Model Kolegial
Ciri-Ciri Utama Model Kolegial
Model kolegial termasuk dalam teori yang menekankan bahwa kuasa dan keputusan harus dibuat bersama baik oleh sebagian atau seluruh anggota organisasi. Pendekatan ini menyusun ‘pembatasan’ kekolegialitasan dimana pemimpin memberikan kuasa dengan jumlah yang terbatas kepada kolega senior untuk menjadi sebuah kolegialitas yang murni dimana seluruh anggota mempunyai suara yang sederajat dalam menentukan kebijakan.
Model kolegial berpendapat bahwa organisasi menentukan peraturan dan keputusan melalui proses diskusi terpimpin untuk mencapai mufakat. Memberikan kuasa kepada sebagian atau semua anggota organisasi siapa yang harus memberikan pengertian tentang tujuan dari institusi tersebut.
Definisi yang diusulkan terdapat dalam kotak berikut ciri-ciri utama pandangan tersebut:
Gagasan tentang kolegialitas diabadikan menjadi cerita-cerita dari manajemen yang paling tepat untuk menjalankan sekolah dan universitas antara tahun 1980 dan 1990. Ini sangat berhubungan dekat dengan keefektifan dan kemajuan sekolah (Campbell dan Southworth, 1993) dan kemudian dikenal sebagai ‘model resmi dari penerapan yang bagus’ (Wallace, 1989: 182). Kemudian, di Inggris dan Wales, disana terjadi tekanan terhadap kuasa pemimpin yang diharapkan untuk menyampaikan target pemerintah menjadi sebagian dari agenda pusat. Akhir-akhir ini, bagaimanapun, terjadi ketertarikan ulang terhadap ‘pembagian kepemimpinan’ (Harris, 2003; Lumby, 2003), yang mana memberikan beberapa ciri-ciri dari kolegialitas.
Brundrett (1998: 305) mengatakan ‘kolegialitas secara luas dapat diartikan sebagai sarana guru dalam berunding dan bekerjasama dengan guru lain’. Little (1990: 166) mendiskusikan manfaat dari pendekatan ini:
Alasan untuk belajar mengajar dan praktek secara kolegial, kiranya sesuatu akan didapat jika guru-guru bekerja bersama dan ada sesuatu yang hilang jika mereka tidak melakukannya; pengaruhnya, manfaat yang didapat dirasa jauh lebih bagus ketika guru-guru saling berlomba mengahbiskan waktu kearah lain, atau dengan kata lain lebih kepada memaksa atau menuntut lebih cepat.
Model kolegial mempunyai ciri-ciri utama sebagai berikut:
Model ini sangat menekankan berdasarkan norma dalam penerapannya.
Model kolegial terlihat menjadi pilihan utama dan tepat bagi organisasi seperti di sekolah dan perguruan tinggi yang mempunyai banyak pegawai yang professional.
Ukuran dari pengambilan keputusan kelompok adalah unsur yang penting dalam manajemen kolegial.
Model kolegial berpendapat bahwa pengambilan keputusan dapat dicapai dengan persetujuan umum daripada divisi atau konflik.
Model Kolegial dalam Pendidikan Tinggi
Pendekatan kolegial bagi pendidikan orang Inggris dimulai dalam Perguruan tinggi Oxford dan Universitas Cambridge (Becher dan Kogan, 1992: 72): ‘sistem kolegial menunjuk sebuah struktur atau struktur-struktur yang mana anggota mempunyai hak yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mana ada ikatan diantara mereka. Ini biasanya menyatakan seseorang punya keleluasaan untuk menunjukkan pemikiran mereka sesuai apa yang diinginkan, subyeknya hanya diawasi sedikit kolegial.
Model kolegial telah diadopsi oleh banyak universitas. Wibawa keahlian tersebar luas sampai institusi itu menjadi ilmu pengetahuan dan penelitian. Glatter (1984: 23) menjelaskan universitas adalah instiyusi yang paling bawah dan manajemen alami dapat menyimpulkan penyebaran ilmu pengetahuan dan kecakapan yang luas. ‘beberapa organisasi percaya dalam tingkat profesionalisme yang tinggi skil dapat bekerja jauh lebih efisien jika ada langkah besar dalam tata cara kolegialitas’ (Williams and Blackstone, 1983: 94)
Model kolegial lebih jelas dalam sistem komite yang luas. Persoalan-persoalan umumnya terselesaikan dengan kesepakatan atau yang disetujui bersama melalui voting atau perbedaan pendapat: ‘para anggota perguruan tinggi mengambil keputusan sendiri secara kolegial, untuk mengesahkan melalui mufakat atau paling tidak melalui persetujuan diantara mereka yang akan ditetapkan’ (Williams dan Blackstone, 1983: 94)
Pendekatan kolegial dimulai dalam pendidikan yang tinggi namun disebagian universitas demokrasi bersepakat dengan hak suara terbatas. Beberapa institusi memberikan voting penuh pada semua pegawai dan beberapa dari siswa, mungkin juga dari pegawai non akademik. Ditempat lain keaggotaan dewan dan kunci komite adalah melindungi pegawai atasan. Ini membatasi hak suara untuk melayani tingkat yang terbatas yang mana menjadikan universitas menjadi terhormat sebagai perguruan tinggi dan beberapa menjadi terhormat elitis dari pada menjadi demokrasi.
Ada pembagian menjadi dua di universitas dan perguruan tinggi diantara aturan akademik, yang pada umumnya menjadi tanggung jawab senat kolegial atau wakil dan kepala fakultas. Sistem komite layak untuk model kolegial jika kuasa langsung disetujui kepada manajer atasan menganjurkan satu dari model resmi.
Pertumbuhan cepat pendidikan tinggi pada sekitar tahun 1990 membuat semakin sulit menerapkan sudut pandang kolegial di universitas untuk mengelola keputusan penting sebelumnya. Middlehurt dan Elton (1992: 261) berpendapat kolegialitas terancam karena tekanan dan persaingan:
Universitas tidak hanya diselamatkan pada sekitar tahun 1980, tapi dalam beberapa cara menjadi makmur dengan menjadi lebih terkelola. Tidak ada keraguan dalam waktu yang singkat ini dapat berjalan, tetapi kita harus benar-benar cemas tentang waktu yang lebih lama terutama pada efeknya. Telah banyak kehilangan kolegialitas ketika bertemu di sistem pendidikan tinggi, dengan hasil kehilangan dari pengertian kepemilikan dan pertanggungjawaban profesional bersama dari operasi institusi.
Ancaman kolegialitas ditulis oleh Middlehurt dan Elton (1992) telah memperkuat sekitar tahun 1990 dan bagian awal abad 21. Warren (1994: 52) menuliskan bahwa ‘dalam universitas baru (kolegialvitas) sudah terbantah oleh kemunculan manajer akademik dan pergerakan keatas bawah kontrol hirarkis’. Dengan cara yang sama Deem’s (2000: 48) penelitian skala besar dengan manajer akademik menyarankan ‘sistem pendidikan tinggi di UK sekarang manajerial tinggi dan birokrasi’.
Keinginan mempertahankan partisipasi pegawai dalam pengambilan keputusan semakin berselisihan dengan tuntuan dari luar yang harus dipertangggung jawabkan, terutama dalam mematuhi anggaran, kotrol kualitas dan penilaian penelitian. Ketegangan antara pengikutsertaan dan pertanggungjawaban juga terlihat jelas di sekolah-sekolah.
Model Kolegial di Sekolah Menengah
Pengenalan dari model kolegial di sekolah menengah lebih lambat, kurang lengkap dan lebih sedikit dibanding dengan di sekolah tinggi. Kebiasaan oleh kuasa kepala sekolah dengan wibawa diselurah pegawai dan dapat dipertanggungjawabkan di luar institusi, menemui jalan buntu dalam pengembangan model kolegial dalam manajemen. Posisi resmi dalam prinsip itu sendiri yang bertanggungjawab dalam organisasi dan manajemen sekolah. Pertimbangan ini bertindak sebagai rem untuk orang yang berharap bagian kuasa yang sesuai dasar kebenaran tapi enggan melakukannya juga.
Contoh awal pengoperasian model kolegial bisa dilihat pada sekolah Countesthorpe di Leicestershire (Inggris) pada tahun 1970. Peraturan utama yang dibuatdapat ‘diperdebatkan’ dan terbukan untuk semua pegawai dan murid. Mereka berkumpul setiap enam minggu sekali dan semua pembuat keputusan mempertanggungjawabkannya. Perkumpulan komite utama diadakan setiap tiga bulan dan terdiri dari sebagian pegwai dan perwakilan murid.Semua pertemuan terbukan dan dipublikasikan. Usulan dapat berasal dari kelompok ataupun perseorangan. John Watts menggaris bawahi ciri-ciri prinsip kolegial yang ada dalam Countesthorpe:
Aturan utama keputusan telah terbentuk kurikulum dan disiplin dalam sekolah telah dibuat oleh persetujuan pegawai. Semakin murid ikut serta dalam persetujuan ini dan dalam contoh lain orangtua dan pemerintah juga ikut serta. Aku menerima kepemimpinan di tahun 1972 karena aku menemukan ketertiban dan cara penentuan yang menarik. (Watts, 1976: 130-1)
Brown, Boyle dan Boyle (1999) membawa penelitian tentang model kolegial manajemen dari 21 sekolah menengah dari barat laut Inggris.Tahap pertama mewawancarai wakil manajer disetiap sekolah. Setelah itu peneliti mewawancarai kepala para guru di 12 sekolah tersebut. Analisis mereka berdasarkan jawaban yang dipasangkan dari kepala dan wakil manajer di sekolah tersebut.
Penelitian dijalankan dalam keadaan berlawanan dengan tekanan di sekolah untuk menjadi kolegial dan manajerial. Penulis menyebutkan ‘kolegialitas, atau paling tidak manajemen kolaboratif telah menjadi satu tren yang terbesar dalam pendidikan internasional’ (Ibid: 319)
Brown, Boyle dan Boyle (1999) hanya menemukan 4 dari 12 sekolah yang diteliti yang dapat dikategorikan yang menerapkan kolegialitas secara penuh. Sekolah itu diberi nama ‘tipe A’ mempunyai ciri sebagai berikut:
Tanggungjawab resmi membuka peluang untuk berkolaborasi dengan kepala bagian lain dan kolega dari subyek area yang berbeda;
Yang berhubungan dekat dengan prioritas rencana pengembangan sekolah dengan tema dan usul yang telah diidentifikasi dan disetujui bersama;
Kepala bagian selalu aktif membawa dan berkonsultasi dalam seluruh aturan sekolah dan pengambilan keputusan;
Kepala sekolah melihat kepala bagian punya peranan yang luas dalam manajemen sekiolah.
Sekolah tipe A mengatasi besarnya masalah dengan mengadopsi struktur yang fleksibel. Satu sekolah mengganti tim atasan manajemen menjadi tim menejemen sekolah yang mecakup semua area dari staf pengajar. Bekerja dalam grup kurikulum dengan beban bagian dan keikutsertaan sukarela membuat menjadi cara favorit untuk memperluas keikutsertaan.
Konsep kolegialitas itu sama dengan pada ‘jiaoyanzu’ di sekolah Cina. Paine dan Ma (1993) kembali kepada ‘pendapat bahwa guru akan bekerja sama dalam hakekatnya disetiap sudut pandang dari pekerjaannya’.
Tidak seperti yang ada di Inggris, guru memepunyai banyak waktu yang tidak berhubungan untuk memfasilitasi kerja kelompok. Penelitian pada sekolah menengah di Shaanxi profinsi di Cina (Bush, Coleman dan Si, 1998) menunjukkan hubungan jiaoyanzu bekerja kolegial untuk mendiskusikan materi pengajaran, memberi demonstrasi pelajaran dan meninjau serta memberi ulasan pelajaran lain. Bagaimanapun diskusi itu dalam pengwasan supervisi dan yang mengetuai yang diangkat oleh kepala sekolah.Ini mengusulkan besarnya hirarkis untuk menjalankan jiaoyanzu.
Model Kolegial di Sekolah Dasar
Kolegialitas cukup stabil selama tahun 1980an dan 1990an sebagai cara yang tepat untuk mengelola sekolah dasar. Little menjelaskan penerapan kolegialitas sebagai berikut:
Guru menerangkan saat pembelajaran.
Ada pembicaraan mengenai perencanaan dan persiapan
Adanya pengamat di kelas yang sama
Adanya pelatihan dan pengembangan
Model ini menurut Little (1990) bergantung pada nilai-nilai profesional bersama untuk mengarah ke pengembangan kepercayaan dan kesediaan untuk memberikan dan menerima kritik dalam rangka meningkatkan praktiknya. Kesulitan lain yang dilaporkan oleh peserta meliputi:
memakan waktu pertemuan yang lama di mana tahap diskusi dilakukan terus menerus;
kurangnya kesepakatan menyebabkan tidak ada tindakan;
kecepatan dalam perubahan eksternal berarti bahwa guru punya waktu cukup untuk refleksi kritis pada praktek yang ada.
Model Kolegial: Tujuan, Struktur, Lingkungan dan Kepemimpinan
Tujuan
Model kolegial mengasumsikan bahwa anggota organisasi setuju pada tujuannya. Terdapat keyakinan bahwa staf memiliki pandangan yang sama tentang tujuan dari lembaga. Tujuan memiliki tiga fungsi utama yaitu:
Menyediakan panduan umum untuk aktivitas, memungkinkan guru untuk menghubungkan kerja mereka untuk tujuan sekolah.
Tujuan berfungsi sebagai sumber legitimasi, memungkinkan kegiatan untuk dia dibenarkan jika mereka berkontribusi pencapaian tujuan.
Mereka adalah sarana mengukur keberhasilan; sekolah efektif jika mencapai tujuannya.
Struktur organisasi
Model kolegial dengan pendekatan formal berpandangan bahwa struktur organisasi merupakan fakta objektif yang memiliki makna yang jelas untuk semua anggota lembaga. Perbedaan utama menyangkut hubungan antara unsur-unsur pembeda dalam struktur. Model formal struktur hadir secara vertikal atau hirarki dengan keputusan yang dibuat oleh para pemimpin.
Lingkungan Eksternal
Ada beberapa kesulitan dalam menilai sifat hubungan antara organisasi dan lingkungan eksternal. Ciri model kolegial yaitu
pengambilan keputusan sebagai proses partisipatif, dengan semua anggota lembaga memiliki kesempatan yang sama untuk mempengaruhi kebijakan dan tindakan. Namun dimana keputusan muncul dari sistem komite sering kompleks, tidak mudah untuk menetapkan siapa yang bertanggung jawab untuk kebijakan organisasi.
Kepemimpinan
Dalam model kolegial gaya kepemimpinan mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sifat dari proses pengambilan keputusan. Karena kebijakan ditentukan dalam kerangka partisipatif, pemimpin diharapkan untuk mengadopsi strategi yang mengakui bahwa masalah mungkin muncul dari berbagai bagian organisasi dan diselesaikan dalam proses interaktif yang kompleks.
Teori kolegial menganggap kualitas berikut kepada para pemimpin di sekolah-sekolah yaitu:
Mereka responsif terhadap kebutuhan dan keinginan kolegial profesional mereka. Kepala dan kepala sekolah mengakui keahlian dan keterampilan para guru dan berusaha untuk memanfaatkan aset tersebut untuk kepentingan siswa dan mahasiswa.
Kepala kolegial berusaha untuk menciptakan peluang formal dan informal untuk pengujian dan elaborasi inisiatif kebijakan. Hal ini dilakukan untuk mendorong inovasi dan untuk memaksimalkan penerimaan keputusan sekolah. Model kolegial menekankan otoritas keahlian daripada otoritas resmi.
Model Kepemimpinan
Tiga model kepemimpinan yang sangat relevan untuk kolegialitas yaitu:
Kepemimpinan Transformasional
Bentuk kepemimpinan ini mengasumsikan bahwa fokus utama dari kepemimpinan seharusnya menjadi komitmen dan kapasitas anggota organisasi. Leithwood (1994) menyatakan konsep kepemimpinan transformasional terdiri dari delapan dimensi yaitu:
visi sekolah bangunan;
tujuan sekolah Penetapan;
memberikan stimulasi intelektual;
menawarkan dukungan individual;
modeling praktik terbaik dan nilai-nilai organisasi penting;
menunjukkan ekspektasi kinerja yang tinggi;
menciptakan budaya sekolah yang produktif;
struktur berkembang untuk mendorong partisipasi dalam keputusan sekolah.
Kepemimpinan Partisipatif
Kepemimpinan partisipatif mengasumsikan proses pengambilan keputusan kelompok seharusnya menjadi fokus utama dari kelompok. (Leithwood, Jantzi and Steinbach, 1999, p.12)
Seperti kolegialitas itu sendiri, ini adalah model normatif yang didasarkan pada tiga kriteria:
partisipasi akan meningkatkan keefektifan sekolah
partisipasi dibenarkan oleh prinsip-prinsip demokrasi
dalam konteks manajemen berbasis situs, kepemimpinan berpotensi untuk pemangku kepentingan yang sah.
Sergiovanni (1984, p.13) menunjuk pada pentingnya pendekatan partisipatif. Ini akan berhasil dalam ikatan staf bersama dan meringankan tekanan kepala sekolah: “ beban kepemimpinan akan berkurang jika fungsi kepemimpinan dan peran bersama dan jika konsep kepadatan kepemimpinan yang muncul sebagai pengganti yang layak untuk kepemimpinan kepala sekolah” (ibid). Orang lebih cenderung untuk menerima dan melaksanakan keputusan dimana mereka telah berpartisipasi, terutama dimana keputusan ini berhubungan langsung ke pekerjaan individu itu sendiri (ibid., p.24).
Kepemimpinan interpersonal
Kepemimpinan ini menunjuk ke kolegialitas dalam hal menekankan pentingnya kolaborasi dan hubungan antar individu, tema yang diambil oleh Tuohy dan Coglan (1997, p.67).
Bennet et al’s (2000) meneliti sembilan sekolah dasar di Inggris yang memberikan bukti tentang signifikansi kepemimpinan interpersonal dan kontribusinya terhadap pendekatan kolegial untuk manajemen sekolah: di sekolah sampel kepala sekolah dipandang terkemuka oleh staf dengan hubungan interpersonal yang kuat. Di sini staf yang diwawancarai merujuk pada tim, teman bekerja sama, kepastian konsultasi dan dukungan. Di situasi ini mungkin kolegialitas lebih mudah dicapai.
Kolegialitas dan Jenis Kelamin
Sekolah dasar pada umumnya cukup kecil untuk kolegialitas sekolah dan memiliki kesederhanaan, struktur yang tidak beraturan. Mungkin juga dipengaruhi oleh jenis kelamin. Perempuan selalu membentuk mayoritas di sekolah dasar dan beberapa memiliki staf yang semuanya perempuan. Proporsi pemimpin wanita jauh lebih tinggi di sekolah dasar daripada di sekolah menengah atau perguruan tinggi.
Al Khalifa (1989, p.89) mengklaim bahwa wanita mengadopsi gaya manajemen yang berbeda dari laki-laki dengan penekanan lebih besar pada kolaborasi, kerja sama dan perilaku feminin lainnya.
Nias, Southworth dan Yeomans (1989) melihat contoh perilaku kolaboratif yang sukses melibatkan perempuan dan laki-laki. Namun Coleman (1994) menyajikan bukti bahwa pemimpin perempuan dalam pendidikan cenderung lebih demokratis daripada laki-laki, menunjukkan kualitas kehangatan, empati dan kerja sama. Kemudian penelitian skala besarnya dengan kepala sekolah menengah laki-laki dan wanita menyarankan atas dasar data pelaporan diri, ada sedikit perbedaan kualitas, diidentifikasi oleh wanita dan laki-laki dalam hal bagaimana mereka memadan gaya manajemen mereka (Coleman, 2002, p.106).
Keterbatasan Model Kolegial
Pendukung kolegialitas percaya bahwa pendekatan partisipatif merupakan cara yang paling tepat di lembaga pendidikan. Namun kritikus model kolegial mengarahkan ke sejumlah kelemahan yang berfungsi untuk membatasi validitas mereka di sekolah dasar dan perguruan tinggi. Ada 7 kelemahan yang signifikan dari perspektif kolegial:
Model kolegial sangat normatif.
Pendekatan kolegial untuk pengambilan keputusan lambat dan rumit.
Asumsi dasar model demokrasi adalah bahwa keputusan dicapai dengan konsensus.
Aspek partisipatif pengambilan keputusan ada di samping struktural dan komponen birokrasi sekolah dan perguruan tinggi.
Pemimpin dapat melaksanakan dan menjalani cara pengambilan keputusan yang berlaku dalam lembaga tersebut, tapi tetap bertanggung jawab pada berbagai kelompok di luar organisasi.
Efektifitas sistem bergantung pada tingkah laku staf. Jika mereka aktif berperan serta, maka akan berhasil dan sebaliknya. Wallace (1989) mengatakanpara guru mungin tidak menyambut kolegialitas karena mereka tidak ingin menerima wewenang perantara antara mereka sendiri dan pimpinan.
Proses kolegial di sekolah lebih bergantung pada sikap kepala dari pada dukungan dari guru. Partisipatif dapat dibentuk hanya dengan dukungan dari pimpinan, yang memiliki kewenangan hukum untuk mengelola sekolah. Hoyle (1986, p 91) menyimpulkan bahwa ketergantungan pada dukungan kepala ini membatasi validitas model kolegialitas.
Hargreaves (1994) mengatakan kolegialitas asli adalah spontan, sukarela, tak terduga, informal dan diarahkan untuk pembangunan. Kolegialitas yang dibuat-buat, sebaliknya, berikut adalah hal yang bertentangan:
Secara administratif diatur daripada spontan
wajib daripada diskresioner
diarahkan untuk pelaksanaan mandat dari pemerintah atau kepala sekolah
tepat pada waktu dan tempat
dirancang untuk memiliki hasil yang diprediksi
(Hargreaves, 1994, pp.195-6)
Kesimpulan: apakah kolegialitas merupakan suatu ide yang tak dapat dicapai?
Model-model kolegial sangat normatif dan idealis. Para pendukung mereka percaya bahwa pendekatan partisipatif merupakan cara yang paling tepat untuk mengelola lembaga pendidikan. Teori kolegial berpendapat bahwa dukungan aktif untuk perubahan lebih mungkin akan datang di mana guru-guru telah mampu memberikan kontribusi pada proses perumusan kebijakan. Model kolegial berkontribusi konsep penting atas beberapa teori manajemen pendidikan.
Hoyle (.1986,p.100) berpendapat bahwa realitas birokrasi dan politik berarti bahwa kolegialitas tidak ada di sekolah: Dengan tidak adanya sebuah collegium yang sah, situasi yang ada hukum dan harapan eksternal menghalangi, baik kepala maupun staf berpartisipasi penuh atau gagal untuk melakukannya sehingga menciptakan situasi konflik langsung. Pandangan ini mungkin terlalu pesimis namun tetap benar bahwa mereka yang bercita-cita untuk kolegialitas sering menemukan bahwa hal itu tidak dapat dilaksanakan secara efektif. Little (1990, p.187), berikut penelitian besar di Amerika Serikat, menyimpulkan bahwa kolegialitas 'ternyata menjadi langka'.
Generasi yang lalu hampir semua sekolah dan perguruan tinggi bisa dikategorikan sebagai formal. Sejak tahun 1990-an, banyak yang telah mengembangkan kerangka kerja kolegial. Ada kecenderungan dilihat terhadap kolegialitas dan kepemimpinan partisipatif meskipun tekanan birokrasi yang dikenakan oleh pemerintah pusat. Mungkin juga ada di wadah, misalnya dalam hal subjek, dalam organisasi birokrasi. Meskipun Hargreaves (1994) kritik ini dibenarkan dari 'kolegialitas yang dibuat-buat', keuntungan dari partisipasi dalam organisasi profesi tetap persuasif. Kolegialitas yang ideal sulit dipahami tetapi ukuran partisipasi adalah penting jika sekolah yang menjadi organisasi yang harmonis dan kreatif.
DAFTAR PUSTAKA
Tony, Bush. (2003). Theories of Educational Leadership and Management. London : Sage Publications
12