Academia.eduAcademia.edu

Ragam Model Bisnis Kemitraan

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT HALAMAN 1 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 Ragam Model Bisnis Kemitraan oleh Prof. Richardus Eko Indrajit [email protected] EKOJI999 Nomor 335, 9 Agustus 2013 Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected]. SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT HALAMAN 2 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT HALAMAN 3 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT HALAMAN 6 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013

SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT Ragam Model Bisnis Kemitraan EKOJI999 Nomor 335, 9 Agustus 2013 oleh Prof. Richardus Eko Indrajit - [email protected] Artikel ini merupakan satu dari 999 bunga rampai pemikiran Prof. Richardus Eko Indrajit di bidang sistem dan teknologi informasi. Untuk berlangganan, silahkan kirimkan permohonan anda melalui alamat email [email protected]. HALAMAN 1 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT Pendahuluan Pada era pasca krisis ini, reformasi lembaga pemerintahan pusat dan daerah mengalami tantangan yang berat. Di satu sisi pemerintah sebagai penyelenggara negara dituntut untuk melakukan transformasi internal agar lebih adaptif terhadap kebutuhan globalisasi – dengan tetap mengedepankan aspek akuntabilitas, transparansi, dan profesionalisme – namun di pihak lain yang bersangkutan masih mengalami permasalahan keterbatasan sumber daya yang tersedia. Dalam kerangka inilah maka pelaksanaan implementasi e‐government kerap mengalami kendala di lapangan sehingga banyak inisiatifnya yang berjalan secara lambat dan tersendat‐sendat. Bercermin pada keberhasilan sejumlah pengembangan e‐government di negara lain, salah satu jawaban terhadap isu terkait adalah dijalinnya kemitraan strategis antara pemerintah dan swasta (baca: industri) dalam merencanakan dan mengembangkan berbagai inisiatif e‐government. Kemitraan yang tangguh tidak saja akan dapat menjawab tantangan jangka pendek implementasi e‐government semata, namun dapat menjamin tingginya tingkat sustainabilitas dan kesinambungan program yang ada. Tantangan terbesar dalam proses menjalin kemitraan ini adalah ditemukannya model bisnis (baca: business model) yang disepakati oleh kedua belah pihak. Penentuan model bisnis yang dimaksud tidaklah semudah yang diduga, karena selain harus bersifat ‘win‐win’ bagi kedua belah pihak, bentuknya tidak boleh bertentangan dengan peraturan maupun etika bisnis dan pemerintahan yang berlaku. Tantangan Inisiatif E‐Government Belajar dari pengalaman beraneka ragam implementasi e‐government di berbagai belahan dunia, permasalahan terbesar terletak pada bagaimana membuat agar inisiatif yang ada dapat secara kontinyu bertahan dan berkesinambungan (baca: sustainable) tanpa harus tergantung pada kekuatan anggaran pemerintah pusat maupun daerah. Kuncinya adalah terjalinnya hubungan kemitraan strategis antara pihak pemerintah dengan sektor industri atau yang lebih dikenal dengan istilah ”Public‐Private Partnerships” (PPP). Namun mengembangkan pola kemitraan yang dimaksud, tidaklah semudah menelurkan konsepnya. Kerap kali kemitraan yang terjadi hanya bertahan seumur jagung alias hanya mampu diterapkan dalam jangka waktu yang sangat pendek – dan kemudian secara alami atau terpaksa berangsur‐ angsur berhenti (baca: bubar). Isu‐isu terkait dengan sulitnya membangun kemitraan yang langgeng antara lain: • Tidak dimilikinya model kerjasama yang dapat secara signi�ikan mendatangkan situasi ”win‐win” bagi kedua belah pihak; • Sikap saling menunggu antara kedua pihak untuk memulai menawarkan bentuk kerjasama; • Ketakutan pemerintah dalam menjalin kerjasama khusus dengan satu atau dua perusahaan karena dapat dianggap tidak adil dan pilih kasih (baca: takut dianggap KKN); • Fenomena ”ganti pemerintah, ganti kebijakan” yang mendatangkan ketidakpastian kebersinambungan sebuah inisiatif; • Faktor resiko yang sulit dikelola karena banyaknya hal‐hal eksternal yang mendatangkan ketidakpastian terhadap nasib kemitraan di kemudian hari; dan lain sebagainya. Segi Tiga Emas Kemitraan Jika berkaca dari keberhasilan sejumlah negara dalam mengembangkan teknologi informasinya, maka terlihat selalu adanya kemitraan yang solid antara tiga unsur utama yaitu pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi (dimana masyarakat atau komunitas akan menjadi stakeholder dari kerjasama tersebut). ”The golden triangle” hanya akan berhasil diterapkan apabila pemrakarsa kemitraan benar‐benar mengerti hal‐hal apa saja yang akan menjadi pemicu atau perangsang terjadinya kerjasama. HALAMAN 2 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT Adanya nilai tambah atau ”value‐added” adalah hal yang harus dapat dirasakan oleh siapa saja pihak yang ingin bekerjasama. Bagi pemerintah misalnya, kerjasama akan mendatangkan manfaat atau memberikan nilai tambah apabila dapat membantu mereka dalam hal meningkatkan kinerja pelayanan publik, memperbaiki kualitas good governance, mengoptimalisasi pemakaian sumber daya yang terbatas, dan lain‐lain. Sementara bagi pihak swasta misalnya, sebuah kerjasama akan dianggap bermanfaat jika yang bersangkutan tidak hanya semata‐mata berhasil meningkatkan pro�itnya, tetapi memungkinkan mereka untuk meningkatkan kualitas produk dan jasanya, memperluas jejaring calon pelanggan, menciptakan hubungan yang lebih baik dengan stakeholdernya, dan lain sebagainya. Sementara bagi perguruan tinggi, sejauh kerjasama akan dapat meningkatkan basis pengetahuan, memperbaiki kualitas penyelenggaraan pendidikan, menciptakan produk‐ produk atau jasa‐jasa inovatif, atau menawarkan pengalaman pembelajaran baru. Tiga Layer Topologi Model Kemitraan Berdasarkan segitiga emas kemitraan di atas, dapat dikembangkan sejumlah topologi model kemitraan. Topologi yang dimaksud secara esensial terdiri dari tiga layer, masing‐masing adalah sebagai berikut: • Layer Pertama adalah bentuk kemitraan antara pemerintah dan kalangan industri swasta, dimana masing‐masing terdiri dari tiga jenis. Jenis pertama adalah kewenangan yang diberikan pemerintah kepada satu atau sejumlah perusahaan untuk melakukan suatu aktivitas tertentu. Jenis kedua adalah satu atau sejumlah industri swasta yang melakukan investasi pada bidang tertentu di domain wilayah sebuah institusi pemerintah. Sementara jenis ketiga adalah kesepakatan antara pemerintah dan satu atau sejumlah pihak swasta untuk melakukan investasi bersama. • Layer Kedua terdiri dari organisasi ”intermediary” yang menyediakan jasanya untuk melakukan eksekusi terhadap beragam aktivitas dimaksud. Tawaran jasa manajemen pengelolaan ini sifatnya adalah ”optional”, artinya dapat dilibatkan maupun tidak, HALAMAN 3 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT tergantung konteks program yang ada dan kesepakatan entitas pemerintah dan industri yang telah dijalin. Jenis organisasi eksekutor ini dapat berupa perusahaan komersial, NGO, yayasan, lembaga pendidikan, atau bahkan institusi pemerintahan lainnya. • Layer Ketiga merupakan target akhir dari beragam kerjasa yang ada, yaitu masyarakat atau publik itu sendiri yang bersedia membayar pihak‐pihak penyedia jasa melalui berbagai mekanisme – seperti pajak, transaksi jasa, dan lain‐lain. Dengan berpegang pada ketiga layer ini, maka paling tidak sembilan model kemitraan dapat dikembangkan beserta model bisnisnya masing‐masing. Model Bisnis Ragam Kemitraan Ambillah contoh sebuah topologi sederhana yaitu G‐to‐B‐to‐P (baca: Government to Business to Public). Dalam kerangka ini, sebuah institusi pemerintah memberikan wewenang dan “endorsement” kepada sebuah sektor industri untuk secara langsung menyediakan sebuah jasa pelayanan masyarakat atas nama pemerintah. Model bisnis yang terjadi di sini – dilihat dari segi “revenue stream” dan “value delivery” adalah sebagai berikut. Masyarakat melalui mekanisme pajak atau biaya per transaksi melakukan pembayaran kepada pihak swasta terkait. Sesuai dengan kesepakatan, pendapatan bersih tersebut dibagi antara perusahaan yang terlibat dan pemerintah. Dalam format ini pemerintah diuntungkan karena tanpa mengeluarkan biaya investasi sesenpun, mereka dapat memberikan sebuah pelayanan baru kepada masyarakat – belum lagi terhitung sejumlah pendapatan per transaksi yang diperolehnya. Sementara pihak swasta terkait juga merasa untung, karena selain memiliki hak HALAMAN 4 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT eksklusivitas dalam menggarap sebuah pasar, yang bersangkutan dapat segera mengembalikan nilai investasinya melalui pendapatan dari transaksi yang kontinyu tersebut – dan segera menciptakan pro�it dalam jangka menengah dan panjang. Contoh lainnya adalah sebuah format dimana perusahaan menginvestasikan sumber daya keuangannya melalui proyek atau program yang dipromosikan oleh institusi pemerintahan melalui topologi kemitraan B‐to‐G‐to‐P. Pemerintah merasa diuntungkan di sini karena mendapatkan anggaran untuk melakukan investasi baru, sementara pihak swasta cukup senang dengan mekanisme ROI atau skema pengembalian pinjaman yang menguntungkan – apalagi jika diiming‐iming pembagian keuntungan di kemudian hari. Contoh berikutnya adalah ketika pemerintah bersama‐sama dengan industri swasta melakukan investasi dalam topologi GP‐to‐P. Hal ini biasa dilakukan untuk sebuah program yang membutuhkan biaya cukup besar sehingga tidak mungkin hanya dibebankan kepada sebuah institusi semata. Skema pengembalian investasi diperhitungkan secara sungguh‐ sungguh disamping kesepakatan untuk membagi pendapatan dari hasil pelayanan kepada masyarakat tersebut. Tawaran Peranan Pihak Ketiga Sering kari dijumpai dalam kenyataannya, bahwa institusi pemerintah maupun industri swasta yang ada tidaklah memiliki lengan‐lengan unit eksekusi (misalnya dalam pemerintahan seperti Kementrian Koordinasi, Bapenas, Lembaga Kajian, dan lain sebagainya; sementara dalam swasta seperti Holding Company, Grup Korporasi, dan lain‐lain). Yang biasa dilakukan dalam konteks ini adalah menunjuk pihak ketiga untuk menjadi lembaga eksekutor inisiatif program atau proyek yang ada. Model bisnis bagi eksekutor ini bisa beraneka ragam, mulai dari berbagi hasil, biaya manajemen (baca: management fee), atau kombinasi keduanya. Secara konsep bisnis, konsep ini dapat dikategorikan sebagai sebuah usaha pengalihdayaan atau outsourcing. Banyak keuntungan atau manfaat yang dapat diperoleh bersama dalam melakukan kemitraan dengan pihak ketiga ini, antara lain: • Biaya investasi dan operasional yang lebih murah karena ditangani oleh pihak yang paling berkompeten melakukan aktivitas terkait; • Kualitas pekerjaan dan pelayanan yang jauh lebih baik karena selain mereka memiliki infrastruktur, fasilitas, dan kompetensi yang lengkap, akses secara langsung ke publik dapat dilakukan melalui berbagai kanal; • Kemampuan untuk selalu memperbaiki kinerjanya secara berkesinambungan telah ”embedded” dalam manajemen profesional yang mereka miliki; • Mekanisme kontrol yang lebih sederhana dan efektif karena ditangani oleh sebuah institusi outsourcing; dan • Pembagian tugas yang jelas antara pemilik dan penyelenggara inisiatif yang terkadang jika tidak dikelola dengan baik akan menjadi isu tersendiri. Satu hal yang perlu diperhatikan secara sungguhsungguh terutama dalam kaitannya dengan penerapan good governance adalah pembagian tugas dan pertanggung jawaban yang jelas antara semua pihak yang terlibat dalam kemitraan. Salah satu kerangka untuk mempromosikan transparansi, akuntabilitas, tanggung jawab dan independensi adalah: • R (Responsible) adalah pihak yang bertanggung jawab secara langsung terhadap ekseskusi program atau proyek yang ada, dalam konteks ini adalah pihak ketiga yang dimaksud; HALAMAN 5 DARI 6 (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013 SERI 999 E-ARTIKEL SISTEM DAN TEKNOLOGI INFORMASI PROF. RICHARDUS EKO INDRAJIT • A (Accountable) adalah pihak pemilik inisiatif program atau proyek, yaitu pemerintah atau industri swasta yang telah bermitra dan mencetus gagasan diselenggarakannya kegiatan terkait; • C (Consulted) adalah pihak yang harus selalu dikonsultasikan dalam setiap penyelenggaraan sebuah inisiatif agar tidak bertentangan dengan regulasi yang berlaku, yang dalam hal ini bisa beraneka ragam jenisnya, seperti: pemerintah pusat, pemerintah daerah, parlemen, legislatif, kementrian atau departemen terkait, dan lain sebagainya; dan • I (Informed) adalah pihak yang harus diberikan informasi terkait dengan perencanaan dan pengembangan sejumlah inisiatif tertentu, misalnya: partai, publik, media, dan lain sebagainya. Kunci Sukses Kemitraan Sustainabilitas sebuah kemitraan hanya akan terjadi apabila sejumlah faktor kunci diperhatikan secara sungguh‐sungguh, yaitu: • Kepercayaan dan kesungguhan untuk berhasil yang tinggi di antara mereka yang bermitra (trust, faith, and passion); • Ekseskusi yang konsisten dan kontinyu, dalam arti kata tidak mudah menyerah atau mudah mengganti‐ganti pendekatan setiap menemukan berbagai kendala teknis; • Secara periodik melakukan proses ”Plan‐Do‐Check” terhadap manfaat aliansi ditinjau dari kacamata masing‐masing organisasi yang bermitra secara transparan, tidak perlu ditutup‐ tutupi terhadap berbagai kekecewaan yang timbul (tentu saja untuk dikomunikasikan dan dicari jalan keluarnya); • Selalu melakukan inovasi ”rumah tumbuh” yang tidak berkesudahan karena kebutuhan masyarakat yang selalu bertambah dari waktu ke waktu; dan • Proses penyelenggaraan kemitraan yang menjunjung nilai‐nilai profesional dan etika yang tinggi. HALAMAN 6 DARI 6 ‐‐‐ akhir dokumen ‐‐‐ (C) COPYRIGHT BY RICHARDUS EKO INDRAJIT, 2013