TRADISI TER-ATER DAN DAMPAK EKONOMI BAGI MASYARAKAT
MADURA
Moh. Wardi
STAI Nazhatut Thullab Sampang
Jl. Diponegoro No. 11 Sampang
E-mail:
[email protected]
Abstrak:
Ter-ater merupakan bagian dari budaya lokal yang membuat banyak orang
menyimpulkan bahwa masyarakat Madura adalah masyarakat yang ramah,
dermawan, komunikatif, baik hati, dan memiliki solidaritas yang tinggi pada sesama.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menjelaskan tradisi ter-ater dalam
tinjauan agama, budaya, dan ekonomi. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian fenomenologis. Data diperoleh dari hasil
observasi berperan serta, wawancara mendalam, dan studi dokumentasi. Analisis data
dilakukan dengan reduksi data, penyajian data, dan tahap kesimpulan. Informan
dalam penelitian ini terdiri dari masyarakat, pedagang dan tokoh masyarakat di Desa
Bakiong, Guluk-Guluk, Sumenep. Hasil penelitian menunjukan bahwa ter-ater
merupakan salah satu upaya mempererat hubungan kekeluargaan dan sarana
ukhuwwah Islâmiyyah sebagaimana anjuran dalam agama Islam. Secara budaya, orang
dianggap kurang lengkap tradisi keberagamaannya jika tidak pernah mengeluarkan
sebagian hartanya dalam hal ini adalah ter-ater. Secara ekonomi, pelaksanaan tradisi
ter-ater memberikan dampak ekonomi yang cukup berarti. Pertama, dalam setiap
perayaan keagamaan yang kemudian diikuti dengan praktik ter-ater, kebutuhan
ekonomi masyarakat sangat meningkat, ini dapat dilihat dari neraca transaksi
perdagangan yang meningkat pula. Bisa di pastikan pada kondisi seperti ini menjadi
momentum kesejahteraan para pedagang. Kedua, bahwa ter-ater merupakan bagian
dari kegiatan ekonomi dan motif dalam ekonomi, motif memenuhi kebutuhan, motif
memperoleh keuntungan, motif mendapatkan kekuasaan ekonomi, motif sosial, dan
motif memperoleh penghargaan.
Abstract:
Ter-ater is part of the local culture that leads many people to conclude that the
Madurese are the people who are friendly, generous, communicative, kind, and has a
high solidarity to others. The purpose of this study is to investigate and explain the
tradition of ter-ater in the review of religion, culture, and economics. The method used
in this study is qualitative with a phenomenological study. Data collected by
participating observation, in-depth interviews, and documen-tation. Data analysis was
performed with data reduction, data display, and conclusion stage. Informants in this
study consist of community, merchants, and community leaders in the village Bakiong
Guluk-Guluk Sumenep. The results showed that, ter-ater is one way to strengthen
family ties and the means of Muslim brotherhood as recommended in Islam. In culture,
the tradition religion considered incomplete if it does not ever issue a part of his
property in this case is ter-ater. Economically, the implementation of ter-ater tradition of
providing a significant economic impact. First, in any religious celebration, followed by
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
practice ter-ater, the economic needs of the community is greatly increased, it can be
seen from the trade balance increased as well. Can be sure in these conditions to be
momentum traders welfare. Second, that ter-ater is part of the economic activity and the
economic motive, motive needs, profit motive, motive power gain economic, social
motive, and the motive awarded.
Kata Kunci:
Ter-ater, tradisi, ukhuwwah Islâmiyyah, ekonomi, kesejahteraan.
Pendahuluan
Ukhuwwah Islâmiyyah1 merupakan
bagian penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan berne-gara. Hal
ini sudah dipraktikkan pada masa Nabi
Muhammad SAW dengan mempersatukan kaum Anshar dan Muhajirin
dalam ikatan keyakinan agama Islam,
serta menjadi bagian proses pembentukan masyarakat Madinah pada masa
itu.2 Rasa persaudaraan, persamaan hak
“Ukhuwwah” berasal dari kata dasar “akhun”
yang berarti saudara, teman, sahabat. Kata
“ukhuwwah” sebagai kata jadian dan mempunyai
pengertian
atau
menjadi
kata
abstrak
persaudaraan, persahabatan, dan dapat pula
berarti pergaulan. Sedangkan “Islâmiyyah”
berasal dari kata “Islam” yang dalam hal ini
memberi/menjadi sifat dari “ukhuwah”, sehingga
menjadi persaudaraan Islam atau pergaulan
secara norma Islam. Jadi, pengertian ukhuwwah
Islâmiyyah adalah gambaran tentang hubungan
antara orang-orang Islam sebagai satu ikatan
persaudaraan. Lihat Thoyyib I.M. dan Sugiyanto,
Islam dan Pranata Sosial Kemasyarakatan (Bandung:
Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 172
2 Namun pada akhirnya, kaum Anshar dan
Muhajirin berubah menjadi faksi politik dalam
rangka menentukan pengganti Nabi Muhammad
SAW. Hal ini dapat diketahui ketika Abû Bakr
berpidato untuk meyakinkan umat Muslim
bahwa Nabi Muhammad SAW telah wafat.
Sahabat Nabi Muhammad SAW berpencarpencar: pertama, sahabat Nabi Muhammad SAW
dari kalangan Anshar telah bergabung dengan
Sa’ad ibn ‘Ubâdah di pertemuan Saqîfah Banî
Sa’idah. Kedua, sahabat Nabi Muhammad SAW
dari kalangan Muhajirin yaitu Ali ibn Abî Thâlib,
1
dan kewajiban merupakan karakter dan
cerminan masyarakat Madinah dalam
meraih baldatun thayyibatun warabbun
ghafûr. Hal ini merupakan impian dan
tujuan dari setiap negara yang mayoritas
penduduknya beragama Islam, termasuk
negara Indonesia sendiri.
Dalam konteks negara Indonesia,
beberapa kasus dan fenomena sosial
yang kerap terjadi, seperti pembakaran
tempat ibadah jamaah Ahmadiyah di
Jawa Barat, pembakaran terhadap tempat
tinggal penganut aliran syi’ah di Omben
Sampang, merupakan indikator memudarnya nilai-nilai ajaran agama serta
lunturnya budaya ukhuwwah Islâmiyyah.3
Dewasa ini, ditambah lagi dengan
kemajuan di bidang teknologi dan informasi dalam kehidupan kita, tidak
terkecuali masyarakat kota yang kebu0tuhan tersiernya (barang mewah)
Zubair ibn al-‘Awwâm, dan Thalhah ibn
‘Ubaidillah tinggal di rumah Fathimah ra. Ketiga,
dari kalangan Muhajirin selain tiga tokoh
tersebut bergabung dengan Abû Bakr. Lihat Jaih
Mubarok, Sejarah Peradaban Islam (Bandung: CV.
Pustaka Islamika, 2008), hlm. 88-89.
3
Unsur-unsur budaya dalam pandangan
Malinowski adalah: (a) sistem norma yang
memungkinkan kerjasama antara para anggota
masyarakat dalam upaya menguasai alam
sekelilingnya; (b) organisasi ekonomi; (c) alat-alat
atau lembaga (keluarga merupakan lembaga
pendidikan yang utama); (d) organisasi kekuatan.
Lihat Soerjono Soekonto, Sosiologi Suatu Pengantar
(Jakarta: PT Grafindo Persada, 1993), hlm. 192.
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
41
Moh. Wardi
mayoritas sudah terpenuhi. Masyarakat
pedesaan pun yang tidak pernah
merasakan pendidikan formal setingkat
Sekolah Dasar (SD) saat ini sudah
menjadi pengguna jasa komonikasi
diantaranya adalah Hand Phone (HP).
Dipahami bahwa bagi masyarakat
Madura pada awal tahun 2000-an, HP
masih tergolong kebutuhan tersier,
hanya segelintir orang saja yang bisa
menikmati jasa komonikasi tersebut.
Namun, laju dan perubahan zaman tidak
dapat kita hindari, saat ini semua
individu bisa menggunakan jasa itu dan
memiliki hubungan pribadi tersendiri.
Bahkan seseorang bisa memiliki HP dan
jalinan komunikasi yang berbeda-beda.
Terlepas dari sisi positif yang
dirasakan
oleh
masyarakat,
jasa
komunikasi tersebut lambat laun akan
melunturkan tradisi yang selama ini
mengakar yaitu silaturrahmi, berkunjung
kepada kerabat, teman, dan kolega
dengan
bertatap muka
langsung.
Merebaknya alat komunikasi seperti HP
di seluruh pelosok desa membuat
sebagian masyarakat merasa tidak perlu
melakukan silaturrahmi. Kalau hanya
hendak berkomunikasi dengan tetangga
atau sanak saudara bisa dengan SMS
atau telepon saja, tanpa harus bersua
langsung dengan yang bersangkutan.
Pemahaman yang seperti ini pun
dibenarkan, tetapi secara substansi
belum menjadi representasi dari hakikat
silaturrahmi itu sendiri.
Dalam
konteks
Madura,
pelaksanaan silaturrahmi ini berafiliasi
dengan tradisi ter-ater.4 Jika ditilik dari
Ter-ater adalah pemberian atau hadiah yang
diantarkan kerumah penerimanya yang biasanya
berupa makanan. ter-ater sendiri adalah bagian
dari tradisi masyarakat Madura terutama di
pedalaman dan grass root yang paling banyak
ditemui ketika ada hajatan, selametan dalam
4
42 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
sektor agama, tradisi ter-ater merupakan
manifestasi dari ukhuwwah Islâmiyyah,
menjalin tali silaturrahmi. Hal ini
dilakukan dalam rangka meminimalisasi
dampak buruk dari dinamika proses
modernisasi yang semakin tidak peka
terhadap nilai-nilai persaudaraan, simbol
solidaritas, kepekaan, kepedulian, dan
kesetiakawanan.
Secara budaya, orang dianggap
kurang lengkap tradisi keberagamaannya jika tidak pernah megeluarkan
sebagian hartanya. Pemahaman yang
lebih luas disebut zakat, shadaqah, infaq,
dan hadiah. Dalam konteks lokal
Madura, pada wilayah tertentu, menjadi
‘kewajiban’ yang kemudian dikenal
dengan ter-ater.
Selain itu, secara ekonomi,
pelaksanaan tradisi ter-ater akan memberikan dampak ekonomi yang cukup
berarti bagi daerah yang memegang
tradisi ini. Tradisi ini dapat menumbuhkan motivasi bekerja keras di
kalangan kepala keluarga untuk mendapatkan uang, sehingga nantinya dapat
membeli bahan-bahan makanan yang
mau dibawa ke sanak famili. Para
pedagang pun banyak yang berdatangan
ke rumah kita untuk membeli buahbuahan yang ada di sekitar pekarangan
kita seperti pisang, mangga, jambu, dan
lain-lain. Karena buah-buahan menjadi
komoditas konsumen di pasar menjelang
hari-hari besar keagamaan serta mempunyai hubungan simbiosis mutualisme
segala macamnya, hari raya keagamaan,
tasyakuran, dan lain sebaginya. Kegiatan ter-ater
ini diaplikasikan dengan menghantarkan barang
(terutama makanan) pada sanak keluarga atau
tetangga yang ada di sekitar. Namun tidak jarang
tradisi ini juga dilakukan dan ditujukan pada
sanak saudara yang jauh. Lihat juga Asis
Safioedin, Kamus Bahasa Madura-Indonesia,
(Surabaya: CV Kanindra Suminar, 1976), hlm. 20.
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
antara penjual dan pembeli. Penjual
yakin bahwa barang dagangannya pasti
laku dan laris di pasaran karena
dihadapkan
pada
situasi
yang
menguntungkan dan berlakunya hukum
penawaran bagi pedagang.5 Sementara
bagi konsumen,
buah-buahan
itu
menjadi target belanja-nya
untuk
memeriahkan tradisi keagama-an dan
sebagai barang yang harus dibawa ke
sanak
familinya.
Tradisi
ter-ater
merupakan indikator nyata betapa
dampak ekonominya cukup besar.
Seiring dengan meningkatnya
semangat beragama di kalangan masyarakat di Madura, meningkat pula tradisi
ter-ater yang bermotif agama, baik itu
berupa kunjungan ke sanak famili,
teman, dan kolega, bahkan kepada tokoh
agama (kiai). Fenomena itu menjadi tren
baru di kalangan kelas menengah yang
ingin menegaskan identitas keberagamaannya. Tulisan berikut hendak
mengurai tentang hubungan ter-ater dari
sisi agama, budaya, dan ekonomi.
Metode Penelitian
Pendekatan dalam penelitian ini
adalah kualitatif (qualitative approach)
dengan jenis penelitian fenomenologis
yang secara komprehensif mengungkap
dan memformulasikan data lapangan
dalam bentuk narasi verbal yang utuh
dan mendeskripsikan realitas aslinya
yang selanjutnya data tersebut dianalisis.
Penelitian ini menggunakan paradigma
definisi sosial, yaitu menekankan pada
Bunyi hukum penawaran adalah: apabila harga
turun, maka jumlah barang yang ditawarkan
akan turun. Apabila harga naik, maka maka
jumlah barang yang ditawarkan akan naik pula.
Sedangkan bunyi hukum permintaan adalah:
apabila harga turun, maka jumlah barang yang
diminta akan naik. Apabila harga naik, maka
jumlah barang yang diminta akan turun.
5
kenyataan sosial yang didasarkan atas
definisi subjektif dan penilaiannya.
Prinsip dasar dari paradigma sosial
adalah: pertama, individu menyikapi
sesuatu atau apa saja yang terjadi di
lingkungannya berdasarkan makna dari
objek tersebut. Kedua, makna tersebut
diberikan berdasarkan interaksi sosial
yang dijalin dengan individu yang lain.
Ketiga, makna tersebut dipahami dan
dimodifikasi oleh individu melalui
interpretasi yang berkaitan dengan halhal yang dijumpainya6 dengan teori
fenomenologis.
Kajian
ini
berbeda
dengan
peneliti-an sebelumnya, seperti: pertama,
peneli-tian Malinowski di Kepulauan
Trobriand
di
Pasifik.
Malinowski
mengkaji tentang pertukaran sosial pada
masyarakat Trobriand dengan kategori
apa yang dipertukarkan oleh para
pelakunya
sebagai
suatu
proses
kebudayaan. Dalam penjelasannya, ia
memberi gambaran bahwa manusia
tidak hanya memerlukan pertukaran
sebagai
representasi
benda-benda
simbolik semata, namun juga sebagai
jaringan hubungan timbal balik yang
dapat ditelusuri pada hubungan sosial
dalam kegiatan tukar-menukar barang
dan jasa, di mana pertukaran di
dalamnya memiliki esensi moralitas yang
menjadi bingkai kehidupan masyarakat
sejak
dahulu.
Resiprositas
dalam
pandangan
Malinowski
merupakan
suatu ketetapan atau hubungan antara
dua orang atau kelompok, di mana di
dalamnya terdapat tindakan saling
menguntungkan, yaitu memberi dan
menerima. Resiprositas juga sering
disebut sebagai “pertukaran pemberian”
Imam Suprayogo dan Tobroni, Metodologi
Penelitian Sosial Agama (Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2001), hlm. 100.
6
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
43
Moh. Wardi
(gift exchange) dan “pertalian pemberian”
(gift relationship) yang masing-masing
memiliki pengertian sebagai hubungan
timbal balik dari pertukaran barang dan
jasa. Pertukaran itu tidak memiliki nilai
ekonomis, tetapi mampu menjaga
solidaritas sosial.7 Tiga resiprositas
dalam pengertian yang lebih luas, yaitu:
(1) generalized reciprocity yang mencakup
pemberian tanpa harapan pengembalian
yang dihubungkan dengan keluarga; (2)
balanced reciprocity yang mencakup
tentang pertukaran nilai yang setara di
antara orang-orang yang dihubungkan
dengan komunitas; dan (3) negative
reciprocity yang mencakup tentang kegiatan ekonomi untuk mencari keuntungan tambahan dengan menggunakan
cara lain dalam mencapai maksud dan
tujuannya.
Kedua, Amich Alhumami8 dalam
tulisannya menyebutkan empat esensi
moralitas dalam pertukaran yang
menjadi simbol atau medium untuk
menjaga keseimbangan kosmik dan
ketertiban
sosial,
yaitu:
pertama,
melambangkan
penghar-gaan
dan
penghormatan di antara sesama anggota
masyarakat dalam suatu bangun-an
struktur sosial yang berlapis-lapis,
sehingga anggota masya-rakat dari
lapisan sosial yang berbeda dalam
hierarki sosial bisa saling berinteraksi
tanpa pembatas.
Kedua, merawat relasi horizontal
antara warga dan memperkuat harmoni
sosial, sehingga setiap warga memperoleh kenyamanan dan ketentraman
dalam kehidupan kemasyarakatan.
Lihat Peter Burke, Sejarah dan Teori Sosial, terj.
Mestika Zed dan Zulfami (Jakarta: Yayasan Obor
Indonesia, 2003), hlm. 104
8
Amich Alhumami, “Uang dan Moralitas
Pertukaran”, Kompas, 05 Juli 2008
7
44 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
Ketiga, membangun dan meneguhkan solidaritas sosial untuk memperkuat
ketahanan masyarakat atas dasar keterikatan
emosional
dan
pertalian
kekerabatan.
Keempat, memperkokoh dan memantapkan daya rekat suatu hu-bungan
sosial
guna
mencegah
dan
mengeliminasi potensi konflik serta
menghindari friksi di dalam masyarakat.
Pendekatan kualitatif digunakan
dalam penelitian ini dengan beberapa
pertimbangan: pertama, penelitian ini
meng-kaji makna dari suatu tindakan
atau apa yang ada di balik tindakan
individu. Kedua, di dalam menghadapi
lingkungan sosial, individu memiliki
strategi melakukan tindakan yang tepat
bagi dirinya sehingga memerlukan kajian
mendalam. Ketiga, meneliti keyakinan
pilihan sikap dan kesadaran berperilaku
memungkinkan dengan menggunakan
pendekatan kualitatif. Keempat, penelitian
kualitatif memberikan peluang untuk
mengkaji fenomena simbolik secara
holis-tik, dalam arti fenomena yang
dikaji di lapangan merupakan satu
kesatuan yang tidak dapat dipisahkan
karena tindakan-tindakan yang terjadi di
lapangan bukanlah yang diakibatkan
oleh salah satu atau dua faktor,
melainkan banyak faktor yang terdapat
di dalamnya. Kelima, penelitian kualitatif
memberikan peluang untuk memahami
fenomena menurut perspektif pelaku di
lapangan.
Sehingga
peneliti
sesungguhnya bertindak sebagai seorang
yang sedang belajar dari apa yang
menjadi pandangan subyek (learning form
the people) di lapangan.
Instrumen penelitian ini adalah
peneliti sendiri dengan jalan observasi
berperan serta, wawancara mendalam
dan studi dokumentasi. Agar data yang
diperoleh valid dan objektif, maka
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
peneliti berpegang teguh pada prinsip
dan komponen metodologis yaitu das
vestehen.9 Untuk memastikan keabsahan
temuan, maka langkah yang ditempuh
adalah (a) menambah dan memperpanjang intensitas kehadiran dalam
kancah komunitas yang diteliti serta
meningkatkan
intensitas
hubungan
personal dengan informan, (b) observasi
yang diperdalam, dan (c) triangulasi.
Triangulasi merupakan teknik memperoleh keabsahan data dengan menggunakan beberapa sumber data sumber
data. Dalam konteks penelitian ini, sumber data terutama wawancara tidak
hanya mencukupkan satu orang, melainkan beberapa orang yang diambil secara
purposif (purposive sampling) sehingga
data
yang
diperoleh
benar-benar
merupakan suatu realitas, bukan sesuatu
yang terjadi secara kebetulan.
Lokasi penelitian ini yaitu Desa
Bakiong Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep. Secara geografis, Desa
Bakiong berada di kawasan dataran
tinggi dengan luas desa ± 7,45 km. Jarak
ke ibukota kecamatan ± 5 km, sedangkan
jarak ke ibukota kabupaten ± 31 km.
Terdapat 8 (delapan) dusun, di antaranya
Dusun Bakiong, Birsa, Serbung, Lebilleh,
Talang, Lembanah, Jambangan, dan
Ro’soro’. Pada setiap dusunnya terdapat
lembaga pendidikan (formal maupun
non formal), sehingga masing-masing
9 Das vestehen adalah pemahaman tetang gagasan,
intensi, dan perasaan orang/ masyarakat melalui
manifestasi empirik dalam kebudayaan. Hal ini
memberikan indikasi bahwa manusia di seluruh
lingkungannya mengalami kehidupan yang
bermakna (meaningfull), pengungkapan makna
itu dalam pola-pola yang dapat dilihat (discernible
patterns), dianalisis (can be analyzed), dan
dipahami (understood). Lihat Richard C. Martin
(ed.), Approaches to Islam in Religious Studies
(Arizona: The University of Arizona Press, 1985),
hlm. 8.
dusun memiliki figur keagamaan/orang
yang di tokohkan (kiai).10 Kondisi tanah
di Desa tersebut sangat subur, selain
cocok ditanami kebutuhan pokok seperti
padi, jagung, dan singkong, juga cocok
dita-nami tembakau. Bahkan tembakau
dijadikan sebagai komoditas yang sangat
menguntungkan bagi masyarakat Bakiong. Mata pencaharian masyarakatnya,
terutama kaum laki-laki adalah petani,
peternak sapi, sopir taksi, ojek, pekerja
bangunan, dan lain-lain. Sedangkan
kaum perempuan ada yang membantu
suami di sawah atau ladang dan
pedagang di pasar.
Dipilihnya daerah ini didasari
oleh suatu realitas bahwa: pertama, di
wilayah
ini
tradisi-tradisi
lokal
sebagaimana dalam fokus kajian ini
masih
menun-jukkan
eksistensinya,
sekali pun mengalami sedikit perubahan.
Kedua, sisi lain masyarakat di desa ini
begitu kentalnya meyakini tradisi
sebagaimana dalam fokus penelitian ini,
sehingga dalam anggapan mereka, jika
tidak melaksanakan tradisi tersebut (terater) merasa punya hutang dan kurang
lengkap dalam keberagamaannya.
Tradisi Ter-ater dalam Tinjauan Agama
dan Budaya
Ter-ater diartikan sebagai pemberian atau hadiah yang diantarkan
kerumah penerima yang biasanya
berupa makanan. Ter-ater sendiri adalah
bagian dari tradisi masyarakat Madura
terutama di pedalaman dan grass root
yang paling banyak ditemui ketika ada
hajatan, selametan, hari raya keagamaan,
tasyaku-ran,
dan
lain
sebaginya.
Kegiatan ter-ater ini diaplikasikan
10 Moh Wardi, “Pendidikan Perempuan dalam
Perspektif Masyarakat Desa Bakiong Kecamatan
Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep” (Skripsi,
STAIN Pamekasan, 2007), hlm. 51.
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
45
Moh. Wardi
dengan
menghantarkan
barang
(terutama
makanan)
pada
sanak
keluarga atau tetangga yang ada di
sekitar. Namun tidak jarang tradisi ini
juga dilakukan dan ditujukan pada sanak
saudara yang jauh.11
Ter-ater merupakan bagian dari
budaya lokal yang membuat banyak
orang menyimpulkan bahwa masyarakat
Madura adalah masyarakat yang ramah,
dermawan, komunikatif, baik hati, dan
memiliki solidaritas yang tinggi pada
sesama. Dalam peribahasa Madura
mengatakan satendhak sapeccak (secara
harfiah berarti selangkah dan sekaki).
Peribahasa tersebut dimaksudkan untuk
menyatakan kedekatan dan kejauhan
ukurannya nisbi dalam ikatan kekeluargaan. Jarak antara diri seseorang dengan
sepupu (satendhak) dan saudara kandung
(sapeccak) hampir tidak ada bedanya.
Keduanya sama-sama dekat sekaligus
sama-sama jauh. Bukan pula aba’ saaba’
(hanya dirinya sendiri) sehingga ia akan
bersikap odi’ kadhibi’ (bersikap individualistis) yang berimplikasi pada sikap tidak
perlu memikirkan orang lain. Orang
yang seperti itu, bagi masyarakat
Madura dikatakan martabhât oréng elanyo’
bâ’a (seperti harga diri seseorang yang
terhanyut banjir), sebab ia akan mencari
keselamatan dan alur hidupnya secara
mandiri.12
Menurut
Nurcholis
Madjid,
agama dan budaya adalah dua bidang
yang dapat dibedakan tetapi tidak dapat
dipisahkan. Agama bernilai mutlak,
tidak berubah menurut perubahan
waktu dan tempat. Tetapi berbeda
dengan budaya, sekalipun berdasarkan
agama, dapat berubah dari waktu ke
waktu dan dari tempat ke tempat.
Kebanyakan budaya berdasarkan agama,
namun tidak pernah terjadi sebaliknya,
agama berdasarkan budaya. Oleh karena
itu, agama adalah primer, dan budaya
adalah sekunder. Budaya dapat berupa
ekspresi hidup keagamaan, karena ia
sub-ordinat terha-dap agama.13
Dalam pandangan Harun Nasution, agama pada hakikatnya mengandung dua kelompok ajaran. Kelompok
pertama, yang meyakini bahwa wahyu
dari Tuhan, bersifat absolut, mutlak,
kekal, tidak berubah dan tidak bisa
diubah. Sedangkan kelompok kedua,
mereka yang meyakini bahwa wahyu
dari Tuhan memerlukan penjelasan tentang arti dan pelaksanaannya. Oleh karenanya, penjelasan itu pada hakikatnya
tidaklah absolut, tidak mutlak, bersifat
relatif, nisbi dan dapat diubah sesuai
dengan perkembangan zaman.14
Dalam konteks agama, manusia
pada hakikatnya adalah makhluk sosial
(homo socius) yang senantiasa membutuhkan bantuan dan pertolongan orang
lain. Dengan ukhuwwah Islâmiyyah,
kehidupan dalam bermasyarakat senantiasa harmonis dalam melaksanakan perintah Allah dan menjauhi segala
larangan-Nya serta mampu memperkuat
persatuan dan kesatuan dalam hidup
beragama, berbangsa dan bernegara.
ukhuwwah Islâmiyyah menjadi lebih
Yustion, et.al, Islam dan Kebudayaan Indonesia:
Dulu, Kini, dan Esok, (Jakarta: Yayasan Festival
Istiqlal, 1993), hlm. 172.
14 Parsudi Suparlan (ed), Pengetahuan Budaya,
Ilmu-Ilmu sosial dan Pengkajian Masalah-Masalah
Agama
(Jakarta:
Pusat
Penelitian
dan
Pengembangan Lektur Agama Badan Litbang
Agama, 1982), hlm. 18.
13
Asis Safioedin, Kamus Bahasa Madura-Indonesia,
(Surabaya: CV Kanindra Suminar, 1976), hlm. 20.
12
Mien Ahmad Rifai, Manusia Madura,
Pembawaan, Prilaku, Etos Kerja, Penampilan dan
Pandangan
Hidupnya
seperti
Dicitrakan
Pribahasanya, (Yogyakarta: Pilar Media, 2007),
hlm. 202.
11
46 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
aktual bila dihubungkan dengan masalah
solidaritas
sosial,
karena
pada
hakikatnya manusia adalah makhluk
sosial, sebagaimana dalam al-Qur’an
surah Âli-‘Imran ayat 103 yang
memerintah manusia untuk bersatu dan
melarang untuk becerai berai dan dalam
surah al-Hujurât ayat 13 menyuruh
manusia untuk saling mengenal.
Islam juga mengajarkan umatnya
untuk memperbanyak sedekah dengan
mengharap ridla Allah, imbalan rezeki
yang berlimpah yang dapat dirasakan di
dunia, serta pahala yang bisa dipetik di
akhirat kelak.15 Hal ini, memberikan
pelajaran kepada kita bahwa bersedekah
akan mendatangkan balasan yang
berlipat ganda baik di dunia dan di
akhirat. Maka, dalam konteks Madura
khususnya di Bakiong, wujud dari
sedekah itu diimplementasikan dalam
bentuk, format, dan bahasa yang berbeda
walaupun substansinya adalah sama
yaitu ter-ater.
Atas dasar inilah, masyarakat
Madura berikhtiar dalam rangka internalisasi nilai-nilai ajaran al-Qura’n yaitu
menjalin ukhuwwah Islâmiyyah, membangun persatuan dan mempererat tali
silaturrahmi dalam format lokal yang
disebut ter-ater. Karena bagimanapun,
makna dan kandungan filosofi dari terater tersebut adalah cerminan bahwa
Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda,
“Barang siapa yang bersedekah sebuah kurma yang
diperoleh dengan cara halal dimana Allah tidak akan
menerima pahala sedekah yang tidak halal, maka Allah
akan menerimanya dengan tangan kanan-Nya.
Kemudian Allah akan menumbuhkembangkannya
untuk kepentingan pelakunya, seperti salah seorang
kamu yang memelihara anak kuda menjadi gemuk dan
besar hingga pahalanya sebesar gunung” (HR.
Bukhari Muslim, Turmudzi, Nasa’i, Ibn Majah
dan Ibn Khuzaimah). Lihat, Abdul Qadir Atha,
Penghapus Dosa dan Pahala Amal Saleh (Jakarta:
Lentera, 2001), hlm. 133.
15
masyarakat Madura adalah masyarakat
yang ramah, dermawan, komunikatif,
baik hati, dan memiliki solidaritas yang
tinggi pada sesama.16
Bagi kalangan masyarakat Madura, ter-ater merupakan tradisi turuntemurun. Hal ini dilakukan untuk
menyambung dan mempererat tali silaturrahmi antar keluarga atau tetangga.
Barang yang dibawa sebagai oleh-oleh
bagi yang dikunjungi berupa makanan
yang siap saji, seperti nasi putih berserta
lauk-pauk,
daging
ayam,
daging
kambing atau sapi, lengkap dengan kue
dengan berbagai macam jenis makanan
tersebut, lalu dibawa ke tempat saudara
atau tetangga dekat. Jika yang hendak
dikun-jungi adalah keluarga yang
letaknya jauh, barang bawaannya
biasanya barang yang tidak mudah basi
tetapi unik. Namun, hal ini hanya bisa
didapatkan di tempat-tempat tertentu di
Madura. Sebagai salah satu dari elemen
budaya masyarakat Madura, ter-ater
dapat dijadikan sebuah cerminan yang
dapat menggambarkan identitas dan
karakter masyarakat Madura.17
Pada hari raya keagamaan, seperti
lebaran, ter-ater ini menemukan momentumnya yang cukup signifikan. Hampir
setiap masyarakat Madura melakukannya. Mereka tidak sekadar pergi
bertamu untuk bersalam-salaman dan
bermaaf-maafan. Mereka tidak lupa
membawa sesuatu yang mereka makan
di rumahnya, tidak jarang budaya ter-ater
ini dijadikan wahana untuk silaturrahmi.
Wawancara dengan K. Ah. Zubaidi, S.Pd.I
(Pengasuh Pondok Pesantren Ainul Falah
Bakiong Guluk-Guluk Sumenep) pada tanggal 18
Juni 2013.
17 Wawancara dengan Moh. Juma’ie (Tokoh
Masyarakat) pada tanggal 18 Juni 2013.
16
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
47
Moh. Wardi
Dari sudut pandang budaya,18
orang Madura dianggap kurang lengkap
tradisi keberagamaannya jika tidak pernah mengeluarkan sebagian hartanya,
seperti dalam bentuk ter-ater. Ia disbeut
sebagai sedekah, infaq, dan hadiah.
Tradisi ter-ater ini sering luput
dari perhatian para peneliti, mungkin
saja tradisi ini dianggap cukup sepele
dan biasa-biasa saja. Padahal, substansi
ter-ater ini adalah salah satu kegiatan
atau ritual budaya lokal yang membuat
banyak orang menyimpulkan bahwa
masyarakat Madura adalah masyarakat
yang ramah, dermawan, komunikatif,
baik hati, dan memiliki solidaritas yang
tinggi pada sesama. Selain merupakan
tradisi yang sudah terjadi sejak dulu,
tradisi ter-ater sebenarnya merupakan
salah satu bentuk untuk mempererat
hubungan kekeluargaan di Madura.
Masyarakat yang masih menjalankan tradisi asli Madura ini, akhirakhir ini sudah mulai berkurang.
Meskipun ada, tetapi nuansanya sudah
jauh
berbeda
dengan
masa-masa
Dalam pandangan Clifford Geertz, budaya
adalah persoalan semiotik sehingga mengkaji
budaya adalah mengkaji makna. Selanjutnya
Geertz mendefinisikan budaya sebagai (1) sistem
keteraturan dari makna simbol, yang dengan
makna dan simbol tersebut, individu mendefinisikan dunia, mengekspresikan perasaan, dan
membuat penilaian; (2) suatu pola makna yang
ditransmisikan secara historis yang terkandung
dalam bentuk-bentuk simbolik, yang melalui
bentuk simbolik tersebut, manusia berkomunikasi, memantapkan, dan mengembangkan
pengetahuan mereka mengenai dan bersikap terhadap kehidupan; (3) suatu peralatan simbolik
untuk mengontrol perilaku, sumber-sumber
ekstrasomatik dari informasi; dan (4) karena
kebudayaan adalah sesuatu sistem simbolik,
maka proses kebudayaan harus dipahami,
diterjemahkan, dan diinterpretasi. Lihat, Syaiful
Arif, Refilosofi Kebudayaan; Pergeseran Pascastruktural (Yogyakarta: Arruz Media, 2010), hlm.
111.
18
48 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
sebelumnya. Bukan hanya tradisi ter-ater
rebbâ sebagaimana pada setiap malam
Jumat, dan hari-hari baik dalam
pandangan agama Islam, tetapi juga
banyak tradisi lain yang saat ini sudah
jarang dilakukan.19 Tradisi ter-ater yang
sudah mengakar pada masyarakat perlu
dilestarikan jika itu baik, namun
demikian juga perlu dicarikan sebuah
metode atau format baru dengan ter-ater
barang produktif sehingga tetap eksis
dan sesuai dengan perkembangan
zaman.
Sebagaimana
kaidah
“almuhâfazhah ‘alâ al-qadîm al-shâlih wa alakhdzu bi al-jadîd al ashlah”.20
Terdapat beberapa momentum
ter-ater di Desa Bakiong Kecamatan
Guluk-Guluk
Kabupaten
Sumenep,
yaitu: pertama, bulan Muharram, bulan
haram untuk perperang (sorah). Tradisi
ter-ater di bulan sorah ini dilakukan oleh
penduduk desa dengan membawa
bubur, yang dikenal dengan bubur putih
(tajin pote), kepada sanak famili, kerabat,
dan tetangga. Kedua, bulan Shafar, yang
diartikan sebagai perjalanan para kabilah
berdagang keluar daerah (sappar). Tradisi
ter-ater di bulan sappar ini dilakukan oleh
penduduk
Desa
Bakiong
dengan
membawa sejenis bubur merah-putih,
yang lebih dikenal dengan istilah tajin
polor.21
Ketiga, bula Rabî’ al-Awwal, yang
diartikan dengan musim semi (molod).
Pada bulan ini, masyarakat di Desa
Bakiong memeriahkannya dengan terater ke sanak famili dan keluarga dengan
membawa nasi, daging ayam, daging
sapi, dan aneka buah-buahan. Mereka
Kompas, Minggu, 14 September 2008
Abdul Qadir, Jejak Langkah Pembaharuan
Pemikiran Islam di Indonesia (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2005), hlm. 21.
21
Wawancara dengan K. Siraji (Tokoh
Masyarakat) pada tanggal 19 Juni 2013.
19
20
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
berkeyakinan bahwa di bulan Rabî’ alAwwal (molod) ini Nabi Muhammad SAW
dilahirkan, dan di bulan inilah semua
buah-buahan tumbuh dan berkembang
di muka bumi. Keempat, Bulan Rabî’ alAkhîr, yang diartikan sebagai akhir
musim semi (rasol). Pada bulan ini,
masyarakat
di
Desa
Bakiong
memeriahkannya dengan ter-ater ke
sanak famili dan keluarga dengan
membawa makanan nasi, daging ayam,
daging sapi serta aneka kue. Dengan
dasar pemikiran bahwa pada bulan rasol
ini seyogyanya kita bersyukur terhadap
rezeki yang diberikan oleh Allah kepada
kita. 22
Kelima, Bulan Sya’bân (rebba), yang
diartikan sebagai berpencar-pencar mencari mata air menyongsong bulan suci
Ramadlân. Tradisi ter-ater pada bulan
rebba berupa makanan, seperti nasi putih
berserta lauk-pauk, daging ayam,
kambing, atau sapi lengkap dengan kue
dengan berbagai macam jenisnya. Lalu,
ia dibawa ke tempat sanak saudara atau
tetangga yang akan dikunjungi.
Keenam, Bulan Ramadlân (pasa’an),
yang
diartikan
sebagai
bulan
diturunkan-nya ayat-ayat suci al-Qur’an.
Pada Bulan Ramadlân ini, ter-ater dapat
dijumpai, terutama pada tanggal 21, 25,
dan 27 Ramadlân (salekoran, sageme’an,
dan pettolekoran). Pada malam salekoran,
masyarakat membawa apem (sarabih)
kepada para sanak keluarga dan
tetangga. Pada malam pettolekoran,
mereka saling mengantarkan ketan dan
kolak. dengan membawa ketupat pada
tetangga.
Ketujuh, Bulan Syawwal (sabel),
yang diartikan sebagai musim hewan
Wawancara dengan K.H. Samsul Arif (Ketua
Yayasan Ainul Falah Bakiong Guluk-Guluk
Sumenep) pada tanggal 19 Juni 2013.
berkembang
biak.
Andre
Moller
memandang idulfitri yang berlangsung
pada awal Bulan Syawwal sebagai ritus
peralihan dari ritus liminal saat
menunaikan ibadah puasa di Bulan
Ramadlân menuju ritus reintegrasi,
karena kehidupan seseorang pada bulan
itu sudah kembali normal.23
Orang
Madura
merayakan
idulfitri dengan meriah dan gegap
gempita, dimeriahkan dengan tradisi terater makanan, seperti nasi putih berserta
lauk-pauk, daging ayam, kambing, atau
sapi, lengkap dengan kue dengan
berbagai macam jenisnya.
Kedelapan, Bulan Dzu al-Hijjah (ré
rajeh), diartikan sebagai pemilik masa
haji/musim haji. Masyarakat merayakannya dengan penuh kemeriahan.
Dalam perayaan itu, batas dan
stratifikasi sosial seolah-olah memudar,
kaya dan miskin perbedaannya sangat
tipis. Yang kaya meminta maaf pada
yang miskin, begitu juga sebaliknya.
Mereka berharap akan mendapat
pencerahan
secara
batin.
Dalam
perayaan tellasan ini, mereka juga
mengenakan baju, kopiah, sarung, dan
sandal yang baru. Dengan pakaian yang
serba baru ini, secara fisik menjadi
simbol bahwa tellasan momentum yang
sangat membahagiakan dan penuh
kegem-biraan. Perayaan ini tidak
berhenti di sini, masyarakat juga
merayakannya dengan pesta makanan,
diikuti dengan menggelar tradisi ter-ater
dengan mengantarkan barang (terutama
makanan) pada sanak keluarga atau
tetangga yang ada di sekitar, dijinjing
dalam wadah besar/ yang berisi
makanan siap saji, daging ayam dan
daging sapi. Bahkan pada Bulan Syawwâl
22
Andre Moller, Ramadhan di Jawa: Pandangan dari
Luar (Jakarta: Nalar, 2005), hlm. 214.
23
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
49
Moh. Wardi
dan Dzu al-Hijjah ini merupakan
momentum akbar dalam perayaan
keagamaan (idulfitri dan iduladha),
sehingga momentum ter-ater mengikuti
kemeriahan dan kebesaraan perayaan
keagamaannya pula.24
Klasifikasi Status dan Sifat Ter-ater di
Madura
Dengan memperlakukan konsep
resiprositas dalam mencermati teori dan
bahasan pertukaran sosial, bahwa ide
fundamental di balik proses hubungan
timbal balik yang berlangsung di
lapangan menunjukkan bahwa pertukaran memberikan gambaran bahwa
masyarakat Madura tidak hanya memerlukan pertukaran sebagai representasi
benda-benda simbolik semata, namun
juga sebagai jaringan hubungan timbal
balik yang dapat ditelusuri pada
hubungan sosial dalam kegiatan tukarmenukar barang dan jasa, di mana
pertukaran di dalamnya memiliki esensi
moralitas yang menjadi bingkai kehidupan masyarakat sejak dahulu.
Untuk memahami klasifikasi dan
tingkatan ter-ater berdasarkan statusnya
(pemberi dan penerima) dapat dibagi
menjadi: pertama, penerima lebih tinggi
statusnya, maka status ter-aternya lebih
tinggi
pula.
Menu
dan
barang
bawaannya lebih lengkap dan lebih
gurih karena status sosial penerima lebih
tinggi pula. Hal ini dapat dijumpai dari
kalangan masyarakat biasa ketika ter-ater
ke rumah kiai dan tokoh masyarakat.
Dalam
pema-haman
masyarakat
Madura, para kiai dan ustadz adalah
bagian dari orang yang beriman dan
berilmu. Di mata Allah, derajat mereka
24 Moh. Afifi, “Tellasan Ramah di Madura sebagai
Proses Sosial”, Jurnal ‘Anil Islam INSTIK
Annuqayah, Vol. 3, No. 2 (Desember, 2010), hlm.
182.
50 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
lebih tinggi, maka konsekuensi logis dari
status yang disandangnya menjadi lebih
dihormati oleh masyarakat.
Kedua, penerima lebih rendah
statusnya, maka status ter-ater-nya
sekadarnya. Menu dan barang bawaannya ala kadarnya (biasa) karena status
sosial penerima lebih rendah. Hal ini
dapat dijumpai dari keluarga kiai dan
tokoh masyarakat ketika ter-ater ke
rumah warga biasa. Karena dalam
pemahaman
masyarakat
Madura,
masyarakat
biasa
tidak
mugkin
mempersoalkan pemberian kiai. Dengan
pemberian ala kadarnya saja dari pihak
kiai ke umat, maka umat merasa dihargai
oleh kiai. Karena jasa dan pengabdian
seorang
kiai
untuk
membimbing
umatnya lebih berat tanggung jawabnya
dari sekadar warga biasa.
Ketiga, pemberi dan penerima
status sosialnya setara dan seimbang
(warga = warga, kiai = kiai). Pada
tingkatan ini, ter-ater dapat di klasifikasikan berdasarkan sifatnya yaitu; (1)
ter-ater positif, (ter-ater yang dibalas
dengan jenis, bentuk, dan menu perlengkapan yang mewah). Berdasarkan
perspektif resiprositas, maka penulis
melihat bahwa ide fundamental di balik
proses hubungan timbal balik yang
berlangsung di lapangan adalah bahwa
adanya pertukaran barang (ter-ater)
semuanya terjadi dalam konteks jaringan
pertukaran yang lebih besar. Analisa
dalam contoh ter-ater ini menunjukkan
bahwa sistem pertukaran barang (terater) di Madura merupakan perbuatan
yang mengarah kepada interaksi sosial
yang
menjalankan
sistem
pertukaran/ter-ater sebagai simbol yang
menjamin ketera-turan sosial masyarakat
Madura. Selain itu, jika dikaitkan dengan
esensi moral dalam pertukaran barang
atau ter-ater melambangkan penghargaan
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
dan peng-hormatan di antara sesama
anggota masyarakat dalam suatu
bangunan struktur sosial yang berlapislapis, se-hingga anggota masyarakat dari
lapisan sosial yang berbeda dalam
hierarki sosial bisa saling berinteraksi
tanpa pembatas; (2) ter-ater netral, (terater biasa dan les-bâles). Pada tingkatan
ini, ter-ater pada prinsipnya merawat
relasi
horizontal
antarwarga
dan
memperkuat harmoni sosial, sehingga
setiap warga mempe-roleh kenyamanan
dan ketentera-man dalam kehidupan
masyarakat.
Mem-bangun
dan
meneguhkan solidaritas sosial untuk
memperkuat ketahanan masyarakat atas
dasar keterikatan emo-sional dan
pertalian kekerabatan. Mem-perkokoh
dan memantapkan daya rekat suatu
hubungan sosial guna mencegah dan
mengeliminasi potensi konflik serta
menghindari friksi di dalam masyarakat;
(3) ter-ater negatif (ter-ater yang tidak
terbalas). Pada prinsipnya, konsep
resiprositas dan konsep pertukaran
pemberian pada dasarnya terletak pada
kewajiban memberi, menerima, dan
mengembalikan barang yang serupa.
Sementara perputaran dalam resiprositas
bisa berupa gengsi yang dihubungkan
dengan kedermawanan seseorang yang
mengharuskan mengembalikan barang
yang setara, atau bahkan lebih besar dari
pemberian yang semula. Sementara
orang Madura menafsirkan amal itu
dengan ter-ater yang sering kali berujung
pada acara les-bâlesân. Manakala terdapat
ter-ater dengan tipe seperti ini, yaitu terater yang tidak terbalas, maka terdapat
sanksi moral yang harus diterima yaitu
san-rasanan. Karena filosofi orang Madura dikaitkan dengan pernyataan sering
menerima tetapi jarang memberi (seggut
naréma tak tao aberrik). Relasi ter-ater sama
dengan konstruksi nilai budaya terima
kasih (memberi dan menerima), bukan
hanya menerima saja.
Bagi keluarga yang dalam situasi
normal (tidak miskin dan tidak ada
musibah) pada momentum hari keagamaan yang berafiliasi dengan ter-ater,
yang bersangkutan merasa enggan dan
lalai, maka sanksi bagi masyarakat yang
tidak melakukan ter-ater dengan sendirinya akan muncul dan menjadi bahan
pembicaraan dan pergunjingan dengan
beberapa tingkatan dan tahapan. Pertama, gosip/bahasa Maduranya san
rasanan (desas-desus) dari masyarakat
dengan menyebar berita yang tidak bisa
dipertanggungjawabkan dan sanksi ini
bersifat tertutup (orang yang tidak
melakukan ter-ater tidak mengetahui dan
mendengar secara langsung). Kedua,
cemoohan. Sanksi ini bersifat terbuka
diberikan kepada mereka yang melanggar nilai dan norma dalam masyarakat.
Sanksi ini diberikan agar yang bersangkutan mengetahui bahwa dia melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan
nilai, adat, dan norma yang ada. Ketiga,
ostrasisme bisa diartikan pengucilan.
Pengucilan yang dimaksud adalah orang
yang tidak pernah melakukan ter-ater
biasanya kurang komunikatif dan tidak
pernah berbagi. Maka konsekuensinya
adalah sedikit teman dan kurang
diterima di masyarakat.25 Hal ini bertentangan dengan ciri khas dan karakter
orang Madura, bahwa harga diri
menunjukkan kekokohan sikap orang
Madura. Kalau seseorang dilecehkan
atau direndahkan ia akan tersinggung
karena harga dirinya. Penghinaan ini
(gosip, cemoohan, dan ostrasisme)
menyangkut perihal yang berkaitan
Wawancara dengan Susanto Monas, S.Pd.I
(Tokoh Masyarakat) pada tanggal 20 Juni 2013.
25
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
51
Moh. Wardi
dengan agama.26 Bagi orang Madura,
agama adalah jiwanya, adat adalah
nafasnya. Orang-orang yang mempunyai
peranan di dalam masya-rakat tersebut
memerhatikan keistime-waan-keistimewaan yang mereka miliki. Dengan
demikian, adat merupakan sumber hukum pertama dalam sejarah kemanusian,
sebab adat merupakan sumber inspirasi
dalam masyarakat. Adapun yang
berkaitan dengan syari’at Islam, dengan
tegaknya nash syari’ah sebagai sumber
hukum resmi bagi hukum Islam, maka
adat dalam pandangan fiqih masih
dinilai sebagai sumber penting di
dalamnya. Sebagian ulama mangatakan
sesungguhnya adat adalah dalil dasar
yang dijadikan sebagai landasan hukum
dan menghubungkan halal dan haram.
Sebagian ulama menyebutkan
bahwa di antara dalil syar’i dalam Islam
terdapat yang menilai tradisi sebagai
sumber pelengkap bagi nash-nash syari’ah sebagaimana dalam firman Allah
SWT:
Jadilah Engkau pema'af dan suruhlah orang
mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari
pada orang-orang yang bodoh (Q.S. al-A’raf:
199)
Kata ma’rûf dalam ayat di atas
berkaitan dengan makna bahasa yaitu
sesuatu yang baik. Tidak jauh berbeda
antara makna tradisi dan dalam fiqih,
yaitu tradisi individu-individu masyarakat dalam pekerjaan muamalah mereka. Dalam hal ini, sebagian ulama
Maulana Surya Kusumah, “Sopan, Hormat,
dan Islam: Ciri-ciri Orang Madura”, dalam
Soegianto, Kepercayaan, Magi, dan Tradisi Dalam
Masyarakat Madura (Jember: PT Tapal Kuda
bekerja sama dengan Pusat Penelitian Budaya
Jawa Madura, Lembaga Penelitian Universitas
Jember, 2003), hlm. 18.
menyebutkan dalil dari hadis Nabi yang
artinya sebagai berikut: “Apa yang baik
oleh kaum muslimin, maka ia dipandang baik
oleh Allah”.
Toleransi bagi masyarakat yang
tidak melakukan ter-ater senantiasa
terbuka, dan terdapat pengecualian
selama yang bersangkutan benar-benar
dalam situasi yang tidak memungkinkan
seperti halnya kondisi ekonomi yang
amat sulit (miskin) serta musibah yang
menimpa keluarga yang bersangkutan
yang bersamaan dengan momentum terater (bagian dari keluarga ada yang
sakit).27
Dalam konteks Bakiong, kiai atau
nyai dan beberapa tokoh masyarakat
(orang kaya) sebagai tokoh kharismatik
seringkali menjadi penyokong atas
eksistensi
tradisi
lokal
tersebut,
memberikan contoh dan teladan untuk
berbagi (masakan) yang mereka miliki
agar para tetangga merasakan masakan
yang dimiliki kiai dan nyai. Sebaliknya,
mayoritas masyarakat sekitar tidak memaksakan kehendaknya untuk melakukan ter-ater untuk menjadi sama, baik
jenis, bentuk, dan kualitasnya, dengan
apa yang dimiliki kiai dan orang kaya.
Karena, pada prinsipnya, masyarakat
Bakiong melakukan tradisi ter-ater ini
dalam rangka menjalin silaturrahmi dan
memperkokoh ukhuwwah Islâmiyyah tanpa berpatokan pada barang yang mau
dibawa ketika ter-ater kepada kiai dan
orang yang lebih kaya.28
26
52 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
Wawancara dengan Ibu Marjami (Warga
Bakiong) pada tanggal 20 Juni 2013.
28 Wawancara dengan K.H. Abd Ra’uf, A.Ma.
(Pengasuh Pondok Pesantren Ainul Falah
Bakiong Guluk-Guluk Sumenep) pada tanggal 20
Juni 2013.
27
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
Tradisi
Ter-ater
dalam
Tinjauan
Ekonomi
Setiap manusia membutuhkan
pertolongan orang lain dalam kehidupannya, sehingga terwujud kebersamaan. Demikianlah Allah menciptakan
manusia dengan diberinya hakikat
sebagai makhluk individu dan makhuk
sosial. Kemandirian (idividualitas) dan
kebersamaan (sosialitas) sebagai hakikat
manusia merupakan nikmat Allah yang
telah memungkinkan manusia menjalani
dan menjalankan hidup serta kehidupan
bersama-sama, sehingga terbentuklah
masyarakat. Dalam kebersamaan itu,
manusia yang satu menjalin hubungan
dengan manusia yang lain. Hubungan
ini disebut dengan hubungan horizontal
antara sesama manusia (hablum min alnâs), yang terwujud dalam suasana
hormat-menghormati, harga-menghargai, dan tolong-menolong. Hubungan
yang positif dan efektif akan menimbulkan perasaan senang, damai, dan tenteram.29
Di samping itu pula, sepanjang
perjalanan hidupnya manusia tidak
pernah lepas dari kebutuhan barang dan
jasa. Pada posisi inilah manusia
memosisikan dirinya sebagai makhluk
ekonomi (homo economicus). Sebagai
makhluk ekonomi, manusia memiliki
kebutuhan hidup yang banyak, baik dari
segi jumlah maupun jenisnya. Demi
memenuhi berbagai macam kebutuhannya, manusia melakukan berbagai usaha
untuk mendapatkan kebutuhan hidupnya.
Jika ditilik dari sudut pandang
ekonomi, ter-ater memiliki implikasi
tersendiri dalam sektor perekonomian
khususnya masyarakat Bakiong yang
Hadari Nawawi, Hakikat Manusia Menurut Islam
(Surabaya: al-Ikhlas, 1993), hlm. 153.
29
berprofesi sebagai pedagang, yaitu;
pertama, dalam setiap perayaan keagamaan yang kemudian diikuti dengan
praktik ter-ater, kebutuhan ekonomi
masyarakat sangat meningkat. Ini dapat
dilihat dari aktivitas dan kegiatan masyarakat yang ada di pasar tradisional, toko,
dan penjual barang-barang sembako
ramai dikunjungi pembeli. Neraca transaksi perdagangan meningkat dan para
pedagang merasa diuntungkan dan
mendapatkan omset yang besar ketika
musim perayaan keagamaan tiba. Dapat
dibandingkan dengan hari-hari biasa,
ketika tidak ada momentum untuk
melakukan ter-ater, maka omset pemasukan penjual di pasar dan di toko-toko
sembako akan minim. Hal ini merupakan
indikator
nyata
betapa
dampak
ekonominya cukup besar. Hal ini bisa
dilihat dari tabel berikut.30
NO
NAMA
BARANG
(satuan 1 Kg)
HARGA
Hari Kondisi
Normal
Harga
Pada Saat
Ritual
Keagamaan
Islam
1.
Beras
Rp. 8000
Rp. 12. 000
2.
Daging ayam
Rp. 18. 000
Rp. 22. 000
3.
Daging sapi
Rp. 74. 000
Rp. 80. 000
4.
Telur ayam
Rp. 18. 000
Rp. 20. 000
5.
Buah apel
Rp. 20. 000
Rp. 25. 000
6.
Buah salak
Rp. 7000
Rp. 10. 000
7.
Buah jeruk
Rp. 10. 000
Rp. 15. 000
Wawancara dengan H. Holis (Pedagang beras),
H. Arif (Pedagang daging ayam dan daging sapi),
H. Rozaq (Pedagang telur ayam), Ibu Hj. Aminah
(Pedagang Buah) di pasar tradisional Desa
Bakiong pada tanggal 21 Juni 2013.
30
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
53
Moh. Wardi
Tabel 1: Nama barang dan harga kondisi
normal dan harga pada saat ritual keagamaan
Islam.
Hasil tabulasi menunjukan pada
saat ritual keagamaan Islam harga beras
naik 50%, harga daging ayam naik 22%,
harga daging sapi naik 8%, harga telur
ayam naik 11%, harga buah apel naik
25%, harga buah salak naik 43%, dan
harga buah jeruk naik 50%.
Kondisi di atas ini sesuai dengan
hukum ekonomi. Dalam hukum ekonomi
(pasar), di mana persediaan barang
sedikit dan permintaan akan barang itu
banyak, maka dengan sendirinya harga
barang itu akan naik. Naiknya harga ini
bisa dipahami agar barang tidak hilang
dari pasar. Karena itu, hukum ekonomi
ini bisa diterapkan dalam fenomena
naiknya harga menjelang perayaan
keagamaan yang diikuti dengan praktik
ter-ater. Bisa dikatakan bahwa menjelang
perayaan keagamaan, persediaan barang
yang dibutuhkan sangat sedikit atau
terbatas, sementara para pemakainya
banyak (atau pemakainya tetap tapi
barang yang akan dipakainya banyak).
Hal ini membuat harga barang menjadi
naik.
Sebagai contoh, telur ayam. Pada
hari biasa persediaan 500 butir telur,
sementara yang membutuhkannya hanya
10 orang, di mana setiap orang cuma
membutuhkan 1 atau 2 butir telur. Di sini
telur akan dijual murah, agar cepat habis.
Tetapi pada saat perayaan keagamaan
dan diikuti dengan tradisi ter-ater di
mana persediaan telur tetap 500 butir
telur, sementara yang membutuhkan
lebih dari 100 orang, dan setiap orang
butuh 1 atau 2 butir, maka para distributor
dengan
sendirinya
akan
menaikkan harga telur itu. Atau juga
yang membu-tuhkan tetap 10 orang,
tetapi setiap orang membutuhkan 20
54 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
sampai 50 butir telur, tentulah mereka
juga akan menaikan harga telur. Hukum
ekonomi inilah yang menjadi momentum
kesejahteraan tersen-diri bagi para
pedagang.
Kedua, bahwa ter-ater merupakan
bagian dari kegiatan ekonomi, dan motif
dalam ekonomi. Terdapat 5 (lima) macam motif ekonomi: (a) motif memenuhi
kebu-tuhan; (b) motif memperoleh keuntungan; (c) motif mendapatkan kekuasaan ekonomi; (d) motif sosial; dan (e)
motif memperoleh penghargaan.
Pada motif memenuhi kebutuhan,
hal ini bisa kita amati sebelum ter-ater
dilakukan, maka masyarakat Bakiong,
baik dari kalangan laki-laki maupun
perempuan, mereka giat dan aktif
bekerja untuk mencari nafkah/uang.
Dengan mencari nafkah, mereka dapat
membiayai dan mencukupi segala kebutuhannya termasuk barang belanja dan
oleh-oleh untuk dibawa ketika ter-ater.31
Pada motif memperoleh keuntungan,
dipahami
bahwa
neraca
transaksi
perdagangan
mengalami
peningkatan ketika musim perayaan
keagamaan tiba. Dapat dibandingkan
dengan hari-hari biasa, ketika tidak ada
momentum untuk melakukan ter-ater,
maka omset pemasu-kan penjual di pasar
dan di toko-toko sembako akan minim.
Hal ini merupakan indikator nyata
betapa dampak ekonominya cukup besar
dan pedagang memperoleh keuntungan
ketika momentum ter-ater tiba.32
Pada motif mendapatkan kekuasaan ekonomi, ketika momentum perayaan keagamaan, pedagang besar membuka cabang di pasar yang lain seperti
Wawancara dengan Mohammad Khairuddin
(warga Bakiong) pada tanggal 21 Juni 2013.
32 Wawancara dengan H. Arif (Pedagang daging
ayam dan sapi) di pasar tradisional Desa Bakiong
pada tanggal 21 Juni 2013.
31
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
pasar Pakong, pasar Guluk-Guluk, dan
pasar Ganding. Dengan perluasan
cabang inilah, maka pedagang akan
menguasai dunia pasar dan bisa dipastikan akan mengalami penghasilan yang
meningkat pula.33
Pada motif sosial, ter-ater merupakan budaya yang menunjukkan rasa
simpati, empati, sekaligus menarik
seseorang agar terhindar dari mental
individualistis. Masyarakat Bakiong menunjukkan rasa solidaritas dan kepedulian sosial yang cukup tinggi terhadap
sesama. Bagi mereka, ketika tetangga
atau sanak saudara mencium aroma
masakan dari dapur kita, berarti kita
telah memiliki “hutang” pada mereka
hingga kita dapat menghantarkan
sebagian makanan tersebut pada mereka
(ter-ater), agar saudara atau tetangganya
dapat hidup dan merasakan nikmatnya
makanan seperti yang telah dia makan.34
Pada motif memperoleh penghargaan,
dengan
ter-ater
masyarakat
Bakiong beranggapan bahwa ter-ater
adalah bagian dari bentuk rasa syukur
kita kepada Allah atas limpahan rezeki
yang didapatkan selama ini. Selain itu,
masyarakat mengharap tambahan rezeki
dari Allah yang berlimpah yang dapat
dirasakan di dunia, serta penghargaan
berupa pahala yang bisa dipetik di
akhirat kelak. Hal ini, memberikan
pelajaran bahwa ter-ater akan mendatangkan balasan yang berlipat ganda,
baik di dunia dan di akhirat. Secara
lahiriyah, ter-ater mengurangi sebagian
Ibid
Sebagaimana sabda Nabi Muhammad SAW
“Rayakanlah pesta perkawinan, umumkanlah
walaupun hanya dengan seekor kambing, dan
perbanyaklah kuah-nya agar semua sanak famili
dan tetanggamu juga dapat merasakan
kebahagiaan.” Lihat, Atha, Penghapus Dosa, hlm.
133.
33
34
rezeki kita ketika berbagi dengan yang
lain. Namun secara batiniah, masyarakat
Madura meyakini bahwa dengan ter-ater
menjadi-kan rezeki, harta, dan kekayaannya menjadi berkah dan dilipatgandakan oleh Allah SWT. Sebagaimana
Didin Hafidud-din menyatakan bahwa
tujuan dari semua sistem ekonomi yang
ada ialah untuk memberikan kesejahteraan bagi umat manusia di dunia ini.35
Tetapi tujuan ekonomi Islam lebih jauh
dari itu di mana kesejahteraan yang akan
dihasilkan adalah kesejahteraan manusia
di dunia dan juga kesejahteraan manusia
di akhirat.36 Sejatinya, kesejahteraan di
akhirat itu jauh lebih penting karena hal
ini merupakan kesejahteraan yang hakiki
dan abadi. Kesuksesan hidup duniaakhirat dalam bentuk kesejahteraan
seperti ini menurut istilah al-Qur’an
dinamakan al-falâh.37 Namun demikian
kesejahteraan hidup di dunia tetap perlu
diberi perhatian karena kesuksesan
duniawi adalah sebagai sarana penunjang terhadap kesejahteraan manusia di
akhirat.
Penutup
Tradisi ter-ater di Madura merupakan bagian dari proses internalisasi
nilai-nilai ajaran Islam (ukhuwwah Islâmiyyah) berafiliasi dengan sistem sosial
(kepedulian terhadap sesama) dan
ekonomi (naiknya neraca transaksi
perdagangan)
masyarakat
Madura.
Didin Hafiduddin, Zakat dalam Perekonomian
Modern (Jakarta: Gema Insani Press, 2002), hlm.
66. Lihat juga, Muhammad dan Lukman Fauroni,
Visi Al-Qur’an tentang Etika dan Bisnis (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2002), hlm. 173.
36 Ismail, Ekonomi Kelembagaan Syariah dalam
Pusaran Perekonomian Global: Sebuah Tuntutan dan
Realita (Surabaya: Putra Media Nusantara, 2009),
hlm. 69.
37 Mustaq Ahmad, Etika Bisnis dalam Islam
(Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001), hlm. 13.
35
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
55
Moh. Wardi
Keragaman motif yang dimiliki oleh
masyarakat tentang ter-ater sebagai-mana
diuraikan di atas merupakan implementasi nilai ajaran Islam, yang dengan
al-Qur’an sebagai landasan normatif
Islam memberikan dorongan untuk
senantiasa melakukan tolong-menolong
terhadap sesama, memiliki kepedulian
terhadap sesama, karena pada hakikatnya manusia adalah makhluk sosial
(homo socius) senantiasa membutuhkan
bantuan dan pertolongan orang lain.
Kehidupan dalam bermasyarakat senantiasa harmonis dan menjadi lebih aktual
bila dihubungkan dengan masalah
solidaritas sosial, yang dalam hal ini
menggunakan medium ter-ater. Bekerja
keras dan mencari nafkah yang halal
menjadi bagian dari karakter masyarakat
Madura yang Islami, serta menjalin tali
silaturrahmi memperkokoh ukhuwwah
Islâmiyyah.
Bagi
masyarakat
Madura,
khususnya masyarakat Bakiong, GulukGuluk, Sumenep, motivasi mereka dalam
ter-ater tidaklah suatu yang hampa, dari
sekadar berbagi dengan sesama, mengharap pahala, hingga dalam rangka
melestarikan budaya lokal Madura.
Bahkan Islam juga memerintahkan
memperbanyak sedekah. Ini artinya, terater tidak hanya dipahami sebagai
seremonial belaka tanpa tersirat makna,
namun
hal
tersebut
merupakan
rangkaian
ikhtiar
manusia
untuk
mencari makna dan ridla Allah SWT.[]
Daftar Pustaka
Afifi, Moh. “Tellasan Ramah di Madura
Sebagai Proses Sosial”. Jurnal ‘Anil
Islam INSTIK Annuqayah. Desember
2010, Vol. 3, No. 2.
Ahmad, Mustaq. Etika Bisnis dalam Islam.
Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2001.
56 | KARSA,
Vol. 21 No. 1, Juni 2013
Amich Alhumami. “Uang dan Moralitas
Pertukaran.” Kompas, 05 Juli 2008.
Arif, Syaiful. Refilosofi Kebudayaan;
Pergeseran
Pascastruktural.
Yogyakar-ta: Arruz Media, 2010.
Atha, Abdul Qadir. Penghapus Dosa dan
Pahala Amal Saleh. Jakarta: Lentera,
2001
Burke, Peter. Sejarah dan Teori Sosial. Terj.
Mestika Zed dan Zulfami. Jakarta:
Yayasan Obor Indonesia, 2003.
Forum Tentor. Buku Hafalan Luar Kepala
Ekonomi SMA IPS. Jakarta: Pustaka
Widyatama, 2010.
Hafiduddin,
Didin.
Zakat
dalam
Perekonomian Modern. Jakarta: Gema
Insani Press, 2002.
Ismail. Ekonomi Kelembagaan Syariah
dalam Pusaran Perekonomian Global:
Sebuah
Tuntutan
dan
Realita.
Surabaya: Putra Media Nusantara,
2009.
Kompas, Minggu, 14 September 2008.
Soegianto. Kepercayaan, Magi, dan Tradisi
dalam Masyarakat Madura. Jember:
PT Tapal Kuda bekerja sama
dengan Pusat Penelitian Budaya
Jawa dan Madura, Lembaga
Penelitian Universitas Jember, 2003.
Martin, Richard C. (ed.). Approaches to
Islam in Religious Studies. Arizona:
The University of Arizona Press,
1985.
Moller, Andre. Ramadhan di Jawa:
Pandangan dari Luar. Jakarta: Nalar,
2005.
Mubarok, Jaih. Sejarah Peradaban Islam.
Bandung: CV. Pustaka Islamika,
2008.
Rifai, Mien Ahmad. Manusia Madura:
Pembawaan, Perilaku, Etos Kerja,
Penampilan, dan Pandangan Hidupnya
seperti Dicitrakan Peribahasanya.
Yogyakarta: Pilar Media, 2007.
Tradisi Ter-Ater dan Dampak Ekonomi bagi Masyarakat Madura
Safioedin, Asis. Kamus Bahasa MaduraIndonesia. Surabaya: CV Kanindra
Suminar, 1976.
Soekonto, Soerjono. Sosiologi Suatu
Pengantar. Jakarta: PT Grafindo
Persada, 1993.
Suparlan, Parsudi. (ed). Pengetahuan
Budaya,
Ilmu-Ilmu
sosial
dan
Pengkajian Masalah-Masalah Agama.
Jakarta: Pusat Penelitian dan
Pengembangan
Lektur
Agama
Badan Litbang Agama, 1982.
Thoyyib I.M. dan Sugiyanto. Islam dan
Pranata
Sosial
Kemasyarakatan.
Bandung:
Remaja
Rosdakarya,
2002.
Wardi, Moh. “Pendidikan Perempuan
Dalam Perspektif Masyarakat Desa
Bakiong Kecamatan Guluk-Guluk
Kabupaten Sumenep”. Skripsi,
STAIN Pamekasan. 2007.
Wassil,
Jan Ahmad. Memahami Isi
Kandungan Al-Quran. Jakarta: UI
Press, 2001.
Yustion, et.al. Islam dan Kebudayaan
Indonesia: Dulu, Kini, dan Esok.
Jakarta: Yayasan Festival Istiqlal,
1993.
Wawancara dengan H. Arif (Pedagang
daging ayam dan daging sapi) di
pasar tradisional Desa Bakiong
pada tanggal 21 Juni 2013.
Wawancara dengan H. Holis (Pedagang
beras) di pasar tradisional Desa
Bakiong pada tanggal 21 Juni 2013.
Wawancara dengan H. Rozaq (Pedagang
telur ayam) di pasar tradisional
Desa Bakiong pada tanggal 21 Juni
2013.
Wawancara dengan Hj. Aminah (Pedagang Buah) di pasar tradisional
Desa Bakiong pada tanggal 21 Juni
2013.
Wawancara dengan Ibu Marjami (warga
Bakiong) pada tanggal 20 Juni 2013.
Wawancara dengan K. Ah. Zubaidi,
S.Pd.I (Pengasuh Pondok Pesantren
Ainul Falah Bakiong Guluk-Guluk
Sumenep) pada tanggal 18 Juni
2013.
Wawancara dengan K. Moh. Juma’ie
(Tokoh masyarakat) pada tanggal
18 Juni 2013.
Wawancara dengan K. Siraji (Tokoh
masyarakat) pada tanggal 19 Juni
2013.
Wawancara dengan K.H. Abd Ra’uf,
A.Ma. (Pengasuh Pondok Pesantren
Ainul Falah Bakiong Guluk-Guluk
Sumenep) pada tanggal 20 Juni
2013.
Wawancara dengan K.H. Syamsul Arif
(Ketua Yayasan Ainul Falah
Bakiong Guluk-Guluk Sumenep)
pada tanggal 19 Juni 2013.
Wawancara
dengan
Mohammad
Khairuddin (Warga Bakiong) pada
tanggal 21 Juni 2013.
Wawancara dengan Susanto Monas,
S.Pd.I (Tokoh masyarakat) pada
tanggal 20 Juni 2013.
KARSA, Vol. 21 No. 1, Juni 2013|
57