LK Fraktur Igd

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 31

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN KEGAWATDARURATAN

PRAKTEK KLINIK KEGAWATDARURATAN

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT DENGAN SINGLE FRACTURE


(CLOSED FRACTURE 1/3 DISTAL RADIUS SINISTRA) PADA NY.M DI RUANG
IGD RSUD SULTAN FATAH DEMAK

Disusun Oleh :
SISKA YULIANI
P1337420119100
3A2

DIPLOMA III KEPERAWATAN SEMARANG

JURUSAN KEPERAWATAN

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES SEMARANG

2022
LAPORAN PENDAHULUAN

I. Fokus Assesment (Bentuk Pathway)

A. Konsep Fraktur

1. Definisi Fraktur

Fraktur adalah patah tulang yang biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga

fisik. Kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan ulang, dan jaringan lunak di

sekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak

lengkap (Nurarif & H.Kusuma, 2015)

Fraktur merupakan suatu istilah dari hilangnya kontinuitas pada tulang yang

disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot, kulit, jaringan saraf, dan

pembuluh darah yang disebabkan oleh akibat dari trauma langsung (Nurarif &

H.Kusuma, 2015).

Dari definisi tersebut dapat diartikan bahwa fraktur merupakan patah tulang

atau terputusnya hubungan kontinuitas jaringan yang disebabkan oleh kekerasan atau

trauma dari luar maupun dalam.

2. Klasifikasi Fraktur

Kejadian fraktur dapat sangat bervariasi, untuk alasan yang praktis fraktur

dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu :

a. Berdasarkan sifat fraktur (luka yang ditimbulkan)

1) Fraktur Terbuka

Adalah patahan tulang yang menembus kulit dan memungkinkan adanya

hubungan dengan dunia luar serta menjadikan adanya kemungkinan

masuknya kuman atau bakteri kedalam luka. Berdasarkan tingkat


keparahannya fraktur terbuka dapat dikelompokkan menjadi tiga

kelompok, yaitu sebagai berikut :

a) Derajat I

Kulit terbuka <1 cm, biasanya dari dalam keluar, memar otot yang

ringan disebabkan oleh energi rendah atau fraktur dengan luka terbuka

menyerong pendek.

b) Derajat II

Kulit terbuka >1 cm tanpa kerusakan jaringan lunak yang luas,

komponen penghancuran minimal sampai sedang, fraktur dengan luka

terbuka melintang sederhana dengan pemecahan minimal.

c) Derajat III

Kerusakan jaringan lunak yang lebih luas, termasuk otot, kulit,

dan struktur neurovaskuler, cedera yang disebabkan oleh energi tinggi

dengan kehancuran komponen tulang yang parah. Pada derajat III ini

juga dapat dibagi lagi sebagai berikut :

- Derajat III A

Laserasi : jaringan lunak yang luas, cakupan tulang yang memadai,

fraktur segmental, pengupasan periosteal minimal.

- Derajat III B

Cidera jaringan lunak yang luas dengan pengelupasan periosteal

dan paparan tulang yang membutuhkan penutupan jaringan lunak,

biasanya berhubungan dengan kontaminasi masif.

- Derajat III C

Cedera vascular yang membutuhkan perbaikan.


2) Fraktur tertutup

Fraktur tetutup adalah patahan tulang yang tidak mengakibatkan robeknya

kulit sehingga tidak ada kontak dengan dunia luar. Fraktur tertutup

diklasifikasikan berdasarkan tingkat kerusakan jaringan lunak serta

mekanisme cedera tidak langsung dan cedera langsung yaitu antara lain :

a) Derajat 0

Cedera akibat kekuatan yang tidak langsung dengan kerusakan

jaringan lunak yang tidak begitu berarti.

b) Derajat 1

Fraktur tertutup yang disebabkan oleh mekanisme energi rendah

sampai sedang dengan abrasi superfisial atau memar pada jaringan

lunak di permukaan situs fraktur.

c) Derajat 2

Fraktur tertutup dengan memar yang signifikan pada otot, yang

mungkin dalam kulit lecet terkontaminasi yang berkaitan dengan

mekanisme energi sedang hingga berat dan cedera tulang sangat

beresiko terkena sindrom kompartemen.

d) Derajat 3

Kerusakan jaringan lunak yang luas atau avulsi subkutan dan gangguan

ateri atau terbentuk sindrom kompartemen.

a. Berdasarkan komplit atau ketidakkomplitan pada fraktur :

1) Fraktur komplit
Yaitu fraktur dimana terjadi patahann diseluruh penampang tulang,

biasanya disertai dengan perpindahan posisi tulang.

2) Fraktur inkomplit

Yaitu fraktur yang terjadi hanya pada sebagian dari garis tengah tulang.

b. Berdasarkan bentuk garis patah :

1) Fraktur tranfersal

Fraktur yang arah garis patahnya melintang pada tulang yang merupakan

akibat trauma angulasi atau langsung.

2) Fraktur oblik

Fraktur yang arah garis patahnya membentuk sudut terhadap sumbu tulang

dan merupakan akibat dari trauma angulasi atau langsung juga.

3) Fraktur spiral

Fraktur yang arah garis patahannya berbentuk spiral yang disebabkan oleh

trauma rotasi.

4) Fraktur kompresi

Fraktur yang terjadi karena trauma aksial fleksi yang mendorong tulang ke

arah permukaan lain.

5) Fraktur avulsi

Fraktur yang disebabkan karena trauma tarikan atau traksi otot dalam

inersinya pada tulang.

c. Berdasarkan jumlah garis patah :

1) Fraktur komunitif

Fraktur dimana garis patahannya lebih dari satu dan saling berhubungan.

2) Fraktur segmental

Fraktur dimana garis patahannya lebih dari satu tetapi tidak berhubungan.
3) Fraktur multiple

Fraktur dimana garis patahannya lebih dari satu tetapi tidak pada tulang

yang sama.

d. Berdasarkan pergerseran fragmen tulang :

1) Fraktur undisplaced (tidak bergeser)

Garis patah yang lengkap tetapi kedua fragmen tidak bergeser dan

periosteum masih utuh.

2) Fraktur displaced (bergeser)

Garis patah yang lengkap dan kedua fragmen bergeser baik secara

pergeseran searah sumbu, pergeseran yang membentuk dan pergeseran

dimana kedua fragmen saling menjauh.

3. Etiologi

Penyebab fraktur adalah trauma, yang dibagai atas trauma lanngsung, trauma

tidak langsung, dan trauma ringan. Trauma langsung yaitu benturan pada tulang,

biasanya penderita terjatuh dengan posisi miring dimana daerah trokhater mayor

langsung terbentur dengan benda keras sedangkan trauma tidak langsung, yaitu

titik tumpuan benturan dan fraktur berjauhan, misalny jatuh terplesert di kamar

mandi. Pada trauma ringan yaitu merupakan keadaan yang dapat menyebabkan

fraktur bila tulang itu sendiri sudah rapuh atau fraktur patologis.

Menurut (Sugeng & Kristiyanisari, 2010) penyebab fraktur dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu :

a. Cedera traumatik

Cedera traumatik pada tulang dapat disebabkan oleh :


1. Cedera langsung adalah pukulan langsung terhadap tulang sehingga tulang

patah secara spontan.

2. Cedera tidak langsung adalah pukulan langsung berada jauh dari lokasi

benturan, misalnya jatuh dengan tangan berjulur sehingga menyebabkan

fraktur klavikula.

3. Fraktur yang disebabkan kontraksi keras yang mendadak

b. Fraktur patologik

Kerusakan tulang akibat proses penyakit dengan trauma minor

mengakibatkan :

1. Tumor tulang dalah pertumbuhan jaringan baru yang tidak terkendali

2. Infeksi seperti ostemielitis dapat terjadi sebagai akibat infeksi akut atau

dapat timbul salah satu proses yang progresif

3. Rakhitis, suatu penyakit tulang yang disebabkan oleh defisiensi vitamin D

yang mempengaruhi semua jaringan skelet lain, biasanya disebabkan oleh

defisiensi diet, tetapi kadang – kadang dapat disebabkan oleh kegagalan

absorbs vitamin D atau oleh karena asupan kalsium/fosfat yang rendah.

4. Secara spontan disebabkan oleh stress tulang yang terus menerus misalnya

pada penyakit polio dan orang yang bertugas di kemiliteran.

4. Manifestasi Klinis

Menurut (Black, 2014) mendiagnosis fraktur harus berdasarkan manifestasi klinis

klien, riwayat, pemeriksaan fisik, dan temuan radiologis. Pengkajian fisik dapat

menemukan beberapa hal berikut :


a. Deformitas : Pembengkakan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan

deformitas pada lokasi fraktur. Spasme otot dapat menyebabkan pemendekan

tungkai, deformitas rotasional, atau angulasi.

b. Pembengkakan yaitu edema muncul sebagai akibat dari akumulasi cairan

serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi darah ke jaringan sekitar.

c. Memar (ekimosis) yaitu memar terjadi karena pendarahan subkutan pada

lokasi fraktur.

d. Nyeri : Nyeri terus-menerus meningkat jika fraktur tidak dimobilisasi. Hal ini

terjadi karena spasme otot, fragmen fraktur yang bertindihan, atau cedera pada

struktur sekitarnya.

e. Ketegangan : Ketegangan disebabkan oleh cedera yang terjadi.

f. Kehilangan fungsi : Terjadi karena nyeri yang disebabkan hilangnya fungsi

pengungkit-lengan pada tungkai yang terkena. Kelumpuhan juga dapat terjadi

dari cedera saraf.

g. Perubahan neurovascular : Terjadi akibat kerusakan saraf perifer atau struktur

vaskular yang terkait. Klien dapat mengeluhkan rasa kebas, kesemutan atau

tidak teraba nadi pada daerah distal dari fraktur

h. Spasme otot : Spasme otot involuntar berfungsi sebagai bidai alami untuk

mengurangi gerakan lebih lanjut dari fragmen fraktur.

i. Gerakan abnormal dan krepitasi : Terjadi karena gerakan dari bagian tengah

tulang atau gesekan antar fragmen fraktur yang menciptakan sensasi dan suara

deritan.

j. Syok : Fragmen tulang dapat merobek pembuluh darah. Perdarahan besar atau

tersembunyi dapat menyebabkan syok.


5. Faktor Yang Mempengaruhi Fraktur

Berikut ini merupakan faktor yang mempengaruhi fraktur, antara lain :

a. Faktor intrinsik

Sifat dari tulang yang terpenting yang dapat menentukan daya tahan untuk

timbulnya fraktur seperti kapasitas absorbs dari tekanan, elastisitas, kelelahan,

dan kepadatan atau kekerasan tulang.

b. Faktor ektrinsik

Adanya tekanan dari luar yang bereaksi pada tulang yang tergantung terhadap

besar, waktu, dan arah tekanan yang dapat menyebabkan fraktur.

c. Faktor yang mempengaruhi percepatan penyembuhan fraktur :

1. Immobilisasi fragmen tulang

2. Kontak fragmen maximal

3. Vaskularisasi darah yang memadai

4. Nutrisi yang baik

5. Latihan beban pada tulang panjang

6. Hormon pertumbuhan : tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik

d. Faktor yang menghambat percepatan penyembuhan fraktur :

1. Trauma lokan ekstensif

2. Kehilangan tulang

3. Immobilisasi tidak optimal

4. Adanya rongga atau jaringan diantara fragmen tulang

5. Infeksi

6. Keganasan total

7. Penyakit tulang metabolik

8. Radiasi tulang
9. Usia

10. Kortikosteroid

6. Patofisiologi

Fraktur adalah gangguan pada tulang yang disebabkan oleh trauma langsung,

tidak langsung, kontraksi otot dan kondisi patologis. Pergeseran fragmen tulang

akibat fraktur dapat menimbulkan nyeri akut. Hal ini juga dapat menyebabkan

tekanan pada sumsum tulang lebih tinggi dari kapiler lalu melepaskan

katekolamin yang dapat mengakibatkan metabolisme asam lemak yang

menyebabkan emboli dan penyumbatan pembuluh darah (Andri et al., 2020).

Spasme otot dapat meningkatkan tekanan kapiler lalu menyebabkan protein

plasma hilang karena pelepasan histamin yang akhirnya menyebabkan edema.

Pergeseran fragmen tulang mengakibatkan gangguan fungsi ekstremitas. Laserasi

kulit dapat menyebabkan infeksi, putusnya arteri atau vena saat terjadi fraktur

dapat menyebabkan kehilangan volume cairan (perdarahan) yang berakibat terjadi

syok hipovolemik (Andri et al., 2020). Dalam proses pemulihan fraktur, meliputi :

a. Fase Inflamasi

Fase inflamasi terjadi segera setelah luka dan berakhir 3 – 4 hari, dua

proses utama yang terjadi pada fase ini yaitu hemostasis dan fagositosis.

Hemostasis (penghentian perdarahan) terjadi akibat fase kontriksi pembuluh

darah besar di daerah luka. Bekuan darah dibentuk oleh trombosit yang

menyiapkan matriks fibrin yang menjadi kerangka bagi pengambilan sel.

Fagositosis merupakan perpindahan sel leokosit ke daerah interestisial.

Tempai ini ditempati oleh makrofag yang keluar dari monosit selama kurang

lebih 24 jam setelah cedera. Makrofag juga mengeluarkan faktor angiogenesis


yang merangsang pembentukan ujung epitel diakhir pembuluh darah akan

mempercepat proses penyembuhan.

b. Fase Proliferasi

Fase proliferasi yaitu fase dimala sel – sel berproliferasi dari lapisan

dalam periosteum sekitar lokasi fraktur sel – sel ini menjadi osteoblast, sel ini

aktif tumbuh ke arah fragmen tulang dan juga terjadi di jaringan sumsum

tulang. Fase ini terjadi setelah hari ke – 2 pasca fraktur.

c. Fase Pembentukan Kallus

Pada fase ini pertumbuhan jaringan berlanjut dan lingkaran tulang

rawan tumbuh mencapai sisi lain sampai celah sudah terhubungkan. Fragmen

patahan tulang dihubungkan dengan jaringan fibrossa. Diperlukan waktu 3 – 4

minggu agar fragmen tulang tergabung dalam tulang rawan atau jaringan

fibros. Secara klinis fragmen tulang sudah tidak bisa digerakkan lagi.

d. Fase Konsolidasi

Pada fase ini kallus mengeras dan terjadi proses konsolidasi, fraktur

teraba telah menyatu secara bertahap menjadi tulang mature. Fase ini terjadi

pada minggu ke 3 – 10 setelah fraktur.

e. Fase Remodelling

Pada fase remodelling ini perlahan akan terjadi resorpsi secara

osteoklastik dan osteoblastik pada tulang serta kallus eksterna secara perlahan

– lahan menghilang. Kallus intermediat berubah menjadi tulang yang kompak

dan kallus bagian dalam akan mengalami peronggaan untuk membentuk


sumsum. Pada fase ini remodelling dimulai dari minggu ke 8 – 12 (Andri et

al., 2020)/
7. Pathways

Trauma Langsung Trauma Tidak Langsung Kondisi Patologis

Fraktur

Pergeseran Fragmen Tulang

Diskontinuitas tulang Timbul respon stimulus nyeri Tindakan ORIF / OREF

Fraktur Terbuka Fraktur Tertutup Pengeluaran Histamin Pemasangan


platina/fiksasi
internal eksternal
Respon reflek protektif
pada tulang
Perubahan fragmen Gangguan fungsi
tulang tulang
Nyeri Akut
Spasme otot, rupture
vena/arteri Gangguan Mobilitas
Fisik

Protein Plasma Darah

Edema

Penekanan pembuluh
darah

Ketidakefektifan
perfusi jaringan Sumber : (Black, 2014)
8. Pemeriksaan Penunjang

Untuk menegakkan diagnosa fraktur dilakukan beberapa pemeriksaan penunjang

tersebut diantaranya adalah sebagai berikut :

a. Pemeriksan Rontgen

Untuk menentukan lokasi, luas fraktur atau trauma yang dialami

b. Scan tulang, scan CT/MRI

Untuk memperlihatkan fraktur dan juga dapat digunkaan untuk

mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak

c. Arteriogram

Pemeriksaan arteriogram dilakukan apabila kerusakan pada vaskuler dicurigai.

d. Hitung darah lengkap

Ht mungkin meningkat (hemokonsentrasi) atau menurun (perdarahan

bermakna pada sisi fraktur atau organ jauh pada trauma multiple).

e. Kreatinin

Trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klien ginjal.

f. Profil koagulasi

Perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah transfuse multiple, atau cedera

hari (doenges dalam jitowiyono, 2016).

9. Penatalaksanaan

a. Penatalaksanaan medik

1) Fraktur terbuka

Merupakan kasus emergency karena dapat terjadi kontaminasi oleh bakteri

dan disertai perdarahan yang hebat dalam waktu 6 – 8 jam (golden periode).

Hal yang perlu dilakukan adalah :


a) Pembersihan luka

b) Eksisi jaringan mati/debridemen

c) Hecting situation

d) Antibiotik

2) Seluruh fraktur

a) Rekognisi atau pengenalan

Prinsip pertama adalah mengetahui dan menilai keadaan fraktur dengan

anamnesis, pemeriksaan fisik dan radiologi, pada awal pengobatan harus

perlu diperhatikan lokasi fraktur, bentuk fraktur, menentukan teknik yang

sesuai untuk pengobtan komplikasi yang mungkin terjadi selama dan

sesudah pengobatan.

b) Reduksi

Upaya untuk memanipulasi fragmen tulang sehingga kembali seperti

semula secara optimum. Dapat juga diartikan reduksi fraktur (strating

tulang) adalah mengembalikkan fragmen tulang pada kesejajarannya dan

rotasfanatimis.

Reduksi tetutup traksi atau reduksi terbuka dapat dilakukan untuk

mereduksi fraktur, namun prinsip yang mendasarnya tetap sama. Biasanya,

dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah

jaringan lunak kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan

perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit

bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.

Reduksi tertutup dengan mengembalikkan fragmen tulang keposisinya

(ujung – ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi

manual, ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan.


Sementara, gips, bidai, dan alat kait dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi

akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan

tulang. Sinar x – ray dilakukan untuk mengetahui apakah fragmen tulang

telah dalam kesejajaran yang benar. Traksi dapat digunakan untuk

mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan

dengan spasme otot yang terjadi. Sinar – X digunakan untuk memantau

reduksi fraktur dan aproksimasi fragmen tulang. Ketika tulang sembuh

akan terlihat pembentukan kalus pada sinar – X. Ketika kalus telah kuat

dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.

Reduksi terbuka pada fraktur tertentu memerlukan pendekatan bedah,

fragmen tulang di reduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat,

sekrup, plat, paku, atau batangan logam digunakan untuk memperthankan

fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang solid

terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau langsung ke rongga

sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aprokasimasi dan fiksasi yang kuat

bagi fragmen tulang.

c) Retensi atau imobilisasi fraktur

Upaya yang dilakukan untuk menahan fragmen tulang sehingga

kembali seperti semula secara optimum imobilisasi fraktur. Setelah fraktur

direduksi, fragmen tulang harus dimobilisasi, atau dipertahankan dalam

posisi kesejajaran yang besar sampai terjadi penyatuan. Immobilisasi dapat

dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksterna

meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau

fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna

yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.


a) Rehabilitasi

Rehabilitasi merupakan tindakan mengembalikan aktivitas fungsional

semaksimal mungkin.

b. Penatalaksanaan Keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan adalah sebagai berikut :

1) Terlebih dahulu perhatikan adnaya perdarahan, syok, dan penurunan

kesadaran, baru periksa adanya patah tulang.

2) Atur posisi tujuannya untuk menimbulkan rasa nyaman, mencegah

komplikasi.

3) Pemantauan neurocirculatory pada daerah yang cedera adalah :

a. Meraba lokasi apakah masih hangat

b. Observasi warna

c. Menekan pada akar kuku dan perhatikan pengisian kembali kapiler

d. Tanyakan pada pasien mengenai rasa nyeri atau hilang sensasi pada lokasi

cedera

e. Meraba lokasi cedera apakah bisa membedakan rasa sensasi nyeri

f. Observasi apakah daerah fraktur bisa digerakkan

4) Pertahankan kekuatan dan pergerakan

5) Mempertahankan gizi, makanan tinggi serat anjurkan protein 150 – 300 gr/hari

6) Memperhatikan imobilisasi fraktur yang telah di reduksi dengan tujuan untuk

mempertahankan fragmen yang telah dihubungkan tetap pada tempatnya

sampai sembuh (Wijaya, A. S., & Putri, 2013).


10. Komplikasi Fraktur

Menurut (Smeltzers and Bare’s, 2016) dalam Buku Ajar Keperawatan Medikal

Bedah Brunner & Suddarth, komplikasi fraktur dibagi menjadi 2 yaitu:

a. Komplikasi awal

1) Syok

Syok hipovolemik akibat dari perdarahan karena tulang merupakan organ

yang sangat vaskuler maka dapat terjadi perdarahan yang sangat besar

sebagai akibat dari trauma khususnya pada fraktur femur dan fraktur

pelvis.

2) Emboli lemak

Pada saat terjadi fraktur, globula lemak dapat masuk kedalam darah karena

tekanan sumsum tulang lebih tinggi dari tekanan kapiler dan katekolamin

yang dilepaskan memobilisasi asam lemak kedalam aliran darah. Globula

lemak ini bergabung dengan trombosit membentuk emboli yang dapat

menyumbat pembuluh darah kecil yang memasok darah ke otak, paru-

paru, ginjal dan organ lainnya.

3) Compartment Syndrome

Compartment syndrome merupakan masalah yang terjadi saat perfusi

jaringan dalam otot kurang dari yang dibutuhkan. Hal ini disebabkan oleh

karena penurunan ukuran fasia yang membungkus otot terlalu ketat,

balutan yang terlalu ketat dan peningkatan isi kompartemen karena

perdarahan atau edema.

4) Komplikasi awal lainnya seperti infeksi, tromboemboli dan koagulopati

intravaskular.
b. Komplikasi lambat

1) Delayed union, malunion, nonunion

Penyatuan terlambat (delayed union) terjadi bila penyembuhan tidak

terjadi dengan kecepatan normal berhubungan dengan infeksi dan distraksi

(tarikan) dari fragmen tulang. Tarikan fragmen tulang juga dapat

menyebabkan kesalahan bentuk dari penyatuan tulang (malunion). Tidak

adanya penyatuan (nonunion) terjadi karena kegagalan penyatuan ujung-

ujung dari patahan tulang.

2) Nekrosis avaskular tulang

Nekrosis avaskular terjadi bila tulang kekurangan asupan darah dan mati.

Tulang yang mati mengalami kolaps atau diabsorpsi dan diganti dengan

tulang yang baru. Sinar-X menunjukkan kehilangan kalsium dan kolaps

structural.

3) Reaksi terhadap alat fiksasi internal

Alat fiksasi interna diangkat setelah terjadi penyatuan tulang namun pada

kebanyakan pasien alat tersebut tidak diangkat sampai menimbulkan

gejala. Nyeri dan penurunan fungsi merupakan indikator terjadinya

masalah. Masalah tersebut meliputi kegagalan mekanis dari pemasangan

dan stabilisasi yang tidak memadai, kegagalan material, berkaratnya alat,

respon alergi terhadap logam yang digunakan dan remodeling osteoporotic

disekitar alat.
B. Konsep Nyeri Akut

1. Definisi

Nyeri adalah suatu perasaan individu bersifat subjektif yang tidak

menyenangkan. Nyeri adalah pengalaman sensori emosional yang tidak

menyenangkan akibat dari kerusakan jaringan yang aktual dan potensial (Brunnert

and Suddarth’s, 2018).

2. Klasifikasi

Nyeri diklasifikasikan berdasarkan beberapa hal, antara lain :

1) Berdasarkan waktu durasi nyeri :

a. Nyeri akut

Nyeri yang berlangsung kurang dari 3 bulan, mendadak akibat trauma atau

inflamasi, tanda respons simpatis, penderita anxietas sedangkan keluarga

suportif.

b. Nyeri Kronik

Nyeri yang berlangsung lebih dari 3 bulan, hilang timbul atau terus

menerus, tanda respons parasimpatis, penderita depresi sedangkan

keluarga lelah.

2) Berdasarkan etiologi

a. Nyeri nosiseptif : rangsang timbul oleh mediator nyeri, seperti pada pasca

trauma operasi dan luka bakar

b. Nyeri neuropatik: rangsang oleh kerusakan saraf atau disfungsi saraf,

seperti pada diabetes mellitus, herpes zooster.

3) Berdasarkan lokasi
a. Nyeri superfisial : nyeri pada kulit, subkutan, bersifat tajam, terlokasi.

b. Nyeri somatik dalam: nyeri berasal dari otot, tendo, tumpul, kurang

terlokasi.

c. Nyeri visceral: nyeri berasal dari organ internal atau organ

pembungkusnya, seperti nyeri kolik gastrointestinal dan kolik ureter.

d. Nyeri alih/referensi: masukan dari organ dalam pada tingkat spinal

disalahartikan oleh penderita sebagai masukan dari daerah kulit pada

segmen spinal yang sama

e. Nyeri proyeksi: misalnya pada herpes zooster, kerusakan saraf

menyebabkan nyeri yang dialihkan ke sepanjang bagian tubuh yang

diinervasi oleh saraf yang rusak tersebut sesuai dermatom tubuh.

f. Nyeri phantom: persepsi nyeri dihubungkan dengan bagian tubuh yang

hilang seperti pada amputasi ekstremitas

3. Fisiologi Nyeri

Fisiologi nyeri termasuk suatu rangkaian proses neurofisiologis kompleks

yang disebut sebagai nosiseptif (nociception) yang merefleksikan empat proses

komponen yang nyata yaitu transduksi, transmisi, modulasi dan persepsi, dimana

terjadinya stimuli yang kuat diperifer sampai dirasakannya nyeri di susunan saraf

pusat (cortex cerebri).

4. Faktor yang mempengaruhi nyeri

Faktor yang mempengaruhi nyeri diantaranya persepsi nyeri, usia, jenis

kelamin, faktor sosiobudaya, pengalaman masa lalu (Black, 2014) :

a. Persepsi nyeri

Persepsi nyeri merupakan persepsi individu menerima dan

menginterpretasikan nyeri berdasarkan pengalaman masing-masing. Nyeri


yang dirasakan tiap individu berbeda-beda. Persepsi nyeri dipengaruhi oleh

toleransi individu terhadap nyeri.

b. Faktor sosial – budaya

Faktor sosiobudaya merupakan faktor penting dalam respons individu

terhadap nyeri. Respon terhadap nyeri cenderung merefleksikan moral dan

budaya masing-masing.

c. Usia

Usia dapat mengubah persepsi dan pengalaman nyeri. Individu yang berumur

lebih tua mempunyai metabolisme yang lebih lambat dan rasio lemak tubuh

terhadap masa otot lebih besar dibanding individu berusia lebih muda,

sehingga analgesik dosis kecil mungkin cukup untuk menghilangkan nyeri.

d. Jenis kelamin

Jenis kelamin dapat menjadikan faktor yang dapat mempengaruhi respon

nyeri. Pada dasarnya pria lebih jarang melaporkan nyeri dibandingkan wanita.

e. Pengalaman masa lalu

Pengalaman sebelumnya mengenai nyeri mempengaruhi persepsi akan nyeri

yang dialami saat ini. Individu yang memiliki pengalaman negatif dengan

nyeri pada masa kanak-kanak dapat memiliki kesulitan untuk mengelola nyeri.

5. Penatalaksanaan Nyeri

Menurut (Sutarni et al,, 2019) yang dilakukan seorang perawat untuk mengurangi

nyeri yang dirasakan pasien adalah sebagai berikut :

a. Teknik farmakologi

1. Analgesic non – opioid


Merupakan jenis obat analgesik yang paling umum digunakan, mekanisme

kerja dari obat golongan ini adalah pada reseptor nyeri yang berada di

daerah sekitar nyeri.

2. Analgesic opioid

Analgesik opioid digunakan untuk mengurangi nyeri sedang sampai berat,

terutama pada bagian viseral. Penggunaan opioid unuk beberapa kasus

nyeri, pengobatan sebaiknya diawasi oleh dokter spesialis dan kondisi

sebaiknya dikaji pada setiap interval tertentu.

3. Analgesik adjuvat

Analgesik adjuva adalah obat yang biasanya digunaka untuk indikasi

selain kontrol nyeri tetapi memberikan kontrol rasa sakit pada beberapa

penyakit.

b. Teknik Non – farmakologi

1. Relaksasi

Menarik nafas dalam diberikan bersamaan dengan munculnya rasa nyeri

agar nyeri berkurang.

2. Distraksi

Mengalihkan perhatian pada sesuatu, seperti mendengarkan musik,

mengobrol atau menonton televisi

3. Imaginary

Menggunakan memori dengan membayangkan peristiwa menyenangkan

untuk mengalihkan rasa nyeri.


C. Konsep Gangguan Mobilitas Fisik

1. Definisi

Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu

atau lebih ekstremitas secara mandiri (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017).

Menurut North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) gangguan

mobilitas fisik atau immobilisasi merupakan suatu kedaaan dimana individu yang

mengalami atau berisiko mengalami keterbatasan gerakan fisik (Kozier, Erb,

Berman & Snyder, 2010).

2. Etiologi

Menurut (Tim Pokja SDKI DPP PPNI, 2017), faktor penyebab terjadinya

gangguan mobilitas fisik, antara lain kerusakan integritas struktur tulang,

perubahan metabolisme, ketidakbugaran fisik, penurunan kendali otot, penurunan

massa otot, penurunan kekuatan otot, keterlambatan perkembangan, kekakuan

sendi, kontraktur, malnutrisi, gangguan muskuloskeletal, gangguan

neuromuskular, indeks masa tubuh di atas persentil ke-75 usia, efek agen

farmakologi, program pembatasan gerak, nyeri, kurang terpapar informasi tentang

aktivitas fisik, kecemasan, gangguan kognitif, keengganan melakukan pergerakan,

dan gangguan sensoripersepsi.

3. Tanda dan Gejala


Adapun tanda dan gejala pada gangguan mobilitas fisik menurut (Tim Pokja

SDKI DPP PPNI, 2017) yaitu :

a. Tanda dan Gejala Mayor

Tanda dan gejala mayor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu

mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas. Kemudian, untuk tanda dan gejala

mayor objektifnya, yaitu kekuatan otot menurun, dan rentang gerak menurun.

b. Tanda dan Gejala Minor

Tanda dan gejala minor subjektif dari gangguan mobilitas fisik, yaitu

nyeri saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, dan merasa cemas saat

bergerak. Kemudian, untuk tanda dan gejala minor objektifnya, yaitu sendi

kaku, gerakan tidak terkoordinasi, gerakan terbatas, dan fisik lemah.

4. Dampak yang ditimbulkan

Gangguan mobilitas fisik akan mengakibatkan individu mengalami immobilisasi

yang dapat mempengaruhi sistem tubuh seperti :

a. Perubahan metabolisme

Kecepatan metabolisme dalam tubuh akan turun dengan dijumpainya basal

metabolisme rate (BMR) yang akibatnya energi yang digunakan untuk

perbaikan sel-sel tubuh berkurang sehingga dapat mempengaruhi gangguan

oksigenasi sel. Dampak lainnya seperti anabolisme akan menurun sedangkan

katabolisme akan meningkat yang berisiko meningkatkan gangguan

metabolisme.

b. Ketidakseimbangan cairan dan elektrolit

Cairan dan elektrolit yang tidak seimbang akan mengakibatkan persediaan

protein menurun dan konsentrasi protein serum berkurang yang dapat


mengganggu kebutuhan cairan tubuh. Selain itu, berkurangnya perpindahan

cairan dari intravaskuler menuju interstisial dapat menyebabkan edema.

c. Gangguan perubahan zat gizi

Pemasukan protein dan kalori yang menurun dapat menyebabkan pengubahan

zat-zat makanan pada tingkat sel menurun sehingga tidak cukup untuk

melaksanakan aktivitas metabolisme.

d. Gangguan fungsi gastrointestinal

Makanan yang dicerna akan menurun sehingga dapat menyebabkan keluhan,

seperti perut kembung, mual, serta nyeri lambung yang berdampak pada

proses eliminasi.

e. Perubahan sistem pernafasan

Dampak yang ditimbulkan pada sistem pernapasan, antar lain kadar

hemoglobin menurun, ekspansi paru menurun, dan otot mengalami kelemahan

yang mengganggu proses metabolisme.

5. Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan masalah gangguan

mobilitas fisik yaitu dengan memberikan latihan rentang gerak. Saputra (2013)

berpendapat bahwa penatalaksanaan untuk gangguan mobilitas fisik, antara lain :

a. Pengaturan posisi tubuh sesuai dengan kebutuhan pasien, seperti memiringkan

pasien, posisi fowler, posisi sims, posisi trendelenburg, posisi genupectoral,

posisi dorsal recumbent, dan posisi litotomi.

b. Ambulasi dini

Salah satu tindakan yang dapat meningkatkan kekuatan dan ketahanan otot

serta meningkatkan fungsi kardiovaskular. Tindakan ini bisa dilakukan dengan


cara melatih posisi duduk di tempat tidur, turun dari tempat tidur, bergerak ke

kursi roda, dan yang lainnya.

c. Melakukan aktivitas sehari – hari

Melakukan aktivitas sehari-hari dilakukan untuk melatih kekuatan, ketahanan,

dan kemampuan sendi agar mudah bergerak, serta mingkatkan fungsi

kardiovaskular.

d. Latihan Range of Motion (ROM) aktif/pasif

II. Masalah/Diagnosa Keperawatan

DIAGNOSA KEPERAWATAN

Diagnosa keperawatan merupakan suatu penilaian klinis yang mengenai respon klien

terhadap masalah kesehatan atau proses kehidupan yang dialami baik berlangsung aktual

maupun potensial (SDKI, 2016). Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada

penderita fraktur adalah :

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik (D.0077)

Gejala dan tanda mayor yang mungkin timbul pada pasien dengan nyeri akut yaitu

pasien mengeluh nyeri, tampak meringis, gelisah, dan ketidakmampuan dalam

melakukan aktivitas secara mandiri. Sedangkan gejala dan tanda minor yang mungkin

timbul pada pasien dengan nyeri akut yakni merasa takut mengalami cedera berulang,

bersikap protektif (mis.posisi menghindari nyeri, pola tidur berubah, dan fokus

menyempit) (SDKI, 2017).

b. Gangguan Mobilitas Fisik berhubungan dengan kerusakan integrits struktur tulang

(D.0054)
Gangguan mobilitas fisik adalah keterbatasan dalam gerakan fisik dari satu atau lebih

ekstremitas secara mandiri. Gejala dan tanda mayor yang mungkin timbul pada pasien

dengan gangguan mobilitas fisik adalah mengeluh sulit menggerakkan ekstremitas,

kekuatan otot menurun, rentang gerak (ROM) menurun. Sedangkan gejala dan tanda

minor yang mungkin timbul pada pasien dengan gangguan mobilitas fisik yakni nyeri

saat bergerak, enggan melakukan pergerakan, merasa cemas saat bergerak, sendi

kaku, gerakan terbatas, dan fisik lemah.


III. Intervensi dan Rasionalisasi

PERENCANAAN KEPERAWATAN

No. Diagnosa Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional


1. Nyeri akut berhubungan Tujuan : Manajemen Nyeri (SLKI, L.08238) 1. Mengetahui lokasi,
dengan agen pencedera Setelah dilakukan asuhan Observasi : karakteristik, durasi,
fisik (D.0077) keperawatan selama 1. Identifikasi lokasi, karakteristik, frekuensi, kualitas, dan
1x30 menit maka durasi, frekuensi, kualitas, dan intensitas nyeri
ekspetasi tingkat nyeri intensitas nyeri 2. Mengetahui faktor yang
menurun dengan kriteria 2. Identifikasi faktor yang memperberat memperberat dan
hasil : dan memperingan nyeri memperingan nyeri
3. Identifikasi pengaruh nyeri pada
3. Mengetahui apakah rasa
Tingkat nyeri (SLKI, kualitas hidup
L.08066) 4. Mengobservasi reaksi non verbal nyeri mempengaruhi
1. Keluhan nyeri dari ketidaknyamanan aktivitas klien
menurun 4. Mengenal faktor eksternal
2. Perasaan gelisah Terapeutik : yang memperburuk rasa
menurun 1. Kontrol lingkungan yang nyeri klien
3. Kesulitan tidur memperberat rasa nyeri 5. Memberikan posisi yang
menurun 2. Fasilitasi istirahat dan tidur
nyaman untuk pasien
4. Frekuensi nadi
menurun Edukasi : beristirahat
1. Ajarkan teknik nonfarmakologi 6. Memudahkan klien untuk
untuk mengurangi rasa nyeri melokalisir rasa nyeri
2. Gangguan Mobilitas Tujuan : Dukungan ambulasi (L.06171) 1. Mengidentifikasi adanya
Fisik berhubungan Setelah dilakukan asuhan Observasi : nyeri atau keluhan fisik
dengan kerusakan keperawatan selama 1. Identifikasi adanya nyeri atau lainnya
integritas struktur tulang 1x30 menit maka keluhan fisik lainnya 2. Memonitor toleransi fisik
(D.0054) ekspetasi mobilitas fisik 2. Monitor toleransi fisik melakukan dalam melakukan
meningkat dengan ambulasi ambulasi
kriteria hasil : 3. Monitor frekuensi jantung dan 3. Memonitor frekuensi
tekanan darah sebelum memulai jantung dan tekanan darah
Mobilitas Fisik ambulasi sebelum memulai
(L.05042) 4. Monitor kondisi umum selama ambulasi
1. Pergerakan melakukan ambulasi 4. Memonitor kondisi umum
ekstremitas selama melakukan
meningkat Terapeutik : ambulasi
2. Kekuatan otot 1. Fasilitas aktivitas ambulasi dengan 5. Memfasilitasi aktivitas
meningkat alat bantu (mis. tongkat, kruk) ambulasi dengan alat
3. Rentang gerak 2. Fasilitasi melakukan mobilisasi fisik, bantu
(ROM) jika perlu 6. Memfasilitasi melakukan
meningkat 3. Libatkan keluarga untuk membantu mobilisasi fisik, jika
4. Nyeri menurun pasien dalam meningkatkan perlu
5. Kecemasan ambulasi 7. Melibatkan keluarga
menurun untuk membantu pasien
6. Kelemahan fisik Edukasi : dalam meningkatkan
menurun 1. Jelaskan tujuan dan prosedur ambulsi ambulasi
2. Anjurkan melakukan ambulasi dini 8. Menjelaskan tujuan dan
3. Ajarkan ambulasi sederhana yang prosedur ambulasi
harus dilakukan (mis. berjalan dari 9. Menganjurkan pasien
tempat tidur ke kursi roda) untuk melakukan
ambulasi dini
DAFTAR PUSTAKA

Andri, J., Febriawati, H., Padila, P., J, H., & Susmita, R. (2020). Nyeri pada Pasien Post Op
Fraktur Ekstremitas Bawah dengan Pelaksanaan Mobilisasi dan Ambulasi Dini. Journal
of Telenursing (JOTING), 2(1), 61–70. https://doi.org/10.31539/joting.v2i1.1129

Black, M. J. (2014). Keperawatan Medikal Bedah Manajemen Klinis untuk Hasil yang
Diharapkan. Elsevier: Salemba Medika.

Brunnert and Suddarth’s. (2018). Textbook of Medical Surgical Nursing (C. Janice L. Hinkle,
PhD, RN & R. Kerry H. Cheever, PhD (eds.); 14th ed.). Wolters Kluwer.

Nurarif, A. ., & H.Kusuma. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa


Medis & Nanda, Nic-Noc. Mediactio.

Smeltzers and Bare’s. (2016). Textbook Of Medical Surgical Nursing (Dr Maureen Farrell
(ed.); 2nd ed., Vol. 2). Wolters Kluwer.

Sugeng, J., & Kristiyanisari, W. (2010). Asuhan Keperawatan Post Operas. Nuha Medika.

Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia Definisi dan
Indikator Diagnostik. Dewan Pengurus PPNI.

Wijaya, A. S., & Putri, Y. M. (2013). Keperawatan Medikal Bedah. Nuha Medika.

Anda mungkin juga menyukai