Alih Fungsi Lahan

Pasca Bencana Tsunami Aceh 2004, terdapat perubahan pada daya dukung lahan yang dipengaruhi oleh bencana alam yang merusak lahan pertanian. Selain faktor alam, perubahan daya dukung lahan di Aceh juga dipengaruhi oleh alih fungsi lahan akibat dari proses rekontruksi dalam masa pemulihan Kota Banda Aceh yang merupakan pusat Ibu kota Provinsi Aceh. Maraknya pembangunan di Aceh memicu terjadinya pertumbuhan penduduk yang juga berdampak pada Kabupaten Aceh Besar yang letaknya bersebelahan dengan Kota Banda Aceh. Pertumbuhan penduduk dan alih fungsi lahan pertanian akan berpengaruh terhadap daya dukung lahan wilayah tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana tingkat daya dukung lahan dari tahun 2005-2016 serta jumlah penduduk optimal yang ada di Kabupaten Aceh Besar. Metode yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif. Data yang digunakan adalah data sekunder yang didapat dari Badan Pusat Statistik Kabupaten Aceh Besar. Hasil penelitian menunjukan bahwa secara keseluruhan daya dukung lahan Kabupaten Aceh Besar dari tahun 2005-2016 adalah sebesar 1,71 dan termasuk pada kelas II. Artinya, Kabupaten Aceh Besar mampu melakukan swasembada pangan, namun belum mampu memberikan kehidupan yang layak bagi penduduknya. Secara keseluruhan terdapat 8 kecamatan yang berada pada kelas III, yaitu Kecamatan Lhoknga, Leupung, Mesjid Raya, Baitussalam, Krueng Barona Jaya, Darul Imarah, Peukan Bada dan Pulo Aceh. Berdasarkan hasil perhitungan tahun 2016 Kabupaten Aceh Besar memiliki jumlah penduduk optimal 664.524
Kata Kunci: Daya dukung lahan, Jumlah Penduduk Optimal, Kabupaten Aceh Besar

Fenomena pengalihan penggunaan lahan pertanian menjadi non pertanian, khususnya dalam studi kasus ini terjadi di Kabupaten Batang yang merupakan sumber daya utama utama usaha pertanian menimbulkan munculnya beberapa implikasi positif dan juga negatif yang timbul. Tanah pertanian yang merupakan faktor produksi menyebabkan terjadinya persaingan dalam aktivitas yang mempunyai harga tanah. Tidak adanya rencana umum penggunaan lahan di Indonesia yang menyebabkan terjadinya kerusakan akibat dari tumpang tindih lahan mix use yang dilihat dari aspek lingkungan. Hal ini jelas berlawanan dengan realita yang ada. Apabila hal ini terus menerus dibiarkan dan tidak dikendalikan maka akan menyebabkan menurunnys daya dukung tanah terhadap pembangunan yang berwawasan lingkungan dan pada akhirnya akan menimbulkan bencana sosial yang tidak diinginkan.

Lahan pada umumnya lebih dikaitkan pada unsur pemanfaatan/peruntukan/penggunaan tanah yang ada. Lahan sendiri dalam perencanaan dipahami sebagai ruang. Lahan merupakan ruang fungsional yang diperuntukkan untuk mewadahi beragam kegunaan, salah satunya untuk menunjang kelangsungan hidup manusia. Dalam konteks ini, lahan digunakan sebagai tempat manusia beraktivitas dalam upaya mempertahankan eksistensinya. Seiring dengan pertumbuhan populasi yang terus meningkat, serta perkembangan peradaban manusia yang semakin maju, penggunaan lahan mulai terusik. Sebagai contoh, jumlah penduduk terus bertambah banyak, sedangkan lahan yang tersedia untuk menampung penduduk itu tetap pada jumlah yang sama (tidak bertambah banyak). Ditemukannya banyak penemuan baru serta teknologi yang lebih maju juga memengaruhi penggunaan lahan, dengan banyaknya dibangun berbagai industri. Lahan yang semula adalah lahan pertanian atau hutan, kini berangsur-angsur berubah menjadi permukiman penduduk dan lahan non-pertanian. Hal inilah yang kemudian disebut sebagai alih fungsi lahan.

disampaikan oleh Oswar Mungkasa (Direktur Tata Ruang dan Pertanahan Bappenas) pada acara FGD Aktual 2 " Konsep Perluasan Kawasan Industri dan Permukiman Tanpa Alih Fungsi Lahan Pertanian Guna Menjaga Sustainable Development dalam Rangka Ketahanan Nasional pada 26 Agustus 2014 di Lemhanas

Tingkat pemanfaatan lahan untuk kawasan pemukiman semakin bertambah, seiring dengan semakin tingginya angka kelahiran dan kematian maupun migrasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui berapa luas perubahan penggunaan lahan dan faktor-faktor yang memengaruhi perubahan penggunaan lahan di perbatasan kota Makassar-Maros dengan menggunakan remote sensing selama 20 tahun. Desain penelitian adalah gabungan antara metoda kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh dengan mengunduh peta citra landsat 5 TM, 7 ETM+ dan 8 OLI pada areal Makassar-Maros, koreksi geometrik, pemotongan (cropping) citra dan interpretasi. Data sekunder diperoleh dari interview langsung kepada masyarakat setempat secara sistematis. Data penelitian sebanyak 3 peta citra landsat yaitu tahun 1994, 2004 dan 2014. Data spasial dianalisis dengan proses overlay (union) sedangkan non spasial dianalisis dengan analisis statistik menggunakan metode regresi logistik biner pada program SPSS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 98,07 ha merupakan daerah budidaya pertanian lahan pangan, 62,51 ha merupakan daerah budidaya pertanian lahan kering dan 1,98 ha merupakan daerah budidaya tambak dibanguni pemukiman liar tanpa mengikuti arahan kebijakan pola ruang dari pemerintahan Kota Makassar-Maros. Disimpulkan bahwa hasil analisis regresi logistik biner menunjukkan kepadatan penduduk, elevasi, kebijakan RTRW dan jenis tanah sangat signifikan memengaruhi perubahan penggunaan lahan.

Krisis kehidupan yang mengancam orang rimba tak bisa dihindari seiring dengan sulitnya mendapatkan sumber makanan dan air bersih di hutan akibat kerusakan hutan dan meluasnya konversi hutan menjadi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI). Dalam Kompas.com (8/4/2015) Kasus kematian beruntun di komunitas Orang rimba dinilai sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia oleh negara. Negara tidak hadir pada saat ada kebutuhan warganya atas perlindungan hidup, kesehatan, pendidikan, dan budaya. Sejak Januari hingga April 2015, kematian warga selama masa melangun di wilayah Terab, Kabupaten Sarolangun-Batanghari, Jambi, sudah mencapai 14 jiwa. Terdapat nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila seperti diatas yang telah dilanggar atas kehidupan masyrakat Suku Anak Dalam, seperti yang telah dikatakan Komnas HAM, ada enam pelanggaran atas hak-hak dasar Orang rimba yang diakui secara universal. Implementasi nilai-nilai pancasila di Indonesia menjadi dipertanyakan keseriusannya.

Kecamatan Waigeo Utara merupakan sebuah distrik di Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, dengan enam kelurahan/desa dengan luas total lahan 6.16 Ha memiliki beberapa kawasan dengan tingkat kesesuaian antara kondisi eksisting penggunaan lahan dengan arahan peruntukan pola ruang kurang dari 50% di tahun 2003. Peneliti melakukan analisis pada tahun 2017 untuk mengetahui perubahan tata guna lahannya dan mendapatkan hasil analisis kesesuaian lahan yang meningkat menjadi hampir 80%. Peneliti mengacu pada data sekunder yaitu RTRW Kabupaten Raja Ampat Tahun 2010 – 2030. Dalam penelitian ini metode yang dipilih oleh peneliti yaitu metode Geoprocessing yang merupakan suatu proses dalam SIG digunakan untuk melakukan analisa terhadap data spasial.

Alih fungsi lahan marak terjadi di Indonesia 10 tahun belakangan ini. Hal tersebut terjadi terutama di wilayah Sumatera dan Kalimantan yang memang hutannya masih cukup lebat. Pengalihan fungsi hutan menjadi kebun kelapa sawit, perumahan atau menjadi pusat industri sudah tidak bisa dihinari lagi karena jumlah manusia yang semakin bertambah namun jumlah tanah tetap. Dan bila alih fungsi lahan ini masih akan terjadi hingga 20 tahun kedepan tak heran kalu kelak hutan yang kita banggakan akan tinggal menjadi kenangan.

Keberadaan lahan pertanian sangat penting dalam mempertahankan kedaulatan pangan dan kebutuhan dalam maupun untuk luar wilayah. Namun, pertumbuhan penduduk yang dinamis dan tinggi membuat kebutuhan pangan meningkat dan mempengaruhi keberadaan lahan pertanian untuk berbagai kebutuhan. Sehingga, memunculkan potensi krisis pangan bila tidak segera ditemukan anstisipasinya. Oleh karena itu, pemerintah mengupayakan pengendalian konversi lahan pertanian melalui Undang-Undang RI Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B), sehingga diharapkan dapat mendorong ketersediaan lahan pertanian untuk menjaga kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan. Sektor pertanian Kabupaten Sumedang merupakan penyumbang terbesar PDRB dengan produksi padi tahun 2013 sebesar 510. 862 Ton, dari luas panen 80. 297 ha. Penetapan Lahan Pertanian Tanaman Pangan Berkelanjutan (LP2B) yang sesuai di Kabupaten Sumedang cukup merata dengan luas lahan 31. 771 ha. Sedangkan kawasan LP2B yang tidak sesuai seluas 5. 309 ha yang tersebar di kecamatan Jatinunggal, Cimanggung, Wado, Situraja Conggeang dan sebagian kecil terdapat di Jatinangor, Cikereuh dan Ujung Jaya. Proyeksi perencanaan kebutuhan pangan tahun 2025 dengan jumlah penduduk 1. 169. 803 Jiwa Kabupaten Sumedang harus memiliki cadangan beras sebanyak 75. 540, 22 Ton pada luas panen 11. 97, 1 ha. Sementara itu, kebutuhan luas tanam padi sawahnya seluas 1. 197, 1 ha dengan kebutuhan lahan baku (dasar) sawah seluas 18, 41 ha

Salah satu dampak dari perkembangan pada suatu wilayah adalah pengalihan fungsi
lahan pertanian menjadi lahan terbangun. Desa Mlese dan Desa Dlimas adalah desa yang
letaknya paling Utara di Kecamatan Ceper, yang mana memiliki akses utama menuju pusat
kota dan jalur arteri kabupaten berupa jalan provinsi yaitu Jalan Karangwuni yang
menghubungkan Kecamatan Ceper dengan jalan arteri Yogyakarta – Surakarta. Hal ini menjadi
salah satu faktor daya dukung wilayah yang membuat perkembangan wilayah termasuk sektor
industri berkembang secara masif karena wilayah yang strategis dan membuat peluang
distribusi barang yang cepat dan efisien, sehingga menarik investor untuk berinvestasi dengan
membangun kawasan industri di sepanjang Jalan Karangwuni.
Selain itu, faktor lain dari terjadinya alih fungsi lahan pertanian pada Desa Mlese dan
Desa Dlimas adalah pertumbuhan penduduk dan semakin tingginya jumlah kebutuhan hidup
rumah tangga, begitu juga dengan penduduk bermatapencaharian petani. Hal ini dapat
mendorong penjualan aset lahan pertanian kepada investor untuk memenuhi tuntutan
kebutuhan hidup. Hal ini dibuktikan dengan adanya luas lahan pertanian sebanyak 184.681 m2
atau 18,5 Ha yang beralih fungsi pada Desa Mlese dan Desa Dlimas, juga proses jual beli lahan
pertanian yang intensif di tahun 2014 – 2015 sebanyak 49 kali.

Kota Batu merupakan salah satu kota berdataran tinggi di Provinsi Jawa Timur yang memfokuskan diri pada perencanaan pembangunan berkelanjutan di sektor pertanian dan pariwisata. Hal ini didukung dengan keadaan wilayah eksisting Kota Batu dimana banyak terdapat berbagai jenis wisata baik itu wisata alam maupun wisata buatan. Selain itu, kondisi pertanian di Kota Batu juga sangat subur diperkaya dengan berbagai variasi tanaman yang dapat di panen. Hal tersebut sesuai dengan visi Kota Batu yang terdapat dalam RTRW Kota Batu Tahun 2010-2030 yakni "Kota Batu Kota Wisata dan Agropolitan (pertanian)". Namun, walaupun sektor pariwisata menjadi salah satu fokus utama, karena adanya penambahan jumlah penduduk dan meningkatnya pertumbuhan ekonomi, kondisi sektor pertanian Kota Batu mulai terancam akibat alih fungsi lahan pertanian (sawah) ke penggunaan non-pertanian seperti permukiman juga. Akibat semakin banyaknya penuntutan pemenuhan kebutuhan akan lahan terbangun guna mendukung pembangunan lahan permukiman dan pariwisata, lahan peruntukan sektor pertanian menjadi terancam. Hal ini menyebabkan adanya tumpang tindih penyediaan lahan antara peruntukan pariwisata/permukiman dengan peruntukan pertanian yang sama-sama dijadikan sebagai sektor utama pendapatan Kota Batu. Fenomena alih fungsi lahan pertanian ini terjadi di seluruh bagian kecamatan yang ada di Kota Batu terutama di wilayah Kecamatan Junrejo yang merupakan kawasan pertanian. Hal ini dipercepat juga dengan adanya pembangunan wisata terkenal di Kota Batu yang menghabiskan lahan sawah seluas 16 Hektar. Apabila pengalihan lahan ini terus-menerus dilakukan maka akan berdampak pada penurunan kualitas lingkungan sehingga daya dukung lingkungan juga ikut berkurang.