Academia.eduAcademia.edu

REVIEW BUKU HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA

REVIEW BUKU HUKUM LINGKUNGAN DI INDONESIA Dwikan Cahyo Herginanta [email protected] DATA BUKU Judul Buku : Hukum Lingkungan di Indonesia Pengarang : Prof.Dr.Takdir Rahmadi,S.H.,LLM. Penerbit : Rajawali Pers Tahun Terbit : 2014 Kota Penerbit : Jakarta Bahasa Buku : Indonesia Jumlah halaman : 297 ISBN Buku : 978-979-769-360-2 Pembahasan Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H. LL.M lahir di Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Ia sejak 30 Desember 2008 diangkat menjadi hakim agung pada Mahkamah Agung Republik Indonesia dan juga memperoleh tugas tambahan sebagai Wakil Koordinator Tim Pembaruan Peradilan. Ia menyelesaikan studi S1 pada Fakultas Hukum Universitas Andalas, padang pada tahun 179. Setelah menyelesaikan studi S1 tersebut ia menjadi dosen pada Fakultas Hukum Universitas Andalas yaitu sejak 1 April 1980 hingga 30 Desember 2008. Pada tuhun 1987 ia meraih gelar Mater of Laws (LL.M) pada Fakultas Hukum Universitas Dalhousie, Halifax Canada dan kemudian memperoleh gelar Dokter ilmu hukum lingkungan dari Universitas Airlangga, Surabaya tahun 1997. Buku yang ditulis oleh Prof. Dr. H. Takdir Rahmadi, S.H. LL.M berisikan tentang hukum lingkungan yang ada di Indonesia dan juga mengenai perkambangan hukum lingkungan sendiri, seperti latar belakang pengembangan, pengaturan asas-asas, hak dan kewajiban kewangan dalam pengelolaan lingkungan hidup, dan pengaturan-pengaturan lainnya berkenaan dengan lingkungan hidup di indonesia diterbitkan oleh Rajawali Pers. Buku ini diawali dengan pembahasan tentang latar belakang pengembangan hukum lingkungan yang mencakup: Masalah-masalah lingkungan sebagai pendorong, kesehatan, beberapa peristiwa pencemaran lingkungan di negara-negara maju, yang menimbulkan dampak negatif terhadap kesehatan masyarakat, antara lain adalah pencemaran merkuri di teluk Minamata Jepang, pencemaran udara di London 1952, pencemaran udara di Pennsylvania 1948, pencemaran sungai Wabigon di Kanada. Di Indonesia memang belum pernah terjadi peristiwa-peristiwa pencemaran lingkungan hidup yang spektakuler seperti peristiwa pencemaran tersebut di atas, yang terjadi di negara-negara maju. Namun, beberapa indikasi pencemaran telah terjadi dibeberapa tempat di indonesia, misalnya kasus pencemaran lingkungan yang kemudian telah menimbulkan sengketa-sengketa lingkungan (hal 4). estetika, kerugian ekonomi dan tergantungnya ekositem alami (hal 4-6). Dalam buku ini faktor-faktor penyebab terjadinya masalah lingkungan ada 3 yaitu teknologi, pertumbuhan penduduk, motif ekonomi, dan tata nilai. Pada bab 1 buku ini diterangkan lahirnya kesadaran lingkungan dan kebijaksanaan pembangunan berwawasan lingkungan di tingkat global dan regional seperti konferensi PBB tentang lingkungan hidup. Terdapat teori-teori pengembangan hukum lingkungan yang berpengaruh pada hukum yang berlaku yaitu teori pendekatan ekonomi( the economic account), Teori Hak (rights account), Teori paternalisme ( the paternialism account) dan teori nilai publik (the public values account) Kemudian dalam bab selanjutnya buku ini yaitu bab 2 menjelaskan asas dan tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, hak dan kewajiban, kewenangan pemerintah dalam pengelolaan lingkungan hidup. Serta menjelaskan tentang kelembagaan pengelolaan lingkungan hidup mulai dari instansi-instansi sektoral kementrian kelembagaan di daerang tingkat 1 dan 2.  Selain kelembagaan pengaturan asas, hak dan kewajiban juga berisikan tentang instrumen-instrumen dalam pengelolaan lingkungan hidup seperti rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup kajian lingkungan hidup strategis dan instrumen-instrumen  mengenai pengelolaan lingkungan hidup yang lainnya. Pertama adalah peraturan perundang-undangan lingkungan klasik ditingkat internasional mengacu pada deklarasi Stockholm tahun 1972 dianggap sebagai tonggak pemisah antara hukum lingkungan internasional klasik dan rezim hukum internasional modern. Artinya konvensi-konvensi sebelum deklarasi Stockholm 1972 dipandang sebagai rezim lingkungan klasik sedangkan konvensi-konvensi internasional dan putusan-putusan pengadilan internasiona setelah Deklarasi Stockholm dipandang sebagai rezim hukum lingkungan modern. Di tingkat nasional lahirnya Undang-undang Nomor 4 tahun 1982 Tentang ketentuan-ketentuan pokok pengelolaan lingkungan hidup.(hal 45). Sejarah Singkat Pembentukan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1082 tentang lingkungan hidup (UULH) sampai kepada Undang-undang Nomor 32 tahun 2009 Tentang Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (UUPPLH) adalah sebagai berikut dimana bermula dari bangsa di Asia Tenggara untuk melaksanakan perlindungan dan pelestarian lingkungan hidup ditandai dengan adanya beberapa kerja sama antara mereka. Kerja sama itu antara lain dapat dilihat melalui “tripartite Agreement” dan Deklarasi Manila. Setelah Deklarasi Manila, negara – negara ASEAN pada tahun 1976 telah menyusun ASEAN Contingensy Plan. Negara – negara ASEAN juga telah menyusun “ Rencana Tindak”  (Action Plan). Sasaran utama dari Rencana Tindak ini adalah perkembangan dan perlindungan lingkungan laut dan kawasan dan kawasan pesisir bagi kemajuan, kesejahteraan, dan kesehatan generasi sekarang dan masa mendatang. Sejak era 1980-an, berkembang tuntutan yang meluas agar kebijakan-kebijakan resmi negara yang pro lingkungan dapat tercermin dalam bentuk perundang-undangan yang mengingat untuk ditaati oleh semua pemangku kepentingan (stakeholder). Tak terkecuali, Indonesia juga menghadapi tuntutan yang sama, yaitu perlunya disusun suatu kebijakan yang dapat dipaksakan berlakunya dalam bentuk undang-undang tersendiri yang mengatur mengenai lingkungan hidup. Itu juga sebabnya, maka Indonesia menyusun dan akhirnya menetapkan berlakunya Undang-undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1982). Inilah produk hukum pertama yang dibuat di Indonesia, setelah sebelumnya dibentuk satu kantor kementerian tersendiri dalam susunan anggota Kabinet Pembangunan III, 1978-1983. Menteri Negara Urusan Lingkungan Hidup yang pertama adalah Prof. Dr. Emil Salim yang berhasil meletakkan dasar-dasar kebijakan mengenai lingkungan hidup dan akhirnya dituangkan dalam bentuk undang-undang pada tahun 1982. Lahirnya UULH 1982 tanggal 11 Maret 1982 dipandang sebagai pangkal tolak atau awal dari lahir dan pertumbuhan hukum lingkungan nasional. Sebelum lahirnya UULH 1982 sesungguhnya telah berlaku berbagai bentuk peraturan perundang-undangan tentang atau yang berhubungan dengan lingkungan hidup atau sumber daya alam dan sumber daya buatan, yang dipandang sebagai rezim hukum nasional klasik. Rezim hukum lingkungan klasik berisikan ketentuan-ketentuan yang melindungi kepentingan sektoral, sementara masalah-masalah lingkungan yang timbul semakin kompleks sehingga peraturan perundang-undangan klasik tidak mampu mengantisipasi dan menyelesaikan masalah-masalah lingkungan secara efektif, sedangkan rezim hukum lingkungan modern yang dimulai lahirnya UULH 1982 berdasarkan pendekatan lintas sektoral atau komprehensif integral. UULH 1982 merupakan sumber hukum formal tingkat undang-undang yang pertama dalam konteks hukum lingkungan modern di Indonesia. UULH 1982 memuat ketentuan-ketentuan hukum yang menandai lahirnya suatu bidang hukum baru, yakni hukum lingkungan karena ketentuan-ketentuan itu mengandung konsep-konsep yang sebelumnya tidak dikenal dalam bidang hukum. Di samping itu, ketentuan-ketentuan UULH 1982 memberikan landasan bagi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Akan tetapi, setelah UULH 1982 berlaku selama sebelas tahun ternyata oleh para pemerhati lingkungan hidup dan juga pengambil kebijakan lingkungan hidup dipandang sebagai instrumen kebijakan pengelolaan lingkungan hidup yang tidak efektif. Sejak pengundangan UULH 1982 kualitas lingkungan hidup di Indonesia ternyata tidak semakin baik dan banyak kasus hukum lingkungan tidak dapat diselesaikan dengan baik. Oleh sebab itu, perlu dilakukan perubahan terhadap UULH 1982, setelah selama dua tahun dipersiapkan, yaitu dari sejak naskah akademis hingga RUU, maka pada tanggal 19 September 1997 pemerintah mengundangkan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH 1997). Selanjutnya, pada tanggal 3 Oktober 2009, pemerintah mengeluarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH), didalam kualitas lingkungan hidup yang semakin menurun telah mengancam kelangsungan perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya, sehingga perlu dilakukan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang sungguh-sungguh dan konsisten oleh semua pemangku kepentingan. Disebabkan juga pemanasan global yang semakin meningkat dan mengakibatkan perubahan iklim, sehingga memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Setidaknya ada empat alasan mengapa UULH 1997 perlu untuk digantikan oleh undang – undang yang baru. Pertama, UUD 1945 setelah perubahan secara tegas menyatakan bahwa pembangunan ekonomi nasional diselenggarakan berdasarkan prinsip pembangunan berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Kedua, kebijakan otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia telah membawa perubahan hubungan dan kewenangan antara pemerintah dan pemerintah daerah termasuk di bidang perlingkungan lingkungan hidup. Ketiga, pemanasan global yang semakin meningkat mengakibatkan perubahan iklim sehingga semakin memperparah penurunan kualitas lingkungan hidup. Ketiga alasan ini ditampung dalam UULH 1997. Keempat, UULH 1997 sebagaimana UULH 1982 memiliki celah – celah kelemahan normatif, terutama kelemahan kewenangan penegakan hukum administratif yang dimiliki kementrian Lingkungan Hidup dan kewenangan penyidikan penyidik pejabat pegawai negeri sipil sehingga perlu penguatan dengan mengundangkan sebuah undang – undang baru guna peningkatan penegakan hukum. Berdasarkan hal ini menunjukan, bahwa UUPPLH memberikan warna yang baru dan berbeda dari undang-undangan sebelumnya. Asas dan pengelolaan lingkungan hidup menurut UUPPLH didasarkan pada 14 asas, yaitu: tanggung jawab negara, kelestarian dan keberlanjutan, keserasian dan keseimbangan, keterpaduan, manfaat, kehati-hatian, keadilan, ekoregion, keanekaragaman hayati, pencemar membayar, partisifatif, kearifan lokal, tata kelola pemerintahan yang baik, otonomi daerah. Sedangkan tujuan terdapat pada pasal 3 UUPPLH memuat tujuan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yaitu: melindungi wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, menjamin keselamatan, kesehatan dan kehidupan manusia, menjamin kelangsungan hidup makhluk hidup dan kelestarian ekositem, menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup, mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan lingkungan hidup, menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan, menjamin pemenuhan dan perlindungan hak atas lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia, mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana, mewujudkan pembangunan berkelanjutan, mengantisipasi isu lingkungan global (hal 63). Buku ini juga membahas bagaimana penegakan hukum lingkungan dan penyelesaian sengketa lingkungan. Ruang lingkup hukum lingkungan adalah sebuah bidang atau cabang hukum yang memiliki kekhasan yang oleh Drupsteen disebut sebagai bidang hukum fungsional (functioneel rechtsgebeid), yaitu di dalamnya terdapat unsur-unsur hukum administrasi, hukum pidana dan hukum perdata. Hukum lingkungan administrasi, kerugian lingkungan dan kesehatan akibat pencemaran dan perusakan lingkungan dapat bersifat tidak terpulihkan. Oleh sebab itu, pengelolaan lingkungan semestinya lebih didasarkan pada upaya pencegahan daripada pemulihan. Hukum lingkungan memiliki fungsi yang amat penting karena salah satu bidang hukum lingkungan, yaitu hukum lingkungan administrasi memiliki fungsi preventif dan fungsi korektif terhadap kegiatan-kegiatan yang tidak memenuhi ketentuan atau persyaratan-persyaratan pengelolaan lingkungan. Sanksi hukum administrasi adalah sanksi-sanksi hukum yang dapat dijatuhkan oleh pejabat pemerintah tanpa melalui proses pengadilan terhadap seseorang atau kegiatan usaha yang melanggar ketentuan hukum lingkungan administrasi. Hukum lingkungan pidana, delik lingkungan adalah perintah dan larangan undang-undang kepada subyek hukum yang jika dilanggar diancam dengan penjatuhan sanksi-sanksi pidana, antara lain pemenjaraan dan denda, dengan jutuan untuk melindungi lingkungan hidup secara keseluruhan maupun maupun unsur-unsur dalam lingkungan hidup seprtri hutan satwa, lahan, udara, dan air serta manusia (hal 221). Sangsi pidana dalam undang-undang nomor 5 tahun 1990 terdapat pada pasal 40, yang berbunyi sebagai berikut : “Barangsiapa dengan sengaja melakukan pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (1) dan pasal 33 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah)”. Penegakan hukum lingkungan melalui gugatan perdata, misalyan gugatan oleh lembaga swadaya masyatakat. Di indonesia, gugatan perdata sebagai sarana penegakan hukum lingkungan juga dilakukan berdasarkan konsep perbuatan melawan hukum sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1365 BW (hal 263). Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat dirumuskan dalam arti luas dan arti sempit. Dalam pengertian luas sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan kepentingan antara dua pihak atau lebih yang timbul sehubungan dengan pemanfaatan sumber daya alam. Pemanfaatan sumberdaya alam di samping memberikan manfaat kepada sekelompok orang, juga dapat menimbulkan kerugian kepada kelompok lain. Seringkali manfaat dari suatu kegiatan pemanfaatan sumber daya alam dilihat secara makro, sementara resiko atau dampak negatif dari kegiatan itu dirasakan oleh sekelompok kecil orang. Sengketa lingkungan hidup sebenarnya tidak terbatas pada sengketa-sengketa yang timbul karena peristiwa pencemaran atau perusakan lingkungan hidup, tetapi juga meliputi sengketa-sengketa yang terjadi karena adanya rencana-rencana kebijakan pemerintah dalam bidang pemanfaatan dan peruntukan lahan, pemanfaatan hasil hutan, kegiatan penebangan, rencana pembangunan pembangkit tenaga listrik, rencana pembangunan waduk, rencana pembangunan saluran udara tegangan tinggi. Dengan demikian, pengertian sengketa lingkungan mencakup konteks yang relatif luas. Akan tetapi, UULH 1997 dan UUPPLH menganut perumusan sengketa lingkungan hidup dalam arti sempit. Sengketa lingkungan hidup dalam UUPPLH dirumuskan pada pasal 1 butir 25 sebagai “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan berpotensi dan / atau telah berdampak pada lingkungan hidup”. Jadi fokusnya masih pada kegiatan, belum mencakup kebijakan atau program pemerintah yang berkaitan dengan masalah-masalah lingkungan hidup. Dalam UULH 1997 pengertian sengketa lingkungan dirumuskan dalam pasal 1 butir 19, yaitu “perselisihan antara dua pihak atau lebih yang ditimbulkan oleh adanya atau diduga adanya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup”. Akibat dari rumusan sempit pengertian sengketa lingkungan hidup, maka pokok bahasan terbatas pada masalah ganti kerugian dan pemulihan lingkungan. Sengketa lingkungan berkisar pada kepentingan-kepentingan atau kerugian-kerugian yang besifat ekonomi, misalnya hilang atau terancamnya mata pencaharian dan pemerosotan kualitas atau nilai ekonomi dari hak-hak kebendaan, dan juga berkaitan dengan kepentingan-kepentingan non ekonomi sifatnya. Misalnya terganggunya kesehatan, kegiatan rekreasional, keindahan, dan kebersihan lingkungan (hal 267). Kelebihan buku Buku ini snagat memudahkan para pembaca untuk memahami isi buku karena terperinci dan kelebihan yang lainnya bahwa buku ini menganalisis dan membandingkan undang-undang yang mengenai hukum lingkungan sehingga memberi pengetahuan tentang kelebihan dan kekurangan yang ada pada undang-undang hukum lingkungan yang telah ada. Undang-undang tersebut adalah dari udang-undang nomor 4 tahun 1982 sampai undang-undang nomor 32 tahun 2009. Selain itu buku ini juga memberikan contoh-contoh kerusakan lingkungan yang ada disekitar kita secara kongkrit, sehingga etika dapat mengetahui secara langsung mengenai penyebab-penyebab kerusakan lingkungan dan dampak-dampak yang terjadi dari kerusakan lingkungan tersebut. Lampiran 1 (Gambar Buku) 7