MENGGAGAS PENGUATAN KAJIAN AKHLAK KEWARGAAN
(CIVIC VIRTUE) PERSPEKTIF ISLAM DALAM MASYARAKAT
MULTIKULTURAL1
Dikdik Baehaqi Arif2
Abstrak
Pendidikan Kewarganegaraan berperan penting dalam mengembangkan budaya kewargaan
(civic culture) yang diperlukan dalam rangka membangun sistem politik demokrasi. Sebagai
program kurikuler pada tingkat pendidikan dasar dan menengah, mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan berorientasi untuk mempersiapkan warga negara muda agar memiliki
kemampuan untuk terlibat dan berpartisipasi aktif dalam masyarakat politik. Pada masyarakat
Indonesia yang multikultural, budaya kewargaan perlu dibangun di atas fondasi akhlak
kewargaan, yang meliputi karakter dan komitmen kewargaan berdasarkan pada nilai
Pancasila. Tulisan ini membahas gagasan perlunya penguatan kajian akhlak kewargaan
perspektif Islam, terutama pada komunitas PKn di lembaga pendidikan (berbasis) Islam
untuk memperkuat peran warga negara dalam masyarakat multikultural Indonesia.
Kata Kunci:
budaya kewargaan, akhlak kewargaan, Islam, masyarakat multikultural,
pendidikan kewarganegaraan
A. Pendahuluan
Diantara karakteristik masyarakat Indonesia yang multikultural adalah
hadirnya lembaga penyelenggara pendidikan termasuk di dalamnya masukan (input)
siswa dalam lingkup pendidikan itu yang sangat beragam. Hampir di setiap lembaga
pendidikan, baik dari mulai tingkat dasar, menengah, maupun pendidikan tinggi,
dapat kita temui peserta didik yang memiliki karakteristik yang berbeda. Kenyataan
itu dilatarbelakangi oleh perbedaan kelompok suku bangsa, ras, budaya, agama,
gender, maupun bahasa asal mereka. Bukan saja di lingkungan sekolah, mereka juga
akan berhadapan dengan berbagai perbedaan lainnya di lingkungan sosial atau
budaya mereka sehari-hari. Inilah kekayaan bangsa, sekaligus juga tantangan bagi
para pendidik dalam merancang program pembelajaran yang mengakomodir
keberagaman itu dengan tetap tidak melupakan fungsi dan tujuan pendidikan.
1
Sebagian naskah ini pernah disampaikan dalam Semiloka Nasional Pendidikan yang diselenggarakan
oleh Program Studi PPKn STKIP Garut, di Pendopo Kabupaten Garut, Sabtu, 17 Mei 2014
2
Dosen pada Program Studi PPKn FKIP Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Jl. Pramuka No. 42
Sidikan Umbulharjo Yogyakarta 55161. Telp. 081394036944, E-mail:
[email protected]
1
Menghadapi kondisi kemajemukan itu, para pendidik perlu berpikir ulang
tentang bagaimana menjalankan peran dan fungsinya dalam proses pembelajaran di
kelas yang siswanya berbeda dalam suku bangsa, ras, budaya, agama, gender,
maupun bahasa asal mereka. Sebuah penelitian yang dilakukan tim The LIFE Center
dan Center for Multicultural Education di University of Washingthon, Seatle USA,
merumuskan pentingnya pemahaman kembali prinsip-prinsip pembelajaran (learning
princiles) untuk siswa yang multikultural. Laporan itu mengidentifikasi empat prinsip
pembelajaran kontemporer yang perlu dipahami oleh penyelenggara pendidikan.
1. Learning is situated in broad socio-economic and historical contexts and is
mediated by local cultural practices and perspectives.
2. Learning takes place not only in school but also in the multiple contexts and
valued practices of everyday lives across the life span.
3. All learners need multiple sources of support from a variety of institutions to
promote their personal and intellectual development.
4. Learning is facilitated when learners are encouraged to use their home and
community language resources as a basis for expanding their linguistic
repertoires. (The LIFE Center and Center for Multicultural Education, 2007)
Keempat prinsip pembelajaran di atas terasa tepat dipraktikkan dalam konteks
masyarakat multikultural Indonesia. Para siswa perlu diajak untuk memahami
lingkungan belajar yang cukup luas, dimediasi oleh praktik dan perspektif budaya
lokal – budaya yang merupakan hasil cipta, karsa, dan karya genuine manusia
Indonesia. Demikian pula bahwa pembelajaran tidak hanya dilakukan di dalam ruang
kelas sekolah yang terbatas, tetapi juga dalam kontes dan nilai yang banyak di luar
sekolah. Hal demikian karena setiap pembelajar membutuhkan sumber untuk
pengembangan diri dan intelektual mereka.
Proses pembelajaran diharapkan mampu memfasilitasi peserta didik dari
berbagai latar belakang untuk dapat mengembangkan dirinya sebagai warga negara
yang mampu menghargai, menghormati dan bekerjasama dengan orang/kelompok
dari berbagai latar belakang; berperilaku mengutamakan kepentingan umum;
mempromosikan hak individu, keanekaragaman dan kesetaraan; menjunjung
kebenaran, cinta tanah air; tidak larut dalam pengkultusan tokoh, kelompok dan
2
partai, ras, etnik, bahasa dan agama/keyakinan; mau mengakui kekurangan dan
kesalahan, mau belajar dari kekurangan dan kesalahan, tidak mudah dihegemoni dan
mudah mencari kambing hitam atau memanipulasi sesuatu yang merugikan orang
lain, tidak mudah berprasangka buruk kepada individu atau kelompok lain; dan kritis
sesuai konteks ruang dan waktu (Arif, 2008). Nilai budaya itu diperlukan untuk
membangun sistem politik demokrasi konstitusional, yang ditandai oleh adanya
kebebasan (berpendapat, berkelompok, berpartisipasi), menghormati orang/kelompok
lain, kesetaraan, kerjasama, persaingan, dan kepercayaan (Chamim, 2003).
Dalam pada itu, pembelajaran pendidikan kewarganegaraan (PKn) di sekolah
memerankan peran strategis dalam memfasilitasi siswa agar mampu mengembangkan
nilai dan sikap yang menghargai perbedaan, baik di lingkungan sekolah, maupun
pada lingkungan luar sekolah yang lebih luas untuk terwujudnya kehidupan
demokratis berkeadaban berdasarkan Pancasila. Upaya tersebut, tidaklah hadir
dengan sendirinya, tetapi mesti dirancang dan dikembangkan dengan baik agar tidak
terjebak pada formalitas belaka. Siswa tidak hanya difasilitasi untuk memahami
keberagaman, tetapi siswa juga harus memiliki akhlak kewargaan (civic virtue) demi
terbentuknya budaya kewargaan (civic culture) berdasarkan nilai-nilai Pancasila.
B. Perspektif Budaya Kewargaan
Pemahaman tentang budaya kewargaan (civic culture) tidak bisa dilepaskan
dari studi-studi tentang demokrasi. Konsep ini diperkenalkan pertama kali oleh
Gabriel Almond dan Sydney Verba (1963). Civic culture dipahami sebagai orientasi
psikologis terhadap objek sosial, atau sikap terhadap sistem politik dan terhadap diri
sebagai seorang aktor politik (Mujani, 2007). Orientasi ini termasuk pengetahuan atau
kepercayaan, perasaan atau afeksi, dan evaluasi atau penilaian terhadap sistem politik
secara umum, input dan output politik, dan peran seseorang dalam sistem politik.
Diyakini bahwa variasi di dalam orientasi dan sikap ini mempengaruhi partisipasi dan
dan penerimaan terhadap sistem demokrasi, yang pada gilirannya mempengaruhi
stabilitas demokrasi (Mujani, 2007).
3
Dalam pembahasannya tentang orientasi politik itu, Almond dan Verba
meyakini bahwa ada tiga jenis budaya politik: budaya politik parokial (parochial),
budaya politik subjek, dan budaya politik partisipan. Budaya politik parokial ditandai
oleh tidak terdapatnya peranan politik yang bersifat khas dan berdiri sendiri. Hal itu
terjadi karena terbatasnya diferensiasi dalam masyarakat. Pada kebudayaan ini,
masyarakat cenderung tidak menaruh minat terhadap objek politik yang luas, kecuali
dalam batas-batas tertentu, yaitu terhadap tempat dimana ia terikat secara sempit
(Kantaprawira, 1988), atau bahkan orang-orang bersikap apatis terhadap atau terasing
dari sistem politik yang ada (Mujani, 2007).
Budaya politik subjek cenderung menjadikan orang bersikap aktif terhadap
sistem politik yang secara struktural terdiferensiasi, khususnya terhadap sisi output
dari sistem ini, namun bersikap pasif terhadap sisi input dari sistem tersebut. Artinya,
masyarakat menganggap bahwa dirinya tidak memiliki peran (tiadanya orientasi
politik diri) dalam berbagai kebijakan yang disusun oleh suatu sistem politik dan
karenanya harus diterima.
Sedangkan budaya politik partisipan ditandai oleh adanya orientasi tidak
hanya terhadap sistem poltik yang terdiferensiasi secara struktural, atau terhadap sisi
output sistem ini, tetapi juga terhadap sisi input dari sistem bersangkutan dan
terhadap diri sebagai partisipan aktif.
Perpaduan budaya politik partisipasn, subjek, dan parokial diyakini memiliki
pengarush positif bagi stabilitas demokrasi. Demikianlah dapat dihapami bahwa
budaya kewargaan yang dikembangkan itu bukanlah sekadar budaya politik
partisipan, melainkan budaya politik partisipan “plus yang lain”, kombinasi antara
aktivisme dan pasifisme (Mujani, 2007). Dan kombinasi itulah yang melahirkan
perilaku politik moderat, bukan radikal. Orientasinya bukanlah kepada perubahan
yang bersifat revolusioner, melainkan kepada perubahan secara gradual. Itulah kultur
politik demokrasi (Mujani, 2007).
Budaya dan tingkah laku demokratis dipahami sebagai kompleks gabungan
beberapa unsur, yaitu: keterlibatan kewargaan yang bersifat sekular (secular civic
4
engagement), sikap saling percaya sesame warga (interpersonal trust), toleransi,
keterlibatan politis (political engangement), dukungan terhadap system demokrasi,
dan partisipasi politik (political participation) (Mujani, 2007)
Elemen budaya kewargaan yang paling sentral dan perlu dikembangkan
adalah kebajikan/akhlak kewargaan (civic virtue). Akhlak kewargaan adalah kemauan
dari warga negara untuk menempatkan kepentingan umum di atas kepentingan
pribadi (…the willingness of the citizen to set aside private interests and personal
concerns for the sake of the common good) (Quigley & Bahmueller, 1991). Tentang
hal ini Quigley dan Bahmueller meyakini bahwa kebajikan kewargaan merupakan
domain psikososial individu yang secara substantif memiliki dua unsur, yaitu watak
kewargaan (civic disposition) dan komitmen kewargaan (civic commitment).
Watak kewargaan adalah sikap dan kebiasaan berpikir warga negara yang
menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan umum
dari sistem demokrasi (…those attitudes and habit of mind of the citizen that are
conducive to the healthy functioning and common good of the democratic system).
Sedangkan civic commitment adalah atau komitmen warga negara yang bernalar dan
diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip demokrasi konstitusional (…the
freely-given, reasoned commitments of the citizen to the fundamental values and
principles of constitutional democracy) (Quigley & Bahmueller, 1991:11).
C. Persoalan Akhlak Kewargaan dalam Masyarakat Multikultural
Kajian budaya kewargaan tidaklah selalu berkaitan dengan politik partisipasi
warga negara dalam pemerintahan. Tetapi juga menyangkut sikap dan perilaku
keseharian warga negara. Penulis menyampaikan beberapa fenomena yang
menunjukkan sebagian dari sikap dan perilaku warga negara kita. Awal tahun 2015,
kita dikejutkan dengan iklan produk rokok yang memasang tagline “Mula-mula Malu
Malu, Lama -lama Mau” dengan gambar sepasang laki-laki dan perempuan yang
saling
berpelukan
dan
nyaris
berciuman.
Sontak
kemunculan
iklan
ini
menghentakkan nurani kita. Pro dan kontra muncul. Pro karena iklan itu
5
mengekspresikan seni si pembuatnya, kontra karena iklan itu bukan saja ‘bernada’
pornografi, yang jelas-jelas dilarang ditampilkan di ruang publik, tetapi juga karena ia
sebenarnya menyetujui bahkan mendorong hubungan laki-laki dan perempuan “tanpa
batas” sebelum melewati lembaga perkawinan. Tentu saja, ini tidak sejalan dengan
nilai budaya dan adat ketimuran, serta nilai-nilai agama yang sebagian besar dianut
masyarakat bangsa Indonesia.
Kasus lain, seorang penulis buku, dengan nada provokatif menulis ‘tidak salah
jika menuruti kemauan pasangan yang sedang dimabuk asmara ketika ia meminta
melakukan hubungan layaknya suami istri asmara’. Kilah penulis, hal itu untuk
menunjukkan rasa cinta dan kesetiaannya kepada pasangan. Yang terbaru, tulisan
pada buku pelajaran di sekolah yang dapat kita pahami sebagai membolehkan
seseorang (Islam) membunuh orang lain atas dasar keyakinan agama yang berbeda.
Pada sisi yang lain, kita menyaksikan media televisi, media cetak, online, dan
lainnya getol menyuguhkan informasi tentang para pesohor negeri lewat program
infotainment (baca: gosip). Tiada hari tanpa gosip. Mulai informasi kedekatan dua
pasangan selebiriti, jalinan asmara, perkawinan, permasalahan rumah tangga, sampai
perceraian disajikan dengan beragam cara untuk menarik publik. Termasuk juga
informasi kelahiran, kematian juga menjadi tayangan yang tidak terlewatkan.
Pokoknya, segala hal yang berkaitan dengan selebriti, baik atau buruk tersaji lewat
infotainment itu. Dalam hal ini, media massa tidak lagi berperan sebagai tuntunan,
tetapi lebih berorientasi tontonan semata.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, kita juga disuguhi adegan
‘perkelahian’ ala wakil rakyat, rebutan jabatan pimpinan partai politik, ada pemimpin
yang ‘berkata kasar dan kotor’, tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme, yang makin
merejalela, proses penegakkan hukum dan peradilan yang melukai rasa keadilan
masyarakat, konflik masyarakat yang berakar dari perbedaan SARA, serta berbagai
perilaku penyelenggara negara yang tidak memberi teladan baik bagi warga
bangsanya.
6
Persoalan multidimensi di atas, diungkap sebab kita (komunitas PKn) patut
merasa prihatin, dan perlu turut ambil bagian memecahkan persoalan itu. Kita perlu
melatih warga negara agar memiliki komitmen untuk melaksanakan fungsi amar
ma’ruf nahyi munkar (menyuruh kepada kebajikan dan mencegah tindakan yang
merusak) sebagai bagian dari akhlak kewargaan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Akhlak kewargaan perlu terus dikuatkan melalui PKn, terutama menghadapi
penetrasi budaya yang tidak sesuai dengan nilai dan karakter bangsa Indonesia.
Lebih-lebih pada masyarakat Indonesia yang multikultural yang menurut Winataputra
(2012) dikonsepsikan dan dibangun dalam konteks negara-kebangsaan Indonesia
modern. Hal itu menurut Winataputra (2012) dapat dicermati dari dinamika praksis
kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus
1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi UUD 1945, dan praksis
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Konsep masyarakat multikultural (multicultural society) perlu dibedakan
dengan
konsep
masyarakat
majemuk
(plural
society)
yang
menunjukkan
keanekaragaman suku bangsa dan kebudayaan suku bangsa. Multikulturalisme
dikembangkan
dari
konsep
pluralisme
budaya
dengan
menekankan
pada
kesederajatan kebudayaan yang ada dalam sebuah masyarakat (Suparlan, 2005:98).
Multikulturalisme ini mengusung semangat untuk hidup berdampingan secara damai
(peaceful coexistence) dalam perbedaan kultur yang ada baik secara individual
maupun secara kelompok dan masyarakat (Azra, 2006, Suparlan, 2005). Individu
dalam hal ini dilihat sebagai refleksi dari kesatuan sosial dan budaya dimana mereka
menjadi bagian darinya. Dengan demikian, corak masyarakat Indonesia bukan lagi
keanekaragaman
suku
bangsa
dan
kebudayaannya
tetapi
kebudayaan yang ada dalam masyarakat Indonesia.
Tabel 1 Transformasi Masyarakat Indonesia Bhinneka Tunggal Ika
7
keanekaragaman
Masyarakat Majemuk
(plural society)
terdiri dari dua atau lebih elemen
atau tatanan sosial yang hidup
berdampingan, namun tanpa
membaur dalam satu unit politik
yang tunggal.
Masyarakat Multikultural
(multicultural society)
sebuah pemahaman, penghargaan
dan penilaian atas budaya seseorang,
serta sebuah penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis
orang lain.
Sumber: (Arif, 2008)
Perubahan cara berpikir pluralisme menjadi multikulturalisme yang melandasi
realitas multikultural Indonesia adalah perubahan kebudayaan yang menyangkut
nilai-nilai dasar yang tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu diperlukan
pemahaman yang mendalam mengenai konsep multikulturalisme yang sesuai dengan
konteks Indonesia, dan pemahaman itu harus berjangka panjang, konsisten, dan
membutuhkan kondisi politik yang mendukung.
Masyarakat baru yang merupakan pergeseran dari masyarakat majemuk ke
masyarakat multikultural Indonesia yang dicita-citakan adalah masyarakat yang
menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai nilai yang mengatur kehidupannya sebagai
warga suatu bangsa. Dalam pandangan Rahardjo (1999:111), konsep masyarakat baru
itu
disebut
masyarakat
utama
sebagai
masyarakat
yang
tinggi
tingkat
perkembangannya, yang memiliki sistem kelembagaan dan mekanisme yang
menjamin berlakunya upaya-upaya masyarakat itu sendiri untuk secara otonom
mampu melaksanakan fungsi amar ma’ruf nahyi munkar dan memelihara iman.
Sebagai masyarakat yang multikultural, maka merupakan hak dari anggota
masyarakat untuk mengembangkan masyarakat dan budayanya, yang pada gilirannya
menyumbangkan yang terbaik kepada masyarakat Indonesia. Inilah inti profil
manusia Indonesia baru sebagaimana digambarkan dalam Ketetapan MPR No.
V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan dan Kesatuan Indonesia. Secara umum,
gambaran profil manusia Indonesia baru itu disajikan dalam tabel berikut:
Tabel 2 Profil Manusia Indonesia Baru
8
Pancasila
Ketuhanan
Yang Maha Esa
Kemanusiaan yang
Adil dan Beradab
Persatuan Indonesia
Kerakyatan
Keadilan Sosial
bagi
Seluruh Rakyat
Indonesia
Nilai-nilai yang Disandang
Manusia Indonesia
Nilai-nilai etika
Nilai moral
HAM
Toleransi
Kerukunan hidup
antarwarga/antara agama
Kerja sama global untuk
kemakmuran dan
perdamaian
Saling menghargai
perbedaan
Kemauan untuk bersatu
Menghormati simbol-simbol
negara persatuan
Rasa bangga sebagai orang
Indonesia
Nilai-nilai demokrasi
Populis (memihak kepada
kepentingan rakyat)
Teknologi yang memajukan
kemakmuran rakyat
Rasa solidaritas sosial
sebagai satu bangsa
Kerja sama dalam
menanggulangi masalah
nasional (gotong royong)
Sumber Nilai/Sarana
Agama yang dihayati di
dalam masyarakat Indonesia
Kebudayaan daerah (sukusuku Nusantara)
Kesadaran hukum/negara
hukum
Kerja sama internasional
Bahasa Indonesia
Sistem pendidikan dan
persekolahan
Interaksi antarwarga/
antarsuku
Pendidikan multikultural
Berfungsinya
lembaga-lembaga demokrasi
IPTEK
Lembaga-lembaga sosial
tradisional yang masih
fungsional di daerah
Sumber: (Tilaar, 2004)
Tabel di atas menunjukkan profil manusia Indonesia, yaitu manusia Pancasila
yang sedang menjadi. Profil tersebut merupakan suatu proses perwujudan nilai-nilai
Pancasila yang terus berkembang. Selain itu, nilai-nilai Pancasila yang tercantum di
dalam kelima sila Pancasila tersebut merupakan suatu kesatuan yang terintegrasi
sehingga tidak dapat dipisah-pisahkan. Keutuhan nilai-nilai tersebut menjiwai seluruh
proses humanisasi manusia Indonesia.
Realitas multikultural bangsa Indonesia di atas memberi tantangan sekaligus
peluang bagi guru PKn di sekolah. Tantangan guru PKn sekarang adalah menjadikan
9
mata pelajaran itu berkhidmat kepada, dan mendorong penguatan nilai-nilai
kemanusiaan karena beragam persoalan sosial budaya yang muncul karena
keanekaragaman yang ada. Proses PKn harus bersandar secara kukuh kepada budaya
Indonesia untuk melahirkan pandangan dunia, nilai-nilai, dan komitmen terhadap
nilai-nilai dan keluruhan martabat manusia yang bertumpu pada kejujuran dan
pertanggungjawaban. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Banks (2007) yang
menyatakan sekolah sedapat mungkin mempersiapkan para siswa dari berbagai ras,
etnis, budaya dan kelompok bahasa ke arah warga negara yang efektif dan
merefleksikan budaya dan komunitas kewargaan
Perlu disadari, bahwa masyarakat multikultural Indonesia tidaklah selalu
berdampak positif, melainkan tersimpan beragam potensi konflik yang sewaktuwaktu muncul. Karena itu, empati dan toleransi menjadi nilai dasar yang perlu terus
dikembangkan baik dalam proses maupun sebagai output pendidikan. Membawa
siswa pada persoalan yang kompleks dan spektrum ruang kelas PKn yang luas dirasa
tepat, karena sebagaimana dalam kajian Sosiologi, tindakan manusia tidak pernah
terjadi dalam “pulau kosong”. Dalam konteks ini, pembinaan nilai-nilai akhlak
kewargaan tidak bisa dilepaskan dari pembentukan iklim sosial yang kondusif bagi
munculnya sikap toleran, egaliter, dan partisipatif. Menurut Abdullah (2005), upaya
meminimalisir konflik yang terpenting (termasuk dalam masyarakat
yang
multikultural) adalah melalui penanaman kesadaran kepada masyarakat akan
keragaman (plurality), kesetaraan (equality), kemanusiaan (humanity), keadilan
(justice) dan nilai-nilai demokrasi (democration values). Dan kesemua itu, dapat
dilakukan melalui pembelajaran PKn. Inilah peluang yang dapat kita ambil sebagai
komunitas PKn dalam rangka turut berkontribusi membangun bangsa.
D. Gagasan Kajian Akhlak Kewargaan Perspektif Islam
Mengangkat Islam (yang bersumber pada Qur’an dan Sunnah) sebagai dasar
kajian akhlak kewargaan dalam PKn tentu bukanlah hal yang biasa. Sepanjang
pemahaman penulis, kajian tentang civic virtue sebagai komponen penting budaya
10
kewargaan (civic culture) diartikan sebagai kebajikan kewargaan yang bersumber dan
berorientasi pada nilai-nilai kebajikan umum (etika/moral). Tidak hanya pada
lembaga pendidikan umum yang peserta didiknya berasal dari beragam latar belakang
suku bangsa, bahasa, dan agama yang berbeda, tetapi pada lembaga pendidikan
dengan label agama-pun (termasuk Islam) yang cenderung peserta didiknya homogen
dari sisi keyakinan agama, kajian kebajikan kewargaan dalam PKn ‘selalu’ bersandar
pada nilai-nilai kebajikan umum itu.
Walaupun begitu, usaha untuk memberikan warna ke-Islam-an dalam kajian
PKn, pernah dilakukan oleh Universitas Muhammadiyah Yogyakarta – dan diikuti
oleh Universitas Muhammadiyah Purwokerto, yang menyusun buku ajar “PKn (Civic
Education) untuk Perguruan Tinggi Muhammadiyah”. Selain itu, melalui Indonesia
Center for Civic Education (ICCE) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dikembangkan
model PKn di Perguruan Tinggi Islam dengan mengembangkan buku ajar “PKn
(Civic Education): Demokrasi, Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani”.
Usaha di atas – sekalipun baru pada tataran mata kuliah umum di perguruan
tinggi – patut diapresiasi, sebagai bagian dari penyebarluasan nilai-nilai Islam dan
kebajikan kewargaan melalui PKn. Sayaangnya, gagasan itu belum secara umum
dikembangkan sebagai ranah kajian – lebih-lebih menjadi penciri – kajian PKn pada
jurusan/program studi PKn/PPKn pada Perguruan Tinggi/LPTK (berbasis) Islam.
Persinggungannya dengan kajian Pendidikan Agama (Islam) dan Budi Pekerti
barangkali menjadi salah satu alasan komunitas PKn lebih memilih membahas nilainilai kebajikan kewargaan tanpa memperkuatnya dengan nilai-nilai agama.
Karenanya, tidak keliru, kalau seorang cendekiawan muslim di negara kita dalam
ceramah yang penulis ikuti, pernah menyampaikan kritik untuk pembelajaran PKn
dengan menyebut kajian PKn di sekolah mengajarkan faham pluralisme agama, yang
menganggap semua agama baik, hanya demi menjaga nilai-nilai kebaikan bersama.
Berdasarkan uraian di atas, penulis berpandangan, bagi komunitas PKn pada
lembaga-lembaga pendidikan (berbasis) Islam, civic virtue perlu dipandang dan
dipahami sebagai akhlak kewargaan yang bersumber pada nilai-nilai Islam. Ini
11
menuntut komunitas PKn untuk mengembangkan, memperkuat dan membelajarkan
akhlak kewargaan sebagaimana Islam menghendakinya. Hal ini sejalan dengan
sasaran akhir PKn untuk pembentukan warga negara yang cerdas dan baik (smart and
good citizenship), dimana salah satu komponen warga negara demikian adalah
ketaatannya kepada agama yang dianutnya. Bagi penulis, ketaatan kepada agama
yang diyakini menjadi penting sebagai dasar mewujudkan masyarakat Indonesia baru
yang dicita-citakan. Sebab, agama (Islam) secara lengkap telah mengatur aspek
keberagamaan seseorang baik dalam urusan akidah, ibadah, akhlak, dan urusan
mu’amalah.
Dalam hal akhlak, Islam telah memberikan rumusan penting dan
komprehensif perlunya warga negara memiliki akhlak yang baik dalam hubungannya
dengan Allah SWT, dengan Rasulullah SAW, akhlak sebagai pribadi warga negara,
akhlak dalam lingkungan keluarga, akhlak dalam kehidupan bermasyarakat, maupun
akhlak warga negara dalam hubungannya dengan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Inilah rumusan lengkap akhlak kewargaan yang dapat menunjang
terbentuknya warga negara Indonesia yang cerdas dan baik.
Secara umum, Islam didefinisikan sebagai nama agama Allah (dienullah)
yang diwahyukan kepada para Rasul-Nya sejak Nabi Adam AS sampai kepada Nabi
Muhammad SAW (Ilyas, 2011:41). Secara khusus, Islam adalah nama diri dari agama
yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW sebagai mata rantai akhir dari agama Allah
yang diturunkan kepada umat manusia. Sebagai mata rantai akhir dari agama Allah,
Islam yang dibawa oleh penutup para nabi ini telah disempurnakan dan dinyatakan
oleh Allah sebagai agama yang diridlhai-Nya untuk seluruh umat manusia sampai
hari akhir nanti.
Islam memiliki beberapa ciri khusus (Ilyas, 2011, p. 43) sebagai berikut:
1. Islam adalah agama yang bersumber dari Allah SWT baik melalui wahyu
secara langsung (Al Qur’an) maupun tidak langsung (Sunnah Nabawiyah)
(QS 39:2; 32:2)
2. Ajaran Islam bersifat komprehensif (mencakup seluruh aspek kehidupan) (QS
6:38)
12
3. Ajaran Islam bersifat universal (berlaku untuk seluruh umat manusia sampai
akhir zaman (QS 7: 158)
4. Ajaran Islam sesuai dengan fithrah manusia (QS 30:30)
5. Ajaran Islam menempatkan akal manusia pada tempat yang sebaik-baiknya
secara proporsional, tidak mendewakan dan tidak pula menghinakannya (QS
7:179; 31:20)
6. Ajaran Islam menjadi rahmat bagi alam semesta (QS 21:107)
7. Ajaran Islam berorientasi ke masa depan (akhirat) tanpa melupakan masa kini
(dunia) (QS 28:77)
8. Ajaran Islam menjanjikan surga bagi yang beriman dan neraka bagi yang
kufur (QS 98:6-8)
Secara garis besar, ajaran Islam mencakup empat aspek yaitu aqidah, akhlak,
ibadah, dan mu’amalah duniawiyah (Ilyas, 2011, p. 44).
1. Aqidah: aspek keyakinan terhadap Allah, para malaikat, kitab-kitab suci, para
nabi dan rasul, hari akhir dan taqdir.
2. Ibadah: Segala cara dan upacara pengabdian kepada Allah (ritual) yang telah
diperintahkan dan diatur tata cara pelaksanaannya dalam Al Qur’an dan
Sunnah seperti shalat, puasa, zakat, haji dan sebagainya.
3. Akhlak: Nilai dan perilaku baik yang harus diikuti seperti sabar, syukur,
tawakkal, berbakti pada kedua orang tua, berani dan lain sebagainya, serta
nilai dan perilaku buruk yang harus dijauhi seperti sombong, takabur, dengki,
riya, durhaka kepada kedua orang tua dan lain sebagainya.
4. Mu’amalah: Aspek kemasyarakatan yang mengatur pergaulan hidup manusia
di atas bumi, baik tentang harta benda, perjanjian-perjanjian, ketatanegaraan,
hubungan antara negara dan lain sebagainya.
Perkataan akhlak sesungguhnya adalah sifat yang tertanam dalam jiwa yang
menimbulkan perbuatan-perbuatan dengan gampang dan mudah, tanpa memerlukan
pemikiran dan pertimbangan. Akhlak menurut Ilyas (2015:5) haruslah bersifat
konstan, spontan, tidak temporer dan tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan
serta dorongan dari luar. Dengan demikian, akhlak kewargaan sesungguhnya adalah
sikap dan perilaku warga negara yang bersifat konstan, spontan, tidak temporer dan
tidak memerlukan pemikiran dan pertimbangan, serta dorongan dari luar.
Dilihat dari ruang lingkupnya, dengan merujuk pada pendapat Muhammad
Abdullah Draz, Ilyas (2015:5) menyatakan bahwa akhlak (kewargaan) dalam
perspektif Islam dapat dikelompokkan ke dalam lima bagian: akhlak pribadi, akhlak
13
berkeluarga, akhlak bermasyarakat, akhlak bernegara, dan akhlak beragama. Dengan
demikian, akhlak kewargaan, sebagaimana kita sebut sebagai komponen penting
budaya kewargaan bagi terwujudnya masyarakat demokrasi Indonesia yang kuat,
mencakup spektrum yang luas, meliputi seluruh aspek kehidupan, baik secara vertikal
dengan Allah SWT maupun secara horizontal sesama makhluk-Nya.
Dalam kerangka pengembangan kajian PKn – termasuk akhlak kewargaan –
pada lembaga pendidikan (berbasis) Islam, penulis berpandangan dan mengajak
kepada komunitas PKn untuk membangun atmosfer akademik penguatan kajian
akhlak kewargaan perspektif Islam melalui: 1) kajian rutin akademik dengan
melibatkan dan mensinergikan komunitas PKn dan komunitas pendidikan Agama dan
Budi Pekerti (seperti kelompok dosen/guru Agama Islam) – termasuk para pemuka
Agama Islam – untuk melahirkan gagasan dan tanggung jawab bersama dalam
pembentukan
dan
penguatan
akhlak
kewargaan
bagi
warga
negara;
2)
menyebarluaskan gagasan perlunya penguatan akhlak kewargaan perspektif Islam
dalam berbagai forum ilmiah; 3) memasukkan nilai-nilai Islam (yang bersumber dari
Al Qur’an dan As Sunah) dalam proses pembelajaran di kelas PKn; dan 4) komunitas
PKn diharapkan dapat menjadi teladan yang mencerminkan akhlak kewargaan terpuji
bagi para warga negara yang lainnya (termasuk bagi para peserta didik), baik dalam
hubungannya dengan Allah SWT, dengan Rasulullah SAW, akhlak sebagai pribadi
warga negara, akhlak dalam lingkungan keluarga, akhlak dalam kehidupan
bermasyarakat, maupun akhlak warga negara dalam hubungannya dengan kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Penulis meyakini, melalui penguatan akhlak kewargaan perspektif Islam yang
berdimensi luas pada kajian PKn, komunitas PKn – terutama pada lembaga
pendidikan (berbasis) Islam – dapat memberikan kontribusi besar bagi perbaikan dan
pengembangan bangsa dan karakter menuju masyarakat Indonesia baru yang dicitacitakan.
14
E. Penutup
Mengangkat Islam sebagai dasar pijakan bagi pengembangan PKn, termasuk
akhlak kewargaan, sebagaimana dikemukakan di atas tidaklah semudah yang
dibayangkan. Perlu kesungguhan dari komunitas PKn untuk mengembangkan,
memperkuat, dan membelajarkan kajian-kajian PKn persepektif Islam. Dan hal itu
dapat diawali pada komunitas-komunitas PKn di lembaga pendidikan Islam, seperti
pada perguruan di lingkungan organisasi Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama,
Persatuan Islam, dan sebagainya. Wallahu’alam bi shawab
F. Daftar Pustaka
Abdullah, A. (2005). Kesadaran Multikultural: Sebuah Gerakan "Interest
Minimalization" dalam Meredakan Konflik Sosial. In M. A. Yaqin,
Pendidikan Multikultural: Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi
dan Keadilan (pp. xi-xx). Yogyakarta: Pilar Media.
Arif, D. B. (2008). Pengembangan Warga Negara Multikultural Implikasinya
terhadap Kompetensi Kewarganegaraan. Sekolah Pascasarjana, Program
Studi Pendidikan Kewarganegaraan. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Azra,
A. (2006). Pancasila dan Identitas Nasional Indonesia: Perspektif
Multikulturalisme. In Restorasi Pancasila: Mendamaikan Politik Identitas
dan Modernitas. Bogor: Brighten Press.
Banks, J. A. (2007). Educationg Citizen in a Multicultural Society (2 ed.). New York:
Teachers College Press.
Chamim, A. I. (2003). Civic Education di Perguruan Tinggi: Beberapa Catatan
Pengalaman. In S. Malian, & S. Marzuki (Eds.), Pendidikan
Kewarganegaraan dan Hak Asasi Manusia (pp. 5-16). Yogyakarta: UII Press.
Ilyas, Y. (2011). Cakrawala Al-Qur'an: Tafsir Tematis tentang Berbagai Aspek
Kehidupan. Yogyakarta: Itqan Publishing.
Ilyas, Y. (2015). Kuliah Akhlaq. Yogyakarta: Kerjasama Lembaga Pengembangan
dan Studi Islam UAD dengan Lembaga Pengkajian dan Pengamalan Islam
UMY.
Kantaprawira, R. (1988). Sistem Politik Indonesia: Suatu Model Pengantar.
Bandung: Sinar Baru.
Mujani, S. (2007). Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi
Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
15
Quigley, C. N., & Bahmueller, C. F. (1991). Civitas: A Framework for Civic
Education. Calabasas: Center for Civic Education.
Rahardjo, D. (1999). Masyarakat Madani, Agama, Kelas Menengah dan Perubahan
Sosial. Jakarta: Kerjasama Pustaka LP3ES dan Lembaga Studi Agama dan
Filsafat (LSAF).
Suparlan, P. (2005). Sukubangsa dan Hubungan Antar Sukubangsa. Jakarta: Yayasan
Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.
The LIFE Center and Center for Multicultural Education. (2007). Learning in and out
of School in Diverse Environment: Life-Long, Life-Wide, Life-Deep. Seatle:
Center For Multicultual Education.
Tilaar, H. (2004). Multikulturalisme: Tantangan-tantangan Global Masa Depan
dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo.
Winataputra, U. S. (2012). Pendidikan Kewarganegaraan dalam Perspektif
Pendidikan untuk Mencerdaskan Kehidupan Bangsa (Gagasan,
Instrumentasi, dan Praksis). Bandung: Widya Aksara Press.
16