Academia.eduAcademia.edu

Legal Opinion HUKUM LINGKUNGAN.doc

NAMA: ALDO DICKY SETYAWAN NIM : 8111416330 ROMBEL : 05 MAKUL : HUKUM LINGKUNGAN POLEMIK TENTANG PEMINDAHAN IBUKOTA RI KE KALIMANTAN TENGAH

NAMA : ALDO DICKY SETYAWAN NIM : 8111416330 ROMBEL : 05 MAKUL : HUKUM LINGKUNGAN POLEMIK TENTANG PEMINDAHAN IBUKOTA RI KE KALIMANTAN TENGAH KRONOLOGI KASUS Menurut kajian BAPPENAS, palangkarya memang layak untuk diadikan lokasi ibukota, karena pertimbanga keamanan. Wilayah tersebut tidak memiliki gunung berapi dan lautan lepas sehingga aman dari ancaman gempa bumi. Pengamat tata kotaUniversitas Trisakti Jakarta, yang Sekjen Ikatan Ahli Perencanaan Indonesia, Yayat Supriatna, mengatakan terlepas dari berbagai keunggulan yang dimiliki palangkaraya, namun untuk pemindahan ibukotajuga harus mengkaji aspek ekonominya. Aspek tersebut tidak boleh dianggap remeh, mengingat masalah ekonomi bisa memicu berbagai permasalahan baru di perkotaan. Menurut Yayat,aspek ekonomi dari segi biaya hidup juga perlu dipertimbangakan Bappenas, mengingat berbagai sumber daya masih terpusat di Jawa, dan untuk membawanya ke Kalimantan tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Hal ini jelas jauh lebih berbeda bila lokasipemidahan ibukota masih tetap di jawa. Bila lokasinya tetap di jawa maka soal keseimbanga ekonomi itu relative bisa mudah penyesuainya, mengingat fasilitas pendukung pertumbuhan sudah ada. Belum lagi dengan fasilitas pendukung seperti sarana pendidikan, pelayanan kesehatan serta SDM yang di jawa sudah tersedia. Bila memang dipindah ke Kalimantan, maka Yayat mengingatkan, pentingnya pembangunan ibu kota yang baru juga diikuti oleh upaya pembangunan untuk menyamai fasilitas-fasilitas yang tersedia di jawa tersebut. tentunya untuk bisa agak menyamai ini sehingga tergantung Jawa, karena Kalimantan akan menjadi lebih mandiri, tentu membutuhkan dana yang tida sedikit. Maka perlu pertimbangan yang perlu cerma,dan tidak memaksakan bila memang belum mampu diwujudkan dalam waktu dekat. Selain itu Yayat juga mengingatkan agar ibukota yang baru nantinya jangan mengulang kesalahan seperti saat pemerintah pusat menyikapi di Jakarta. Jakarta seakan dibiarkan menjadi magnet tersendiri terjadinya Urbanisasi besar-besaran, karena ketimpangan yang terjadi. Dalam arti terlalu lemah geliat pertumbuhan ekonomi di daerah di sekitar Jakarta, sehinnga lapanga kerja terbatas, dan warga mereka menjadi Jakarta sebagai tumpuan kehidupan hebatnya Urbanisasi ke Jakarta akhirnya menimbulkan berbagai masalah sosial. Maka pembangunan ibu kota baru tersebut juga harus tidak melupakan pembangunan daerah-daerah, sekitarnya sehingga tidak menimbilkan kesenjangan disana. Bila dlakukan, maka hal ini juga memenuhi aspe pemerataan pembangunan. Dengan memulai dari awal, dan masih tersedia lahan yang sangat luas untuk mengembangkan kotanya, maka seharusnya bisa dilakukan berbgai perencanaan dan antisipasi utnuk mecega terjadinya maslah kemacetan, kekumuhan dan banjir yang telah dialami oleh Jakarta. Yang perlu diingat, untuk mengatasi berbagai masalah tersebut juga tidak bisa bekerja sendiri, namun juga berkoordinasi dengan daerah sekitarnya,untuk mengatasinya,seperti halnya penanganan masalah banjir da transportasi. Banjir dan kemacetan telah terbukti sangat merugikan secara ekonomi. Kemacetan menurut laporan Bank dunia telah menimbulkan kerugian bagi warga Jakarta dan sekitarnya hingga sebesar Rp 39 trilliun pertahun. Dan saat ini kemacetan sedikit demi sedikit mulai diatasi dengan penyedian transportasi masal antar kota dan antar propinsi yang terintegrasi antara kota Jakarta dengan kota-kota yang diskitarnya. Kita tentu berharap ibu kota baru tidak menimbulkan maslah baru yang pelik. LEGAL OPNION 1. PENDAHULUAN Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan karunia Tuhan YME yang diberikan kepada seluruh umat manusia tanpa terkecuali. Karenanya hak untuk mendaptkan lingkungan hidup yang baik dan sehat adalah sama bagi semua manusia bahkan mahluk hidup yang ada di dunia. Dibalik kesamaan hak tersebut, tentunya dalah kewajiban semua manusia baik secara individu maupun secara berkelompok guna menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Hal ini perlu dan wajib dilaksanakan karena kondisi lingkungan hidup dari hari ke hari semakin menunjukan penurunan kualitas yang semakin signifikan. Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, masalah pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup telah menjadi isu global yang diyakini secara internasional. Kondisi ini tentu saja memaksa tiap-tiap negara didunia untuk memberikan kadar perhatian yang lebih dari biasanya terhadap masalah pencemaran dan pengerusakan Lingkungan Hidup ini. Salah satu cara yang dilakukan oleh dunia Internasional ialah melalui bentuk-bentuk kerja sama antar negara termasuk mengadakan pertemuan-pertemuan Internasional terkait masalah Lingkungan Hidup. Dimulai dengan pertemuan Stockholm pada 1972 sampai dengan saat ini, dunia Internasional telah sepakat menempatkan salah satu permasalahan Lingkungan Hidup adalah permasalahan Internasional yang mendesak untuk diselesaikan. Karena memang dampak yang diberikan sebagai akibat dari pengerusakan dan pencemaran Lingkuga Hidup ini telah dirasakan oleh jutaan umat didunia dan alma hal ini juga diyakini akan berdampak sangat buruk terhadap generasi yang akan mendatang. Kerusakan Lingkungan Hidup memang dapat terjadi secara alami dan bentuk bencana dan sebagainya, juga dapat terjadi sebagai akibat dari ulah manusia yang tidak mau dan tidak mampu untuk menjaga kelestarian fungsi lingkunganya sendiri. Indonesia sendiri tidak mau ketinggalan dan memeikirkan masalah Lingkungan Hidup ini. Menurut Emil Salim, ada tiga sebab utama mengapa Indonesia perlu menangani masalah Lingkunga Hidup secara sungguh-sungguh,yaitu: kesadaran bahwa Indonesia sulit menanggapi permasalahan lingkungan itu sendiri, keharusan mewariskan kepada generasi mendatang , bahwa sumber daya alam yang bisa diolah secara berkelanjutan dalam proses pembangunan jangka panjang. Alasan yang sifatnya idiil,yaitu mewujudkan pembangunan manusia seutuhnya. Kondisi ini disebabkan karena pada kenyataanya masih banyak sekali ditemukan berbagai pencemaran dan pengerusakan lingkungan hidup yang terjadi negara kita.Untuk menyelesaikan permaslahan-permaslahan tersebut terhadap pihak yang melakukan perbuatan tersebut dilakukan melalui jalur hukum sesuai peraturan dan perundang-perundangan yang ada di Indonesia dan sudah berlaku. Dalam hukum negara di Indonesia sendiri masalah sengketa Lingkungan Hidup dapat diselesaikan dengan beragam cara. Dimulai dari cara penyelesaian melalui jalur peradilan atau diluar jalur peradilan, dari pelanggaran pidana sampai bentuk-bentuk pelanggaran yang dilakukan secara perdata. Beragam cara ini memberikan kesempatan dan pilihan warga negara untuk melanjutkan memproses hukum terkait dengan berbagai bentuk kegiatan pencemaran dan pengerusakan lingkungan. Berbagai upaya telah diupayakan oleh pemerintah termasuk dengan memperbaiki instrument-instrumen hukum yang terutama terkait dengan Lingkungan Hidup. Salah satu produk hukum yang terbaru dikeluarkan oleh pemerintah dan disahkan adalah Undang-Undang No 32 Tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkunga Hidup. Undang-undang yang mulai berlaku mulai tahun 2009 tepatnya bulan Oktober dan tercatat dalam LN tahun 2009 No 140 ini menggatikan peran dari Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. ANALISIS ATURAN HUKUM Jika dilihat dalam konstitusi setidaknya ada dua pasal yang menyinggung Ibukota negara. Pasal 2 ayat (2) UUD 1945 menyebutkan MPR bersidang sekikitnya sekali dalam lima tahun di dalam Ibukota negara. Lalu, ada pasal 23G ayat (1) yang menegaskan BPK berkedudukan di ibukota negara, dan memiliki perwakilan dalam setiap provinsi. Ketentuan senada ditemukan dalam beberpa undang-undang, yang mengharuskan lembaga tertentu berkedudukan di ibukota negara. Implikasi adalah perubuhan banyak sekali undang-undang. Karena itu, pemindahan ibukota tak bisa ditentukan sendiri oleh pemerintah. Perpindahan adalah kebijakan yang harus diputuskan bersama-sama dengan DPR. Presiden pun juga tidak bisa memulai tanpa persetujuan DPR. Implikasi lain yang perlu diperhatikan yaitu status khusus pada daerah ibukota (DKI) Jakarta. Status itu telah memberikan sejumlah kekhususan kepada Jakarta dalam pengelolaan pemerintahan, dibandingkan daerah lain. Misalnya, kota madya di Jakarta tak memiliki DPRD, dan walikotanya pun ditunjuk bukan dipilih oleh rakyat. Jika seluruh kelembagaan negara ikut berpindah ke ibukota baru maka Jakarta tidak lagi menyadag sebagai ibukota negara dan mungkin saja menjadi status provinsi biasa pada umunya di Indonesia. Merujuk pasal 18 B ayat 1 UUD 1945 dimana negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur denga undang-undang. Dengan dikatakan bahwa pemindahan secara konstitusional Jakarta tidak memiliki banyak perubahan dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Pemerintah juga harus mempertimbangkan aspek kedepanya untuk kepentingan nasional. Memang tujuan dipndahnya ibukota untuk menekan kepadatan penduduk di ibukota dan pengelolaan sistem pemerintahan yang baru dan memberikan dampak positif terhadap masyarakat. Secara admintratif pemerintahan juga harus merubah kembali konstitusi yang telah dibuat. Perbedaan UU baru dengan yang lama dan dalam Implementasi pemidahan Ibukota RI Seperti halnya diketahui bersama, UU Nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan Lingkunga Hidup dan tercatat dalam Lembaran Negara tahun 1997 No 68 (TLN No3699) dibut untuk menggatikan UU No 4 Tahun 1982 tetnang ketentuan -ketentuan pokok Lingkunga Hidup telah menggunakan prinsip pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan, dimana hal ini undang-undang merupakan penyempurnaan terhadap undang-undang sebelumnya. Kemudian pemerintah memandang perlu untuk mengeluarkan instrument hukum yang baru guna menggatikan UU No 23 tahun 1997 mengingat perpindahan situasi dan kondisi terkait permasalahn Lingkungan Hidup yang terjadi di Indonesia. Karena itulah, perbedaan yang paling mendasar dari UU No 23 tahun 1997 dengan UU No 32 tahun 2009 adalah penguatan pada UU terbaru ini tentang prinsi-prinsip perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup yang didasarkan pada tata kelola pemerintahan yang baik karena dalma setiap proses perumusan dan penerapan instrument pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan Lingkungan Hidup serta penanggulangan dan penegakan hukum wajib pengintegrasian aspek transparasi, partisipasi, akuntabilitas dan keadilan. Undang-Undang Tahun 2009 Nomor 32 ini jika kita melihat, memberikan kewenangan yang luas kepada pemerintah pada hal ini Menteri untuk melaksankan seluruh kewenangan pemerintah dibidang pengelolaan dan perlindungan Lingkungan Hidup serta koordinasi dengan instansi lain. Hal ini tidak ditemukan pada UU No 23 Tahun 1997 ,sehingga jika cermati unsur pemerintah disini termasuk meliputi kekayaan alam yang dimiliki dan berada pada suatu daerah tertentu di Indonesia (Rina Sulistiani,2009:3) selain itu, terkait denga masalah otonomi daerah terkait undang-undang ini juga meberikan kewenangan sangat luas kepada pemerintah daerah dalam melakukan perlindungan dan pengelolaan Lingkungan Hidup di daerah masing-masing. Penhuatan demkrasi lingkungan melalui akses informasi ,akses partisipasi,serta akses keadilan. Serta hak-hak masyarakat dalam perlindunga dan pengelolaan lingkunga hidup. Lalu impelemtasi dalam kasus pemidahan ibukota RI yaitu merupakan langkah yang sangat strategis yang dapat memunculkan pusat pertumbuhan baru di Indonesia. Pemindahan ibukota secara sistematis dapat digunak solusi pemerintah untuk menyelesaikan disparitas pembangunan nasional selama ini terjadi. Dengan dilakukanya pemindahan ibukota RI yang bar uke luar pulau Jawa, maka dengan sendirinya akan menyebabkan munculnya pusat-pusat pertumbuhan baru yang disebabkan baik oleh factor internal maupun eksternal. Namun yang perlu diperhatikan, munculnya pusat pertumbuhan baru yang diprediksi akan mengurangi kesesnjangan ternyata tidak selalu berhasil seperti apa yang diharapkan (Rustiadi et al,2009). Pembangunan pusat pertumbuhan baru yang dilakukan tanpa terencana hanya akan menciptakan kesenjangan-kesenjagan. Baru atau disparitas baru ditingkat local. Hal ini disebabkan karena pembangunan pusat pertumbuhan baru memungkinkan adanya pergerakan modal dan tenaga kerja di daerah rural dan pheriperi besar-besaran menuju pusat pertumbuhan yng baru atau yang biasa disebut backwash effect atau polarization effect. Akibatnya yang terjadi adalah hubungan antara pusat pertumbuhan baru dengan wilayah di sekitarnya akan terbelakang justru akan menciptakan hubungan yang eksploratif. Hubungan eksploratif dapat berupa modal tenaga kerja, ataupun sumber daya alam. Hubungan ini pada akhirnya hanya akan menciptakan pusat pertumbuhan baru,namun memiliki sifat atau karakter yang tidak berbeda dengan halnya dengan apa yang terjadi di Jakarta. Agenda pemindahan ibukota ke wilayah lain misal Kalimantan adalah sebua agenda besar yang menjadi kunci dalam penataan kembali kota-kota besar lainya di Indonesia, termasuk pula Jakarta. Hal ini dilakukan agar pembangunan tetap berjalan normal dan seimbang. Terlepas dari factor ekonomi, pembangunan ibukota seperti misalnya di Kalimantan tengah yang diwacanakan bisa menjadi “Jubah” pemersatu bangsa Indonesia dari segala penjuru yang akhirnya meningkatkan nasionalisme sebagai akibat penempatan ibukota yang baru. Dengan demikian polemik pemindahan ibukota menjadi isu yang menjadi perhatian utama untuk berbagai kebijakan yang baru. Terutama dalam ekonomi,sosial,budaya menjadi konsentrasi pemerintah dalam kinerjanya daripada memikirkan perpindahan ibukota. Serta polemik pemindahan ibukota juga menjadihal yang bersifat urgensi, dan sebenranya tidak terlalu terburu-buru dalam mengimplementasikanya kedalam bentuk sebuah kebijakan moneter dan fiskal. Sejauh dalam pengamatan saya pemerintah sebelu merumuskan kebijkan ini juga sudah dikaji oleh beberapa pihak-pihak yang terkait dan telah melibatkan para pakar di bidangnya dan akademisi. Riset yang telah dilakukan selama bertahun-tahun juga pasti juga akan memeberikan dampak pada kebijakan. Hal itulah yang menjadi acuan pemerintah dalam mengkaji permasalahan ini. KESIMPULAN Berdasarkan penjabaran yang di atas, maka di sini dapat kita simpulkan bahwa pemindahan ibukota dari Jakarta menuju wilayah yang baru merupkan sebuah langkah yang strategis yang dapat dilakukan untuk memperbaiki tatanan ekonomi Indonesia, khususnya mengurangi kesenjangan nasioal yang terjadi selam ini. Akan tetapi di sisi lain, pemindahan ibukota yang akan menciptakan pusat-pusat pertumbuhan baru rentan menimbulkan disparitas yang sifatnya local sehingga tidak direncanakan dengan matang, pada akhirnya menciptakan sebuah bangunan kotayang tidak ada jauh bedanya dengan apa yang terjadi di Jakarta. Oleh sebab itu, langkah yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya hal ini kalaupun pemindahan ibukota benar-benar dilakukan, adalah konsep-konsep perencanaan besar komprehensif sehingga pemindahan ibukota baru bisa benar-benar menjadi solusi atas pembangunan dan permasalahan tata kelola perekonomian baik di tingkat nasional maupun di local. Dan lebih dari itu, pemindahan ibukota yang secara strategis tidak hanya mampu menyelesaikan permasalahan yang berkaitan dengan ekonomi, namun juga mampu meningkatkan persatuan dan Nasionalisme bangsa Indonesia yang kedepanya akan menjadi pemimpin dunia modern, yang bermartabat