TRANSFORMASI BUDAYA ASWAJA DI PESANTREN
Aminatuz Zahroh
Institut Agama Islam Syarifuddin Lumajang, Indonesia
E-mail:
[email protected]
Abstrak: Pesantren merupakan salah satu potret institusi penting bagi banyak masyarakat
Indonesia. Pesantren merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga, yang sangat
strategis dalam membentuk budaya yang menghidupi dan membiasakan nilai-nilai positif
tertentu, sehingga santri dapat bertumbuh dan berkembang secara alami dengan
menginternalisasi nilai-nilai positif tersebut. Di antara nilai-nilai positif tersebut adalah nilainilai ahlus sunnah wal jamā‟ah (Aswaja). Transformasi budaya pesantren berbasis Aswaja perlu
dilakukan di tengah maraknya isu-isu nasional tentang salafisme, fundamentalisme,
radikalisme dan terorisme. Salafisme nampak cenderung kearah fundamentalisme agama dan
radikalisme agama, yang berujung pada wacana terorisme dalam Islam. Sayangnya, proses
transformasi budaya Aswaja di pesantren banyak mengandalkan pembiasaan dan kurang
memperhatikan internalisasi dan institusionalisasi. Sebagai konsekwensinya, pengetahuan dan
kompetensi mayoritas santri tentang Aswaja An-Nahdhiyyah, hanya sekedar amaliyah nya saja
seperti istighātsah, tahlīl dan membaca al-Qur‟an surat Yāsīn. Kesimpulan artikel ini
menunjukkan bahwa nilai-nilai budaya Aswaja yang diterapkan di pesantren meliputi: nilai
tawasut, tawazun, tasamuh dan adl. Pesantren lebih banyak melakukan pembiasaan dari pada
internalisasi dan institusionalisasi budaya tersebut.
Kata kunci: Transformasi Budaya, Aswaja, Pesantren
Pendahuluan
Peran pesantren pada masyarakat Indonesia dapat dilihat dari Tridarma pesantren yaitu
pendalaman pengetahuan agama Islam (tafaqquh fi ad-dīn), penyebar luasannya (dakwah) dan
pemberdayaan masyarakat.1 Di samping itu, pesantren menjadi sebuah media sosialisasi formal,
dimana keyakinan-keyakinan, norma-norma dan nilai-nilai Islam ditransmisikan dan ditanamkan
melalui pembelajaran.2
Pesantren adalah lembaga pendidikan strategis untuk menerapkan empat pilar pendidikan,
yang dikemukakan oleh United Nations Educational Scientific and Cultural Organization
(UNESCO) yaitu: learning to know (belajar untuk mengetahui), learning to do (belajar untuk
melakukan), learning to live together (belajar untuk hidup bersama) dan learning to be (belajar untuk
menjadi).3
Dalam menghadapi perkembangan zaman, pesantren perlu melakukan tiga hal yaitu:
menyesuaikan dengan perkembangan zaman, merespon harapan masyarakat dan tetap menjaga
1
Direktorat Jenderal Kelembagaan Agama Islam, Pedoman Tatalksana Pengembangan Agri Bisnis di Pondok Pesantren
(Jakarta: Depertemen Agama RI, 2003), vii.
2 Endang Turmudzi, Perselingkuhan Kiai dan Kekusaan (Yogyakarta: LKiS, 2004), 37
3 Ashif Az Zafi, “Transformasi Budaya Melalui Lembaga Pendidikan (Pembudayaan dalam Pembentukan Karakter)”,
Jurnal LP3M - Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa Yogyakarta, Vol. 3, No. 2 (Agustus 2017).
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam
Volume 14, Nomor 1, Februari 2021; p-ISSN: 2085-6539, e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
kekhasan sebagai lembaga pendidikan Islam.4 Karena itulah transformasi budaya pesantren perlu
direncanakan dengan baik, agar pesantren dapat dijalankan dengan efektif dan efisien dan dapat
merespon laju perkembangan budaya di luar pesantren. Transformasi pesantren dapat didasarkan
pada prinsip „‟continuity and change‟‟.
ِِ
ِ َّ ّالْمحافَظَةُ على الْ َق ِد ِْْي ال
َصلَح
ْ صال ِح َو ْاْل
ْ َخ ُذ ِِب ْْلَديْد اْل
َُ
َ َ
Artinya: Memelihara hal lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik.
Hal ini menunjukkan bahwa pesantren terus melakukan perubahan, inovasi dan
transformasi, dengan tetap mempertahankan bangunan (konstruksi) lama yang baik dan
bermanfaat.5
Nilai Budaya dan Pola Pikir Aswaja di Pesantren
Kaum nahdliyyin menjunjung tinggi nilai-nilai ahlussunnah wal jamā‟ah sebagai berikut:
1.
Al-tawāzun (seimbang) dalam segala hal, termasuk dalam penggunaan dalil „aqli dan dalil
naqli, antara yang bersifat ruh (rūhiyah) dan materi (maddiyah), antara keduniaan dan agama,
antara urusan pribadi (fardiyyah) dan urusan bersama (jama‟iyyah).6
2.
Al-Tawassuth (sikap tengah-tengah, sedang-sedang, tidak ekstrim kanan dan kiri)
Tawassuth dalam akidah adalah sikap tengah-tengah dalam memahami sifat-sifat Allah
antara meniadakan sifat-sifat Allah dan menyamakan sifat Allah dengan sifat makhluq,
sedang-sedang dalam memahami perbuatan Allah antara Qadariyah dan Jabariyah. Ia juga
sedang-sedang dalam memahami janji Allah antara Murjiah dan Qadariyah dan dalam urusan
iman dan agama antara Murjiah dan Jahmiyah. Ia juga sedang-sedang dalam memahami
sahabat Rasul antara Rawafid dan Khawarij.7
Sedang-sedang dalam aqidah juga dapat dipahami antara pemikiran yang terlalu
kendor (ifrāth) dan berlebihan (tafrīth). Sedangkan di dalam urusan kenabian tidak mengangkat
nabi sampai pada tingkat Tuhan.8 Pada pokoknya, tawassuth ini mencakup bidang akidah,
ibadah, syari‟ah, akhlaq dan syi‟ar Islam.9
4
Abd Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonansi Guru sampai UU Sisdiknas (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2013), 42.
5 Soebahar, Kebijakan, 182.
6 Yusuf al Qardawy, al Khashaish al „Ammah li al Islam (Kairo: Muassasah ar Risalah, 1977), 140-147
7 Abdullah bin Muhsin at Turky, Majmal I‟tiqad Aimmah As Salaf (Beirut: Asy Syarikah al Muttahidah li at Tawzi‟,
1992), 8
8 Yusuf al Qardhawy, Al-Iman Wa Al- Hayah (Bairut: Muassasah Ar-risalah, 1998), 40-44.
9 Yusuf al Qardawy, al Khashaish al „Ammah lil al Islam (Kairo: Muassahar Risalah, 1997), 135- 145
70 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
3.
Al-I‟tidãl (adil, tegak lurus dan membela kebenaran)
Adil adalah tidak memihak yang disertai cinta atau kebencian, tidak terpengaruh pada
hubungan kerabat, kemaslahatan diri, keluarga dan kelompok tertentu atau keinginan
sesaat.10Adil dapat diartikan juga sebagai persamaan dalam memberikan balasan.jika
perbuatan baik, maka dibalas dengan baik. Jika perbuatan jelek, maka dibalas dengan jelek.11
Menurut Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, adil adalah dapat menjaga dari perkara
yang haram, jauh dari keragu-raguan dan dapat dipercaya dalam keadaan ridha dan marah.12
Kita diperintahkan berbuat adil sekalipun pada musuh kita, karena adil itu akan membuat kita
lebih dekat pada taqwa sebagaimana dalam Al-Qur‟an surat al Maidah ayat 8.13
4.
Tasāmuh (toleransi).
Toleransi adalah menghargai perbedaan dan menghormati prinsip hidup orang lain.
Namun bukan berarti mengakui atau membenarkan keyakinan orang lain yang salah dan
meneguhkan apa yang diyakini.14 Tasāmuh juga mencakup anti kekerasan, cinta perdamaian,
memberikan kebebasan pada orang lain untuk berfikir kritis, bersikap dan bertindak.
Menurut Michael Walzer, hakekat toleransi mencakup 5 hal berikut:
5.
a.
Menerima perbedaan untuk hidup damai
b.
Menjadikan keseragaman menuju perbedaan
c.
Menerima orang lain punya hak untuk dihargai (moral stoisme)
d.
Transparansi pada yang lain, ingin tahu dan menghargai
e.
Memberikan dukungan terhadap perbedaan atau mempertegas aspek otonomi.15
Amar ma‟rūf nahi munkar (selalu memiliki kepekaan untuk mendorong perbuatan yang baik
dan menolak segala perbuatan yang merendahkan nilai-nilai kehidupan).16
ِ ال (قُلْنا َي رسوَل هللاِ أَََل ََنْمر ِِبلْمعرو
ِ ٍ َعن أَن
ف َح ََّّت نَ ْع َم َل بِِو ُكلَّوُ ََل نَْن َهى َع ِن الْ ُمْن َك ِر
َْ
ُْْ َ ُُ
ْ ُ َ َ َ َ َس َرض َي هللاُ َعْنوُ ق
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
ِ
)ُال ملسو هيلع هللا ىلص بَ ْل ُمُرْوا ِِبلْ َم ْعُرْوف َوا ْن ََلْ تَ ْع َملُ ْوا بِو ُكلَّوُ َوانْ َه ْوا َع ِن الْ ُمْن َك ِر َوا ْن ََلْ ََْتتَنبُ ْوا ُكلَّو
َ َح ََّّت ََْنتَنبَوُ ُكلَّوُ ؟فَ َق
Artinya: Dari Anas RA, kami berkata “ya Rasulallah, bukankah kami tidak menyuruh perkara
ma‟rūf hingga kami melakukan semuanya dan tidak melarang perkara munkar hingga kami menjauhi
semuanya”, maka nabi menjawab “tapi perintahlah perkara ma‟rūf meskipun kamu tidak melakukan
semuanya dan cegahlah perkara munkar meskipun kamu tidak menjauhi semuanya.”
Sayyid Qutub, Fi Dzilal al Qur‟an,jilid 2 (Beirut: Dar asy Syuruq, 1972), 852
Zahir bin „Iwad al Alma‟I, Dirasat fi at Tafsir al Maudlu‟I li al Qur‟an al Karim (Riyadh: al Farardaq at Tijariyah, 1983),
325
12 Muhammad Abdul Qadir Abu Faris, al Qadha‟ fi al Islam (Oman: al-Aqsha, 1978), 37.
13 Hasan Ahmad Abidin, Huquq al Insan wa wajibatihi fi al Qur‟an (Makkah: ats Tsaqafah: 1984), 239.
14 Muhyiddin Abdusshomad, Hujjah NU Akidah Amaliyah Tradisi (Surabaya: Khalista, 2008), 7-9.
15 Mohammad Yamin, Vivi Aulia, Meretas Pendidikan Toleransi (Malang: Madani, 2011), 6-7
16 Forum kajian ke-NU-an, Khittah dan Khidmah (Pati: Raudlah at-tahiriyah, 2014), 44-45
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 71
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
10
11
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Adapun nilai-nilai tasawuf yang diajarkan di pesantren adalah ikhlas, zuhud, menahan
hawa nafsu, istiqāmah dalam beribadah dan tazkiyatun nafsi.17
Realitas Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Dalam melihat realitas transformasi budaya Aswaja di pesantren perlu digunakan dua
tataran institusional dan tataran ideal. Pada tataran institusional akar-akar transformasi di
pesantren sudah ada, sekalipun itu sangat sederhana dan perlu dikembangkan. Sedangkan dari
tataran ideal (visi), kita agak mengalami kesulitan, sebab sebuah visi pesantren menuntut adanya
kemampuan pesantren menyerap khazanah dari luar sehingga muncul sinergi antara khazanah
pesantren dengan khazanah luar pesantren.
Budaya pesantren merupakan suatu kekuatan yang tidak tampak, yang dapat
menggerakkan orang-orang dalam pesantren untuk melakukan aktifitas kerja. Budaya pesantren
yang kuat sebagaimana budaya organisasi, pada umumnya dapat mendukung tercapainya tujuantujuan pesantren, sebaliknya budaya pesantren yang lemah akan dapat menghambat tercapainya
tujuan-tujuan pesantren.18 Budaya pesantren dapat membuat orang-orang didalamnya dengan
mudah dapat memahami prosedur kerja dan hubungan yang didefinisikan dengan jelas.19
Transformasi budaya pesantren perlu direncanakan dengan baik, karena pesantren
merupakan lembaga pendidikan kedua setelah keluarga yang sangat strategis dalam membentuk
budaya yang menghidupi dan membiasakan nilai-nilai positif tertentu, sehingga santri dapat
berkembang secara alami dengan menginternalisasi nilai-nilai positif tersebut.20 Di antara nilainilai positif tersebut adalah nilai Aswaja
Transformasi budaya Aswaja sangat tepat dilakukan di pesantren karena pesantren
merupakan satu-satunya lembaga pendidikan dan dakwah Islam yang strategis untuk mendalami
agama Islam secara terarah.
Pembelajaran di pondok pesantren yang bersumber dari kitab salaf merupakan proses
pelestarian dan pengamalan ajaran Islamberbasis nilai Aswaja.21Aswaja bukan hanya ideologi yang
menjadi orientasi dan ruh dari gerak perkembangan pesantren, juga bukan hanya menjadi
landasan berfikir personil di dalamnya, tetapi juga menjadi identitas pesantren yang
dapatmembedakannya dengan pesantren lain.22
17
Tim Penulis Batartama, Trilogi Ahlus Sunnah, Akidah, Syariah dan Tasawuf (Pasuruan: Pustaka Sidogiri, 2015), 276278.
18 Edy Sutriono, Budaya Organsasi (Jakarta: Kencana, 2010),3
19 Gary Yukl, Kepemimpinan dalam Organisasi ( ed. 5), terj Budi Supriyanto (New Jersey: Prentice – Hall Inc, 2005), 417
20 Fidelis E. Waruwn, Membangun Budaya Berbasis Nilai (Yogyakarta: Kanisius, 2010), 55.
21 Asep Syaifuddin Halim, Membumikan Aswaja Pegangan Para Guru NU (Surabaya: Khalista, 2015), 1-2.
22 Departemen Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan Islam, PostTradisionalisme Islam (Jakarta: DEPAK, 2007), 46
72 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Diantara nilai aswaja tersebut adalah nilai tawāzun (keseimbangan) dan nilai „adalāh
(keadilan). Pesantren menjunjung tinggi kedua nilai tersebut, sampai pada penerapan kesetaraan
gender. Penerapan nilai ini dapat dibauktikan dengan adanya pemberian hak terhadap perempuan
secara imbang dan adil (sesuai dengan peran yang dapat diambilnya) bukan menyamakan hak
perempuan dan laki-laki.
Dalam kondisi obyektifnya, banyak konstruksi budaya aswaja di pesantren hanya berupa
simbol-simbol, keteladanan, gerak tubuh dan kegiatan-kegiatan keaswajaan, belum sampai pada
produk-produk materi, folkway, software of mind atau ideologi dan cerita-cerita yang dihidupkan.
Sedangkan proses transformasinya banyak mengandalkan pembiasaan dan kurang memperhatikan
proses transformasi melalui internalisasi dan institusionalisasi.Sebagai konsekwensinya,
pengetahuan dan kompetensi mayoritas santri tentang budaya pesantren berbasis aswaja lebih
banyak bersifat amaliyah seperti istighātsah,tahlīl, membaca al Qur‟an surat yāsīn dan lain sebagainya.
Sejatinya, budaya aswaja di pesantren perlu juga dilakukan melalui produk-produk materi,
folkway, software of mind, cerita-cerita yang dihidupkan, pola interaksi aswajais, bahasa, penanaman
nilai demokratis, mencetak kader ulama aswaja dengan diselenggarakannya lembaga khusus untuk
mendalami Aswaja.
Respon Internal dan Eksternal Pesantren Terhadap Transformasi Budaya Aswaja
Adapun respon internal pesantren terhadap transformasi budaya berbasis aswaja dapat
dijelaskan sebagai berikut:
1.
Semakin banyaknya santri yang berminat mengikuti kegiatan Aswaja
2.
Diselenggarakannya asrama santri yang khusus mengkaji kitab kuning yang sarat dengan
nilai-nilai aswaja.
3.
Tersedianya buku-buku dan kitab-kitab terkait dengan aswaja di perpustakaan pesantren, baik
yang manual maupun digital.
4.
Semakin banyaknya santri yang melanjutkan study pada perguruan tinggi, untuk
memperdalam pemahamannya tentang Islam khususnya Aswaja.
Adapun respon eksternal pesantren terhadap transformasi budaya pesantren dapat dilihat
sebagai berikut:
1.
Semakin meningkatnya kepercayaan masyarakat yang salah satunya dapat dilihat dari semakin
meningkatnya jumlah santri.
2.
Diterimanya alumni pesantren di masyarakat sebagai anggota masyarakat, tokoh masyarakat
dan pengasuh pesantren yang berbasis aswaja.
3.
Kemudahan perizinan penyelenggaraan kegiatan pelatihan-pelatihan aswaja oleh pemerintah.
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 73
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Proses Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
1.
Pembiasaan Nilai Ahlus Sunnah wal Jamā‟ah
Proses transformasi budaya Aswaja di pesantren pada umumnya diawali dengan
pembiasaan nilai Aswaja. Adapun proses tersebut Abdullah Nasih Ulwan adalah sebagai
berikut:23
a. Talqin (menuntun).
Talqin ini dimaksudkan agar anak dapat mempraktekkan budaya Aswaja dengan baik
dan benar.
b. Ta‟wid (pembiasaan)
Pembiasaan
ini
dimaksudkan
agar
anak
terbiasa
mengamalkan
dan
mempraktekkan budaya Aswaja. Pembiasaan nilai Aswaja dapat dimulai dengan rancangan
kurikulum pesantren yang mengarah pada penguatan nilai-nilai Aswaja. Adapun proporsi
kegiatan yang ideal berdasarkan rancangan kurikulum tersebut yaitu bersifat aqliyyah 50%,
yang bersifat qalbiyyah 40% dan bersifat jasadiyyah 10%. Proporsi ini dianggap imbang
(Tawãzun) dengan menempatkan kegiatan aqliyyah pada proporsi terbesar. 24 Nilai tawāzun
yang ditanamkan kepada santri juga dalam rangka melaksanakan nilai „itidal (keadilan). Hal
ini sesuai dengan QS. Al-Hadiid: 25
Artinya: Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang
nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat
dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah
mengetahui siapa yang menolong (agama) Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya.
Sesungguhnya Allah Maha kuat lagi Maha Perkasa.
Hal ini disebabkan karena menurut Parson, tindakan seseorang sangat dipengaruhi
oleh informasi yang diterima. Informasi ini bisa berbentuk pengetahuan yang dibaca,
didengarkan dan dipelajari. Informasi ini kemudian membentuk keyakinan terhadap
informasi yang diterima. Di sinilah terbentuk paradigma hidup seseorang. Selanjutnya dari
paradigma ini akan muncul sikap setuju atau tidak setuju terhadap apa yang sudah
dipelajari dan yang sedang dipelajari. Dari apa yang disetujui akan muncul niat untuk
23
Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al Awlad fi al Islam, juz 2 (Beirut: Dar as Salam, 1979), 678
Zamroni, Pengantar Pengembangan Teori Sosial (Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992)
74 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
24
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
melakukannya. Sedangkan dari apa yang tidak disetujui akan muncul niat untuk
meninggalkannya. Dari niat inilah muncul tindakan nyata.
Gambar 1.1 Teori tindakan Parson
INFORMASI
KEYAKINAN
SIKAP
NIAT
TINDAKAN
Feedback
Yang tidak kalah pentingnya dari muatan kurikulum tersebut adalah hidden
curriculum. Hidden curriculum adalah semua yang diajarkan dan dipelajari secara tidak resmi
melalui proses pembelajaran. Ketika siswa berada dalam situasi yang berbeda mereka
secara efektif diajarkan nilai yang berbeda tergantung pada dimana dia berada. Hidden
Curriculum dapat dibentuk melalui budaya, bahasa dan labelling.25
Pembiasaan nilai Aswaja dapat berjalan dengan efektif jika komunikasi didasarkan
pada pendekatan antara kyai dengan santri, kiai dengan pengurus, pengurus dan santri
serta santri dan santri. Cara membangun kedekatan;
1) Berbagi hal-hal yang sifatnya informasi
2) Berbagi opini atau pendapat
3) Berbagi perasaan26
Pembiasaan nilai Aswaja lebih mudah dilakukan di pesantren karena beberapa
faktor berikut:
1) Dalam niat melakukan suatu kebaikan, selalu ditanamkan keikhlasan karena Allah.
2) Dalam melakukan suatu kebaikan, ditanamkan motivasi untuk menegakkan kalimat
Allah (li i‟lai kalimatillah) dan berjuang di jalan Allah (jihad fi sabilillah)
3) Dalam kehidupan bermasyarakat, baik dalam scope yang kecil (seperti pesantren)
maupun scope yang besar (masyarakat yang sebenarnya) selalu ditanamkan semangat
Ukhuwwah ISLAMIAH, silatur rahim dan amar ma‟rūf nahi munkar.
4) Semangat amar ma‟rūf nahi munkar ini dilandaskan pada hadis nabi: Dari Anas, kami
berkata “Ya Rasulallah, bukankah kami tidak menyuruh perkara ma‟rūf hingga kami
melakukan semuanya dan tidak melarang hingga kami menjauhinya semuanya?”.
Kemudian Rasulullah menjawab: “Tapi perintahlah perkara ma‟rūf meskipun kamu
tidak melakukan semuanya dan cegahlah perkara munkar meskipun kamu tidak
menjauhi semuanya.”
25 Barlette, Steve, dan Diana Burton, Introduction to Education Studies, Edisi, 2 (Los Angles: SAGE Publication, 2007),
149-154.
26 David Pranata, Communication Made Easy (Jakarta: Media Komputindo, 2016), 56-58
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 75
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Mudahnya pembiasaan nilai Aswaja di pesantren tersebut, karena beberapa
kondisi khas yang dimiliki pesantren,yaitu sebagai berikut:
1)
Kebersamaan kyai dan santri
2)
Kesederhanaan
3)
Kesetaraan untuk semua santri
4)
Kemudahan dalam riyadhah dan mujahadah
5)
Keterpaduan antara sekolah formal dan madrasah Diniyah
6)
Keterdapuan antara teori dan praktek, ta‟lim dan tarbiyah.
7)
Keterpaduan sistem madrasah dari tingkat paling rendah sampai tingkat tertinggi
yang di selenggarakan oleh pesantren tersebut.
Pembiasaan nilai Ahlus Sunnah wal Jamā‟ahbisa dilakukan dengan hal-hal berikut:
1) Nilai Tawassut (Moderat atau Tengah-tengah).
Pembiasaan nilai ini dapat dilakukan dengan penentuan seragam madrasah yang
sederhana, anjuran untuk puasa sunnah di hari-hari sunnah berpuasa dengan membuka
kantin pada malam hari untuk melayani santri yang berpuasa,lokalisasi warung tetangga
sekitar dengan menyediakan menu makanan yang sederhana, kerja sama dengan
Dinkes dan ikatan Bidan untuk survey makanan.
Hal ini juga dapat dilakukan denagan pennetuan harga maksimal penjualan
pakaian, pemberlakukan ketentuan bahwa santri tidak boleh membawa pakaian
melebihi 5 setel pakaian selain pakaian seragam, pemantauan buku bacaan santri,
penerapan kerangka berfikir moderat, anjuran pada orang tua untuk tidak mengirim
uang berlebihan dan ditentukan batas maksimalnya serta pelaksanaan hasil rapat yang
menjunjung tinggi tawassuth.
2) Nilai Tawãzun (Seimbang)
Pembiasaan nilai ini dapat dilakukan dengan kesamaan penyusunan kurikulum,
kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan dan kitab-kitab yang diajarkan antara pondok
putera dan puteri.Kurikulum disusun secara berimbang antara putera dan
puteri.Kegiatanpun berimbang secara proporsional antara kegiatan yang bersifat
aqliyyah, qalbiyyah dan jasadiyyah, antara pelajaran agama dan umum.Pelajaran agama
lebih banyak proporsinya daripada pelajaran umum.Hal ini untuk menunjukkan cirri
khas kepesantrenan.
3) Nilai Tasamuh(Toleransi)
Pembiasaan nilai tasamuh dapat dilakukan dengan menyikapi santri yang memiliki
aliran lain dengan tidak mengkafirkannya, menghargai perbedaan pendapat, sikap dan
76 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
tingkah laku orang lain. Pelaksanaan bahtsul masa‟il oleh masing-masing madrasah
untuk memberikan kebebasan berpendapat kepada santri menjadi hal yang penting.
Demikian pula dengan pemberlakuan tata tertib yang mendukung toleransi antar santri
yang heterogen.
Dalam prakteknya penerapan nilai tasamuh di pesantren ini erat kaitannya dengan
penerapan
nilai
ats
tsabat
wa
al
murunah
(teguh
tapi
fleksibel)
dengan
mempertimbangkan nilai waqi‟iyyah (realistis). Nilai tasamuh di pesantren juga
diterapkan dengan memberikan kesempatan bagi orang lain untuk berbuat kebaikan
dan dispensasi dalam pemenuhan terhadap iuaran pendidikan pesanten bagi dua atau
tiga bersaudara.
4) Nilai I‟tidãl (Tegak Lurus dan Tidak Memihak)
Pembiasaan nilai i‟tidãl nampak dalampenempatan santri pada asrama dengan
tidak memandang tingkat sosial budayanya, pemberian kesempatan pada santri
mempelajari kepemimpinan dan manajemen praktis.pemberian dispensasi pada santri
yang berhak menerimanya.Suksesi kepemimpinan yang diterapkan di pesantren ini
memberikan kesempatan pada siapapun untuk menduduki jabatan tertentu selama
memungkinkan, dibutuhkan pesantren dan memenuhi syarat.
Hal ini dapat juga nampak pada sistem pengangkatan ustadz dan karyawan dan
pemberlakuan tata tertib yang sama diantara santri dengan tetap mempertimbangkan
pengecualian (mustatsnayat) dan dispensasi (rukhshah).
5) Nilai amar ma‟rūf nahi munkar (Menyuruh Kebaikan Melarang Kemunkaran)
Nilai ini juga penting dibiasakan pada santri meskipun nilai tersebuthukumnya
fardu kifayah bukan fardu ain. Karena amar ma‟rūf nahi munkar sangat diperlukan di
masyarakat. Hal tersebut berdasarkan al Qur‟an surat ali Imran ayat 104:
Artinya: dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar merekalah orang-orang yang
beruntung.
Yang dimaksud ma‟rūf dalam ayat tersebut adalah segala perbuatan yang
mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar adalah segala perbuatan yang
menjauhkan kita dari pada-Nya.
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 77
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Dalam ayat tersebut menggunakan lafadz min ba‟dhiyyah yang berarti sebagian.
Ayat tersebut menjelaskan tentang keutamaan amar ma‟rūf nahi munkar yaitu membuat
orang beruntung di dunia dan akhirat serta menjadi umat yang terbaik.27
Santri dibiasakan melakukan amar ma‟rūf nahi munkar dari scope terkecil seperti pada
teman akrab, kemudian teman sekamar atau sekelas, satu sekolah, satu pondok sampai
pada scope terbesar seperti masyarakat pada umumnya. Diadakannya kepengurusan
pesantren dari level paling bawah sampai paling tinggi serta pengiriman guru tugas dan
da‟i pada masyarakat juga merupakan penerapan nilai amar ma‟ruf nahi munkar.
Nilai amar ma‟ruf nahi munkar ini juga nampak dalam sikap pengasuh pesantren
yang selalu open house terhadap tamu yang datang berkunjung, baik tamu formal
maupun tidak formal. Di depan kantor pesantren diumumkan etika berpakaian untuk
para tamu, yaitu berpakaian Islami dan sopan dan adanya pemisahan kelas antara
putera dan puteri. Adanya peraturan wajib tinggal di pesantren bagi siswa dari luar
pesantren yangrumahnya lebih dari 1 km dari pesantren.
Anjuran agar santri mampu berorganisasi dengan baik sebagai salah satu bentuk
amar ma‟ruf nahi munkar. Latihan berpidato tiap malam selasa diadakan perkamar untuk
melatih santri melakukan nilai amar ma‟ruf nahi munkar dengan berani tampil melakukan
dakwah bi al lisan. Latihan solawat perkamar dilakukan untuk melatih santri dalam
pengembangan bakat dan minat serta melatih santri siap berperan dalam majelis ta‟lim
di masyarakat kelak. Program desa binaan oleh mahasantri yang sedang menempuh
KKN juga merupakan praktek amar ma‟ruf nahi munkar di masyarakat.
2.
Internalisasi Budaya Ahlus sunnah waal Jamā‟ah
Internalisasi adalah penggabungan atau penyatuan sikap, standar tingkah laku,
pendapat dan seterusnya di dalam kepribadian. Reber sebagaiman dikutip Mulyana dan
Gunawan mendefinisikan internalisasi sebagai menyatunya nilai dalam diri seseorang
ataudalam istilah psikologi merupakan penyesuaian keyakinan, nilai, sikap dan praktek serta
aturan-aturan baku pada diri seseorang.28
Keyakinan merupakan bagian dari perilaku yang digunakan untuk menjelaskan dan
mengarahkan corak-corak perilaku. Semua keyakinan merupakan keluaran dari perilaku,
keyakinan menggambarkan makna yang terkandung dalam pengalaman yang kita miliki akibat
perilaku kita yang sebelumnya.29
Muhammad Jamaluddin al Qasimi ad Ddimasyqi, Mau‟idzah al Mu‟minin (Beirut: Dar al fikr, tt), 177-178
Gunawan, Ali Hasan Siswanto, Islam Nusantara dan Kepesantrenan (Yogyakarta: Interpena, 2016), 177-178
29 William F. O‟Nell, Educational Ideologies Contemporary Expressions of Education Philosophies (California: Good Year
Publishing Compani, 1981), 52
78 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
27
28
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Dalam meramalkan perilaku pendidikan adalah penting mengetahui filosofi (termasuk
nilai-nilai dasar) seseorang. Namun mengetahui prioritas khusus atau peringkat nilai-nilai
yang ada dalam filosofi orang itu jauh lebih penting lagi. Pada umumnya 4 pertanyaan berikut
penting sekali:
a.
Apa sajakah nilai-nilai mendasar? (Apa komitmen nilainya secara menyeluruh?)
b.
Seberapa dalamkah ia terikat nilai-nilai? Seberapa kuat komitmennya?
c.
Secara umum, apa peringkat prioritas nilai-nilai tersebut dan bagaiman kaitaanya satu
sama lain? Apa yang paling diperhatikannya dan apa struktur nilai /value gestalt yang
dihasilkan dari situ?
d.
Bagaimanakah individu yang bersangkutan memahami nilai-nilai itu dalam kaitannya
dengan situasi yang dihadapinya? Apa relevansi situasional dengan komitmen personal
itu?30
Dari penjelasan tersebut jelaslah bahwa secara tersirat langkah-langkah internalisasi
nilai Aswaja di pesantren sama halnya dengan langkah-langkah merubah sikap dan prilaku
melalui kegiatan eksperiental (pemberian pengalaman) sebagai berikut:
a.
Menciptakan keterbukaan
b.
Memajukan pemahaman.31
Kedua langkah tersebut seharusnya dilanjutkan dengan empat langkah internalisasi
nilai sebagai berikut:
a.
Sosialisasi yaitu sharing tentang apa yang kita tahu dengan cara informal
b.
Eksternalisasi yaitu refleksi dari hasil yang sudah kita pelajari dan sharing dengan cara
forma, sehingga pengetahuan kita menjadi eksplisit.
c.
Kombinasi yaitu memadukan pengetahuan eksplisit dengan pendekatan tertentu.
Memadukan pengetahuan dengan praktek.
d.
Internalisasi yaitu pengetahuan itu dipraktekkan hingga tertanam mendarah daging dan
memiliki dampak dalam kehidupan pembelajar.32
Adapun secara garis besar dalam internalisasi nilai Aswaja, perlu melakukan tiga hal
penting sebagai berikut:33
a.
Menyambungkan dan mengikat hatinya dengan aqidah Islam Aswaja
b.
Menyelamatkan dirinya dari selain aqidah Islam Aswaja
c.
Merubah lingkungan dengan melakukan pemahaman terhadap Aswaja.
William F.O‟Nell, Educational Ideologies, 72
Carlette Jackson Hordin, Effective Classroom Management (New Jersey: Upper Saddle River, 2004), 21
32 Sue Crowley, Challenging, 81
33 Abdullah Nasih Ulwan, Tarbiyah al Awlad fi al Islam, Juz 2 (Beirut: Dar as Salam), 672
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 79
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
30
31
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Internalisasi nilai budaya Aswaja mutlak diperlukan di pesantren karena dalam
kenyataan dan dialektika sejarah pesantren terjadi beberapa hal berikut:
a.
Pesantren merupakan tempat pertemuan antara budaya, peradaban dan tradisi yang
berbeda-beda di kalangan santri.
b.
Dalam pesantren terjadi percampuran, saling mempengaruhi dan benturan budaya
santri.
Adapun cara memahami dan memahamkan perbedaan sebagai sebuah keniscayaan:
a.
Perbedaan hidup sebagai sebuah pemberian dan rahmat dari Allah
b.
Perbedaan harus bisa menciptakan kerukunan hidup yang lebih membawa sebuah
perdamaian
c.
Perbedaan harus mampu menanamkan nilai-nilai siap berbeda tapi siap menerima
perbedaan untuk menjalani kehidupan sosial yang harmonis.
d.
Perbedaan pandangan harus bisa semakin melenturkan pola pikir masyarakat dari keras
menjadi lembut.34
Untuk menyikapi tersebut, pesantren melakukan internalisasi nilai toleransi bukan
hanya sesama santri dan sesama muslim, tapi juga toleransi antar ummat beragama. Hal ini
lebih mudah dilakukan karena santri lebih menguasai tentang ajaran Islam dan lebih bisa
menerapkannya dalam kehidupan bermasyarakat. Nilai toleransi dapat diinternalisasikan
dengan saling menghargai dalam beberapa hal berikut:
a.
Keyakinan dan peribadatan
b.
Hidup berdampingan dengan agama lain
c.
Hubungan bermasyarakat
d.
Dialog antar ummat beragama. Hal ini didasarkan pada al Qur‟an:
َلاكراه ىف الدين قد تبني الرشد من الغي فمن يكفر ِبلطاغوت ويؤمن ِبهلل فقد استمسك ِبلعروة الوثقى
َلنفصام هلا وهللا مسيع عليم
Artinya: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar daripada jalan yang sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan beriman
kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak
akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 256)
Membincangkan tentang toleransi tidak terlepas dari pembicaraan tentang level
keterlibatan. Level keterlibatan terbagi menjadi: minimal, partial dan maksimal.35 Di
34
Mohammmad Yamin dan Vivi Aulia, Mereta Pendidikan Toleransis (Malang: Madani, 2011), 45-46
Edgah H. Schein, Organizational Culture dan Leadership (San Francisco: Jossey-Bass),181
80 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
35
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
pesantren, sikap toleransi lebih mudah ditanamkan pada santri , karena terdapat keterlibatan
yang maksimal dari semua personil pesantren dalam kehidupan yang heterogen.
Pembiasaan nilai Aswaja belum cukup kuat tapi perlu dilengkapi dengan
internalisasinya. Berikut ini hal-hal yang dilakukan pesantren yang berkaitan dengan
internalisasi budaya Aswaja:
a. Bahtsul Masa‟il mingguan
b. Mendirikan Lembaga Penelitian dan Studi Islam
c. Bahtsul Masa‟il untuk para alumni yang dihadiri juga oleh santri-santri terpilih
d. Kurikulum madrasah dan sekolah memuat materi Aswaja
e. Pengarahan, sambutan dan taushiyah pengasuh pada santri yang sarat dengan nilai-nilai
aswaja pada acara-acara resmi pondok.
f. Melalui Orientasi Kepesantrenan Berbasis Aswaja untuk santri baru,sehingga santri
memahami budaya pesantren berbasis aswaja
g. Melalui
Orientasi
Calon
Alumni,
sehingga
alumni
pesantren
terkait
dapat
mempertahankan dan mengembangkan paham aswajanya di masyarakat
h. Pengajian kitab tentang adab keaswajaan dan cinta rasul.
3.
Institusionalisasi budaya Ahlus Sunnah wal Jamā‟ah
Dalam melakukan institusionalisasi nilai Aswaja di pesantren terlebih dahulu perlu
melakukan perubahan dan pemantapan mindset dikalangan warga pesantren. Mindset adalah
hasil pengalaman, keyakinan, nilai-nilai yang telah diinternalisasi dan diyakini oleh seseorang
yang mempengaruhi cara-caranya bersikap dan berprilaku.36 Setelah mindset Aswaja sudah
mantap, maka perlu melakukan kegiatan-kegiatan rutin Aswaja. Adapun langkah-langkah
mengajarkan rutinitas adalah sebagai berikut:
a. Tentukan dengan jelas harapan dan tujuan kita
b. Rencanakan bagaimana kita akan mengajarkan harapan kita
c. Jelaskan harapan kita dan alasannya.
d. Berikan contoh harapan santri.
e. Bimbinglah santri melalui praktek menggunakan narasi penguatan
f. Berikan feedback terhadap performance santri dalam praktek
g. Review harapan kita sebanyak waktu yang dibutuhkan dalam melakukan praktek37
Ketika anak didik tidak mau berpastisipasi dalam institusionalisasi dengan melakukan
rutinitas atau pembiasaan nilai Aswaja maka ulangilah prakteknya, bukan perintahnya,
36
37
Fidelis E Waruwu, Membangun Budaya Berbasis Nilai, Panduan Pelatihan bagi Trainer (Yogyakarta: Kanisius), 125-126
Angela Powell, Classroom Management That Makes Teaching More Effective, Efficient and Enjoyble (USA: 2009), 99-102
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 81
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
kembali dan coba lagi.38 Jika hal tersebut tidak berhasil, maka hendaknya memberlakukan tata
tertib yang memenuhi beberapa komponen sebagai berikut:
a. Relational rules yaitu komponen tata tertib yang mengatur anak didik dalam melakukan
relasi dengan orang lain.
b. Structuring rules yaitu komponen tata tertib yang mengatur anak didik dalam mengikuti
kegiatan.
c. Protecting rules yaitu komponen tata tertib yang mengatur anak didik dalam memberikan
ketenangan pada teman-temannya
d. Personal rules yaitu komponen tata tertib yang mengatur anak didik dalam merefleksikan
diri
e. Etiquette rules yaitu komponen tata tertib yang mengatur anak didik dalam bersikap dalam
situasi sosial.39
Untuk mempermudah melakukan proses transformasi budaya di pesantren, maka
dapat mempertimbangkan teori tindakan menurut Talcott Parson, bahwa beberapa faktor
yang mempengaruhi terbentuknya suatu tindakan adalah norma, nilai dan ide yang dapat
ditransformasikan melalui pembiasaan dan internalisasi, seerta situasi dan kondisi yang dapat
ditransformasikan melalui institusionalisasi.
Proses transformasi budaya Aswaja melalui institusionalisasi nilai Aswaja di pesantren
secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut:
a.
Penyusunan kurikulum Aswaja meliputi mata pelajaran, desain pembelajaran dan
pengalaman hidup berAswaja, baik dalam pendidikan formal, penddikan diniyah formal
dan pendidikan non formal (ma‟hadiyah)
b.
Komunikasi verbal, non verbal, formal dan non formal
c.
Kegiatan sehari-hari individu santri seperti makan dan berpakaian.
d.
Kegiatan bersama seperti shalat Jamā‟ah , dzikir bersama, musyawarah kitab, rapat
pengurus, sekolah dan mengaji kitab.
e.
Penegakan tata tertib untuk santri, pengurus dan ustadz.
f.
Pengembangan nilai Aswaja, sikap dan tingkah laku Aswajais
g.
Pengenalan simbul-simbul Aswaja melalui slogan, gambar, identitas kultural yang
meliputi penampilan, pola interaksi dan istilah-istilah khusus yang digunakan
38
h.
Keteladanan dari kyai, ustadz, dan pengurus
i.
Cerita-cerita kepesantrenan yang turun-temurun dari generasi ke generasi
j.
Kegiatan rutin keAswajaan baik harian, mingguan, bulanan atau tahunan
Angela Powell, Classroom, 104-105
Carlette Jackson Hardin, Effective Classroom Management , ed.3 (England: Pearson, 2014), 195.
82 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
39
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
Sebagai langkah institusionalisasi nilai Aswaja, pesantren dapat mendirikan Aswaja
Center atau melaksanakan gerakan Aswaja yang anggotanya adalah santri-santri dewasa yang
ingin mendalami Aswaja dan akan melakukan Aswajanisasi di masyarakat. Tutornya adalah
para alumni yang ahli dalam bidang Aswaja.
Berkaitan dengan institusionalisasi budaya Aswaja,pesantren dapat melakukan
pembekalan pada Orientasi Santri Baru yang menyampaikan dasar-dasar Aswaja dan
pembekalan untuk calon Alumni untuk memantapkan internalisasi Aswaja sebagai bekal
ketika menghadapi masyarakat yang memiliki keyakinan yang berbeda-beda. Disamping itu
rekrutmen ustadz dan karyawan tidak hanya dengan tes wawancara seputar tujuan melamar
kerja dan penguasaan tentang materi yang akan diampu, tapi juga tes tentang wawasan
keAswajaan dan praktek keAswajaan seperti tahlil, istighatsah dan lain-lain
Sedangkan pesantren yang memiliki perguruan tinggi dapat memanfaatkan perguruan
tinggi tersebut sebagai wadah bagi para mahasantri yang sudah dewasa untuk lebih
mendalami Aswaja. Manfaat lain yang didapatkan dari hal ini adalah moral tetap terjaga,
tafaqquh fi addin di kalangan mahasiswa tetap berlanjut, memperahankan tradisi pesantren dan
kerangka berfikir Aswaja lebih mudah diterima dan diterapkan, karena dapat didukung oleh
wawasan akademik.
Institusionalisasi ini dapat mempermudah proses transformasi budaya Aswaja karena
para pembelajar dewasa memiliki karakteristik sebagai berikut:
a.
Memiliki motivasi belajar yang tinggi
b.
Ingin mengetahui isi perkuliahan yang menguntungkan mereka.
c.
Bagi orang dewasa, waktu menjadi pertimbangan yang penting
d.
Para dewasa menghargai dan menghormati instruktur
e.
Para dewasa membawa pengalaman di luar kelas tentang personal dan kehidupan kerja
ke dalam kelas
f.
Para dewasa yang matang dapat membimbing dirinya dan mandiri.
g.
Para dewasa ingin berpartisipasi dalam pengambilan keputusan
h.
Para dewasa mungkin kurang fleksibel dari pada yang lebih muda karena terbebani oleh
rutinitas
i.
Beberapa dewasa lebih suka kerjasama dalam kelompok dan bersosialisasi.40
Internalisasi dan institusionalisasi nilai Aswaja akan berjalan efektifdengan melakukan
rasionalisasi nilai Aswaja. Rasionalisasi nilai Aswajaadalah bentuk pemikiran rasional dan
40
Gary R. Morrison, Designing Effective Instruction (Hoboken: River Street, 2011), 63
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 83
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
ilmiah tentang transformasi nilai Aswaja.Hal ini dilakukan dengan rasionalisasi terhadap
manajemen pesantren dan rasionalisasi terhadap situasi sosial umat Islam secara umum.
Oleh karena transformasi budaya Aswaja itu diharapkan bukan hanya berdampak
baik pada santri, tapi juga berdampak baik pada masyarakat, maka proses pembelajarannya
lebih baik menggunakan pembelajaran kontekstual.
Adapun 3 tipe konteks pembelajaran adalah sebagai berikut:
a.
Konteks yang berorientasi (the orienting context). Dalam hal ini transformasi budaya
Aswaja diselaraskan dengan orientasi pesantren.
b.
Konteks pembelajaran (the instructional context). Dalam hal ini transformasi budaya
pesantren diselaraskan dengan pembelajaran pada pesantren pada umumnya.
c.
Konteks pemindahan (the transfer context) yang mempertimbangkan kesempatan untuk
mentransfer pengetahuan dan keahlian dalam Aswaja pada situasi baru.41
Transformasi budaya Aswaja di pesantrendapat didasarkan pada tiga prinsip utama
pembelajaran kontekstual menurut Elaine B. Jhonson yaitu:
a.
Saling ketergantungan (interdependence).Menurut hasil kajian para ilmuwan segala yang ada
di dunia ini adalah saling berhubungan dan tergantung. Oleh karena itu transformasi
budaya Aswaja jangan dilepaskan dari masalah-masalah yang muncul di pesantren lain
dan masyarakat secara luas.
b.
Diferensiasi (differtation) menunjukkan kreativitas yang luar biasa dari alam semesta yang
memilik sifat perbedaan, keseragaman dan keunikan. Karena itu perbedaan,
keseragaman dan keunikan masing-masing individu santriserta perbedaan dan keunikan
masing-masing pesantren diharapkan dapat dijadikan pertimbangan dalam melaksanakan
transformasi budaya di suatu pesantren.
c.
Pengorganisasian diri (self organization) yaitu setiap individu atau kesatuan alam semesta
mempunyai potensi yang melekat, yaitu kesadaran sebagai kesatuan utuh yang berbeda
dari yang lain. Karena itu transformasi budaya di sebuah pesantren di sesuaikan dengan
potensi, kekuatan dan kesempatan yang dimilikinya. Sebuah pesantren tidak bisa meniru
sepenuhnya terhadap transformasi budaya Aswaja di pesantren lain, tanpa
mempertimbangkan potensi dirinya.
Langkah-langkah diatas lebih menunjukkan bahwa proses transformasi budaya
Aswaja di pesantren, secara garis besar dimulai dengan pembiasaan dan pencairan,
pengubahan dan pemantapan, senada dengan teori proses perubahan Kurt Lewin yaitu
41
Gary R. Morrison, Designing, 65
84 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
unfreezing, changing dan refreezing42 dan teori perubahan menurut Abdullah Ulwan pembiasaan
(ta‟wid), penuntunan dan latihan (talqin) dan pendidikan dan pengajaran (ta‟dib).43 Proses ini
sedikit berbeda dengan tahapan dakwah menurut Hasan al Banna yaitu pengenalan (ta‟rīf),
pembentukan (takwīn) dan pelaksanaan (tanfidz).44
Agar transformasi budaya dapat dilakukan dengan sempurna maka perlu melakukan
institusionalisasi Aswaja sebagai berikut:
a. Membentuk lembaga khusus kajian Aswaja
b. Mengadakan kaderisasi Ahlussunnah Wal Jamā‟ah
c. Pembiasaan nilai-nilai aswaja melalui kegiatan sehari-hari
d. Memasukkan kompetensi keAswajaan dalam rekrutmen guru dan tenaga kependidikan
e. Pembuatan rancangan kurikulum yang bermuatan aswaja.
f. Pembelajaran kitab di pesantren dan madrasah serta pembelajaran buku-buku aswaja dari
LP Ma‟arif di sekolah.
Kesimpulan
Menyimak realitas transformasi budaya Aswaja di pesantren maka dapat dipahami bahwan
nilai-nilai budaya Aswaja yang diterapkan di pesantren meliputi: niali tawasut, tawazun, tasamuh
dan adl. Pesantren lebih banyak melakukan pembiasaan dari pada internalisasi dan
institusionalisasi budaya tersebut. Respon internal dan eksternal pesantren sebenarnya sudah baik
terhadap transformasi budaya Aswaja yang dilakukan di pesantren sehingga jumlah santri di
pesantren dengan segala tipologinya semakin bertambah dari tahun ketahun. Untuk lebih
meningkatkan respon tersebut maka pesantren perlu memaksimalkan internalisasi dan
institusionalisasi budaya Aswaja.
Referensi
Abdusshomad, Muhyiddin. Hujjah NU Akidah Amaliyah Tradisi. Surabaya: Khalista, 2008.
Abidin, Hasan Ahmad. Huquq al Insan wa wajibatihi fi al Qur‟ah. Makkah: ats Tsaqafah, 1984.
Abu Faris, Muhammad Abdul Qadir. al Qadha‟ fi al Islam. Oman: al Aqsha, 1978.
Ad Ddimasyqi, Muhammad Jamaluddin al Qasimi Tt. Mau‟idzah al Mu‟minin. Beirut: Dar al fikr
Al Alma‟I, Zahir bin „Iwad. Dirasat fi at Tafsir al Maudlu‟I li al Qur‟an al Karim. Riyadh: al Farardaq
at Tijariyah, 1983.
Al Qardawy, Yusuf. al Khashaish al „Ammah li al Islam. Kairo: Muassasah ar Risalah, 1977.
Al Qardhawi, Yusuf. Al-Iman Wa Al- Hayah. Bairut: Muassasah Ar-risalah, 1998.
42
Stephen P.Robbins, Essentials Organizational Behavio (London: Prentice-Hall International, 1983),183.
Abdullah Ulwan, Tarbiyah al Awlad fi al Islam, juz 2 (Beirut: Dar as Salam li at taba‟ah wa an nasyr wa at Tauzi‟, tt),
65
44 An Nadwah al Alamiyyah li as Syabab al Islamy, Mausu‟ah al Muyassarah fi al Adyani (Riyadh: WsAMY, 1972), 27
Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021| 85
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86
43
Aminatuz Zahroh
Transformasi Budaya Aswaja di Pesantren
An Nadwah al Alamiyyah li as Syabab al Islamy. Mausu‟ah al Muyassarah fi al AdyaniRiyadh:
WAMY, 1972,
At Turk, Abdullah bin Muhsin. Majmal I‟tiqad Aimmah As Salaf. Beirut: Asy Syarikah al
Muttahidah li at Tawzi‟, 1992..
Barlette, Steve, dan Diana Burton. Introduction to Education Studies, Edisi 2.Los Angles: SAGE
Publication, 2007.
Depertemen Republik Indonesia Direkterot Jenderal Pendidikan Islam, Direktorat Pendidikan
Islam, Post-Tradisionalisme Islam. Jakarta: DEPAK. 2007
Forum kajian ke-NU-an. Khittah dan Khidmah. Pati: Raudlah at-Tahiriyah, 2014.
Gary R. Morrison. Designing Effective Instruction. Hoboken: River Street, 2011.
Gunawan, Ali Hasan Siswanto. Islam Nusantara dan Kepesantrenan. Yogyakarta: Interpena, 2016.
Halim, Asep Syaifuddin. Membumikan Aswaja Pegangan Para Guru NU. Surabaya: Khalista, 2015.
Hordin, Carlette Jackson. Effective Classroom Management. New Jersey: Upper Saddle River, 2004.
O‟Nell, William F. Educational Ideologies Contemporary Expressions of Education Philosophies. California:
Good Year Publishing Compani, 1981.
Powell, Angela. Classroom Management That Makes Teaching More Effective, Efficient and Enjoyble. USA,
2009.
Pranata, David. Communication Made Easy. Jakarta: Media Komputindo, 2016.
Qutub, Sayyid. Fi Dzilal al Qur‟an, jilid 2. Beirut: Dar asy Syuruq, 1972.
Robbins, Stephen P. Essentials Organizational Behavio. London: Prentice-Hall International, 1983.
Schein, Edgah H. Organizational Culture dan Leadership. San Francisco: Jossey-Bass, 2010.
Sutriono, Edy. Budaya Organsasi. Jakarta: Kencana, 2010.
Tim Aswaja Center. KhazanahAswaja. Surabaya:Aswaja NU Center, 2016.
Tim Penulis Batartama. Trilogi Ahlus sunnah, Akidah, Syariah dan Tasawuf. Pasuruan: Pustaka
Sidogiri, 2015.
Ulwan, Abdullah Nasih. Tarbiyah al Awlad fi al Islam, juz 2. Beirut:Dar as Salam, 1979.
Waruwu, Fidelis E. Membangun Budaya Berbasis Nilai. Yogyakarta: Kanisius, 2010.
Yamin, Mohammad.Vivi Aulia. Meretas Pendidikan Toleransi. Malang: Madani, 2011.
Yukl, Gary. Kepemimpinan dalam Organisasi ( ed. 5), terj Budi Supriyanto. New Jersey: Prentice – Hall
Inc, 2005.
Zamroni. Pengantar Pengembangan Teori Sosial. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya, 1992.
86 | Tarbiyatuna: Jurnal Pendidikan Islam; Volume 14, Nomor 1, Februari 2021
p-ISSN: 2085-6539; e-ISSN: 2242-4579; 69-86