MAKALAH KEUANGAN NEGARA
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN DAERAH
DOSEN PENGAMPU:
Dr. Wirmie Eka Putra, S.E., M.Si., CIQnR., CSRS.
DISUSUN OLEH ;
KELOMPOK 6
Bunga Carolline B1B121048
Silvia Syahfitri B1B121064
Devalia Natasa B1B121081
Ismi Ladia Putri B1B121093
PROGRAM STUDI ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS JAMBI
2022
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji serta syukur kita panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
nikmat, hidayah serta karunianya, hingga kami semua dapat melakukan aktifitas sehari-hari
dengan lancar. Shalawat serta salam tanpa lupa kami tunjukan kepada Nabi Muhammad SAW
sebagai teladan yang kita patut contoh yang telah membawa kita ke zaman yang terang bederang
ini.
Pada kesempatan kali ini kami mengucapkan terimakasih pada Bapak Dr. Wirmie Eka Putra, S.E.,
M.Si., CIQnR., CSRS. yang telah membimbing kami dalam menyelesaikan tugas kami dalam
makalah yang berjudul “Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah” hingga
selesai. Terimakasih kami ucapkan kepada orang tua atas dukungan semangatnya serta kelompok
6 yang sudah bekerja sama menyelesaikan makalah ini.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para mahasiswa Universitas Jambi dan masyarakat,
nusa, bangsa, dan agama. Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam paper yang kami
buat oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati saya mohon maaf dan mohon saran dan
kritiknya supaya makalah ini lebih baik lagi.
Jambi, 27 November 2022
Kelompok 6
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................................................ii
DAFTAR ISI............................................................................................................................... iii BAB
I PENDAHULUAN ............................................................................................................1
A. LatarBelakang...................................................................................................................1
B. RumusanMasalah.............................................................................................................1
C. TujuanPenulisan...............................................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................................................3
A. Transfer Keuangan Ke Pemerintah Daerah Dari Pemerintah
Pusat .................................................................4
B. Usaha Pajak Dan Kebutuhan
Fiskal .....................................................................................................4
C. Pendapatan Daerah.........................................................................................................6
D. Dekonsentrasi Dan Tugas
Pembantuan.........................................................................................................7
BAB III PENUTUP ................................................................................................................... 14
A. Kesimpulan......................................................................................................................14
B. Saran.................................................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................ 15
BAB I
PENDAHULUAN
A, Latar Belakang
Keuangan merupakan faktor penting dalam suatu negara, dikarenakan pengaruhnyayang
demikian menetukan terhadap konpleksitas hidup negara dan masyarakatnya. Pengaruh dari
aspek keuangan negara antara lain juga mencerminkan kualitas keberadaan dari suatu
pemerintahan dalam menjalankan fungsi-fungsi kenegaraannya.
Apabila sumber pendanaan dari keuangan negara yang dimiliki semakin baik, maka kedudukan
pemerintah di dalam menjalankan keorganisasian negara, baik dalam rangka melaksanakan
urusan-urusan pemerintah dan pembangunan maupun pelayanan terhadap warganya akan
bertambah stabil dan semakin baik serta positif di mata rakyatnya. Sebaliknya suatu
pemerintahan dipandang akan menghadapi berbagai problema pelik dalam memperlancar
pelaksanaan segenap fungsi dan tugas kenegaraan, jika tidak didukung kondisi keuangan negara
yang baik pula.
Mengingat eksistensi keuangan demikian vital bagi suatu negara, maka segala daya upaya akan
dilakukan oleh pemerintah untuk menciptakan dan memanfaatkan segenap sember keuangan
yang ada. Hasil-hasil yang diperoleh selanjutnya akan dipergunakan untuk membianya
pengeluaran kegiatan jalannya pemerintahan dan pembangunan. Sebagian besar hasil
penerimaan yang diperoleh dari upaya pemanfaatan segenap potensi keuangan yang berhasil
diterima oleh Pemerintah Pusat, disalurkan dan digunakan melalui sektor-sektor yang ditentukan
dalam APBN.
Pengelolaan pemerintah daerah, baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten dan kota
memasuki era baru sejalan dengan dikeluarkannya UU No. 22 Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun
1999 yang mengatur tentang otonomi daerah dan desentralisasi fiskal. Dalam perkembangannya
kebijakan ini diperbaharui dengan dikeluarkannya UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun
2004. Kedua UU ini mengatur tentang Pemerintahan Daerah dan Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah. Menurut penelitian Adi (2006) kebijakan ini
merupakan tantangan dan peluang bagi Pemerintah Daerah (Pemda) dikarenakan Pemda
memiliki kewenangan lebih besar untuk mengelola sumber daya yang dimiliki secara efisien dan
efektif.
Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, desentralisasi yaitu penyerahan
wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perwujudan
dari asas desentralisasi adalah berlakunya otonomi daerah. Prinsip otonomi daerah
menggunakan prinsip ekonomi seluas-luasnya dalam arti daerah diberi kewenangan mengurus
dan mengatur semua urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah pusat.
Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi pelayanan,
peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada
peningkatan kesejahteraan rakyat.
Menurut penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007) anggaran daerah merupakan rencana
keuangan yang menjadi dasar dalam pelaksanaan pelayanan publik. Di Indonesia, dokumen
anggaran daerah disebut APBD, baik untuk propinsi maupun kabupaten dan kota. APBD adalah
suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang
APBD yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD memiliki fungsi yaitu otorisasi,
perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, stabilisasi.
Menurut Pasal 23 Ayat (1) Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,
hak dan kewajiban daerah diwujudkan dalam bentuk rencana kerja pemerintahan daerah dan
dijabarkan dalam bentuk pendapatan, belanja dan pembiayaan daerah yang dikelola dalam
sistem pengelolaan keuangan daerah. Dengan demikian APBD harus mencerminkan kondisi
keuangan pemerintah daerah berisi informasi mengenai pendapatan, belanja dan pembiayaan.
APBD disusun sesuai kebutuhan penyelenggaran pemerintah dan kemampuan pendapatan
daerah dengan menggunakan pendekatan kerangka pengeluaran jangka menengah daerah,
penganggaran terpadu, dan penganggaran prestasi kerja (Yuwono, 2008:85).
Menurut penelitian Darwanto dan Yustikasari (2007) penyusunan APBD diawali dengan
membuat kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang kebijakan umum APBD dan prioritas
& plafon anggaran yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan
anggaran belanja.
Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan kebijakan umum APBD dan prioritas & plafon
anggaran yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari dan dibahas bersama-sama
sebelum ditetapkan sebagai Peraturan Daerah (Perda). Dalam perspektif keagenan, hal ini
merupakan bentuk kontrak (incomplete contract), yang menjadi alat bagi legislatif untuk
mengawasi pelaksanaan anggaran oleh eksekutif.
Berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan
Daerah, membawa perubahan yang mendasar pada sistem dan mekanisme pengelolaan
pemerintah daerah. UU ini menegaskan bahwa pelaksanaan kewenangan pemerintah daerah,
pemerintah pusat akan menstranfer dana perimbangan kepada pemerintah daerah. Dana
perimbangan terdiri dari DAU, DAK, dan bagian daerah dari hasil pajak pusat. Di samping dana
perimbangan tersebut, pemerintah daerah juga memiliki sumber pendanaan sendiri berupa PAD,
pinjaman daerah, maupun lain-lain penerimaan daerah yang sah. Kebijakan penggunaan semua
dana tersebut diserahkan kepada pemerintah daerah.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Transfer Keuangan Ke Pemerintah Daerah Dari Pemerintah Pusat?
2. Apa Itu Usaha Pajak Dan Kebutuhan Fiskal?
3. Apa Itu Pendapatan Daerah?
4. Apa itu Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan
C. Tujuan Penulisan
1. Agar mengetahui bagaimana transfer keuangan ke pemerintah daerah dari pemerintah pusat
2. Agar mengetahui apa itu usaha pajak dan kebutuhan fiskal
3. Agar mengetahui apa itu pendapatan daerah
4. Agar mengetahui apa itu dekonsentrasi dan tugas pembantuan
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Transfer keuangan ke pemerintah daerah dari pemerintah pusat
Keuangan Daerah merupakan semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
didalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban
daerah tersebut. Sedangkan Pengelolaan Keuangan Daerah merupakan keseluruhan
kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan keuangan daerah. Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD merupakan rencana keuangan tahunan
pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh pemerintah daerah dan
DPRD, dan ditetapkan dengan peraturan daerah. Adapun Sumber-sumber keuangan
daerah atau pendapatan ash daerah adalah pendapatan yang diperoleh dari
sumbersumber pendapatan daerah dan dikelola sendiri oleh pemerintahan daerah.
Pendekatan anggaran kinerja adalah suatu sistem anggaran yang mengutamakan
upaya pencapaian hasil kerja (output) dari perencanaan alokasi biaya (input) yang telah
ditetapkan (PP 58/2005, pasal 39). Kinerja mencerminkan efisiensi dan efektivitas
pelayanan publik dan harus berpihak pada kepentingan publik, artinya
memaksimumkan anggaran untuk memenuhi kebutuhan masyarakat daerah.
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) yang meliputi:
1) Hasil Pajak Daerah
UU No. 28/ 2009 menjelaskan Pajak Daerah adalah kontribusi wajib kepada Daerah
yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan
Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan
untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Pajak Provinsi: pajak kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air, bea batik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor; pajak air permukaan; dan
pajak rokok.
Pajak Kabupaten/Kota: pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak
penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkin, pajak air tanah,
pajak sarang burung valet, pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan, serta
bea perolehan hak atas tanah dan bangunan.
2) Hasil Retribusi Daerah
Retribusi daerah sebagai pembayaran atas pemakaian jasa atau karena mendapat
pekerjaan usaha atau milik daerah bagi yang berkepentingan atau jasa yang diberikan
oleh daerah, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap pungutan yang
dilakukan oleh pemerintah daerah senantiasa berdasarkan prestasi dan jasa yang
diberikan kepada masyarakat, sehingga keluasaan retribusi daerah terletak pada yang
dapat dinikmati oleh masyarakat sehingga retribusi sangat berhubungan erat dengan
jasa layanan yang diberikan pemerintah kepada masyarakat yang membutuhkan.
Retribusi dikelompokkan menjadi:
a. Retribusi jasa umum: retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh,
pemerintah daerah untuk tujuan kepentingan umum serta dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan.
b. Retribusi jasa usaha: retribusi atas jasa yang disediakan oleh Pemda dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya disediakan oleh sektor swasta.
Beberapa contoh retribusi daerah:
a. Biaya jalan tol
b. Biaya pangkalan
c. Biaya penambangan
d. Biaya potong hewan
e. Uang muka sewa tanah/ bangunan
f. Uang sempadan dan izin bangunan
g. Uang pemakaian tanah milik daerah
3) Hasil Perusahaan Milik Daerah dan Hasil Pengelolaan Milik Daerah yang
Dipisahkan.
4) PendapatanLain-Lain Asli Daerah yang Sah.
PAD yang sah merupakan penerimaan daerah yang tidak termasuk dalam jenis pajak
daerah,
retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan. Klasifikasi
yang termasuk Pendapatan Asli Daerah yang sah adalah sebagai berikut.
a. hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. jasa giro;
c. pendapatan bunga;
d. penerimaan atas tuntutan ganti kerugian daerah;
e. penerimaan komisi, potongan ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah;
f. penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing;
g. pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan
h. pendapatan denda pajak;
i. pendapatan denda retribusi;
j. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
k. pendapatan dari pengembalian;
l. fasilitas sosial dan fasilitas umum;
m. pendapatan dari penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan; dan
n. pendapatan dan angsuran/cicilan penjualan.
b. Dana Perimbangan
Dana perimbangan meliputi:
1) Dana Alokasi Umum
Dana Alokasi Umum (DAU) adalah sejumlah dana yang dialokasikan kepada setiap
Daerah Otonom (provinsi/kabupaten/kota) di Indonesia setiap tahunnya sebagai dana
pembangunan. DAU merupakan salah satu komponen belanja pada APBN, dan
menjadi salah satu komponen pendapatan pada APBD. DAU bertujuan untuk
pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang dimaksudkan untuk mengurangi
ketimpangan kemampuan keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah. Dana Alokasi Umum terdiri dari
DAU untuk Daerah Provinsi dan DAU untuk Daerah Kabupaten/ Kota. Proporsi DAU
antara provinsi dan kabupaten/kota dihitung dari perbandingan antara bobot urusan
pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. DAU untuk
suatu daerah dialokasikan berdasarkan formula yang terdiri atas celah fiskal dan alokasi
dasar.
Celah fiskal merupakan selisih antara kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal. Kebutuhan
fiskal diukur dengan menggunakan variabel jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks
Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan Indeks
Pembangunan Manusia. Kapasitas fiskal diukur berdasarkan Pendapatan Asli Daerah
dan DBH. Alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil
Daerah.
2) Dana Bagi Hasil
Dana Bagi Hasil (DBH) adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah berdasarkan angka persentase untuk mendanai kebutuhan
daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. DBH dilakukan berdasarkan prinsip
by origin (daerah penghasil)
dan penyaluran berdasarkan realisasi penerimaan.
DBH bersumber dari pajak dan sumber Jaya alam.
DBH yang berasal dari pajak adalah bagian daerah yang berasal dari penerimaan Pajak
Bumi Dan Bangunan, Biaya Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, Pajak
Penghasilan Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan Pajak
Penghasilan Pasal 21. Penetapan Alokasi DBH Pajak ditetapkan oleh Menteri
Keuangan. DBH Pajak sendiri disalurkan dengan cara pemindahbukuan dari Rekening
Kas Umum Negara ke Rekening Kas Umum Daerah.
Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam berasal dari:
a. Kehutanan
b. Pertambangan Umum
c. Perikanan
d. Pertambangan Minyak Bumi
e. Pertambangan Panas Bumi
3) Dana Alokasi Khusus
Dana Alokasi Khusus (DAK) adalah alokasi dari APBN kepada provinsi/ kabupaten/
kota tertentu dengan tujuan untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan
Pemerintah Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Bila dibandingkan Antara ke dua sumber dana di APBD, dana perimbangan
mempunyai peran yang sangat signifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan Daerah.
Artinya, Bagi Daerah, Dana perimbangan merupakan suatu yang sangat berartidalam
peningkatan kapasitas daerah dalam pelayanan publik, Pelayanan masyarakat akan
semakin baik. Cakupan dan jangkauan pelayanan semakin luas dan dekat dengan
masyarakat yang dilayani. Dengan demikian, harapan kesejahteraan masyarakat sangat
memungkinkan diwujudkan melalui kebijakan desentralisasi fiskal yang memuat
hubungan(perimbangan) keuangan Antara pusat dan daerah.
1.2 Usaha Pajak Dan Kebutuham Fiskal
Kebijakan fiskal adalah kebijakan yang dirancang dan dilaksanakan pemerintah
untuk mengelola serta mengarahkan kondisi perekonomian lewat pengendalian
pengeluaran dan penerimaan negara.
Kebijakan fiskal digunakan untuk memaksimalkan pendapatan negara untuk
disalurkan ke program-program yang bertujuan mendongkrak perekonomian secara
nasional, serta digunakan juga sebagai perangkat untuk mencapai keseimbangan
ekonomi.
Secara garis besar, kebijakan fiskal memiliki tujuan-tujuan sebagai berikut:
1. Menciptakan kestabilan ekonomi
2. Mendorong pertumbuhan ekonomi
3. Mendorong laju pertumbuhan investasi yang masuk
4. Memastikan ketersediaan lapangan pekerjaan
5. Menciptakan keadilan sosial
6. Mewujudkan pemerataan dan pendistribusian pendapatan
7. Memastikan kestabilan harga barang dan jasa
Fungsi Kebijakan Fiskal
Kebijakan fiskal memiliki beberapa fungsi strategis, antara lain:
1. Alokasi
Fungsi alokasi pada kebijakan fiskal dimaksudkan sebagai fungsi kebijakan yang
mengalokasikan barang-barang produksi. Ketika alokasi barang-barang produksi ini
lancar dan tepat sasaran maka kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Kebijakan fiskal
ini mendukung kelancaran alokasi barang produksi tersebut.
2. Distribusi
Fungi kebijakan fiskal juga sebagai instrumen untuk pendistribusian hasil kegiatan
ekonomi, agar tiap-tiap daerah tidak terlalu timpang perkembangan ekonominya. Jika
kebijakan fiskal tidak menyentuh distribusi pendapatan maka ketimpangan antar
daerah bisa semakin besar dan menimbulkan permasalahan ekonomi baru.
3. Fungsi Stabilitas
Kebijakan fiskal juga berfungsi menciptakan stabilitas perekonomian dengan cara di
antaranya, meningkatkan kesempatan kerja serta mengatur harga-harga supaya stabil.
Jika perekonomian berjalan dengan stabil, maka pertumbuhan ekonomi dari tahun ke
tahun akan semakin meningkat. Tujuan menciptakan keadilan sosial bagi seluruh
rakyat merupakan pondasi dari fungsi stabilitas kebijakan fiskal.
Jenis Kebijakan Fiskal
Dipandang dari pos pendapatan dan pengeluaran, kebijakan fiskal dibagi menjadi
empat macam, antara lain:
1. Kebijakan anggaran surplus
Kebijakan anggaran surplus merupakan kebijakan fiskal dimana pemerintah tidak
menggunakan keseluruhan pendapatan. Dengan tidak dialokasikannya pendapatan
negara secara penuh maka pundi-pundi negara akan berlimpah.
Kebijakan anggaran surplus ini ditempuh manakala inflasi yang beredar dipandang
cukup tinggi atau lebih tinggi dibandingkan target yang ditetapkan. Untuk mengatasi
inflasi yang cukup tinggi pemerintah memotong atau menghentikan sementara
beberapa pos-pos pengeluarannya. Dengan ditutupnya keran pengeluaran negara maka
jumlah uang yang beredar di masyarakat bisa berangsur-angsur berkurang dan
selanjutnya secara bertahap akan menurunkan tingkat inflasi.
2. Kebijakan anggaran defisit
Kebijakan anggaran defisit merupakan kebijakan fiskal yang ditempuh untuk
mengatasi kelesuan perekonomian atau untuk mengatasi situasi deflasi yang dialami
suatu negara.
Secara garis besar kebijakan fiskal yang satu ini merupakan kebijakan dimana pos
pengeluaran negara jauh lebih besar dibanding pos pendapatan.
Untuk mendanai pos pengeluaran yang dirancang lebih besar dibanding pemasukan,
pemerintah menggunakan pinjaman, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.
Dengan mendorong pengeluaran pemerintah, diharapkan konsumsi di masyarakat bisa
naik dan selanjutnya akan mendorong perekonomian.
3. Kebijakan anggaran seimbang
Kebijakan anggaran seimbang merupakan bentuk kebijakan fiskal yang mengharuskan
pos pengeluaran harus seimbang dengan pos pendapatan. Pemerintah dengan kebijakan
ini akan diharuskan menyesuaikan pengeluaran dengan pemasukan yang diterima.
Dengan kebijakan anggaran seimbang, pemerintah tidak perlu meminjam dana dari
pihak lain dan akhirnya menghindari hutang negara.
Meski demikian, jika kondisi perekonomian dilanda deflasi serta tingkat investasi yang
masuk mengalami penurunan, kebijakan fiskal jenis ini tidak akan membantu dan
akhirnya berdampak pada melambatnya perekonomian.
4. Kebijakan anggaran dinamis
Kebijakan anggaran dinamis merupakan jenis kebijakan fiskal yang mirip dengan
kebijakan anggaran seimbang, namun laju pos pendapatan dan pengeluaran terus
bertambah tiap waktu. Lewat kebijakan ini, pemerintah harus memastikan pendapatan
terus naik seiring dengan kebutuhan belanja pemerintah yang diprediksi akan naik pula.
Dipandang dari sifatnya, kebijakan fiskal terdiri dari dua macam, antara lain:
1. Kebijakan fiskal discretionary
Kebijakan fiskal discretionary merupakan jenis kebijakan fiskal yang digunakan
pemerintah untuk menyingkapi perubahan kondisi ekonomi. Kebijakan fiskal yang satu
ini tidak memiliki atau mengikuti aturan yang baku. Kebijakan fiskal discretionary
dilakukan dengan melakukan perubahan pada anggaran belanja negara, lewat berbagai
instrumen, seperti perubahan aturan perpajakan atau perubahan pos-pos pengeluaran.
2. Kebijakan fiskal pasif
Kebijakan fiskal pasif atau bisa juga disebut kebijakan automatic stabilizers merupakan
jenis kebijakan fiskal yang menekankan pada aspek penyesuaian otomatis tanpa adanya
campur tangan pemerintah.
Kebijakan fiskal yang satu ini berkaitan erat dengan pengenaan sejumlah pajak, baik
langsung maupun tidak langsung. Pengenaan pajak langsung dan tidak langsung ini
berkaitan erat dengan pendapatan nasional. Semakin tinggi pendapatan nasional, maka
semakin tinggi pula arus pendapatan negara dari pajak. Penerimaan negara dari pajak
ini juga berbanding lurus dengan arus pendapatan yang ada di masyarakat.
Nah, ada pajak berfungsi sebagai rem yang secara otomatis mampu merespon adanya
perubahan pada pendapatan nasional. Keberadaan pajak-pajak ini merupakan bagian
dari kebijakan fiskal pasif atau automatic stabilizers atau bisa juga disebut kebijakan
fiskal built-in stabilizer.
Peran Pajak Dalam Kebijakan Fiskal
Pajak merupakan bagian yang tak terpisahkan pada kebijakan fiskal. Pasalnya, pajak
merupakan kontributor terbesar dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN). Selain itu, pajak merupakan instrumen fiskal yang sangat efektif dalam
mengarahkan perekonomian.
Ketika penerimaan negara dari sektor pajak tinggi, maka pemerintah akan mampu
mengalokasikannya ke beberapa program strategis. Program-program pembangunan
infrastruktur serta alokasi subsidi pada beberapa sektor strategis nasional juga sangat
bergantung dari penerimaan negara, salah satunya dari pajak.
Lewat alokasi yang tepat maka kebijakan fiskal akan mampu memenuhi tujuan-tujuan
yang ditetapkan, seperti menciptakan keadilan sosial serta mendorong pertumbuhan
ekonomi.
Contoh nyata peran pajak dalam kebijakan fiskal adalah pada 2009 silam. Saat itu,
dalam merespon kondisi ekonomi global yang kurang kondusif, pemerintah mengambil
keputusan memberlakukan insentif pajak, misalnya penurunan tarif Pajak Penghasilan
(PPh), pajak yang ditanggung pemerintah serta meningkatkan besaran penghasilan
tidak kena pajak.
Lewat kebijakan perpajakan ini, daya beli masyarakat tetap stabil dan membuat
konsumsi masyarakat tetap tumbuh. Ketika konsumsi di masyarakat tetap tumbuh
maka kegiatan ekonomi tidak berjalan stagnan.
Itulah pentingnya pajak bagi kebijakan fiskal dan contoh kecil di atas membuktikan
bahwa pajak sangat berperan penting, tak hanya sebagai sumber penerimaan negara
tetapi juga sebagai instrumen yang bisa diberlakukan untuk mengarahkan laju
perekonomian.
1.3 Pendapatan Daerah
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah merupakan sumber utama dari Pendapatan Asli
Daerah yang tentu nantinya akan digunakan untuk menyelenggarakan roda
pemerintahan. Penting bagi kita untuk mengetahui dan mempelajari tentang hal
tersebut agar dapat memberikan pencerahan dan dapat membantu meningkatkan
kesadaran masyarakat untuk selalu taat pajak dan retribusi.
penerimaan daerah, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2019 tentang
Pengelolaan Keuangan Daerah disebutkan bahwa penerimaan daerah adalah semua
uang yang masuk ke kas Daerah. Penerimaan daerah terdiri atas:
a.
b.
Pendapatan Daerah; dan
Penerimaan Pembiayaan daerah.
Dalam peraturan yang sama, pendapatan daerahdijelaskan sebagai semua hak Daerah
yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran
berkenaan. Pendapatan daerah meliputi semua penerimaan uang yang diterima melalui
Rekening Kas Umum Daerah (RKUD) yang mana tidak perlu dibayarkan kembali.
Termasuk pula penerimaan lain yang sesuai dengan ketentuan peraturan yang diakui
sebagai penambah ekuitas yang merupakan hak daerah dalam 1 (satu) tahun anggaran.
Pendapatan Daerah terdiri atas:
a.
b.
c.
pendapatan asli daerah;
pendapatan transfer; dan
lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Sumber Pendapatan Asli Daerah
Mengerucutkan pembahasan pada Pendapatan Asli Daerah, sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 31 PP Pengelolaan Keuangan Daerah tersebut, terdiri atas:
1.
2.
3.
4.
pajak daerah;
retribusi daerah;
hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Ketentuan tentang pajak daerah dan retribusi daerah telah diatur tersendiri dalam
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah,
yang untuk selanjutkan akan dijelaskan pada sub bahasan di bawah.
Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan merupakan Penerimaan Daerah
atas hasil penyertaan modal daerah. Sementara lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah berdasarkan ayat (4) Pasal 31 tersebut terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
hasil penjualan BMD yang tidak dipisahkan;
hasil pemanfaatan BMD yang tidak dipisahkan;
hasil kerja sama daerah;
jasa giro;
hasil pengelolaan dana bergulir;
pendapatan bunga;
g.
penerimaan atas tuntutan ganti kerugian Keuangan Daerah;
h.
penerimaan komisi, potongan, atau bentuk lain sebagai akibat penjualan,
tukar-menukar, hibah, asuransi, dan/atau pengadaan barang dan jasa termasuk
penerimaan atau penerimaan lain sebagai akibat penyimpanan uang pada bank,
penerimaan dari hasil pemanfaatan barang daerah atau dari kegiatan lainnya
merupakan Pendapatan Daerah;
i.
penerimaan keuntungan dari selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing;
j.
pendapatan denda atas keterlambatan pelaksanaan pekerjaan;
k.
pendapatan denda pajak daerah;
l.
pendapatan denda retribusi daerah;
m. pendapatan hasil eksekusi atas jaminan;
n.
pendapatan dari pengembalian;
o.
pendapatan dari BLUD; dan
p.
pendapatan
lainnya
sesuai
dengan
ketentuan
peraturan
perundang-undangan.
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah
Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa merujuk pada Pasal 31 ayat (2), hal-hal
terkait dengan pajak daerah dan retribusi daerah diatur dalam ketentuan yang mengatur
mengenai pajak daerah dan retribusi daerah yakni Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Jenis Pajak Daerah
Pajak Daerah terdiri atas Pajak Provinsi dan Pajak Kabupaten/Kota. Pajak yang
menjadi kewenangan pemerintah daerah provinsi terdiri atas:
a.
b.
c.
d.
e.
Pajak Kendaraan Bermotor;
Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor;
Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor;
Pajak Air Permukaan; dan
Pajak Rokok.
Sementara Pajak yang menjadi kewenangan pemerintah daerah kabupaten/kota terdiri
atas:
a.
b.
c.
d.
e.
Pajak Hotel;
Pajak Restoran;
Pajak Hiburan;
Pajak Reklame;
Pajak Penerangan Jalan;
f.
g.
h.
i.
j.
k.
Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan;
Pajak Parkir;
Pajak Air Tanah;
Pajak Sarang Burung Walet;
Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Obyek dan Golongan Retribusi Daerah
Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut, objek Retribusi Daerah diatur
dalam Pasal 108 yang terdiri atas:
a.
Jasa Umum, retribusi yang dikenakan dalam objek ini digolongkan
sebagai Retribusi Jasa Umum;
b.
Jasa Usaha, retribusi yang dikenakan dalam objek ini digolongkan
sebagai Retribusi Jasa Usaha; dan
c.
Perizinan Tertentu, retribusi yang dikenakan dalam objek ini
digolongkan sebagai Retribusi Perizinan Tertentu.
1.4 Dekonsentrasi Dan Tugas Pembantuan
Negara Kesatuan Republik Indonesia dalam penyelenggaraan pemerintahannya
menganut asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dekonsentrasi dan
tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak semua wewenang dan tugas
pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas desentralisasi. Disamping itu,
sebagai konsekuensi negara kesatuan memang tidak dimungkinkan semua wewenang
pemerintah didesentralisasikan dan diotonomkan sekalipun kepada daerah.
Pelaksanaan asas dekonsentrasi diletakkan pada wilayah provinsi dalam
kedudukannya sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan
pemerintahan yang dilimpahkan kepada gubenur sebagai wakil pemerintah di wilayah
provinsi. Gubernur sebagai kepala daerah provinsi berfungsi pula selaku wakil
Pemerintah di daerah, dalam pengertian untuk menjembatani dan memperpendek
rentang kendali pelaksanaan tugas dan fungsi Pemerintah termasuk dalam pembinaan
dan pengawasan terhadap penyelenggaraan urusan pemerintahan di daerah kabupaten
dan kota. Dasar pertimbangan dan tujuan diselenggarakannya asas dekonsentrasi yaitu:
a. terpeliharanyakeutuhanNegaraKesatuanRepublikIndonesia;
b. terwujudnya pelaksanaan kebijakan nasional dalam mengurangi kesenjangan antar
daerah;
c. terwujudnya keserasian hubungan antar susunan pemerintahan dan
antarpemerintahan di daerah;
d. teridentifikasinya potensi dan terpeliharanya keanekaragaman sosial budaya daerah;
e. tercapainya efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan, serta
pengelolaan pembangunan dan pelayanan terhadap kepentingan umum masyarakat;
dan
f. terciptanya komunikasi sosial kemasyarakatan dan sosial budaya dalam system
administrasi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Penyelenggaraan asas tugas pembantuan adalah cerminan dari sistem dan
prosedur penugasan Pemerintah kepada daerah dan/atau desa, dari pemerintah provinsi
kepada kabupaten/kota dan/atau desa, serta dari pemerintah kabupaten/kota kepada
desa untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan dan pembangunan yang disertai
dengan kewajiban melaporkan pelaksanaannya dan mempertanggungjawabkannya
kepada yang memberi penugasan. Tugas pembantuan diselenggarakan karena tidak
semua wewenang dan tugas pemerintahan dapat dilakukan dengan menggunakan asas
desentralisasi dan asas dekonsentrasi. Pemberian tugas pembantuan dimaksudkan
untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan,
pengelolaan pembangunan, dan pelayanan umum. Tujuan pemberian tugas
pembantuan adalah memperlancar pelaksanaan tugas dan penyelesaian permasalahan,
serta membantu penyelenggaraan pemerintahan, dan pengembangan pembangunan
bagi daerah dan desa.
Tugas pembantuan yang diberikan oleh Pemerintah kepada daerah dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas Pemerintah yang apabila dilaksanakan oleh daerah
dan/atau desa akan lebih efisien dan efektif. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah provinsi sebagai daerah otonom kepada kabupaten/kota dan/atau desa
meliputi sebagian tugas-tugas provinsi, antara lain dalam bidang pemerintahan yang
bersifat lintas kabupaten dan kota, serta sebagian tugas pemerintahan dalam bidang
tertentu lainnya, termasuk juga sebagian tugas pemerintahan yang tidak atau belum
dapat dilaksanakan oleh kabupaten dan kota. Tugas pembantuan yang diberikan oleh
pemerintah kabupaten/kota kepada desa mencakup sebagian tugas-tugas
kabupaten/kota di bidang pemerintahan yang menjadi wewenang kabupaten/kota.
Penyelenggaraan ketiga asas sebagaimana diuraikan tersebut di atas memberikan
konsekuensi terhadap pengaturan pendanaan. Semua urusan pemerintahan yang sudah
diserahkan menjadi kewenangan pemerintah daerah harus didanai dari APBD,
sedangkan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Pemerintah harus didanai
dari APBN melalui bagian anggaran kementerian/lembaga. Pengaturan pendanaan
kewenangan Pemerintah melalui APBN mencakup pendanaan sebagian urusan
pemerintahan yang akan dilimpahkan kepada gubernur berdasarkan asas dekonsentrasi,
dan sebagian urusan pemerintahan yang akan ditugaskan kepada daerah provinsi dan
kabupaten/kota berdasarkan asas tugas pembantuan.
Hal ini sejalan dengan Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah yang menyatakan bahwa
perimbangan keuangan antara Pemerintah dan pemerintahan daerah merupakan suatu
sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan atas penyelenggaraan asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan3. Perimbangan keuangan
dilaksanakan sejalan dengan pembagian urusan pemerintahan antara Pemerintah dan
pemerintahan daerah yang dalam system pengaturannya tidak hanya mencakup aspek
pendapatan daerah, tetapi juga aspek pengelolaan dan pertanggungjawaban.
Sejalan dengan hal itu, maka penyerahan wewenang pemerintahan, pelimpahan
wewenang pemerintahan, dan penugasan dari Pemerintah dalam rangka
penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan juga harus
diikuti dengan pengaturan pendanaan dan pemanfaatan sumber daya nasional secara
efisien dan efektif.
Berdasarkan pokok-pokok pemikiran sebagaimana yang diuraikan di atas, maka
penyelenggaraan dan pengelolaan dana dekonsentrasi dan dana tugas pembantuan
menjadi sangat penting untuk diberikan pengaturan secara lebih mendasar dan
komprehensif. Berikut akan dijabarkan lebih lanjut berkenaan dengan dekonsentrasi
dan tugas pembantuan.
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan
dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi4. Penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas
pembantuan dalam Pasal 8 Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang
Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan (PP 7/2008), meliputi:
a. pelimpahanurusanpemerintahan;
b. tatacarapelimpahan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. tatacarapenarikanpelimpahan.
Pengelolaan dana dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsippendanaan;
b. perencanaandanpenganggaran;
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaanbarangmiliknegarahasilpelaksanaandekonsentrasi.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penyelenggaraandekonsentrasi;dan
b. pengelolaandanadekonsentrasi.
Penyelenggaraan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. penugasanurusanpemerintahan;
b. tatacarapenugasan;
c. tata cara penyelenggaraan; dan
d. penghentiantugaspembantuan.
Pengelolaan dana tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008 meliputi:
a. prinsippendanaan;
b. perencanaandanpenganggaran;
c. penyaluran dan pelaksanaan; dan
d. pengelolaanbarangmiliknegarahasilpelaksanaantugaspembantuan.
Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan dalam Pasal 8 PP 7/2008
meliputi:
a. penyelenggaraantugaspembantuan;dan b. pengelolaandanatugaspembantuan.
Pelimpahan Urusan Pemerintahan dalam penyelenggaraan dekonsentrasi berdasarkan
Pasal 11 PP 7/2008 meliputi: (1) Pelimpahan sebagian urusan pemerintahan dapat
dilakukan kepada gubernur. (2) Selain dilimpahkan kepada gubernur, sebagian urusan
pemerintahan dapat pula dilimpahkan kepada: (a) instansi vertikal; (b) pejabat
Pemerintah di daerah. Jangkauan pelayanan atas penyelenggaraan sebagian urusan
pemerintahan yang dilimpahkan dapat melampaui satu wilayah administrasi
pemerintahan provinsi.
Untuk urusan pemerintahan yang dapat dilimpahkan kepada gubernur dalam Pasal 13
ayat (3) PP 7/2008, didanai dari APBN bagian anggaran kementerian/lembaga melalui
dana dekonsentrasi. Pendanaan dalam rangka dekonsentrasi dialokasikan untuk
kegiatan yang bersifat non-fisik. Penyaluran dana dekonsentrasi dilakukan oleh
Bendahara Umum Negara atau kuasanya melalui Rekening Kas Umum Negara.
Penerimaan sebagai akibat pelaksanaan dekonsentrasi merupakan penerimaan negara
dan wajib disetor oleh Pejabat Kuasa Pengguna Anggaran ke Rekening Kas Umum
Negara sesuai dengan peraturan perundang- undangan. Semua barang yang dibeli atau
diperoleh dari pelaksanaan dana dekonsentrasi merupakan barang milik negara. Barang
milik negara tersebut dapat dihibahkan kepada daerah.
Pertanggungjawaban dan pelaporan dekonsentrasi mencakup aspek manajerial dan
aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan realisasi penyerapan
dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan saran tindak lanjut.
Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, catatan atas laporan
keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi bertanggung jawab atas
pelaporan kegiatan dekonsentrasi. Kepala SKPD provinsi selaku Kuasa Pengguna
Anggaran/Barang dekonsentrasi bertanggung jawab atas pelaksanaan dana
dekonsentrasi.
Berkenaan dengan tugas pembantuan, pemerintah dapat memberikan tugas
pembantuan kepada pemerintah provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa
untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan. Pemerintah provinsi, juga dapat
memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau
pemerintah desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan provinsi, serta,
Pemerintah kabupaten/kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada pemerintah
desa untuk melaksanakan sebagian urusan pemerintahan kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan
pemerintahan diluar 6 (enam) urusan yang bersifat mutlak yang menurut peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan Pemerintah. Urusan pemerintahan
yang dapat ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota
dan/atau pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut
peraturan perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah provinsi. Urusan
pemerintahan yang dapat ditugaskan dari pemerintah kabupaten/kota kepada
pemerintah desa merupakan sebagian urusan pemerintahan yang menurut peraturan
perundang-undangan ditetapkan sebagai urusan pemerintah kabupaten/kota.
Urusan pemerintahan yang dapat ditugaskan dari Pemerintah kepada pemerintah
provinsi atau kabupaten/kota dan/atau pemerintah desa didanai dari APBN bagian
anggaran kementerian/lembaga melalui dana tugas pembantuan. Urusan pemerintahan
yang ditugaskan dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau
pemerintah desa didanai dari APBD provinsi. Urusan pemerintahan yang ditugaskan
dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa didanai dari APBD
kabupaten/kota.
Pendanaan dalam rangka tugas pembantuan dialokasikan untuk kegiatan yang
bersifat fisik. Semua barang yang dibeli atau diperoleh dari pelaksanaan dana tugas
pembantuan merupakan barang milik negara. Barang milik negara dapat dihibahkan
kepada daerah. Penghibahan, penatausahaan, penggunaan dan pemanfaatan barang
dalam Pasal 57 ayat (2) PP 7/2008, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
pengelolaan barang milik negara/daerah.
Pertanggungjawaban dan pelaporan tugas pembantuan juga mencakup aspek
manajerial dan aspek akuntabilitas. Aspek manajerial terdiri dari perkembangan
realisasi penyerapan dana, pencapaian target keluaran, kendala yang dihadapi, dan
saran tindak lanjut. Aspek akuntabilitas terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca,
catatan atas laporan keuangan, dan laporan barang. Kepala SKPD provinsi atau
kabupaten/kota selaku Kuasa Pengguna Anggaran/Barang tugas pembantuan
bertanggung jawab atas pelaksanaan dana tugas pembantuan.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK atas pengelolaan dan pertanggungjawaban
dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan meliputi pemeriksaan keuangan,
pemeriksaan kinerja, dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Pemeriksaan keuangan
berupa pemeriksaan atas laporan keuangan. Pemeriksaan kinerja berupa pemeriksaan
atas pengelolaan keuangan negara yang terdiri dari pemeriksaan atas aspek ekonomi
dan efisiensi serta aspek efektivitas. Pemeriksaan dengan tujuan tertentu meliputi
pemeriksaan atas hal-hal lain di bidang keuangan, pemeriksaan investigatif, dan
pemeriksaan atas sistem pengendalian intern Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
2.1 Kesimpulan
Kebijakan Hubungan (Perimbangan) Keuangan antara Pusat dan daerah yang saat ini
dilaksanakan oleh Pemerintah merupakan kebijakan dalam rangka peningkatan
kapasitas, daerah dalam pelayanan masyarakat. Dilain pihak juga merupakan upaya
memberikan hak dan kewajiban sebagai daerah otonom untuk mengelola keuangan
yang sudah menjadi tanggung jawabnya. Kebijakan ini dijalankan seiring dengan
kebijakan penyelenggaraa pemerintahan daerah dengan spirit Money Follows
Functions.
Keuangan Daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk
dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban.
Sementara pengelolaan keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi
perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, digit
pengawasan keuangan daerah tersebut. Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan
daerah adalah kepala daerah yang karena jabatannya mempunyai kewenangan
menyelenggarakan keseluruhan pengelolaan keuangan daerah.
Dengan memberikan hak dan kewajiban pengelolaan keuangan daerah, pemerintah
serta memberikan hak dan kewajiban pengelolaannya kepada daerah, berarti
pemerintah secara konsisten melaksanakan kebijakan desentralisasi.
Dengan melihat komposisi persebaran dana perimbangan keuangan saat ini,
menunjukkan ada peningakatan pemerataan kemampuan fiskal daerah dan
berkurangnya kesenjangan fiskal antar daerah.
Ruang lingkup dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek
penyelenggaraan, pengelolaan dana, pertanggungjawaban dan pelaporan, pembinaan
dan pengawasan, pemeriksaan, serta sanksi. Pertanggungjawaban dan pelaporan
dekonsentrasi dan tugas pembantuan mencakup aspek manajerial dan aspek
akuntabilitas. Pemeriksaan atas dana dekonsentrasi dan tugas pembantuan dilakukan
oleh BPK dan dan pemeriksaan meliputi pemeriksaan keuangan, pemeriksaan kinerja,
dan pemeriksaan dengan tujuan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Basuki, 2008. Pengelolaan Keuangan Daerah. Yogya: Kreasi Wacana.
Bernard Dafflon, 2010. Fiscal Decentralization.
Hamid Da Voodi dan Heng Fu Zou, 1998. Fiscal Decentralization and Economic
Growth Journal of Urban Economic.
LPEM FE UI, 2001. Dampak Penerimaan Dana Perimbangan dari Bagi Hasil Sumber
Daya Alam dan Dana Alokasi Umum bagi perekonomian daerah.
Mahi, B Raksaka, 2005. Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah. Jurnal
Ekonomi Vol. 6 No. 1 Juli 2005.
Penjelasan Umum Peraturan Pemerintah No. 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan
Tugas Pembantuan 2 Ibid.
Bagir manan. 1994. Hubungan antara Pusat dan Daerah menurut UUD.1945. Cet.
Pertama. Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta
Winarna Surya Adisubrata, 2003. Perkembangan Otonomi Daerah Di Indonesia, Aneka
Ilmu Semarang YW. Sunindhia. 1987.Praktek Penyelenggaraan Pemerintahan Di
Daerah, PT Bina Aksara Jakarta