan tanah juga ditemukan dalam studi perebutan lahan di Kecamatan
Tenggarong Seberang oleh Robert Siburian yang mengemukakan kasus serupa di Desa Kerta
Buana. Dalam tulisan Siburian, klaim penduduk setempat adalah “tanah ulayat” (Siburian,
2015: 245).
100
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Akses transportasi itu menjadi salah satu faktor kerasan
dan kesuksesan transmigran di daerah baru. Transportasi
ini membuka akses pemasaran ke Pasar Segiri di Samarinda
dan Pasar Tenggarong (wawancara IH dan Il, Ds. Loa Janan,
10 April 2018).
Gambar 3.15 Armada transportasi Damri yang beroperasi melewati rute Teluk Dalam sejak
1988, ketika daerah-daerah transmigrasi menghasilkan surplus beras bagi Kalimantan Timur.
(Manuntung, 1 Agustus 1988)
Keberhasilan panen di area transmigrasi Teluk Dalam
menjadikan wilayah L4 serta L1, L2, dan L3 sebagai lahan
untuk proyek percontohan Balai Latihan Transmigrasi oleh
Departemen Transmigrasi, Pemukiman, dan Perambahan
Hutan pada 1995 (Suara Kaltim, 8 September 1995: 11).
Oleh karena itu, lahan pertanian di Teluk Dalam dipahami oleh para petugas transmigrasi sebagai lahan terluas,
yang kemudian dikenal sebagai “lumbung padi” Kutai Kartanegara (Laporan JATAM, 2011: 22, bdk., Siburian, 2015:
233).
101
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Gambar 3.16 Berita koran yang memuat instruksi Menteri Transmigrasi dan Pemukiman
Perambahan Hutan untuk menjadikan Teluk Dalam sebagai proyek percontohan.
(Suara Kaltim, 8 September 1995: 11)
2. Penataan Kehidupan Sosial-Budaya
a. Kehidupan Bermasyarakat
Pada awal masa bermukim, sebagaimana yang pernah
disinggung sebelumnya, warga trans akan mencari lokasi
tempat tinggal kerabat atau tetangganya sekampung halaman. Jalinan kekerabatan merupakan salah satu penguat
warga trans untuk tetap bertahan dan tidak pulang kampung.
Oleh karena itu, aktivitas berkumpul dan membentuk
perkumpulan berafiliasi etnis atau agama adalah bentuk
interaksi yang mula-mula dilakukan oleh mereka.
Aktivitas berkumpul masyarakat L4 kerap dilakukan
oleh komunitas Bali-Hindu dan muslim-Lombok. Komunitas
pertama biasa mengadakan keramaian berupa joged bumbung
bersama dengan menabuh bumbung (alat musik bambu) sejak
Maghrib hingga Subuh. Setelah ada pengeras suara, keramaian tersebut berkumandang seantero desa. Begitu pula
dengan kebiasaan komunitas kedua saat bulan Ramadhan,
102
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
yakni mengaji (tadarus) dengan pengeras suara yang tidak
kenal waktu.
Mulanya, kebiasaan tersebut tidak ada yang memprotes.
Warga trans bersikap menerima dan sama-sama menahan
diri. Akan tetapi, selanjutnya, terutama setelah banyak
pendatang (pekerja tambang) yang masuk ke permukiman
transmigran, kegiatan-kegiatan itu menimbulkan protes.
Keramaian suara dinilai mengganggu waktu istirahat. Oleh
karena itu, pada 1987/1988, Kepala Desa I Dewa Ketut Alit
mengadakan urun rembuk dengan tokoh-tokoh masyarakat
dari berbagai kalangan, seperti Kamaruddin dari Lombok,
Guru Mahmud dari Kutai (Ketua LKMD dan guru PNS),
Ramli dari Kutai, dan Muhsin dari Jawa, mengenai pembatasan penggunaan pengeras suara. Urun rembuk para
tokoh perwakilan etnik menunjukkan pendekatan berdasarkan etnis menjadi cara yang dinilai efektif oleh kepala desa
kala itu (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
Perkumpulan yang dibentuk mula-mula adalah perkumpulan keagamaan dengan pusat aktivitas di Pura Pasupati
untuk umat Hindu dan Masjid Blok A (sekarang bernama
Masjid Ijtihad) untuk umat Islam (wawancara transmigran,
Ds. Kerta Buana). Selanjutnya, komunitas Jawa muslim
membangun masjid di Blok C1, area di mana jumlah trans
Jawa relatif besar di L4. Masjid ini bermula dari kelompok
pengajian berdasarkan etnik dalam bentuk pengajian transmigran Jawa (wawancara SR, Ds. Kerta Buana, 13 Agustus
2018). Interaksi kelompok dalam aktivitas keagamaan kemudian menguatkan identifikasi etnik yang diwujudkan dengan
berdirinya mushala, lalu masjid, oleh kelompok transmigran
Jawa.
103
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Perkumpulan lain adalah kelompok kesenian yang
masih berafiliasi etnik, yang telah dibentuk secara resmi
pada tahun 1986 oleh komunitas Bali-Hindu. Perkumpulan
bernama Eka Praya Dharma dibentuk dalam mempersiapkan
penyambutan Presiden Soeharto ke lokasi transmigrasi Teluk
Dalam, tepatnya di Kantor UPT L2. Untuk Penyambutan,
perkumpulan berlatih tari Pendet dasar (tari penyambutan
tamu), yang dipelajari menggunakan kaset yang dibawa oleh
transmigran Bali, I Ketut Duglud, yang diiringi tabuhan
gamelan sumbangan Gubernur Bali. Latihan pertama ini dilakukan tanpa guru. Sedangkan, para penari adalah transmigran yang belajar bersama bermodal petunjuk dari kaset saja.
Kini, perkumpulan tersebut masih ada dan berkembang,
bahkan beranggotakan di luar komunitas Bali (wawancara
IKD, Ds. Kerta Buana, 13 April 2018).
Perkumpulan yang membuka interaksi antaretnis pertemuan warga secara umum dilakukan saat gotong royong
bersih desa. Hingga masa kepala desa masih dijabat oleh I
Dewa Ketut Alit, bersih desa dilakukan untuk membersihkan
lapangan sepak bola di Blok A, sekaligus membersihkan
kuburan dan pura bersama. Akan tetapi, kegiatan bersama
untuk fasilitas umum semakin berkurang setelah Dewa Alit
mundur (wawancara Km, Ds. Kerta Buana, 14 Agustus 2018).
Kebersamaan warga trans juga berlangsung dalam
aktivitas keolahragaan para pemuda desa, seperti sepak bola
dan voli yang pada tahun 1980-an dilatih oleh PPL Ismadi
Hanafi (wawancara IKD; IWM; IND, Ds. Kerta Buana, 10
dan 13 April; 12 Agustus 2018). Selain itu, warga trans dari
berbagai kalangan juga berkumpul, dan masing-masing
mengeluarkan keseniannya, seperti reog dan ogoh-ogoh
104
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
(wawancara Sd; SR; IWL, Ds. Kerta Buana, Februari dan
13–14 Agustus 2018).
Dalam masa awal interaksi ini, transmigran membawa
kebiasaannya masing-masing, baik tata cara berpakaian maupun melakukan aktivitas sehari-hari. Salah satu kebiasaan
yang kerap menimbulkan “pembicaraan” adalah penggunaan pakaian dan tata cara mandi. Setidaknya, hingga tahun
1985/1986, perempuan Bali masih jarang menggunakan
atasan, termasuk saat mengolah lahan. Saat mandi di sumur
atau aliran air dari celah gunung, perempuan Bali tidak
memakai penutup sama sekali. Sementara itu, kebiasaan
perempuan Lombok saat mandi hanya menutup bagian atas
dan membiarkan bagian bawah tubuhnya terbuka.
Kebiasaan ini sempat menimbulkan “keresahan” terhadap kelompok trans lain yang memiliki kebiasaan berbeda,
terutama Jawa dan Kutai. Untuk mengatasi “keresahan” itu,
Kepala UPT membentuk kelompok wanita tani, dan melalui
PPL mengkampanyekan penggunaan kain penutup dalam
keseharian dan saat mandi (wawancara IH, Ds. Loa Janan,
10 April 2018).
Bentuk adaptasi budaya yang didorong oleh pihak di luar
komunitas ini tidak lazim berlaku pada masyarakat L4. Akan
tetapi, kampanye yang merupakan kreasi adaptasi budaya
bagi warga trans ini cukup berhasil.
b. Sosial-Keagamaan
Sebagaimana yang telah disampaikan sebelumnya,
transmigran Bali-Hindu akan membangun tempat peribadatan keluarga (sanggah) secara individu setelah menem105
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
pati rumah. Dalam sekup komunitas, mereka juga akan
menyegerakan pembangunan pura bersama (wawancara IKW,
Ds. Kerta Buana, 12 April 2018).
Pada masa awal bermukim, Kanwil Transmigrasi telah
memplot lokasi pura utama. Oleh karena itu, mereka segera
mendirikan pura tidak lama dari waktu tiba dalam bentuk
sesuai kemampuan mereka. Kanwil Transmigrasi memberi
bantuan alat berat untuk meratakan tanah. Kala itu, pura
yang kini dikenal dengan nama Pura Pasupati hanya berupa
meja kayu berkaki empat berbahan kayu dadap. Pura Pasupati
berfungsi untuk pemujaan umat Hindu kepada Tuhan dalam
manifestasi sebagai pencipta (Brahma) dan pemelihara alam
semesta (Wisnu) (wawancara Transmigran Bali, April dan
Agustus 2018).
Selanjutnya, pura dibangun secara bertahap. Urunan
pertama untuk pembangunan pura dilakukan pada tahun
1982. Pada pembangunan ini, pembangunan pura hanya
bersumber dari swadaya masyarakat, baik finansial maupun
tenaga. Kala itu, semua masyarakat, khususnya transmigran
Bali, baik dari Jembrana, Klungkung, Nusa Penida, maupun
Denpasar, bergotong royong membangun. Pengurus pura
juga berasal dari berbagai daerah di Bali, yakni Santika dari
Singaraja, Priya dari Jembrana, Mangku Suanda (Jembrana),
Sali dari Karang Asem, I Dewa Alit (Klungkung), dan I Ketut
Duglud (Badung) (wawancara IWA; Pr; IKD, Ds. Kerta Buana,
Februari; 12–13 April 2018).
Selain pura utama, transmigran Bali juga membangun
pura desa lain yang berada dalam naungan PHDI (Parisadha
Hindu Dharma Indonesia) yang kala itu diketuai oleh I
106
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Dewa Ketut Alit di tingkat desa. Pura Dalam adalah tempat
pemuja Tuhan dalam wujud Syiwa sebagai pelebur atau
mengembalikan segala sesuatu ke asalnya, Pura Meraja
Pati untuk kegiatan upacara kematian (salah satu tahap
dari Ngaben diselenggarakan di sini) dibangun di tengahtengah kuburan di hilir desa, dan Pura Beji untuk memohon
penyucian dan pembersihan sebelum kegiatan upacara
dilakukan.
Pembiayaan pembangunan pura pada awalnya difasilitasi
oleh KUPT I Nyoman Ramia, yang berhubungan dengan
Pemda Bali maupun pihak lain (wawancara IKW, Ds. Kerta
Buana, 12 April 2018). Dalam pembangunan pura-pura desa,
kelompok trans Bali-Hindu berhasil menghimpun jejaring
sosial etnik untuk mendapatkan bantuan.
Gambar 3.17 Pura umum desa, yakni (dari kiri, kanan, dan bawah) Pura Pasupati, Pura Dalam,
dan Pura Meraja Pati.
(Dokumentasi Lapangan, April 2018)
107
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Warga trans Bali-Hindu yang berasal dari berbagai
daerah ternyata memiliki tradisi beragam dalam menjalankan
ritual keagamaan. Tradisi yang beragam ini cenderung
dipahami (oleh tokoh-tokoh tua yang telah mewarisi tradisi
berabad-abad dari leluhur di kampung halaman) bisa mendatangkan karma buruk bagi kehidupan mereka pada masa
kini ataupun masa yang akan datang. Perbedaan ini dulu
cukup sederhana, misalnya dalam membuat canang atau
sesembahan di pura yang biasanya terlihat dari besaran,
posisi, dan penataan ornamen upakara (perlengkapan sesaji).
Perbedaan ini akan memunculkan gesekan ketika mereka
melakukan sembahyang bersama di pura umum. Kelompok
yang memiliki jumlah umat lebih besar dan menyajikan
sesembahan seragam akan membuat kelompok dengan
jumlah umat yang lebih sedikit “mundur” ketika berkumpul
di pura utama desa (wawancara informan, Ds. Kerta Buana,
12 April 2018).
Dalam menghadapi gesekan ini, Kepala Desa sekaligus
Ketua PHDI pada tahun 1980-an, I Dewa Ketut Alit, membuat
kesepakatan umum dalam upakara. Meskipun kesepakatan
itu untuk peribadatan bersama cenderung dipatuhi, namun
tradisi pembuatan ornamen upakara dan ritual khas tetap
bertahan dalam kelompok-kelompok kecil yang dipandu oleh
mangku kelompoknya masing-masing (wawancara informan,
Ds. Kerta Buana, April 2018).
Perbedaan tersebut terfragmentasi secara kasat dengan
dibentuknya pura-pura khusus berdasarkan asal daerah
transmi gran Bali. Setiap pura khusus memiliki tokoh
(mangku) sendiri yang berperan sebagai pemimpin umat.
Pembangunan pura-pura kelompok menunjukkan bentuk
108
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
identifikasi kelompok-kelompok kecil dalam internal
transmigran Bali-Hindu sendiri. Selanjutnya, fragmentasi ini
menjadi tajam dalam kontes pemilihan kepala desa melalui
voting setelah I Dewa Ketut Alit turun pada tahun 1998,
bahkan pemilihan terakhir sebelum penelitian ini dilakukan.
Gambar 3. 18 Pura khusus dibangun berdasarkan asal daerah, yang antara lain dibangun oleh
komunitas Bali dari Jembrana (kiri-atas), Nusa Penida (kanan atas), dan Badung (bawah).
(Dokumentasi Lapangan, April dan Agustus 2018).
c.
Pendidikan
Sejak L4 didatangi para transmigran, Kanwil Transmigrasi telah mempersiapkan lokasi sekolah dasar. Kanwil
Transmigrasi telah mempersiapkan 2 bangunan dengan 6
109
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
kelas untuk siswa-siswi SD Inpres yang kini menjadi SDN
027 (wawancara transmigran Ds. Kerta Buana; Kanwil
Transmigrasi, 1981: 17).
Pada masa awal bermukim, SD Inpres memiliki 7 orang
guru tetap dan 2 orang guru honor (Kanwil Transmigrasi,
1981: 17–18). Akan tetapi, sejumlah guru-guru tersebut
kemudian pindah tugas, dan sering kali warga trans setempat
yang tidak memiliki pendidikan khusus dijadikan pengajar
(wawancara SR, Ds. Kerta Buana, 13 Agustus 2018).
Keterbatasan lainnya adalah kurangnya ruang kelas
karena SD Inpres ini menaungi seluruh anak usia sekolah
dasar dari transmigran L4. Pada tahun 1981, siswanya
sudah mencapai 373 orang (Kanwil Transmigrasi, 1981: 17).
Ketidakseimbangan antara fasilitas ruang dan jumlah siswa
sempat disiasati dengan berbagai cara. Pengelola sekolah
sempat memanfaatkan gedung kosong di ujung desa untuk
menempatkan sebagian muridnya. Usaha ini tidak bertahan
lama karena kondisi bangunan yang tidak baik. Pengelola
sekolah pernah juga membagi waktu masuk sekolah menjadi
2 shift. Berbagai strategi diupayakan pengelola sekolah
bersama KUPT dan perangkat desa kala itu (wawancara SR,
Ds. Kerta Buana 13 Agustus 2018).
Kekurangan lokal belajar ini juga mendorong berdirinya
Madrasah Ibtidaiyah Nadhatul Wathan (NW) di area Blok
B yang diinisiasi warga trans Lombok yang sebagian besar
adalah jemaat NW, selain karena mereka pun menginginkan
sekolah yang berbasis agama Islam (wawancara Km dan SM,
Ds. Kerta Buana, 13–14 Agustus 2018).
110
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Pembentukan sekolah berbasis agama Islam ini dibangun
atas kerja sama antara inisiator, yakni Kamararuddin, seorang tokoh dari Lombok, dengan Kepala Desa I Dewa
Ketut Alit. Pengajuan Kamaruddin ditanggapi positif oleh
Kepala Desa dalam bentuk surat izin pemanfaatan lahan.
Selanjutnya, hubungan yang dibangun antaretnik ini
diikuti oleh kerja sama yang baik di kelompok Lombok,
yang telah menghasilkan Madrasah Ibtidaiyah Nahdhatul
Wathan (MI NW). Bangunan berhasil berdiri pada tahun
1986. Sebagaimana perencanaan yang disepakati secara
musyawarah, bangunan juga dibangun oleh warga Lombok
dengan bergotong royong (wawancara Km dan SM, Ds. Kerta
Buana, 13–14 Agustus 2018).
Keberadaan MI NW di sisi lain memperkuat identifikasi
Bali di lembaga pendidikan SD Inpres. Seperti yang dapat
dilihat pada masa kegiatan penelitian, unsur dekoratif Bali
berupa gapura berukir khas Bali melekat pada bangunan
fisik sekolah. Selain itu, penamaan gugus depan SD pun
menggunakan nama tokoh pahlawan nasional dari Bali, yakni
I Gusti Ngurah Rai.
Gambar 3. 19 SD Inpres yang telah dirintis sejak transmigran bermukim di L4.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
111
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
d. Administrasi Desa
Pada masa bermukim hingga dibentuknya desa definitif,
lokasi transmigrasi berada di bawah tanggung jawab Kepala
UPT. KUPT bertanggung jawab dalam administrasi permukiman transmigrasi hingga aparatur dapat menyatu dengan
administrasi di tingkat daerah, yang mungkin baru dapat
diambil setelah 5 tahun pendirian lokasi transmigrasi
(wawancara Il dan Sg, Disnakertrans Kaltim, 9 April 2018;
Clauss et al., 1988: 83).
KUPT bekerja di Balai Unit yang dilengkapi dengan
gudang logistik. KUPT juga bertanggung jawab terhadap
penyelenggaraan sekolah dan aktivitas kelembagaan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh penyuluh
lapangan pertanian dan peternakan, penyuluh KB, kegiatan
PKK, kursus tani, kursus perkoperasian, serta penyelenggaraan puskesmas (wawancara Sd; SR, Ds, Kerta Buana,
Februari; 13 Agustus 2018; Kanwil Transmigrasi, 1981:
19–20).Pada masa kepemimpinan KUPT, belum ada sistem
pemerintahan desa (wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW],
10 April 2018).
Sistem pemerintahan desa mulai dirintis pada masa
pemerintahan desa persiapan yang dipimpin oleh kepala desa
persiapan, I Dewa Ketut Alit, sejak tahun 1989. Pemerintahan desa definitif dibentuk pada tahun 1992, yang ditandai
dengan penamaan L4 menjadi Desa Kerta Buana. Nama
Kerta Buana ditetapkan setelah serah terima dari transmigrasi menjadi desa definitif, oleh kepala desa persiapan
(wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta Buana,
10 April 2018).
112
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Penamaan diputuskan oleh kepala desa dalam rapat yang
melibatkan wakil transmigran, khususnya tokoh-tokoh etnik.
Nama Kerta Buana menurut informasi yang dikumpulkan
JATAM (2011) adalah sebagai berikut:
“…Agar menjadi tanah harapan kami yang aman, damai,
dan sentosa,” tutur I Dewa Ketut Alit, ketua rombongan
transmi gran Bali gelombang pertama dan kepala desa
pertama di Kerta Buana (Laporan JATAM, 2011).
Pemimpin desa definitif pertama bagi Desa Kerta
Buana adalah I Dewa Ketut Alit yang memimpin desa sejak
1992 hingga 1997. Pengangkatan I Dewa Ketut Alit tanpa
melalui pemilihan langsung. Figur yang dituakan (sesepuh
desa) sudah melekat padanya sejak awal bermukim karena
ia memang telah berpengalaman sebagai kepala desa saat
di kampung halaman. Figur ketokohan diperkuat oleh latar
belakang pekerjaannya dulu sebagai TNI dan kelas sosialnya
sebagai kesatria yang berada di atas transmigran Bali lain
yang kebanyakan tergolong dalam kasta Sudra.
Penetapan kepala desa dari kelompok Bali tampaknya
tidak bisa dipisahkan dari kehadiran KUPT yang juga berasal
dari Bali. Naiknya I Dewa Ketut Alit ditanggapi beragam
oleh kelompok di luar etnik Bali; ada yang menerima, dan
ada yang sebenarnya menginginkan bagian dari kelompok
etniknya yang muncul.
Bagi kalangan yang menerima, mereka berpendapat
bahwa figur I Dewa Ketut Alit cukup netral dan dapat
mengayomi semua etnik. Sedangkan, yang tidak menerima
beralasan bahwa etnik Bali telah mendominasi citra kampung
sehingga pihak luar (pemerintah kabupaten) pun melabelkan
113
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
kampung ini sebagai kampung Bali sehingga
seolah-olah meniadakan kelompok etnik lain.
Berikut kutipan wawancara dua sudut pandang
transmigran bukan Bali terhadap kepemimpinan
Bali (dalam hal ini, I Dewa Ketut Alit) (wawancara
transmigran bukan Bali, Ds. Kerta Buana, April
dan Agustus 2018).
Gambar 3.20 I Dewa
Ketut Alit, kepala desa
pertama di Desa Kerta
Buana.
“…Waktu zamannya Pak Dewa Alit itu aja yang
terasa itu (kebersamaan dan gotong royong)
macam-macam itu, pembersihan lapangan,
sepak bola itu di sana di Blok A. Di tempattempat yang vital itu, seperti parit, air itu kan,
pokoknya yang bersinggungan dengan publik,
terutama itu untuk fasilitas umum, kita ajak itu
bareng-bareng….”
(Koleksi Keluarga)
“…Di Kerta Buana ini, disebutlah sebagai bagian
dari kabupaten maupun provinsi itu, Kampung
Bali, itu kan ndak ada. Ndak ada itu. Ndak ada
orang Lomboknya, ndak ada orang Kutainya,
ndak ada orang Banjarnya. Kampung Bali gitu.
Akhirnya, saya berpikir, saya mau pada saat itu
untuk membuka tabir ini, supaya jangan hanya
Bali yang kelihatan gitu….”
Terlepas dari figur kepemimpinan desa, pembentukan
desa diikuti oleh pembentukan dusun dan penataan struktur organisasi RT, RW, dan LKMD. Struktur organisasi
desa dibentuk, sebagaimana pola administrasi desa lain di
Indonesia, yang secara hukum diatur dalam Undang-Undang
114
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintah Desa (Clauss et al.,
1988: 83; wawancara Hari Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta
Buana, 10 April 2018).
Gambar 3.21 Plang nama Posyandu “Rinjani Indah” mengidentifikasi keberadaan transmigran
asal Lombok.
(Dokumentasi Lapangan, April 2018)
Penamaan dusun, PKK, ataupun posyandu di Desa Kerta Buana
dibuat saat pembentukan struktur organisasi desa. Penamaannya
mengakomodasi berbagai asal daerah transmigran, seperti penamaan
Dusun 1 Rapak Rejo dan Dusun 2 Rinjani Indah (wawancara Hari
Kurnia Wibawa [HKW], Ds. Kerta Buana, 10 April 2018).
115
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Uraian Bab III menunjukkan pada ‘awal proses bermukim’, baik
dalam menempati rumah maupun memenuhi kebutuhan dasar, dapat
dilihat beberapa aspek integrasi sosial yang muncul di L4. Aspek yang
muncul pertama kali adalah ‘identifikasi’ berdasarkan kesatuan etnik.
‘Identifikasi’ ini cukup stabil (ajek dan bertahan ) mendasari berbagai
perilaku warga trans seperti yang nampak pada aspek integrasi sosial
lain. Akan tetapi dalam peristiwa atau situasi tertentu, ‘identifikasi’
etnik dapat lebur dan cair sesuai kepentingan individu transmigran
membentuk ‘identifikasi’ lain. Pada masa ‘bertahan hidup’ aspek
integrasi sosial yang paling menonjol adalah ‘positioning’ berupa
sikap menerima atas keadaan dan adaptasi lingkungan. Sementara
pada masa ‘penataan kehidupan sosial budaya’ aspek yang paling
menonjol adalah ‘interaksi’ terutama pembentukan aktivitas sosial
berdasarkan kelompok etnik dan agama serta pemanfaatan jejaring
sosial dalam membangun berbagai sarana keagamaan dan pendidikan.
Secara umum, warga transmigran L4 menunjukkan upaya
untuk menciptakan kondisi tenteram pada periode bermukim
dan bertahan hidup. Berbagai hal pemicu konflik seperti gesekan
lahan ataupun pemunculan simbol atau nama-nama etnik tertentu
teredam oleh sikap mundur dan menerima dari kelompok-kelompok
yang menganggap diri pendatang, minoritas, ataupun tidak punya
kuasa. Potensi konflik tersebut di kemudian hari menguat dan
menunjukkan indikasi yang berkebalikan dari tujuan penciptaan
integrasi sosial, salah satu tujuan yang digaungkan pemerintah
pelaksana transmigran. Penguatan potensi konflik akan tergambar
jelas pada uraian periode selanjutnya di Bab IV.
116
Bab IV
Invasi Open Pit Mining
dan Titik Balik Kejayaan
Pertanian di Kerta Buana
(1990–2000-an)
(Sri Murlianti)
Pada bab sebelumnya, telah digambarkan masa-masa 1980–1990an Desa Kerta Buana secara detail dalam memasuki masa menuju
puncak produktivitas pertanian. Para transmigran telah melampaui
masa-masa sulit yang kompleks. Mulai dari merintis lahan, mengenali,
dan mengendalikan hama-hama lokal; hingga mengelola sumber
perairan yang sama sekali berbeda dengan topografi perairan di
Bali. Tahun-tahun ini bisa dikatakan, para transmigran Bali telah
terintegrasi dengan para transmigran Etnis Lombok dan para tranlokal. Beberapa adaptasi kultural berhasil dilakukan, terutama yang
berkaitan dengan pengendalian sistem pengairan dan penanganan
hama-hama.
Bab ini akan membahas periode tahun 1990–2000-an sebagai
periode puncak kejayaan produksi beras sekaligus titik balik rusaknya
ruang hidup dan kemunduran pertanian di Kerta Buana. Periode ini
bisa dipetakan ke dalam tiga periode menurut perubahan ruang hidup
dan dukungan lingkungan terhadap usaha pertanian padi (Gambar
117
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
4.1). Ketiga periode ini menyumbangkan pola-pola integrasi sosial
yang berbeda, baik dari sisi adaptasi budaya, positioning, interaksi
sosial, maupun identifikasi mereka sebagai warga transmigran.
1990-1998:
1998-2003
2003 ke atas
Kuasa
‐ Underground mining
‐ Kelas buruh kontrak
non-skill
‐ Banyak kecelakaan
kerja dirahasiakan
‐ Perempuan penopang
usaha tani
‐ Masa akhir tambang
dalam dan awal open pit
mining
‐ Tragedi lahan II/MKT
‐ Ekplorasi lahan MKT
menjadi lembah
‐ Degradasi dan
pembebasan sawah
Blok B
‐ Kelas-kelas sosial baru
‐ Masa open pit mining
‐ Trik pemindahan desa
yang gagal
‐ Jalan budaya
pembebesan lahan
besar-besaran
‐ Pekerja professional
dan reorientasi generasi
II transmigran
Hubungan‐Hubungan Sosial
‐ Perasaan sebagai
Pendatang
‐ Konflik laten fragmentasi
ritual Hindu
‐ Konflik laten eksternal:
lahan, benturan budaya
‐ Pengaruh Dewa Alit
memudar, muncul calo tanah
‐ Fragemntasi ritual Hindu
pura-pura berdasar desa asal
‐ Konflik manifes transmigran
dengan trans lokal dan
perusahaan (kompromi lahan
II)
‐ Sikap Bali versus Lombok
terhadap ganti rugi lahan
‐ Konflik manifes
‐ Elit desa sebagai
perantara dan penengah
hubungan masyarakatperusahaan
‐ PPL bertambah peran
sebagai penengah konflik
‐ Konflik-konflik manifes
masyarakat perusahaan
Perkembangan Pertanian
‐ Subak ala Kerta Buana
‐ Adopsi budaya lokal
(Hama dan bakar hutan)
‐ Ikatan dengan tanah
(Dewi Sri)
‐ PPL penggerak
pertanian dan aktivitas
sosial
‐ Puncak surplus panen
‐ Membeli murah tanah
‐ Irigasi mulai tidak stabil
‐ Sawah tadah hujan
sepenuhnya
‐ Glebek dan rumah zakat
‐ Lahan pertanian
menyempit
‐ Penumbuhan bisnis
penggilingan padi
‐ Dampak limbah: banjir,
hama, dan penyakit baru
‐ RPU di L2/Desa Bangun
Rejo
‐ Produktivitas padi turun
drastis
Gambar 4.1 Di bawah tahun 1998-2003: Kuasa Pertambangan
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
118
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
A. Underground Mining dan Masa Puncak Kejayaan
Produksi Padi pada 1990–1998
Tahun 1990–1997 merupakan masa-masa menuju puncak
kejayaan pertanian di Kerta Buana. Hambatan-hambatan alam dan
kultural sudah teratasi. Setiap hektar sawah menghasilkan lebih dari
5 ton per hektar setiap panen. Pak Sd, penyuluh BKKBN asal Klaten,
Jateng, yang datang pada tahun 1987, mengingat dengan baik situasi
di Desa Kerta Buana dan sekitarnya. Hingga tahun 1997/1998,
dari kilometer 10 jalan masuk menuju Desa Kerta Buana sampai
Kecamatan Sebulu didominasi oleh hamparan sawah hijau di sebelah
kanan kiri jalan. Pemandangan ini perlahan-lahan mulai berubah
ketika tahun 1998 ada tambang terbuka diam-diam, walaupun izin
resmi operasi tambang terbuka baru dimulai pada tahun 2003.
Situasi internal
transmigran Bali
Ikatan dengan tanah (Dewi Sri)
Karisma Dewa Alit kuat
Konflik laten internal fragmentasi
ritual Hindu
Hubungan dengan
perusahaan tambang
(underground mining)
Kelas buruh kontrak non-skill
Banyak kecelakaan kerja dirahasiakan
Perempuan penopang usaha tani
Peran pemerintah
(PPL)
PPL penggerak pertanian dan aktivitas
sosial
Bantuan pupuk dan obat-obatan
Hubungan dengan
trans lokal dan trans
Lombok
Adopsi budaya lokal (hama dan bakar
hutan)
Membeli murah tanah trans lokal
Konflik laten: lahan dan benturan
budaya
Tabel 4.1 Integrasi sosial transmigran Bali tahun 1990–1997
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
119
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Situasi integrasi sosial transmigran Bali di Kerta Buana secara
singkat terlihat pada tabel tersebut. Masa ini masih ditandai dengan
kuatnya pengaruh dari tokoh Dewa Alit, mantan kepala desa perdana.
Filosofi orang Bali tentang ikatan dengan tanah yang cukup kuat
diaplikasikan dalam gerak hidup sehari-hari transmigran Bali.
Kepercayaan tanah sebagai Dewi Sri melandasi kerja keras mereka
mengembangkan pertanian. Subak ala Kerta Buana telah berhasil
menyangkokkan budaya subak Bali ke alam Kerta Buana yang sama
sekali berbeda. Bahkan, warga trans lokal dan transmigran asal
Lombok juga menirukan cara-cara transmigran Bali dalam mengelola
sawah.
1. Dukungan Underground Mining terhadap Pertanian
Eksplorasi tambang di sekitar Kerta Buana dimulai beriringan dengan kedatangan para transmigran. Desas-desus bahwa wilayah seputar L4, termasuk Kerta Buana, adalah wilayah
tambang sudah beredar di antara sesama transmigran sejak
awal kedatangan mereka. Pak I Wayan Try, salah satu bagian
dari rombongan perdana transmigran, mendengar desas-desus
itu sejak mereka dikumpulkan di lapangan untuk pembagian
lokasi pemukiman. Seingat Pak Ty, seorang petugas yang ikut
mengurusi pembagian lokasi pemukiman bernama Sianipar,
pernah mengatakan sesuatu kepada beberapa orang transmigran
yang berkerumun menunggu pembagian pemukiman.
“Bapak ingat di sini ya, kepala proyek dulu orang Batak,
namanya Sianipar siapa gitu, ndak ngerti. Dulu, dia tu
ngomong pada waktu itu di masjid. Di balai desa, bahwa
120
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
penempatan transmigrasi ini adalah di daerah tambang.
Pak Sianipar itu sudah ngomong. Karena ini batu bara,
mereka tahu ada batu bara itu sudah sejak zaman dulu,
mungkin ndak ngerti saya. Jadi, Pak Sianipar ngomong,
penempatan transmigrasi ada di daerah tambang. Suruh
nyari tanah yang sebanyak-banyaknya, itu disarankan oleh
Pak Sianipar. Ndak ngerti ini, tambang ini apa, ndak ngerti.
Dia dulu mengatakan sini ini wilayah tambang, cari tanah
sebanyak-banyaknya! Tapi, ya namanya kita ini dulu ya
nggak ngerti tambang itu apa sih, dengar omongan gitu ya
lewat-lewat saja. Kita dulu niatnya kan ke sini cari tanah,
jadi yang dipikirkan ya bagaimana bertani menggarap
tanah,” ujar I Wayan Try.
Izin tambang dikuasai oleh PT Kitadin (investor dari
Thailand) dan mulai beroperasi di L4 tahun 1982. Industri
tambang perdana di Tenggarong Seberang ini menggunakan
sistem tambang bawah tanah (underground mining). Penduduk
lokal biasa menyebutnya “tamda” atau tambang dalam.50 Ada 6
“tamda” di Embalut (sebelah Kerta Buana). Hingga tahun 2006,
masih bisa dilihat dari pintu masuk lokasi pertambangan PT
Kitadin lama.51
50
Menurut I Wayan Try, mulut terowongan mendekati balai desa (pakai centre line),
dengan posisi kemiringan kurang lebih 20o, ada juga yang horizontal. I Wayan Try sering
mendengarkan pembicaraan para staf ketika mereka sedang dalam sebuah pertemuan. Dari
sini, ia mendapat informasi bahwa wilayah Kerta Buana sudah terkotak-kotak oleh konsensi
perusahaan tambang. Sepanjang yang ia pernah dengar, wilayah Kerta Buana terbelah menjadi
dua wilayah konsensi batu bara. Mulai dari wilayah Loa Kulu hingga ujung telah terkotak-kotak
oleh konsensi PT Kitadin, PT MSJ, Fajar Bumi Sakti, dsb.
51
Kini, semua terowongan telah tertutup. Satu-satunya artefak yang masih bisa ditemui
adalah sebuah monumen bertuliskan PT Kitadin, yang berdiri kokoh di sebelah kiri jalan
menuju Kerta Buana dari arah Samarinda. Sebelumnya, pemilik saham terbesar PT Kitadin
adalah Indocoal. Pada 1999, mayoritas saham mereka dijual kepada Group Perusahaan Banpu
Thailand. Saat ini, Banpu yang mengelola Kitadin.
121
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Gambar 4.2 Monumen eksplorasi underground mining PT Kitadin di pinggir Jalan Poros L.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Tambang dalam tidak membawa dampak yang signifikan
terhadap kualitas tanah pertanian. I Wayan Try mengatakan
bahwa walaupun ada terowongan di dalam dan diperkirakan
jauhnya mencapai sekitar Balai Desa Kerta Buana, namun
tanaman tetap subur. Ia mengingat dengan baik, karena memang
bidang tugasnya membuat terowongan. Pernah menurutnya,
suatu ketika, ia melihat dengan memakai centre line, dengan
kemiringan sekitar 28o, mulut terowongan mendekati balai desa.
Ida Bagus MY tidak melihat ada penurunan pertanian
yang cukup berarti ketika tambang dalam beroperasi. Banyak
penduduk Kerta Buana dan sekitarnya terserap menjadi buruh
tambang non-skill, namun mereka tidak meninggalkan usaha
pertanian. Eksodus penduduk Kerta Buana dan sekitarnya,
122
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
terutama kaum laki-laki, menjadi buruh tambang. Bapak-bapak
yang bekerja di tambang52 itu menurutnya masih bisa membagi
waktu untuk tetap menggarap sawah mereka di sela-sela bekerja
sebagai buruh tambang.
Ladang pertanian tetap digarap oleh para istri mereka.
Mereka yang bekerja di tambang dalam masih bisa mengerjakan
sawah mereka pada hari libur atau sepulang kerja. Jam kerja
sebagai tenaga kontrak menurut I Wayan Try tidak sepanjang dan
seketat tambang terbuka (open pit mining) seperti sekarang. Jam
kerja pada pukul 08.00–15.00 memungkinkan para lelaki buruh
itu sempat mengerjakan lahan mereka sebelum dan sepulang
kerja.
“Dalam jangka 1 tahun, menanam padi diserang tikus.
Menanam singkong dan ubi rambat, tapi diserang babi.
Pada tahun 1981 memutuskan kerja di tambang kerja
tambang dalam Kitadin. Pemerintah memberi jatah 2 tahun
tidak berhasil, ditambah setengah tahun tidak berhasil.
52
Dalam jangka waktu 1 tahun, para transmigran mengalami banyak hambatan dalam
menghidupkan pertanian di Kerta Buana. Beragam jenis tanaman dicoba dan gagal; padi
diserang tikus, sedangkan singkong dan ubi rambat diserang babi. Selama 2 tahun, pemerintah
memberi bantuan bahan pokok, namun para petani belum memiliki produktivitas yang baik.
Bantuan diperpanjang selama setengah tahun, namun juga belum menunjukkan gejala para
transmigran sudah bisa hidup mandiri di lokasi baru. Banyak dari mereka mulai putus asa
dan memutuskan kembali ke daerah asal. Sebagian yang lain memilih melirik pekerjaan lain
menjadi buruh pemikul kayu gelondongan, bahkan ke luar Kerta Buana untuk menjadi buruh
bangunan di sekitar Tenggarong dan Samarinda. Banyak transmigran putus asa karena semua
usaha belum membuahkan hasil yang berarti pada tahun-tahun perdana mereka menggarap
lahan. Tak sedikit pula para transmigran yang kemudian memutuskan menjadi pekerja tambang
dalam. Sejak tahun 1981, banyak transmigran memutuskan bekerja di tambang dalam Kitadin.
Tak sedikit pula para transmigran beralih menjadi buruh karena ingin mendapatkan ongkos
kembali ke daerah asal. Bekerja di tambang dalam tampaknya merupakan satu strategi bagi para
transmigran laki-laki yang memutuskan menjadi buruh; tidak meninggalkan lahan mereka sama
sekali. Namun, seiring berjalannya waktu, lebih banyak transmigran yang memilih bertahan
di Kerta Buana. Beberapa di antaranya karena telah mengalami kemajuan ekonomi lantaran
memperoleh penghasilan dari luar pertanian. Bagi mereka yang menjadi buruh lepas tambang
dalam, besaran gaji mereka dirasa lumayan untuk menopang kehidupan sehari-hari, ketika
pertanian mereka masih sangat tidak bisa diharapkan.
123
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Tujuannya adalah mencari modal untuk dibawa pulang.
Di sini, karena tidak ada hasil, untuk biaya pulang, banyak
orang yang memiliki pemikiran seperti Bapak. Banyak yang
pulang. Orang Bali ada banyak yang pulang karena nggak
tahan. Lama-lama, orang tambang memberikan gaji pintar
juga, gaji pertama hanya seribu, terus seribu lima ratus,
terus ditambah, terus akhirnya kecantol di tambang dalam
sampai 2005. Mungkin 20-an tahun, lalu memutuskan
keluar dari Kitadin karena sudah tua,” ungkap I Wayan Try.
Minimnya keterampilan para buruh ini membuat mereka
ditempatkan pada pekerjaan-pekerjaan non-skill, namun berisiko
cukup tinggi. I Wayan Try mengemban tugas di bagian peledakan,
dengan pengaturan tata cara peledakan yang sangat ketat. Salah
satu yang diingatnya adalah peraturan UU (menyebut nomor dan
tahun) yang memberi sanksi penjara sekitar 6–7 tahun ketika
peledakan sampai memakan korban jiwa.
Dari besaran gaji yang mula-mula hanya Rp1.000,00 per
bulan pada tahun 1981, terus naik menjadi Rp1.500,00, dan terus
merangkak naik membuat para buruh kerasan. Pada tahun 1985,
I Wayan Try diangkat sebagai staf, yang bertugas mengawasi para
pekerja kontrak. Pada tahun 2005, I Wayan Try memutuskan
pensiun karena merasa sudah tua, dengan meninggalkan gaji
Rp6.000.000,00. Jumlah ini sangat besar menurutnya pada masa
itu, karena gaji PNS saat itu belum mencapai Rp1.000.000,00.
124
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 4.3 Ida Bagus MY, di sawah yang berbatasan langsung dengan eksplorasi tambang
Kitadin.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Ida Bagus MY, generasi kedua transmigran yang datang
ketika masih 6 tahun, juga memberikan kesaksian yang sama. Ia
kini telah menjadi guru PNS di SD N 011 Tenggarong Seberang
(Kerta Buana). Ia mengingat persis, pada masa kecilnya, hampir
semua dari bapak-bapak di Kerta Buana bekerja sebagai buruh
kontrak tambang. Sebagian besar suplai tenaga non-skill diisi oleh
tenaga kerja dari para transmigran Kerta Buana dan sekitarnya
saat tambang dalam dibuka.
I Wayan Try menjadi buruh kontrak tambang dalam tanpa
persyaratan yang ketat, hanya dengan menyerahkan fotokopi
KTP, ia diterima sebagai buruh di bagian peledakan. Sebagian
besar buruh dari kalangan transmigran bekerja sebagai tenaga
non-skill. I Wayan Try yang hampir 2 tahun bekerja di tambang
dalam PT Kitadin, bahkan sudah paham bahwa hampir seluruh
125
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
wilayah desa Kerta Buana ini sudah menjadi kaveling-kavelingan
perusahaan tambang.53
Para petani laki-laki mulai beralih menjadi buruh “tamda”,
lalu menjadi tenaga kerja kontrak. Mereka mengisi posisi-posisi
non-skill sebagai satpam, bekerja di unit peledakan dinamit, atau
penggali tanah. Tidak ada syarat khusus mereka untuk menjadi
buruh “tamda”. Cukup dengan mengumpulkan KTP dan surat
lamaran, siapa pun bisa menjadi karyawan kontrak di “tamda”
PT Kitadin.
“Tamda” mengubah struktur sosial masyarakat Kerta Buana,
yang semula 100% petani, menjadi terbelah antara petani dan
buruh tambang. Sejak saat inilah, mulai muncul kosakata “kerja”
dan “tidak kerja” bagi penduduk Kerta Buana. Sebutan “kerja”
adalah predikat bagi penduduk yang bekerja sebagai buruh
kontrak tambang. Sementara itu, sebagian besar penduduk
laki-laki mulai menjadi buruh kontrak di tambang, ibu-ibu dan
anak-anak merawat sawah-sawah yang sudah tercetak di sekitar
pemukiman. Para lelaki masih sempat mengurusi sawah mereka
sepulang kerja atau pada hari libur kerja.
Penghasilan sebagai buruh tambang menjadi subsidi silang
bagi kebutuhan hidup dan kelancaran usaha tani yang saat itu
masih belum terlalu bisa diharapkan. Pada tahun 1983–1984,
sawah-sawah di dekat wilayah pemukiman sudah tercetak.
Sebagian besar penduduk laki-laki bekerja sebagai buruh kontrak
tambang dengan sistem 3 sift. Sisa waktu di luar kerja sebagai
buruh masih bisa digunakan untuk bertani.
53
Menurutnya, dari Loa Kulu sampai entah ke mana, sudah jelas kotak-kotak kavelingnya;
mulai dari Fajar Bumi Sakti, Loa Kulu, termasuk Kitadin, PT MSJ; namun dampak terhadap
struktur sosial sangat masif.
126
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sekitar 1995-an hingga tahun 2003 adalah periode kejayaan
pertanian padi di seluruh wilayah L, tak terkecuali di L4 Kerta
Buana. Puncak panen raya di Kerta Buana terjadi pada tahun
2002–2004. Beberapa informan bersaksi, justru bersamaan
dengan operasi tambang dalam ini, produktivitas pertanian beras
merangkak naik. Rata-rata 1 hektar sawah menghasilkan 8–10
ton gabah.
Sisi tergelap dari masa “tamda” ini adalah banyaknya korban
tewas dari kalangan para buruh kontrak. Kecelakaan sering
terjadi akibat para buruh yang mayoritas tidak bisa membaca
atau mengenali simbol-simbol di dalam gua tambang. Tak sedikit
dari para karyawan yang salah mengenali petunjuk tanda-tanda
yang dipasang oleh pihak perusahaan. Konon, banyak korban
tewas akibat para buruh, terutama yang buta huruf, tidak bisa
membaca papan-papan petunjuk keamanan yang dipasang di
sudut-sudut tambang. Namun, tidak dipungkiri juga, “tamda” ini
menyokong kehidupan rakyat Kerta Buana yang saat itu masih
memulai hidup di tanah baru.
Tambang dalam tutup operasi pada tahun 2005, pascakematian seorang pekerja yang tercium media dan menjadi berita
besar-besaran. Menurut I Wayan Try, sebenarnya ada banyak
sekali kecelakaan kerja yang terjadi di dalam terowongan. Mulai
dari kecelakaan kecil sampai yang menelan korban jiwa. Namun,
sejauh itu masih terus ditutup-tutupi oleh pihak perusahaan.
Barulah pada tahun 2005, seorang buruh asal Trenggalek, Jawa
Timur, bernama Suharto, meninggal di dalam terowongan,
dengan posisi kepala terjepit besi (kereta besi).
Menurut I Wayan Try, kecelakaan itu terjadi karena lemah
dan lambatnya pengawasan di dalam. Sebagian besar karyawan
adalah tenaga non-skill yang tidak mengerti bahasa Inggris. Ada
127
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
banyak kecelakaan kerja di dalam terowongan, di antaranya
karena para buruh tidak memahami bahasa Inggris dan tidak
bisa membaca simbol-simbol.
2. Munculnya Kelas-Kelas Pebisnis Penggilingan Padi dan
Penjaja Beras ke Luar Kerta Buana
Pada tahun 1990-an, mulai bermunculan pebisnis
penggilingan padi di sekitar Tenggarong Seberang. I Nyoman Ry
adalah orang Bali pertama yang memiliki mesin penggilingan
padi. Sebagai Kepala Unit Dinas Transmigrasi yang khusus
memangku lokasi pemukiman transmigrasi dari L1 hingga L4,
ia sangat cepat menangkap peluang bisnis ini. I Nyoman Ry
adalah orang pertama yang memiliki mesin penggiling padi di
Kecamatan Tenggarong Seberang, bahkan ia sempat menambah
mesin penggilingnya menjadi 3 buah. Menyusul Pak Ry, beberapa
pebisnis penggilingan padi lain mulai bermunculan.
Bisnis penggilingan padi milik Pak Ry diurus oleh I Made Sky,
keponakannya yang ia datangkan dari Bali ketika masih kelas 2
SMP. I Made Sky melanjutkan sekolah di L2 sambil mengelola
bisnis penggilingan padi milik I Nyoman Ry. Saat itu, ia juga
mendapatkan satu paket jatah lahan layaknya transmigran yang
telah berkeluarga, yaitu lahan pekarangan dan rumah, lahan I dan
lahan II. Ketika itu, segala sesuatunya masih mudah menurutnya.
Segala sesuatunya diurus oleh pamannya, yang saat itu adalah
Kepala Unit Pemukiman Transmigrasi Kecamatan Tenggarong
Seberang.
128
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 4.4 I Made Sky, salah satu pebisnis penggilingan padi yang masih bertahan.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Di L2, bisnis penggilingan padi semakin menjamur. Usaha
milik I Made Sky pun semakin sulit untuk bertahan. Dua mesin
penggilingan rusak, satu-satunya yang masih bisa digunakan
kemudian dibawa oleh I Made Sky ke Kerta Buana. Di Kerta
Buana, ia menempati pekarangan I Nyoman Ry.
Di Kerta Buana, saat itu telah muncul beberapa pebisnis
serupa. Yang masih kuat dalam ingatan para informan adalah
Pak Ilham, warga trans lokal yang mendapatkan banyak ganti
rugi tanah dari klaim-klaim lahan eks praktik lahan berpindah.
Saingan Pak Sky yang lain adalah Pak Moeis, warga Bugis
pendatang yang berdagang di Jalan Poros Kerta Buana.
129
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Di Kerta Buana, Pak Sky mencoba membangun bisnis
lain agar tidak terlalu bergantung pada pamannya. Tidak lagi
menunggu para petani datang menggilingkan gabah untuk
dikonsumsi atau dijual ke tengkulak. Pak Sky mulai mencoba
peruntungan mengumpulkan gabah para petani dan menjajakan
beras ke Samarinda. Tanpa modal sama sekali, ia mengumpulkan
gabah para petani dan membayar mereka setelah mendapatkan
bayaran dari Samarinda.
Gambar 4.5 Rumah penggilingan padi yang lama, posisi di belakang warung Pak Sky, di
samping rumah yang ditempati saat ini.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Dari Samarinda, I Made Sky membawa beberapa dagangan
dari Samarinda, seperti garam, gula, sabun, dan lain-lain. Lagilagi tanpa modal, ia membayar dagangan dari Samarinda itu
setelah dagangan-dagangan tersebut laku di Kerta Buana. Bisnis
tanpa modal ini ia lakoni selama bertahun-tahun. Hidup terasa
amat berat menurutnya, karena bisnis tanpa modal, dan sarana
transportasi masih menyewa.
130
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 4.6 Kios Pak Sky yang lebih baru.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Tidak sia-sia, Pak Sky sedikit demi sedikit bisa membangun
asetnya sendiri. Dari keuletannya, ia mendapatkan kepercayaan
dari seorang juragan di Samarinda. Ia memperoleh pinjaman
modal tanpa bunga untuk membeli mesin penggiling padi yang
baru. Pinjaman itu ia kembalikan dengan cara mencicil tanpa ada
ketentuan besaran, menurut kemampuan keuangannya. Bukan
hanya sekali dua kali ia mendapatkan kepercayaan dari para
juragan di Samarinda.
Kesempatan lain juga ia dapatkan ketika ingin membeli
sebuah mobil Charry untuk memperlancar bisnisnya. Dengan
hanya bermodal 1 motor bekas, ia berhasil mendapatkan
pin jaman tanpa bunga untuk menukarnya dengan mobil
milik juragan yang dincarnya sekian lama. Mobil itu dihargai
Rp12.000.000,00 kala itu. Motor bermerek Force One pun waktu
itu hanya dihargai Rp3.000.000,00, selebihnya ia mencicil pelunasan sesuai kemampuan keuangannya.
131
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Perlahan namun pasti, Pak Sky bisa melepaskan diri dari
bayang-bayang nama besar I Nyoman Ry. Perlahan-lahan, ia
mampu membangun dan mengembangkan warungnya sendiri
dengan menjadi reseller beberapa produk, seperti tabung gas
3 kg, obat-obatan untuk tanaman, dan sembako. Tidak terlalu
banyak dagangannya, namun dari bisnis nyaris tanpa modal
ini, ia berhasil menyekolahkan anak semata wayangnya di SMK
Keperawatan di Samarinda. Kini, anaknya sudah bekerja sebagai
seorang perawat di Papua.
3. Identifikasi Kultural, Konflik-Konflik Laten atas Akses Tanah
dan Fragmentasi Tata Cara Ritual Persembahyangan
Pada masa ini, secara kultural, tampak transmigran Bali
berhasil mengidentifikasikan diri sebagai “orang Bali di Kerta
Buana” dengan baik. Dari luar, terlihat jelas bahwa mereka bisa
menghidupkan pesona budaya Bali di Kerta Buana. Berdirinya
Pura Pasopati sebagai pusat persembahyangan umat Hindu Bali
di Kerta Buana menjadi penanda utama hidupnya budaya Bali di
kampung transmigran. Pada hari-hari besar, seluruh transmigran
Bali melaksanakan persembahyangan di Pura Pasopati.
Namun, sesungguhnya ada perbedaan-perbedaan kondisi
yang sering menimbulkan fragmentasi-fragmentasi sosial.
Fragmentasi vertikal terutama tampak pada perbedaan kemampuan akses terhadap kepemilikan dan perluasan lahan.
Sedangkan, fragmentasi horisontal muncul pada acara-acara
persembahyangan di mana warga transmigran yang berasal dari
wilayah-wilayah yang berbeda di Bali merasa memiliki perbedaan
tata cara persembahyangan. Ketegangan sering muncul akibat
perbedaan-perbedaan kultural yang terbawa dari tanah asal.
132
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
a. Fragmentasi Sosial Berdasarkan Perbedaan Akses atas Tanah
Sejak tahun 1990, ketika hampir semua warga telah
berhasil menggarap lahan I, mulai tampak fragmentasifragmentasi laten antara warga yang bisa memiliki akses
yang lebih baik dalam memilih lahan II atau memperluas
lahan garapan di sekitar pemukiman, dengan mereka yang
hanya bisa pasrah menerima sesuatu yang diberikan oleh
Departemen Transmigrasi.
I Wayan Try sebagai Kepala Unit Transmigrasi, sudah
sejak awal kedatangannya, merupakan sosok yang paling
memiliki akses bisnis dan perluasan kepemilikan tanah di
Kerta Buana. Beberapa informan menuturkan bahwa pada
masa ini, Pak Ry memiliki tanah di banyak lokasi tersebar
di beberapa lokasi transmigran di Kecamatan Tenggarong
Seberang, mulai dari L1 hingga L4. Ia juga membawa beberapa kerabat asal Bali menjadi transmigran di Kerta Buana.
Bahkan, ia juga bisa meloloskan keponakannya yang kala
itu masih kelas 1 SMP, menjadi transmigran yang mampu memperoleh akses jatah tanah yang sama dengan
warga transmigran. Saat itu, persyaratan utama menjadi
transmigran ialah sudah menikah. Namun, sebagai Ketua
Unit Pemukiman Transmigran di Kecamatan Tenggarong
Seberang, ia memiliki semacam privillage untuk mengakali
semua itu.54
Pak Dewa Alit saat itu masih sebagai tokoh desa
yang sangat disegani. Tidak begitu banyak informasi
54
I Made Sky kelak juga yang akan menjalankan bisnis penggilingan beras perdana
di Tenggarong Seberang milik Pak Ry. Sambil meneruskan sekolah SMP-nya di L2, Pak Sky
menjaga bisnis penggilingan beras milik Pak Ry dan bekerja apa pun sambil membantu rumah
tangga pamannya ini.
133
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
yang berkaitan dengan usaha-usaha untuk memperluas
kepemilikan tanah. Namun, pada masa ini, ia berperan
meloloskan beberapa elite warga transmigran Bali, yang
bisa memilih lokasi lahan II yang berbeda dengan warga
pada umumnya. Perbedaan bukan hanya lokasi lahan yang
lebih dekat, tetapi juga terbebas dari penyerobotan oleh
perusahaan saat eksplorasi open pit dimulai.
Pak I Wayan Try dan I Nyoman Ltr adalah dua transmigran yang beruntung bisa memiliki lahan II di lokasi dekat
pemukiman mereka. Keduanya adalah para petani yang
terkenal memiliki keuletan di atas rata-rata petani yang
lain. Ketika para transmigran lain masih bergelut dengan
penggarapan lahan I, mereka sudah merintis pembukaan
lahan kosong yang berada di dekat lokasi lahan I mereka.
Saat itu, nilai tanah masih belum dianggap berharga. Siapa
pun boleh membuka lahan kosong yang belum ada klaim
kepemilikan oleh para trans lokal ataupun para transmigran
Bali dan Lombok. Kemudian, mereka mendiskusikan dengan
RT, Kades, dan Kepala UPT untuk mendapatkan sertifikat
legalitas sebagai lahan II mereka.
“Lahan II itu kebanyakan di daerah hutan. Sertifikatnya
kebanyakan sudah dijual ke perusahaan. Saya dulu
kan di kelompok tani. Sambil mengerjakan lahan I,
saya juga membuka lahan kosong di dekat lahan I.
Lahan ini dulu rawa, bukan bukit. Lalu, saya datang
ke Pak RT, saya bilang, ‘Pak, saya minta lahan saya
di sini saja, boleh?’ Pak RT menjawab, ‘Boleh.’ Lalu,
saya lapor ke Kepala UPT saat itu, Pak Moeis, yang
juga membolehkan. Orang-orang itu kemarin mencari
lahan II di hutan-hutan itu, ya keluar memang keluar
134
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sertifikatnya, ya dijual ke perusahaan karena lokasi
tambang,” ungkap I Wayan Try.
Hal yang sama terjadi pada I Nyoman Lt yang rumahnya
berseberangan dengan I Wayan Try. Pak Lt juga tergolong
transmigran yang sangat gigih. Seperti Pak Ty, ia juga sudah
membuka lahan-lahan kosong di sekitar area persawahan baru
di lahan I. Lahan kosong di belakang lokasi pemukimannya ia
bersihkan, kemudian ditanami singkong dan umbi-umbian
lainnya. Dalam kurun waktu kurang lebih 6 bulan, tanaman
ini sudah bisa dipanen, walaupun harus berbagi dengan babi
hutan dan tikus.
Berbeda dengan Pak Ty, Pak Lt mengalami masa-masa
di mana ia harus berhadapan dengan “orang kampung”
(penduduk lokal) yang mengaku pemilik semula lahan II
yang dibukanya. Walaupun sudah memiliki sertifikat, ia
mengalami beberapa ancaman agar bersedia menyerahkan
lahan tersebut. Namun, konflik ini tidak sampai mencuat
menjadi benturan fisik. Pak Lt dengan bantuan Pak Dewa
Alit dan Pak Abdul Waid (Kades saat itu) berhasil meredakan
ketegangan ini, dan tanah dianggap sah menjadi lahan II
Pak Lt.
Sebagian besar transmigran di Kerta Buana menerima
sertifikat lahan II tanpa mengetahui dengan pasti lokasi
lahan itu. Hingga tahun 1997/1998, para transmigran masih
sangat disibukkan oleh penggarapan lahan I. Lahan sawah
seluas 0,75 hektar terasa sangat luas bagi para petani yang
tidak memiliki teknologi pertanian canggih, hanya mengandalkan tenaga manusia, bergotong-royong saat tertentu,
atau membayar buruh bagi sebagian kecil yang mampu.
135
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Perbedaan mencolok kepemilikan lahan II ini tidak
menimbulkan konflik-konflik laten yang cukup berarti
untuk sesama transmigran Bali. Sebagian besar mereka
meyakini bahwa lahan II tidak mungkin akan berpindah
tangan, apalagi hilang, karena sudah menjadi hak mereka
yang sah sebagai peserta program transmigrasi. Hingga akhir
tahun 1990-an, sebagian besar warga transmigran, baik Bali
ataupun Lombok, baru mulai mencari atau merintis lahan
II ini, saat dimulainya eksplorasi tambang open pit mining.
b. Fragmentasi Kultural di Dalam Tata Cara Persembahyangan
Fragmentasi kultural laten sesama transmigran Bali
sebenarnya sudah ada sejak mula kedatangan dan masih
tetap bermunculan. Menurut Pariseade Hindu Dharma
di Kerta Buana, fragmentasi instrumen ritual sering kali
muncul karena perbedaan tata cara persembahyangan
menurut wilayah desa asal para transmigran. Pada awalawal kedatangan, fragmentasi instrumen ritual muncul
dengan penampakan dominasi kelompok ibu-ibu dari daerah
tertentu yang menata sesajen untuk ibadah bersama di Pura
Desa Kerta Buana (Pura Pasopat). Warga dari desa-desa lain
yang memiliki perbedaan tata cara penyusunan sesajen dan
persembahyangan cukup menjadi pengikut.
Tahun 1990-an ke atas, ketika kondisi perekonomian
telah beranjak naik, mereka yang memiliki ragam persembahyangan yang berbeda dengan yang digunakan di Pura
Pasopati mulai mendirikan pura-pura dusun. Pura-pura
ini tidak lantas mengalihkan sepenuhnya persembahyangan dari Pura Desa ke pura-pura dusun, namun hanya
136
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
mengakomodasikan persembahyangan warga dari desa asal
yang sama untuk ibadah tingkat dusun di Kerta Buana.
Sebenarnya, secara ajaran, agama Hindu dari asal
daerah mana pun sama saja, menyembah Ang Hyang
Widhi. Namun, dalam persembahyangan, sering kali
ada perbedaan-perbedaan menurut asal desanya dari
Bali. Perbedaan sebagian besar terletak pada tata cara
pengaturan sesajen. Misalnya, kalau dari pengaturan
susunan bunga untuk canang, atau menatanya di
tempat ibadah, berbeda antara satu kampung asal
yang satu dengan yang lain. Hal yang seperti ini
bisa menimbulkan ribut-ribut kecil. Sebenarnya,
perbedaan ini juga ada di keluarga-keluarga, contohnya
saya dengan istri saja berbeda. Di sini, peribadatan
rumah menggunakan tata cara persembahyangan
dari kampung saya. Istri saya ikut saja. Soal tata cara
penyusunan sesajen dan sebagainya, ia tidak mengerti
karena berbeda dengan kampung asalnya. Ia ikut
sembahyang bersama kami. Soal sesajen, ibu-ibu dari
kampung saya yang menyiapkannya, kemudian Pak
Dewa Alit yang mengatur untuk menyeragamkan agar
tidak menjadi biang keributan. Sekarang, ini sudah
tidak masalah, karena tata cara persembahyangan
khusus untuk Pura Desa seragam, baru kalau
persembahyangan di pura dusun masing-masing
menurut tata cara adat desa masing-masing (Parisade
Hindu Dharma Kerta Buana).
Perbedaan-perbedaan instrumen ritual ini mulai jarang
muncul di permukaan dalam acara-acara persembahyangan
di Pura Desa. Karisma Dewa Alit yang cukup kuat bisa membuat semua warga transmigran asal Bali meredam perbedaanperbedaan ini. Saat persembahyangan di Pura Pasopati, tata
137
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
cara peribadatan mereka menggunakan tata cara yang telah
ditentukan dalam kesepakatan para pemuka agama Hindu
di Kerta Buana.
Fragmentasi-fragmentasi dalam penyusunan sesajen
dan perlengkapannya dalam peribadatan desa membentuk
integrasi baru, walaupun tidak sepenuhnya stabil. Mereka
yang merasa memiliki tradisi yang berbeda tetap ikut dalam
kegiatan-kegiatan persiapan persembahyangan, seperti
menyusun perlengkapan sesajen. Namun, mereka tidak
mengambil peran dominan, melainkan mengambil posisi
sebagai pembantu tenaga. Sementara itu, yang mengambil
peran-peran dominan adalah warga dari kampung yang
memiliki tata cara yang lebih familier dengan model dan tata
cara yang digunakan.
Namun, dalam persembahyangan level dusun, umat
Hindu di Kerta Buana menggunakan tata cara persembahyangan yang sesuai dengan aliran-aliran yang mereka
bawa dari desa asal masing-masing. Walaupun belum
mencapai tahap yang sempurna, masa ini telah mulai bermunculan pura-pura dusun yang merepresentasikan asal
desa para transmigran. Pura-pura dusun ini sekaligus
menandakan adaptasi kultural internal warga transmigran
dalam menghadapi fragmentasi-fragmentasi perbedaan tata
peribadatan dengan sesama warga transmigran Bali asal
desa lain.
Pura Pasopati menjadi sentra integrasi transmigran
Bali di Kerta Buana, sekaligus menjadi wadah bagi persembahyangan bersama, tanpa memandang asal desa. Pura
ini menjadi penegasan posisi (cultural positioning) mereka,
sekaligus menjadi tanda bahwa mereka telah berhasil
138
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
membangun eksistensi dan identitas bersama sebagai “orang
Bali di Kerta Buana”. Di sisi lain, pura-pura dusun adalah
sarana untuk mengekspresikan identitas-identitas kultural
desa asal yang tidak bisa dimunculkan saat persembahyangan
di Pura Pasopati. Pola adaptasi ini menjelma menjadi integrasi
kultural baru, yang menyatukan perbedaan-perbedaan ini,
sekaligus mengurangi ketegangan-ketegangan yang dulu
sering muncul dalam persembahyangan bersama.
4.
Keseimbangan yang tidak Stabil: Konflik-Konflik Laten
dengan Transmigran Lokal (Kutai, Dayak) dan Transmigran
Asal Lombok
Pada tahun 1990–1997, nyaris tidak ada konflik-konflik
rasial terbuka yang cukup mengkhawatirkan. Seakan-akan masamasa ini Desa Kerta Buana telah mencapai keseimbangan yang
membanggakan dalam hubungan antara penduduk desa, yang
diwarnai secara mencolok oleh transmigran asal Bali dan Lombok,
serta beberapa keluarga dari transmigran lokal.
Integrasi sosial seakan-akan tercapai secara sempurna
dengan adaptasi budaya antaretnis yang menghasilkan kejayaan
pertanian di Kerta Buana. Orang Bali menerapkan sistem
subak, yang ditiru oleh transmigran Lombok dan lokal. Warga
transmigran lokal mengajarkan kepada warga Bali dan Lombok
mengenai cara-cara pengendalian hama-hama hutan dan musim
tanam yang tepat di Kerta Buana. Warga Bali menghormati
norma-norma Islam dalam hal makanan dengan cara menyajikan
makanan halal satu hari khusus untuk undangan muslim di
acara-acara hajatan.
139
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Namun, asimilasi budaya yang tampak sempurna dari
luar ini sebenarnya sangat rawan perpecahan. Keteganganketegangan kecil akibat perbedaan latar belakang kultural,
kepentingan-kepentingan berkaitan dengan akses kepemilikan
lahan, bantuan pemerintah, dan lain sebagainya sering terjadi.
Perbedaan-perbedaan pandangan dan kepentingan sesekali
menguat menghasilkan ketegangan-ketegangan, tetapi tidak
muncul dalam konflik yang lebih terbuka.
Perasaan sebagai pendatang mendasari sikap dan tingkah laku
para transmigran Bali ketika berhubungan dengan transmigran
lokal maupun asal Lombok. Perasaan sebagai pendatang ini
membuat semacam batas sekaligus kontrol perilaku yang cukup
kuat terhadap hal-hal yang bersinggungan dengan kelompok etnis
lain. Sikap sangat menjaga jarak terutama ketika mereka harus
berhadapan dengan perilaku beberapa penduduk lokal yang masih
meneruskan budaya ladng berpindah dan berburu binatang.
Kebiasaan ini berimplikasi terhadap klaim-klaim kepemilikan
lahan, jejak-jejak berkebun, dan perburuan, yang digunakan
sebagai klaim kepemilikan lahan.
Sikap kehati-hatian juga sangat dijaga, khususnya dalam
hal yang berurusan dengan tanah-tanah yang telah diklaim oleh
orang lokal yang biasa mereka sebut sebagai “orang kampung”.
Orang kampung yang dimaksud adalah penduduk lokal yang ikut
menjadi transmigran lokal. Walaupun tidak terlalu masif seperti
ketika eksplorasi open pit mining sudah dimulai, namun sesekali
kebiasaan segelintir transmigran lokal ini bersinggungan juga
dengan para transmigran Bali di Kerta Buana.
Menurut I Wayan Dm, hingga tahun 1998, ketika open pit,
sesekali transmigran Bali masih sering bersinggungan dengan
transmigran lokal yang masih berburu dan berpindah-pindah
140
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
tempat. Sepanjang hal itu tidak bersinggungan langsung dengan
tanah-tanah yang telah dilegalkan untuk para transmigran Bali,
maka mereka cenderung akan membiarkan saja perilaku itu,
sekaligus menghindari persinggungan yang tidak diharapkan.
“Pak Ilham dulu namanya, orang kampung, orang Kutai.
Dia itu sebenarnya bukan petani, tetapi pemburu binatang.
Rumahnya ndak pernah ditinggali, tanahnya ndak pernah
ditanami. Banyak tidur di hutan, bawa anjing. Tanah ndak
dikerjakan, namun tetap diakui. Lebih sering tidur di
atas pohon-pohon besar, dulu kan banyak. Dia itu tidak
pernah nanam. Dia lempar-lempar saja biji-bjian. Biji
karet dilempar jauh-jauh dari atas pohon. Pas tumbuh, lalu
tanahnya diklaim. Ndak cuma di sini saja, di Kilo 16 juga
begitu. Dulu banyak yang begitu katanya, tetapi setelah
transmigran datang, diusir semua sama Pak Harto. Tentara
sama tentara. Masa itu, kalau sudah tentara maju, mana ada
yang berani? Nah, Pak Ilham itu saja yang tinggal masih
suka mencari binatang buruan. Kita ini namanya pendatang
ke sini mau cari penghidupan ya biarkan saja. Liat dia ya
kita biarkan saja. Pokoknya, tanah-tanah yang diklaim itu
tidak perlu kita apa-apain,” ujar I Wayan Dm.
Sikap-sikap kompromi terhadap perilaku orang-orang
seperti Pak Ilham ini didorong oleh perasaan sebagai pendatang.
Para informan merasa, setidaknya pada masa itu, tujuan untuk
mendapatkan tanah yang luas telah berhasil didapat di Kerta
Buana. Mereka cenderung menghindari benturan-benturan
dengan orang di luar transmigran Bali agar tidak membuat
ketegangan-ketegangan. Sikap itu masih berusaha dipertahankan
ketika mereka harus bersinggungan dengan warga transmigran
lokal yang mengklaim tanah garapannya. Para transmigran Bali
141
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
sebisa mungkin menghindari konflik terbuka dengan transmigran
lokal. Mereka memilih melaporkan tekanan-tekanan klaim lahan
itu kepada kepala desa dan Kepala UPT.
Selain soal ketegangan-ketegangan yang timbul akibat
klaim-klaim tanah oleh penduduk lokal, muncul juga keteganganketegangan akibat perbedaan kultur budaya antaretnis. Ketegangan dipicu oleh perbedaan budaya, agama, atau kepercayaan.
Beberapa hal yang sering menjadi sumber ketegangan adalah
masalah anjing peliharaan yang lazim dipelihara oleh transmigran
Bali atau sanggah-sanggah tempat sesajen.
Ketegangan masalah makanan halal haram, terutama pada
acara-acara hajatan, telah bisa dikompromikan pada tahuntahun ini. Orang Bali jika mengadakan hajatan mengundang
warga beragama lain, terutama muslim, telah mampu melakukan
antisipasi dengan baik. Mereka menyajikan makanan halal
yang dimasak oleh warga muslim dan didatangkan khusus
untuk warga muslim pada hari sebelumnya. Barulah pada hari
berikutnya, hajatan khusus warga Hindu dan nonmuslim yang
bisa mengonsumsi makanan tidak halal. Adaptasi budaya ini
sudah mulai mapan pada masa-masa ini.
Ketegangan-ketegangan akibat prasangka-prasangka rasial
masih ada di antara warga Bali dengan warga transmigran
Lombok yang muslim. I Nyoman Mk mengatakan, dulu ada
banyak penamaan yang sangat tidak mengenakkan ketika
segelintir warga transmigran Lombok membicarakan instrumeninstrumen persembahyangan orang Hindu di Kerta Buana.
Mereka mengatakan bahwa orang Bali membuat tempat sarang
burung untuk sembahyang. Sarang burung adalah nama olok-olok
orang Lombok ketika melihat sanggah-sanggah yang ada di setiap
halaman depan rumah orang Bali.
142
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Sanggah-sanggah ini biasa digunakan untuk meletakkan
sesajen, bagian dari ritual persembahyangan rutin umat Hindu
di Kerta Buana. Pada masa-masa ini, sanggah masih terbuat dari
kayu-kayu yang sangat sederhana dalam ukuran relatif kecil,
sehingga ada olok-olok dari seorang transmigran Lombok yang
memberi nama dengan sarang burung. Penamaan ini menjadi
hal yang kurang mengenakkan, namun tidak sampai memicu
konflik-konflik terbuka.
Ketegangan lain juga pernah muncul akibat banyaknya anjing
peliharaan transmigran Bali yang berkeliaran di jalanan menuju
SD N 11 Tenggarong Seberang, arah ke belakang dari kantor
kepala desa. Anjing-anjing ini, menurut Bu Kmd, istri tokoh
transmigran Lombok, membuat anak-anak takut pergi ke sekolah.
Ketegangan ini menjadi salah satu hal yang memicu warga etnis
Lombok untuk mendirikan sekolah madrasah di Blok A agar
anak-anak Lombok bisa bersekolah di dekat pemukiman mereka.
Konflik-konflik ini walaupun sering memanas, namun jarang
muncul ke permukaan dan menjadi konflik terbuka. Sesekali
mengendap, tetapi tidak juga padam atau hilang sama sekali.
Namun, seiring waktu mengalami perubahan-perubahan bentuk
yang lebih halus atau mengalami penyesuaian-penyesuaian.
B. Puncak Kejayaan Pertanian dan Tragedi Lahan
II: 1998-2003
Masa open pit mining merupakan masa titik balik kejayaan
pertanian di Kerta Buana. Masa kejayaan pertanian ditandai dengan
pembuatan tempat-tempat khusus penyimpanan gabah di pemu-
143
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
kiman warga transmigran Bali. Di pemukiman transmigran Lombok,
itu ditandai dengan adanya rumah khusus penampungan zakat. Di
wilayah Desa Karang Tunggal (L2), pemerintah Dati II Tenggarong
mendirikan Rice Prossecing Unit (RPS) untuk pengolahan pascapanen.
Dari DPU pusat, rencana pembangunan bendungan telah sampai pada
tahap pembebasan tanah sepanjang jalur irigasi.
Open pit mining menjadi titik balik semua tanda puncak kejayaan
pertanian di sini. Secara legal, eksplorasi open pit baru dimulai tahun
2003. Namun, menurut keterangan para informan, secara ilegal, PT
Kitadin telah memulai eksplorasi open pit sejak akhir 1998. Tahun
ini, perusahaan tersebut sebenarnya hanya memiliki konsensi resmi
untuk underground mining. Tetapi, menurut keterangan Pak Sdy, open
pit diam-diam dimulai di Blok B, sekitar lokasi jalan masuk ke Desa
Kerta Buana yang kini berdiri monumen PT Kitadin.
Pada tahun 2003, semakin resmi beroperasi. Eksplorasi dimulai
tepat di perbukitan yang menjadi sumber irigasi para petani. Rencana
pemindahan desa yang gagal menjadi titik balik penggerusan lahanlahan produktif pertanian secara perlahan, namun pasti. Kelas-kelas
calo tanah mulai bermunculan. Perlahan, tetapi pasti, eksplorasi
memperluas alih fungsi lahan hingga tanah-tanah persawahan
produktif. Lahan persawahan kian menyempit, sumber irigasi
musnah, dan lahan berubah menjadi 100% sawah tadah hujan.
Dampak buruk eksplorasi open pit mulai bermunculan. Musim
tanam mulai sulit dikenali, produktivitas menurun, banyak hama
dan penyakit padi baru yang sulit dikenali, serta banjir dan polusi
menjadi hal yang biasa.
144
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
1. Tanda-Tanda Puncak Produktivitas Padi (1998-2000)
Glebek adalah semacam tempat penyimpanan gabah padi
yang terbuat dari kayu, mirip bangunan lumbung padi di pedesaan
Jawa masa lalu. Bedanya, glebek dibangun oleh keluarga-keluarga,
milik keluarga, bukan milik desa atau komunitas. Di lokasi
pemukiman etnis Bali, panen melimpah ruah ditandai dengan
adanya glebek-glebek di rumah warga.55 Tidak semua glebek
dibangun pada masa puncak produksi beras. Sebagian kecil
transmigran telah membangun glebek pada masa-masa sulit.
Pak I Wayan Ltr membangun glebek pada masa-masa perjuangan. Ia membuat glebek kecil, sekaligus memanfaatkan
banyaknya kayu di sekeliling pemukiman pada tahun 1985. Saat
itu, panen belum terlalu banyak, namun dirasa sangat berguna
untuk menyimpan hasil panen. Pada akhir tahun 1990-an, glebek
dibesarkan ukurannya.
I Ketut BY, generasi kedua transmigran yang sudah lahir
dan besar di Kerta Buana, memberikan gambaran lebih detail.
Menurutnya, pada tahun 2000–2004, keluarga-keluarga transmigran Bali di Kerta Buana marak membuat glebek. Hampir di semua
halaman rumah warga ada glebek dengan berbagai ukuran. Glebekglebek ini menandai mas-masa surplus produksi, di mana banyak
penduduk lokal dari Kampung Separi membeli beras murah dari
warga Kerta Buana.
55
Kmd, tokoh transmigran etnis Lombok yang sering dipanggil “Pak Imam”, memberikan
kesaksian bahwa pertanian transmigran Lombok sebenarnya juga sudah mulai meningkat pada
masa-masa itu. Momentum ini ditandai dengan melimpahnya gabah zakat masyarakat Blok A
dan B di rumahnya. Pada tahun-tahun ini, Pak Imam sampai membangun rumah baru yang
khusus untuk menampung zakat panen warga etnis Lombok.
145
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Gambar 4.7 Glebek Pak I Wayan Lt
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Bantuan traktor-traktor dan rencana pembangunan bendungan adalah penanda lain puncak pertanian padi di Kerta
Buana. Traktor diberikan kepada kelompok-kelompok tani untuk
memudahkan penggarapan sawah. I Ketut Ys, generasi kedua
yang lahir di Kerta Buana, masih ingat bahwa tahun 2004 adalah
masa-masa ledakan panen yang luar biasa di Kerta Buana. Saat
itu, Desa Kerta Buana mendapatkan bantuan 6 buah traktor dari
pemerintah Provinsi Kaltim, yang dibagikan kepada beberapa
kelompok tani. Ayahnya, Pak Dr, pernah menjadi tukang traktor.
Ia sering mengikuti ayahnya mentraktor lahan-lahan pertanian
keliling persawahan di seputaran Kerta Buana.
Masa-masa ini juga ditandai dengan pembinaan pertanian
intensif dari dinas pertanian provinsi. Bantuan obat-obatan
146
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dan pupuk sangat intens. Sosialisasi-sosialisasi tentang teknik
pertanian digalakkan. I Ketut BY mengingat, pada masa kecilnya
hingga akhir tahun 1990-an, Departemen Penerangan sering
memutar film layar tancap di pertigaan Jalan Poros, Desa Kerta
Buana (sekarang depan Kantor Desa Kerta Buana). Film-film
tentang budi daya pertanian seminggu sekali diputarkan.
Penyuluhan juga digalakkan secara intensif oleh seorang PPL
bernama Ismadi yang sangat dikenang oleh masyarakat.
Menurut Mangku Sw, pada tahun 2000-an awal, DPU telah
membebaskan banyak tanah warga untuk membuat bendungan
irigasi. Menurut mantan Kades Kedua Kerta Buana, Pak AW,
rencana pembangunan bendungan/waduk untuk irigasi mulai
dibicarakan sejak tahun 1997. Pembicaraan tentang pembebasan
tanah pun sudah dimulai pada tahun-tahun ini. Pada tahun
2000-an, beberapa check dumb telah terbangun. Seharusnya,
pembangunan berlanjut ke pembuatan bendungan untuk
menampung aliran air yang biasanya mengalir dari bukit-bukit
di sekitar Desa Kerta Buana.
“Dulu, ada PU mau bikin check dumb di sini, masuk CD
(community development) di sini, dan sudah banyak yang
dapat ganti rugi. Belakang, rumah saya kena, dari sini
sampai di sana, ndak jadi. Di Berambai, Gang Sepayung,
rencana bikin dumb. Semua yang masuk jalur irigasi
sudah dipatok-patok oleh PU, sudah dibebaskan. Itu pada
tahun 2000-an, zaman Bupati Pak Syaukani. Presidennya
kalau tidak salah Pak Habibie. Karena di sini kan memang
direncanakan jadi lumbung padi. Namun, rencana
pembuatan waduk ini kemudian tidak jelas, menguap,
setelah adanya open pit,” ujar Pak AW.
147
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Rencana pembangunan waduk irigasi ini menguap seiring
dengan dimulainya eksplorasi open pit mining. Tidak ada kejelasan
tentang kelanjutan proyek ini. Yang terjadi adalah lahan II para
transmigran dibebaskan dan di-land clearing tak lama setelah
pembagian sertifikat lahan ke para transmigran. Lahan II yang
dikenal para transmigran sebagai lahan MKT ini menjadi lokasi
pertama yang dieksplorasi ketika PT Kitadin mendapatkan izin
resmi eksplorasi open pit mining.
2. Tragedi Lahan II, Rusaknya Sumber Irigasi Pertanian dan
Pembebasan Sawah Transmigran Blok B (2000–2003)
Sengkarut lokasi dan batas-batas lahan II menjadi penanda
permulaan wacana akan beroperasinya tambang terbuka (open
pit mining). Lahan II adalah lahan jatah untuk transmigran
yang semula disediakan untuk usaha perkebunan bagi para
transmigran. Para transmigran pada awal-awal kedatangan
sudah ditunjukkan sebuah lokasi perbukitan di sisi selatan lokasi
pemukiman mereka, sebagai lahan II mereka. Pada masa-masa
awal, para transmigran masih berkonsentrasi membuka lahan
I, sekaligus mengubah lokasi hutan gambut/rawa-rawa menjadi
lahan persawahan yang bisa ditanami. Seluruh energi dikerahkan
untuk menaklukkan lokasi rawa yang nyaris tidak mereka kenali
di tempat asal. Butuh waktu bertahun-tahun hingga mereka
benar-benar bisa memiliki sawah yang bisa digunakan untuk
budi daya pertanian.
Sebagian kecil transmigran yang ulet dan memiliki kedekatan
dengan para elite desa atau petugas PPL bisa memperoleh lahan
II dengan membuka lahan-lahan kosong tak bertuan yang berlokasi di dekat pemukiman atau lahan I mereka. Ada setidaknya
148
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
dua informan yang beruntung tidak harus kehilangan lahan
II mereka, yaitu I Wayan Gs dan I Wayan Try. I Wayan Try
mengaku, saat heboh pencarian lahan II, ia menjadi pengurus
kelompok tani. Posisi ini membuatnya bisa menawar ke petugas
transmigrasi saat itu untuk menawar lokasi lain sebagai lahan II.
Saat itu, I Wayan Try telah membersihkan lahan kosong
tak jauh dari pemukimannya. Ia mengajukan lahan ini sebagai
lahan II dengan sertifikat yang telah dipegangnya. Petugas
mengabulkan keinginannya, dan ia mendapatkan lokasi lahan II
di lokasi persawahan tak jauh dari rumahnya. I Wayan Gs tak jauh
beda. Ia mengajukan lahan pekarangan belakang rumahnya yang
sudah dibukanya sebagai lahan II. I Wayan Try dan I Wayan Gs
adalah contoh dua transmigran Bali yang beruntung tidak harus
kehilangan lahan II mereka.
Gambar 4.8 Dari kejauhan, lokasi lahan II telah menjadi lembah pascaeksplorasi.
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
149
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Sebagian besar para transmigran yang lain memperoleh
lahan II di lokasi eks lahan MKT (perusahaan HPH). Lahan II
yang masih berupa hutan belantara di atas perbukitan sekaligus
merupakan sumber air yang sangat bermanfaat bagi pengairan
sawah-sawah para transmigran.
I Wayan Dm memberikan kesaksian bahwa hutan belantara
di perbukitan itu menjadi semacam pengendali alamiah aliran
air dari atas gunung yang turun ke sawah-sawah yang mereka
rintis. Hutan dan rawa-rawa yang belum terbuka itu membuat
air pada saat hujan tidak terlalu deras. Dan, ketika kemarau, air
tetap mengalir jernih dari sana, tidak pernah membuat sawah
kekeringan.
Gambar 4.9 Mangku Swd
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
150
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Para transmigran tidak pernah membayangkan akan kehilangan lahan II dengan cara-cara di luar kuasa mereka. Sebagian
besar transmigran menganggap bahwa tanah mereka tidak akan
mudah hilang karena mereka telah memiliki sertifikat tanah
yang sah, bahkan diberikan langsung oleh presiden saat itu. Para
transmigran ini tidak familier atau asing dengan budaya ladang
berpindah dan kebiasaan klaim kepemilikan tanah berdasarkan
jejak berladang. Kondisi ini membuat mereka tidak begitu
merisaukan akan kehilangan lahan yang bersangkutan.
Pada tahun 1989, I Ketut Swd, saat itu menjabat sebagai Kasi
Pembangunan Desa Kerta Buana, menghadiri acara pemberian
sertifikat untuk para transmigran di Bontang. Ketika itu, Presiden
Soeharto langsung memberikan sertifikat lahan I dan II kepada
perwakilan para transmigran.
I Ketut Swd saat itu menerima sertifikat untuk seluruh
warga transmigran Desa Kerta Buana, lahan I dan II. Setiap
nama transmigran mendapatkan dua sertifikat, dengan nama
terang dan nomor yang jelas. Lahan I tidak terlalu menimbulkan
masalah.
Lahan II menjadi polemik saat itu karena posisi lahan yang
masih belum jelas. Kebanyakan informan memberikan kesaksian
mirip tentang lokasi lahan II. Mereka merujuk kepada lokasi
eks perusahaan kayu PT MKT yang berada di sisi selatan Desa
Kerta Buana. Kondisi lokasi berupa perbukitan hutan belantara.
Sebagian besar transmigran akhirnya tidak sempat menggarap
lahan II ini. Mereka menjual lahan II dengan harga sangat murah.
Ada beberapa versi keterangan yang berbeda dari beberapa
informan tentang keputusan menjual lahan II. Versi pertama
adalah yang memberi kesaksian bahwa lahan II habis terbakar
151
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
saat kebakaran besar terjadi sekitar tahun 1987. Kebakaran ini
membuat batas-batas kepemilikan lahan II menjadi hilang sama
sekali.
Menurut tokoh transmigran etnis Lombok dan mantan Kades
Kerta Buana, AW; sebenarnya lokasi lahan II sudah ditunjukkan
oleh para petugas lapangan pada awal-awal kedatangan mereka.
Menurutnya, petugas saat itu menunjuk arah perbukitan yang
masih berupa hutan belantara itu sebagai lahan II.
Pernah suatu ketika, AW dan beberapa orang mencoba
mengecek lahan II. Saat itu, jalan setapak, dan menurutnya
belum ada jalanan yang bagus menuju lokasi tersebut. Menyusuri
rawa-rawa dan semak belukar, mereka tiba di lokasi. Hampir
seharian mereka baru bisa menembus lokasi itu. Sesampainya di
sana, mereka menyaksikan lokasi yang dimaksud masih berupa
bentangan hutan belantara. Tidak ada patok-patok pembatas
yang bisa digunakan untuk mengenali batasan-batasan hak milik
tanah antarwarga. Melihat keadaan ini, mereka memutuskan
kembali ke pemukiman dan konsentrasi menggarap lahan I yang
sudah mulai bisa digarap.
Pada sekitar tahun 1987, menurut Pak AW, terjadi kebakaran
hebat di lokasi lahan II. Kebakaran dahsyat ini menghanguskan
hutan belantara hingga menjadi hamparan arang. Saat-saat
itulah, menurutnya, pihak perusahaan mendekati pihak pemerintah desa untuk membujuk warga agar menjual lahan II kepada
perusahaan. Alasan yang dihembuskan pihak perusahaan saat
itu adalah lahan tersebut tidak jelas batas-batas pemiliknya.
Walaupun mereka memegang sertifikat hak milik, mereka tidak
bisa mengklaim lokasi persis dari tanah yang menjadi hak milik.
Sejak itu, mulailah warga transmigran ramai-ramai menjual lahan
152
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
II dengan harga yang sangat murah. Setiap satu sertifikat hanya
dijual sekitar Rp1.000.000,00–Rp5.000.000,00.
Beberapa informan yang lain menjelaskan versi lain raibnya
lahan II. Mereka memberikan kesaksian tentang adanya tumpang
tindih klaim tanah antara para warga transmigran, masyarakat
lokal, dan pendatang lain. I Ketut Swd mengatakan bahwa tahuntahun awal setelah mendapatkan sertifikat lahan II, beberapa
kelompok transmigran sudah pernah berusaha membuka lahan
II. Mereka berkelompok per RT, membuka sedikit demi sedikit
lahan II secara bergotong-royong agar bisa segera ditanami.
Kegiatan ini mereka lakukan di sela-sela kesibukan menggarap
lahan I. Ketika mendapat 2 hektar, kemudian mereka undikan
atas nama salah satu warga.
Namun, saat mereka bermaksud kembali menggarap lahan
yang telah dibuka itu, mereka mendapati ada pihak-pihak lain
yang telah menggarap lahan yang telah mereka buka. Yang
diingat Pak Ketut Swd ialah tanah itu sebagian besar diklaim oleh
warga lokal, seperti warga Separi Kampung, serta beberapa etnis
pendatang, seperti Buton, Jawa, dan Bugis.
Pak Swd mengatakan, sebagai warga transmigran, posisi
mereka menjadi terasa sulit. Mereka menyadari posisi mereka
lemah. Akhirnya, mereka pun menjual murah sertifikat lahan II.
Pada masa-masa ini, sudah beberapa orang yang berperan sebagai
pembeli sertifikat tanah lahan II. Di antara orang yang diingat
oleh I Ketut Swd adalah kepala desa masa itu, yakni I Wayan Adn
dan Pak Mkr.
Tokoh muslim etnis Lombok, Kmd, memberikan kesaksian
serupa. Menurutnya, warga transmigran etnis Lombok enggan
mengurusi tanah lahan II karena batas-batas yang tidak jelas.
153
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Selain batas yang tak jelas, lokasi tersebut telah banyak digarap
oleh warga lokal dan beberapa pendatang etnis lain. Karena
alasan menghindari keributan, mereka memilih menjual sertifikat
lahan II kepada perusahaan, baik langsung ataupun yang melalui
perantara.
Kesaksian lain diberikan oleh generasi II transmigran etnis
Bali, I Ketut Y. Pada tahun 2002, beberapa penduduk etnis Bali
berusaha mengecek tanah mereka. Mereka bermaksud membuka
kebun-kebun baru, karena pengerjaan sawah di sekitar desa
sudah selesai dan beberapa kali panen. Namun, saat itu, tanah
yang dimaksud sudah tidak ada lagi. Yang ada adalah hamparan
tanah bekas kebakaran, sudah dikuasai perusahaan, dan tidak
ada lagi batas-batas sebagai penanda hak milik orang per orang.
Dalam keadaan demikian, perusahaan mendekati warga
dan memberikan tawaran untuk menjual saja tanah itu kepada
perusahaan. Penduduk terpojok karena mereka tidak lagi bisa
menunjukkan di mana posisi tanahnya. Atas dasar itulah,
perusahaan memberi opsi, apakah mau melepaskan tanah
dengan harga yang sudah ditentukan, istilah mereka “jual surat”,
atau kehilangan tanah mereka sama sekali. Akhirnya, seluruh
penduduk menjual “surat tanah” kepada perusahaan.
Ungkapan “tanah diluh bojok” keluar sebagai ungkapan
kekecewaan, sindiran, sekaligus perlawanan khas segelintir warga
etnis Bali atas ketidakberdayaan mereka di hadapan perusahaan
dan pemerintah. Tidak terlacak siapa yang pertama kali mengatakan istilah ini. Tetapi, menurut seorang pemuda Kerta Buana,
istilah ini mulai banyak dilontarkan ketika menyadari mereka
telah dikelabui.
154
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Istilah “tanah diluh bojok” atau “tanah dilewati monyet”
(tanah dicuri monyet) digunakan oleh penduduk Kerta Buana
untuk menyindir perusahaan yang tidak adil dalam menghargai
tanah mereka. Istilah ini menjadi semacam perlawanan melalui
bahasa, yang digunakan setiap kali mereka sedang membicarakan
jatah tanah kebun 1 hektar per KK yang telah diambil alih oleh
perusahaan dengan cara yang sangat “halus”. Istilah ini juga
sering mereka lontarkan dengan nyinyir saat melintasi lokasi
tanah yang kini sudah menjadi bekas area pertambangan. Pada
tahun 2000, pada masa kepemimpinan I Wayan Adn sebagai
kepala desa, hampir semua lokasi lahan II telah dikuasai oleh
PT Kitadin.
C. Masa Open Pit Mining dan Titik Balik Kemunduran
Pertanian (2003-sekarang)
Pada 22 Desember 2000, Komisi Andal Departemen Pertambangan dan Energi menyetujui revisi Andal PT Kitadin di Embalut
untuk peningkatan produksi dan perluasan kawasan tambang.56
Perusahaan ini memiliki konsesi baru seluas 2.973 hektar, yang
bertambah 2.000 hektar dari luas areal konsesi lama yang hanya
seluas 973 hektar. Menurut tabel rencana produksi PT Kitadin yang
tercatat dalam revisi AMDAL PT Kitadin, pada tahun 2000, jumlah
rencana produksi hingga tahun 201057 adalah 1.026.389 juta ton.
Desa Kerta Buana disebutkan menjadi bagian dari wilayah operasi
tambang, bahkan merambah sisi selatan.
Jatam Kaltim mencatat, pada tahun 2003, open pit mining
dimulai. Pemerintah dan perusahaan mulai membuat tim survei
56
57
Ibid., hlm. 31, Kode Dokumen Andal KW. 96P00174/Kalimantan Timur
Ibid., hlm. 31, Kode Dokumen Andal KW. 96P00174/Kalimantan Timur
155
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
terhadap harga-harga tanah, dan mereka mulai menemui penduduk
dan pengurus desa. Lahan yang pertama kali dieksplorasi ada di
lokasi bekas lahan II milik para transmigran yang telah dijual kepada
perusahaaan. Tanah perbukitan yang semula merupakan sumber air
untuk mengairi sawah para transmigran segera berubah menjadi
kolam tambang menganga di dekat permukiman.
Pada tahun 2004, PT Mahakam Sumber Jaya mengeruk batu bara
dari sisi utara Desa Kerta Buana. Luas konsesi, Mahakam Sumber
Jaya (MSJ), adalah 20.380 hektar.58 Ada 2 kontraktor yang bertugas
melakukan eksplorasi di kawasan konsesi PT MSJ, yaitu Leighton dan
Cipta Kridatama (CK). PT MSJ memiliki tiga pit aktif. Pertama, pit
L0 yang terletak di Kilometer 27 dari arah Bontang menuju Separi,
Kutai Kartanegara. Kedua, pit Blok E yang berada di Kilometer 50
di kawasan Bontang. Ketiga, pit di Kilometer 2, sekitar Desa Kerta
Buana dan Desa Separi.
Batu bara yang dikeruk dari ketiga pit tersebut kemudian diangkut melalui jalan houling yang membentang 50 kilometer dari pit Blok
E di Kilometer 50 Bontang hingga Separi Port (Pelabuhan Penuangan
Batu Bara) berdampingan dengan Sungai Mahakam. Jalan houling
disediakan bagi tongkang-tongkang pengangkutan batu bara. Ada
tiga perusahaan kontraktor transportasi Mahakam Sumber Jaya
(MSJ) yang bertugas mengangkut batu bara dari pit ke Separi Port
(Pelabuhan Penuangan Separi), yaitu PT PCP, PT BSS, dan PT Dwi
Makmur.
Sumber Jatam Kaltim menyebutkan bahwa 1 kontraktor (PT PCP)
saja mengoperasikan 76 dump truck bermuatan maksimal 37 ton dan
50 heavy duty (HD) bermerek Komatsu yang muatan maksimalnya
60 ton. Satu perusahaan kontraktor ini saja jika bekerja maksimal,
58
Daftar PKP2B, Distamben Kaltim, 2009.
156
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sekali angkut bisa mengangkut 5.812 ton batu bara. Dalam 1 hari,
minimal terjadi 2 kali pengangkutan. Artinya, terdapat 11.624 ton
batu bara yang dikapalkan ke Pelabuhan Separi. Rerata volume
pengangkutan ketiga kontraktor PT MSJ per hari adalah 11.624 ton.
Maka, perusahaan ini mengeruk 34.872 ton batu bara per harinya.
Dalam 1 bulan penuh (30 hari), pengapalan batu bara PT MSJ bisa
mencapai 1.0461.600 ton.
1. Strategi Relokasi Desa yang Gagal Laporan
Setelah lahan II, seluruh Desa Kerta Buana dijadikan target
lokasi eksplorasi PT Kitadin. Beberapa informan mengatakan
bahwa mereka pernah mendengar desas-desus bahwa justru di
bawah lokasi Desa Kerta Buana ini ada pusat deposit batu bara
dengan kualitas yang baik. Monitoring Jatam Kaltim mencatat
bahwa pada sosialisasi besar-besaran tersebut59, tim sosialisasi
dari PT Kitadin menawarkan 4 buah opsi pembebasan tanah.60
Tokoh masyarakat muslim etnis Lombok, Kmd, mengatakan
bahwa pada tahun 2003, terbit SK Resetlement yang bertugas
menggagas relokasi Desa Kerta Buana. SK ini terbit pada tahun
2003 di mana ada nama-nama pejabat kabupaten, kecamatan,
desa, hingga tokoh-tokoh masyarakat desa.
“SK Resetlement itu dari gubernur, yang dikumpulkan
di Hotel Singgasana Samarinda untuk membicarakan
rencana relokasi Desa Kerta Buana. Ada Pak Kodim, Pak
Camat, Kepala Desa, dan tokoh-tokoh desa. Perusahaan
menawarkan model bedol desa; semua fasilitas desa
59
Laporan monitoring Desa Kerta Buana, Jatam Kaltim, September 2003, hlm. 2. Di antara
opsi itu ada jual putus, relokasi penuh, relokasi hitung aset, dan relokasi pemukiman saja.
60
Ibid., hlm. 3.
157
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
dan pribadi diganti oleh perusahaan. Semuanya sudah
dihitung; rumah, pekarangan, sawah, bahkan jumlah
pohon kelapa dan tanaman-tanaman lain, semua diganti
oleh perusahaan. Rumah-rumah, tempat ibadah, dan kantor
desa. Namun, yang membuat para tokoh keberatan saat
itu adalah pembangunan rumah dipotongkan di dalam
hitung-hitungan ganti rugi. Semuanya hampir tidak sepakat.
Pak Kodim walk out, Pak Camat menyusul, Pak Dewa
Alit juga ikutan. Jadi, pertemuan hari itu sama sekali tidak
menghasilkan apa-apa,” ungkap Kmd, tokoh transmigran
Lombok.
Pertemuan tersebut bahkan sampai membahas rincian harga
semua aset sesuai dengan keadaannya. Harga tanah dibedakan
antara tanah lahan I dan lahan II (yang masih ada), tanah yang
memiliki posisi strategis lebih mahal, ukuran dan bahan bangunan
juga menentukan harga; bahkan berbagai rumah ibadah dengan
beragam tipenya juga menentukan hitungan penggantian. Hal
yang membuat pembicaraan relokasi ini menjadi alot adalah
penggantian bangunan pemukiman dimasukkan ke dalam
perhitungan komponen ganti rugi. Dengan ungkapan lain, jumlah
uang ganti rugi dipotong sebesar harga penggantian rumah baru.
Pembicaraan menjadi sangat panas, hingga Danramil, Pak Camat
setempat, dan Pak Dewa Alit walk out. Pertemuan hari itu tidak
menghasilkan kesepakatan apa pun.61
Walaupun tidak mendapatkan kesepakatan bulat dari Tim
Resetlement saat pertemuan di Samarinda, pihak perusahaan
61
Pak Kmd mengingat dengan baik bahwa isu relokasi ini telah ditunggangi beberapa
warga yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Sejumlah warga yang dikoordinasikan
oleh warga Lombok, salah satunya bernama Kh, yang melakukan demonstrasi di depan jalan
houling menuntut agar perusahaan segera merelokasi Desa Kerta Buana. Demonstrasi ini baru
bisa dibubarkan ketika aparat keamanan menyampaikan ada ancaman dari ibu-ibu kampung
Embalut yang merasa terganggu dengan aktivitas demo ini dan siap menyerang mereka.
158
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
tidak menghentikan rencana relokasi desa. Tim monitoring Jatam
mencatat, pada 28 Agustus 2003, perusahaan mengumpulkan
warga Kerta Buana di lapangan, berniat menyampaikan kembali
rencana untuk memindahkan pemukiman masyarakat ke daerah
seberang jalan desa atau tepatnya lagi ke arah selatan Desa Kerta
Buana. Sosialisasi ini dilengkapi dengan pemasangan sejumlah
informasi seputar besaran harga ganti rugi setiap item aset yang
dimiliki warga.
Gambar 4.10 Peta konsensi tambang di Kecamatan Samarinda Deberang, tahun 2003.
(Data Investigasi Jatam Kaltim 2003)
Pak Kmd mengenang, lapangan desa saat itu dipenuhi dengan papan-papan pengumuman yang berkaitan dengan daftar
ganti rugi harga aset yang akan diberikan oleh perusahaan.
Namun, usaha ini pun kembali gagal. Kelompok transmigran
Bali (mayoritas) menyatakan menolak lewat pernyataan resmi
159
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
tokohnya, Ketua Parisade Hindu Darma Kerta Buana, Ida Bagus
Purwa.62 Pertemuan itu tidak menghasilkan kesepakatan apa pun.
Trik kedua dilakukan perusahaan dengan melakukan jajak
pendapat yang dilakukan dengan kerja sama perusahaan, ITB, dan
lembaga konsultan asing Moores Rowlands. Hasil jajak pendapat
ini diberitakan secara besar-besaran di media nasional Kompas.
Hasil penelitian yang dicurigai oleh masyarakat sebagai bagian
dari trik dan dibiayai oleh PT Kitadin itu menyebutkan, 47% KK
setuju dengan program pemindahan, 11% menerima dengan
syarat, 7% ragu-ragu, 13% tidak berkomentar, dan 22% tidak
setuju.63 Hasil jajak pendapat ini berlawanan dengan pendapat
para tokoh masyarakat setempat yang mayoritas menolak
pemindahan desa. Beberapa kali perusahaan membuat verifikasi
atas hasil jajak pendapat ini, namun hingga sekarang tidak ada
tindak lanjut pemindahan desa.
Bagi pihak-pihak yang menyetujui rencana relokasi ini,
gembar-gembor sosialisasi relokasi desa dianggap sebagai politik
pihak perusahaan saja. Pihak-pihak yang menyetujui relokasi
desa, umumnya bukanlah para transmigran yang memiliki
ikatan tanah kuat. Kebanyakan warga yang langsung menyetujui
relokasi adalah kelas para pekerja/buruh yang tidak mengalami
masa-masa sulit merintis lahan pertanian dari hutan belantara.
Mantan Kepala Sekolah SD N 011, Tenggarong Seberang,
Ch, adalah salah satu bagian dari kelompok yang menghendaki
relokasi dilakukan. Berlawanan dengan banyak kesaksian warga
transmigran, menurutnya, sebenarnya banyak penduduk Kerta
Buana yang bersedia direlokasi. Tetapi, di mata Ch, perusahaan
62
63
Ibid., hlm. 3.
Laporan monitoring Desa Kerta Buana, Jatam Kaltim, September 2003, hlm. 3.
160
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
tidak sungguh-sungguh mengambil langkah demi suksesnya
relokasi desa tersebut.
2. Strategi Gerilya Budaya dalam Pembebasan Tanah:
Penguatan Sentimen Budaya Lokal dan Pesona Gelar Haji
untuk Warga Muslim Lombok
Rencana relokasi desa yang gagal membuat perusahaan
menempuh cara-cara lain untuk membebaskan tanah di Desa
Kerta Buana. Pihak-pihak perusahaan menggandeng orangorang yang setuju dengan relokasi untuk membujuk masyarakat
setempat agar bersedia melepaskan tanah mereka. Tahun-tahun
2000-an, menurut beberapa informan di Desa Kerta Buana,
telah muncul beberapa orang yang berperan sebagai perantara
penjualan tanah antara masyarakat dan perusahaan. Ada beberapa orang yang muncul menjadi calo-calo tanah, yakni Kh (etnis
Lombok), I Wayan Ad (Bali, kades pada masa itu), dan Mkm (Bali).
Para perantara ini terus melakukan pendekatan dengan
masyarakat agar mau melepaskan tanahnya kepada perusahaan.
Pada saat yang sama, mereka juga terus menawarkan beberapa
tanah kepada masyarakat yang telah terbujuk ke pihak perusahaan. Tugas para perantara ini adalah mendatangi rumah warga
satu-per satu untuk membujuk mereka melepaskan tanahnya.
Harga awal-awal yang mereka tawarkan, menurut Kmd, mulai dari
Rp60.000.000,00 untuk 1 hektar lahan persawahan. Jumlah ini
dirasakan sangat besar bagi masyarakat setempat pada masa itu.
Para perantara mengantarkan warga yang telah setuju
melepaskan tanahnya kepada perusahaan, melakukan transaksi,
dan dibayar secara tunai. Pergerakan harga tanah terus merangkak
naik untuk mempercepat masyarakat melepaskan tanahnya.
161
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Harga mula-mula tanah dan pekarangan bergerak dari sekitar
Rp60.000.000,00, terus naik secara bertahap hingga sekitar
Rp300.000.000,00. Pada tahun 2005, menurut Pak Kmd, hanya
tinggal 2 orang yang masih mempertahankan lahan persawahan
dan rumah mereka. Satu warga terakhir yang akhirnya bersedia
melepaskan tanahnya dengan negosiasi sangat alot dibayar
dengan harga Rp1.000.000.000,00.64
Ada perbedaan khas strategi-strategi budaya yang digunakan oleh para calo tanah dalam membujuk warga untuk melepas kan tanahnya. Strategi-strategi ini dilancarkan dengan
menggabungkan sentimen budaya lokal, semangat keagamaan,
dan iming-iming keuntungan bisnis. I Wayan Try memberikan
kesaksian bahwa masa-masa ledakan pembebasan tanah itu
diwarnai dengan isu-isu sentimen budaya lokal. Warga transmigran ditakut-takuti oleh isu rasial untuk menghidupkan kekhawatiran atau ketakutan di kalangan warga.
Sentimen budaya lokal dihembuskan dengan membenturkan
orang-orang kampung65 terdekat (Separi). Para calo tanah selalu
menghembuskan isu bahwa orang-orang kampung masih ingin
merebut hak atas klaim-klaim tanah yang eks lokasi ladang
berpindah, yang kini menjadi milik warga transmigran. Mereka
selalu mengingatkan kemungkinan risiko para transmigran
akan kehilangan tanah mereka, baik dengan cara legal (gugatan
pengadilan) maupun kekerasan, seperti kerusuhan yang pernah
terjadi di Lampung. Orang-orang yang menghembuskan isu-isu
64
Pada awalnya, keluarga ini lama bertahan untuk tidak menjual tanahnya. Namun, karena
terus-terusan dibujuk, warga tersebut menawarkan harga fantastis, yakni Rp3.000.000.000,00.
Harga fantastis ini dipasang sebenarnya agar perusahaan menyerah. Melalui negosiasi bolak-balik,
warga ini menyetujui melepas tanah persawahan mereka dengan harga Rp1.000.000.000,00;
harga yang sangat mahal saat itu, atau 3 kali lipat dari harga lahan warga lain.
65
Sebutan “orang kampung” digunakan oleh warga transmigran untuk menunjuk kepada
warga etnis lokal (Dayak, Kutai) yang dulu turut menjadi warna trans lokal.
162
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
rasial ini berasal dari para calo warga sesama etnis Bali maupun
orang-orang dari perusahaan. Beberapa warga, baik etnis Bali
ataupun Lombok, ada yang kemudian melepaskan tanahnya
karena terhasut oleh isu rasial ini.
“Sebenarnya, pascapertemuan yang gagal itu, saya
mengumpulkan warga di rumah ini untuk menguatkan daya
pertahanan mereka terhadap perusahaan. Kita ke sini ini
kan mencari lahan, mengalami masa-masa susah membuka
lahan, mereka itu kan tidak tahu rasanya. Memang duitnya
dipakai untuk beribadah, tapi yang namanya naik haji itu
kan tidak semudah membalik telapak tangan. Asal punya
uang, lalu bisa naik haji. Haji itu tidak sembarangan.
Namun, rupanya ada pihak-pihak yang kurang menyukai
saya. Mereka sengaja menjajakan tanah orang transmigran
kepada perusahaan. Bahkan, saya pernah difitnah cari
untung bisnis pribadi dengan menahan warga menjual
tanah. Mereka mendatangi warga dari pintu-ke pintu,
dan akhirnya banyak yang tergiur menjual sawahnya. Di
Blok A ini, hanya tinggal 2 orang yang bertahan hingga
tahun kemarin; saya dan itu (menunjuk rumah seberang
jalan). Itu juga karena dia mendengarkan nasihat saya.
Kalau seandainya dia menggunakan pendiriannya sendiri,
mungkin juga sudah terbawa arus. Istrinya juga sangat
mendukung untuk menjual tanah. Sekarang ini, satusatunya trans Lombok yang tanahnya masih utuh cuma
saya. Bahkan, tanah pekarangan pun sudah banyak yang
mereka jual pecah-pecah kavelingan, satu pekarangan
ada yang sampai 5 atau 7 rumah. Sekarang, mereka
menyesal, tetapi sudah telanjur,” ujar Pak Imam/Kmd, tokoh
transmigran etnis Lombok.
163
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Strategi kedua yang dilakukan khusus untuk warga
transmigran etnis Lombok adalah pesona ibadah haji. Bagi
para transmigran muslim, bisa menunaikan ibadah haji adalah
impian tersendiri. Sebelum invasi perusahaan, menunaikan
haji hanyalah merupakan impian yang mustahil diwujudkan di
kalangan masyarakat transmigran ini. Walaupun produksi padi
beranjak naik, saat itu, rata-rata hasil panen belum banyak dijual
ke luar Kerta Buana. Untuk menghasilkan untung, kebanyakan
orang masih menyimpan hasil panen untuk persediaan makanan
keluarga. Tidak pernah terbayangkan pada masa itu mereka bisa
memegang uang juta-jutaan.
Sejak tahun 2003-an, menurut Pak Imam, mulai ada 1 atau
2 warga tergiur uang. Semakin lama, semakin banyak warga
etnis Lombok yang melepas tanahnya ke perusahaan. Ledakan
orang naik haji terjadi mulai tahun-tahun ini. Lahan persawahan
warga etnis Lombok, terutama yang di Blok B, sudah diambil alih
perusahaan. Pak Imam kini satu-satunya warga etnis Lombok
yang masih memiliki tanah utuh, baik pekarangan maupun lahan
sawahnya.
3. Transmigran Bali Menghadapi Godaan Pelepasan Tanah
Lahan II menjadi lahan transmigran Bali yang pertama kali
dilepas untuk dijual kepada perusahaan. Keputusan menjual
lahan II pada umumnya karena kesadaran akan posisi sebagai
pendatang yang lemah dalam berhadapan dan mempertahankan
klaim tanah melawan transmigran lokal. Hampir semua informan
dari transmigran Bali sangat berhati-hati dalam menjawab
pertanyaan terkait dengan pelepasan lahan ke perusahaan.
164
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Menurut Pak Ty, ikatan orang Bali dengan tanah sangat kuat.
Terlebih lagi tujuan para transmigran datang ke Kerta Buana
adalah mencari tanah. Namun, perusahaan juga terus melakukan
pendekatan. Menurutnya, ada orang dalam perusahaan yang
memang ditugaskan khusus untuk melakukan pendekatan
kepada warga transmigran. Perusahaan juga menggunakan orangorang dari warga transmigran yang dipercaya untuk melakukan
pendekatan langsung ke rumah-rumah warga. Pada tahun
2000–2003, dipastikan hampir semua lahan II yang berlokasi di
eks lahan MKT sudah dikuasai oleh PT Kitadin.
Tidak ada satu pun informan dari warga transmigran Bali
yang bersedia menggambarkan situasi pendekatan-pendekatan
pihak perusahaan agar para transmigran melepaskan lahan II.
Namun, tokoh transmigran etnis Lombok, Pak Kmd, menggambarkan agak detail tentang masa-masa perusahaan terusmenerus melakukan persuasi agar warga transmigran bersedia
melepaskan tanahnya.
Jalan gerilya membujuk penduduk dari rumah ke rumah
tampaknya menjadi sangat efektif untuk mendapatkan lebih
banyak lahan masyarakat yang bisa ditambang. Beberapa tokoh
masyarakat mengatakan bahwa peran kepala desa pengganti
Dewa Alit memuluskan jalan penundukan penduduk yang
antipasti tambang. Kades yang berkuasa seputaran 2003 ini
konon juga menjadi makelar yang menghubungkan masyarakat
yang telah bersedia melepas tanah kepada perusahaan.
Ada perbedaan karakter budaya yang cukup signifikan antara
penduduk etnis Bali dan Lombok dalam menghadapi kepungan
tambang dan godaan melepas tanah. Perbedaan meliputi ikatan
terhadap tanah, alasan pelepasan tanah, dan penggunaan uang
ganti rugi, sebagaimana yang tampak pada tabel berikut:
165
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Perbedaan Karakter Budaya dan
Sikap
Hal
Bali
Lombok
Ikatan dengan
tanah
Sangat kuat; mitos Cair; sekadar aset
Dewi Sri
Alasan pelepasan
tanah
Karena sudah
tercemar tambang
Karena harga cocok
Penggunaan uang
ganti rugi
Investasi
Naik haji
Peralihan profesi
Pekebun sawit
dan pengusaha
transportasi
Buruh tambang
dan petani tanpa
lahan
Tabel 4.2 Perbedaan sikap etnis Bali versus Lombok
dalam merespons godaan pelepasan tanah
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Etnis Bali memiliki ikatan sangat kuat dengan tanah. Bagi
mereka, Kerta Buana adalah “tanah harapan”. Tanah di Kerta
Buana telah diberkahi oleh Dewi Sri, dewi dalam limpah ruah
panen padi. Sikap ini dianggap mutlak sebagai perwujudan rasa
syukur kepada Dewi Sri yang telah memberi kesejahteraan. Orang
Bali sangat sulit melepas tanah, apalagi tanah masih produktif,
walaupun ditawari ganti rugi yang menggiurkan.
Sebagian besar penduduk Bali keberatan melepas tanah.
Sebagian kecil yang melepaskan tanah adalah orang-orang yang
beralasan tanahnya telah tercemar tambang atau sulit digarap
karena tidak ada lagi sumber air dari atas. Beruntung jika tanah
yang ingin dilepas ini ada kandungan batu bara, maka harga tanah
bisa dibayar layak. Namun, bagi tanah-tanah yang di lapisan
bawahnya tidak ada kandungan batu bara, atau ada kandungan
166
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
batu bara, namun kalorinya dianggap kurang, maka harga
tanah akan sangat murah. Di sini, petani rugi dua kali; pertama,
tanahnya sudah kritis, tidak bisa ditanami lagi atau produksinya
sangat rendah, dan kedua, harga jual sangat rendah, sedangkan
tanah adalah satu-satunya aset mereka.
Berbeda dengan etnis Lombok, kebanyakan penduduk etnis
Bali yang menjual tanah menggunakan uang untuk investasi.
Sebagian besar dari mereka membeli tanah di luar Kerta Buana,
kemudian membeli kebun kelapa sawit di sekitar Kukar dan
Kutim. Di Kerta Buana, muncul kelas-kelas pemilik kebun sawit
yang relatif luas di luar Kerta Buana. Banyak keluarga etnis Bali
bisa menyekolahkan anak-anak mereka sampai bangku kuliah
dari hasil sawit ini, walaupun di Kerta Buana, mereka hanya
petani dengan lahan sangat sempit. Beberapa keluarga lain
menggunakan uang ganti rugi untuk investasi di bidang jasa
angkutan, seperti membeli armada bus untuk disewakan ke
tambang.
I Wayan Adn adalah salah satu wirausahawan sukses pada
masanya. Saat para transmigran masih berpeluh keringat
membuka lahan, ia menjual rumah transmigrannya untuk
modal usaha. Penjualan lahan ini digunakannya untuk membeli
pekarangan di pinggir Jalan Poros, meskipun hanya bisa
mendapatkan pekarangan yang jauh lebih sempit. Lokasi
baru ini digunakan untuk merintis usaha warung sembako. Ia
muncul sebagai pedagang sukses di Kerta Buana, bahkan sempat
melebarkan usaha di bidang transportasi.
Ketika kondisi jalan dan transportasi Kerta Buana-Samarinda masih begitu sulit, ia telah memiliki armada mobil
merek Charry yang difungsikan sebagai jasa transportasi Kerta
Buana-Samarinda atau sesuai pesanan penyewa. Kesuksesan
167
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
usaha ini mengantarkannya memenangkan pilihan kepala desa
dan menjabat pada tahun 2000-an. Akhirnya, ia mengalami
kemunduran usaha saat memasuki ranah bisnis kayu.
Sebagian besar transmigran etnis Bali memilih investasi
tanah sawah atau perkebunan ketika harus menjual lahan mereka.
Ada semacam rumus baku yang berlaku universal di kalangan
mereka, yakni “jual tanah kembali ke tanah”. Ini merupakan
prinsip yang dipegang cukup kuat. Beberapa informan bersaksi
bahwa banyak warga transmigran Bali yang kelihatan di Kerta
Buana biasa-biasa saja, tetapi mereka memiliki aset yang cukup
besar di luar Kerta Buana.
Ni Wayan Gs adalah contoh dari tipe ini. Lahan I yang tak
bisa lagi dipertahankan karena lokasi sudah terkepung tambang.
Keluarganya menginvestasikan hasil penjualan lahan untuk
perbaikan rumah ibadah, rumah tinggal, membeli beberapa petak
sawah dari transmigran lain, dan membeli 2 hektar kebun sawit
di wilayah Kutai Timur.
Walaupun lahan persawahan (lahan II) jatah transmigran
sudah habis, namun keluarganya tidak mengalami kesulitan
ekonomi yang cukup berarti. Satu orang anaknya masih kuliah
di Samarinda, anak yang pertama sudah bekerja; mereka tampak
hidup dengan bersahaja, tetapi memiliki aset cukup besar untuk
ukuran para transmigran di Kerta Buana.
Sebaliknya, warga etnis Lombok kurang memiliki ikatan
yang kuat terhadap tanah. Sejak awak kedatangan saja, banyak
etnis Lombok yang sudah menyerah kembali pulang ke kampung
halaman dan menjual tanah mereka ke sesama warga transmigran
dengan harga yang sangat murah. Pada tahun 2003/2004, saat
PT Kitadin mulai melakukan gerilya dari rumah ke rumah, mulai
168
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
muncul tren naik haji di kalangan penduduk etnis Lombok yang
mayoritas muslim. Ketika itu, berkembang semacam tren bahwa
warga yang mampu naik haji adalah warga yang hidup sukses di
perantauan. Tahun-tahun ini merupakan masa penduduk etnis
Lombok berbondong-bondong naik haji dengan uang ganti rugi
lahan.
Pada tahun 2004, sebagian besar tanah warga etnis Lombok
di Blok B sudah menjadi milik perusahaan. Sebagian tanah
langsung dieksplorasi, sedangkan sebagian lain tetap dikerjakan
oleh penduduk, namun status kepemilikan sudah berada di
tangan perusahaan. Pada periode ini, muncul kelas-kelas sosial
baru di Kerta Buana; penduduk laki-laki etnis Lombok yang
menunaikan ibadah haji dengan uang ganti rugi tanah. Secara
religi, mereka menyandang status haji. Namun, pada saat yang
sama, mereka menjadi petani penggarap tanah perusahaan yang
harus mereka tinggalkan kapan pun perusahaan akan melakukan
eksplorasi di tanah yang bersangkutan.
Pada tahun 2003 ke atas, menurut beberapa informan, terjadi
ledakan animo masyarakat pergi naik haji yang cukup besar;
warga muslim Lombok di Kerta Buana. I Ketut Ys mengingat
bahwa tahun-tahun ini, ada semacam tren baru di kalangan
masyarakat etnis Lombok di Kerta Buana, bahwa yang dianggap
sebagai “orang keren” adalah yang sudah berhaji. Gelar haji
menjadi penanda kesuksesan hidup umat muslim etnis Lombok
di Kerta Buana. Semua keluarga yang melepaskan tanah ke
perusahaan digunakan untuk naik haji.
Suatu kali, menurut Pak Kmd, satu keluarga sampai ada
6 anggota keluarganya naik haji secara bersamaan. Bahkan,
pernah terjadi dalam 1 kali masa pemberangkatan haji, warga
Kerta Buana tercatat sebanyak 40 warga melakukan ibadah haji
169
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
pada tahun yang sama; semuanya warga etnis Lombok. Jumlah
ini sangat fantastis untuk wilayah desa. Ia mengingat, betapa
ia kewalahan membantu melayani pengurusan surat-menyurat
berkas perlengkapan naik haji warga.
4. Munculnya Kelas-Kelas Sosial Baru di Kerta Buana
Perubahan Kerta Buana dari wilayah desa pertanian padi
menjadi desa terkepung tambang melahirkan kelas-kelas sosial
baru. Kelas-kelas baru ini muncul, terutama pascatambang
terbuka. Beberapa kelas baru yang muncul pascatambang open
pit mining adalah sebagai berikut:
a. Kelas Pengusaha Transportasi
Kelas ini muncul dari segelintir warga etnis Bali yang
memutuskan menjual tanah mereka kepada perusahaan
untuk berinvestasi di luar bidang pertanian. Salah satu yang
pernah dianggap sukses adalah I Wayan Adn, mantan kades,
yang juga dikenal sebagai makelar tanah ke perusahaan.
Ia juga sering disebut-sebut beberapa informan sebagai
“tertuduh” yang juga turut serta menjadi corong perusahaan,
sekaligus membujuk warga agar bersedia melepaskan tanahtanah mereka. Belakangan, ia juga dikenal sebagai pengusaha
kayu lokal, sebelum akhirnya bangkrut karena larangan
perdagangan kayu ulin.
Selain I Wayan Adn, muncul seorang pendatang yang juga
sukses membangun usaha transportasi lokal, yang membeli
banyak armada bus untuk antar-jemput karyawan tambang,
170
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
sekaligus menyewakan dumb truck atau mobil double garden.
Beberapa pengusaha transportasi lokal muncul dari kelaskelas karyawan tambang. Umumnya, mereka mengajukan
kredit bank untuk membeli armada double garden atau mobil
biasa untuk disubkontrakkan sebagai kendaraan tambang.
b. Kelas Karyawan Tambang
Kelas buruh tambang didominasi oleh tenaga kerja
pendatang yang bekerja sebagai para operator tambang. Saatsaat awal tambang terbuka beroperasi di sekitar Kerta Buana,
para pekerja yang bertindak sebagai para operator masih
banyak didatangkan dari luar Kerta Buana, bahkan luar
Kaltim. Saat ini, generasi kedua dan ketiga keturunan para
transmigran, telah banyak yang bekerja sebagai operator.
Kelas karyawan tambang sebagai karyawan tetap muncul
pada generasi kedua transmigran, yakni anak-anak yang lahir
di Kerta Buana, yang sebagian berpendidikan SMP/SMU.
c.
Kelas Buruh Non-Skill/Buruh Kontrak
Kelas ini telah muncul sejak PT Kitadin melakukan
eksplorasi dengan sistem tambang dalam. Jumlahnya
semakin berkurang seiring ditututupnya tambang dalam
berganti dengan tambang terbuka. Pada sistem tambang
terbuka, tenaga buruh minimal memiliki ijazah SMU
sederajat dan mampu mengoperasikan alat berat. Posisiposisi untuk tenaga buruh non-skill semakin terbatas hanya
untuk tenaga peledakan dinamit dan waker.
171
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
d. Petani Tak Berlahan Bergelar Haji
Kelas petani penggarap lahan perusahaan muncul
seiring keberhasilan perusahaan membujuk penduduk Kerta
Buana untuk melepaskan tanah. Jumlah terbanyak dari
kelas petani tanpa lahan ini adalah para transmigran etnis
Lombok yang melepaskan tanah dan menggunakan uang
untuk beribadah haji. Mereka masih tetap menggarap lahan
bekas milik mereka, namun harus siap setiap saat merelakan
tanamannya tergusur kapan pun oleh perusahaan, yang akan
mengeksplorasi lahan itu.
e.
Polisi
Kelas polisi muncul pada generasi kedua para transmigran. Sangat menarik bahwa kelas baru di atas kelas buruh
tambang yang muncul adalah kelas para polisi. Setidaknya,
ada 20 generasi kedua dari para transmigran ini menjadi
polisi. Namun, beberapa kesaksian mengaku belum ada
peran yang cukup berarti terkait para polisi warga asli Kerta
Buana ini dalam meningkatkan daya tawar masyarakat di
hadapan tambang.
D. Pergeseran Tipe-Tipe Konflik (2005–Sekarang)
Konflik-konflik memang sudah ada sejak awal mula kedatangan
para transmigran. Konflik-konflik lebih banyak bersifat laten.
Ketegangan-ketegangan rasial sesekali ada, namun tidak pernah
muncul dalam skala manifes. I Wayan Mkr pernah merasakan ada
tekanan atau semacam pelecehan yang tak terang-terangan terhadap aktivitas peribadatan Hindu dan sesajen yang dibuat oleh para
172
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
transmigran Bali. Sebaliknya, istri Kmd, sesepuh transmigran muslim
etnis Lombok, juga mengaku pendirian madrasah di Blok A, salah
satunya dilatarbelakangi keluhan banyaknya anjing peliharaan warga
etnis Bali yang membuat anak-anak etnis Lombok takut pergi ke
sekolah.
Konflik-konflik laten berbau rasial sangat sering terjadi, namun
jarang sekali yang berkaitan dengan perebutan aset-aset material.
Ismadi mengatakan, pernah sekali saja ia melerai konflik antara
etnis Lombok dengan Kutai. Konflik itu dipicu oleh penyemprotan
pestisida di sawah-sawah yang menyebabkan matinya bebek-bebek
peliharaan transmigran lokal etnis Kutai. Saat itu, konflik sempat
sangat panas, hampir saja terjadi perkelahian massal. Tetapi, petugas
keamanan dari Polda Samarinda datang tepat waktu. Setelah itu,
menurut Ismadi, tak pernah lagi terjadi konflik rasial yang serius.
Namun, sering terjadi pencurian bantuan jatah pupuk, pestisida, dan
bibit-bibit oleh oknum-oknum transmigran lokal, tetapi sepenuhnya
adalah kasus-kasus kriminal biasa.
Konflik-konflik yang terjadi pascaeksplorasi open pit mining menampilkan tipe-tipe yang sama sekali berbeda. Konflik-konflik lebih
bersifat manifes, sangat kelihatan di permukaan dengan cakupan
pihak-pihak yang lebih kompleks dan meluas. Konflik-konflik
juga lebih mengarah kepada klaim-klaim aset material, bukan lagi
kecurigaan-kecurigaan, stereotip, ataupun perbedaan nilai-nilai
etnisitas dan agama. Pada awal-awal eksplorasi, konflik-konflik didominasi oleh pencemaran limbah tampang yang dirasakan mengganggu
aktivitas pertanian ataupun ketenangan hidup di pemukiman. Makin
lama, konflik bergerak ke arah isu-isu kepemilikan dan ganti rugi
tanah.
173
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
1. Konflik Ganti Rugi Gagal Panen
Jatam Kaltim mencatat, sejak tahun 2003, banyak kasus
pencemaran limbah tambang ke kawasan pertanian warga Kerta
Buana. Sawah-sawah yang berdekatan dengan lokasi eksplorasi
tambang mulai merasakan dampak sedikit demi sedikit. Dampak
yang pertama kali dirasakan adalah kondisi air yang mengairi
sawah-sawah mereka menjadi tidak sejernih sebelumnya. Air
irigasi mulai berwarna kecokelatan, semakin lama semakin keruh,
bahkan hingga berwarna cokelat tua atau kehitam-hitaman.
Kualitas air dicurigai menjadi kurang baik untuk pertumbuhan
tanaman, namun 1 atau 2 tahun pertama, warga masih sebatas
saling mengeluh. Lama-kelamaan, para petani merasakan
kerugian yang semakin besar, yang mendorong warga melakukan
protes ke perusahaan. Berikut penjelasan selengkapnya:
a.
Jatam Kaltim mencatat, setidaknya 2 kali protes warga
terjadi pada tahun 2005 karena gagal panen. Protes pertama
terjadi karena seluas 100 hektar sawah petani di Dusun
Sidha Karya dan Budi Daya dicemari oleh limbah tambang,
termasuk oli mobil berat. Protes ini mendorong perusahaan
untuk memberikan ganti rugi kepada petani, namun tidak
sebanding dengan kerugiannya. PPL setempat, Bu Leleng,
menceritakan bahwa besaran ganti rugi dalam kejadian ini
hanya berkisar Rp1.000.000,00–Rp1.5000.000,00. Jumlah
ini menurutnya sangat tidak sebanding dengan nilai kerugian
para petani. Hitung-hitungan saat itu, biaya tanam untuk
lahan seluas I hektar mencapai Rp5.000.000,00.
b. Masih pada tahun yang sama, limbah PT MSJ kembali membenamkan lahan sawah warga. Menurut ketua kelompok Tani
174
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Karya Bhakti, MK; banjir disertai limbah MSJ disebabkan
oleh jebolnya tanggul perusahaan. Para petani gagal panen
total dan hanya diganti rugi uang Rp1.500.000,00 untuk
kerusakan 100%. Sedangkan, untuk kerusakan 50% hanya
diganti uang Rp750.000,00.
c.
Mantan Kepala Sekolah SD N 011, Tenggarong Seberang,
Ch, mengatakan bahwa jebolnya tanggul perusahaan
mengakibatkan banjir, bukan hanya menimpa sawah-sawah
warga, namun juga masuk ke rumah-rumah penduduk,
terutama di sekitar Blok A dan B. Ch tidak ingat persis tahun
kejadiannya, sekitar 2006–2007. Karena kerugian yang
ditanggung masyarakat dirasa sangat besar, menurutnya
saat itu terjadi demo besar-besaran oleh warga pemilik
sawah dan penghuni Blok A dan B. Ch menggambarkan
demo itu sebagai demo spontan karena tiba-tiba banjir
sampai masuk rumah, bahkan mencemari sumur-sumur
warga. Namun, ia juga mengaku mengorganisir demo warga
ini bersama Dm (anak Dewa Alit), Kh, Rv, dan lain-lain. Ch
dan teman-temannya mengaku merasa bertanggungjawab
agar warga bisa mendapatkan ganti rugi yang layak dengan
hitung-hitungan yang rinci dan jelas. Menurutnya, saat itu,
hitung-hitungan hingga sampai pada item kerugian terkecil,
seperti sandal yang rusak, air sumur yang tercemar, jemuran
yang hanyut, dan lain sebagainya. Demo segera dihentikan
setelah perusahaan dan perwakilan masyarakat mencapai
kesepakatan besaran ganti rugi. Ch tidak mengingat dengan
rinci besaran ganti rugi per item barang, namun menurutnya
respons perusahaan cukup baik.
175
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Gambar 4.11 Pak Ch., Mantan Kepala SDN 011, Tenggarong Seberang
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
d. Kerugian nonmaterial pernah dirasakan oleh warga Blok
C1 dan C2 yang berdekatan dengan eksplorasi PT Kitadin.
Kepada Jatam Kaltim, Dewa Alit pernah mengeluhkan jarak
eksplorasi tambang yang hanya 50 meter dari rumahnya,
dan ada danau raksasa seluas 30 hektar dengan kedalaman
30 meter (ukuran terpampang tak jauh dari lubang tambang
ini) di sebelahnya. Waktu masih beroperasi, blok ini paling
merasakan getaran blasting sampai-sampai membuat
rumah warga retak-retak. Pekarangan pelan-pelan longsor,
dan pohon-pohon singkong di belakang rumah juga ikut
mati. Lubang semakin besar karena terkena air hujan. Jika
176
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
perusahaan melakukan peledakan, kerap terjadi getaran
yang mampu membuat retak rumah beton, debu yang tidak
dapat dikontrol, suara gemuruh operasi yang mengganggu
istirahat penduduk, dan hilangnya sumber air penduduk.
Perusahaan sempat menghentikan operasinya di Blok C2 ini
karena diprotes warga.
2. Ketegangan Rasial Konflik Kepemilikan Tanah
Sebenarnya, konflik-konflik sudah ada sejak awal mula
kedatangan para transmigran. Konflik-konflik laten pun telah ada
ketika penduduk lokal dipaksa keluar dari wilayah Kerta Buana
dan sebagian besar wilayah Tenggarong Seberang. Para informan
dari kalangan transmigran etnis Jawa dan Bali maupun para
transmigran lokal sama-sama mengerti bahwa sebagian besar
lokasi Desa Kerta Buana adalah lokasi eks ladang berpindah penduduk lokal. Berikut penjelasan selengkapnya:
a.
Pada tahun 2007–2008, warga Blok D, Pak Dr, memimpin
gerakan karena eksplorasi tambang PT MSJ menyumbat jalur
irigasi pertanian mereka. Pak Dr sendiri hanya mengingat
berdemo dengan 7 orang anggota yang memiliki sawah
di sekitarnya. Namun, Jatam Kaltim mencatat, demo ini
semula diikuti oleh perwakilan 13 kelompok tani yang
lokasi sawahnya saling berdekatan. Demo berlangsung kurang lebih 1 minggu, tetapi pada hari-hari terakhir hanya
menyisakan 7 orang anggota. Para pendemo melakukan aksi
dengan memasang tali rafia mengelilingi lahan sawah mereka
yang juga berfungsi memblokade lalu-lalang kendaraan
tambang. Pada hari ketujuh aksi, Dr dan teman-temannya
diintimidasi oleh sekelompok orang yang mengaku sebagai
177
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
orang Kutai, putra daerah. Kelompok orang ini memaksa
agar demo dihentikan karena mengganggu keamanan
eksplorasi tambang. Intimidasi terus berlangsung hingga
akhirnya seluruh anak buah Dr menghentikan demo dan
menyerah menjual lahan mereka ke PT MSJ. Setelah itu,
satu per satu lahan di sekitar Pak Dr dibeli oleh PT MSJ
dengan harga yang bervariasi. Orang-orang yang melepaskan
lahan pada masa awal hanya dihargai Rp30.000.000,00,
yang terus beranjak naik dan mentok pada harga tertinggi,
yakni Rp80.000.000,00. Beberapa bulan kemudian,
tinggal Pak Dr yang mempertahankan sawahnya. Pak Dr
melanjutkan aksi demo sendirian dengan cara yang sama,
yaitu membentangkan tali rafia di sekeliling lahan sawahnya,
sedangkan di tengah-tengahnya dipasang bendera merah
putih. Berkali-kali perusahaan berusaha melakukan negosiasi
agar ia mau melepaskan tanahnya, karena hanya ia satusatunya orang yang belum melepaskan sawahnya. Berbagai
bujukan perusahaan gagal, akhirnya pengalaman intimidasi
sekelompok orang mengaku putra daerah kembali dialaminya.
Intimidasi ini pun dilawannya dengan berani. Akhirnya, ia
ditangkap polisi tanpa pengadilan dan dijebloskan ke dalam
penjara selama 3 bulan. Atas pertolongan pejabat setempat
yang berempati terhadap Pak Dr, ia bisa keluar dari penjara,
dan berhasil membuat perusahaan mengalami tekanan dari
pemerintah kabupaten saat itu. Dengan nego yang alot, Pak
Dr melepas tanahnya dengan harga Rp1.000.000.000,00 atau
10 kali lipat dari harga yang dibayarkan kepada para petani
sebelumnya.
178
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 4.12 Pak Dr dari Blok D
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
b. Pada tahun 2015–2016, beberapa pemuda yang dimotori
oleh seorang mahasiswa asal Kerta Buana juga melakukan
demo menuntut penghentian semua perusahaan tambang
di sekitar Kerta Buana. I Ketut Y mengatakan bahwa demo
ini kemudian dibenturkan dengan orang-orang kampung
(penduduk lokal). Menurutnya, perusahaan sengaja membenturkan warga secara horizontal agar masyarakat berkelahi
sesama teman sendiri. Demo ini pun dibubarkan oleh aparat
desa dan keamanan dengan dalih keamanan, tanpa ada
jawaban pasti dari pihak perusahaan. Sejak saat itu, intensitas demonstrasi semakin menurun, bahkan cenderung
dihindari karena mereka mengaku hanya akan diadu oleh
sesama teman sendiri.
179
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
c.
Pada tahun 2017 akhir, ketika harga batu bara mulai naik,
warga Blok C mengalami intimidasi rasial yang kemudian
mendorong mereka melepaskan tanah mereka kepada
perusahaan. Salah satu yang mengalami hal ini adalah
menantu Mangku Swd. Menurut Mangku Swd, “orang
kampung” mendatangi Blok C, lalu melakukan intimidasiintimidasi yang membuat warga etnis Bali gelisah. Mereka
mengklaim tanah-tanah warga Blok C adalah tanah leluhur
mereka yang seharusnya menjadi hak milik mereka. Atas
dasar itu, mereka meminta agar menantunya itu menjual
tanah ke perusahaan dan membagi dua hasil penjualan
kepada orang ini. Karena terus ditekan, maka menantu Swd
menyerah. Lahan pekarangan yang sudah berbatasan dengan
eksplorasi tambang itu dijual seharga Rp3.000.000.000,00,
dan dibagi 2 dengan orang yang mengklaim itu. Saat ini,
menantu Swd telah membeli tanah di lokasi lain dan
membangun rumah baru yang megah. Menurut Swd,
banyak warga Blok C yang mau tak mau melepaskan tanah
mereka karena intimidasi yang sama. Kini, menurutnya,
sudah separuh lebih pemukiman Blok C beralih tangan ke
perusahaan.
E. Kampung Terkepung Tambang, Penyempitan
Lahan, dan Penurunan Produktivitas Pertanian
Pada tahun 2010, Jatam Kaltim membuat peta kasar kondisi Desa
Kerta Buana yang cukup memprihatinkan. Desa ini terapit oleh dua
perusahaan tambang besar di sisi kanan dan kiri, beserta puluhan
kontaktor dan subkontraktor. Eksplorasi tambang yang mengepung
Desa Kerta Buana ini pada tahun 2010 setidaknya telah menghasilkan
180
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
14 danau lubang tambang dengan ukuran bervariasi di sekitar desa.
Lubang tambang ini sekarang sebagian sudah ditutup, sedangkan
sebagian masih menganga, bahkan dimanfaatkan oleh warga untuk
mengairi sawah dan memelihara ikan. Pada tahun 2015, danau lubang
tambang di belakang Blok A “menelan” 3 pelajar SMU.
Gambar 4.13 Peta kasar jumlah lubang tambang pada sekitar tahun 2010
(Jatam Kaltim 2010)
Pembebasan lahan pertanian yang terus berlangsung selama 2
dasawarsa terakhir juga menyebabkan perubahan distribusi pemanfaatan lahan di Desa Kerta Buana. Monografi Desa Kerta Buana
menunjukkan presentasi lahan sawah kurang dari 25%, sekitar 15%
lahan sawah nonproduktif, dan selebihnya adalah lahan pemukiman.
Data tahun yang sama menunjukkan kenyataan yang mencengangkan.
Kurang dari 25% lahan persawahan yang masih menjadi milik sah
181
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
warga Kerta Buana, dan hampir 80% area persawahan telah menjadi
lahan milik perusahaan.
Gambar 4.14 Komposisi fungsi dan kepemilikan lahan di Kerta Buana
(Jatam 2010)
Lahan pertanian di Kerta Buana kini mengalami degradasi yang
memprihatinkan. Luas lahan pertanian semakin menyempit karena
desakan korporasi tambang. Kualitas air irigasi juga dikhawatirkan tak
lagi ramah untuk pertumbuhan padi karena tak ada satu pun aliran
air ke sawah-sawah di Kerta Buana kini yang tidak terkontaminasi
oleh limbah tambang. Hilangnya hutan di perbukitan maupun belukar
rawa-rawa di lembah-lembah membuat aliran air sangat berlimpah
dan rentan banjir pada musim hujan, sedangkan pada musim kemarau
kian rentan terhadap kekeringan. Pertanian padi saat ini sangat
tergantung musim penghujan, itu pun jika tidak terlibas banjir dan
risiko jebolnya tanggul-tanggul tambang batu bara.
182
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Gambar 4.15 Penyakit “padi putih”
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Beberapa informan mengeluhkan menurunnya kualitas panen
dan munculnya penyakit dan hama-hama baru yang tak mereka kenali
sebelumnya. Gejala penyakit padi yang baru muncul pascatambang
terbuka adalah penyakit “padi putih”. Penyakit ini tidak begitu terlihat
ketika padi belum berbunga. Padi terlihat seperti tumbuh subur dan
normal. Namun, setelah padi berbuah dan menguning, pohon bagian
atas akan berwarna putih, dan bulir-bulir padi menjadi kosong. Gejala
ini mulai muncul kurang lebih 5 tahun setelah eksplorasi tambang
terbuka. Penyakit ini bisa memangkas jumlah panen petani hingga
turun 60–80% dari luasan lahan yang ditanami.
Fenomena banjir juga menimbulkan dampak yang jauh berbeda
antara banjir masa sebelum dan pascatambang. Menurut Pak Dr dan
I Ketut Ys, dulu kalau terjadi banjir, sampai 3 hari pun padi terendam
air, padi masih bisa tumbuh normal dan tetap dapat dipanen. Namun,
sekarang, apabila terjadi banjir 1 hari saja, maka padi dipastikan akan
membusuk dan gagal panen. Warna air banjir juga berbeda drastis.
183
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Dahulu, air banjir berwarna kecokelatan. Kini, air banjir berwarna
cokelat kehitaman akibat limbah tambang.
Gambar 4.16 Panen padi di Kerta Buana
(Dokumentasi Lapangan, Agustus 2018)
Dilihat dari jumlah tonase, panen pascatambang terbuka dirasakan kian menurun drastis dan terus menurun sejak tahun 2010.
Dahulu, menurut pengakuan Mangku Swd, Dr, I Ketut Y, dan beberapa
informan lain; sebelum ada tambang terbuka dan polusi yang parah,
1 hektar sawah bisa menghasilkan 8–10 ton padi. Namun, kini,
1 hektar hanya menghasilkan 4–5 ton, itu pun bagi petani yang
sungguh-sungguh bisa membiayai maksimal pertumbuhan padi. Jika
padi terserang penyakit “putih”, maka panen bisa anjlok drastis, dan
hanya memperoleh 1–1,5 ton.
Pertanian padi di Kerta Buana kini menghadapi masalah yang
sangat kompleks, sejak tahun 2010-an. Lahan semakin menyempit,
sekaligus banyak petani bekerja di lahan milik perusahaan yang sudah
dibeli dari anggota transmigran.
184
Bab V
Kesimpulan dan Saran
(Sri Murlianti)
A. Kesimpulan
Transmigrasi Etnis Bali ke Desa Kerta Buana menjadi salah satu
bagian kecil dari instrument pelaksanaan jargon pemerataan pembangunan di era Orde Baru. Ada prakondisi dua arah yang menjadi
pembenaran untuk memindahkan penduduk desa-desa di Bali ke
Kerta Buana. Satu sisi, desa-desa di Bali sangat padat penduduk,
banyak keluarga petani tidak memiliki lahan garapan, menjadi
buruh tani dengan penghasilan minim atau kerja serabutan dengan
hasil tidak pasti. Di sisi lain, wilayah Kerta Buana dan Kecamatan
tenggarong Seberang pada umumnya, saat itu masih berupa belantara yang luas dengan penduduk yang sangat sedikit. Wilayah ini
185
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
sulitanggap maju karena kekurangan tenaga untuk membuka lahan
menjadi pusat-pusat perkembangan yang baru.
Transmigrasi mulai dilaksanakan pada akhir tahun 1980.
Semula transmigrasi ini tampak menjadi formulasi yang sangat tepat
untuk memajukan kehidupan masyarakat baik bagi transmigran
maupun bagi wilayah lokal yang menjadi tujuan. Mereka membawa
kehidupan social budaya dari tanah asal, membangun kehidupan
baru berdampingan dengan tranmigran Etnis Lombok dan juga para
tranmigran lokal Etnis Kutai dan Dayak. Perjuangan membangun
identitas sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ tidak selalu mudah.
Indentifikasi diri sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ harus dikompromikan dengan kondisi alam yang berat, Positioning sebagai pendatang
yang harus berinteraksi dengan perbedaan budaya dari para transmigran Lombok, transmigran Lokal, dan infiltrasi budaya pertanian
modern dari pemerintah.
Integrasi social transmigran Bali di lokasi baru mengalami pasang
surut mengikuti perubahan-perubahan konteks social, budaya, politik
ekonomi lokal dan nasional. Perjuangan membangun identitas baru
sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ melalui dentifikasi diri, positioning
dan interaksi social berlangsung kompleks dan dinamis. Tahun 19801998 adalah masa-masa perjuangan memulai hidup baru, membangun
identitas diri sebagai ‘orang Bali di Kerta Buana,’ membangun integrasi
social bersama transmigran Lombok dan para trans lokal. Spiritualitas
Hindu membentuk ikatan dengan tanah yang kuat, budaya kerja
keras pantang menyerah dan perasaan sebagai pendatang menjadi
sarana identifikasi diri yang khas. Pengetahuan penduduk lokal
tentang musim, pengendalian hama dan karakter lahan gambut
diadopsi dengan baik, membantu transmigran Bali mengenali dan
186
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
menahlukkan belantara Kerta Buana. Petugas Penyuluh Lapangan
menyokong pengetahuan tentang budaya pertanian modern (bibit
unggul dan obat-obatan), walaupun datang agak terlambat cukup
membantu mengkoordinasikan pekerjaan-pekerjaan pertanian
yang sulit mereka kendalikan termasuk berkoordinasi dengan para
transmigran Bali dan Lokal
Di sisi lain, perasaan sebagai pendatang menuntun sikap menarik
diri terhadap ketegangan-keteganagan rasial yang sesekali muncul dari
transmigran Lombok dan trans lokal. Kesadaran sebagai pendatang
membuat mereka tidak mudah terprovoksai oleh perbedaanperbedaan budaya yang sesekali mendeskreditkan ritual-ritual Agama
Hindu yang mereka yakini mendapat banyak stereotip negative dari
para transmigran Lombok yang Muslim. Klaim-klaim kepemilikan
tanah oleh para warga trans lokal sesekali terjadi namunmasih bisa
diselesaikan oleh aparat dan tokonh masyarakat setempat.
Penghormatan terhadap nilai spiritualitas tanah yang Sangat
kuat, kemauan kerja keras dan mengadopsi pengetahuan lokal akan
alam baru dan pengetahuan pertanian modern; membuat para
transmigran lebih mudah melakukan adaptasi di lokasi pemukiman
yang baru. Identifikasi
Diri sebagai pendatang, membuat mereka tidak menghadapi
ketegangan-ketegangan rasial dengan cara-cara frontal. Eksplorasi
korporasi batubara dengan system under ground mining menjadi katub
pengaman di masa-masa merintis pertanian dengan tantangan alam
yang sulit. Kepala Unit transmigran yang kebetulan Etnis Bali, Figur
kuat Dewa Alit sebagai kepala desa sekaligus tokoh masyarakat, dan
kekuatan PPl yang ikonik berhasil meredam ketegangan-ketegangan
rasial tetap berada di bawah permukaan sebagai konflik-konflik laten.
187
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Intergrasi social terbentuk melalui perpaduan adaptasi-adaptasi
kultural yang cukup berat, mengukuhkan Desa Kerta Buana sebagai
bagian dari lumbung padinya Kabupaten Kutai bersama hampir
wilayah di Tenggarong Seberang. Memasuki tahun 1990-1997 bisa
dikatakan tercapai integrasi social baru, di mana bertahan hidup
dan membangun kawasan pertanian dari rimba rawa Kerta Buana.
Identifikasi diri sebagai ‘Orang Bali di Kerta Buana’ berhasil dibangun
dengan memadukan adaptasi nilai-nilai spiritualitas Hindu Bali
atas tanah, perasaahan ‘tahu diri’ sebagai pendatang, adopsi budaya
pertanian modern dan peran tokoh-tokoh ikonik seperti Dewa Alit
dan PPL Ismadi Hanafi; memudahkan interaksi dengan kelompok
etnis lain dan menguatkan positioning sebagai ‘Orang Bali di Kerta
Buana’.
Integrasi social yang lama terbangun ini kemudian mengalami
pergeseran yang signifikan memasuki tahun 1997 ketika desas-desus
perusahaan batubara akan mulai menerapkan open pit mining. Tragedy
lahan II di sekitar tahun 2000 menjadi titik awal di mana sebagian
besar transmigran Bali melepas lahan II dengan harga sangat murah
untuk segera dijadikan lokasi eksplorasi tambang. Eksplorasi open
pit mining secara legal dimulai tahun 2003 di lokasi esk Lahan II
memberi dampak pada lokasi sawah petani di Blok B, yang mayoritas
dimiliki oleh para transmigran Lombok. Eks Lahan II adalah hutan
dataran tinggi yang tadinya menjadi sumber pengairan sawah di
Blok B menjadi gundul. Dampaknya para petani kehilangan sumber
air yang mengairi sawah mereka, akhirnya sepenuhnya bergantung
pada curah hujan, Masa ini adalah titik di mana para calo tanah mulai
bertebaran di sekitar Kerta Buana. Godaan dan bujukan melepas
tanah ke perusahaan mulai massif. Masa ini juga ditandai dengan
meleahnya pengaruh Dewa Alit yang kalah dalam perebutan posisi
188
kepala desa, dimenangkan oleh Abdul Waid dari Etnis Lombok.
Segelintir tranmigran Bali yang memiliki sawah di Blok B terpaksa
turut menjual lahan karena sudah tidak bisa produktif lagi.
Eksplorasi open pit mining menjadi titik balik kejayaan integrasi
social dan kejayaan masa pertanian di Kerta Buana. Walaupun dengan
proses panjang dan menghadapi perlawanan yang transmigran Bali,
dengan berbagai strategi pada akhirnya tambang batubara mengepung
Desa Kerta Buana. Himpitan korporasi yang terus membujuk warga
melepas tanah, aparat pemerintah desa yang seakan tak berdaya, dan
para makelar tanah yang muncul dari baik dari kalangan transmigran
Bali, Lombok dan bahkan dari beberapa karyawan perusahaan dan
aparat desa.
Ada perbedaan strategi positioning warga transmigran Bali ketika
mereka dihadapkan pada kekuatan perusaan yang mendesak mereka
untuk bersedia direlokasi di tahun 2003. Sebelumnya, perasaan ‘tahu
diri’ sebagai pendatang digunakan untuk menghambat tejadinya
konflik-konflik manifest rasial dengan transmigran Lombok dan
trans lokal. Ketika mereka berhadapan dengan desakan relokasi
desa, identitas sebagai ‘orang Bali di Kerta Buana’ justru digunakan
untuk penguatan posisi mereka menolak usaha bedol desa. Kekuatan
identitas ‘Orang Bali di Kerta Buana’ tampak jelas dalam kegagalan
perusahaan melakukan bedol desa memindahkan penduduk Kerta
Buana ke lokasi lain agar wilayah Kerta Buana bisa dieksplorasi.
Mereka sanggup membuat membuat perhitungan untung rugi
relokasi desa bukan hanya mencakup rumah, kebun, persawahan,
namun juga nilai tempat ibvadah dan harga yang harus dibayar untuk
setiap ritual pendirian dan perpindahan pura-pura yang harus ditebus
perusahaan.
189
Kegagalan usaha relokasi mengubah pola pendekatan perusahaan
agar warga transmigran Bali bersedia melepas tanah. Tidak lagi
memaksakan relokasi desa, tetapi membujuk warga satu persatu
dari rumah-ke rumah dengan berbagai iming-iming pesona memiliki
lahan sawit di luar Kerta Buana atau orang lain yang sukses bisnis
di luar pertanian. Strategi ini ampuh memecah belah solidaritas
transmigran Bali dalam hal pertahanan akan kepemilikan tanah.
Pola-pola pembebasan tanah bergeser menjadi persoalan individual
pemilik tanah melawan perusahaan. Tekanan bagi pihak-pihak yang
sedikit radikal mempertahankan tanah, mulai dihadapkan pada
konflik-konflik rasial, warga trans lokal mulai berani mengklaim
tanah transmigran sebagai tanah leluhur mereka. Kebanyakan warga
transmigran Bali terdesak dan memilih melepas tanah ke perusahaan
karena ancaman konflik rasial seperti ini.
Ada pergeseran pola-pola konflik semenjak open pit mining mulai
beroprasi. Konflik-konflik rasial soal tanah yang sebelumnya hanya
menjadi konflik laten, muncul sebagai konflik-konflik manifest ketika
tanah memiliki nilai tukar rupiah yang tinggi. Warga transmigran
Bali dihadapkan pada desakan perusahaan, klaim warga trans lokal
dan sikap aparat desa yang cenderung diam menunggu pelepasan
tanah untuk disyahkan. Tahun 2003-2005 mulailah tak terkendali
satu-persatu warga transmigran Bali mulai menyerah melepaskan
tanah ke perusahaan, terutama ketika mereka harus dihadapkan
dengan konflik-konflik rasial dengan warga transmigran lokal. Strategi
budaya penguasaan tanah ini sukses menggerogoti lahan pertanian
di Kerta Buana.
Kini Desa Kerta Buana telah berubah wajah menjadi desa yang
terkepung tambang. Cerita kejayaan produksi beras tinggal kenangan.
Banyak kerugian diderita para petani Kerta Buana mulai dari banjir
190
yang menggagalkan panen, hama dan penyakit padi baru yang tak
dikenali sebelumnya, pencemaran udara hingga suara bising deru alatalat berat. Struktur usia para petani lebih banyak berada di usia tua,
kaum muda lebih banyak menjadi pekerja tambang. Konflik-konflik
bergeser ke arah konflik-konflik manifest, lebih banyak berurusan
dengan konflik ganti rugi tanah, konflik rasial klaim kepemilikan
lahan dan klaim-klaim kerugian lain akibat limbah tambang. Integrasi
social lama yang dulu terbangun dan berhasil menampilkan kekuatan
identitas ‘Orang Bali di Kerta Buana’ kini terancam hilang seiring
desakan korporasi tambang.
B. Saran
1. Kajian pemetaan social, ekonomi, kultural dn lingkunganyang
menyeluruh perlu dilakukan di Desa Kerta Buana. Kajian ini
diperlukan agar bisa didapatkan pemetaan yang detail tentang
kondisi-kondisi soial, ekonomi, kultural dan lingkungan. Pemetaan
yang detail membantu untuk mengarahkan pengembangan
masyarakat yang tepat bagi masyarakat Kerta Buana. Kajian ini
juga bisa digunakan untuk melakukan evaluasi tentang kualitas
ruang hidup yang saat ini didiami warga transmigran Bali di Kerta
Buana.
2. Evaluasi ijin-ijin eksplorasi tambang batubara yang jaraknya
Sangat dekat dengan pemukiman penduduk dan loka. Eksplorasi
PT Kitadin di Blok C yang Sangat dekat dengan pemukiman
penduduk dan lahan produktif pertanian perlu ditinjau ulang.
Batas toleransi ekslporasi yang diijinkan minimal 500 meter dari
perumahan penduduk harus ditegakkan.
191
3. Fasilitasi dan advokasi terhadap transmigran Bali perlu dilakukan
intensif, terutama dalam hal konflik-konflik ganti rugi tanah,
ganti rugi akibat dampak eksplorasi tambang ataupun klaimklaim kepemilikan lahan. Upaya ini perlu dilakukan untuk
menjadga agar mereka memiliki posisi tawar yang memadai
dan tidak menjadi pihak yang terus dirugikan dalam hal materi
(ganti rugi) atau pun social (diadu dengan penduduk lokal) dalam
konflik-konfli tanah.
192
Daftar Pustaka
Bab I
Buku:
Charras, Muriel. 1997. Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan
Dewata: Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi.
Yogyakarta: UGM Press.
Hardjono, Joan. 1985. “Beberapa Segi Geografis daripada
Transmigrasi Swakarsa,” dalam Sri-Edi Swasono dan
Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi
di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press.
Heeren, H.J. 1985. “Beberapa Masalah tentang Pemukiman Kolektif Pedesaan di Indonesia,” dalam Sri-Edi Swasono dan
Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi
di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press.
Klinken, Gerry van. 2007. Perang Kota Kecil: Kekerasan Komunal
dan Demokratisasi di Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia-KITLV.
193
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Mangoenpoerojo, Roch Basoeki. 1985. “Rancunya Pola Pikir
Cendekiawan dan Akibat terhadap Transmigran,” dalam
Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh
Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985. Jakarta:
UI Press.
Sayogyo. 1985. “Transmigrasi di Indonesia, 1905–1985: Apa
yang Kita Cari Bersama?,” dalam Sri-Edi Swasono dan
Masri Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi
di Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press.
Singarimbun, Masri et al. 1977. Transmigrants in South Kalimantan
and South Sulawesi, Inter-island Governement Sponsored
Migration in Indonesia. Yogyakarta: Population Institute
UGM.
Soetrisno, Loekman. 1985. “Peranan Transmigrasi dalam
Stabilitas Sosial Politik Daerah dan Problematiknya:
Kasus Irian Jaya,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri
Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di
Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press.
Swasono, Sri-Edi. 1985a. “Kependudukan, Kolonisasi, dan
Transmigrasi,” dalam Sri-Edi Swasono dan Masri
Singarimbun (ed.), Sepuluh Windhu Transmigrasi di
Indonesia 1905–1985. Jakarta: UI Press.
------------. 1985b. “Transmigrasi di Indonesia: Suatu Reorientasi,”
dalam Sri-Edi Swasono dan Masri Singarimbun (ed.),
Sepuluh Windhu Transmigrasi di Indonesia 1905–1985.
Jakarta: UI Press.
194
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Disertasi:
Yulianto. 2011. “Membali di Lampung: Studi Kasus Identitas
Kebalian di Desa Balinuraga Lampung Selatan.” Disertasi.
Salatiga: Studi Pembangunan, UKSW.
Jurnal:
Clauss, Wolfgang, Hans-Dieter Evers, dan Solvay Gerke.
1988. “The Formation of a Peasant Society: Javanese
Transmigrants in East Kalimantan,” dalam Indonesia,
No. 46.
Hoey, Brian A. 2003. “Nationalism in Indonesia: Building
Imagined and Intentional Communities through
Transmigration,” dalam Ethnology Vol. 42, No. 2.
Hoshour, Cathy A. 1997. “Resettlement and the Politicization
of Ethnicity in Indonesia,” dalam Bijdragen tot de Taal-,
Land- en Volkenkunde, Deel 153, 4de Afl.
Humaedi, M. Alie. 2014. “Kegagalan Akulturasi Budaya dan Isu
Agama dalam Konflik Lampung,” dalam Analisa Vol. 21,
No. 2.
Jonge, Huub de dan Gerben Nooteboom. 2006. “Why Madurese?
Ethnic Conflicts in West and East Kalimantan Compared,”
dalam Asian Journal of Social Science, Vol. 34, No. 3.
O’Connor, C.M. 2004. “Effects of Central Decisions on Local
Livelihoods in Indonesia: Potential Synergies between
the Programs of Transmigration and Industrial Forest
Conversion,” dalam Population and Environment, Vol.
25, No. 4.
195
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Roth, Dik. 2011. “The Subak in Diaspora: Balinese Farmers and
the Subak in South Sulawesi,” dalam Human Ecology,
Vol. 39, No. 1.
Tirtosudarmo, Riwanto. 1997. “Economic Development,
Migration, and Ethnic Conf lict in Indonesia: A
Preliminary Observation,” dalam Sojourn: Journal of
Social Issues in Southeast Asia, Vol. 12, No. 2.
Weber, Robert, Werner Kreisel, dan Heiko Faust. 2003. “Colonial
Interventions on the Cultural Landscape of Central
Sulawesi by Ethical Policy: The Impact of the Dutch Rule
in Palu and Kulawi Valley, 1905–1942,” dalam Asian
Journal of Social Science, Vol. 31, No. 3.
Wijst, Ton van der. 1985. “Transmigration in Indonesia: An
Evaluation of a Population Redistribution Policy,” dalam
Population Research and Policy Review, Vol. 4, No. 1.
Website:
Hoppe, Michael dan Heiko Faust. 2004. “Transmigration and
Integration in Indonesia: Impact on Resource Use in
the Napu Valley, Central Sulawesi,” dalam https://
www.researchgate.net/publication/242146402_
Transmigration_and_Integration_in_Indonesia_-_
Impacts_on_Resource_Use_in_the_Napu_Valley_
Central-Sulawesi, Research Project on Stability of Rain
Forest Margins (STORMA), diunduh pada April 2018.
196
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Bab II
Buku:
Disnakertrans Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur. 2013.
Profil Ketenagakerjaan dan Ketransmigrasian. Kaltim:
Kaltim Bangkit, Disnakertrans Pemerintah Provinsi
Kalimantan Timur.
Goldman, Michael. 2006. Imperial Nature: The World Bank and
Struggles for Social Justice in the Age of Globalization.
London: Yale University Press.
Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan
Transmigrasi RI. 2015. Transmigrasi, Masa Doeloe, Kini,
dan Harapan ke Depan. Jakarta: Kementerian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI.
Muriel Charras, 1997. Dari Hutan Angker hingga Tumbuhan
Dewata. Transmigrasi di Indonesia: Orang Bali di Sulawesi.
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: DemografiPolitik pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lain-Lain:
Monografi SPT Teluk Dalam, Kab. Kutai, 1981, Samarinda,
Kaltim.
Website:
http://fadilfadilblogspotcom-alpachino.blogspot.com/2011/03/
kebijakan-pembangunan-pelita-i-pelita.html, yang
diunduh pada 23 Oktober 2018.
197
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
http://mhs.pin.or.id/kerthabuana/2016/05/25/jalan-jalan-kepermukiman-kampung-bali-di-desa-kerta-buana-kukar/,
yang diunduh pada 15 Oktober 2018.
https://www.cendananews.com/2017/01/mengintip-desapasuruan-desa-transmigrasi-dari-era-kolonial-ke-desaswadaya.html.
Bab III
Buku:
Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Provinsi Kalimantan Timur. 2003. “Realisasi Penempatan
Transmigrasi Pelita III Kabupaten Kutai Kartanegara,”
dalam Data Penempatan Transmigrasi Pelita Ke I, II, III, IV,
V, VI dan Otonomi Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara
Provinsi Kalimantan Timur. Samarinda: Pemerintah
Provinsi Kalimantan Timur.
Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Transmigrasi Provinsi
Kalimantan Timur. 1981. Monografi Satuan Pemukiman
Transmigrasi Teluk Dalam, Kabupaten Kutai, Provinsi
Kalimantan Timur. Samarinda: Kanwil Dirjen Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur.
Jurnal:
Siburian, Robert. 2015. “Antara Pertanian dan Pertambangan
Batu Bara: Studi ‘Perebutan’ Lahan di Kecamatan
Tenggarong Seberang,” dalam Jurnal Masyarakat dan
Budaya, Vol. 17, No. 2.
198
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Lain-Lain:
Laporan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM). 2011. Lumbung
Pangan ke Lubang Tambang: Studi Kasus Desa Kertabhuana,
Tenggarong Seberang, Kabupaten Kutai Kertanegara.
Samarinda: Naskah Tidak Diterbitkan.
Surat Kabar:
Ah. 26 Desember 1988. Penggilingan Padi di Teluk Dalam
Resahkan KUD. Manuntung, hlm. 3.
Anonim. 17 April 1988. Panen Raya di UPT Sebakung Kec. Waru.
Meranti.
------------. 1986. Proyek Transmigrasi Lokal Terancam Gagal. BS
Jaya, hlm. 3.
Di. 8 September 1995. Jika Ada Tanah yang Kosong, Percontohan
Dinilai Gagal. Suara Kaltim, hlm. 11.
Ds. 1 Agustus 1988. 6 Bus Damri Masuk Lokasi Transmigrasi.
Manuntung.
Mazhar, Hanafie K.A. April 1987. Kecamatan Loa Kulu Surplus
Pangan Beras. Wisma Berita, hlm. 2.
Pernyata, Safruddin. 23 Agustus 1986. Mlongok 3 UPT: Mengapa
Tidak Bertransmigrasi Swakarsa Saja? Sampe, hlm. 1–2.
Sumas, Sugiarto. 13 Juni 1988. Rimba Ayu, Daerah yang
Berkembang tanpa Karbitan dari Atas. Manuntung.
Tim Sampe. 23 Agustus 1986. Presiden Resmikan Jembatan
Mahakam: Pembangunan Jembatan Mahakam merupakan Satu Prestasi Besar; Hilangkan Kebiasaan Ladang
Berpindah & Pembakaran Hutan. Sampe, hlm. 1–2.
199
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Z., M. Januari 1987. 1000 KK Trans untuk Muara Wahau dan
Sangkulirang. Wisma Berita, hlm. 3.
Informan:
1. Ismadi Hanafi, PPL L4 1982–1985/1986.
2. Ilham, Petugas Transmigrasi Kanwil Transmigrasi Prov.
Kaltim.
3. I Wayan Artina, Transmigran L4.
4. I Ketut Duglud, Transmigran L4.
5. Priya, Transmigran L4.
6. Istri Priya, Transmigran L4.
7. I Nyoman Derman, Transmigran L4.
8. I Wayan Laster, Transmigran L4.
9. Istri I Wayan Laster, Transmigran L4.
10. I Wayan Tariya, Transmigran L4.
11. Ni Komang Budiasih, Transmigran L4.
12. Siti Murni, Transmigran L4.
13. Kamaruddin, Transmigran L4.
14. Siti Rahmawati, Transmigran L4.
15. Abdul Wahid, Transmigran L4.
16. I Wayan Meri, Transmigran L4.
17. Istri I Wayan Meri, Transmigran L4.
18. Ni Made Surage, Transmigran L4.
19. I Komang Widyana, Ketua Parisadha Hindu Dharma Desa
Kerta Buana.
20. Hari Kurnia Wibawa, Sekretaris Desa Kerta Buana.
21. I Wayan Wander, Transmigran L4.
200
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
22. Sejumlah informan yang tidak dapat kami sebutkan
namanya, Kecamatan Tenggarong Seberang.
Bab IV
Buku:
Ellen, Roy; Parkes, Peter; dan Bicker, Alan. 2000. Indigenous
Environmental Knowledge and its Transformations: Critical
Anthropoligical Perspectives. Tanpa Kota: Psychology
Press.
Goldman, Michael. 2006. Imperial Nature: The World Bank and
Struggles for Social Justice in the Age of Globalization.
London: Yale University Press.
Tirtosudarmo, Riwanto. 2007. Mencari Indonesia: DemografiPolitik pasca-Soeharto. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lain-Lain:
Menetrey, T, PNG Section, Department of Foreign Affairs in
Transmigration–Australia’s Policy, 19 November 1984,
National Archives; also Cabinet Minute No. 9702, 11
August 1987, Submission No. 4956 Papua New Guinea
Proposals on Australia/Papua New Guinea Relations,
National Archives of Australia.
Tirtosudarmo, Riwanto. Transmigration in Indonesia: Lessons from
Its Environmental and Social Impacts. Philip M. Fearnside,
Department of Ecology, National Institute for Research
in the Amazon, 1997, Springer-Verlag New York Inc.,
Accessed Online 17 November 2014.
201
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
Informan:
1. IWA, Transmigran L4.
2. IKD, Transmigran L4.
3. IND (Dm), Transmigran L4.
4. IMT, Transmigran L4.
5. Ch, Transmigran L4.
6. IWT, Transmigran L4.
7. Km, Transmigran L4.
8. AW, Transmigran L4.
202
Daftar Informan
1. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Ilham
: 52 Tahun
: PNS, Dep. Trans Prov. Kaltim
: Jl. Pembangunan, Loa Jonan, Samarinda
2. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Ismadi Hanafi
: 60 Tahun
: Pensiunan, Penyuluh Pertanian
: Samarinda Seberang
3. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Ni Komang Budiarsi
: 53 Tahun
: Petani
: Blok C, Desa Kerta Buana
4. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Ni Made Suhartini
: 42 Tahun
: Petani
: Blok A, Desa Kerta Buana
203
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
5. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Wayan Meri
: 70 Tahun
: Petani
: Dusun Rapak, Desa Kerta Buana
6. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Harry Kurnia Wibawa
: 42 Tahun
: Sekretaris Desa
: Desa Kerta Buana
7. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Ketut Arsana/Sanok
: 50 Tahun
: Bagian Pemerintahan Desa
: Desa Kerta Buana
8. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Made Sukarya
: 50 Tahun
: Bagian Pemerintahan Desa
: Desa Kerta Buana
9. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: H. Abdul Wahid
: 70 Tahun
: Mantan Kepala Desa
: RT 03, Desa Kerta Buana
10. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Wayan Priya
: 60 Tahun
: Petani
: RT 18, Desa Kerta Buana
11. Nama
Umur
: I Komang Widyana
: 46 Tahun
204
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
Pekerjaan
Alamat
: PHDI
: Desa Kerta Buana
12. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Ketut Duglud
: 46 Tahun
: Petani
: RT 18, Desa Kerta Buana
13. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Ketut Bagya Yasa
: 26 Tahun
: Mahasiswa
: RT 20, Desa Kerta Buana
14. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Treisjane Leleng
: 46 Tahun
: PNS
: RT 22, Desa Kerta Buana
15. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Wayan Laster
: 60 Tahun
: Petani
: Desa Kerta Buana
16. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: Derman
: 54 Tahun
: Petani
: Jl. Poros, Desa Kerta Buana
17. Nama
Umur
Pekerjaan
Alamat
: I Wayan Wander
: 60 Tahun
: Petani
: Desa Kerta Buana
205
Tentang Penulis
1. Juniar Purba
Juniar Purba, salah seorang tenaga fungsional
di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan.
Menamatkan S1 ilmu Sejarah dari Universitas
Sumatera Utara (USU, 1988) dan S2 pada Jurusan
Sosiologi Univ. Tanjungpura (2008) dengan
tesis berjudul “ Fungsi dan Makna Simbol dalam
Tradisi Imlek dan Cap Go Meh pada Masyarakat
Tionghoa di Kota Pontianak”. Melakukan sejumlah
penelitian kesejarahan dan budaya di wilayah Kalimantan; aktif dalam
kegiatan ilmiah. Pada tahun 1999/2000 aktif di Badan Pembina Pahlawan
Daerah (BP2D) wilayah Kalbar. Tulisan yang dihasilkan antara lain
Biografi Rahadi Osman, Bardan Nadi, J.C. Oevang Oeray, Oemar Dachlan,
Pang Suma, Alianyang, Awang Long, Kota Pangkalan Bun, dan Orang
Kantuk di Bika (2006), Sejarah Penyebaran dan Pengaruh Budaya Melayu Di
Kalimantan (2011, Adat Dan Tradisi Masyarakat Suku Dayak Kayan di Miau
Baru, Kaltim (2012), Pelabuhan Silo di Berau 92015) Elite Dalam Struktur
Politik di Bera (2014), Sejarah Dan Pengaruh Islam di Kotawaringin (2014)
Marsyarakat Bugis Diaspora Di Bontang (2015), Pelabuhan Tanjung Laut
di Bontang(2017) dan beberapa tulisan lainnya. Tahun 2008-2012 sebagai
tenaga pengajar di Program Studi Sejarah, Sekolah Tinggi Keguruan
Ilmu Pendidikan (STKIP) PGRI Pontianak, tahun 2016 sebagai tenaga
pengajar di Univ Tanjungpura dan aktif sebagai narasumber dan juri
lomba di Dinas Arsip Kota Pontianak, Dinas Pendidikan Propinsi Kalbar
dan Dinas Sosial Propinsi Kalimantan Barat. (
[email protected])
206
Integrasi Sosial Transmigran Bali di Desa Kerta Buana
2. DANA LISTIANA (
[email protected])
DANA LISTIANA (
[email protected]), lulus dari jurusan
Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran tahun 2006 dengan skripsi
“Perkembangan Pasar Pontianak sebagai Pusat Perekonomian
Afdeelingshoofdplaats Pontianak 1918-1942.” Lulus dari Program Studi
S2 Sejarah Universitas Gadjah Mada pada 2017 dengan tesis “Sistem
Pacht dan Perluasan Negara Kolonial di Pontianak 1819-1909.” Sejak
tahun 2008 bekerja di Balai Pelestarian Nilai Budaya Kalimantan Barat
(dulu, Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Pontianak). Kajian
yang pernah ditulis antara lain “Kota Pontianak 1779-1942: Lahir dan
Berkembangnya Sebuah Kota Kolonial,” tahun 2009; “Dua Wajah Kota
Martapura: Studi tentang Perubahan Sosial Ekonomi,” tahun 2010;
“Banjarmasin Akhir Abad XIX hingga Medio Abad XX: Perekonomian
di Kota Dagang Kolonial,” tahun 2011; “Tanah Sintang Masa Kolonial:
Telaah Sederhana tentang Perubahan Status Pemerintahan dan
Wilayah Kekuasaan,” tahun 2012; “Pasir Abad XVIII-XX: Kota Bandar
Menjadi Lanskap Gubernemen,” tahun 2013; “Kampung Cina Banjar
di Banjarmasin”; “Pers dan Pemikiran Intelektual di Borneo Barat Masa
Kolonial” tahun 2014; dan “Rubrik Sinar Iboe di Majalah Tjaja Timoer:
Gagasan Penguatan Perempuan Dalam Pers Lokal di Kalimantan Barat
Tahun 1928,” tahun 2017.
3. Sri Murlianti
Sri Murlianti, staf pengajar Prodi Pembangunan Sosial/Ilmu Sosiatri Fisip Unmul.
Menamatkan Program Sarjana di Prodi Ilmu
Sosiatri (1998), Program Master Sosiologi
(2005), dan Program Doktor Sosiologi (2011)
di Fisipol UGM; dengan judul desertasi :
“Komunitas Cantik Mengaku Melek Medis: Kajian
Budaya tentang Bagaimana Klinik Kecantikan
Menjadi Ba g ian Hidup Sehar i-Hari Para
Kondumen di Natasha Skin Care Yogyakarta”. Direktur Borneo Institue
For Community Development (BICE), 2013-2016. Ketua Divisi Riset
Asosiasi Pembangunan Sosial Indonesia (APSI), 2015-2018. Direktur
207
Juniar Purba, Dana Listiana, Sri Murlianti
di Jaringan Pembangunan Sosial Kalimantan (Japsika), 2016-sekarang.
Peneliti senior di Lembaga Kajian Kebijakan dan Isu-Isu Publik (Lakestra
Kaltim), 2016-sekarang. Ketua Pusat Kajian Pembangunan Sosial
Prodi Pembangunan Sosial Fisip Unmul, 2017-sekarang. Wakil Ketua
Kualesi Kependudukan Prov. Kalimantan Timur, 2016-Sekarang. Aktif
melakukan penelitian social, sejarah kritis dan evaluasi kebijakan.
Tulisan yang telah dihasilkan antara lain: 2017: “Perbandingan Partisipasi
Masyarakat dalam Perumusan Kebijakan Publik di Pemerintahan Kabupaten
Kutai Barat, Kutai Kertanegara dan Kutai Timur,” LAKESTRA KALTIM.
2017: “Kajian Perbandingan Kebijakan Jalan dan Masalah PKL di Kota
Bontang, Balikpapan dan Samarinda,” LAKESTRA Kaltim. 2017, Sejarah
Perkembanngan Pelabuhan Tanjung Laut, Bontang, Balai Pelestarian Nilai
Budaya, Kalimantan. 2016, Individual Consultant to Inaya Rakhmani &
Fajri Siregar, “Global development Network Working Paper Series. Reforming
Research in Indonesia: Policies and Practice”, GDN Murdoch University &
Puskakom UI. 2016: Masyarakat Bugis Diaspora di Bontang Kuala, Bontang,
Kalimantan Timur, Balai Pelestarian Nilai Budaya. Kalimantan. 2015:
“The 2015 Survey On Stakeholder’s Perception in the Oprational Areas of
Tatal E&P Indonesie,” Borneo Institute of Empowerment Commnunity,
Samarinda. 2015: “The 2015 Survey On Community Satisfication Index of
Beneficiaries of Total E&P Indonesie,” Borneo Institute of Empowerment
Commnunity, Samarinda. 2015: “Cycles Of beauty Culture: Etnoghaphy
of Beauty Clinics Commodification,” Jurnal Komunitas Universitas Negri
Semarang, Vol 6 No: 2, DOI: http://dx.doi.org/10.15294/komunitas.
v6i2.3312. 2014: “Parodi kampanye Pemilu di Media jejaring Sosial:
Retekstualisasi Para Pengguna Fecebook Terhadap Mitos Kesempurnaan
Prabowo Subianto Yogyakarta, 20 Mei 2014. 2013: “Tranformasi Kultural
Elemen-Elemen Budaya Disiplin Klinis ke dalam Praktik Jasa Kecantikan,”
Prosiding Seminar Kerjasama ISI & UNS. 2012: “Agama Sebagai Teks
Budaya: Tantangan Islam Garis Keras Indonesia,” Prosiding Konferensi
antar Bangsa Islam Borneo, MARA University, Serawak, Malaysia. 2012:
“Parodi Kuda Prabowo Dalam Kampanye Akbar Partai Gerindra 23 Maret
2014,” Prosiding Diskusi pada Konferensi Nasional Sosiologi III, UGM.
2011: “Komunitas Cantik Mengaku Melek Medis, Kajian tentang Bagaimana
Klinik Kecantikan Menjadi Bagian Hidup Sehari-hari Para Konsumen,”
Sponsor Dikti. 2005: “Wacana seksualitas Dalam bingkai kapitalisme
Modern, kajian terhadap tayangan desah Malam di Lativi,” Sponsor Dikti.
208