Kajian Budaya

This article presents two points, i.e. postcolonial forms and patterns in Tempo, especially those in the section of literary book reviews. The study focused on the literary book reviews in Tempo published in 2000 -2007. The data were collected through document analysis and were analyzed using the content analysis and qualitative descriptive technique. The findings are as follows. First, postcolonial themes in some literary book reviews in Tempo talk about: (1) stories of the Orient, (2) colonialism, (3) reviews of Western literature (including works translated into Indonesian), and (4) literary works talking about postcolonial matters. Besides, some reviews are related to: (5) Indonesian literature translated into English, (6) the encounter of the West and the East in several stories, and Islam in the West. Second, the reviewers are aware of postcolonial patterns in the form of literary book reviews.

Abstract: The paper will investigate this relationship has established an early transnational trade and diplomacy by Makassar sailors to Yolngu before the arrival of Europeans to Australia. The research method used is a historical method. The Makassarese are known sailors who visited the northern coast of Australia for collect trepang which are then sold as medicine and food. Their arrival provides cultural contacts for North Australians in culture, economics, and social. The sailors of Makassar named the beach with the name Marege and named the continent which later became the country of Australia under the name Osse Tara Lia.

Keywords: diplomacy, transnational trade, Australia, Makassarese.

ABSTRAK Permasalahan dalam kajian ini adalah untuk menjawab pertanyaan apakah benar bahwa musik keroncong asli gaya Solo/Surakarta (soloan) merupakan hybrid dari percampuran musik-musik unggulan ? Jika benar, bagaimanakah bentuknya ? Tujuan dari makalah ini menjelaskan hibriditas keroncong asli gaya Solo dengan menggunakan pendekatan etnomusikologi. Data utama penelitian ini didapatkan dari rekaman lagu-lagu keroncong era 40 s/d 70 " an dan didukung oleh informasi dari para pelaku (tokoh) musik keroncong di Surakarta. Keroncong asli soloan merupakan hibridisasi antara beberapa vokabuler (repertoar) musik " klasik " Barat yang dipadukan dengan vokabuler tabuhan karawitan Jawa. Perpaduan itu dikembangkan dengan rasa musikal masayarakat lokal sehingga menjadikan keroncong di Solo memiliki gaya tersendiri. Hingga saat ini keroncong gaya soloan tersebar luas dan berkembang di berbagai daerah Indonesia.

Abstrak: Kemunculan bir pletok berawal dari inovatif penduduk bumiputera mengadopsi minuman keras yang dibuat orang Eropa diganti dengan bahan rempah-rempah yang menyehatkan dan menghangatkan tubuh. Bir pletok menandakan sebuah kearifan lokal yang disuguhkan sebagai kuliner identitas Jakarta antara perpaduan budaya Barat dan budaya Timur (Indonesia). Cita rasa kuliner lokal khas Jakarta bir pletok sebagai minuman khas Betawi menjadi warisan budaya Kota Jakarta, bagaimana masyarakat Nusantara menggunakan tanaman obat-obatan untuk menjadi minuman kesehatan. Bir pletok digunakan saat kongkow-kongkow atau acara silahturahmi selain sebagai minuman kesehatan kedaerahan.

Kata-kata Kunci: Bir Pletok, kuliner lokal, cita rasa, dan Jakarta.

Abstract: The emergence of pletok beer originated from the innovative bumiputera adopting alcohol made by Europeans and replaced with spices that are healthy and warm the body. Pletok beer signifies local wisdom that is served as a culinary identity of Jakarta between a blend of Western and Eastern cultures (Indonesia). The Jakarta's local culinary taste of pletok beer as a Betawi distinctive drink has become the cultural heritage of the Jakarta City, how the Nusantara people use medicinal plants to become health drinks. Pletok beer is used during kongkow-kongkow or friendship gatherings other than as a regional health drink.

Keywords: Pletok Beer, local culinary, taste, and Jakarta.

This article examines gender discrimination, and investigates the relation between gender and social class relation experienced by the main female character, Carla, in the short story entitled Bob Darling by Carolyn Cooke. The method used in this study is descriptive qualitative applying the concept of gender discrimination by Mansour Fakih and the concept of intersectionality by Kimberlé Crenshaw about the connection of multiple dimensions, such as gender and class in making discrimination. This study aims to find how the main female character that lives in the patriarchal culture is depicted in the story. Moreover, it is to show how social segregation strengthens the gender discrimination. Gender discrimination is unjust treatments and assumptions against someone, particularly based on a person's sex that leads to the role that he or she should play in the society. The different role however, leads to the harm and the loss of person's right in life especially for woman who lives in patriarchal culture. The results show that stereotype, subordination and violence against woman are experienced by the main female character in the society as the effect of gender discrimination. Then, social class as a division of individual classes based on levels of individual's position in society that can be determined by wealth, education, occupation, and others has a part in gender discrimination. When the woman is on lower class, she has less power and authority so that it makes a stronger discrimination against her. In conclusion, in the patriarchal culture, the discrimination against woman is not only influenced by the gender itself, but also the social class.

Demokrasi Barat menganggap paling penting kebebasan individu, dan individu tidak suka tunduk kepada ketertiban umum, yakni aturan-aturan. Demokrasi Timur, sebaliknya,
menganggap paling penting mempersatukan semua individu. Ini mengurangi kemerdekaan individu, tapi ia menganggap dirinya satu dengan keseluruhan dan mengabdikan diri dengan segenap hati kepada kebaikan keseluruhan. Dengan lain perkataan, tuan dan hamba menjadi satu (manunggal ing kawula gusti).

Fenomena budaya kontemporer berisi kebebasan berkekspresi, bahkan gambar dan tulisan di belakang bak truk menjadi media ekspresi representasi terhadap perempuan. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana representasi perempuan dalam gambar dan tulisan bak truk. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif. Data berupa gambar dan tulisan di belakang bak truk yang merepresentasikan perempuan yang bersumber dari laman google.co.id. Analisis data dilakukan dengan pemaknaan terhadap bahasa dan gambar hingga tahap denotasi dan konotasinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak direpresentasikan dalam hal uang, cinta, dan seks secara negatif. Dalam hal uang dan cinta, perempuan direpresentasikan mengambil keuntungan dari laki-laki dari uang dan cinta yang diberikannya. Dalam hal seks, perempuan dapat berposisi sebagai pihak yang aktif sekaligus sebagai pihak yang pasif. Bahasa seksis langsung (overt sexism language) berupa pameo, kalimat imperatif, frasa nomina, sarkasme, serta kata dalam bahasa Indonesia atau bahasa Jawa yang lafalnya ditulis dalam bahasa Inggris. Bahasa seksis tak langsung (covert sexism language) berupa presuposisi, implikatur, repetisi, dan diksi konotatif. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia dan bahasa Jawa. Kata kunci: representasi perempuan, analisis wacana kritis multimodal, bahasa seksis Abstract Contemporary cultural phenomena contain freedom of expression, even the images and writing behind the truck become a medium for expression of representation towards women. This study aims to see how the representation of women in the images and writing of a truck. The approach of this research is a qualitative approach SATWIKA: Kajian Ilmu Budaya dan Perubahan Sosial

Pada kalangan menengah ke bawah yang beban kerja fisiknya tinggi, mereka membutuhkan asupan yang dirasa mampu meningkatkan kemampuan daya tahan tubuh dari rasa lelah. Salah satunya didapat dari minuman energi. Produk minuman energi kemasan lokal yang masuk selain ke toko besar tapi juga ke warung, pedagang jamu dan pedagang kaki lima tentunya menjadi sasaran konsumen. Bukan hanya karena mudah dijangkau, harga yang murah menjadi pilihan tanpa mengindahkan dampak panjang bagi tubuh jika konsumsinya tidak sesuai anjuran. Salah satu merk minuman energi yang familiar di masyarakat adalah Kuku Bima Ener-G.

Dalam beberapa tahun terakhir, mengopi video digital (film atau program televisi) telah menjadi praktik sehari-hari pada beberapa warung internet (warnet) di Yogyakarta. Praktik tersebut berkembang menjadi budaya yang penting untuk dikaji. Tulisan ini berangkat dari penelitian yang bertujuan mendokumentasikan praktik budaya mengopi video tersebut serta memahami implikasinya pada industri distribusi video. Dengan menggunakan pendekatan etnografi baru, informan dalam penelitian ini adalah para pengopi atau pelaku budaya mengopi video di warnet. Temuan data dalam penelitian ini dianalisis dengan kombinasi teori-teori dari Lawrence dan Joe Karaganis (2011). Dalam tulisan ini, temuan akan dibagi ke dalam tiga tahap. Pertama, menyoroti transisi budaya mengonsumsi video yang dilakukan oleh para pengopi. Kedua, memaparkan perkembangan budaya mengopi video di warnet sejak kemunculannya hingga kini. Terakhir, meninjau implikasi budaya mengopi video tersebut terhadap akses konsumen pada industri distribusi video di Yogyakarta. Sebagai kesimpulan, penelitian ini menunjukkan bahwa budaya mengopi video merupakan rekomodifikasi produk media digital yang tumbuh sejalan dengan adanya perkembangan teknologi media dan perubahan kultural dalam mengonsumsi media. Budaya mengopi video berkembang dengan munculnya warnet-warnet yang menggunakan sistem bisnis "all you can copy". Sistem bisnis ini tidak meletakkan harga satuan pada produk video, namun menggunakan tarif akses database warnet dalam hitungan waktu. Di sini terjadi rekomodifikasi produk media di mana sulit dipastikan produsen video memperoleh keuntungan ekonomi langsung dari konsumen video. Sebaliknya sebagai distributor, warnet yang mengambil keuntungan ekonomi langsung dari konsumen.

1) Bentuk Interaksi Antara Agama Hindu dan Pelestarian Cagar Budaya di Daerah Aliran Sungai (DAS) Pakerisan, Tampaksiring, Gianyar,
2) Prasasti Raja Jayasakti di Desa Bebandem, Karangasem,
3) Aspek-aspek Ketahanan Pada Masa Pemerintahan Raja Udayana di Bali,
4) Nilai Penting Tinggalan Arkeologi di Situs Candi Wasan, Banajr Blahtanah, Desa Batuan Kaler, Kecamatan Sukawati Gianyar
5) Perekaman Data Dengan 3D Laser Scanner Gereja Katolik Kristus Raja, Kelurahan Pagal, Kecamatan Cibal, Kabupaten Manggarai, Provinsi NTT, dan
6 ) Produksi Dalam Turistifikasi Pura Puseh Desa Batuan Dalam Konteks Pariwisata Global.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui makna denotasi dan konotasi pada
foto esai “Kisah Perokok Kelas Menengah” karya Haryamin. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui penggambaran rokok sebagai gaya hidup bagi kalangan
pelajar dalam foto esai “Kisah Perokok Kelas Menengah” karya Haryamin.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian
analisis teks media dengan menggunakan analisis semiotika Roland Barthes. Objek
penelitian ini adalah foto esai “Kisah Perokok Kelas Menengah” karya Haryamin.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan teknik analisis dokumen. Data dianalisis
dengan menggunakan analisis semiologi Roland Barthes

Makalah ini mengkaji relasi antara eksistensi tas bermerk dan identitas sosial para pemakaianya. Teori utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori strukturasi dari Pierre Bourdieu. Kemudian, sebagai kajian pendukung, fenomena kemunculan tas tiruan (KW) akan dibahas dengan menggunakan pendekatan strukturasi pada tataran makro dari Anthony Giddens. Dalam penelitian ini dapat ditarik simpulan bahwa tas bermerk versi aslinya (ori) merupakan realisasi kapital simbolik dan strategi distinction untuk menunjukkan identitas sosial sebagai perempuan kelompok masyarakat elit (superordinat). Sementara itu, kemunculan tas bermerk versi tiruannya (KW) dilatarbelakangi oleh keterbatasan sumber daya (reseources) dalam proses resignifikansi dari perempuan kelompok masyarakat biasa (subordinat) yang memiliki intensi untuk mendapat pengakuan dari kelompok superordinat.

Kata kunci: tas bermerk, identitas sosial, kapital simbolik, strategi distiction, resources, resignifikansi

This article presents two points, i.e. postcolonial forms and patterns in Tempo, especially those in the section of literary book reviews. The study focused on the literary book reviews in Tempo published in 2000-2007. The data were collected through document analysis and were analyzed using the content analysis and qualitative descriptive technique. The findings are as follows. First, postcolonial themes in some literary book reviews in Tempo talk about: (1) stories of the Orient, (2) colonialism, (3) reviews of Western literature (including works translated into Indonesian), and (4) literary works talking about postcolonial matters. Besides, some reviews are related to: (5) Indonesian literature translated into English, (6) the encounter of the West and the East in several stories, and (7) Islam in the West. Second, the reviewers are aware of postcolonial patterns in the form of literary book reviews.

Lapo tuak tidak dapat dipisahkan dari kehidupan orang Batak, seolah-olah dikatakan bahwa di mana ada orang Batak, di situ ada lapo tuak. Jika merujuk pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, lapo berasal dari kata lepau yang artinya adalah warung kecil. Sedangkan dalam bahasa

Midnight culture atau budaya tengah-malam adalah aktivitas produktif dan konsumtif masyarakat di waktu tengah malam hari yang ditandai perilaku dan gaya hidup begadang atau berjaga tidak tidur hingga menjelang waktu pagi hari. Budaya ini direproduksi oleh media melalui program-program acara yang ‘menghidupkan’ waktu tengah-malam hingga menjelang pagi bahkan siaran 24 jam. Budaya ini juga diafirmasi dan dikomodifikasi oleh merek-merek dengan menawarkan nilai-nilai produk dan layanan yang mendukung kenyamanan konsumen dalam menghabiskan waktu tengah-malam hingga menjelang pagi tersebut.

Berkaitan dengan midnight culture yang ditandai budaya begadang ini, penulis menemukan beberapa makna penting dari anak-anak muda urban sebagai aktor atau pelaku begadang. Pertama, begadang merupakan indikator gaya hidup insomnia yang dilakoni dengan ‘bangga’. Alih-alih menjadi momok penyakit yang menakutkan, insomnia malah dimaknai sebagai realitas yang memberikan identitas eksklusif (keren) dan heroik. Kedua, begadang merupakan media bagi anak muda urban dalam memenuhi hasratnya mencapai kesuksesan. Ketiga, begadang juga merupakan media bagi anak muda urban dalam mengonstruksi identitas ‘workaholic’, sebuah identitas yang terkait dengan hasrat mencapai kesuksesan. Keempat, begadang di gerai bermerek (branded merchant) 24 jam memberikan kesenangan (pleasure) sosial, karena sifatnya sebagai ruang publik yang terbuka, terang dan dipenuhi pengunjung.

Ada proses dialektikal antara wacana personal anak-anak muda urban dalam memaknai midnight culture atau budaya begadang dengan wacana sosial (kolektif) maupun wacana media. Ketika insomnia menjadi realitas keren dan heroik, subyek tak dapat melepaskan diri dari wacana film tentang keheroikan dan kekerenan pengidap insomnia. Ketika kesuksesan dan workaholic menjadi wacana sosial yang dianggap ‘mampu meningkatkan citra’ seseorang, maka begadang menjadi medium bagi anak muda urban untuk memilikinya. Budaya begadang juga, secara diskursif, tidak terlepas dari sifatnya yang ‘sosial’, di mana secara tradisional, masyarakat Indonesia kebanyakan begadang secara bersama-sama.

Midnight culture atau budaya tengah-malam adalah aktivitas produktif dan konsumtif masyarakat di waktu tengah malam hari yang ditandai perilaku dan gaya hidup begadang atau berjaga tidak tidur hingga menjelang waktu pagi hari. Budaya ini direproduksi oleh media melalui program-program acara yang ‘menghidupkan’ waktu tengah-malam hingga menjelang pagi bahkan siaran 24 jam. Budaya ini juga diafirmasi dan dikomodifikasi oleh merek-merek dengan menawarkan nilai-nilai produk dan layanan yang mendukung kenyamanan konsumen dalam menghabiskan waktu tengah-malam hingga menjelang pagi tersebut.

Berkaitan dengan midnight culture yang ditandai budaya begadang ini, penulis menemukan beberapa makna penting dari anak-anak muda urban sebagai aktor atau pelaku begadang. Pertama, begadang merupakan indikator gaya hidup insomnia yang dilakoni dengan ‘bangga’. Alih-alih menjadi momok penyakit yang menakutkan, insomnia malah dimaknai sebagai realitas yang memberikan identitas eksklusif (keren) dan heroik. Kedua, begadang merupakan media bagi anak muda urban dalam memenuhi hasratnya mencapai kesuksesan. Ketiga, begadang juga merupakan media bagi anak muda urban dalam mengonstruksi identitas ‘workaholic’, sebuah identitas yang terkait dengan hasrat mencapai kesuksesan. Keempat, begadang di gerai bermerek (branded merchant) 24 jam memberikan kesenangan (pleasure) sosial, karena sifatnya sebagai ruang publik yang terbuka, terang dan dipenuhi pengunjung.

Ada proses dialektikal antara wacana personal anak-anak muda urban dalam memaknai midnight culture atau budaya begadang dengan wacana sosial (kolektif) maupun wacana media. Ketika insomnia menjadi realitas keren dan heroik, subyek tak dapat melepaskan diri dari wacana film tentang keheroikan dan kekerenan pengidap insomnia. Ketika kesuksesan dan workaholic menjadi wacana sosial yang dianggap ‘mampu meningkatkan citra’ seseorang, maka begadang menjadi medium bagi anak muda urban untuk memilikinya. Budaya begadang juga, secara diskursif, tidak terlepas dari sifatnya yang ‘sosial’, di mana secara tradisional, masyarakat Indonesia kebanyakan begadang secara bersama-sama.

Tulisan ini mengajukan tesis bahwa GNPF-Ulama bukan menjadi kekuatan tunggal dalam mewakili aspirasi politik umat Muslim di Indonesia hari ini, sebagaimana unit analisis mainstream ketika mendiskusikan fenomena populisme Islam di Indonesia. Terdapat Nahdlatul Ulama (NU) yang memainkan peran penting dalam upaya menantang dan bahkan ingin merebut kembali wacana populisme Islam dari GNPF-Ulama. Upaya NU untuk meneguhkan diri sebagai kekuatan politik Islam tidak lepas dari kebangkitan gerakan Bela Islam yang telah mereduksi pengaruh NU sebagai organisasi Islam yang dominan di Indonesia. Seturut dengan hal tersebut, analisis wacana dalam rangka memobilisasi kesadaran umat Islam di Indonesia guna mendapatkan legitimasi penting untuk dikemukakan, baik sebagai kerangka teori maupun metodelogi, selain kajian tentang populisme dan populisme Islam. Di sisi lain, populisme berbasis identitas keagamaan Islam kerap dipahami sebagai salah satu model populisme yang berlawanan dengan kekuatan populisme berbasis nasionalisme. Padahal, upaya menyatukan ide nasionalisme dan Islam telah menjadi narasi agenda populisme bagi NU guna melawan narasi wacana GNPF-Ulama. Terlepas dari perbedaan ideologi keagamaan, perbincangan tentang populisme Islam di Indonesia tidak terlepas dari persoalan pertarungan wacana yang terjadi di dalam internal kekuatan kelompok Islam itu sendiri. Pada akhirnya, tulisan ini menawarkan sebuah pembacaan terhadap fenomena populisme di Indonesia dalam prespektif diskursif.

The development of global culture is possible to shift the local culture, if the local culture cannot adapt with the global culture. This study aimed to comprehend the influence of popular culture to Astrajingga Giriharja costume creativity. With qualitative method, this research conducted in-depth interview with the source associated with this research,. It also used popular culture theories and creativity and its visual analysis. The findings showed that those culture influenced each other because the culture experienced by our present generation is a room with many doors to which everybody is able to get into one door and out to others. The costume of Astrajingga character gained the influences from other cultures, especially popular culture. Popular culture became one of standards in Dalang's creativity implementation in order to maintain puppet/wayang art to exist in global world.

This study is aimed at finding gender relations between male and female character as they are depicted in Willow Trees Don’t ’Weep (2014) novel written by Fadia Faqir. This study employs descriptive qualitative method on feminist literary criticism as a theory to find and reveal gender issues. The text is analyzed by using feminist criticism “woman as reader” to give the evaluation and interpretation on how woman writes about woman. The result shows that there are three significant points in which gender relation in patriarchal culture is portrayed in the novel. They are male domination, discrimination towards women, and violence against women. The results were evaluated by examining female character’s condition in a patriarchal society through woman’s point of view based on her social life and experiences. Moreover, the country where women live is influenced the gender relation. Jordan in this case, has the strongest patriarchal system compared to Pakistan, Afghanistan, and London (the countries where Najwa lived while searching for her father).
Keywords: Feminist Literary Criticism, Gender Relation, Patriarchal Culture.

If in the New Order era, the political dynamics in the production and consumption of pop cultures was caught in the polarity between those for, and those against, the status quo centred at the official ideology of (that 'recognized' by) the governmental regime which was a combination of Javanism, secularism, militarism, paternalism, developmentalism and indigenism, then in the post-New Order or the Reform era, feud of the identity politics intertwined in between: (a) local sentiment and national authority; (b) syncretic Javanism and new Islam piety; (c) patriarchy and the women's movement; (d) lower and upper-class cultural tastes; and (e) digital divide and empowerment.

If in the New Order era, the political dynamics in the production and consumption of pop cultures was caught in the polarity between those for, and those against, the status quo centred at the official ideology of (that 'recognized' by) the governmental regime which was a combination of Javanism, secularism, militarism, paternalism, developmentalism and indigenism, then in the post-New Order or the Reform era, feud of the identity politics intertwined in between: (a) local sentiment and national authority; (b) syncretic Javanism and new Islam piety; (c) patriarchy and the women's movement; (d) lower and upper-class cultural tastes; and (e) digital divide and empowerment.

Mungkin kita tidak pernah menyadari bahwa sebenarnya banyak diantara kita memiliki lebih dari satu nama panggilan. Di rumah, ayah ibu dan anggota keluarga kita mungkin memanggil kita dengan nama yang berbeda dengan nama yang kita pakai saat berada di sekolah atau bekerja di kantor. Orang bilang, nama panggilan kita di rumah adalah nama kesayangan kita, yang biasa dipakai oleh anggota keluarga dan kerabat-kerabat kita. Diantara teman-teman sepergaulan pun, kita mungkin memiliki nama panggilan tersendiri. Orang bilang itu nama samaran. Jadilah kita sebagai pribadi dengan nama yang jamak. Contoh lain adalah ketika kita sedang berbelanja sayur atau ikan di pasar tradisional. Bila dalam proses tawar-menawar itu kemudian diketahui bahwa diantara si penjual dan si pembeli tersebut terdapat kerekatan sosial tertentu, maka si penjual cenderung memberi bonus ketimbang hanya memberikan komoditi sesuai dengan harga aslinya. Juga, dalam sistem adat perkawinan di beberapa daerah, jika ada pria dari luar kampung yang menikahi seorang gadis di kampung tersebut, maka pria asing tersebut mesti masuk ke salah satu suku di dalam kampung tersebut agar lebih mudah dalam identifikasi adatnya. Para orang tua di kampung tersebut sepakat bahwa menurut adat, perlakuan terhadap orang-orang di kampung sendiri mesti berbeda dengan orang yang datang dari luar kampung.