Zamzami, Amir Maliki

Download as pdf or txt
Download as pdf or txt
You are on page 1of 25

Abstract: Among the background of the emergence of

Sufism is the Muslim struggle against the contestation and


power struggle of the Umayyads in the second century Hijri.
The problems of power, politics, and religious conflicts that
gave birth to a pragmatic and materialist attitude by some
Muslims were then addressed by some ascetics by voicing an
ascetic attitude towards such matters. After developing and
splitting into several tarekat, the ideological values of Sufism
also changed and shifted and even led to the path of the
ideology of Sufism. This shift is what this research wants to
uncover, considering how important it is to explain the pure
ideology of Sufism by presenting historical and contextual
studies as a shield for worldly conflicts and power. By using
literature research, this article concludes that the style of Sufi
teaching that adheres to the eclecticism model has historical
roots as a balance between the profane and the secular. The
eclectic Sufi style contains three basic principles of Sufi
teachings, namely realizing worldly life as an undeniable
reality, spiritual practice rituals such as remembrance and
relying on sharia. In addition, Sufi teachings with an eclectic
style have a strong level of relevance to religious patterns in
Indonesia, the pattern of Sunnī madhhab.
Keywords: Sufism, Sufi, eclecticism, Neo-sufism, sharia.

Pendahuluan
Secara historis, pemikiran tasawuf lahir dari ide berkelompok
para zāhid (ahli zuhud) di serambi masjid Madinah.1 Setelah beradu
pengalaman batin dan mengamati konstelasi politik Islam, mereka
mengambil langkah untuk beribadah total dan mengembangkan

1H. A. Rivay Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Cet. II (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), 36.
Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam
Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 p-ISSN 2088-7957; e-ISSN 2442-871X; 435-459
DOI: 10.15642/teosofi.2021.6.2.435-459
Amir Maliki Abitolkha

rohani untuk mengabaikan keindahan duniawi. Pemikiran ahli zāhid


ini diterima oleh masyarakat Muslim sebagai jawaban dari berbagai
persolan duniawi yang tidak kunjung selesai. Pada abad ketiga Hijriah,
pemikran tasawuf berkembang pesat.2 Masalah inilah yang disebut
dengan fase asketisme (belum disebut sufisme), dimana aktivitas zuhud
menjadi penyeimbang dari aktivitas keduniaan. Istilah “penyeimbang”
disini mendandakan bahwa pemikiran tasawuf mampu meredakan
pertarungan ideologi-ideologi radikal dan konflik kekuasaan.
Keberhasilan perkembangan pemikiran tasuwuf pada ilmu
pengatahuan Islam mengokohkan tasawuf sebagai cabang ajaran Islam
yang terfokus pada aspek kebertuhanan dengan menanggalkan sisi-sisi
keduniaan.3 Sehingga ideologi asketisme tersebut dipatenkan dengan
istilah sufisme, yakni paham ajaran Islam yang memiliki landasan
teologis dan disiplin keilmuan berbasis pada rohani melalui metode
kashf. Ajaran sufisme berkembang bukan tanpa alasan, karena
menurut Mustafa Numsuk ajaran sufi berkembang karena mampu
memberikan spirit ketuhanan yang bisa menenangkan jiwa dan rohani,
menciptakan kedamaian hati dan melupakan kekejaman duniawi.
Melalui ragam latihan batin (riyād}ah) seperti sifat zuhd, wara‘, tawakkal,
dhikr dan sebagainya, diyakini bisa menghapus ragam sifat egois,
otoriter, dan angkuh.4
Seiring berkembangnya pemikiran sufi pada ordo sufi (tarekat)
terutama pasca-lahirnya neo-Sufisme sejak abad keempat belas hingga
sekarang pergulatan sufi mulai tercerabut dari induk asalnya.5
Akibatnya, aliran-aliran sufi bukan lagi menjadi penyeimbang

2 Abad ketiga Hijriyah merupakan awal pertama kali ilmu tasawuf menjadi sebah
ilmu sejajar diantara ilmu-ilmu alam dan agama, diakui satu-satunya ilmu tentang
kebatinan yang mengarah pada teologis adalah ilmu tasawuf. Lihat lebih jelas dalam
Meutia Farida, “Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan Implementasinya di Era
Modern”, Jurnal Substantia 12, no. 1 (2011), 106-107.
3 Harun Nasution, Filsafat dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1973),

57.
4 Ahmad bin Abdul Aziz al-Husain dan Abdullah Mustofa Numsuk, Kesesatan Sufi:

Tasawuf, Ajaran Budha (Jakarta: Pustaka as-Sunnah, 2001), 6-7.


5 Ketercerabutan akar keilmuan tasawuf dipengarui oleh beberapa hal; 1) politik

kelembagaan, yakni antar tarekat sufi saling bersaing untuk mendapatkan anggota
dan pengikuti sehingga tidak jarang mereka mendekati penguasa agar mampu
memberikan massa. 2) kekuasaan, dimana pada masa ‘Abbāsīyah dan Turki
Ustmani, tarekat sufi diperhitungkan sebagai basis masa yang berpengaruh terutama
setelah tenggelamnya aliran kalam dan fikih. Lihat Dimyati Sajari, “Keotentikan
Ajaran Tasawuf”, Dialog 38, no. 2 (2015), 146-147.

436 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

kepentingan duniawi atau bukan juga berdiri diatas kerohanian murni,


melainkan berpijak pada pondasi otoritas dan teologi aliran yang
mengarah pada fanatisme, konservatisme bahkan sampai pada
profanisme. Fanatisme menggambarkan bahwa ilmu tasawuf
disandarkan pada figur murshid tarekat tanpa melakukan filter dan
kritik. Konservativisme ini mengarah pada model aliran sufi yang
mendewakan aliran komunitas, sedangkan profanisme mengilustrasi-
kan ritual agama Islam hanya berlandas pada ukuran kehusukan seraya
meniadakan unsur fikih (syariah).6
Beberapa kasus seperti pembekuan tarekat Naqshabandīyah di
Jawa Tengah karena mengajarkan ajaran menyimpang7 adalah bukti
bahwa nilai sakral ajaran tasawuf tidak lagi murni. Oleh karena itu,
sejatinya terdapat tiga masalah imbas pergeseran tasawuf, yaitu pertama
kekeliruan memaknai nilai kesufian pada ritual beragama. Ritual
kesufian diartikan dengan makna ukhrawī semata, yakni mengajarkan
bahwa keberadaa dunia adalah hal yang tidak penting, fatamorgana,
dan tidak bermakna. Sehingga ritunitas kegiatan dunia benar-benar
ditanggalkan; kewajiban dan tanggungjawab lainnya pun tidak
dilaksanakan. Pemahaman sufi seperti ini banyak terjadi pada tarekat-
tarekat modern, dimana mereka meninggalkan tanggungjawab dengan
beritual ke gua-gua selama berbulan-bulan untuk menggapai status
anggota tarekat.8 Tentu ritual demikian bertentangan dengan ajaran
Islam.
Kedua, kekeliruan memaknai hukum dalam ajaran Islam. Sikap
fanatis umat Islam untuk menjadi anggota tarekat tertentu terkadang
tidak dilandasi dengan pemahaman Islam yang utuh, sehingga cara
memaknai hukum Islam dimaknai pada interpretasi sufistik secara
total. Seperti dalam memaknai konsep khusū‘ dalam salat fardu, ih}tisāb
dalam puasa, dan lainnya. Menurut mereka, sekalipun rukun dan
syarat ibadah salat terpenuhi, jika tidak khusū‘ maka salat tersebut
ditolak (tidak sah). Pula dengan kewajiban puasa, jika tidak
dilandaskan pada rasa ikhlas maka puasa tersebut batal. Cara

6 Lihat dalam Achmad Mulyadi, “Budaya Egalitarianisme Perempuan Madura dalam


Tarekat Naqshabandīyah”, Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya Keislaman 23, no. 1 (2015),
6-7.
7 Thahirah Binti Hassan Basri, Faudzinaim bin Badaruddin, dan Abdul Manam bin

Mohamad, “Konsep Zikir Darajah dalam Disiplin Ilmu Tarekat”, Jurnal Islam dan
Masyarakat Kontermporer 8, no. 2 (2014), 117.
8 Alfi Julizun Azwar, “Tasawuf dan al-Qur’ān Tinjauan Dunia Ilmu Pengetahuan

dan Praktek Kultural-Religius Ummat”, Intizar 19, no. 2 (2013), 232-234.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 437


Amir Maliki Abitolkha

beragama kaum sufi seperti ini, ditemukan pada anggota tarekat yang
sebelum mendalami ilmu tasawuf tidak memilliki dasar ilmu agama
yang cukup. Sehingga cenderung menanggalkan ilmu syariah secara
total dan menggunakan ilmu tarekat untuk mengukur kebenaran
beragama. Inilah yang ditakuti oleh Hidayati konsep kesalehan zuhud
tanpa dilengkapi dengan dasar-dasar illmu fikih, mengakibatkan
manusia terjerembab pada rituak ahirat dan melupakan tanggung
jawabnya sebagai khalifah.9
Ketiga, fanatisme aliran. Setiap gerakan sufi tentu memiliki guru
(murshid) yang dipercaya dan diyakini mampu membimbing ke jalan
yang benar dan bisa menyelamatkan dirinya di akhirat nanti. Sehingga
apa yang menjadi perintah darinya adalah fatwa yang harus diikuti.
Yang menjadi persoalan, sumber beragama tidak lagi menggunakan
ajaran Islam yang masyhur seperti al-Qur’ān, al-H{adīth dan Ijmā‘
ulama. Tarekat-tarekat seperti ini banyak ditemuai bahkan menjamur
ke penjuru daerah di Indonesia. Tidak jarang terdapat tarekat yang
berlindung di balik jubah organisasi tertentu, dengan tujuan tertentu. 10
Fanatisme aliran dan kemurshidan inilah menjadi problem aliran sufi
modern.
Dari ketiga problem sufi diatas, kerangka ideologi sufisme perlu
diletakan pada posisinya semula. Salah satu tawaran konsep sufisme
dikenal dengan istilah eklektisisme sufi yang mewakili konsep sufi abad
kedua hijriah sebagai konsep sufi yang sebenarnya, bukan konsep sufi
yang telah mengalami pembaruan ataupun bercampur aduk dengan
figuritas dan fanatisme aliran. Eklektisisme sufi mengandung tiga
konsep, yakni pertama integralitas doktrinal, yakni memaduka antara
teologi spiritual dengan teologi syariah. Pemaduan ini disandarkan
para ritual Rasulullah, dimana beliau tidak menanggalkan
tanggungjawab duniawi sepenuhnya untuk mendekatkan diri kepada
Allah. Satu sisi menjalankan kewajiban mu‘āmalah, di sisi lain tetap
menjalankan ibadah secara sufi. Kedua, spiritual sosialis. Yakni
melakukan ritual sufi dalam bentuk persiapan (zuhd, wara‘, s}abr, h}ilm,
dan lain-lain) namun juga mengikuti kegiatan-kegiatan sosial secara
terbuka. Terbuka dalam artian, banyak menyambung tali silaturahim,

9 Tri Wahyu Hidayati, “Perwujudan Sikap Zuhud dalam Kehidupan”, Millati: Journal
of Islamic Studies and Humanties 1, no. 2 (2016), 92-93.
10 Kemal A. Riza, “Ascetism in Islam and Christianity: with Reference to Abu

Hamid al-Ghazali and Francis of Assisi”, Toesofia: Indonesian Journal of Islamic Mysticism
1, no. 1 (2012), 2303.

438 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

berpartisipasi dan komunikasi dengan masyarakat. Ketiga, teologis-


doktrinal. Yakni menerima pemaknaan agama orang lain secara
ekslusif untuk membenahi pemahaman sufi yang selama ini dipahami.
Artinya, cara bersufi tidak selalu disikapi dan dipraktikkan secara
fanatis atau dogmatis.11
Oleh karena itu, rekonstruksi pemikiran sufistik perlu diungkap
secara literalis untuk mengembalikan pemahaman tasawuf yang
sebenarnya dengan melakukan kajian historis secara mendalam
mengaitkan dengan tarekat-tarekat yang berkembang di era
kontemporer. Konsep eklektisisme sufi berupaya mena-warkan
reinterpretasi ideologi sufi modern dengan cara mengembalikan
pemahaman sufi ke ranah induk ataupun akar keilmuan sufistik.
Penelitian ini sekaligus menjawab problem tasawuf modern yang telah
keluar jalur sufistik. Konsep pemurnian yang diusung oleh konsep
eklektisisme sufi tidak sama dengan konsep puritan, konsep eklektisisme
menekankan pada pengembalian asal ideologi karena memang hal
demikiran yang moderat dan seimbang. Bukan malah semakin
meruncing masalah dan menghilangkan nilai esensial sufistik.

Asal Mula Doktrin Tasawuf


Sebelum ilmu tasawuf dikokohkan sebagai gerakan sufisme,
pemikiran zuhud menjadi embrio bibit lahirnya sufisme. Asketisme
para zāhid pada abad ke 1 Hijriah atau tujuh Masehi yang
berpandangan bahwa umat Islam butuh ajaran model kebertuhanan
terpusat, dimana umat Islam tidak hanya memikirkan tentang
kepentingan duniawi beserta hiruk pikuk-nya, melainkan ajaran
penyeimbang spiritual kebertuhanan dan keduniaan. 12 Menjadikan
dunia dan akhirat bersifat paralel maupun berjalan beriringan. Ajaran
tasawuf bukan ajaran terpisah dengan ajaran Islam saat itu, melainkan
hanya penyeimbang saja. Karena Islam pada abad pertama sejak
rasulullah wafat telah dirundung persolan politik dan kekuasaan yang
berorientasi pada keduniaan semata. 13 Sementara persoalan akhirat,
tidak begitu didalami. Oleh karena itu, ajaran Islam membutuhkan
orientesi akhirat sebagai penyeimbang.
11 Usman, “Urban Sufisme: Jalan Menemukan Kembali Humaintas yang Hilang
Akibat Modernitas”, Jurnal Tasawuf 1, no. 1 (2012), 66-67.
12 Reynold A. Nicholson, “Sufism” dalam James Hastings, Encyclopaedia of Religion

and Etics (London: Charles Scribe’s, t.th.), 10-11.


13 Syamsul Rijal, “Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tarekat”, Jurnal Penelitian dan

Pemikiran Keislaman 2, no.1 (2015), 59-60.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 439


Amir Maliki Abitolkha

Pada abad kedua hijriah, ajaran asketisme para zāhid didaulat


menjadi ajaran sufisme. Gerakan sufisme dikokohkan oleh kelompok
asketis, bukan tanpa alasan, melainkan respon protes dari kolompok
orang-orang saleh terhadap kekuasaan bani Umayyah.14 Pergolakan
tragis perebutan kekuasaan dan konflik internal dalam tubuh Islam
dianggap umat Islam sedang mengalami krisis religius yang
berbanding terbalik dengan prinsip keislaman yang diajarkan oleh
Nabi Muhammad beserta para khalifah. Sebagai bentuk protes,
gerakan sufisme membawa arah baru perabadan Islam melalui ritual-
ritual sufi di banyak negara, aktivitas spiritual dan kembali kepada
Allah.15 Gerakan ini mampu menghipnotis mayoritas umat Islam
berkelompok mendalami ajaran sufisme.
Secara tidak langsung, ajaran sufisme bukan sekadar doktrin
semata, melainkan juga gerakan penyeimbang (bukan pembaruan
ataupun purifikasi) terhadap kondisi beragama, bersosial dan
bernegara yang terjadi pada umat Islam. Para zāhid yang tergolong
sebagai sufisme merasa kebatilan dan kedzaliman terjadi dimana-
dimana, sekalipun tidak berbentuk kejahatan atau kekerasan,
melainkan berupa “terfokus pada orientasi dunia dan sibuk dengan
urusan-urusan dunia”, dalam ajaran sufisme hal demikian juga
termasuk kedzaliman.16 Oleh karena itu, sebagai bentuk gerakan
sufisme menarik diri dari pergumulan dan hiruk-pikuk politik
kekuasaan dengan cara mengumpulkan umat Muslim yang saleh untuk
bersikap agamis, sambil juga melancarkan kritik. Kritik berbentuk
tindakan-tindakan moral dan menolak kekerasan, bukan dalam bentuk
peperangan.
Dengan demikian, gerakan sufisme mengarah pada dua pola
pergerakan; gerakan doktinal dan gerakan moral spiritual. Gerakan
doktrinal berupa ritual-ritual zikir, kontemplasi, membaca kalimat-
kalimat t}ayyibah, menjauhkan diri dari maksiat, dan sebagainya sebagai
upaya mendekatkan diri kepada Allah. Sementara gerakan moral
spiritual diarahkan pada tindakan kritik secara berjemaah kepada
penguasa Muslim saat itu. Kelompok yang tergabung dalam gerakan
14 Nurcholish Madjid, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang
Maslahah Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan (Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina,
1992), 257.
15 Elmansyah al-Haramain, Paradigma Peradaban Islam dalam Tasawuf: Sebuah Pemaparan

Awal (Bandung: Mizan, 2014), 141-142.


16 Ali Mas’ud, “Analisis dan Mapping Syariah Versus Tasawuf melalui Pendekatan

Historis”, Episteme 8, no. 1 (2013), 156-157.

440 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

sufisme adalah para orang-orang saleh yang menyukai kehidupan


menyepi, menyendiri, berkhalwat dan beribadat kepada Allah. Mereka
kurang begitu tertarik pada selain mendekatkan diri kepada Allah
seperti kekuasaan, politik, ekonomi. Tercatat, yang mengetuai gerakan
sufisme pertama kali adalah H{asan al-Bas}rī (w. 110 H.) seorang saleh
terkemuka di abad pertama Hijriah.17
Pada abad kedua Hijriah, gerakan sufisme bergerak pada bidang
teologi dengan menampilkan gerakan anti ritualistik yang menekankan
pada signifikansi kesalehan.18 Perlawanan gerakan sufisme tidak lagi
pada politik kekuasaan dan keduniaan, melainkan pada ranah yang
lebih saintifik, yakni ilmu fikih. Abad ke-2 H/8 M dipenuhi dengan
kemunculan ilmu serba fikih dan kalam pada peradaban kaum Muslim
terutama di kawasan Basrah.19 Fenomena ini membawa pengaruh
besar bagi perkembangan keilmuan Islam, dimana meletus perbedaan
ritual keagamaan yang berujung pada takfīrī dan fanatis. Persoalan
merebaknya pendekatan serba fikih dan teologi (kalām) menyibukan
umat Islam dengan kajian-kajian hadist yang diwarnai perpecahan
aliran kalām seperti Murji‘ah, Mu‘tazilah, Shī‘ah. Kondisi inilah yang
memancing gerakan sufisme untuk mene-gakan gerakan anti
ritualistik. Pada akhirnya, sufisme memuncukan kesalehan tinggi
melalui gerakan zuhud tinggi. Pada gerakan ini, zuhud bukan sekadar
anti-sosial, melainkan mengarah pada pemaknaan humilitas dimana
tingkat kezuhudan seperti melukan masalah keindahan dan kebutuhan
fisik seperti makanan dan pakaian.20
Bahkan lebih parah dari itu, gerakan sufisme benar-benar
berubah arah dari prinsip keseimbangan dunia-akhirat, bergeser ke
akhirat murni. Semisal konsep tawakal yang semula berada di jalur
etis, akhirnya dimaknai pada posisi sufi tinggi yaitu berkembang
menjadi doktrin ekstrem tentang pengingkaran dunia. Dalam hal
apapun, umat Islam berserah diri secara total tanpa mengejar dunia,

17 Ubaidillah, “Fitrah dan Potensi Insani daam Ilmu Tasawuf (Perspektif erapi
Psikologis dan Bimbingan Konseling)”, Jurnal Konseling Religi: Jurnal Bimbingan
Konseling Islam 1, no. 1 (2010), 12-15.
18 Lihat dalam Arthur C. Bohart dan Thomas Greening, “Comment: Humanistic

Psychology and Positivve Psychology”, Journal American Psychologist 56, no. 1 (2001),
4432.
19 Lihat dalam M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka

Setia, 2011), 10-12.


20 Mahfud Salimi, “Reformasi Tasawuf al-Ghazali dan Relevansinya dengan

Pendidian Islam”, Az-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama Islam 1, no. 1 (2016), 5-7.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 441


Amir Maliki Abitolkha

itu artinya, gerakan sufi dibentuk pada aspek elakukan ritual dzikir dan
memasrahkan diri. Dengan kedua konsep sufisme ini (zuhud dan
tawakkal) ini, bukan semata mematikan kerangka perkembangan ilmu
fikih dan ilmu kalam, melainkan juga aktivitas keduniaan manusia.
Masa inilah yang disebut dengan sufisme ekstrem, ternyata setelah
ditelusuri, pernyataan sufi ekstrem tersebut dikhususkan untuk
melawan umat Islam dengan konsep anti-ritual.21
Pada fase ke-3 hijriyah, gerakan sufi sudah terbilang masif dan
disahkan sebagai disiplin keilmuan Islam. Para zāhid merumuskan
konsep-konsep baku seperti fanā’, ma‘rifat, h}ulūl dan lain sebagainya.
Istilah zuhd dan tawakkal mengalami metamorfosis pemaknaan dan
implementasinya, sehingga tasawuf menjadi lebih sempurna. Secara
wilayah, ajaran tasawuf sudah mapan dan menjadi ciri khas suatu
daerah basis pengembangan ilmu tasawuf, yaitu tasawuf ala Khurasān
dan tasawuf ala Baghdād. Aliran tasawuf Khurasān, pola tasawuf yang
berkembang bercorak doktrin tawakkal yakni memasrahkan seluruh
urusan kepada Allah yang cenderung panteistik, spekulatif, berbeda
pada pemaknaan tawakkal pada asal katanya dan mengabaikan
ketentuan syariah Islam. Seperti beberapa sufi termasyhur yaitu al-
H{allāj (w.309 H) dengan doktrin h}ulūl-nya yang terkenal anā al-h}aq.
Seperti pula al-Bist}āmī (w.201 H) yang terkenal dengan doktrin fanā’.22
Pola tasawuf seperti demikian yang banyak diyakini orang sebagai
ilmu tasawuf tingkat tinggi, seolah-olah menafikan keberadaan dunia
dan secara berlebihan berada pada kekuatan supratural.
Sementara tasawuf ala Baghdād tetap kokoh dengan prinsip awal
ideologi akar (growt ideology) yaitu menekankan kesalehan dan
kezuhudan. Secara tegas ajaran tasawuf ini menolak keras asketisme
radikal, doktrin fanā’ dan tetap berpegang pada ketentuan-ketentuan
syariah islam disamping menjalankan tradisi peribadatan umat Islam
pada umumnya. Model tasawuf seperti ini dirintis dan dikembangkan
oleh sufi seperti H{ārith al-Muh}āsibī (w. 234 H) dan muridnya Junayd
al-Baghdādī (w. 298 H).23 Dari Junayd inilah berkembang model
21 Alba, Tasawuf dan Tarekat (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012), 73-74.
22 Mohammad Fahmi Abdul Hamid, Ishak Hj Suliaman, dan Mohd Farhan Md
Ariffin, “The Concept of Zuhud Based on Fiqh H{adīth”, Jurnal Intelek 11, no. 1
(2016), 24-30.
23 Lihat A.J. Arberry, “Sufism: an Account of the Mystics of Islam” dalam Aceng

Kosasih, “The Tradition for Spiritual Learning (Tariqat) Through a Sequence of


Holy Phrases (Tijaniyah): the Case of Darussalam Boarding School”, Asian Social
Science 11, no. 2 (2015), 71.

442 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

tasawuf tersebut sampai menjadi besar. Model tasawuf Junayd


merupakan kepanjangan dari aliran tasawuf pada mula lahir, karena
memang model seperti inilah yang dimaksud dengan keseimbangan
antara doktrin dengan kerohanian. Tidak condong pada salah satu
pihak, atau memihak ke bagian yang lain.
Ketegangan antara dua model ajaran tasawuf tersebut
memuncak pada abad keempat Hijriah atau abad ke 10 Masehi.
Alhasil, aliran tasawuf ala Baghdād lebih bisa diterima oleh masyarakat
ketimbang aliran tasawuf Khurasān. Keberhasilan demikian disebabkan
oleh dukungan ulama-ulama ortodoks seprti al-Sarrāj (w. 377 H) dan
al-Kalābadhī (w. 390 H) serta banyak ulama-ulama ortodoks lain yang
berpengaruh. Pada abad kelima, tasawuf model Baghdād yang dirintis
dan dikembangkan al-Junaid mencapai puncak kejayaanya saat
ditekuni oleh Abū H{āmid al-Ghazālī (w. 505 H), yang berhasil
membawa ilmu tasawuf sebagai basis keilmuan Sunnī.24 Dengan
kepandaian ilmu fikih dan kalam, al-Ghazālī mampu menelurkan
ajaran tasawuf moderat yang bukan hanya merekonstruksi Islam
ortodoks, melainkan menjadikan tasawuf integral antara ajaran
tasawuf dan syariah Islam.
Fase-fase metamorfosis tasawuf diatas, jelas bahwa ada dua dua
ajaran besar yang berkembang sebagai embrio gerakan sufisme.
Pertama, corak sufistik atau ajaran tasawuf yang berada di tengah
antara ajaran tasawuf dengan ketentuan syariah Islam, dan kedua corak
sufistik yang condong pada total pada konsep teologi doktrinal, yakni
melupakan atau menafikan urusan dunia dan menggantungkan pada
doktrin transendental. Kedua aliran ini sampai saat ini masih sama-
sama hidup dan berkembang sebagai aliran sufi, begitupun di
Indonesia. Tinggal bagaimana umat Islam meyakini mana yang
dianggap benar dan mana yang diangkap munkar.

Neosufisme: Antara Sosio-Moral dan Ortodoksi


Ditengah dominasi ajaran tasawuf al-Ghazālī sejak abad ke-4
Hijriyah, namun bibit-bibit tasawuf aliran Khurasān ternyata belum
tercerabut sampai ke akar. Munculnya doktrin wah}dat al-wujūd
(kesatuan eksistensi) yang dilontarkan Ibn ‘Arabi merupakan bentuk
perkembangan aliran Khurasān. Wah}dat al-wujūd dimaknai dengan
“wujud itu satu; semua yang tambak banyak, sesungguhnya adalah
24Ira M. Lapidus, History of Islamic Societies (Cambridge: Cambridge University Press,
1993), 112.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 443


Amir Maliki Abitolkha

satu kesatuan; dan semua yang tampak merupakan wujud luar


Tuhan”.25 Namun meskipun aliran ini adalah puncak perkembangan
ilmu tasawuf, namun tidak pernah lepas dari hujatan dan kritik dari
golongan ortodoks karena bersifat teologi sentral.
Melihat perkembangan puncak tasawuf yang tidak sehaluan dan
dianggap berbahaya menyesatkan bagi umat Islam, terutama umat
Islam yang bersikap taqlīd karena kerendahan dasar ilmu agama, maka
ulama ortodoks melakukan pembaruan ajaran tasawuf baru (reformed
sufism) yang disebut dengan neosufisme. Dirintis oleh Ibn Taymiyyah
(w. 728 H) bersama muridnya Ibn Qayyim (w. 751 H), keduanya
berikhtiar menciptakan wajah tasawuf baru untuk melunturkan ajaran
tasawuf Khurasān atau konsep wah}dat al-wujūd.26 Neosufisme
mengangkat pembaruan dengan senantiasa berpegang pada al-Qur’ān
dan H{adīth yang memusatkan pada rekonstruksi sosio-moral umat
Islam tanpa harus menanggalkan kehidupan duniawi yang nyata. Itu
artinya, konsep neosufisme mengusung tiga entitas sekaligus; ajaran
zuhd dan tawakkal, menekankan pada syariah Islam, dan sosio-moral
masyarakat Muslim.27 Dengan itu, neosufisme melibatkan peran
individu dalam masyarakat.
Dengan kata lain, neosufisme menekankan pada moral dan
menerapkan metode dhikr dan murāqabah (konsentrasi pada rohani)
untuk mendekatkan diri pada Tuhan, namun penekanan tersebut tetap
berpegang teguh pada ajaran doktrin syariah.28 Dalam
perkembangannya, ajaran neosufisme dianggap ajaran pembaruan
tasawuf yang sesuai dengan syariah Islam, dan disisi lain pembaruan
dilakukan untuk melawan ajaran tasawuf wah}dat al-wujūd yang dianggap
reingkarnasi dari tasawuf Khurasān. Perbedaan mencolok antara
tasawuf Junayd dengan neosufisme adalah pengembangan pada aspek
sosio-moral. Sehingga banyak ulama ortodoks yang menerima
neosufisme sebagai terobosan keilmuan sufistik yang relevan pada
abad pertengahan.
Bahkan akhir abad pertengahan (abad ke 14 H.) gerakan
neosufisme benar-benar menguasai ajaran tasawuf dan sepenuhnya
diterima oleh umat Islam kalangan sunni. Pasalnya, neosufisme di
sunni berikhtiar untuk membersihkan ajaran tasawuf lama yang penuh

25 Reynold A. Nicholson, The Mystics of Islam (London: Kegan Paul, 1966), 3-4.
26 Siregar, Tasawuf, 237-238.
27 Nicholson, The Mystics of Islam, 5.
28 Fazlur Rahman, Islam (Chicago: the University of Chicago Press, 1979), 129.

444 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

penyimpangan dan menjerumuskan kaum awam ke lembah kesesatan


berpikir. Neosufisme dengan pendekatan baru yakni mengawinkan
tasawuf kontemplatif-purifikatif dengan syariah Islam sekaligus
teologis, menjadi perpaduan integral yang sesuai dengan al-Qur’ān dan
H{adīth. Gerakan neosufisme tidak bersifat sekuler, apalagi teologis
sentral, akan tetapi mengedepankan prinsip moderat dengan
menekankan pada tiga aspek penting dalam Islam; ibadah, syariah dan
muamalah. Ibadah digambarkan oleh prinsip teologi seprti tawakal
dan maqāmāt, syariah digambarkan oleh keterkaitan nilai pada syariah
Islam dan muamalah digambarkan oleh tujuan moral sosial,29 sehingga
membentuk gugus ilmu tasawuf yang sempurna dan relevan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan.
Sampai abad modern, jangkauan neosufisme telah sampai ke
seluruh kawasan dunia Islam, termasuk Indonesia. Neosufisme
berhasil memberikan arah baru duni tasawuf yang elegan dan
moderat. Bahkan neosufisme menjadi embrio berkembangnya tasawuf
modern yang digagas oleh Buya Hamka yang sangat terkenal. 30
Sehingga dalam waktu berabad-abad lamanya, neosufisme mampu
mengontrol dan mengawal perkembangan tasawuf agar tidak kembali
lepas dari akar asalnya. Jikapun mengalami pembaruan, hanya pada
aspek-aspek tertentu dan masih berpegang teguh pada akar doktrin
tradisionalnya. Maka keberadaan neosufisme secara tidak langsung
telah membawa perubahan mendasar untuk menjauhkan tasawuf pada
kesesatan. Lambat laun, neosufisme tanpa disadari telah mampu
mendamaikan konsep wah}dat al-wujūd-nya Ibn ‘Arabī dengan ajaran-
ajaran syariah.31
Sampai kemudian berkembang di era kontemporer berbagai
macam ajaran tasawuf, namun akar neosufisme tetap berada pada
jantung ajaran, yakni sekalipun berkembang di masa-masa selanjutnya,
tasawuf tetap berada pada pengawasan syariah Islam dan syariah tetap
menjadi bagian integral dari doktrin tasawuf. Maka dengan sendirinya,
sejak masuknya syariah Islam ke dalam doktrin tasawuf bisa
memperkokoh posisi Islam ortodoks, yang pada generasi tasawuf
29 Nurcholish Madjid, Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan Relevansi Doktrin
Islam dalam Sejarah (Jakarta: Paramadina, 2000), 78.
30 R.S. O’Fahey, Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradition (London:

Hurst and Company, 1990), 4.


31 Derek Hoopwood, “A Pattern of Revival Movements in Islam?” dalam Armyn

Hasibuan, “Neo-Sufisme, Ragam dan Perkembangannya (Mampukah Membangun


Konstruksi Baru)”, Hikmah 7, no. 2 (2013), 59-62.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 445


Amir Maliki Abitolkha

berikutnya ikut andil dalam melakukan rekonstruksi dan reformasi


ajaran tasawuf kontemporer yang disebut dengan tarekat-tarekat.
Seperti halnya pergulatan sufisme dan neosufisme, ternyata tarekat-
tarekat saat ini juga terkontaminasi oleh ajaran-ajaran di luar syariah
sebagai imbas dari keawaman dan ketakpahaman akar historisitas dari
ilmu tasawuf. Di bawah ini dijelaskan mengentai lahir dan degradasi
ideologi sufistik pada tarekat-tarekat.

Tarekat dan Perubahan Doktrin Tasawuf


Istilah tarekat dalam literatur kajian sufistik memiliki dua makna
yang hanya dapat dimaknai secara akar kesejarahannya. Makna
pertama, tarekat diartikan dengan ajaran kerohanian yang memberikan
tuntutan spiritual kepada seorang sālik dalam kehidupannya dalam
rangka menuju diri ke hakikat Tuhan. Sedangkan makna kedua,
bermakna komunitas dimana bergaung sejumlah sufi yang dibimbing
oleh seorang murshid (guru spiritual) yang taat pada aturan-aturan
khusus dan memiliki rutinitas pertemuan kerohanian secara periodik. 32
Pada pemaknaan pertama, tarekat menjadi sebuah jalan yang harus
ditempuh olelh seseorang melalui proses yang dinamakan ahwal dan
maqāmāt untuk sampai ke tujuan akhir yaitu ma‘rifat Allah. Inilah
pengertian yang banyak dinukil oleh seorang sufi dalam ilmu tasawuf
dimana tasawuf menjadi jalan spiritual yang mesti ditempuh untuk
menjadi seorang sālik agar sampai kepada yang Mahah Besar.
Sedangkan untuk makna kedua, biasanya lebih bersifat umum, artinya,
selain anggota kelompok aliran sufi, juga ada asosiasi lain yang ikut
mendapatkan wejangan dari murshid. Macam tarekat inilah yang pada
periode ini muncul dengan skala besar yang jumlah pengikutnya
sangat mayoritas.
Beberapa tarekat yang muncul dahulu adalah tarekat Qādirīyah
di Irak, Baghdad dan paling banyak pengikutnya sampai sekarang,
didirikan oleh ‘Abd al-Qādir al-Jīlānī (w. 525 H). tarekat Rifā‘īyah di
Bashrah yang didirikan oleh Ah}mad Rifā‘ī (w. 578 H), tarekat
Shādhilīyah di Afrika Utara yang didirikan oleh Abū al-H{asan al-
Shādhilī (w. 656 H), tarekat Kubrāwīyah di Persia yagn didirikan oleh
Ahmad al-Badawī (w. 675 H), tarekat Naqshabandīyah di Asia Asia
Tengah yang didirikan oleh oleh Bahā’ al-Dīn al-Naqshabandī (w. 791

32Muhammad Shodiq, “Eksistensi dan Gerakan Dakwah Tarekat S{iddîqîyah di


Tengah Masyarakat Urban Surabaya”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5,
no. 2 (2015), 347.

446 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

H) dan banyak lagi tarekat-tarekat di dunia yang aktif dan memiliki


massa yang banyak, bahkan jumlah keseluruhan tarekat di dunia
sebanyak 177 ordo.33 Meskipun varian tarekat berbeda-beda, namun
secara doktrinal tidak ada perbedaan mendasar antar satu tarekat
dengan tarekat yanglain, kecuali hanya pada aspek ritualnya saja,
seperti cara membaca zikir dan amalan-amalan lain. Semisal tarekat
Rifā‘īyah menginginkan zikir dengan suara keras sedangkan
Naqshabandīyah, zikir dengan nada yang sedang.34 Namun secara
tujuan yang ingin dicapai, pada prinsipnya sama-sama ingin
meningkatkan kualitaas moral-spiritual dalam ajaran agama Islam
untuk mencapai Yang Mahahaq.
Johns (1987) menyebutkan bahwa penyebaran tarekat di dunia
tidak menimbulkan konflik, karena disebarkan secara penerimaan
batin. Sekalipun lahirnya tarekat di wilayah-wilayah tertentu, namun
penyebarannya ke penjuru-penjuru daerah lain seperti tarekat
Qādirīyah yang didirikan di Baghdad menyebar ke Mesir, Magrib,
India, Yaman, Afrika Barat sampai ke Asia Tenggara. Begitu pula
dengan tarekat Naqshabandīyah, sekalipun lahir di Bukhara namun
memayoritas di India yang kemudian menyebar ke Asia Tengah, Cina,
Timur Tengah sampai ke Indonesia. Begitu juga dengan tarekat-
tarekat yang lain, tidak berhenti di satu wilayah saja. Lanjut Johns,
keberhasilan ekspansi tarekat sufi bukan hanya karena daya tarik
esoterik bathiniyah, melainkan terjadinya kekecauan dan tumbangnya
kekuasaan Islam ke tangan non-Muslim, sehingga mendorong umat
Islam untuk memasuki dunia tarekat. Sedangkan disisi psikologi ajaran
agama, tarekat menjadi “rumah besar” yang menjadi tempat
perlindungan ruhani yang goncang dan mempersilahkan siapa saja
untuk memasukinya. Tarekat menjadi semacam “rumah sakit” yang
didera bertubi-tubi dengan cekikan kekuasaan dan pegolakan agama-
agama.35
Masalah autentitas tarekat mulai mengalami degradasi sejak
naiknya dinasti Utsmani pada abad kedelapan dan kesembilan
Hijriyah. Secara perlahan tarekat berubah menjadi gerakan sufisme
popular dengan bercabang-cabang dan membentuk aliran-aliran.
Sehingga terjadilah perubahan signifikan terhadap nilai ritual amaliah

33 Nursyam, Perkembangan Kaum Tarekat (Surabaya: LEPKISS, 2004), 56-57.


34 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat (Yogyakarta: Gading
Publishing, 2015), 102-104.
35 Ibid., 106.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 447


Amir Maliki Abitolkha

dan ideologi sufi ke ranah “ideal” dan yang “praksis” serta tarekat
dengan kepercayaan “umum” dan ”lokal”.36 Disitulah problem mulai
nyala, sesudah abad kedua belas gelombang islamisasi terjadi dimana-
mana, anehnya gelombang tersebut melalui jalan-jalan tarekat dan
tasawuf, sehingga ilmu tasawuf berbaur dengan kepentingan-
kepentingan agama lain serta menjadi api yang membakar ajaran Islam
“yang sesungguhnya”. Berbaurnya ideologi-ideologi politik dan non-
Muslim ke dalam tarekat-tarekat merubah akar keilmuan sufisme
menjadi berubah, gelombang seperti ini terjadi di Asia Tengah, Eropa
Timur, Mesir sampai ke Indonesia.37
Asumsi Trimingham (1979), ada dua faktor yang menyebabkan
degradasi tarekat; internal dan eksternal. Faktor internal, erjadi pada
ketidakmampuan para guru sufi menyingkap keilmuan baru atas
pondasi keilmuan yang telah ditancapkan oleh ulama-ulama
sebalumnya. Kejumudan inilah yang menjadi faktor kemunduran,
sementara di lain pihak, ilmu-ilmu keislaman terus berkembang.
Sementara faktor eksternal, terjadi pada keinginan formalisme
pengikut tarekat sehingga menjauhkan diri dari perbincangan
substansi asli ajaran sebenarnya. Akibat dua faktor tersebut, tarekat
digiring pada ranah kultus dan bependangan mistik seperti tahayul,
khurafāt, dan bidah, yang sebenarnya bukan kehendak pada guru-guru
sufi.38 Ajaran sufi seolah hanya mengajarkan tentang hal-hal yang
mistik dan takhayyul.
Di saat tarekat berada pada masa kelam, muncul gerakan-
gerakan dari luar tasawuf yang mengatasnamakan ajaran sufi atau
bahkan mengatakan cabang dari ajaran sufi yang telah mapan.
Gerakan-gerakan ini mengibarkan bendera untuk memurnikan ajaran
sufi yang dianggap menyimpang. Ajaran sufi yang telah digagas dan
mapan oleh ulama seperti Junayd, Bahā’ al-Dīn al-Naqshabandī, Ibn
Taymīyah, al-Ghazālī dan semacamnya dianggap usang dan perlu
pemurnian yang lebih relevan dengan perkembangan Islam. 39 Tak
ayal, pembaruan tersebut berakibat pada berubahnya doktrin dan

36 Akhmad Rizqon Khamami, “Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman Turki dan


Indonesia”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 6, no. 1 (2016), 3-5.
37 Khozin, Sufi tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan (Malang: Madani,

2013), 78.
38 Anemearie Schimmel, Mystical Dimenssions of Islam dalam Abdelilah Bousria, Sufism

and Politics in Morocco: Activism and Dissent (New York: Routledge, 2015),78-79.
39 Mohammad Noupal, “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19 dari

Ortodoksi ke Politisasi”, Intizar 22, no. 2 (2016), 298-299.

448 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

amalan-amalan tarekat lama, sekaligus mengusung ajaran sufi baru


yang berupa pengembangan amalan-amalan. Hal inilah yang
mengacaukau gerakkan sufisme hingga saat ini.

Merumuskan Tarekat Baru: Eklektisisme Doktrin Tasawuf


Seperti dipaparkan diatas, degradasi tarekat dan pembaruan
doktrin dan amalan-amalan sufi sebagai bentuk pemurnian, memantik
rekonsioliasi antara ulama sufi tradisional dengan ulama-ulama
ortodoks untuk mengembalikan makna sesungguhnya. Satu-satunya
cara adalah melakukan eklektisisme, yaitu mengembalikan keilmuan
tasawuf ke dalam pangkuan syariah Islam. Hal ini mirip awal mula
berkembangnya gerakan sufisme dan asketisme (aliran zāhid), bedanya
kalau penyegaran tersebut terbentuk melalui lembaga-lembaga tarekat.
Di India, sebagai basis gerakan sufi Naqshabandīyah bercabang
menjadi gerakan tarekat al-Mujaddidīyah yang disetiri oleh Ah}mad al-
Sirhindī, sebuah gerakan sufisme yang bertuuan untuk
mengembalikan tarekat ke pangkuan syariah. Gerakan tarekat al-
Mujaddidīyah telah berkembang ke luar India.40 Pada abad kesembilan
belas muncul pula tarekat pengembangan yang dinamakan
Naqshabandīyah khalidiyah yang didirikan oleh Mawlānā Khālid,
bertujuan sama untuk mengembalikan tarekat ke pangkuan syariah. 41
Di Indonesia sendiri muncul tarekat Shat}arīyah dan Qādirīyah
Naqshabandīyah yang dipelopori oleh ulama sufi asal Indonesia
bermukim di Makkah yaitu Syaikh Ahmad Khatib al-Sambasi.42
Akhirnya pada akhir abad ke-19 gerakan pembaruan tarekat di
Indonesia mencapai puncaknya dengan memunculkan tarekat-tarekat
baru seperti Tijānīyah, ‘Idrīsīyah dan Sanūsīyah, begitu juga di
kawasan luar Indonesia seperti Afrika.43 Secara dokrin ajarannya,
tarekat pembaruan untuk melawan kaum ekstremesme doktrin, maka
diambil dari cara neosufisme beranjak namun dengan pola yang lebih
lengkap, yaitu mendukung aktifisme duniawi tanpa mengorbankan

40 Hamid Algar, “The Naqshbandi Order: A Preliminary Survey of its History and
Significance” dalam M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf dalam Kehidupan
Masyarakat Modern”, Tribakti: Jurnal Pemikiran Keislaman 27, no. 1 (2016), 113-115.
41 Yunasril Ali, “Dualisme: Pemikiran Sufistik Ibn Taymiyyah”, Kanz Philosophia 4,

no. 2 (2014), 156-158.


42 Joko Tri Haryanto, “Perkembangan Dakwah Sufistik Perspektif Tasawuf

Kontemporer”, Addin 8, no. 2 (2014), 270-278.


43 Lihat dalam Alwi Shihab, Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di

Indonesia (Bandung: Mizan, 2001), 4-5.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 449


Amir Maliki Abitolkha

pemenuhan spiritualnya seraya kembali ke pangkuan syariah Islam.


Dengan doktrin seperti ini, mereka berniat untuk menyatukan Islam
kembali dan tidak mejadikan tasawuf berpisah dengan al-Qur’ān dan
H{adīth sebagai sumber ajaran Islam yang sesungguhnya. Kendati
wilayah doktrin dan amalan bertrandensi kepada Tuhan, juga
ditunjang oleh ritual zikir dan tawakal namun juga tidak melupakan
kehidupan duniawi sebagai kehidupan nyata dan muamalah sosial.
Akan tetapi secara ideologi atau sufistik, gerakan-gerakan pembaru ini
memiliki tujuan sama dengan ajaran sufi ulama klasik sebelumnya serti
Junayd, al-Ghazālī, yakni untuk menyempurnakan jiwa manusia
namun bukan pada jalan menyatukan dirinya dengan Tuhan,
melainkan menaladani Rasulullah dengan cara murāqabah untuk
mencapai kesucian jiwa.44
Sampai abad ke-20, gerakan sufisme memiliki banyak ragam
varian doktri dan amalan. Dari akar sejarah perkembangan tasawuf,
terdapat tiga pola ajaran sufi yang hidup hingga saat ini, yaitu pertama
ajaran sufi yang tetap menganggap kehidpan duniawi adalah realitas
kehidupan nyata yang tidak dipungkiri karena sifat kemanusiaannya,
mendekatkan diri kepada Allah untuk mencapai ma‘rifat dan
menjadikan syariah sebagai landasan bertasawuf. Pola ajaran sufi
seperti ini yang dimaksud dengan eklektisisme doktrin tasawuf. Sekalipun
dalam perkembangannya, bermetamorfosis ke dalam skup yang lebih
luas, namun tidak sampai mencabut ketiga nilai ajaran (realitas
duniawi, ma‘rifatullah dan syariah). Semisal dengan menambah
kelembagaan sosial, moral dan kultur. Kedua, ajaran sufi yang
menafikan kehidupan duniawi dan terfokus pada penyatuan dengan
Tuhan dalam setiap tindakan dan perilakunya, sehingga aliran tarekat
ini adalah pengejewantahan dari teori wah}dat al-wujūd Ibn ‘Arabī. Ketiga,
ajaran sufi yang mengusung konsep ma‘rifatullah dengan cara
mendekatkan diri kepada Allah dan tidak melupakan sisi keduniaan
secara total, namun tidak menggunkan syariah sebagai bagian dari
doktrin amaliyah sehari-hari.45
Dari ketiga pola tersebut, secara cerdas semestinya cabang aliran
tarekat sufi tidak melapaskan diri dari ajaran prinsip utama

44 R.J.I. Ter Laan, “Sanusi Revivalism as Part of the Fundamentalist Tradition in


Islam,” dalam Nicola A. Ziaderh, Sanusiah: a Study of a Revivalist Movement in Islam
(Leiden: E.J. Brill, 1983), 140.
45 Sulaiman al-Kumayi, “Gerakan Pembaruan Tasawuf di Indonesia”, Jurnal Theologia

24, no. 2 (2013), 335-336.

450 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

terbentuknya doktrin ajaran tasawuf, seperti yang dilekatkan oleh


Junayd al-Baghdādī, H{ārith al-Muh}āsibī, al-Ghazālī dan pengikut-
pengikutnya yang sealiran. Prinsip utama ajaran tasawuf adalah
eklektisisme dengan menggabungkan tiga prinsip dasar yaitu menyadari
pentingnya realitas kehidupan duniawi, amaliyah-amaliyah dhikr,
tawakkal, wara‘, s}abr, tawbah, dan semacamnya yang menjadi tangga
mencapai ma’rifat kepada Allah dan prinsip terakhir adalah
menekankan pada syariah. Ketiga unsur inilah oleh Bruinessen
diumpakan seperti bangunan teologi syariah, dengan menjadikan
realitas kehidupan duniawi sebagai jalan untuk mencapai ma’rifatullah,
bukan sebagai penghalang. Untuk mencapai ma’rifatullah atau
mendekatkan diri kepada Tuhan dilalui dengan doktri yang disebut
dengan amalan-amalan seperti zikir dan tuntutan hidup seperti
tawakal, sabar, dan tobat.46 Namun seluruh rangkaian ajaran tasawuf
tersebut disesuaikan dengan syariah sebagai hukum Allah sebagai jalan
mencapai hakikat.
Eklektisisme adalah paham tasawuf yang mengkritik ajaran
wah}dat al-wujūd. Kritik ditekankan pada cara mencapai ma‘rifat Tuhan.
Jika wah}dat al-wujūd murni menggunaan kashf sebagai penggalian
ajaran-ajaran dan keinginan Tuhan sedangkan eklektisisme menjadikan
syariah dan amalan-amalan sufi sebagai konsep integral untuk
mencapai ma‘rifat. Inilah perbedaan prinsipil yang berimbas pada pola
pandang umat Islam dalam bertasawuf. Konsep wah}dat al-wujūd
memiliki konsekuensi kesesatan yang tinggi jika gagal dipahami olah
umat Islam yang memiliki dasar ilmu agama yang terbatas. Sedangkan
konsep eklektisisme memiliki tujuan yang sama dengan wah}dat al-wujūd
namun dengan metode ajaran yang mudah dipahami. Menurut
Azyumardi Azra konsep tasawuf yang diusung Junayd dan al-Ghazālī
serta para pengikutnya adalah konsep yang mengarah pada
pemahaman moderat dalam beragama, sehingga kemungkinan
berkonflik sangat sedikit dan lebih dekat pada pencapaian ma‘rifat.
Sedangkan konsep ajaran tasawuf klasik (wah}dat al-wujūd) mengarah
pada pemahaman agama yang fundamental, puritan sampai ke
radikalistik.47

46 Martin van Bruinessen, Tarekat Naqshabandīyah di Indonesia (Bandung: Mizan,


1998), 67.
47 Lihat dalam artikel Mahrus As’ad, “Pengaruh Nesufisme terhadap Perkembangan

Tasawuf dan Tarekat Baru”, Miqat XXXVI, no. 1 (2012), 44-46.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 451


Amir Maliki Abitolkha

Semisal, menganai diterimanya amaliah salat fardu, menurut


pola ajaran tasawuf yang meniadakan syariah, maka ukuran sah-
tidaknya (diterima-tidaknya oleh Allah) semata diukur dari kekhusuan
hati (qalb). Pengukuran ini dianalogikan seperti konsep tawakal, ikhlas
dan sabar, yang juga merupakan produk hati. Sebaliknya, jika salat
dilaksanakan tanpa rasa khusū‘ di hati sekalipun telah sesuai dengan
aturan syariah Islam, maka dianggap sia-sia (tidak sah). Inilah yang
menjadi problem, terutama bagi umat Islam yang dasar ilmu
agamanya masih lemah, khawatir terjerumus ke dalam kesesehatan
atau bahkan radikalisme. Berbeda dengan ajaran eklektisisme tasawuf
berpendangan bahwa ukuran sah-tidaknya ritual pelaksanaan salat
bergantung pada terpenuhinya rukun dan syarat sesuai syariah Islam
(al-Qur’ān dan H{adīth, Ijmā‘ ulama fikih), sekalipun kekhusukan tidak
didapat. Konsep khusū‘ dapat dicapai saat umat Islam telah mampu
melakukan riyād}ah salat yang diulang-ulang, sampai mencapai khusū‘.
Oleh karena itu, khusū‘ dalam salat dicapai ketika manusia telah
sampai pada ranah ma‘rifat sebagai tujuan.48 Ajaran ini yang relevan
dipraktikkan dalam kehidupan tasawuf dari sejak lahir sampai hari ini.

Eklektisisme Tasawuf dan Relevansinya di Era Modern


Metamorfosis yang begitu mencolok tentang tarekat di era
modern adalah melibatkan diri dalam agenda-agenda politik.
Penghujung abad ke-19 dan awal abad ke-20 tarekat-tarekat seperti
tarekat Naqshabandīyah, tarekat Sanusiyah dan tarekat Qadiriyah,
manasbihkan dirinya untuk tidak hanya bergerak dalam bidang-bidang
sufi semata, namun bertanggung- jawab untuk menyelematkan umat
Islam dari cengkraman ajaran-ajaran Islam radikal, wahabi dan
gerakan menyimpang lainnya. Tarekat-tarekat tersebut melindungi
identitas religio-cultural umat Islam menghadapi penguasa-penguasa
zalim dan kafir.49 Bahkan untuk mensukseskan tujuan tersebut,
mereka meneriakan jihād melawan musuh-musuh Islam. Seruan jihād
tersebut tentu sebagai gambaran dari ajaran sufi eklektisisme, karena
konsep jihād hanya ada pada syariah. Seperti Tarekat Sanusiyah di
bawah pimpinan Sayyid al-Mahdi mengangkat senjata melawan kaum
48 Louis Ma’luf, al-Munjid fī al-Lughah wa al-A‘lām dalam Munirul Abidin,
“Pandangan Neo Sufisme Nurcholis Madjid (Studi tentang Dialektika antara
Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern di Indonesia)”, Ulul Albab 9, no. 1 (2008), 22-
23.
49 Lihat Muh. Said, “Metodologi Penafsiran Sufistik: Perspektif al-Ghazali”, Jurnal

Diskursis Islam 2, no. 1 (2014), 145-146.

452 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

fanatis agama Kristen di Italia, Tarekat Naqshabandīyah Khalidiyah


mempelopori perlawinan di dunia Barat terhadap agresi kolonialis
Eropa serta Tarekat Qādirīyah Naqshabandīyah di Indonesia yang
melawan kaum penjajah Belanda.50 Perlawanan-perlawanan tarekat
tersebut, tentu sebagai wujud dari penegakan syariah Allah agar
senantiasa ajaran Islam tidak punah.
Perlu digarisbawahi bahwa perlawanan kaum tarekat, baik di
Indonesia maupun internasional, ditujukan kepada dua entitas;
penguasan non-Muslim dan paham sekuler. Ini menandakan bahwa
ruh eklektisisme sufi menjadi ideologi panutan untuk perkembangan
tasawuf modern. Sekularisme juga problem ajaran Islam karena
menafikan kehidupan ukhrawi, dan cenderung total pada kehidupan
duniawi. Tentu ajaran ini berbanding terbalik dengan ajaran tasawuf
yang tidak membuat gap antara duniawi dengan ukhrawi. Sebagai
bentuk pengokohan syariah, perlu dilawan ajaran-ajaran yang
menyimpang dari prinsip Islam moderat, baik melalui peralawanan
fisik maupun ideologi. Di Indonesia, perlawanan ideologi lebih
dikedepankan oleh syaikh-syaikh Tarekat Naqshabandīyah dengan
cara mendekati para elit politik dan penguasa. Dengan tujuan, mereka
bisa memberikan massa. Karena tarekat yang memiliki ajaran rasa
cinta pada negara (nasionalisme) adalah tarekat yang menganut ajaran
syariah, karena cinta negara adalah bentuk wujud keimanan yang
berlandas pada syariah. Dengan demikian, model tarekat modern
sebenarnya mengimplementa-sikan nilai-nilai sufi ekletis yang
menggabungkan pengakuan kehidupan duniawi, ritual amaliah
spiritual dan berlandaskan syariah.51
Di dunia modern, khususnya di Indonesia, ajaran sufi bersifat
eklektisisme tercermin dari penghayatan batini (esoterisme) yang
menginkan hidup aktif pada masalah-masalah sosial kemasyarakatan
dengan tanpa melepaskan aktivitas spiritual untuk mencapai ma‘rifat
Allah. Ajaran sufi eklektisisme muncul sebagai upaya membangkitkan
kembali semangat keberagamaan umat Islam untuk menanamkan
sikap positif pada dunia dari hentakan kaum tasawuf klasik. 52
Beberapa corak tarekat dengan prinsip eklektisisme tertuang pada
50 Ja’far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan Maksum”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2 (2015), 143-145.
51 Muhammad Faiz, “Khazanah Tasawuf Nusantara: Tarekat Naqsyabandiyyah

Khalidiyyah di Malaysia”, ‘Anil Islam 9, no. 2 (2016), 187-188.


52 Zakaria Stapa, Memasyaratkan Kefahaman dan Amalan Ilmu Tasaawuf di Malaysia Masa

Kini (Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia, 2015), 60.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 453


Amir Maliki Abitolkha

coraknya yang lebih “revolusioner”, baik pada esensi doktrin maupun


kelembagaannya. Dari aspek doktrinal, memiliki corak tidak sepakat
dengan penghormatan kepada wali secara berlebihan, menjauhkan
tasawuf dari asketisme dan memiiki titik penekanan pada aktifisme
praktis. Maka jelas, bahwa tujuan amalan zikir mengarah pada
penyatuan dengan Nabi Muhammad Saw, bukan pada Tuhan, karena
landasan syariah yang menyertainya. 53
Dari aspek kelembagaan, tarekat sufi eklektisisme memiliki ciri
teroganisir dari cabang sampai ke pusat, sehingga ruh ajaran sufi bisa
tersampaikan secara generatif, sanadnya bersambung sampai ke
Rasulullah. Sehingga mereka tidak mudah terpengaruh ataupun
terpecah-belah.54 Sebagai bentuk mengakui kehidupa dunia, prinsip
eklektisisme menggunakan bentuk organisasi sosial dengan cara
melibatkan diri pada kegiatan-kegiatan politik. Sebab ranah-ranah
politik, kekuasaan, ekonomi, budaya, sosial adalah bentuk kesadaran
bahwa manusia berada pada kehidupan duniawi yang tidak dapat
dipungkiri, seperti tanggung-jawabnya pada keluarga, pada negara,
masyarakat dan organisasi adalah bentuk pengakuan kehidupan
duniawi. Ajaran sufi eklektisisme tidak bisa menafikan, karena hal
demikian juga bagian dari kewajiban syariah.
Corak sufi eklektisisme telah memberikan pondasi ajaran sufi
yang kuat bagi munculnya gerakan-gerakan berbasis agama setelahnya,
baik bersifat samar maupun radikal. Seperti aliran-aliran keagamaan
baik bercorak sufistik maupun bukan, yang membawa hawa penetrasi
agama Islam dan sekularistik telah mampu dihempas oleh tarekat-
tarekat sufi bernafaskan eklektisisme sehingga menjadi tameng ajaran
sufi yang tangguh. Corak eklektisisme menekankan pada tiga wilayah
penting; menyadari kehidupan duniawi, ritual spiritual dan berlandas
pada syariah. Di saat bersamaan, Indonesia merupakan aliran agama
dengan penganut Sunnī mayoritas.55 Dari akar sejarahnya, Sunnī
adalah kekuatan pertama yang mendukung paham sufi eklektisisme,
sebagai ajaran sufi yang mashur abad kedua Hijriyah hingga sekarang.

53 Mohd. Rumaizuddin Ghazali, “Pemikiran Tasawuf dan Kehidupan Kerohanian


Abu Hasan Ali al-Nadwi (1914-1999): Satu Analisis”, Jurnal al-Manhal 12, no. 2
(2015), 88-89.
54 J. Spencer Trimingham, The Sufi Order in Islam dalam Agus Riyadi, “Tarekat

sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran Tarekat dalam Perkembangan Dakwah


Islamiyah)”, Jurnal at-Taqaddum 6, no. 2 (2014), 359-362.
55 Khusnul Khotimah, “Interkoneksitas dalam Ajaran Sosial Tasawuf Sunni dan

Falsafi”, Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 9, no. 1 (2015), 10-12.

454 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

Sehingga antara ajaran Sunnī yang mengusung konsep moderasi


agama dengan ajaran eklektisisme bertemu pada payung ideologi yang
sama.
Dengan demikian, konsep aliran sufisme bercorak eklektisisme
memiliki tingkat relevansi sangat kuat dengan corak keagamaan di
Indonesia. Tidak ayal jika aliran sufi seperti Naqshabandīyah,
Qādirīyah, ‘Idrīsīyah, ‘Alawīyah dan lain-lain eksis sampai sekarang.
Aliran tarekat ini memang berbeda secara amalan dan doktrin, namun
perbedaan tersebut bukan pada ranah prinsipil. Dalam artian, tarakat-
tarekat besar tersebut menggunakan syariah sebagai landasan, di
samping amalan-amalan zikir untuk mencapai ma‘rifat Allah dan tidak
menafikan kehidupan duniawi. Relevansi antara Sunnī dengan model
gerakan sufi eklektis yang mengusung moderasi sufi adalah corak
prinsip bersufi yang ideal, dari dulu hingga era kontemporer.

Catatan Akhir
Dari pembahasan dan diskusi diatas, dapat disimpulkan dua hal
penting yaitu: pertama, corak ajaran sufi yang menganut model
eklektisisme memiliki akar sejarah cemerlang sebagai penyeimbang
antara yang profan dan sekuler. Corak sufi eklektisisme memuat tiga
prinsip dasar ajaran sufi yaitu menyadari kehidupan duniawi sebagai
realitas tak terbantahkan, ritual amaliah spiritual seperti zikir serta
berpangku pada syariah. Dalam artian, pendekatan sufi eklektisisme
menekankan pada konsep moderasi sufi, integralitas antara ajaran
tasawuf dengan ritual syariah. Kedua, ajaran sufi dengan corak
eklektisisme memiliki tingkat relevansi yang kuat dengan corak
beragama di Indonesia. Dari akar sejarah perkembangan corak sufi
eklektisisme didukung oleh doktrin ortodoks (Sunnī), tokoh-tokoh
seperti Junayd al-Baghdādī, al-Ghazālī dan tokoh sufi sealiran adalah
tokoh yang menyandarkan pemikiran sufi kepada al-Qur’ān dan
H{adīth serta pedapat para ulama. Artinya, bukan hanya secara
doktrinal ataupun ajaran, dari aspek kelembagaan juga memiliki visi
yang sama. Dengan demikian, corak eklektisisme seimbang dan
relevan dengan corak keagamaan Sunnī di Indonesia.

Daftar Rujukan
Abidin, Munirul. “Pandangan Neo Sufisme Nurcholis Madjid (Studi
tentang Dialektika antara Tasawuf Klasik dan Tasawuf Modern
di Indonesia)”, Ulul Albab 9, no. 1, 2008.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 455


Amir Maliki Abitolkha

al-Haramain, Elmansyah. Paradigma Peradaban Islam dalam Tasawuf:


Sebuah Pemaparan Awal. Bandung: Mizan, 2014.
al-Husain Ahmad bin Abdul Aziz dan Numsuk, Abdullah Mustofa.
Kesesatan Sufi: Tasawuf, Ajaran Budha. Jakarta: Pustaka as-Sunnah,
2001.
al-Kumayi, Sulaiman. “Gerakan Pembaruan Tasawuf di Indonesia”,
Jurnal Theologia 24, no. 2, 2013.
Alba. Tasawuf dan Tarekat. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2012.
Algar, Hamid. “The Naqshbandi Order: A Preliminary Survey of its
History and Significance” dalam M. Arif Khoiruddin, “Peran
Tasawuf dalam Kehidupan Masyarakat Modern”, Tribakti: Jurnal
Pemikiran Keislaman 27, no. 1, 2016.
Ali, Yunasril. “Dualisme: Pemikiran Sufistik Ibn Taymiyyah”, Kanz
Philosophia 4, no. 2, 2014.
Arberry, A.J. “Sufism: an Account of the Mystics of Islam” dalam
Aceng Kosasih, “The Tradition for Spiritual Learning (Tariqat)
Through a Sequence of Holy Phrases (Tijaniyah): The Case of
Darussalam Boarding School”, Asian Social Science 11, no. 2,
2015.
As’ad, Mahrus. “Pengaruh Nesufisme terhadap Perkembangan
Tasawuf dan Tarekat Baru”, Miqat XXXVI, no. 1, 2012.
Azwar, Alfi Julizun. “Tasawuf dan al-Qur’ān Tinjauan Dunia Ilmu
Pengetahuan dan Praktek Kultural-Religius Ummat”, Intizar 19,
no. 2, 2013.
Basri, Thahirah Binti Hassan., Badaruddin, Faudzinaim bin., dan
Mohamad, Abdul Manam bin. “Konsep Zikir Darajah dalam
Disiplin Ilmu Tarekat”, Jurnal Islam dan Masyarakat Kontermporer
8, no. 2, 2014.
Bohart, Arthur C. dan Greening, Thomas. “Comment: Humanistic
Psychology and Positivve Psychology”, Journal American
Psychologist 56, no. 1, 2001.
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat.
Yogyakarta: Gading Publishing, 2015.
-----. Tarekat Naqshabandīyah di Indonesia. Bandung: Mizan, 1998.
Faiz, Muhammad. “Khazanah Tasawuf Nusantara: Tarekat
Naqsyabandiyyah Khalidiyyah di Malaysia”, ‘Anil Islam 9, no. 2,
2016.

456 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

Farida, Meutia. “Perkembangan Pemikiran Tasawuf dan


Implementasinya di Era Modern”, Jurnal Substantia 12, no. 1,
2011.
Ghazali, Mohd. Rumaizuddin. “Pemikiran Tasawuf dan Kehidupan
Kerohanian Abu Hasan Ali al-Nadwi (1914-1999): Satu
Analisis”, Jurnal al-Manhal 12, no. 2, 2015.
Haryanto, Joko Tri. “Perkembangan Dakwah Sufistik Perspektif
Tasawuf Kontemporer”, Addin 8, no. 2, 2014.
Hidayati, Tri Wahyu. “Perwujudan Sikap Zuhud dalam Kehidupan”,
Millati: Journal of Islamic Studies and Humanties 1, no. 2, 2016.
Hoopwood, Derek. “A Pattern of Revival Movements in Islam?”
dalam Armyn Hasibuan, “Neo-Sufisme, Ragam dan
Perkembangannya (Mampukah Membangun Konstruksi Baru)”,
Hikmah 7, no. 2, 2013.
Ja’far, “Tarekat dan Gerakan Sosial Keagamaan Shaykh Hasan
Maksum”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2,
2015.
Khamami, Akhmad Rizqon. “Tasawuf Tanpa Tarekat: Pengalaman
Turki dan Indonesia”, Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam
6, no. 1, 2016.
Khotimah, Khusnul. “Interkoneksitas dalam Ajaran Sosial Tasawuf
Sunni dan Falsafi”, Komunika: Jurnal Dakwah dan Komunikasi 9,
no. 1, 2015.
Khozin. Sufi tanpa Tarekat: Praksis Keberagamaan Muslim Puritan.
Malang: Madani, 2013.
Laan, R.J.I. Ter. “Sanusi Revivalism as Part of the Fundamentalist
Tradition in Islam,” dalam Nicola A. Ziaderh, Sanusiah: a Study
of a Revivalist Movement in Islam. Leiden: E.J. Brill, 1983.
Lapidus, Ira M. History of Islamic Societies. Cambridge: Cambridge
University Press, 1993.
Madjid, Nurcholish. Islam Agama Peradaban: Membangun Makna dan
Relevansi Doktrin Islam dalam Sejarah. Jakarta: Paramadina, 2000.
-----. Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah Kritis tentang Maslahah
Keimanan, Kemanusiaan dan Kemodernan. Jakarta: Yayasan Wakaf
Paramadina, 1992.
Mas’ud, Ali. “Analisis dan Mapping Syariah Versus Tasawuf melalui
Pendekatan Historis”, Episteme 8, no. 1, 2013.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 457


Amir Maliki Abitolkha

Mohammad Fahmi Abdul Hamid, Ishak Hj Suliaman, dan Mohd


Farhan Md Ariffin, “The Concept of Zuhud Based on Fiqh
H{adīth”, Jurnal Intelek 11, no. 1, 2016.
Mulyadi, Achmad. “Budaya Egalitarianisme Perempuan Madura
dalam Tarekat Naqshabandīyah”, Karsa: Jurnal Sosial dan Budaya
Keislaman 23, no. 1, 2015.
Nasution, Harun. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam. Jakarta: Bulan
Bintang, 1973.
Nicholson, Reynold A. “Sufism” dalam James Hastings, Encyclopaedia
of Religion and Etics. London: Charles Scribe’s, t.th.
-----. The Mystics of Islam. London: Kegan Paul, 1966.
Noupal, Mohammad. “Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia Abad 19
dari Ortodoksi ke Politisasi”, Intizar 22, no. 2, 2016.
Nursyam. Perkembangan Kaum Tarekat. Surabaya: LEPKISS, 2004.
O’Fahey, R.S. Enigmatic Saint: Ahmad Ibn Idrisi and the Idrisi Tradition.
London: Hurst and Company, 1990.
Rahman, Fazlur. Islam. Chicago: the University of Chicago Press,
1979.
Rijal, Syamsul. “Kritik Ibnu Taimiyah terhadap Tarekat”, Jurnal
Penelitian dan Pemikiran Keislaman 2, no. 1, 2015.
Riyadi, Agus. “Tarekat sebagai Organisasi Tasawuf (Melacak Peran
Tarekat dalam Perkembangan Dakwah Islamiyah)”, Jurnal at-
Taqaddum 6, no. 2, 2014.
Riza, Kemal A. “Ascetism in Islam and Christianity: with Reference to
Abu Hamid al-Ghazali and Francis of Assisi”, Toesofia: Indonesian
Journal of Islamic Mysticism 1, no. 1, 2012.
Said, Muh. “Metodologi Penafsiran Sufistik: Perspektif al-Ghazali”,
Jurnal Diskursis Islam 2, no. 1, 2014.
Sajari, Dimyati. “Keotentikan Ajaran Tasawuf”, Dialog 38, no. 2, 2015.
Salimi, Mahfud. “Reformasi Tasawuf al-Ghazali dan Relevansinya
dengan Pendidian Islam”, Az-Zikr: Jurnal Pendidikan Agama
Islam 1, no. 1, 2016.
Schimmel, Anemearie. Mystical Dimenssions of Islam dalam Abdelilah
Bousria, Sufism and Politics in Morocco: Activism and Dissent. New
York: Routledge, 2015.
Shihab, Alwi. Islam Sufistik: Islam Pertama dan Pengaruhnya Hingga Kini di
Indonesia. Bandung: Mizan, 2001.

458 Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam


Eklektisisme Tasawuf

Shodiq, Muhammad. “Eksistensi dan Gerakan Dakwah Tarekat


S{iddîqîyah di Tengah Masyarakat Urban Surabaya”, Teosofi:
Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam 5, no. 2, 2015.
Siregar, H. A. Rivay. Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo-sufisme, Cet. II.
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Solihin, M. dan Anwar, Rosihon. Ilmu Tasawuf. Bandung: Pustaka
Setia, 2011.
Stapa, Zakaria. Memasyaratkan Kefahaman dan Amalan Ilmu Tasaawuf di
Malaysia Masa Kini. Selangor: Universiti Kebangsaan Malaysia,
2015.
Ubaidillah. “Fitrah dan Potensi Insani daam Ilmu Tasawuf (Perspektif
erapi Psikologis dan Bimbingan Konseling)”, Jurnal Konseling
Religi: Jurnal Bimbingan Konseling Islam 1, no. 1, 2010.
Usman. “Urban Sufisme: Jalan Menemukan Kembali Humaintas yang
Hilang Akibat Modernitas”, Jurnal Tasawuf 1, no. 1, 2012.

Volume 6, Nomor 2, Desember 2016 459

You might also like