PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA
TRANSFORMASI BUDAYA PADA BATIK MADURA
BIDANG KEGIATAN :
PKM-PENELITIAN SOSIAL HUMANIORA
Oleh :
Rae Sita Michel
1206240676
2012
Jeremy Jordan
1406609274
2014
Muhammad Ridwan
1406579012
2014
Yosefin Mulyaningtyas
1406563304
2014
Zahratul Mirza
1206210313
2012
UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK
2016
Transformasi Budaya Pada Batik Madura
Rae Sita Michel, Jeremy Jordan, Muhammad Ridwan, Yosefin Mulyaningtyas,
Zahratul Mirza
Batik adalah salah satu benda budaya Indonesia. Sejak ditetapkan UNESCO
(United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sebagai
“Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi”, Indonesia terus
menggaungkan batik. Beberapa daerah terutama di Pulau Jawa mengembangkan
penelitian dan kreasi pada batik. Batik Cirebon dan batik Pekalongan adalah batik
yang terkenal di Indonesia. Sudah ada penelitian yang membahas tentang kedua
batik tersebut. Selain di Pulau Jawa, Madura sebagai pulau yang dekat dengan
Pulau Jawa dan masuk dalam daerah administrasi Jawa Timur juga memiliki
batik, tapi belum ada penelitian secara mendalam tentang batik Madura.
Penjelasan batik Madura hanya ada pada katalog-katalog yang menjelaskan arti
dari motif-motif yang tergambar dan cara pembuatannya. Pengertian motif-motif
ini tidak diiringi dengan kisah pembatik dan masyarakat dalam menanggapi batik
sebagai bagian dari kebudayaannya. Penelitian ini ingin menggali dinamika
masyarakat Madura, tepatnya di Kabupaten Pamekasan terhadap batik sejak
kemunculannya di Madura hingga saat ini. Dinamika masyarakat dari awal
kemunculan hingga saat ini menghasilkan transformasi yang terjadi pada Batik
Madura dan masyarakat itu sendiri. Dengan menggali dinamika masyarakat, kita
akan dapat mengetahui proses transformasi yang terjadi antara masyarakat
Madura dengan batik Madura. Keberadaan batik Madura tidak bisa dilepaskan
dari sejarah batik di Indonesia. Masyarakat Madura, yang terkenal suka melaut,
berdagang, dan bermigrasi, juga mengalami persentuhan dengan budaya lain yang
mempengaruhi keberadaan batik yang mereka hasilkan.
Kata kunci:batik, dinamika masyarakat, Madura, transformasi budaya
Cultural Transformation on Batik Madura
Rae Sita Michel, Jeremy Jordan, Muhammad Ridwan, Yosefin Mulyaningtyas,
Zahratul Mirza
Batik is one of Indonesian cultural objects. Since assigned by the UNESCO
(United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) as
“Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity”, Indonesian
batik keeps echoing. Some areas, especially in Java develop research and
creations of it. Batik Cirebon and Batik Pekalongan are famous batik creations in
Indonesia. There have been researches on both of them. In addition, Madura
island, near the island of Java and included in the administrative region of East
Java, also has batik, but there has been no in-depth research on Batik Madura. Its
explanation can only be found in catalogs that explain the meaning of the drawn
motives and how to make it. These explanation are not accompanied by the story
of batik makers and the society in responding batik as a part of the culture. This
research explores the dynamic of the Madurese, precisely in Kabupaten
Pamekasan on Batik Madura since its appearance until nowadays, which is
believed giving significant impact on the transformation that occurs in Batik
Madura and society itself. By exploring the society’s dynamic, we expect to know
its transformation process. The existence of Batik Madura cannot be separated
from the history of batik in Indonesia because Madurese, who likes fishing,
trading, and migrating, also has contact with other cultures that influence the
existence of batik they now produce.
Keywords: batik, cultural transformation, Madura, society’s dynamic
Pendahuluan
Selembar batik tulis adalah kesaksian bisu akan tradisi gotong royong
kreatif yang membuat hati ini merendah. Begitu besar curahan tenaga, curahan
pikiran dan juga curahan cinta yang ada di dalamnya. Tidak ada kain batik yang
dibuat oleh satu orang saja. Karya batik adalah urun tangan banyak insan karena
melibatkan ragam kepandaian, perangkat, dan tahap proses-proses yang kaitmengait sebagai kearifan yang tersempurnakan selama berabad-abad.
Batik merupakan wujud kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia
(Koentjaraningrat, 2009: 150) yang dimiliki Indonesia. Pembuatan satu kain batik
memiliki nilai-nilai budaya yang diturunkan secara turun-temurun yang
menyimbolkan filosofi kehidupan masyarakatnya. Setiap daerah memiliki motif
dan pola yang berbeda dan khas. Pada umumnya, batik identik dengan warnawarna yang kalem, seperti coklat. Motif-motif yang dikenal biasanya motif parang
rusak, mega mendung, dan lain-lain. Indrati dkk (2011) menjelaskan bahwa pola,
motif dan kompisisi warna yang ada dalam sebuah kain batik dipangaruhi oleh
faktor eksternal seperti batik Yogyakarta dan Surakarta dipengaruhi oleh
kehidupan keraton yang mana kedua daerah tersebut dahulu terdapat keraton yang
berkembang maju, dan daerah pesisir seperti Madura dipengaruhi oleh pedagang
yang memang daerah pesisir merupakan daerah yang cenderung terbuka dengan
pedagang dari berbagai daerah yang datang berdagang. Warna-warna pada batik
Madura cenderung berani dan mencolok. Bali yang merupakan daerah dengan
keyakinana dan kebudayaan hindu yang kuat menjadikan kain batik bali memiliki
pola, motif dan komposisi warna yang erat dengan ajaran hindu.
Keunikan dan keistimewaan batik membuat UNESCO menetapkan batik
sebagai salah satu warisan yang berasal dari Indonesia. Pada tanggal 2 Oktober
2009, ditetapkannya batik oleh UNESCO sebagai warisan dunia dari Indonesia
dengan
istilah
“Warisan
Kemanusiaan
untuk
Budaya
Lisan
dan
Nonbendawi”(Masterpieces of the Oral and Intangible Heritage of Humanity).
Penetapan tersebut menjadi angin segar bagi industri batik di berbagai daerah di
Indonesia. Seperti halnya di daerah Madura, yang menjadi fokus penelitian pada
tulisan ini, terdapat pasar batik dan juga kebijakan menggunakan baju batik dihari
tertentu guna mendukung batik sebagai bagian dari kebudayaan Indonesia.
Menurut penelitian Octaviani (2015) batik di daerah Bojonegoro juga menjadi
simbol identitas daerahnya, tidak hanya menjadi barang industri yang
diperjualbelikan. Batik dari berbagai daerah di Indonesia mulai mendunia dan
menjadi semakin dikenal baik lokal maupun mancanegara.
Pada selembar batik tulis, terdapat cerita dibalik pembuatannya. Goresan
canting dan warna yang tertuang, merepresentasikan hal yang lebih besar. Kita
bisa melihat kebuadayaan orang-orang dari batik tulis yang dihasilkan. Batik dari
daerah lain, seperti Yogyakarta dan Cirebon, telah dicatat dengan baik. Kita dapat
dengan mudah mengetahui informasi, sejarah dan perkembangan dari batik-batik
tersebut. Ironisnya, batik Madura yang saat ini memiliki banyak peminat, belum
benar-benar diketahui bagaimana sejarah dan perkembangannya.
Penelitian ini akan menjelaskan tentang perkembangan dan perubahan
pada batik Madura. Pekembangan yang terjadi dalam batik ini berupa nilai-nilai
dan pandangan masyarakat Madura ketika memandang, membuat, dan
mengenakan batik sejak kemunculannya di Madura hingga saat ini. Deskripsi
perkembangan tersebut, secara tidak langsung maupun tidak, dapat juga
menjelaskan motif-motif yang tertuang pada batik. Batik yang dimaksudkan
peneliti dalam tulisan ini adalah batik tulis. Batik cap dan tekstil bermotif
printingatau yang disebut oleh masyarakat Madura dengan printing saja, tidak
dikelompokkan sebagai batik oleh peneliti.Kain batik yang sudah termodifikasi,
baik dari segi pola maupun dari segi teknik pembuatannya biasa dikenal dengan
kain batik modern atau kontemporer, sedangkan yang masih dengan pola dan
teknik lama dikenal dengan batik klasik. Perkembangan motif dan pola kain batik
komtemporer masih mengikuti batik klasik, sedangkan yang menjadi perbedaan
adalah teknik pembuatan dan penggunaan pewarna. Batik klasik menggunakan
pewarna alami dari pepohonan untuk menghasilkan warna pada kain, sedangkan
batik kontemporer sudah menggunakan cat dan bahan-bahan kimia/buatan. Kedua
jenis batik ini memiliki pasarnya sendiri dan dapat eksis secara bersamaan,
sehingga batik klasik yang pengerjaanya lebih lama akan tetap laku dipasaran.
Bantuan dan perhatian pemerintah menjadi salah satu faktor memajukan industri
batik di berbagai daerah di Indonesia.
Batik Madura merupakan jenis kain yang sedikit memiliki sumber
literatur. Penulis menemukan sedikit buku ataupun artikel yang mengulas tentang
batik Madura secara dalam. Masyarakat Madura pun, yang dibuktikan oleh hasil
wawancara dengan para informan, tidak mengetahui secara jelas dan pasti tentang
perkembangan dan cerita di balik batik Madura. Mereka lebih mengetahui bahwa
batik sebagai barang komoditi, semakin tua, harganya semakin tinggi. Penulis
berharap melalui penelitian ini, para masyarakat dan kalangan akademisi dapat
mengidentifikasikan secara langsung seperti apa batik Madura dan cerita dinamika
masyarakat yang ada di dalamnya. Tujuan praktis dari penelitian ini adalah
sebagai sarana memperkenalkan budaya Madura kepada masyarakat Indonesia
dan masyarakat dunia, baik itu melalui perkembangan industri mode atau dalam
industri pariwisata dan kesenian.
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan
metode etnografi. Pendekatan kualitatif adalah pendekatan yang membangun
pengetahuan berdasarkan pada perspektif yang dibangun seperti pemaknaan
individu dari pengalaman sosialnya dan pembangunan sejarah (Creswell,
2003).Etnografi adalah deskripsi mengenai kebudayaan suatu suku bangsa
(Koentjaraningrat, 2009: 252). Dalam tulisan ini, suku bangsa yang dimaksudkan
adalah para penggiat dari batik Madura, baik itu pengrajin, pengusaha, dan
kolektor. Pengumpulan data dalam penelitian kualitatif seperti halnyapenelitian
ini sangatlah dinamis. Peneliti memasuki lapangan terbuka yang sulit
diprediksiapa yang telah, sedang, dan akan terjadi. Peneliti juga dituntut untuk
menunjukkan buktinyata dari lapangan. Berdasarkan waktu, penelitian ini adalah
penelitian pada satu waktu tertentu dan bukan merupakan penelitian longitudinal.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian iniadalah observasi partisipasi
dan wawancara mendalam. Kusuma (1987: 25) menyatakan bahwa observasi
adalah pengamatan yang dilakukan dengansengaja dan sistematis terhadap suatu
objek yang diselidiki. Jenis-jenis observasi antara lainobservasi terstruktur,
observasi tak terstruktur, observasi partisipasi, dan observasinonpartisipasi.
Berikutnya, Spradley (1980) mengemukakan bentuk-bentuk observasi yang dapat
dilakukan
peneliti
dalam
suatu
penelitian
kualitatif,
yaitu
observasi
partisipasi,observasi tak terstruktur, dan observasi kelompok tidak teratur.
Observasi partisipasi, yaitu metode pengumpulan data yang digunakan untuk
mendapatkan datapenelitian melalui pengamatan dan penginderaan (Sugiyono,
2009). Dalam melakukan observasi, peneliti datang mengamati namun tidak ikut
terlibat dalam kegiatan yang diamati sehingga dapat disebut sebagi observasi
partisipasi pasif (Spradley, 1980). Peneliti melakukan observasi di Jakarta dan di
Pamekasan. Di Jakarta, observasi dilakukan pada saat pemeran Inacraft 2016 di
JCC Senayan dan di Museum Tekstil, sedangkan di Pamekasan, observasi
dilakukan di Galeri Batik Pamekasan, Pasar 17 Agustus, dan pada pengrajin batik
di Desa yang sedang berkumpul. Wawancara adalah teknik pengumpulan data
dengan mengajukan pertanyaan langsungkepada informan dan jawaban-jawaban
informan tersebut dicatat atau direkam (Hasan, 2002:85). Peneliti melakukan
wawancara mendalam yaitu suatu kegiatan untuk mendapatkan informasi secara
langsung dengan mengajukan pertanyaan kepada informan. Tujuan dari
wawancara mendalam adalah untuk mengumpulkan informasi yang kompleks,
yang sebagianbesar berisi pendapat, sikap, dan pengalaman pribadi (SulistyoBasuki, 2006: 173). Ada dua jenis wawancara menurut Sudarwin (2002), yaitu
wawancara relatif tertutup dan wawancara terbuka.Peneliti menggunakan
wawancara terbuka untuk mendapatkan data yang penuh maknadan memberikan
kebebasan untuk berbicara secara luas dan mendalam. Jenis pengambilan data ini
dapat
secara leluasa menggali
data selengkap mungkin dan sedalam
mungkinsehingga pemahaman peneliti terhadap fenomena yang ada sesuai dengan
pemahaman para informan itu sendiri. Informan untuk penelitian ini ada sebelas
orang yang terdiri dari pengrajin sekaligus pengusaha dan pengusaha sekaligus
kolektor.Ada empat belas orang informan yang diwawancara secara mendalam.
Tujuh orang adalah pengusaha dan pengrajin batik: Pak Fadhil, Pak Ilzam
(keponakan Pak Fadhil), Bu Chosnia dan Bu Fatimah (Ibu dari Bu Chosnia), Bu
Faiga (keturunan Arab-Cina), Mas Ryan, Bu Rahmah (pengusaha dan pengrajin
batik sutera). Dari tujuh orang ini, tiga diantaranya, Pak Fadhil, Pak Ilzam, dan Bu
Faiga memiliki showroombatik.Empat orang adalah pengrajin batik: Bu Hayati,
Bu Robiah (Ibu dari Bu Hayati), Khodijah, Bu Sirah (Ibu dari Khodijah). Satu
orang adalah pengusaha dan pemilik Rumah Batik Jawa Timur, Mas Rizqi (anak
dari Bu Faiga, pengusaha dan pengrajin batik). Dua orang dari pemerintah daerah
Pamekasan, Pak Sony dan Bu Fadhilah. Para pengusaha sekaligus pengrajin ini
menyebut diri mereka pembatik.
Pemilihan informan, peneliti menggunakan teknik snowball. Teknik
snowballadalah suatu metode untuk mengidentifikasi, memilih, dan mengambil
informan dalam suatu jaringan atau rantai hubungan yang menerus (Neuman,
2003). Atau dengan kata lain, teknik snowball (bola salju) adalah metode di mana
informan diperoleh melalui proses bergulir dari satu informan ke informan yang
lainnya. Teknik ini mampu menemukan informan yang tersembunyi atau sulit
ditentukan. Sebagian besar informan yang didapatkan adalah hasil dari teknik
snowballing dengan orang kunci, Mas Ryan.
Untuk memperkuat argumen dan hasil pengambilan data dari para
informan, peneliti juga melakukan studi pustaka dan pendokumentasian kegiatan
penelitian. Studi Pustaka dilakukan untuk memperkaya pengetahuan mengenai
berbagai konsep yang akan digunakan sebagai dasar atau pedoman dalam proses
penelitian (Martono, 2011: 97). Peneliti mengumpulkan data-data dengan
mempelajari buku-buku referensi, artikel-artikel ilmiah dalam jurnal-jurnal
ilmiah, dan media lainnya. Menurut Sugiyono (2009: 240), dokumen merupakan
catatan atas peristiwa yang telah berlalu. Peneliti menggunakan dokumen berupa
foto-foto, gambar, serta data-data penunjang lainnya mengenai Batik Madura.
Hasil penelitian dari observasi dan wawancara mendalam akan semakin sah dan
dapat dipercaya apabila didukung oleh dokumen-dokumen seperti foto.
Pulau Madura
Pulau Madura secara administrasi termasuk ke dalam Provinsi Jawa Timur
meskipun pada kenyataanya, Jawa Timur dan Madura memiliki perbedaan
kebudayaan yang jauh. Dari segi bahasa, Madura memiliki bahasa daerahnya
sendiri, tidak sama dengan bahasa yang digunakan di Pulau Jawa yaitu Bahasa
Jawa. Meskipun demikian saat ini perbedaan tersebut tidak terlalu terlihat karena
banyaknya interaksi sosial yang terjadi antara masyarakat Madura dan masyarakat
Jawa khusunya Jawa Timur yang mengakibatkan percampuran budaya. Madura
dikenal sebagai pulau penghasil garam terbesar di Indonesia dan berhasil
memasok 70% kebutuhan garam nasional. Selain itu, Madura juga dikenal sebagai
pemasok tembakau paling berkualitas se-Indonesia, penghasil minyak bumi dan
gas alam.
Di Pulau Madura terdapat empat kabupaten yaitu Bangkalan, Sampang,
Pamekasan dan Sumenep. Setiap kabupaten memiliki komposisi penduduk yang
berbeda. Data BPS Jawa Timur menunjukkan komposisi penduduk di Madura
terbanyak berada di kabupaten Sumenep dengan total proyeksi penduduk pada
2015 adalah sebanyak 1.072.113, kemudian kabupaten Bangkalan dengan total
sebanyak 954.305 dan Sampang sebanyak 936.801. Kabupaten Pamekasan
memiliki jumlah penduduk paling sedikit yaitu sebanyak 845.314. Perbedaan
jumlah penduduk tersebut tidak terlalu berpengaruh terhadap laju pertumbuhan
penduduk pada tahun 2014-2015 karena Kabupaten Pamekasan yang memiliki
penduduk paling sedikit nyatanya memiliki laju pertumbuhan penduduk yang
cukup tinggi yaitu sebesar 1,09%. Banyak dari jumlah populasi tersebut berprofesi
sebagai pembatik baik laki-laki maupun perempuan. Menurut data yang dihimpun
kementrian perdagangan menyebutkan bahwa 90% pemuda di daerah Tanjung
Bumi, Bangkalan berprofesi sebagai pembatik. Di Bangkalan memang terkenal
dengan batik tanjung bumi. Disetiap kabupaten memiliki pengrajin batik masingmasing yang kemudian menjadi ciri khas tersendiri dari masing-masing
kabupaten. Di Madura hampir tidak ada batik yang dibuat dengan teknik cap,
hampir sebagin besar batik yang diproduksi dengan tangan.
Industri batik di Pamekasan merupakan industri rumahan yang
pertumbuhannya didukung penuh oleh pemerintahan Kabupaten Pamekasan.
Dukungan tersebut membuat indusri yang memang kecil ini dapat terus tumbuh
semakin pesat, meski pada mulanya hanya berupa industri kecil rumah tangga.
Keahlian membatik tidak didapatnya dai lembaga-lembaga kursus, melainkan
diajarkan secara turun temurun, dari generasi ke generasi, dari orang tua ke anakanaknya. Hal tersebut yang menjadikan keterampilan membatik unik untuk lebih
dikaji lebih jauh karena sarat akan nilai dan kebudayaan yang juga turun di
turunkan secar turun menurun. Meski pembatik-pembatik tersebut berada dalam
satu kabupaten, bukan berarti motif dan ragam batik yang mereka buat akan sama.
Di Pamekasan motif dan ragam batik tersebut memiliki khas nya masing-masing
berdasarkan lokasi yang lebih sempit seperti batik Banyumas, batik klampar, batik
candiburung, batik toronan dan banyak lainnya. Lokasi-lokasi tersebut tersebar di
sebelas kecamatan dengan jumlah pembatik terbanyak berada di daerah Proppo.
Perkembangan industri batik tersebut mendapat dukungan penuh dari
pemerintah sehingga dibuatlah sentra batik di beberapa lokasi sebagai pendukung
perekonomian masyarakat pembatik dan dengan tujuan memberikan market
placekepada industri batik Pamekasan. Terdapat 28 sentra yang tersebar di 7
kecamtan yaitu :
1. Kecamatan Pamekasan terdapat 5 sentra (Desa Kowel terdapat 2 sentra,
Desa Toronan, Nylabu Daja dan Kelurahan Gladak Anyar masing-masing
1 sentra).
2. Kecamatan Proppo terdapat 12 sentra (Desa Klampar terdapat 5 sentra,
Desa Toket dan Candiburung masing-masing 3 sentra dan Desa Rangperang Daja terdapat 1 sentra).
3. Kecamatan Palengaan terdapat 6 sentra (Desa Banyopelle terdapat 2
sentra, Desa Panaan, Angsanah, Akkor dan Larangan Badung masingmasing 1 sentra).
4. Kecamatan Waru terdapat 1 sentra ( terdapat di Desa Waru Barat).
5. Kecamatan Pegantenan terdapat 2 sentra ( masing-masing terdapat di
Desa Bulangan Haji dan Ambender).
6.
Kecamatan Galis terdapat 1 sentra ( di Desa Pagendingan).
7.
Kecamatan Tlanakan terdapat 1 sentra ( di Desa Larangan Slampar).
Disamping tujuh sentra batik yang dibentuk oleh pemerintah kabupaten,
juga dibentuk pula beberapa fasilitas lainnya guna meningkatkan pasar industri
batik seperti Pasar Batik Tradisional dan showroom yang diperuntukkan bagi
industri kecil rumah tangga tersebut. Kedua fasilitas tersebut berada di pusat kota
kabupaten Pamekasan, sehingga disamping dapat menjadikan industri batik
berkembang juga dapat meningkatkan industri dari segi pariwisata daerah.
Pada tanggal 24 Juni 2009 oleh Gubernur Jawa Timur dalam agenda
Perencanaan bulan bakti gotong royong, Pamekasan dinobatkan sebagai
“kabupaten batik”. Dalam agenda tersebut juga diadakan kegiatan membatik
terpanjang di dunia uang kemudian dapat memecahkan rekor muri. Terdapat
seribu pembatik perempuan membatik secara bersama-sama dalam kain sepanjang
1.530 meter. Disamping hal-hal yang telah disebutkan, masih banyak kebijakan
pemerintah yang mendorong kepada pelestarian dan perkembangan industri batik
Pamekasan.
Penelitian ini akan terfokus pada kabupaten Pamekasan karena dinobatkan
sebagai kota batik di Madura. Di Pamekasan juga, terdapat pasar batik terbesar di
Madura, yaitu Pasar 17 Agustus. Setiap minggunya, para pembatik dari berbagai
desa dan dari tiga kabupaten lainnya akan datang untuk berdagang batik di tempat
ini. Sebagai pusat dari keberadaan Batik Madura tersebutlah, peneliti memilih
kota tersebut.
Secara geografis, Kabupaten Pamekasan terletak pada posisi 6°52 sampai
7°13 Lintang Selatan dan 113°19 sampai 113°58 Bujur Timur, dengan batas-batas
administrasi : sebelah utara, Laut Jawa; sebelah selatan : Selat Madura; sebelah
Barat : Kabupaten Sampang, dan sebelah Timur : Kabupaten sumenep (Fath dkk,
2004:14)
Pamekasan terdiri dari tiga belas kecamatan, yang terbagi lagi menjadi 178
desa
dan
sebelas
kelurahan.
Tiga
belas
kecamatan
tersebut
adalah:
Kecamatan Tlanakan, Kecamatan Proppo, Kecamatan Pegantenan, Kecamatan
Pasean, Kecamatan Pamekasan, Kecamatan Palengaan, Kecamatan Pademawu,
Kecamatan Kadur, Kecamatan Larangan, Kecamatan Galis, Kecamatan Batu
MarMar, Kecamatan Pakong, Kecamatan Waru (Fath, 2004: 16).
Daerah Madura, termasuk Pamekasan memiliki hutan yang cukup luas
sebelum masuknya masa pemerintahan Belanda. Pulau Madura merupakan daerah
hijau yang tertutup hutan (Hadiwidjojo, 1959 dalam Fath, 2004: 18). Sekitar akhir
abad ke-19, hutan-hutan di Madura ditebang, tujuan penebangan ini ialah agar
para petani Madura bersedia bekerja di perusahaan-perusahaan perkebunan Barat
di wilayah Jawa Timur. Sejak saat itulah ekologi Madura secara berangsur-angsur
menurun, karena hampir setiap tahun terjadi banjir yang menghanyutkan unsur
hara tanah, hingga saat ini Madura dikenal sebagai daerah yang tandus dan kering.
Kabupaten Pamekasan lahir dari proses sejarah yang cukup panjang. Nama
Pamekasan baru dikenal pada abad ke 16, ketika Ronggo Sukowati mulai
memindahkan pusat pemerintahan dari Keraton Lawangan Daya (Baca: Labangan
Daja) ke Keraton Mandilaras (Hartono, 2001: 17).
Munculnya sejarah Pemerintah Lokal Pamekasan, diperkirakan ada pada
pertengahan abad ke lima belas. Berdasarkan sumber sejarah tentang lahirnya
mitos atau legenda Aryo Menak Sumoyo yang mulai merintis Pemerintahan Lokal
di daerah Proppo atau Parupuk, yang pada saat ini merupakan salah satu
kecamatan di kabupaten Pamekasan, diperkirakan Pamekasan pada zaman dulu
merupakan bagian dari pemerintahan Madura dan Sumenep. Pemerintahan ini
telah berdiri sejak pengangkatan Arya Wiraraja pada tanggal 13 Oktober 1268
oleh Kertanegara, hal ini dituliskan didalam website resmi Pemerintah
Pamekasan.
Batik Madura
Secara etimologi batik berasal dari kata tik yang berarti kecil (Salaimun
2013: 6). Seperti terdapat dalam istilah Jawa seperti klitik (warung kecil), bentik
(persinggungan kecil antara dua benda, kitik (kutu kecil), dan lain sebagainya.
Istilah ambatik dalam bahasa Jawa sering disebut anyerat (menulis atau
menggambar serba rumit dan kecil-kecil), mempunyai arti melukis pada kain
(mori) dengan malam (lilin) dengan alat chanting yang dibuat dengan tangan
(Kuswadji Kawindrasusanto, 1992:2 dalam Budaya Panggung Vol.20, no.4,
Oktober – Desember 2010: 378 - 390). Proses pembuatan batik dengan
menggambarkan titik-titik yang akhirnya membentuk suatu pola atau motif pada
kain. Batik memiliki dua pola, yaitu ornamen dan isen (Susanto, 1973 dalam
Salaimun 2013: 6). Ornamen terbagi menjadi ornamen utama yang memiliki
filosofi dan makna, dan ornamen tambahan yang tidak memiliki arti, tapi hanya
pengisi bidang. Isen berwujud titik, garis, gabungan titik dan garis yang berfungsi
untuk mengisi ornamen-ornamen dari motif atau mengisi bidang diantara ornamen
tersebut.
Batik juga diartikan sebagai ngembat titik atau rambataning titik-titik.
Kata kerja “membatik” merupakan suatu hasil proses panjang dari melukis motif
hingga tahap akhir proses (babaran) (K.R.T Kalinggo Honggopuro, 2002: 1-2
dalam Jurnal Seni & Budaya Panggung Vol.20, no.4, Oktober – Desember 2010:
378 - 390).
Motif batik di tiap daerah memiliki perbedaan tergantung letak geografis
suatu masyarakat. Batik pesisir memiliki corak yang naturalis, sedangkan batik di
pedalaman memiliki corak yang sifatnya simbolis (Salaimun 2013: 3). Karena
etnis Madura berada di pesisir, motif batik yang tertulis di kain bermotif naturalis.
Batik yang diakui dari para informan yang diwawancara adalah batik tulis.
Batik cap dan printinting bukan dalam hitungan batik bagi mereka, walaupun
secara kualitas gambar, batik tulis kurang sempurna karena hasil gambar yang
tidak simetris dan terkadang ada malam yang terurai atau bleber ketika dicanting.
Pengelompokkan batik ini juga ada sejak zaman Belanda. Hal ini dikatakan oleh
Mas Rizqi, seorang pengusaha batik dan pemilik Rumah Batik Jawa Timur yang
menyukai sejarah.
“Pada masa Belanda, Belanda menamakan batik ada tiga, the
real batik (batik tulis), batik industri (batik cap), dan batik
imitasi (printing). Belanda yang membuat printing menuliskan
pada hasil printingnya bahwa itu adalah tekstik motif batik,
tidak menyebutkan bahwa itu adalah batik. Pada masa itu,
setiap tekstil yang dihasilkan pasti ada sebuah tulisan yang
menjelaskan tentang kain tersebut. Sekarang, bagian tersebut
akan digunting. Sekarang batik printing sudah banyak di
pasaran dengan harga yang mahal bisa mencapai Rp 200 ribu,
Rp 300 ribu, padahal pengerjaannya tidak serumit batik tulis.”
Mas Rizqi juga menunjukkan gambar printing buatan Belanda. Di samping
gambar pada kain tersebut tertulis textile bathik motif.Batik Pamekasan sendiri
masih belum ada batik printing, tapisudah ada batik cap. Mereka menggunakan
paku untuk membuat cetakan cap. Terkadang juga menggunakan kayu sebagai
bahan untuk membuat cap untuk membuat batik cap. Proses cap pada batik
dianggap tidak begitu baik oleh Bu Chos, pengusaha sekaligus pengrajin batik di
Kampung Banyumas, Desa Klampar, harga jualnya akan langsung turun sekitar
Rp 25 ribuper lembarnya, berbeda dengan harga batik tulis. Pembuatan pola batik
cap menggunakan paku-paku kecil dan seng yang telah dipotong, yang dibentuk
menjadi berbagai macam pola. Cetakan akan dimasukkan kedalam malam dan
langsung dicap pada batik. Hal ini membuat proses pengerjaan batik lebih cepat,
sekitar lima menit untuk membuat pola dan membatik pada kain. Berbeda dengan
batik tulis yang memerlukan waktu sekitar tiga hari untuk dapat jadi satu buah
kain batik.
Batik bagi para pengrajin memiliki nilai seni yang tinggi. Pak Fadhil,
pengusaha sekaligus pengrajin, menyatakan bahwa, batik tulis masih bertahan
sampai sekarang bukan sekedar kain yang dipergunakan untuk pakaian seharihari.
“Orang tuh membeli proses dan seni yang ada di dalamnya,”
Proses berkesenian yang memakan waktu yang cukup lama tersebut
dengan bahan-bahan berkualitas, membuat harga batik tulis menjadi mahal. Ada
batik yang baru terjual yang masih diketel1 seperti pada zaman dulu dan
digentong2. Harga batik mahal karena proses kerjanya. Seringkali orang-orang
bertanya apa yang menyebabkan batik tulis mahal. Mereka mengira bahwa bahan
1
Ketel adalah proses awal dari membatik. Para pengrajin batik (informan) menyatakan
pengetelan yang dilakukan adalah, kain sebelum diberi malam akan direndam dengan
menggunakan minyak camplong atau minyak jarak dengan soda abu. Dalam buku yang
dikeluarkan Diperindag Jawa Timur (Pramayoga: 27) para pengrajin menggunakan ramuan
merang atau minyak kacang untuk merebus kain dalam proses ketel. Kegunaannya agar warna
kain lebih kuat dan lebih menempel. Selain itu, juga untuk merapatkan serat-serat kain. Ketel
tidak hanya ada pada batik Madura, batik Yogyakarta juga mengenal proses ini. Bu Faiga,
pengusaha batik menyatakan bahwa pada masa kini banyak pengrajin yang tidak mengketel
batiknya karena malas. Mereka memilih untuk mencuci kain dengan soda api sebelum dibatik.
2
Digentong adalah proses pewarnaan alamiuntuk menghasilkan warna biru (indigo). Batik
direndam dalam wadah berupa gentong tanah liat yang sudah dicampurkan dengan tumbuhtumbuhan sebagai pewarna. Berbeda dengan pewarna kimia yang hanya perlu dicelup saja, tidak
sampai direndam selama beberapa hari.Bu Faiga, pengusaha batik keturunan Arab-Cina,
sekaligus Ibu dari Mas Rizqi, pemilik Rumah Batik Jawa Timur menjelaskan bahwa proses gentong
memakan waktu 15 hari, batik masa kini sering disebut batik menitan karena dalam beberapa
menit pencelupan, sudah jadi batik. Gentongan pada zaman dulu hanya ada di Tanjung Bumi,
Bangkalan dan dikerjakan oleh beberapa keluarga turunan yang benar-benar mewarisi proses
pewarnaan ini. Mitos yang dipercaya dalam gentongan adalah, warna tidak akan jadi jika warga
sekitar meninggal dan pada hari Kamis tertentu, pengrajin harus melakukan beberapa ritual
seperti membakar dupa (Pramayoga, tahun tidak diketahui: 34)
bakunya yang mahal. Jika proses pengerjaan cepat sekali, harga batik yang mahal.
Sebuah karya seni tidak dapat dilihat secara teknis, nyaris berdasarkan perasaan
penikmat saja. Teknik pembuatan dan kerumitan motif menjadi salah satu standar
nilai seni batik (Purwanto, 2003: 15). Hal ini pula yang dialami salah satu peneliti
yang tidak begitu memahami batik, sulit membedakan batik tulis, batik cap, dan
printing. Ketika menanyakan masing-masing informan, mereka juga sulit
menjelaskan kekhasan dari batik Madura, tapi mereka tahu seperti apa batik
Madura hanya dengan melihatnya.
Rata-rata batik Madura akan diketel sebelum dibatik. Pengrajin yang
peneliti temui selalu menggunakan proses pengetelan terhadap batik-batik
mereka, kecuali batik sutera. Pengetelan sudah pasti dilakukan pada proses batik
tulis dan batik cap. Printing tidak akan melalui proses pengetelah. Batik sutera
tidak diketel karena akan merusak serat kain. Walaupun prosesnya lebih lama,
para pembeli lebih menyukai batik yang melalui proses pengketelan karena
kualitas warnanya yang lebih tahan lama hingga dua tahun. Hal ini dijelaskan oleh
Pak Atin, salah satu pedagang batik Madura di Pasar 17 Agustus. Selian Pak Atin,
Pak Fadhilah dan Bu Faiga juga masih mempertahankan pengketelan terhadap
batik yang mereka produksi.
Ciri khas pada batik Madura bukan terletak pada motif, melainkan melalui
warna dan isen. Motif pada batik Madura dipengaruhi oleh kebudayaan Jawa.
Motif-motif tersebut juga peneliti temukan pada batik-batik Jawa berbagai buku
dan katalog. Warna yang tertuang pada batik Madura adalah warna yang
bernuansa tegasmemperlihatkan watak orang Madura yang tegas dan menjunjung
harga diri (Kompas, 29 Mei 2016). Ciri khas warna, pada batik Madura selalu
ditemukan warna merah pada batiknya. Walaupun batik memiliki warna sogan3,
selalu ada warna merah. Pemberian warna merah atau warna-warna mencolok
tidak hanya ada pada batik Madura, tapi juga pada seni ukir (Sulaiman 1980 pada
Fahmi Fauza, tahun tidak diketahui: 15). Nenek dari Bu Rahmah, pengrajin batik
sutera, bercerita pengalamannya kepada Bu Rahmah, ketika orang-orang ingin
memberi warna sogan, yang muncul saat itu adalah warna merah dan ini sudah
3
Warna sogan adalah warna coklat natural (kayu dan tanah) yang biasa ditemui pada batik klasik
Jawa.
ada pada batik kuno Madura. Warna merah pada batik Madura juga dikemukakan
oleh Pak Fadhil. Pak Fadhil bercerita kemungkinan ada keterkaitan antara warna
merah dengan baju yang dikenakan tokoh Madura, Sakera. Ia menggunakan kaus
bergaris merah putih dengan luaran dan celana gombrong hitam dengan ikat
pinggang dan golok yang terselip. Warna merah tersebut yang dituangkan pada
batik Madura. Cerita Sakera ini adalah salah satu bentuk folklor yang
memperkaya cerita tentang batik.
Merah yang tergambar berbeda dengan warna batik pada umumnya yang
lebih muda. Pada batik Madura, warna merah yang dihasilkan lebih cerah dan
lebih berani.
Madura tidak memiliki aturan yang pasti dalam membatik. Pada batik
Madura dapat ditemui gambar yang sama, tapi isen yang berbeda. Para pengrajin
biasanya akan memvariasikan pada isen (Paramayoga, tahun tidak diketahui: 40).
Desa Toket adalah desa yang terkenal dengan variasi motif dan isen. Hal ini yang
beberapa kali disampaikan oleh Mas Rizqi dan Mas Ryan. Walaupun tidak
memiliki aturan seperti batik di Pulau Jawa, seringkali batik Madura tergambar
motif-motif yang figuratif. Motif figuratif adalah gambar nyata sesuai dengan
wujud aslinya seperti bunga, ikan, burung, dan sebagainya (Paramayoga, tahun
tidak diketahui: 22). Motif yang paling banyak peneliti temui ketika berada di
lapangan adalah motif merak, burung, ayam, dan bunga. Ini pula yang disebutkan
oleh setiap informan ketika melakukan wawancara. Motif-motif ini paling banyak
ketika dibuat oleh orang tua atau kakek-nenek mereka. Tidak jarang pula, sebagai
penerus usaha, mereka masih menggunakan motif figuratif. Walaupun batik
Madura tidak memiliki pakem pada motifnya, motif beserta isen yang tertuang
pada batik Madura tidak lepas dari konteks kehidupan masyarakat pada
masanya.Para pengrajin pun memiliki desain batik sendiri. Setiap tiga hingga
enam bulan, desain batik akan berganti (Kompas, 29 Mei 2016). Pada video
Selisik Batik Kompas, serial pembahasan batik di tiap dua minggunya, salah
seorang informan yang diwawancara menyatakan bahwa batik Madura termasuk
batik limited edition karena setiap pengrajin memiliki ciri khas masing-masing.
Satu orang pembatik mengeluarkan desain, pengrajin lain akan berusaha meniru
dengan variasi yang mereka berikan. Bu Chos, mengeluarkan desain batiknya
setiap tiga bulan sekali.
Harian Kompas pada 29 Mei 2016 menuliskan bahwa batik Madura
merepresentasikan watak orang Madura. Keberanian dan ketegasan memunculkan
warna-warna berani. Batik Madura memiliki perjalanan evolusi budaya dari
berbagai macam budaya yang mencerminkan karakter dinamin, egaliter, kesukaan
seerba praktis, dan keinginan meluap-luap untuk “eksis” dengan tampil beda.
Bu Chosnia, pengusaha dan pengrajin batik dari Desa Toronan
menjelaskan bagian-bagian dari Batik Madura. Gambar besar atau desain utama
pada batik disebut dengan motif. Isian atau isen adalah variasi yang digambarkan
pada motif. Pada beberapa bagian, ada yang ditorehkan malam dalam area yang
cukup luas. Ini disebut dengan nebeng atau ngeblok. Nebeng ini gunanya agar
kain tidak tertutup pewarna. Colet adalah kebalikan dari nebeng, bagian
permukaan yang cukup luas diberi pewarna untuk menonjolkan suatu motif
tertentu. Pada buku yang dikeluarkan oleh Disperindag Jawa Timur, pencoletan
ini memberi efek warna-warni dan sangat kuat pada batik pesisiran (Paramayoga,
tahun tidak diketahui: 28).
Batik Madura berbeda dengan batik di Pulau Jawa. Di Pulau Jawa, selain
memiliki pakem tersendiri, batik yang dihasilkan gambarnya lebih halus dan lebih
detail. Berbeda dengan batik Madura, dimana lukisan batik yang dihasilkan
terkesan dilakukan dengan terburu-buru dan kasar, serta tidak rapi. Motif yang
tertuang biasanya berukuran besar-besar. Walaupun begitu, Madura juga memiliki
batik halus yang disebut dengan batik podeg.
Ada ekspresi tersendiri yang ingin ditampilkan oleh orang Madura pada
batik yang dihasilkan. Ekspresi ini terlihat dari segi motif dan juga warna-warna
yang dipilih. Sejak masih menggunakan pewarna alam, batik Madura selalu
ditemukan warna-warna cerah. Masyarakat Madura tidak takut untuk memberikan
warna sebagai aksentuasi (Fauza, tahun tidak diketahui: 15).
Kreasi dan kreativitas lain yang ditampilkan orang Madura adalah
memvariasikan kembali atau menciptakan kembali batik dari batik yang sudah
jadi. Hal ini ditemui oleh peneliti di Pasar 17 Agustus. Pembatik menunjukkan
bahwa batik yang dijual oleh pedagang disebelahnya adalah printing modifikasi.
Printing dimalam dan diberi warna lagi untuk menghasilkan batik dengan kreasi
yang berbeda.
Masuknya Batik ke Madura
Cerita sejarah lahirnya batik Madura memiliki dua versi, yaitu pada
masa kerajaan-kerajaan Hindu Buddha dan versi kiai poleng. Masuknya Batik ke
Madura tidak dapat dipisahkan dengan sejarah kerajaan di Jawa, karena batik
madura merupakan budaya yang dipelajari dari jawa. Kisah ini terjadi sekitar
tahun 1271M, saat Jayakatwang yang merupakan raja dari kerajaan Kediri yang
berada dibawah pemerintahan Singosari berkhianat dengan menyerang Singosari
hingga kerajaan Singosari runtuh (Zainalfattah, 1951 : 14). Raden Wijaya yang
telah menikah dengan putri dari kerajaan Singosari, lalu melarikan diri ke Madura
dan disambut oleh penguasa Sumenep pada saat itu, yaitu Arya Wiraraja.
Didalam pelariannya, Raden Wijaya yang merupakan anak dari pangeran
kerajaan Singosari
membawa dayang-dayang dan peralatannya ke Sumenep.
Ketika rombongan Raden Wijaya datang, kemudian mereka dilayani oleh kerajaan
Sumenep. Berdasarkan pertemuan inilah kemudian Batik menjadi tersebar.
Rombongan Raden Wijaya yang memiliki keahlian membatik melakukan
aktivitasnya didalam lingkungan kerajaan Sumenep dan kemudian dilihat oleh
pelayan-pelayan kerajaan Sumenep dan pada masa itu dipanggil pula orang-orang
terbaik dari berbagai daerah di Madura, yaitu dari Sampang, Bangakalan,
Pamekasan untuk melayani rombongan Raden Wijaya, sehingga kemudian
aktivitas membatik yang dilakukan oleh rombongan Raden Wijaya dilihat oleh
pelayan-pelayan dari seluruh Madura. Pelayan-pelayan ini kemudian mulai
mencoba membatik ketika kembali kedaerah asalnya masing-masing. Itulah
sejarah asal mula ada batik Madura menurut versi kerajaan hindu buddha. Hal ini
disampaikan oleh
Menurut Mas Rizqi, pada masa itu adalah pertama kali
masuknya batik ke Madura.
Karena sejarah masuknya batik ke Madura yang sangat erat dengan
keraton-keraton di Jawa, maka sangat mungkin bahwa batik di Madura pada masa
kerajaan ini masih meniru pakem-pakem dari Jawa. Kemudian, ajaran Islam
masuk ke Madura pada masa pemerintahan Ronggosukowati di pertengahan abad
16. Masuknya ajaran Islam ini juga berdampak pada batik-batik yang dihasilkan
pada masa ini. Mas Rizqi sempat memperlihatkan gambar batik dari Sumenep.
Motif batik tersebut adalah Panji Pangalasang yang dipergunakan untuk
berperang. Jika batik itu dikenakan oleh petinggi kerajaan, maka ada perintah
untuk berperang. Pada batik tersebut tergambar seekor burung phoenix yang tidak
utuh karena pengaruh Islam sudah masuk, tidak memperbolehkan menggambar
hewan secara utuh, bagian kepalanya dihilangkan oleh pengrajin saat itu. Batik
tersebut ada di tahun 1800an dengan bahan tenun. Penghilangan satu bagian dan
tidak tergambar secara utuh pada batik disebut juga Stilasi. Sumenep mengambil
gambar phoenix karena Madura pada saat itu sudah mulai berinteraksi dengan
budaya yang berasal dari China. Phoenix menjadi lambang peperangan karena
burung phoenix merupakan burung yang tidak pernah mati, sehingga kemenangan
diharapkan menjadi milik orang yang memakai motif burung phoenix.
Pada batik phoenix tersebut terdapat beberapa unsur budaya didalamnya,
stilasi menjadi penanda kebudayaan agama Islam yang sudah mempengaruhi,
gambar burung phoenix adalah pengaruh dari budaya Cina, yang pada masa itu
sudah masuk ke Madura, dan proses batik itu sendiri yang merupakan budaya dari
Pulau Jawa. Ketiga unsur ini terintegrasi dan diakomodasi menghasilkan sebuah
kain batik. Percampuran ketiga unsur tersebut sehingga menghasilkan suatu karya
yang baru, namun tetap mempertahankan kepribadian dari masing-masing
kebudayaannya disebut juga dengan akulturasi (Koentjaraningrat, 1990: 91).
Kemudian versi kedua masuknya batik ke Madura adalah versi Kiai
Poleng. mengenai Kiai Poleng. Dulu ada suatu negara yang bernama negara
Medangkamulan, dengan Keraton Giling Wesi. Rajanya bernama Sang Hyang
Tunggal. Kerajaan ini ada sekitar tahun 929 Masehi. Raja Sang Hyang Tunggal
memiliki seorang anak gadis. Pada suatu hari, anak gadis ini bermimpi bahwa
mulutnya kemasukkan rembulan hingga kedalam perutnya, dan tidak keluar lagi.
Beberapa bulan setelah mimpi itu datang, anak gadis tersebut menjadi hamil dan
diketahui oleh ayahnya. Raja menanyakan kepada anak gadisnya mengapa
anaknya bisa hamil, namun anak tersebut tetap diam karena ia juga tidak tahu
mengapa ia bisa hamil.
Raja yang sangat marah memanggil patihnya yang bernama Pranggulang.
Patih tersebut diperintahkan untuk membunuh anak gadis tersebut. Sebagai bukti
bahwa gadis itu mati, Patih harus membawa kepala gadis tersebut kepada raja.
Patih tersebut diberikan sebuah peringatan apabila tidak melakukan perintah Raja,
ia harus pergi dari kerajaan serta diturunkan statusnya dari patih.
Patih tersebut membawa anak gadis ke hutan untuk membunuhnya. Ia
menghunus dan mengayunkan pedang kelehernya sebanyak tiga kali, namun
setiap kali ia mencoba membunuh gadis itu, pedangnya jatuh ke tanah. Patih
tersebut berpikir bahwa gadis ini hamil bukanlah karena kesalahannya. Ia berkata
kepada si gadis, ”Harusnya sudah tiga kali kepalamu putus, namun hal tersebut
tidak dapat terjadi, sekarang biarlah aku saja yang mengalah dan tidak kembali
ketempat Raja”. Mulai saat itu, ia berubah nama menjadi Kiai Poleng. Poleng
dalam bahasa Madura berarti kain tenunan Madura. Setelah kejadian itu pula,Kiai
Poleng merubah pakaiannya, yaitu memakai kain, baju, dan ikat kepala dari kain
poleng, dan inilah kain yang dianggap sebagai permulaan perkembangan kain
batik di Madura oleh beberapa kalangan.
Ia membuat sebuah perahu yang disebut ghitek, kemudian gadis itu
didudukkan diatasnya dan ghitek itu diarahkan menuju Madu Oro, yang artinya
pojok di ara-ara atau pojok menuju ke arah yang luas. Inilah sebabnya pulau
tersebut dinamakan pulau Madura. Ada juga cerita lain yang mengatakan bahwa
Madura berasal dari kata Lemah Dhuro, yang artinya tanah yang tidak
sesungguhnya karena apabila air laut surut, tanah di Pulau Madura kelihatan,
namun apabila air lautnya pasang, maka tanahnya tidak kelihatan.
Sebelum diberangkatkan, gadis itu dipesankan oleh Kiai Poleng, bahwa
jika membutuhkan pertolongan, pukulkan kakinya tiga kali ke tanah, maka Kiai
Poleng akan datang untuk menolongnya. Ia juga memberikan buah-buahan kepada
si gadis tersebut.
Ghitek yang ditumpangi oleh si gadis akhirnya terdampar di Gunung
Geger. Ia lalu turun dari Gunung Geger dan tinggal duduk di bawah pohon Pelasa
(pohon sejenis jati, namun lebih kecil dan daunnya sering dijadikan bungkusnya
tembakau radjangan).
Setelah beberapa waktu, tiba saatnya si gadis untuk melahirkan. Ia
menghentakkan kakinya ke tanah sebanyak tiga kali dan Kiai Poleng langsung
datang. Gadis tersebut melahirkan seorang anak lelaki, dan diberi nama Raden
Sagoro. Keluarga ini menjadi penduduk Madura yang pertama. Kiai Poleng
datang dan pergi ditengah keluarga ini.
Perkembangan Sosial-Budaya dibalik Pembuatan Batik
Menelusuri transformasi budaya pada Batik Madura, peneliti membagi
kedalam pembabakan beberapa masa. Pembabakan ini dibuat berdasarkan
subjektivitas peneliti untuk memperlihatkan perubahan dan dinamika masyarakat
yang terjadi terhadap batik Madura. Adapun peneliti membagi masa tersebut
menjadi tiga, yaitu Masa Kerajaan, Masa Transisi, dan Masa Modern.
Masa Kerajaan
Madura, termasuk juga Pamekasan tidak pernah menjadi kesatuan politik
yang berdiri sendiri (Jonge,1989 dalam Fath, 2004). Antara tahun 1100-1700
berturut-turut kerajaan di Madura berada dibawah supremasi kerajaan-kerajaan
Hindu di Jawa Timur, Negara-negara islam pesisir Demak dan Surabaya, dan
Kerajaan Islam di Jawa Tengah. Pembahasan mengenai kerajaan di Madura
timbul karena berhubungan dengan sejarah masuknya batik ke Madura. Telah
dijelaskan diatas bahwa salah satu versi masuknya batik ke Madura adalah pada
saat pemerintahan Arya Wiraraja, lanjutan pemerintahan Arya Wiraraja
di
Sumenep digantikan oleh Ario Bangah, dan Arya Wiraraja dipindahkan ke daerah
Blambangan, untuk membalas budi baik karena telah menolong Raden Wijaya
mendirikan kerajaan Majapahit(Zainalfattah, 1951 : 16) Karena sejarah masuknya
batik ke Madura yang sangat erat dengan keraton-keraton di Jawa, maka sangat
mungkin bahwa batik di Madura pada masa kerajaan ini masih meniru aturan
batik dari Jawa.
Masuknya batik ke Madura, memperlihatkan bahwa batik bukanlah
budaya yang sudah ada sejak dulu di Madura. Ada pengaruh budaya lain yang
bersinggungan dengan masyarakat Madura. Interaksi antar masyarakat dan orangorang di dalamnya membawa kebudayaan batik dan membatik kepada masyarakat
Madura. Perkembangan kebudayaan ini disebut juga dengan difusi budaya atau
persebaran budaya.
Difusi kebudayaan merupakan proses dimana adanya pergerakkan suatu
bentuk atau hasil kebudayaan dari satu tempat atau satu etnis ke etnis atau tempat
di sekitarnya. Masyarakat dalam suatu etnis akan berinteraksi dengan etnis yang
berada di sekitarnya. Interaksi yang terjadi inilah yang menyebabkan adanya
pertukaran kebudayaan, sehingga ada urusan saling mempengaruhi kebudayaan
yang terjadi (Koentjaraningrat, 1987: 111). Hal ini pula yang menyebabkan
persebaran kebudayaan terjadi. Dalam konteks ini, hubungan orang-orang Madura
dengan orang-orang kerajaan di Pulau Jawa membuat kemunculan budaya
membatik pada masyarakat Madura yang diperkenalkan oleh para putrid kerajan
di Pulau Jawa.
Perkembangan budaya berikutnya adalah masuknya ajaran Islam ke
Madura pada masa pemerintahan Ronggosukowati di pertengahan abad 16. ada di
Semakin berkembangnya peradaban masyarakat Madura saat itu dan
mulai runtuhnya kerajaan di Sumenep, membawa perubahan pula pada batik
Madura. Batik Madura mulai dipergunakan untuk acara-acara tertentu di tiap
tahunnya (tetapi bukan dalam konteks ritual). Variasi warna pada batik Madura di
masa itu sangat terbatas. Warna tersebut terbatas karena saat itu masih digunakan
pewarna alami (contoh: pewarna nabati, pewarna flora). Warna-warna yang
dihasilkan antara lain warna coklat, hitam, dan merah, diperoleh dari daun jati dan
juga akar-akaran.
Masa Transisi
Setelah kerajaan-kerajaan di Madura runtuh dan juga masuknya penjajah
maupun para pendatang ke pulau Madura, perjalanan batik Madura memasuki
suatu babak baru. Runtuhan kerajaan Majapahit dan pulangnya para dayang ke
Madura, merupakan awal dimana batik di Madura mulai dikenakan oleh rakyat.
Pembuatan dan penggunaan batik Madura tidak lagi terbatas pada
lingkup kerajaan saja. Pada masa inilah batik Madura semakin menyebar ke
seluruh masyarakat. Pada awalnya selain orang kerajaan, orang kaya dan
terpandang yang menggunakan batik. Hal ini terjadi karen mahalnya harga batik
dan adanya pandangan memiliki batik adalah prestige. Batik pada zaman dulu
yang dikerjakan oleh buyut Bu Faiga, dijual dan dibeli oleh para pejabat-pejabat
setempat. Dipakainya ketika ada acara atau hari raya besar.
Gambar 1, sumber: Ensiklopedi Pamekasan. 2010. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
Gambar 2, sumber: Sastrodiwirjo, Kadarisman. Tahun tidak diketahui. Pamekasan Membatik. Pamekasan:
PT. JEPE PRESS MEDIA UTAMA (Jawa Pos Group)
Akan tetapi, keadaan ini juga kemudian mulai bergeser hingga seluruh
rakyat Madura akhirnya dapat mengenakan batik dengan leluasa. Lama-kelamaan
orang-orang Desa juga menggenakkan batik. Orang-orang Desa mulai bisa
membatik dan batik yang mereka buat dipakai sendiri.
Sekalipun demikian, tetap saja terdapat perbedaan batik yang dikenakan
oleh orang-orang terpandang/bangsawan/Nyai dengan batik yang dikenakan oleh
rakyat. Pada dasarnya, batik untuk para Nyai dan orang biasa hampir sama.
Perbedaannya yaitu batik untuk para Nyai biasanya akan lebih halus gambarnya
dan harganya lebih mahal. Gambar yang lebih halus menyebabkan proses
pembuatannya lama. Beberapa kain dibuat dan disimpan untuk acara-acara
tertentu saja, tetapi tidak dalam hal ritual tertentu.
Proses akulturasi pada transformasi batik Madura sesuai dengan yang
dituliskan G.M Foster dalam bukunya Traditional Cultures and The Impact of
Technological Change (1962: 25-43 dalam Koentjaraningrat, 1990: 101) yang
menyatakan bahwa salah satu proses akulturasi adalah dimulai dari golongan atas
menyebar ke golongan-golongan yang lebih rendah. Batik diperkenalkan oleh
para putrid raja kepada para dayang-dayangnya, tidak serta merta langsung masuk
ke dalam budaya seluruh lapisan masyarakat. Ada sebuah proses ketika masa
kerajaan mulai runtuh, orang-orang yang memiliki strata sosial dan ekonomi yang
lebih tinggi, dalam hal ini adalah orang-orang terpandang, bangsawan, dan Nyai,
yang menggunakan batik. Bahkan diantara mereka, menggunakan batik untuk
menunjukkan status sosial. Setelah berkembang dikalangan orang terpandang,
batik baru dipakai oleh setiap golongan masyarakat.
Keberadaan batik Madura pada masa transisi ini juga menjadi sebuah
kebutuhan di masyarakat, yaitu dipergunakan sebagai samper (dalam bahasa Jawa
disebut jarik) sebagai bawahan. Kain samper ini biasa dipergunakan sebagai
pakaian sehari-hari terutama bagi perempuan, maupun laki-laki (contohnya, ketika
para lelaki pergi ke Masjid, sarung yang mereka kenakan adalah batik). Para
perempuan akan menggunakan batik untuk bawahan dan kebaya sebagai
atasan.Batik Madura juga digunakan biasanya untuk lamaran atau mengantar
pengantin, dan juga dibuat untuk menyambut kelahiran anak.
S
alah
satu
hal
yang
men
gam
bil
Gambar 4 dan Gambar
5:
pera
1901, dibuat untuk menyambut n
kelahiran
nenek
dari Bu
Fadilah (informan).batik
penting
dalam
perkembangan
Madura pada masa ini yaitu adanya interaksi
yang terjadi dengan orang-orang luar Madura dan keraton yang ada selama masa
kerajaan. Interaksi tersebut terjadi baik di dalam wilayah pulau Madura (orangorang luar menjadi pendatang), maupun di luar wilayah pulau Madura (orang-
orang Madura yang berlayar ke luar). Interaksi yang terjadi ini mempengaruhi
terjadinya transformasi pada batik Madura yang secara terus menerus.
Contoh interaksi lainnya, yang terjadi di luar wilayah pulau Madura yaitu
dengan daerah Lasem. Mas Rizqi menjelaskan tentang batik Gunung Tangis mirip
dengan batik Laseman. Sejarah Gunung Tangis pada masa Jokotole, adipati
Majapahit yang buta, terakhir dia bermalam di Gunung Tangis. Disebut Gunung
Tangis karena tanahnya yang gersang. Pada tahun 1940 pernah ada bantuan di
Lasem, dimana terdapat pelabuhan besar. Orang Madura yang pernah ke Lasem
kemudian pergi ke Gunung Tangis, sehingga ada kemiripan motif dan pewarnaan.
Warna merah pada batik Madura dan batik Lasem serupa. Pada tahun 1960-an,
kemungkinan batik dari Gunung Tangis ini dibawa ke Tuban pada saat terjadi
perang disana.
Adapun mengenai interaksi yang terjadi di wilayah pulau Madura
melibatkan berbagai macam etnis, seperti Belanda, Cina, Jepang, dan Arab.
Gambar 6: Batik Vas Bunga, th.
1850-1900
Gambar 7: Batik Pecinaan, th.
1900-1910
Batik Vas Bunga yang terdapat pada gambar sebelah kiri di atas
merupakan batik Madura yang mendapat pengaruh dari Belanda dari segi motif.
Tahun pembuatan batik tersebut juga sesuai dengan tahun penjajahan Belanda di
Indonesia.
Kemudian Batik Pecinaan yang terdapat pada gambar sebelah kanan di
atas merupakan batik Madura yang mendapat pengaruh dari Cina. Sebenarnya,
kedua batik tersebut sama-sama memperoleh pengaruh dari Cina, yaitu dari segi
pewarnaan. Warna merah yang terdapat pada batik tersebut menggunakan
pewarna yang disebut Tinta Cina. Adapun dari segi motif, batik yang terdapat di
sebelah kanan merupakan motif batik Madura kombinasi Junjung Drajat dan juga
motif dedaunan.
Di samping itu terdapat juga batik yang motifnya permainan garis. Batik
motif permainan garis ini terlihat seolah seperti batik modern, namun ternyata
motif seperti ini sudah lama ada. Hal ini dituliskan dalam buku Van De Geep
sebelum tahun 1900 yang dijelaskan oleh Mas Rizqi. Buku tersebut dibuat tahun
1896, sehingga dapat ditarik logika sederhana bahwa penelitian yang dilakukan
untuk menulis buku tersebut telah ada sebelum tahun itu.
Pada tahun 1942, orang Jepang masuk Madura. Pada saat itu, orang
Jepang ini masuk ke daerah Klampar dan di sana ia mengajarkan cara mewarnai
kain. Orang-orang Klampar senang belajar pewarnaan untuk didagangkan. Sampai
sekarang, Klampar sangat bagus dalam hal pewarnaan. Berbeda dengan Desa
Toket yang tidak begitu baik tentang pewarnaan. Jadi, orang Klampar akan
membeli batik mentah dan diwarnai ditempatnya. Perkembangan zaman, orang
Klampar kemudian menikah dengan orang Toket dan dari wilayah di Pamekasan
lainnya, sehingga teknik pewarnaan pun juga berkembang. Di desa ini pula paling
banyak inovasi mengenai batik madura, mulai dari pewarnaan, tulis, dan cap paku
ada di Klampar.
Peranan para pendatang terhadap Batik Madura yang sangat terlihat yaitu
masuknya pewarna kimia ke Madura. Para pendatang tersebutlah yang membawa
pewarna kimia dan menjualnya di Madura. Dengan masuknya pewarna kimia ini,
warna-warna pada batik Madura menjadi lebih bervariasi dibanding sebelumnya.
Terlebih lagi, sesuai dengan karakter orang Madura yang tegas, berani, dan keras,
maka penggunaan warna pada Batik Madura sangatlah mencolok. Karakter orangorang Madura tercermin dari batik yang dihasilkan. Hal inilah yang sangat
membedakan batik Madura dengan batik daerah lain yang cenderung kalem. Dua
hal yang mempengaruhi produksi batik dari interaksi dengan para pendatang,
keberadaan para pendatang itu sendiri dan dibawanya teknologi baru berupa
pewarna kimia.
Baik Madura memiliki keunggulan dibandingkan dengan batik di Jawa
dari segi pewarnaan. Air di Madura yang digunakan dalam pewarnaan
mengandung kapur. Kandungan garam dan kapur adalah campuran fiksasi terbaik
untuk pewarnaan. Karena hal tersebut, pewarna yang dibutuhkan tidak sebanyak
untuk membuat batik di Jogja. Kandungan air tersebut adalah fiksasi penguat
warna yang bagus sehingga warna batik madura sangat kuat. Pulau Madura bagian
tengah tanahnya adalah kapur. Madura yang adalah pulau kecil, juga
menyebabkan penyerapan garam menjadi tinggi. Kondisi lingkungan seperti ini
yang membuat batik madura memiliki keunggulan.
Terdapat kerancuan mengenai tahun masuknya maupun siapa pihak yang
membawa pewarna kimia itu ke Madura. Ada informan yang mengatakan bahwa
pewanaan kimia sudah dimulai sejak tahun 1982, di mana terdapat orang Eropa
yang datang ke Madura untuk melakukan survey, satu tahun kemudian PT. Pos
German memproduksi pewarna kain. Ada yang mengatakan bahwa pewarna kimia
dipergunakan sekitar tahun 1960, dan ada pula informan yang mengatakan bahwa
dulu yang pertama kali menggunakan pewarna buatan adalah orang arab yang
berdagang batik. Bahkan ada pembatik yang mengatakan bahwa keluarganya yang
mulai membatiksekitar tahun 1940 telah menggunakan pewarna kimia. Bu Faiga
juga mengatakan bahwakakek-neneknya sudah menjual pewarna kimia batik yang
diimpor dari Jerman dan Belgia pada tahun 1800-an.
Kini pembatik-pembatik di Madura sebagian besar telah meninggalkan
pewarnaan alam dan beralih ke pewarnaan kimia. Selain itu, proses pembuatan
batik juga mengalami perubahan dalam hal proses ketel. Kakek-nenek dari Bu
Faiga (salah satu pembatik informan) dahulu selalu melakukan proses ketel
terhadap kain hingga lima belas hari lamanya. Pada masa lalu, kain perlu diketel
agar benangnya menjadi rapat. Akan tetapi, pada masa transisi ini proses ketel
perlahan-lahan sudah mulai tidak diterapkan sepenuhnya dalam membuat batik
Madura.
Pengaruh orang-orang Arab yang datang ke Madura terhadap batik
ternyata tidak hanya terbatas dengan pewarnaan saja. Beberapa pembatik yang
peneliti temui secara bersesuaian menceritakan sosok “Tuan” atau “Engki” dalam
dunia perbatikan di Madura. “Tuan” yang dimaksud adalah orang-orang Arab
yang melakukan bisnis batik. Orang-orang Arab tersebut meminta pada para
pembatik untuk membuat desain-desain batik sesuai dengan permintaannya.
Selain memberikan ide, mereka juga memfasilitasi kain dan segala bahan untuk
dibuatkan batik sesuai pesanan mereka. Mereka memberi bahan dan membeli
kembali batik yang sudah jadi. Orang-orang Arab tersebut juga terkadang
membuat motif-motif batik dalam bentuk mal (pola) yang diserahkan pada
pembatik untuk dibuatkan Isen dan dijadikan batik. Orang-orang di Desa Toket
sering mendapat kepercayaan untuk membentuk pola dan memberikan isen pada
batik karena kreatif dalam mengkreasikan batik. “Tuan” juga memberi pengaruh
besar dalam perkembangan batik sutera di Madura.
Di atas sempat disinggung bahwa pembuatan batik Madura semakin
meluas pada masa ini. Para pembatik pada masa ini tidak lagi membatik dengan
mengikuti pakem-pakem batik dari kerajaan, atau dari daerah Jawa (secara motif).
Para pembatik memperoleh ide membatiknya sebagian besar dari alam yang ada
di sekitarnya, sehingga motifnya tidak pasti. Apa yang dilihat oleh si pengrajin,
itu yang digambarkan, seperti gambar burung, bunga, kupu-kupu. Membatik
diumpamakan sebagai suatu kegiatan melukis di kanvas yang tidak dibuat secara
simetris.
Gambar 8: Batik Kupu-Kupu, +/- th. 1970-1975, Desa Candi Burung, Pembatik:
Alm. Navisah
Lebih jauh lagi, bahkan para pembatik memadukan motif-motif batik
keraton dengan motif-motif batik yang dikenakan oleh rakyat. Contohnya yaitu
motif parang adalah motif yang dikenakan orang-orang di Keraton, sedangkan
kembang padi dan bulu ayam adalah motif batik rakyat. Batik motif mata perkutut
juga biasa dipakai oleh orang Keraton. Pada masa ini tidak ada pembedaan lagi
antara batik rakyat dan batik Keraton karena terkadang, kedua motif pembeda
tersebut ada pada selembar kain batik. Seiring dengan pernikahan bebas, antara
bangsawan dan rakyat biasa batik juga tidak lagi dibedakan secara tegas seperti
dahulu.
Motif-motif terdapat dalam batik Madura pada masa ini, apabila
diperhatikan, kerap kali dibatik berpasang-pasangan. Sejalan dengan Stilasi
(Penghilangan satu bagian dan tidak tergambar secara utuh pada batik), hal ini
menunjukkan kuatnya pengaruh ajaran Islam di Madura. Agama Islam di Madura
memang sangat kuat, bahkan hingga saat ini. Di Madura banyak terdapat pondok
pesantren yang besar dan tua. Bahkan, seluruh informan, pembatik yang peneliti
temui di Madura beragama Islam.
Sekalipun terdapat perkembangan yang signifikan pada Batik Madura di
masa transisi ini, Batik Madura masih dipandang sebagai sesuatu yang berharga.
Tahun 1800-an, satu batik dapat ditukar dengan dua ekor kuda, hingga pada tahun
1970-an, batik dapat digadaikan. Batik sabet manik dan motif-motif lain akan
dihargai sekian emas. Itu semua tercatat dalam sebuah buku Katalog Batik di
Pegadaian (pada masa lampau).
Hingga pada masa kemerdekaan dulu, Madura terkenal dengan produksi
tembakaunya. Tembakau dihargai cukup tinggi, 1 Kg tembakau dihargai sama
dengan 1 gram emas, sedangkan saat ini 15 Kg tembakau sama dengan 1 gram
emas. Tembakau pada masa dulu disebut sebagai tumbuhan emas. Pada saat
panen tembakau, orang-orang Madura akan saling bertamu karena mereka sedang
pada masa makmur. Pada saat mereka bertamu, mereka akan melihat batik-batik
yang dikenakan, mana yang paling halus. Kebanggaan mereka adalah jika
memiliki batik yang halus.
Pada masa transisi, batik Madura memang sudah mulai diperjualbelikan,
tetapi keberadaan batik Madura tersebut masih lebih dipandang sebagai suatu
kerajinan yang berharga.
Masa Modern
Masa modern dalam perkembangan Batik Madura sebenarnya sudah
mulai terlihat menjelang tahun 2000, tetapi baru terlihat jelas sejak tahun 2000.
Pada masa modern, batik Madura cenderung dibuat terutama untuk dijual
(komoditi), dan bukan lagi sebagai kerajinan untuk dipakai sendiri. Kain-kain
batik yang tidak laku terjual, barulah dipakai sendiri oleh para pembatik. Pak
Atin, pedagang batik di Pasar 17 Agustus mengatakan, selama masih laku, ia akan
menjual batiknya. Batik yang ia pakai adalah batik yang tidak laku dipasar. Jika
Pak Atin dipasar untuk memasarkan batik, isterinya di rumah yang mengerjakan
pembatikan. Semua keluarga Pak Atin bekerja sebagai pembatik. Mereka
diperkenalkan oleh orang tua mencari uang dari membatik. Akan tetapi masih ada
segelintir pembatik yang membuat batik sebagai kerajinan dengan tujuan dipakai
sendiri, seperti Bu Chosnia. Beberapa batik yang dibuat oleh Bu Chosnia memang
sengaja dibuat untuk dirinya sendiri, tapi lama-lama akhirnya dijual karena
diminta oleh orang karena gambarnya yang bagus.
Pada masa ini, orang-orang sudah lebih banyak dan lebih mudah
memakai batik, juga batik sutera. Membedakan batik mahal dan murah dikenali
ketika akan menghadiri suatu acara tertentu. Pada acara-acara undangan yang
bergengsi, batik mahal akan dipakai sedangkan batik dengan harga standar dan
desain yang biasa saja dipakai pada hari biasa. Batik dilihat tidak lagi dari motif,
tapi dari harga dan proses pembatikkannya. Orang-orang dapat mengetahuinya
dari motif dan warna, semakin rumit biasanya semakin lama prosesnya, dan
semakin mahal harganya.
Di samping itu terdapat juga perkembangan tren yang tidak biasanya,
yaitu penggunaan batik mentah. Ada orang yang mengenakan batik mentah atau
pola begitu saja, di mana kain tersebut masih ada malam yang menempel dan
belum dicelup dan dilorod.
Terdapat
juga
peranan
Pemerintah
Daerah
Pamekasan
dalam
perkembangan Batik Madura, antara lain:
-
Membuat zona sentra industry batik
-
Pembinaan terhadap pelaku pembatik dan pasar
-
Mengikuti kegiatan pameran di seluruh Indonesia
-
Mengikuti, maupun mengadakan lomba-lomba
-
Pemilihan Kacong – Chebbing
-
Terdapat acara-acara khusus wajib memakai batik antara lain: PNS
memakai batik di hari tertentu, di hari ulang tahun Jawa Timur, kabupaten
Pamekasan secara khusus menghimbau memakai perform Madura
(batik/bahasa). Akan tetapi, partisipasi masyarakat kurang, baru efektif
pada tingkat birokrat.
-
Pemilihan Putra – Putri Batik
-
Mengadakan penyuluhan bagi para pembatik
-
Memberikan uang tambahan kepada pembatik
Dari segi cara pembuatan, pewarnaan dan motif batik Madura, pada masa
ini terjadi perkembangan yang sangat pesat. Perkembangan cepat terjadi karena
menyesuaikan permintaan pasar, bukan lagi perlambang karakter orang Madura.
Pembatik membuat batik hanya dengan tujuan agar batiknya cepat laku dan
dirinya cepat mendapat uang untuk makan. Bahkan persaingan yang terjadi juga
bukan hanya sesama pengrajin batik tulis, tapi juga adanya batik cap dan juga
batik printing yang mulai masuk dan laku di pasaran.
Membatik pada saat ini lebih berfokus sebagai mata pencaharian untuk
mendapatkan uang. Pekerjaan membatik yang dilakukan oleh keluarga ini
dilakukan oleh tiga orang: Bu Sirah, Bu Khodijah dan adiknya. Rata-rata
membatik sudah dilakukan sejak kecil dan pengetahuan terus diturunkan. Ratarata batik yang ia kerjakan empat hari untuk satu batik. Waktu empat hari adalah
waktu maksimal untuk satu batik sudah beserta dengan isennya. Biasa mereka
bekerja pada pukul 08.00-11.00 lanjut lagi pukul 13.00-16.00. Untuk motif yang
sederhana dapat jadi selama dua hari. Rata-rata per hari kerja mereka mendapat
bayaran sebanyak Rp 10 ribu. Jadi, mengerjakan selembar batik selama empat
hari akan mendapatkan Rp 40 ribu, dan untuk malamnya mereka modal sendiri.
Jika dihitung-hitung, maka selama 1 bulan keluarga pembatik ini hanya
memperoleh bayaran Rp 300 ribu. Sungguh ironis jika melihat harga batik di
pasaran di kota yang bahkan bisa mencapai jutaan per lembarnya.
Pewarna kimia semakin berkembang dan mulai ada warna-warna yang
lain sehingga batik menjadi lebih menarik. Sekarang, kain sudah dimasak oleh
pabrik sehingga para pengrajin tidak perlu melakukan pengketelan. Dalam
penggunaan canting, hampir sama namun pada masa kini, cantingnya lebih halus
dan memiliki ukuran tersendiri tergantung dari motif yang akan digambar.
Perkembangan batik Madura dari segi motif paling terlihat pada masa ini.
Motif-motif pada batik Madura semakin beraneka ragam, antara lain motif sesse’,
sekar jagat, mano’, keban, mo’ramo’, dan sebagainya. Terdapat juga motif buah
naga yang sedang dibuat oleh salah satu pembatik. Penggambaran motif saat ini
mengikuti musim buah yang ada di desa setempat seperti buah naga. Ada waktuwaktu di mana suatu motif tertentu booming di pasaran sehingga para pembatik
membuatnya. Contohnya yaitu pada tahun 2004 terdapat tren Batik Panca Warna
(terdapat 5 buah warna yang terdapat di batik Madura), di waktu lain terdapat tren
motif burung merak, Sido Mukti, motif bebek-bebek kecil yang berenang di air,
sekar jagat, laba-laba, bunga melati, matahari dan juga motif Junjung Drajat.
Gambar 9: Batik Junjung Drajat
Saat ini juga berkembang batik-batik Madura dengan motif kontemporer
dengan warna-warna yang juga lebih berani. Sekalipun demikian ada juga batik
motif baru yang permainan warnanya tidak frontal (disebut “batik soft”). Terdapat
juga batik-batik motif kuno yang dibuat ulang dengan sedikit modifikasi oleh para
pembatik (antara lain Pak Fadhil dan Bu Chos).
Gambar 10: Batik Kontemporer
Membatik sebelumnya dapat memakan waktu hingga satu minggu. Saat
ini bahkan hanya sehari saja, batik bisa jadi. Pengerjaan sekarang lebih cepat
karena ada juga yang menjual motif, sehingga batik tinggal diwarnai atau dicelup.
Tidak seperti pada masa transisi di mana sumber inspirasi pembatik yang
merupakan alam, pada masa modern pembatik memperoleh inspirasi dari berbagai
tempat. Ada pembatik yang mendapat inspirasi dari melihat-lihat pasar dan toko
mengenai batik manakah yang sedang laku lalu ditirunya dengan ditambahkan
ide; ada juga pembatik yang mencari inspirasi melalui internet yang kemudian
dituangkan dalam batik buatannya. Ada juga pembatik-pembatik yang hanya
mengerjakan bagian proses tertentu dari pembatikan di masa ini. Contohnya yaitu
Bu Sirah dan Bu Khodijah di Desa Candi Burung yang hanya membuat pola batik.
Pada masa modern ini rupanya hukum Islam masih mendapat tempat
dalam pembuatan batik Madura, khususnya batik sutera. Kain sutera yang
dipergunakan untuk membatik tidak sepenuhnya dari ulat sutera, sudah dicampur
dengan benang lain. Hal ini dikarenakan hukum Islam yang melarang untuk
menggunakan sepenuhnya ulat sutera untuk laki-laki, walaupun kain sutera dari
ulat sutera kualitasnya lebih baik dibandingkan jika dicampur dengan benang lain.
Perkembangan Ekonomi dibalik Pembuatan Batik
Eksistensi batik Madura mulai dari pertama kali keberadaanya sampai saat
ini tidak lepas dari peran ekonomi yang dilakukan masyarakat lokal. Berawal dari
penggunaan oleh anggota kerajaan dan saat ini menjadi barang komoditas berdaya
jual tinggi. Kegiatan ekonomi yang dilakukan masyarakat terhadap batik Madura
menjadikan batik ini tetap ada dipasaran dan selalu diproduksi, mulai dari
permintaan batik Madura untuk koleksi pribadi, untuk cinderamata(buah tangan)
dan untuk penggunaan sehari-hari. Guna melestarikan batik Madura pemerintah
daera turut membuat program-program diantaranya :
Membuat zona sentra industri batik
Memberikan pembinaan terhadap pelaku industri batik
Turut serta dalam kegiatan pameran di seluruh Indonesia
Mengikuti maupun mengadakan lomba-lomba
Turut aktifnya pemerintah daerah dalam eksistensi batik Madura membuat
industri batik Madura terus mengalami kemajuan dan semakin dikenal pasar.
Menurut penuturan salah satu narasumber, Bu Fadilah, pengusaha batik sekaligus
orang dari Pemerintah Daerah, menjelaskan bahwa pemerintah Pamekasan telah
banyak membantu para pembatik seperti membuat pasar khusus batik di Pasar
Batik 17 Agustus. Pasar ini merupakan pasar batik Madura terbesar dan termurah
di Madura. Tidak hanya kain batik siap pakai yang diperdagangkan tetapi juga
bahan mentah untuk membuat batik dijual lengkap disini. Pembeli bukan hanya
masyarakat lokal, masyarakat diluar pulau Madura yang ingin membeli batik juga
datang ke Pasar tersebut. Sayangnya industri batik Madura belum bisa menembus
pasar mancanegara sebagai barang ekspor.
Tidak hanya pasar khusus batik yang disediakan pemerintah. Pak Atin,
pedagang batik di Pasar 17 Agustus, menjelaskan bahwa pemerintah juga kerap
kali mengadakan pameran-pameran yang bekerja sama dengan pihak swasta.
Tidak semua pengrajin batik dapat mengikuti pameran yang diadakan pemerintah,
kendala utamanya adalah akses.Hanya sedikit pengrajin yang dapat mengikuti
pameran.Pengarajin yang tidak memiliki akses terhadap pemerintah tidak dapat
mengikuti pameran tersebut.Hal tersebut tidak menjadi hambatan tetap
eksisnyabatik Madura. Para pengrajin yang tidak memiliki akses terhadap
pemerintah biasanya akan menitipkan hasil batiknya kepada orang-orang yang
memiliki akses untuk mengikuti pameran. Ada juga orang-orang yang memiliki
akses tetapi tidak memiliki kain batik. Mereka saling bekerja sama untuk
memasarkan batik sehingga batik Madura tetap bisa sampai kepada konsumen.
Tidak hanya aktif dalam membuat pameran, pemerintah juga aktif mengikutkan
para pengrajin dan orang-orang yang memiliki akses ke pameran-pameran batik
salah satunya, Gelar Batik Nasional yang diadakan dua tahun sekali di Jakarta
Convention Center (JCC).
Batik mulai diperjualbelikan pada zaman presiden Soekarno. Pada masa
itu pembuatan batik masih dalam jumlah yang sangat terbatas karena dipengaruhi
pengerjaan yang masih tradisional, membutuhkan waktu yang lama dalam
memproduksinya, dan permintaan dari pasar yang masih sedikit.Perkembangan
batik terus meningkat tiap tahunnya hingga batik mulai dijual di pinggir jalan
yang diperuntukkan untuk semua kalangan. Semakin banyaknya penjual batik
“dadakan” yang menjual batik di pinggir jalan membuat pemerintah menetapkan
aturan tidak boleh berjualan batik di pinggir jalan dan membuatkan pasar khusus
batik sehingga penjualan batik mulai terkontrol dan dapat dipantau oleh
pemerintah.
Menurut Bu Fadilah, kegiatan jual beli batik saat ini sudah banyak
berubah. Bermula saat orang-orang yang membuat batik hanya orang-orang yang
dianggap mampu dan bisa menghasilkan kualitas batik yang batik sampai saat ini
telah bergeser menjadi orang-orang berlomba-lomba membuat batik agar dapat
memperoleh keuntungan. Hal ini bergeser selama lima tahun terakhir. Munculnya
motif ekonomi dalam produksi batik turut berkontribusi dalam peningkatan
kuantitas batik Madura. Kecenderungan ekonomi pun berubah, dimana dulu orang
yang ingin membeli batik langsung memesan ke pengrajin karena proses
pengerjaan yang cukup lama hingga batik yang sedang dalam proses pengerjaan
sudah laku terjual. Sekarang, semakin banyak pengarajin yang memproduksi
batik. Banyaknya pesaing membuat para pengrajin harus menjualnya sendiri.
Meskipun kegaitan produksi masih dilakukan di desa, tetapi proses
pemasarannya sudah lebih modern. Setiap pembatik memiliki strategi masingmasing untuk memasarkan batiknya. Pak Fadhil memanfaatkan networkingnya
untuk memasarkan batik hasil produksinya. Dibantu oleh anaknya, Pak Fadhil
juga memasarkan batik hasil produksinya melalui online shop. Strategi ini sangat
membantu untuk menjangkau konsumen yang berada jauh dari pulau Madura.
Setiap pengrajin juga berlomba-lomba untuk membuat kain batiknya memiliki ciri
khas dengan yang lain agar laku di pasaran. Batik milik Pak Fadhil memiliki
kekhasan warna cenderung gelap dan memiliki corak yang kuat.Hal ini berbeda
dengan Bu Chos yang kebanyakan hasil batiknya bermotif dari keadaan sekitar
seperti motif buah naga, burung, pohon, bunga, kupu-kupu dan ikan-ikan.
Semakin banyaknya pengrajin batik mengharuskan merekamengatur
strategi agar hasil produksi batiknya bisa laku dipasaran. Pak Fadhil
menggunakan pewarna buatan Jepang yang setingkat dibawah pewarna buatan
Jerman. Pewarna yang paling bagus adalah pewarna buatan Jerman dan peewarna
dengan kualitas paling rendah adalah buatan India.Cara menghemat ongkos
produksi agarharga batik siap pakai tidak terlalu tinggi adalah dengan mencampur
pewarna yang kualitas tinggi dengan kualitas rendah.Hal ini banyak dilakukan
oleh para pengrajin.Selain mencampur pewarna kualitas tinggi dan pewarna
kualitas rendah, pengrajin batik Madura pun lebih memilih menggunakan pewarna
kimia daripada pewarna alami. Hal ini dilakukan atas pertimbangan lamanya
pembuatan satu kain batik Madura. Jika menggunakan pewarna alami waktu yang
dibutuhkan akan lebih lama daripada jika menggunakan pewarna kimia. Lamanya
waktu produksi akan membuat pengrajin tidak segera mendapat keuntungan dari
penjualan batiknya. Faktor ini pula yang membuat kain batik dengan pewarna
alami semakin jarang untuk ditemui. Hasil pewarnaan antara keduanya pun
terdapat perbedaan, pewarna buatan menghasilkan warna yang lebih tajam dan
lebih menarik dibandingkan menggunakan pewarna alami.
Perkembangan produksi batik saat ini sudah sangat maju. Mas Ryan,
pengrajin dan pengusaha batik menyatakan, sudah banyak kontribusi yang telah
diberikan terhadap perkembangan batik Madura salah satunya inovasi-inovasi
desain yang dibuatMas Ryan untuk meningkatkan peminat batik Madura,sehingga
para pengrajin tidak asal membuat desain batik yang belum tentu laku dipasaran.
Dengan adanya keahlian desain dalam batik, diharapkan kegiatan membatik dan
produksi-produksi batik Madura lebih memiliki nilai seni dan nilai jual yang
tinggi.
Lamanya membuat batik dengan pewarna alami menjadikan batik Madura
memiliki harga yang relatif mahal, terlebih lagi jika kain batik tersebut termasuk
dalam batik kuno atau klasik. Harga yang mahal tidak membuat batik jenis ini
tidak laku dipasaran. Kebanyakan yang mencari Madura kuno adalah orang-orang
yang merupakan kolektor batik atau orang yang memilki jabatan tinggi. Mas Rizqi
menyatakan,pengrajin menjual batik kunonya bisa mencapai jutaan rupiah untuk
satu kain batiknya. Lamanya pembuatan dan dengan waktu yang relatif lama tidak
membuat batik dengan pewarna alami mati dipasarn. Toko batik HB yang tetap
memproduksi batik Madura dengan menggunakan pewarna alamimenjualRp 1,5
juta untuk satu kainnya.
Kesimpulan
Batik Madura bukanlah budaya asli dari masyarakat Madura, namun
merupakan bagian dari pertukaran dan persebaran budaya dari Pulau Jawa. Pada
masa kerajaan ada interaksi yang terjadi antara kerajaan di Pulau Jawa dengan
kerajaan di Sumenep. Proses pertukaran budaya terjadi ketika para putri kerajaan
dari Jawa yang sedang membatik, dibantu oleh para dayang yang adalah orangorang Madura. Interaksi antara kebudayaan membuat kebudayaan ini diakomodasi
dan diintegrasikan dengan budaya orang Madura yang disebut dengan akulturasi
budaya.
Sejak kemunculannya di Madura, tepatnya di Sumenep hingga saat ini,
batik Madura mengalami transformasi. Transformasi secara wajar dapat terjadi
karena sifat kebuudayaan yang dinamis dan dapat berubah pada saat
ditransmisikan dan disosialisasikan agar kebudayaan tersebut tetap eksis.
Melihat transformasi yang terjadi, akan lebih mudah ketika dibagi menjadi
pembabakan dan melihat ciri utama dari perubahan-perubahan tersebut dan faktorfaktor yang mempengaruhi terjadi perubahan. Dalam penelitian ini, peneliti
membaginya menjadi tiga babak perubahan, batik Madura pada masa kerajaan,
batik Madura pada masa transisi, dan batik Madura pada masa modern. Ketiga
pembabakan ini memiliki cerita dinamika masyarakat yang menjelaskan
perubahan-perubahan yang terjadi pada batik Madura.
Perkembangan dari batik Madura dari yang berada di kalangan kerajaan,
mulai dipakai oleh orang-orang terpandang ketika masa kerajaan mulai runtuh.
Pada masa ini pula, batik menjadi fungsi menunjukkan strata sosial masyarakat.
Ketika para pendatang, terutama pendatang dari Arab mulai berdatangan, mereka
membawa budaya perdagangan dan motif ekonomi. Batik yang tadinya hanya
dibuat untuk menunjukkan tanda sosial, mulai berubah menjadi komoditas
ekonomi. Hal ini masih memiliki pengaruh dari fungsinya terdahulu untuk
menunjukkan kelas sosial masyarakat. Salah satu hal yang dapat menunjukkan
kelas sosial masyarakat adalah kepemilikan materi yang dianggap prestige.
Saran
Merujuk pada hasil penelitian dan pengalaman peneliti saat menggali data
di lapangan terdapat beberapa lingkup saran yang diajukan peneliti, yaitu dalam
lingkup akademisi, lingkup pemerintahan sebagai pemegang otoritas dan yang
terakhir dalam lingkup masyarakat sebagai agent sosial.
Akademisi
Berdasarkan pengalaman peneliti dalam mencari data di lapangan, peneliti
mengalami kesulitan dalam menemukan data-data literatur terkait batik madura.
Hasil penelitian ini diharapakn dapat menjadi titik tolak atau start point bagi
penelitian penelitian batik madura selanjutnya. Semakin banyaknya hibah
penelitian dalam bidang sosial budaya akan sangat membantu para peneliti untuk
mempelajari lebih banyak terkait dimakina sosial masyarakat kaitannya dengan
batik dan kebudayaan lainnya.
Pemerintah
Pemerintah daerah memegang peran yang vital dalam pengembangan batik
Madura. Saat ini sudah banyak yang telah dilakukan pemerintah guna
meningkatkan daya jual terhadap kain batik Madura, akan lebih baik lagi jika
pemerintah dapat memberikan sosialisasi kepada pembatik atau pengrajin
mengenai ilmu atau pengetahuan yang terkait dengan makna makna yang
terkadung dalam motif dan pola batik sehingga dapat menambah nilai keunikan
dari sebuah kain batik.
Masyarakat
Masyarakat disini sebagai agent sosial yang terlibat langsung dalam jual
beli, eksistensi dan proses produksi batik Madura. Saran yang dapat peneliti
berikan untuk masyarakat diharapkan dapat berperan aktif dalam mencari
informasi terkait batik sehingga saat sedang melakukan jual beli tidak hanya kain
batiknya yang dijual-belikan tetapi juga informasi dibalik batik itu yang dapat
meningkatkan daya jual dan daya tarik dari satu kain batik Madura.
Daftar Pustaka:
Buku:
Atkison, paul. 2007. Ethnography. Taylor & Francis e-Library.USA.
Babie, earl. 2005. The Basic of Social Research Fourth Edition. Thomson Higher
Education. USA.
Burgess, R. G. 1982. Field Research: a Sourcebook and Field Manual. London:
Unwin Hyman.
Cresswell, John W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative and Mix
Method Approach. USA:Sage Publication.
Ensiklopedi Pamekasan. 2010. Pamekasan: Pemerintah Kabupaten Pamekasan.
Fath, H Kutwa, dkk. 2004. Pamekasan dalam Sejarah. Madura: Pemerintah
Daerah Pamekasan.
Fauza, Fahmi. Tahun tidak diketahui. Keindahan Batik Klasik Pamekasan. Jawa
Timur: Rumah Historis Batik Madura.
Handbook of Commodity Profile “Indonesian Batik : A cultural Beauty. 2008.
Kementrian Perdagangan RI bekerja sama dengan TREDA (Trade
Research and Development Agency).
Hartono, Bambang. 2001. Sejarah Madura: Panembahan Ronggosukowati Raja
Islam Pertama di Kota Pamekasan-Madura. Madura: UD. Nur Cahaya
Gusti.
Hasan, M. Iqbal. 2002. Pokok-Pokok Materi Metodologi Penelitian dan
Aplikasinya. Bogor: Ghalia Indonesia.
Indrati, Rina Sugiarto dan Yusye Nilawati. 2011. Pengmbangan Dokumentasi
Elektronik Batik Jawa, bali dan Madura Berbasis Web. Penelitian Hibah.
Universitas Gunadarma.
Kusuma, S. T. 1987. Psiko Diagnostik. Yogyakarta: SGPLB Negeri Yogyakarta.
Koentjaraningrat. 1987. Sejarah Antropologi I. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
————1990. Sejarah Antropologi II. Jakarta: Universitas Indonesia Press.
————2009. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta.
Martono, Nanang. 2011. Metode Penelitian Kuantitatif. Jakarta: PT Raya
Grafindo Persada.
Moleong, LJ. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya.
Neuman, W. L. 2003. Social Research Methods, Qualitative and Quantitative
Approaches. Fifth Edition. Boston: Pearson Education.
Purwanto, Semiarto Aji. 2003. Berdagang Batik: Memperjualbelikan Identitas
Atau Komoditas dalam Hadicraft and Socio-Cultural Change: A Study of
Batik Making in Cirebon and Pekalongan. Depok: Center of Japanese
Studies University of Indonesia.
Salaimun. (2013). Kerajinan Batik Di Desa Pekandangan Barat Bluto Sumenep
dalam Kerajinan Batik dan Tenun. Yogyakarta: Kementrian Pendidikan
dan Kebudayaan. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Balai Pelestarian Nilai
Budaya Yogyakarta.
Sastrodiwirjo, Kadarisman. Tahun tidak diketahui. Pamekasan Membatik.
Pamekasan: PT. JEPE PRESS MEDIA UTAMA (Jawa Pos Group)
Spradley James, P. 1980. The Ethnographic Interview. New York: Holt Renehart
and Winston.
Sudarwin, Danim. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif: Ancangan Metodologi,
Presentasi, dan Publikasi Hasil Penelitian untuk Mahasiswa dan Peneliti
Pemula Bidang Ilmu-Ilmu Sosial, Pendidikan, dan Humaniora. Bandung:
Pustaka Setia.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Pendidikan, Pendekatan Kuantitatif,
Kualitatif, dan R&D. Bandung: Alfabeta.
Suhendar, M.E dan Pien Sapinah. (1993). Seri Mata Kuliah Dasar Umum Ilmu
Budaya Dasar. Bandung: Pionir Jaya.
Sulistyo-Basuki. 2006. Metode Penelitian. Jakarta: Wedatama Widya Sastra dan
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.
Octaviani, Rubiati Nurin. 2015. Dampak Pengakuan Batik dari UNESCO
terhadap Motif Batik Jonegoroan sebagai Identitas Batik pada Masyarakat
Bojonegoro di Desa Jono Kecamatan Temayang Kabupaten Bojonegoro.
Skripsi. Jurusan Sosiologi dan Antropologi. Fakultas Ilmu Sosial.
Universitas Negeri Semarang.
Zainalfattah, 1951, Sedjarah Tjaranja Pemerintahan di Daerah-daerah di
Kepulauan Madura dengan Hubungannja, Pamekasan : Pemerintah Daerah
Pamekasan.
Media:
Wisanggeni, Aryo dan Mawar Kusuma. Kompas, 29 Mei 2016. Irama Hati Batik
Madura.
Jurnal:
Budaya Panggung Vol.20, no.4, Oktober – Desember 2010: 378 – 390
Internet:
Batik. Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Pamekasan. Diunduh pada
tanggal 27 April 2016 di laman
http://disperindag.Pamekasankab.go.id/?page_id=113
Data Proyeksi Penduduka dari BPS diunduh pada tanggal 30 April 2016.
http://jatim.bps.go.id/linkTabelStatis/view/id/330
Dinas Perindustrian dan Perdagangan Pamekasan. Diakses pada 18 Juni 2016 di
laman http://disperindag.Pamekasankab.go.id/?page_id=113
Pemerintahan
Kabupaten
Pamekasan.
Diakses
pada
http://pamekasankab.go.id/content/sejarah-pamekasan
17
Juni
2016.