Academia.eduAcademia.edu

BAB 12 kelompok

MAKALAH KEUANGAN NEGARA HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH DOSEN PENGAMPU: Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS. DISUSUN OLEH ; KELOMPOK 6 Bunga Carolline B1B121048 Silvia Syahfitri B1B121064 Devalia Natasa B1B121081 Ismi Ladia Putri B1B121093 PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JAMBI 2022 KATA PENGANTAR Alhamdulillah puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmat, hidayah serta karunianya, hingga kami semua dapat melakukan aktifitas sehari-hari dengan lancar. Shalawat serta salam tanpa lupa kami tunjukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai teladan yang kita patut contoh yang telah membawa kita ke zaman yang terang bederang ini. Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terimakasih pada Bapak Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS. yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas kami dalam makalah yang berjudul “Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” hingga selesai. Terimakasih kami ucapkan kepada orang tua atas dukungan semangatnya serta kelompok 6 yang sudah bekerja sama menyelesaikan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa Universitas Jambi dan masyarakat, nusa, bangsa, dan agama. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam paper yang kami buat oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya mohon maaf dan mohon saran dan kritiknya supaya makalah ini lebih baik lagi. Jambi, 27 November 2022 Kelompok 6 DAFTAR ISI KATA PENGANTAR .................................................................................................................ii DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................1 A. LatarBelakang...................................................................................................................1 B. RumusanMasalah.............................................................................................................1 C. TujuanPenulisan...............................................................................................................2 BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................3 A. Transfer Keuangan Ke Pemerintah Daerah Dari Pemerintah Pusat .................................................................4 B. Usaha Pajak Dan Kebutuhan Fiskal .....................................................................................................4 C. Pendapatan Daerah.........................................................................................................6 D. Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan.........................................................................................................7 BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 14 A. Kesimpulan......................................................................................................................14 B. Saran.................................................................................................................................14 DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 15 BAB I PENDAHULUAN A, Latar Belakang Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, dikarenakan pengaruhnyayang demikian menetukan terhadap konpleksitas hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari aspek keuangan negara antara lain juga mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya. Apabila sumber pendanaan dari keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan pemerintah di dalam menjalankan keorganisasian negara, baik dalam rangka melaksanakan urusan-urusan pemerintah dan pembangunan maupun pelayanan terhadap warganya akan bertambah stabil dan semakin baik serta positif di mata rakyatnya. Sebaliknya suatu pemerintahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam memperlancar pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan, jika tidak didukung kondisi keuangan negara yang baik pula. Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi suatu negara, maka segala daya upaya akan dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap sember keuangan yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membianya pengeluaran kegiatan jalannya pemerintahan dan pembangunan. Sebagian besar hasil penerimaan yang diperoleh dari upaya pemanfaatan segenap potensi keuangan yang berhasil diterima oleh Pemerintah Pusat, disalurkan dan digunakan melalui sektor-sektor yang ditentukan dalam APBN. Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004. Kedua UU ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Menurut penelitian Adi (2006) kebijakan ini merupakan tantangan dan peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dikarenakan Pemda memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan efektif. Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip ekonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat. Menurut penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007) anggaran daerah merupakan rencana keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen anggaran daerah disebut APBD, baik untuk propinsi maupun kabupaten dan kota. APBD adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD memiliki fungsi yaitu otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, stabilisasi. Menurut Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam sistem pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian APBD harus mencerminkan kondisi keuangan pemerintah daerah berisi informasi mengenai pendapatan, belanja dan pembiayaan. APBD disusun sesuai kebutuhan penyelenggaran pemerintah dan kemampuan pendapatan daerah dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah, penganggaran terpadu, dan penganggaran prestasi kerja (Yuwono, 2008:85). Menurut penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007) penyusunan APBD diawali dengan membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang kebijakan umum APBD dan prioritas & plafon anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijakan umum APBD dan prioritas & plafon anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif. Berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah, membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pengelolaan pemerintah daerah. UU ini menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah, pemerintah pusat akan menstranfer dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana perimbangan terdiri dari DAU, DAK, dan bagian daerah dari hasil pajak pusat. Di samping dana perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa PAD, pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah. B. Rumusan Masalah 1. Bagaimana Transfer Keuangan Ke Pemerintah Daerah Dari Pemerintah Pusat? 2. Apa Itu Usaha Pajak Dan Kebutuhan Fiskal? 3. Apa Itu Pendapatan Daerah? 4. Apa itu Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan C. Tujuan Penulisan 1. Agar mengetahui bagaimana transfer keuangan ke pemerintah daerah dari pemerintah pusat 2. Agar mengetahui apa itu usaha pajak dan kebutuhan fiskal 3. Agar mengetahui apa itu pendapatan daerah 4. Agar mengetahui apa itu dekonsentrasi dan tugas pembantuan BAB II PEMBAHASAN 1.1 Transfer keuangan ke pemerintah daerah dari pemerintah pusat Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut. Sedangkan Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD merupakan rencana keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Adapun Sumber-sumber keuangan daerah atau pendapatan ash daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan daerah. Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah ditetapkan (PP 58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, artinya memaksimumkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah. a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi: 1) Hasil Pajak Daerah UU No. 28/ 2009 menjelaskan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak Provinsi: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea batik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor; pajak air permukaan; dan pajak rokok. Pajak Kabupaten/Kota: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkin, pajak air tanah, pajak sarang burung valet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. 2) Hasil Retribusi Daerah Retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapat pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi daerah terletak pada yang dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga retribusi sangat berhubungan erat dengan jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan. Retribusi dikelompokkan menjadi: a. Retribusi jasa umum: retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh, pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan. b. Retribusi jasa usaha: retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta. Beberapa contoh retribusi daerah: a. Biaya jalan tol b. Biaya pangkalan c. Biaya penambangan d. Biaya potong hewan e. Uang muka sewa tanah/ bangunan f. Uang sempadan dan izin bangunan g. Uang pemakaian tanah milik daerah 3) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Milik Daerah yang Dipisahkan. 4) PendapatanLain-Lain Asli Daerah yang Sah. PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Klasifikasi yang termasuk Pendapatan Asli Daerah yang sah adalah sebagai berikut. a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; b. jasa giro; c. pendapatan bunga; d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah; e. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah; f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan h. pendapatan denda pajak; i. pendapatan denda retribusi; j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; k. pendapatan dari pengembalian; l. fasilitas sosial dan fasilitas umum; m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan n. pendapatan dan angsuran/cicilan penjualan. b. Dana Perimbangan Dana perimbangan meliputi: 1) Dana Alokasi Umum Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Dana Alokasi Umum terdiri dari DAU untuk Daerah Provinsi dan DAU untuk Daerah Kabupaten/ Kota. Proporsi DAU antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. DAU untuk suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah dan DBH. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. 2) Dana Bagi Hasil Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH dilakukan berdasarkan prinsip by origin (daerah penghasil) dan penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan. DBH bersumber dari pajak dan sumber Jaya alam. DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak Bumi Dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak Penghasilan Pasal 21. Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri Keuangan. DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah. Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam berasal dari: a. Kehutanan b. Pertambangan Umum c. Perikanan d. Pertambangan Minyak Bumi e. Pertambangan Panas Bumi 3) Dana Alokasi Khusus Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/ kabupaten/ kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan Pemerintah Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional. Bila dibandingkan Antara ke dua sumber dana di APBD, dana perimbangan mempunyai peran yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah. Artinya, Bagi Daerah, Dana perimbangan merupakan suatu yang sangat berartidalam peningkatan kapasitas daerah dalam pelayanan publik, Pelayanan masyarakat akan semakin baik. Cakupan dan jangkauan pelayanan semakin luas dan dekat dengan masyarakat yang dilayani. Dengan demikian, harapan kesejahteraan masyarakat sangat memungkinkan diwujudkan melalui kebijakan desentralisasi fiskal yang memuat hubungan(perimbangan) keuangan Antara pusat dan daerah. 1.2 Usaha Pajak Dan Kebutuham Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dirancang dan dilaksanakan pemerintah untuk mengelola serta mengarahkan kondisi perekonomian lewat pengendalian pengeluaran dan penerimaan negara. Kebijakan fiskal digunakan untuk memaksimalkan pendapatan negara untuk disalurkan ke program-program yang bertujuan mendongkrak perekonomian secara nasional, serta digunakan juga sebagai perangkat untuk mencapai keseimbangan ekonomi. Secara garis besar, kebijakan fiskal memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut: 1. Menciptakan kestabilan ekonomi 2. Mendorong pertumbuhan ekonomi 3. Mendorong laju pertumbuhan investasi yang masuk 4. Memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan 5. Menciptakan keadilan sosial 6. Mewujudkan pemerataan dan pendistribusian pendapatan 7. Memastikan kestabilan harga barang dan jasa Fungsi Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal memiliki beberapa fungsi strategis, antara lain: 1. Alokasi Fungsi alokasi pada kebijakan fiskal dimaksudkan sebagai fungsi kebijakan yang mengalokasikan barang-barang produksi. Ketika alokasi barang-barang produksi ini lancar dan tepat sasaran maka kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Kebijakan fiskal ini mendukung kelancaran alokasi barang produksi tersebut. 2. Distribusi Fungi kebijakan fiskal juga sebagai instrumen untuk pendistribusian hasil kegiatan ekonomi, agar tiap-tiap daerah tidak terlalu timpang perkembangan ekonominya. Jika kebijakan fiskal tidak menyentuh distribusi pendapatan maka ketimpangan antar daerah bisa semakin besar dan menimbulkan permasalahan ekonomi baru. 3. Fungsi Stabilitas Kebijakan fiskal juga berfungsi menciptakan stabilitas perekonomian dengan cara di antaranya, meningkatkan kesempatan kerja serta mengatur harga-harga supaya stabil. Jika perekonomian berjalan dengan stabil, maka pertumbuhan ekonomi dari tahun ke tahun akan semakin meningkat. Tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat merupakan pondasi dari fungsi stabilitas kebijakan fiskal. Jenis Kebijakan Fiskal Dipandang dari pos pendapatan dan pengeluaran, kebijakan fiskal dibagi menjadi empat macam, antara lain: 1. Kebijakan anggaran surplus Kebijakan anggaran surplus merupakan kebijakan fiskal dimana pemerintah tidak menggunakan keseluruhan pendapatan. Dengan tidak dialokasikannya pendapatan negara secara penuh maka pundi-pundi negara akan berlimpah. Kebijakan anggaran surplus ini ditempuh manakala inflasi yang beredar dipandang cukup tinggi atau lebih tinggi dibandingkan target yang ditetapkan. Untuk mengatasi inflasi yang cukup tinggi pemerintah memotong atau menghentikan sementara beberapa pos-pos pengeluarannya. Dengan ditutupnya keran pengeluaran negara maka jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa berangsur-angsur berkurang dan selanjutnya secara bertahap akan menurunkan tingkat inflasi. 2. Kebijakan anggaran defisit Kebijakan anggaran defisit merupakan kebijakan fiskal yang ditempuh untuk mengatasi kelesuan perekonomian atau untuk mengatasi situasi deflasi yang dialami suatu negara. Secara garis besar kebijakan fiskal yang satu ini merupakan kebijakan dimana pos pengeluaran negara jauh lebih besar dibanding pos pendapatan. Untuk mendanai pos pengeluaran yang dirancang lebih besar dibanding pemasukan, pemerintah menggunakan pinjaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Dengan mendorong pengeluaran pemerintah, diharapkan konsumsi di masyarakat bisa naik dan selanjutnya akan mendorong perekonomian. 3. Kebijakan anggaran seimbang Kebijakan anggaran seimbang merupakan bentuk kebijakan fiskal yang mengharuskan pos pengeluaran harus seimbang dengan pos pendapatan. Pemerintah dengan kebijakan ini akan diharuskan menyesuaikan pengeluaran dengan pemasukan yang diterima. Dengan kebijakan anggaran seimbang, pemerintah tidak perlu meminjam dana dari pihak lain dan akhirnya menghindari hutang negara. Meski demikian, jika kondisi perekonomian dilanda deflasi serta tingkat investasi yang masuk mengalami penurunan, kebijakan fiskal jenis ini tidak akan membantu dan akhirnya berdampak pada melambatnya perekonomian. 4. Kebijakan anggaran dinamis Kebijakan anggaran dinamis merupakan jenis kebijakan fiskal yang mirip dengan kebijakan anggaran seimbang, namun laju pos pendapatan dan pengeluaran terus bertambah tiap waktu. Lewat kebijakan ini, pemerintah harus memastikan pendapatan terus naik seiring dengan kebutuhan belanja pemerintah yang diprediksi akan naik pula. Dipandang dari sifatnya, kebijakan fiskal terdiri dari dua macam, antara lain: 1. Kebijakan fiskal discretionary Kebijakan fiskal discretionary merupakan jenis kebijakan fiskal yang digunakan pemerintah untuk menyingkapi perubahan kondisi ekonomi. Kebijakan fiskal yang satu ini tidak memiliki atau mengikuti aturan yang baku. Kebijakan fiskal discretionary dilakukan dengan melakukan perubahan pada anggaran belanja negara, lewat berbagai instrumen, seperti perubahan aturan perpajakan atau perubahan pos-pos pengeluaran. 2. Kebijakan fiskal pasif Kebijakan fiskal pasif atau bisa juga disebut kebijakan automatic stabilizers merupakan jenis kebijakan fiskal yang menekankan pada aspek penyesuaian otomatis tanpa adanya campur tangan pemerintah. Kebijakan fiskal yang satu ini berkaitan erat dengan pengenaan sejumlah pajak, baik langsung maupun tidak langsung. Pengenaan pajak langsung dan tidak langsung ini berkaitan erat dengan pendapatan nasional. Semakin tinggi pendapatan nasional, maka semakin tinggi pula arus pendapatan negara dari pajak. Penerimaan negara dari pajak ini juga berbanding lurus dengan arus pendapatan yang ada di masyarakat. Nah, ada pajak berfungsi sebagai rem yang secara otomatis mampu merespon adanya perubahan pada pendapatan nasional. Keberadaan pajak-pajak ini merupakan bagian dari kebijakan fiskal pasif atau automatic stabilizers atau bisa juga disebut kebijakan fiskal built-in stabilizer. Peran Pajak Dalam Kebijakan Fiskal Pajak merupakan bagian yang tak terpisahkan pada kebijakan fiskal. Pasalnya, pajak merupakan kontributor terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Selain itu, pajak merupakan instrumen fiskal yang sangat efektif dalam mengarahkan perekonomian. Ketika penerimaan negara dari sektor pajak tinggi, maka pemerintah akan mampu mengalokasikannya ke beberapa program strategis. Program-program pembangunan infrastruktur serta alokasi subsidi pada beberapa sektor strategis nasional juga sangat bergantung dari penerimaan negara, salah satunya dari pajak. Lewat alokasi yang tepat maka kebijakan fiskal akan mampu memenuhi tujuan-tujuan yang ditetapkan, seperti menciptakan keadilan sosial serta mendorong pertumbuhan ekonomi. Contoh nyata peran pajak dalam kebijakan fiskal adalah pada 2009 silam. Saat itu, dalam merespon kondisi ekonomi global yang kurang kondusif, pemerintah mengambil keputusan memberlakukan insentif pajak, misalnya penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh), pajak yang ditanggung pemerintah serta meningkatkan besaran penghasilan tidak kena pajak. Lewat kebijakan perpajakan ini, daya beli masyarakat tetap stabil dan membuat konsumsi masyarakat tetap tumbuh. Ketika konsumsi di masyarakat tetap tumbuh maka kegiatan ekonomi tidak berjalan stagnan. Itulah pentingnya pajak bagi kebijakan fiskal dan contoh kecil di atas membuktikan bahwa pajak sangat berperan penting, tak hanya sebagai sumber penerimaan negara tetapi juga sebagai instrumen yang bisa diberlakukan untuk mengarahkan laju perekonomian. 1.3 Pendapatan Daerah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber utama dari Pendapatan Asli Daerah yang tentu nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan roda pemerintahan. Penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari tentang hal tersebut agar dapat memberikan pencerahan dan dapat membantu meningkatkan kesadaran masyarakat untuk selalu taat pajak dan retribusi. penerimaan daerah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa penerimaan daerah adalah semua uang yang masuk ke kas Daerah. Penerimaan daerah terdiri atas: a. b. Pendapatan Daerah; dan Penerimaan Pembiayaan daerah. Dalam peraturan yang sama, pendapatan daerahdijelaskan sebagai semua hak Daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran berkenaan. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang yang diterima melalui Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang mana tidak perlu dibayarkan kembali. Termasuk pula penerimaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang diakui sebagai penambah ekuitas yang merupakan hak daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran. Pendapatan Daerah terdiri atas: a. b. c. pendapatan asli daerah; pendapatan transfer; dan lain-lain Pendapatan Daerah yang sah. Sumber Pendapatan Asli Daerah Mengerucutkan pembahasan pada Pendapatan Asli Daerah, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 31 PP Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut, terdiri atas: 1. 2. 3. 4. pajak daerah; retribusi daerah; hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah. Ketentuan tentang pajak daerah dan retribusi daerah telah diatur tersendiri dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, yang untuk selanjutkan akan dijelaskan pada sub bahasan di bawah. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan Penerimaan Daerah atas hasil penyertaan modal daerah. Sementara lain-lain pendapatan asli daerah yang sah berdasarkan ayat (4) Pasal 31 tersebut terdiri atas: a. b. c. d. e. f. hasil penjualan BMD yang tidak dipisahkan; hasil pemanfaatan BMD yang tidak dipisahkan; hasil kerja sama daerah; jasa giro; hasil pengelolaan dana bergulir; pendapatan bunga; g. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian Keuangan Daerah; h. penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan, tukar-menukar, hibah, asuransi, dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank, penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya merupakan Pendapatan Daerah; i. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; j. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan; k. pendapatan denda pajak daerah; l. pendapatan denda retribusi daerah; m. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan; n. pendapatan dari pengembalian; o. pendapatan dari BLUD; dan p. pendapatan lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa merujuk pada Pasal 31 ayat (2), hal-hal terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam ketentuan yang mengatur mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Jenis Pajak Daerah Pajak Daerah terdiri atas Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi terdiri atas: a. b. c. d. e. Pajak Kendaraan Bermotor; Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; Pajak Air Permukaan; dan Pajak Rokok. Sementara Pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri atas: a. b. c. d. e. Pajak Hotel; Pajak Restoran; Pajak Hiburan; Pajak Reklame; Pajak Penerangan Jalan; f. g. h. i. j. k. Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; Pajak Parkir; Pajak Air Tanah; Pajak Sarang Burung Walet; Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Obyek dan Golongan Retribusi Daerah Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, objek Retribusi Daerah diatur dalam Pasal 108 yang terdiri atas: a. Jasa Umum, retribusi yang dikenakan dalam objek ini digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum; b. Jasa Usaha, retribusi yang dikenakan dalam objek ini digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha; dan c. Perizinan Tertentu, retribusi yang dikenakan dalam objek ini digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu. 1.4 Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu, sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah. Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten dan kota. Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu: a. terpeliharanyakeutuhanNegaraKesatuanRepublikIndonesia; b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar daerah; c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan antarpemerintahan di daerah; d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah; e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat; dan f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan, pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan, serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan bagi daerah dan desa. Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota. Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas memberikan konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan pemerintahan yang sudah diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari APBD, sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah harus didanai dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga. Pengaturan pendanaan kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup pendanaan sebagian urusan pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi, dan sebagian urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada daerah provinsi dan kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan. Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan3. Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah yang dalam system pengaturannya tidak hanya mencakup aspek pendapatan daerah, tetapi juga aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban. Sejalan dengan hal itu, maka penyerahan wewenang pemerintahan, pelimpahan wewenang pemerintahan, dan penugasan dari Pemerintah dalam rangka penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan juga harus diikuti dengan pengaturan pendanaan dan pemanfaatan sumber daya nasional secara efisien dan efektif. Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan menjadi sangat penting untuk diberikan pengaturan secara lebih mendasar dan komprehensif. Berikut akan dijabarkan lebih lanjut berkenaan dengan dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi4. Penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi: a. pelimpahanurusanpemerintahan; b. tatacarapelimpahan; c. tata cara penyelenggaraan; dan d. tatacarapenarikanpelimpahan. Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi: a. prinsippendanaan; b. perencanaandanpenganggaran; c. penyaluran dan pelaksanaan; dan d. pengelolaanbarangmiliknegarahasilpelaksanaandekonsentrasi. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi: a. penyelenggaraandekonsentrasi;dan b. pengelolaandanadekonsentrasi. Penyelenggaraan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi: a. penugasanurusanpemerintahan; b. tatacarapenugasan; c. tata cara penyelenggaraan; dan d. penghentiantugaspembantuan. Pengelolaan dana tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi: a. prinsippendanaan; b. perencanaandanpenganggaran; c. penyaluran dan pelaksanaan; dan d. pengelolaanbarangmiliknegarahasilpelaksanaantugaspembantuan. Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi: a. penyelenggaraantugaspembantuan;dan b. pengelolaandanatugaspembantuan. Pelimpahan Urusan Pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi berdasarkan Pasal 11 PP 7/2008 meliputi: (1) Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dapat dilakukan kepada gubernur. (2) Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada: (a) instansi vertikal; (b) pejabat Pemerintah di daerah. Jangkauan pelayanan atas penyelenggaraan sebagian urusan pemerintahan yang dilimpahkan dapat melampaui satu wilayah administrasi pemerintahan provinsi. Untuk urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam Pasal 13 ayat (3) PP 7/2008, didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga melalui dana dekonsentrasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat non-fisik. Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara. Penerimaan sebagai akibat pelaksanaan dekonsentrasi merupakan penerimaan negara dan wajib disetor oleh Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran ke Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara. Barang milik negara tersebut dapat dihibahkan kepada daerah. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas pelaporan kegiatan dekonsentrasi. Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana dekonsentrasi. Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta, Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota. Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga melalui dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBD provinsi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa didanai dari APBD kabupaten/kota. Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapat dihibahkan kepada daerah. Penghibahan, penatausahaan, penggunaan dan pemanfaatan barang dalam Pasal 57 ayat (2) PP 7/2008, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pengelolaan barang milik negara/daerah. Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi atau kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK atas pengelolaan dan pertanggungjawaban dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan berupa pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pemeriksaan atas aspek ekonomi dan efisiensi serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan pemeriksaan atas sistem pengendalian intern Pemerintah. BAB III PENUTUP 2.1 Kesimpulan Kebijakan Hubungan (Perimbangan) Keuangan antara Pusat dan daerah yang saat ini dilaksanakan oleh Pemerintah merupakan kebijakan dalam rangka peningkatan kapasitas, daerah dalam pelayanan masyarakat. Dilain pihak juga merupakan upaya memberikan hak dan kewajiban sebagai daerah otonom untuk mengelola keuangan yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Kebijakan ini dijalankan seiring dengan kebijakan penyelenggaraa pemerintahan daerah dengan spirit Money Follows Functions. Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban. Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, digit pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah. Dengan memberikan hak dan kewajiban pengelolaan keuangan daerah, pemerintah serta memberikan hak dan kewajiban pengelolaannya kepada daerah, berarti pemerintah secara konsisten melaksanakan kebijakan desentralisasi. Dengan melihat komposisi persebaran dana perimbangan keuangan saat ini, menunjukkan ada peningakatan pemerataan kemampuan fiskal daerah dan berkurangnya kesenjangan fiskal antar daerah. Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi. Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek akuntabilitas. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan oleh BPK dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. DAFTAR PUSTAKA Basuki, 2008. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogya: Kreasi Wacana. Bernard Dafflon, 2010. Fiscal Decentralization. Hamid Da Voodi dan Heng Fu Zou, 1998. Fiscal Decentralization and Economic Growth Journal of Urban Economic. LPEM FE UI, 2001. Dampak Penerimaan Dana Perimbangan dari Bagi Hasil Sumber Daya Alam dan Dana Alokasi Umum bagi perekonomian daerah. Mahi, B Raksaka, 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi Vol. 6 No. 1 Juli 2005. Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan 2 Ibid. Bagir manan. 1994. Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD.1945. Cet. Pertama. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta Winarna Surya Adisubrata, 2003. Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia, Aneka Ilmu Semarang YW. Sunindhia. 1987.Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di Daerah, PT Bina Aksara Jakarta