Laporan Pendahuluan Fraktur - Ni Wayan Ayu Eka Perantini

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN

CLOSED FRAKTUR

OLEH :

Ni Wayan Ayu Eka Perantini

2214901029

FAKULTAS KESEHATAN

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

INSTITUSI TEKNOLOGI DAN KESEHATAN BALI

2023
A. TINJAUAN KASUS
1. Pengertian
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai
jenis dan luasnya. Fraktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk dan kontraksi otot ekstrem. Saat tulang patah, jaringan disekitar
akan terpengaruh, yang dapat mengakibatkan edema pada jaringan lunak,
dislokasi sendi, kerusakan saraf. Organ tubuh dapat mengalami cedera
akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang
(Brunner & Suddart, 2013).
Fraktur adalah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang dan
jaringan lunak di sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi
itu lengkap atau tidak lengkap (Nurarif, 2015). Fraktur femur adalah
diskontinuitas dari femoral shaft yang bisa terjadi akibat trauma secara
langsung (kecelakaan lalu lintas atau jatuh dari ketinggian), dan biasanya
lebih banyak dialami laki – laki dewasa (Desiartama,2017).
Fraktur dapat terjadi di bagian ekstremitas atau anggota gerak tubuh
yang disebut dengan fraktur ekstremitas. Fraktur ekstremitas merupakan
fraktur yang terjadi pada tulang yang membentuk lokasi ekstremitas atas
(tangan, lengan, siku, bahu, pergelangan tangan, dan bawah (pinggul, paha,
kaki bagian bawah, pergelangan kaki). Fraktur dapat meimbulkan
pembengkakan, hilangnya fungsi normal, deformitas, kemerahan, krepitasi,
dan rasa nyeri (Ghassani, 2016).

2. Etiologi
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsun, gaya remuk, gerakan
mendadak, bahkan kontraksi otot eksterm. Umumnya fraktur disebabkan
oleh trauma dimana terdapat tekanan yang berlebihan pada tulang. Pada
orang tua, perempuan lebih sering mengalami fraktur dari pada laki – laki
yang berhubungan dengan meningkatnya insiden osteoporosis yang dekait
dengan perubahan hormone pada menopause (Lukman & Ningsih, 2012).
Penyebab fraktur menurut Jitowiyono dan Kristiyanasari (2010)
(dalam Andini,2018) dapat dibedakan menjadi:
1. Cedera Traumatik
Cedera traumatic pada tulang disebabkan oleh:
a. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga
tilang patah secara spontan.
b. Cedera tidak langsug adalah pukulan langsung berada jauh dari
lokasi benturan.
c. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak.
2. Fraktur patologik
Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor
mengakibatkan:
a. Tumor tulang adalah pertumbuhan jaringan baru yang terkendali.
b. Infeksi seperti osteomielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi
akut.
c. Rakitis.
d. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus.
Penyebab terbanyak fraktur adalah kecelakaan kerja, kecelakaan lalu
lintas dan sebagainya. Tetap faktur juga bisa terjadi akibat faktor lain seperti
proses degeneratif dan patologi (Noorisa dkk, 2017).
3. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur dapat dibagi menjadi beberapa bagian,
diantaranya:

a. Klasifikasi berdasarkan etiologi

1) Fraktur traumatik

2) Fraktur patologis, yaitu fraktur yang terjadi pada daerah-daerah


tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses
patologik lainnya (infeksi dan kelainan bawaan) dan dapat terjadi
secara spontan atau akibat trauma ringan.

3) Fraktur beban (kelelahan), yaitu fraktur yang terjadi pada orang-


orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas merka atau
karena adanya stress yang kecil dan berulang-ulang pada daerah
tulang yang menopang berat badan.

b. Klasifikasi berdasarkan sifat

1) Faktur tertutup (Closed), bila tidak terdapat hubungan antara


fragmen tulang dengan dunia luar, disebut juga fraktur bersih
(karena kulit masih utuh) tanpa komplikasi. Pada fraktur tertutup
ada klasifikasi tersendiri yang berdasarkan keadaan jaringan lunak
sekitar trauma, yaitu:

a) Tingkat 0: fraktur biasa dengan sedikit atau tanpa ceddera


jaringan lunak sekitarnya.

b) Tingkat 1: fraktur dengan abrasi dangkal atau memar kulit dan


jaringan subkutan.

c) Tingkat 2: fraktur yang lebih berat dengan kontusio jaringan


lunak bagian dalam dan pembengkakan.
d) Tingkat 3: cedera berat dengan kerusakan jaringan lunak yang
nyata ddan ancaman sindroma kompartement.

2) Fraktur terbuka (Open/Compound), bila terdapat hubungan antara


hubungan antara fragmen tulang dengan dunia luar karena adanya
perlukaan kulit.

a) Grade 1

Sakit jelas dan sedikit kerusakan kulit. i) Luka < 1 cm ii)


Kerusakan jaringan lunak sedikit, tidak ada tanda luka remuk
iii) Fraktur sederhana, transversal, atau kominutif ringan iv)
Kontaminasi minimal
b) Grade II

Fraktur terbuka dan sedikit kerusakan kulit. i) Laserasi < 1cm


ii) Kerusakan jaringan lunak, tidak luas, flap/avulse. iii)
Fraktur kominutif sedang iv) Kontaminasi sedang

c) Grade III

Banyak sekali jejas kerusakan kulit, otot jaringan saraf dan


pembuluh darah serta luka sebesar 6-8 cm (Sjamsuhidayat,
2010 dalam Wijaya & Putri, 2013).

c. Klasifikasi berdasarkan komplit dan ketidakkomplitan fraktur

1) Fraktur komplit

Bila garis patah melalui seluruh penampang tulang atau melalui


kedua korteks tulang.
2) Fraktur inkomplit

Bila garis patah tidak melalui seluruh penampang tulang seperti:

A) Hair line fraktur

b) Buckle atau torus fraktur, bila terjadi lipatan dari satu korteks
dengan kompresi tulang spongiosa di bawahnya.

c) Green stick fraktur, mengenai satu korteks dengan angulasi


korteks lainnya yang terjadi pada tulang panjang.

d. Klasifikasi berdasarkan bentuk garis patah dan hubungannya dengan


mekanisme trauma

1) Fraktur transversal

Fraktur yang arahnya melintang pada tulang dan merupakan akibat


trauma angulasi atau langsung.

2) Fraktur oblik

Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap


sumbu tulang dan meruakan akibat trauma angulasijuga.

3) Fraktur spiral

Fraktur yang arah garis patahnya berbentuk spiral yang disebabkan


trauma rotasi.

4) Fraktur kompresi

Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong


tulang ke arah permukaan lain.

5) Fraktur avulsi

Fraktur yang diakibatkan karena trauma tarikan atau traksi otot


pada insersinya pada tulang.
e. Berdasarkan jumlah garis patah

1) Fraktur komunitif

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu dan saling berhubungan.

2) Fraktur segmental

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak berhubungan.

3) Fraktur multiple

Fraktur dimana garis patah lebih dari satu tapi tidak pada tulang
yang sama.

f. Berdasarkan pergeseran fragmen tulang.

1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser)

Garis patah lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan


periosteum masih utuh.

2) Fraktur displaced (bergeser)

Terjadi pergeseran fragmen tulang yang juga disebut lokasi


fragmen, terbagi atas:

a) Dislokasi ad longitudinam cum contractionum (pergeseran


searah sumbu dan overlapping).

b) Dislokasi ad axim (pergeseran yang membentuk sudut).

c) Dislokasi ad latus (pergeseran dimana kedua fragmen saling


menjauh).
g. Berdasarkan posisi fraktur

Sebatang tulang terbagi menjadi tiga bagian:

1) 1/3 proksimal

2) 1/3 medial

3) 1/3 distal

4. Patofisiologi
Menurut Brunner dan Suddarth (2002), trauma dan kondisi patologis
yang terjadi pada tulang yang menyebabkan fraktur. Fraktur menyebabkan
diskontinuitas jaringan tulang yang dapat membuat penderita mengalami
kerusakan mobilitas fisiknya.
Diskontinuitas jaringan tulang dapat mengenai 3 bagian yaitu jaringan
lunak, pembuluh darah dan saraf serta tulang itu sendiri. Jika mengenai
jaringan lunak makan akan terjadi spasme otot yang menekan ujung saraf dan
pembuluh darah dapat mengakibatkan nyeri, deformitas serta syndrome
compartement.
Fraktur adalah semua kerusakan pada kontinuitas tulang, fraktur
beragam dalam hal keparahan berdasarkan lokasi dan jenis fraktur. Meskipun
fraktur terjadi pada semua kelompok usia, kondisi ini lebih umum pada orang
yang mengalami trauma yang terus-menerus dan pada pasien lansia. Fraktur
dapat terjadi akibat pukulan langsung, kekuatan tabrakan, gerakan memutar
tiba-tiba, kontraksi otot berat, atau penyakit yang melemahkan tulang. Dua
mekanisme dasar yang fraktur: kekuatan langsung atau kekuatan tidak
langsung. Dengan kekuatan langsung, energi kinetik diberikan pada atau
dekat tempat fraktur. Tulang tidak dapat menahan kekuatan. Dengan
kekuatan tidak langsung, energi kinetik di transmisikan dari titik dampak ke
tempat tulang yang lemah.
Fraktur terjadi pada titik yang lemah. Sewaktu tulang patah,
pendarahan biasanya terjadi di sekitar tempat patah ke dalam jaringan lunak
sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga biasanya mengalami kerusakan.
Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur. Sel-sel darah putih
dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke tempat
tersebut aktivitas osteoblast terangsang dan terbentuk tulang baru umatur
yang disebut callus. Bekuan fibrin di reabsorpsi dan selsel tulang baru
mengalami remodeling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi pembuluh
darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang
tidak ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstrimitas dan
mengakibatkan kerusakan saraf perifer. Bila tidak terkontrol pebekakan akan
mengakibatkan peningkatan tekanan jaringan, oklusi darah total dan
berakibat anoreksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf maupun jaringan
otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom compartment (Brunner dan
Suddarth, 2002).

5. Manifestasi Klinis Fraktur Neck Femur


Manifestasi klinis fraktur menurut Smeltzer (2018) meliputi:
1. Nyeri akut terus – menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen
tulang dimobilisasi, hematoma, dan edema.
2. Kehilangan fungsi.
3. Deformitas karena adanya pergeseran fragmen tulang yang patah.
4. Pemendekan ektermitas. Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya
karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur.
5. Krepitasi akibat gesekan antara fragmen satu dengan yang lainnya.
6. Edema local.
7. Ekimosis
6. Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik
a. Anamnesa atau pemeriksaan umum
b. Foto Rontgen
Sinar-X menggambarkan kepadatan tulang, tekstur, erosi, dan perubahan
hubungan tulang. Sinar-X multipel diperlukan untuk mengkaji secara
paripurna struktur yang sedang diperiksa. Sinar-X tekstur tulang
menunjukkan adanyapelebaran, penyempitan, dan tanda iregularitas.
Sinar-X sendi dapat menunjukkan adanya cairan, iregularitas,
penyempitan, dan perubahan struktur sendi.
c. CT Scan (Computed Tomography)
Menunjukkan rincian bidang tertentu tulang yang terkena dan dapat
memperlihatkan tumor jaringan lunak atau cedera ligamen dan tendon.
CT Scan digunakan untuk mengidentifikasi lokasi dan panjangnya patah
tulang di daerah yang sulit dievaluasi, seperti asetabulum. Pemeriksaan
dilakukan dapat dengan atau tanpa kontras dan berlangsung sekitar satu
jam.
d. Angiografi
Suatu bahan kontras radiopaq diinjeksikan ke dalam arteri tertentu, dan
diambil foto sinar-X serial sistem arteri yang dipasok oleh arteri tersebut.
Pemeriksaan ini sangat bermanfaat untuk mengkaji perfusi arteri dan
dapat digunakan untuk tingkat amputasi yang dilakukan. Perawatan yang
dilakukan setelah prosedur ini adalah klien dibiarkan berbaring selama
12 jam sampai 24 jam untuk mencegah perdarahan pada tempat
penusukan arteri. Pantau tanda vital tempat penusukan untuk melihat
adanya pembengkakan, perdarahan, dan hematoma, dna mengkaji
apakah sirkulasi ekstremitas bagian distal adekuat.
e. Artografi
Penyuntikan bahan radiopaq atau udara ke dalam rongga sendi untuk
melihat struktur jaringan lunak dan kontur sendi. Sendi diposisikan
dalam kisaran pergerakannya sambil dilakukan serial sinar-X.
Pemeriksaan ini sangat berguna untuk mengidentifikasi adanya robekan
akut atau kronik kapsul sendi atau ligamen penyangga lutut, bahu, tumit,
pinggul, dan pergelangan tangan. Bila terdapat robekan, bahan kontras
akan merembes keluar dari sendi dan akan terlihat pada sinar-X. Setelah
dilakukan pemeriksaan ini, sendi diimobilisasi selama 12 jam sampai 24
jam dan diberi balut tekan elastis.
f. Artrosentesis (aspirasi sendi)
Dilakukan untuk memperoleh cairan sinovial untuk keperluan
pemeriksaan atau menghilangkan nyeri akibat efusi. Normalnya, cairan
sinovial jernih, pucat berwarna seperti jerami, dan volumenya sedikit.
Cairan tersebut kemudian diperiksa secara makroskopis mengenai
volume, warna, kejernihan, dan adanya bekuan musin. Secara
mikroskopis untuk memeriksa jumlah, mengidentifikasi sel, melakukan
pewarnaan Gram, dan mengetahui elemen penyusunnya. Pemeriksaan ini
sangat berguna untuk mendiagnosis artritis reumatoid dan atrofi
inflamasi lainnya dan dapat memperlihatkan adanya hemartrosis
(perdarahan di dalam rongga sendi), yang menyebabkan trauma atau
kecenderungan perdarahan.
g. Artroskopi
Merupakan prosedur endoskopis yang memungkinkan pandangan
langsung ke dalam sendi. Pemeriksaan ini dilakukan di kamar operasi
dalam kondisi steril dan perlu dilakukan injeksi anastesi lokal ataupun
anastesi umum.
h. Biopsi
Dilakukan untuk menentukan struktur dan komposisi tulang oot, dan
sinovial guna membantu menentukan penyakit tertentu. Tempat biopsi
harus dipantau mengenai adanya edema, perdarahan, dan nyeri. Setelah
melakukan prosedur ini mungkin perlu dikompres es untuk mengontrol
edema dan perdarahan dan pasien diberi analgesik untuk mengurangi
rasa tidak nyaman.
i. Pemeriksaan darah lengkap
Pemeriksaan darah dan urine klien dapat memberi informasi mengenai
masalah muskuloskeletal primer atau komplikasi yang terjadi seperti
infeksi, sebagai dasar acuan untuk pemberian terapi. Pemeriksaan darah
lengkap meliputi kadar hemoglobin, biasanya lebih rendah bila terjadi
perdarahan karena trauma dan hitung sel darah putih. Pemeriksaan kimia
darah memberi data mengenai berbagai macam kondisi muskuloskeletal.
Kadar kalsium serum berubah pada osteomalasia, fungsi paratiroid,
penyakit paget, tumor tulang metastasis, dan pada imobilisasi lama.

7. Penatalaksanaan Medis
Menurut Muttaqin, (2008) prinsip penatalaksanaan fraktur 4 (R) adalah :
a. Recognition (diagnosis dan penilaian fraktur)
Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur
dengan anamnesis, pemeriksaan klinik, dan radiologis. Pada awal
pengobatan perlu diperhatikan; lokalisasi fraktur, bentuk fraktur,
menentukan teknik yang sesuai untuk pengobatan dan menghindari
komplikasi yang mungkin terjadi selama dan sesudah pengobatan.
b. Reduction (restorasi fragmen fraktur sehingga posisi yang paling
optimal didapatkan)
Reduksi fraktur apabila perlu. Pada fraktur intra-artikular diperlukan
reduksi anatomis, sedapat mungkin mengembalikan fungsi normal,
dan mencegah komplikasi, seperti kekakuan, deformitas, serta
perubahan osteoartritis di kemudian hari.
c. Retention (imobilisasi fraktur)
Secara umum, teknik penatalaksanaan yang digunakan adalah
mengistirahatkan tulang yang mengalami fraktur dengan tujuan
penyatuan yang lebih cepat antara kedua fragmen tulang yang
mengalami fraktur.
d. Rehabilitation (mengembalikan aktivitas fungsional semaksimal
mungkin)
Program rehabilitasi dilakukan dengan mengoptimalkan seluruh
keadaan klien pada fungsinya agar aktivitas dapat dilakukan kembali.
Misalnya, pada klien pasca amputasi cruris, program rehabilitasi yang
dijalankan adalah bagaimana klien dapat melanjutkan hidup dan
melakukan aktivasi dengan memaksimalkan organ lain yang tidak
mengalami masalah.
Penatalaksanaan konservatif
a. Proteksi (tanpa reduksi atau imobilisasi). Proteksi fraktur terutama untuk
mencegah trauma lebih lanjut dengan cara memberikan mitela pada
anggota gerak atas atau tongkat pada anggota gerak bawah.
b. Imobilisasi dengan bidai eksterna. Imobilisasi pada fraktur dengan bidai
eksterna hanya memberikan sedikit imobilisasi. Biasanya menggunakan
gips atau dengan bermacam-macam bidai dari plastik atau metal.
c. Reduksi tertutup dengan manipulasi dan imobilisasi eksterna yang
menggunakan gips. Reduksi tertutup yang diartikan manipulasi
dilakukan dengan pembiusan umum dan lokal. Reposisi yang dilakukan
melawan kekuatan terjadinya fraktur. Penggunaan gips untuk imobilisasi
merupakan alat utama pada teknik ini.
d. Reduksi tertutup dengan traksi kontinu dan counter traksi. Tindakan ini
mempunyai dua tujuan utama, yaitu beberapa reduksi yang bertahap dan
imobilisasi
8. Penatalaksanaan pembedahan
Penatalaksanaan pembedahan pada klien fraktur meliputi hal-hal sebagai
berikut:
a. Reduksi tertutup dengan fiksasi eksternal atau fiksasi perkutan dengan
K-Wire. Setelah dilakukan reduksi tertutup pada fraktur yang bersifat
tidak stabil, reduksi dapat dipertahankan dengan memasukkan K-Wire
perkutan (Muttaqin, 2008).
b. Reduksi terbuka dan fiksasi internal atau fiksasi eksternal tulang, yaitu
ORIF (Open Reduction Internal Fixation). Fiksasi interna yang
dipakai biasanya berupa pelat dan sekrup. Keuntungan ORIF adalah
tercapainya reposisi yang sempurna dan fiksasi yang kokoh sehingga
pascaoperasi tidak perlu lagi dipasang gips dan mobilisasi segera bisa
dilakukan. Kerugiannya adalah adanya risiko infeksi tulang
(Sjamsuhidajat, 2010).
c. Reduksi terbuka dengan fiksasi eksternal OREF (Open Reduction
External Fixation). Fiksasi eksternal digunakan untuk mengobati
fraktur terbuka dengan kerusakan jaringan lunak. Pemasangan OREF
akan memerlukan waktu yang lama dengan masa penyembuhan antara
6-8 bulan. Setelah dilakukan pembedahan dengan pemasangan OREF
sering didapatkan komplikasi baik yang bersifat segera maupun
komplikasi tahap lanjut (Muttaqin, 2008).

B. TINJAUAN ASUHAN KEPERAWATAN


1. Pengkajian
NO DATA SUBJEKTIF DATA OBJEKTIF PRE
OPERASI
1. - Klien mengatakan - Klien tampak
merasa nyeri merintih kesakitan
- Karakteristik nyeri - Klien tampak gelisah
P : Nyeri akibat trauma - Pola tidur berubah
Q : Nyeri terasa seperti - Frekuensi napas
terbakar meningkat
R : Nyeri terasa pada - Frekuensi nadi
luka trauma meningkat
S : Skala nyeri 7 dari - Diaforesis
10 skala nyeri yang - Muka tampak pucat
diberikan - Sering berkemih
T : Nyeri sering - Kerusakan jaringan
muncul dan/atau lapisan kulit
- Klien mengatakan - Klien tampak gelisah
merasa bingung - Klien tampak tegang
Klien mengatakan - Sering berkemih
khawatir dengan akibat - Tremor
dari kondisi yang - Kontak mata buruk
dihadapi

- Pasien mengatakan - Terdapat luka bekas


sulit beraktivitas operasi
seperti biasa karena - Kekuatan otot POST
2.
mengalami fraktur menurun OPERASI
- Pasien mengatakan - Luka tampak
lukanya terasa panas kemerahan

2. Diagnosa Keperawatan (SDKI, 2017)


a. Pre Operasi
1) Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (Fraktur)
2) Ansietas berhubungan dengan krisis situasi (prosedur tindakan
operasi).
b. Intra Operasi
1) Resiko Pendarahan

c. Post Operasi
1) Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan integritas
struktur tulang(fraktur)
2) Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur tindakan invasive
3) Hipotermia berhubungan dengan terpapar suhu lingkungan rendah
a. Rencana Keperawatan (SIKI, 2018)
1) PRE OPERASI
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Intervensi Rasional
Keperawatan Hasil

1. Nyeri akut Setelah dilakukan Manajemen Nyeri -Untuk mengetahui sejauh mana
berhubungan tindakan keperawatan 3 x Observasi : tingkat nyeri dan merupakan
dengan agen 24 jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi lokasi,
pencedera indiaktor secara dini untuk dapat
nyeri menurun dengan karakteristik, durasi,
fisik (Fraktur)
kriteria hasil : frekuensi, kualitas, intensitas memberikan tindakan selanjutnya
1. Frekuensi nadi nyeri -Agar mengetahui tingkat nyeri yang
membaik 2. Indentifikasi skala nyeri
dirasakan oleh klien
2. Pola nafas membaik 3. Indentifikasi respons nyeri
3. Keluhan nyeri non verbal -Agar mengetahui tingkat nyeri yang
menurun 4. Indentifikasi faktor yang sebenarnya dirasakan klien
4. Meringis menurun memperberat dan
-Agar dapat mengurangi faktor-faktor
5. Gelisah menurun memperingan nyeri
6. Kesulitan tidur Terapeutik : yang memperparah nyeri klien
menurun 1. Berikan teknik -Agar klien juga mengetahui
nonfarmakologi untuk kondisinya dan kemudahan
mengurangi rasa nyeri
2. Kontrol lingkungan yang perawatan
memperberat rasa nyeri -Agar nyeri yang dirasakan klien tidak
Edukasi :
menjadi lebih buruk
1. Jelaskan penyebab, periode,
dan pemicu nyeri -Agar klien dapat menghindari
2. Jelaskan strategi meredakan penyebab nyeri yang dirasakan
nyeri
-Agar klien dapat mengatasi nyeri yang
3. Ajarkan teknik non
farmakologis untuk dirasakan
mengurangi rasa nyeri -Agar klien dapat mengurangi rasa
Kolaborasi :
nyeri dengan teknik
1. Pemberian analgetik, jika
perlu nonfarmakologis yang telah
diajarkan
-Menurunkan atau mengontrol rasa
nyeri dengan memberikan obat
analgetik

2. Ansietas Setelah dilakukan Reduksi Ansietas - Untuk mengetahui perubahan


berhubungan tindakan keperawatan 3 x Observasi :
pada tingkat ansietas dari klien
dengan krisis 24 jam diharapkan tingkat 1. Identifikasi saat tingkat
situasi ansietas menurun dengan ansietas berubah - Untuk dapat mengetahui tanda
(prosedur kriteria hasil : 2. Monitor tanda-tanda ansietas ansietas pada klien
tindakan 1. Konsentrasi sedang
operasi). 2. Pola tidur sedang Terapeutik : - Untuk dapat menumbuhkan
3. Perilaku gelisah 1. Ciptakan suasana terapeutik
kepercayaan klien kepada perawat
menurun untuk menumbuhkan
kepercayaan - Untuk dapat mengetahui situasi
4. Verbalisasi
kebingungan menurun 2. Temani pasien untuk yang menyebabkan ansietas
5. Verbalisasi khawatir mengurangi kecemasan, jika - Untuk dapat mengetahui keluhan
akibat kondisi yang memungkinkan
3. Pahami situasi yang membuat klien
dihadapi menurun
6. Perilaku tegang ansietas - Untuk dapat memberikan
menurun 4. Dengarkan dengan penuh kepercayaan kepada klien
perhatian
- Untuk dapat memberitahukan
5. Guakan pendekatan yang
tenang dan meyakinkan kepada klien mengenai diagnosis
Edukasi : dan pengobatannya
1. Jelaskan prosedur, termasuk
- Agar perawat dapat mengetahui
sensai yang mungkin dialami
2. Informasikan secara factual perasaan klien
mengenai diagnosis, - Untuk dapat menghilangkan
pengobatan dan prognosis
ketegangan dari klien mengenai
3. Anjurkan keluarga untuk tetap masalah yang sedang dihadapi
bersama pasien
4. Latih kegiatan pengalihan
untuk mengurangi ketegangan

2) INTRA OPERASI
No Diagnosa Tujuan dan Kriteria
Intervensi Rasional
. Keperawatan Hasil

1. Risiko Setelah dilakukan asuhan O: - Untuk mencegah


Perdarahan keperawatan 1x menit, 1. Monitor tanda dan gejala
terjadinya perdarahan
berhubungan diharapkan tingkat perdarahan
dengan perdarahan menurun
tindakan dengan kriteria hasil :
pembedahan 1. Perdarahan pasca
operasi menurun

3) POST OPRASI

1. Gangguan Setelah dilakukan Dukungan Mobilisasi - Untuk mengetahui


mobilitas fisik tindakan keperawatan Observasi kemampuanklien dalam
berhubungan 3 x 24 jam diharapkan 1. Identifikasi kemampuan pasien
melakukan mobilisasi
dengan mobilitas fisik dalam mobilisasi
meningkat dengan 2. Monitor tanda-tanda vital - Untuk mengetahui
kerusakan
kriteria hasil:
integritas tanda-tanda vital klien
1. Pergerakkan Terapeutik
struktur tulang ekstremitas 1. Libatkan keluarga untuk - Agar keluarga klien
(fraktur) meningkat membantu pasien dalam dapat membantu klien
2. Kekuatan otot meningkatan pergerakan
dalam meningkatkan
meningkat
3. Gerakan terbatas Edukasi pergerakan
1. Anjurkan mobilisasi dini
menurun - Untuk melatih klien
2. Ajarkan mobilisasi sederhana
4. Kelemahan fisik
yang harus dilakukan (mis. melakukan mobilisasi
menurun
Duduk ditempat tidur, duduk dini
5. Aktivitas meningkat
disisi tempat tidur, pindah dari
- Agar klien dapat
tempat tidur ke kursi)
melakukan Latihan
pergerakan dengan
melakukan mobilisasi
sederhana
2. Resiko infeksi Setelah dilakukan Pencegahan infeksi - Untuk mengetahui adanya tanda
berhubungan tindakan keperawatan Observasi dan gejala infeksi
dengan 3 x 24 jam diharapkan 1. Monitor tanda gejala infeksi - Untuk mengurangi paparan
tindakan glukosa derajat infeksi lokal dan sistemik
invasif menurun dengan infeksi
Terapeutik
kriteria hasil :
1. Batasi jumlah pengunjung - Untuk mengurangi terjadinya
1. Demam menurun
2. Nyeri menurun 2. Berikan perawatan kulit pada infeksi pada kulit
3. Kadar sel darah daerah edema
- Untuk mencegah terjadinya
putih membaik 3. Cuci tangan sebelum dan
sesudah kontak dengan pasien infeksi lebih luas
dan lingkungan pasien - Untuk mencegah terjadinya
4. Pertahankan teknik aseptic pada
infeksi
pasien berisiko tinggi
Edukasi - Agar klien mengetahui tanda dan
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi gejala infeksi yang dialami klien
2. Ajarkan cara memeriksa luka - Agar klien dapat memeriksa luka
3. Anjurkan meningkatkan asupan
cairan secara mandiri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian
imunisasi, jika perlu

3. Hipotermia Setelah dilakukan O: -Membantu mengetahui mengenali


berhubungan asuhan keperawatan 1. Monitor tanda dan gejala tanda dan gejala hipotermia
dengan 1x menit, diharapkan hipotermia
-Agar mengetahui suhu tubuh pasien
terpapar suhu termoregulasi 2. Monitor suhu tubuh
lingkungan membaik dengan dan memberikan intervensi yang
rendah kriteria hasil : T :
1. Lakukan penghangatan pasif sesuai
1. Menggigil
menurun (mis. selimut) -Untuk mengurangi menggigil pasien
2. Suhu tubuh E:
1. Jelaskan tanda dan gejala dan agar pasien lebih merasa
membaik 36oC
3. Akral membaik hipotermia nyaman
K :-
-Membantu memberikan pemahaman
pada pasien mengenai mengenal
tanda dan gelaja hipotermia
5. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah tahap ketika perawat mengaplikasikan asuhan
keperawatan ke dalam bentuk intervensi keperawatan guna membantu klien
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kemampuan yang harus dimiliki
perawat pada tahap implementasi adalah kemampuan komunikasi yang
efektif, kemampuan untuk menciptakan hubungan saling percaya dan saling
bantu, kemampuan melakukan teknik psikomotor, kemampuan melakukan
observasi sistematis, kemampuan memberikan pendidikan kesehatan,
kemampuan advokasi, dan kemampuan evaluasi (Asmadi, 2008).

6. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi merupakan langkah proses keperawatan yang memungkinkan
perawat untuk menentukan apakah intervensi keperawatan telah berhasil
meningkatkan kondisi klien (Potter & Perry, 2009). Evaluasi terbagi atas
dua jenis, yaitu evaluasi formatif dan evaluasi sumatif. Evaluasi formatif
berfokus pada aktivitas proses keperawatan dan hasil tindakan keperawatan.
Evaluasi formatif ini dilakukan segera setelah perawat
mengimplementasikan rencana keperawatan guna menilai keefektifan
tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Perumusan evaluasi formatif
ini meliputi empat komponen yang dikenal dengan istilah SOAP, yakni
subjektif (data berupa keluhan klien), objektif (data hasil pemeriksaan),
analisis data (pembandingan data dengan teori), dan perencanaan (Asmadi,
2008).
WOC CLOSED FRAKTUR

Jatuh

Trauma Langsung

FAKTUR

Pergeseran fragmen tulang

Pre Op. Post Op.

Timbul respon stimulus nyeri Kurang terpapar Tindakan Pembedahan MK : Risiko Tindakan ORIF
informasi mengenai Infeksi
Pengeluaran histamin prosedur pembedahan Pemasangan traksi pen, Pemasangan platina/
kawat scrup, dan plat Fiksasi eksternal
Ancaman kematian
Reaksi nosiseptor Port de entry
kuman Perawatan
Krisis situsional Luka insisi
Respon reflek post op.
protektif pada tulang Kerusakan
MK : Ansietas MK: Kerusakan
pertahanan primer Gangguan
Integritas Jaringan
MK : Nyeri Akut fungsi tulang

MK : Nyeri MK : Gangguan
Akut Mobilitas Fisik
Intra Op. Post Op.

Intra Operasi Post Operasi

Pemajanan Lingkungan Yang


Trauma
Dingin/Terpapar Udara Dingin
Pembuluh Darah

MK :
Pendarahan Hipotermia

Kehilangan
Volume Cairan

MK : Resiko
Pendarahan
DAFTAR PUSTAKA

Andini, Widiyawati. 2018. Penerapan Mobilisasi Dini Pada Asuhan Keperawatan


Pasien Post Operasi Fraktur Femur dengan Gangguan Pemenuhan
Kebutuhan Aktivitas Di RSUD Sleman. Karya Tulis Ilmiah diterbitkan.
Yogyakarta: Jurusan Keperawatan Politeknik Kesehatan Kementrian
Kesehatan.
Asmadi, 2008. Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: EGC.
Brunner.Suddarth. (2013) . Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta:
diagnosa medis dan NANDA NIC NOC jilid 2, Yogyakarta : Mediaction
EGC
Desiartama, A. and Aryana, I. G. N. W. 2017, 'Gambaran Karakteristik Pasien
Fraktur Femur Akibat Kecelakaan Lalu Lintas pada Orang Dewasa di
Rumah Sakit Umum Pusat Sanglah Denpasar Tahun 2013, E-jurnal
Medika, vol. 6, no. 5, pp. 1-4.
Helmi, Z.N., 2012. Buku Saku Kedaruratan di Bidang Bedah Ortopedi. Jakarta:
Salemba Medika.
Helmi, Z.N., 2016. Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal Ed.2. Jakarta : Salemba
Medika.
Hoppenfeld Stanley dan Murthy Vasanhaal.2008. Terapi dan Rehabilitasi Fraktur.
Jakarta: EKG.
Kneale, Julia & Peter Davis. 2011. Keperawatan Ortopedik & Trauma Edisi 2.
Jakarta: EGC
Lukman and Ningsih, N. 2009, Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Muskuloskeletal. Salemba Medika, Jakarta pp. 25-29.
Muttaqin, A., 2008. Asuhan Keperawatan Klien Gangguan Sistem
Muskuloskeletal. Jakarta: EGC.
Muttaqin, A., 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal : Aplikasi pada
Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC.
Ningsih, L.&.N., 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gnagguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : Salemba Medika.
Noorisa, R., Apriliwati, D., Aziz, A. and Bayusentono, S. 2017, 'The
Characteristic of Patients With Femoral Fracture in Department of
Orthopaedic and Traumatology RSUD Dr. Soetomo Surabaya 2013 –
2016', Journal of Orthopaedi & Traumatology Surabaya, vol. 6, no. 1, pp.
67–72.
Noor, Z. 2016, Buku Ajar Gangguan Muskuloskeletal. 2nd ed. Salemba Medika,
Jakarta pp. 524-534.
Nurarif A H. Kusuma H. 2015. Aplikasi asuhan keperawatan berdasarkan
Publishing.
Potter & Perry. 2009. Fundamental Keperawatan. Edisi 7. Jakarta : Salemba
Medika
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. (2018). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth, edisi 8. Jakarta : EGC.
Sjamsuhidajat, R., 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Jakarta:
EGC.
Subagyo. (2013). Rekontruksi Anterior Cruciata Ligament (ACL) dengan
Arthroscopy.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia.
Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Tindakan Keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia:
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan, edisi 1. Jakarta: DPP PPNI.

Anda mungkin juga menyukai