Zamzami, Amir Maliki
Zamzami, Amir Maliki
Zamzami, Amir Maliki
Pendahuluan
Secara historis, pemikiran tasawuf lahir dari ide berkelompok
para zāhid (ahli zuhud) di serambi masjid Madinah.1 Setelah beradu
pengalaman batin dan mengamati konstelasi politik Islam, mereka
mengambil langkah untuk beribadah total dan mengembangkan
1H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Cet. II (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), 36.
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam
Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 p-ISSN 2088-7957; e-ISSN 2442-871X; 435-459
DOI: 10.15642/teosofi.2021.6.2.435-459
Amir Maliki Abitolkha
2 Abad ketiga Hijriyah merupakan awal pertama kali ilmu tasawuf menjadi sebah
ilmu sejajar diantara ilmu-ilmu alam dan agama, diakui satu-satunya ilmu tentang
kebatinan yang mengarah pada teologis adalah ilmu tasawuf. Lihat lebih jelas dalam
Meutia Farida, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era
Modern”, Jurnal Substantia 12, no. 1 (2011), 106-107.
3 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),
57.
4 Ahmad bin Abdul Aziz al-Husain dan Abdullah Mustofa Numsuk, Kesesatan Sufi:
kelembagaan, yakni antar tarekat sufi saling bersaing untuk mendapatkan anggota
dan pengikuti sehingga tidak jarang mereka mendekati penguasa agar mampu
memberikan massa. 2) kekuasaan, dimana pada masa ‘Abbāsīyah dan Turki
Ustmani, tarekat sufi diperhitungkan sebagai basis masa yang berpengaruh terutama
setelah tenggelamnya aliran kalam dan fikih. Lihat Dimyati Sajari, “Keotentikan
Ajaran Tasawuf”, Dialog 38, no. 2 (2015), 146-147.
Mohamad, “Konsep Zikir Darajah dalam Disiplin Ilmu Tarekat”, Jurnal Islam dan
Masyarakat Kontermporer 8, no. 2 (2014), 117.
8 Alfi Julizun Azwar, “Tasawuf dan al-Qur’ān Tinjauan Dunia Ilmu Pengetahuan
beragama kaum sufi seperti ini, ditemukan pada anggota tarekat yang
sebelum mendalami ilmu tasawuf tidak memilliki dasar ilmu agama
yang cukup. Sehingga cenderung menanggalkan ilmu syariah secara
total dan menggunakan ilmu tarekat untuk mengukur kebenaran
beragama. Inilah yang ditakuti oleh Hidayati konsep kesalehan zuhud
tanpa dilengkapi dengan dasar-dasar illmu fikih, mengakibatkan
manusia terjerembab pada rituak ahirat dan melupakan tanggung
jawabnya sebagai khalifah.9
Ketiga, fanatisme aliran. Setiap gerakan sufi tentu memiliki guru
(murshid) yang dipercaya dan diyakini mampu membimbing ke jalan
yang benar dan bisa menyelamatkan dirinya di akhirat nanti. Sehingga
apa yang menjadi perintah darinya adalah fatwa yang harus diikuti.
Yang menjadi persoalan, sumber beragama tidak lagi menggunakan
ajaran Islam yang masyhur seperti al-Qur’ān, al-H{adīth dan Ijmā‘
ulama. Tarekat-tarekat seperti ini banyak ditemuai bahkan menjamur
ke penjuru daerah di Indonesia. Tidak jarang terdapat tarekat yang
berlindung di balik jubah organisasi tertentu, dengan tujuan tertentu. 10
Fanatisme aliran dan kemurshidan inilah menjadi problem aliran sufi
modern.
Dari ketiga problem sufi diatas, kerangka ideologi sufisme perlu
diletakan pada posisinya semula. Salah satu tawaran konsep sufisme
dikenal dengan istilah eklektisisme sufi yang mewakili konsep sufi abad
kedua hijriah sebagai konsep sufi yang sebenarnya, bukan konsep sufi
yang telah mengalami pembaruan ataupun bercampur aduk dengan
figuritas dan fanatisme aliran. Eklektisisme sufi mengandung tiga
konsep, yakni pertama integralitas doktrinal, yakni memaduka antara
teologi spiritual dengan teologi syariah. Pemaduan ini disandarkan
para ritual Rasulullah, dimana beliau tidak menanggalkan
tanggungjawab duniawi sepenuhnya untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Satu sisi menjalankan kewajiban mu‘āmalah, di sisi lain tetap
menjalankan ibadah secara sufi. Kedua, spiritual sosialis. Yakni
melakukan ritual sufi dalam bentuk persiapan (zuhd, wara‘, s}abr, h}ilm,
dan lain-lain) namun juga mengikuti kegiatan-kegiatan sosial secara
terbuka. Terbuka dalam artian, banyak menyambung tali silaturahim,
9 Tri Wahyu Hidayati, “Perwujudan Sikap Zuhud dalam Kehidupan”, Millati: Journal
of Islamic Studies and Humanties 1, no. 2 (2016), 92-93.
10 Kemal A. Riza, “Ascetism in Islam and Christianity: with Reference to Abu
Hamid al-Ghazali and Francis of Assisi”, Toesofia: Indonesian Journal of Islamic Mysticism
1, no. 1 (2012), 2303.
17 Ubaidillah, “Fitrah dan Potensi Insani daam Ilmu Tasawuf (Perspektif erapi
Psikologis dan Bimbingan Konseling)”, Jurnal Konseling Religi: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam 1, no. 1 (2010), 12-15.
18 Lihat dalam Arthur C. Bohart dan Thomas Greening, “Comment: Humanistic
Psychology and Positivve Psychology”, Journal American Psychologist 56, no. 1 (2001),
4432.
19 Lihat dalam M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka
Pendidian Islam”, Az-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (2016), 5-7.
itu artinya, gerakan sufi dibentuk pada aspek elakukan ritual dzikir dan
memasrahkan diri. Dengan kedua konsep sufisme ini (zuhud dan
tawakkal) ini, bukan semata mematikan kerangka perkembangan ilmu
fikih dan ilmu kalam, melainkan juga aktivitas keduniaan manusia.
Masa inilah yang disebut dengan sufisme ekstrem, ternyata setelah
ditelusuri, pernyataan sufi ekstrem tersebut dikhususkan untuk
melawan umat Islam dengan konsep anti-ritual.21
Pada fase ke-3 hijriyah, gerakan sufi sudah terbilang masif dan
disahkan sebagai disiplin keilmuan Islam. Para zāhid merumuskan
konsep-konsep baku seperti fanā’, ma‘rifat, h}ulūl dan lain sebagainya.
Istilah zuhd dan tawakkal mengalami metamorfosis pemaknaan dan
implementasinya, sehingga tasawuf menjadi lebih sempurna. Secara
wilayah, ajaran tasawuf sudah mapan dan menjadi ciri khas suatu
daerah basis pengembangan ilmu tasawuf, yaitu tasawuf ala Khurasān
dan tasawuf ala Baghdād. Aliran tasawuf Khurasān, pola tasawuf yang
berkembang bercorak doktrin tawakkal yakni memasrahkan seluruh
urusan kepada Allah yang cenderung panteistik, spekulatif, berbeda
pada pemaknaan tawakkal pada asal katanya dan mengabaikan
ketentuan syariah Islam. Seperti beberapa sufi termasyhur yaitu al-
H{allāj (w.309 H) dengan doktrin h}ulūl-nya yang terkenal anā al-h}aq.
Seperti pula al-Bist}āmī (w.201 H) yang terkenal dengan doktrin fanā’.22
Pola tasawuf seperti demikian yang banyak diyakini orang sebagai
ilmu tasawuf tingkat tinggi, seolah-olah menafikan keberadaan dunia
dan secara berlebihan berada pada kekuatan supratural.
Sementara tasawuf ala Baghdād tetap kokoh dengan prinsip awal
ideologi akar (growt ideology) yaitu menekankan kesalehan dan
kezuhudan. Secara tegas ajaran tasawuf ini menolak keras asketisme
radikal, doktrin fanā’ dan tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan
syariah islam disamping menjalankan tradisi peribadatan umat Islam
pada umumnya. Model tasawuf seperti ini dirintis dan dikembangkan
oleh sufi seperti H{ārith al-Muh}āsibī (w. 234 H) dan muridnya Junayd
al-Baghdādī (w. 298 H).23 Dari Junayd inilah berkembang model
21 Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 73-74.
22 Mohammad Fahmi Abdul Hamid, Ishak Hj Suliaman, dan Mohd Farhan Md
Ariffin, “The Concept of Zuhud Based on Fiqh H{adīth”, Jurnal Intelek 11, no. 1
(2016), 24-30.
23 Lihat A.J. Arberry, “Sufism: an Account of the Mystics of Islam” dalam Aceng
25 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Kegan Paul, 1966), 3-4.
26 Siregar, Tasawuf, 237-238.
27 Nicholson, The Mystics of Islam, 5.
28 Fazlur Rahman, Islam (Chicago: the University of Chicago Press, 1979), 129.
dan ideologi sufi ke ranah “ideal” dan yang “praksis” serta tarekat
dengan kepercayaan “umum” dan ”lokal”.36 Disitulah problem mulai
nyala, sesudah abad kedua belas gelombang islamisasi terjadi dimana-
mana, anehnya gelombang tersebut melalui jalan-jalan tarekat dan
tasawuf, sehingga ilmu tasawuf berbaur dengan kepentingan-
kepentingan agama lain serta menjadi api yang membakar ajaran Islam
“yang sesungguhnya”. Berbaurnya ideologi-ideologi politik dan non-
Muslim ke dalam tarekat-tarekat merubah akar keilmuan sufisme
menjadi berubah, gelombang seperti ini terjadi di Asia Tengah, Eropa
Timur, Mesir sampai ke Indonesia.37
Asumsi Trimingham (1979), ada dua faktor yang menyebabkan
degradasi tarekat; internal dan eksternal. Faktor internal, erjadi pada
ketidakmampuan para guru sufi menyingkap keilmuan baru atas
pondasi keilmuan yang telah ditancapkan oleh ulama-ulama
sebalumnya. Kejumudan inilah yang menjadi faktor kemunduran,
sementara di lain pihak, ilmu-ilmu keislaman terus berkembang.
Sementara faktor eksternal, terjadi pada keinginan formalisme
pengikut tarekat sehingga menjauhkan diri dari perbincangan
substansi asli ajaran sebenarnya. Akibat dua faktor tersebut, tarekat
digiring pada ranah kultus dan bependangan mistik seperti tahayul,
khurafāt, dan bidah, yang sebenarnya bukan kehendak pada guru-guru
sufi.38 Ajaran sufi seolah hanya mengajarkan tentang hal-hal yang
mistik dan takhayyul.
Di saat tarekat berada pada masa kelam, muncul gerakan-
gerakan dari luar tasawuf yang mengatasnamakan ajaran sufi atau
bahkan mengatakan cabang dari ajaran sufi yang telah mapan.
Gerakan-gerakan ini mengibarkan bendera untuk memurnikan ajaran
sufi yang dianggap menyimpang. Ajaran sufi yang telah digagas dan
mapan oleh ulama seperti Junayd, Bahā’ al-Dīn al-Naqshabandī, Ibn
Taymīyah, al-Ghazālī dan semacamnya dianggap usang dan perlu
pemurnian yang lebih relevan dengan perkembangan Islam. 39 Tak
ayal, pembaruan tersebut berakibat pada berubahnya doktrin dan
2013), 78.
38 Anemearie Schimmel, Mystical Dimenssions of Islam dalam Abdelilah Bousria, Sufism
and Politics in Morocco: Activism and Dissent (New York: Routledge, 2015),78-79.
39 Mohammad Noupal, “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19 dari
40 Hamid Algar, “The Naqshbandi Order: A Preliminary Survey of its History and
Significance” dalam M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf dalam Kehidupan
Masyarakat Modern”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 27, no. 1 (2016), 113-115.
41 Yunasril Ali, “Dualisme: Pemikiran Sufistik Ibn Taymiyyah”, Kanz Philosophia 4,
Catatan Akhir
Dari pembahasan dan diskusi diatas, dapat disimpulkan dua hal
penting yaitu: pertama, corak ajaran sufi yang menganut model
eklektisisme memiliki akar sejarah cemerlang sebagai penyeimbang
antara yang profan dan sekuler. Corak sufi eklektisisme memuat tiga
prinsip dasar ajaran sufi yaitu menyadari kehidupan duniawi sebagai
realitas tak terbantahkan, ritual amaliah spiritual seperti zikir serta
berpangku pada syariah. Dalam artian, pendekatan sufi eklektisisme
menekankan pada konsep moderasi sufi, integralitas antara ajaran
tasawuf dengan ritual syariah. Kedua, ajaran sufi dengan corak
eklektisisme memiliki tingkat relevansi yang kuat dengan corak
beragama di Indonesia. Dari akar sejarah perkembangan corak sufi
eklektisisme didukung oleh doktrin ortodoks (Sunnī), tokoh-tokoh
seperti Junayd al-Baghdādī, al-Ghazālī dan tokoh sufi sealiran adalah
tokoh yang menyandarkan pemikiran sufi kepada al-Qur’ān dan
H{adīth serta pedapat para ulama. Artinya, bukan hanya secara
doktrinal ataupun ajaran, dari aspek kelembagaan juga memiliki visi
yang sama. Dengan demikian, corak eklektisisme seimbang dan
relevan dengan corak keagamaan Sunnī di Indonesia.
Daftar Rujukan
Abidin, Munirul. “Pandangan Neo Sufisme Nurcholis Madjid (Studi
tentang Dialektika antara Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern
di Indonesia)”, Ulul Albab 9, no. 1, 2008.