Academia.eduAcademia.edu

Perspektif Kajian Keislaman

ABSTRAK Kajian Keislaman adalah sebuah materi pembelajaran yang dipelari dan dikaji oleh mahasiswa diperguruan tinggi Islam, juga merupakan salah satu komponen mata kuliah umum yang wajib diikuti oleh semua mereka di semua fakultas dan juga semua jurusan, yang didalamnya dibahas berbagai macam ilmu-ilmu keislaman, baik yang berhubungan dengan hukum, pendidikan, sejarah, pemikiran-pemikiran dalam Islam, bahkan juga dikaji tentang berbagai macam approach dalam memahami agama, sumber ajaran, karakteristik ajaran Islam itu sendiri, dan metodologi pemahaman tentang agama Islam secara komprehensif dengan keaneka-ragaman tiori yang dipadukan dengan tipe atau model penelitian. Pendekatan tersebut antara lain " teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis "

Perspektif Kajian Keislaman Oleh: Adi Kasman Mahasiswa S.3 Pendidikan Agama Islam UIN Ar- Raniry EMAIL: [email protected] ABSTRAK Kajian Keislaman adalah sebuah materi pembelajaran yang dipelari dan dikaji oleh mahasiswa diperguruan tinggi Islam, juga merupakan salah satu komponen mata kuliah umum yang wajib diikuti oleh semua mereka di semua fakultas dan juga semua jurusan, yang didalamnya dibahas berbagai macam ilmu-ilmu keislaman, baik yang berhubungan dengan hukum, pendidikan, sejarah, pemikiran-pemikiran dalam Islam, bahkan juga dikaji tentang berbagai macam approach dalam memahami agama, sumber ajaran, karakteristik ajaran Islam itu sendiri, dan metodologi pemahaman tentang agama Islam secara komprehensif dengan keaneka-ragaman tiori yang dipadukan dengan tipe atau model penelitian. Pendekatan tersebut antara lain “teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis, kebudayaan, dan pendekatan filosofis” الملخص الدراسات الإسلامية هي المواد التعليمية التي يمكن تعلمها ودراستها من قبل الطلاب فى جامعة اسلامية، هو أيضا عنصر واحد من الدورات العامة التي يجب أن يتبعها كل منهم في جميع الكليات وجميع الشركات الكبرى، التي شملت أيضا مجموعة واسعة من العلوم الإسلامية، وكلاهما التعامل مع القانون، والتعليم، والتاريخ، والأفكار في الإسلام، حتى درس عن أنواع مختلفة من نهج في فهم الدين، مصدر التعاليم، تعاليم مميزة من الإسلام نفسه، ومنهج الفهم حول الإسلام بطريقة شاملة مع تنوع النظرية جنبا إلى جنب مع نموذج أو نوع من البحوث. وتشمل هذه النهج في "نهج لاهوتية، الأنثروبولوجية، والاجتماعية والنفسية والتاريخية والثقافية والفلسفية المعيارية" ABSTRACT Islamic studies is a learning material that dipelari and studied by students of high Islamic colleges, is also one component of general courses that must be followed by all of them in all the faculties and all the majors, which also covered a wide range of Islamic sciences, both of which dealing with the law, education, history, thoughts in Islam, even studied about the different kinds of approach in understanding the religion, the source of the teachings, the characteristic teachings of Islam itself, and the methodology of understanding about Islam in a comprehensive manner with diversity tiori combined with model or type of research. Such approaches include a "normative theological, anthropological, sociological, psychological, historical, cultural, and philosophical approaches" Kata Kunci: Perspektif, Kajian, dan Keislaman Pendahuluan Firman Allah: وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ ۖ فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ ۖ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ ۚ لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا ۚ وَلَوْ شَاءَ اللَّهُ لَجَعَلَكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَلَٰكِنْ لِيَبْلُوَكُمْ فِي مَا آتَاكُمْ ۖ فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ ۚ إِلَى اللَّهِ مَرْجِعُكُمْ جَمِيعًا فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُونَ “Dan Kami (Tuhan) menurunkan kepada engkau (Muhammad) kitab suci (Al-Quran) sebagai pendukung kebenaran kitab suci yang ada sebelumnya, dan untuk menopang kitab suci itu. Maka jalankanlah hukum (ajaran kebaikan) antara mereka sesuai dengan yang diturunkan Allah, dan janganlah mengikuti keinginan mereka menjauhi dari kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk masing-masing diantara kamu (umat manusia) kami buatkan syari’ah (jalan menuju kebenaran) dan minhaj (metode pelaksanaannya). Seandainya Allah menghendaki tentulah Dia jadikan kamu sekalian (umat manusia) menjadi umat yang tunggal. Tetapi (dibuat bermacam-macam) agar Dia menguji kamu sekalian berkenaan dengan hal-hal (jalan dan metode) yang telah dianugerahkan kepada kamun itu. Maka belomba-lombalah kamu sekalian menuju kepada kabaikan. Dan hanya kepada Allah tempat kembalimu. Kelak Dia akan mejelaskan kepadamu tentang hal-hal yang pernah kamu perselisihkan.” (Q.S.5: 48) Pendekatan (approach ) dan metodolgi yang dilakukan ini bertujuan untuk memberikan kepada mahasiswa, khususnya mahasiswa di Perguruan Tinggi Islam, seperti mahasiswa STAIN TDM sekarang ini agar mereka kelak dapat betul-betul memahami tentang pelaksanan pengamalan ajaran agama Islam yang telah, sedang dan akan berkembang di tengah-tengah masyarakat yang pluralisme Pluralisme (pluralism) adalah sistem nilai, sikap, institusi, dan proses yang isa menerjemahakan realitas keragaman itu menjadi kohesi social yang berkelanjutan, stabilitas politik, dan pembangunan ekonomi. Dengan demikian, fenomena keragaman adalah ciri permanen semua masyarakat yang pasti berbeda bentuk dan dinamikanya. Dengan kata lain, keragaman adalah sesuatu yang empiris, sedangkan pluralisme adalah idiologi atau orientasi dan sistem yang menerima keragaman itu sebagai nilai yang positif dan terus berusaha memfasilitasi proses negosiasi dan penyusuaian di antara mereka, tanpa berusaha untuk memusnahkan salah satu atau sebagian dari keragaman itu. (Baca: Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler, h. 391) dengan berbagai macam corak, pola pemahaman, dan pengamalan ilmu-ilmu keislaman yang mereka pahami itu. Tuntutan pemahaman Metodologi Kajian Keislaman bag mahasiswa pada intinya juga sebagai bekal untuk melakukan kajian-kajian serta metodolgi penelitian studi keislaman secara terukur dan mandiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Abuddin Nata bahwa Metodologi Studi Islam berupaya mendeskripsikan secara umum tentang ruang lingkup ajaran Islam juga mengemukakan berbagai metode dan pendekatan yang dapat digunakan untuk menghasilkan pemahaman Islam yang komprehensif. Pendapat beliau ini menggambarkan bahwa studi Islam hanya diarahkan para lulusan dalam sebuah lembaga pendidkan Islam hanya untuk menghafal ajarannya saja, akan tetapi mereka tidak mampu mengembangakannya, baik dari segi Psikomotor, Kognitif dan afektif. Dalam hal ini imam al-Ghazali memberikan komentarnya: Manusia seluruhnya akan binasa, kecuali orang yang berilmu. Semua orang yang berilmu akan binasa, kecuali orang yang beramal. Semua orang yang beramal akan binasa pula, kecuali orang-orang yang ikhlas dan jujur (dalam al-Abrasyi, 1987: 46) Pernyataan imam al-Ghazali tersebut, menghendaki supaya setiap orang muslim mau belajar, kemudian beramal, bertindak dan bekerja dengan ilmu yang dimilikinya itu, ikhlas serta penuh dengan nilai-nilai kejujuran dalam semua tindakan dan perbuatan. Karena hal itu tidaklah punya arti dan makna di hadapan Allah swt kalau tidak dilandasi dengan nilai-nilai keimanan atau akidah yang benar. Oleh karena itu diharapkan kepada mahasiswa harus mampu mengkaji dan melakukan berbagai macam kajian dan penelitian tentang perkembangan keislaman yang sedang berkembang ditengah-tengah masyarakat yang pluralisme dan modernisme saat ini, karena seorang muslim dituntut betul-betul memahami, dan memiliki wawasan yang komprehensif serta integral yang berhubungan dengan semua sumber ajaran Islam, yang demikian itu agar mereka dapat merespon semua problema aktual yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Pembahasan Apa yang dimaksud dengan “agama?” Bagaimana pula mendefinisikan “agama Islam?” Berbagai macam penafsiran tentang pengertian agama Pengertian agama menurut uraian yang diberikan Harun Nasution. Menurutnya, dalam masyarakat Indonesia selain dari kata agama, dikenal pula kata din (دين ) dari bahasa Arab dan kata religi dalam bahasa Eropa. Menurutnya, agama berasal dari kata sanskrit. Menurut satu pendapat, demikian Harun Nasution mengatakan, kata itu tersusun dari dua kata, a=tidak dan gam=pergi, jadi agama artinya tidak pergi, tetap di tempat, diwarisi secara turun-temurun. (Baca Abuddin Nata, Metologi Studin Islam, Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2010, h. 9), Salah satu diantaranya adalah tidak kacau, orang yang beragama artinya tidak kacau. Ada lagi yang berkata agama adalah jalan yang mengantar seseorang kepada kebahagiaan. Tetapi betapa pun berbeda-beda, sekali lagi kita menemukan perbedaan mereka ketika membahas apa hakikat keberagamaan. Salah satu defenisi tertua menyangkut hakikat keberagamaan yang kiranya dapat diterima oleh banyak agamawan adalah keberagamaan atau agama adalah upaya seseorang meneladani sifat-sifat Tuhan yang dipercayainya, mengakui ada sebuah kekuatan yang maha dahsyat diatas kekuatannya (supernatural) yang dalam istilah antropologi disebut supernatural beings. Meneladaninya sesuai dengan kemampuannya sebagai manusia. Seorang muslimin ketika berpuasa misalnya, pada hakikatnya berusaha untuk meneladani sifat-sifat Allah Swt. yang tidak makan, tidak minum, tidak mempunyai pasangan, Maha Mengetahui, Maha Kaya, Maha Kuat, Maha Berilmu, oleh karena itu ia berusaha untuk meneladaninya sesuai dengan kemampuannya. Sementara agama Islam adalah agama yang sesuai dengan fitrah manusia, baik dalam hal akidah, syari’at, ibadah, muamalah dan lain-lain sebagainya. Allah menyuruh manusia untuk menghadap dan masuk ke agama fitrah. Allah Swt berfirman. “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah yang Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. “Masuklah kamu semua kedalam agama Islam secara menyeluruh...”. Ini menunjukkan agar manusia dalam melakukan berbagai aktifitas harus betul-betul Islami baik akidah, syariat, ibadah, muamalah, dan sebagainya. Nabi Muhammad Saw bersabda: “Tidaklah seorang bayi dilahirkan kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang men-jadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi” Imam Abi Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. IV, ( Bairut. Dar Al-Fkr, tt,) H. 60 . “Adanya potensi beragama yang terdapat pada manusia tersebut dapat pula dianalisis dari istilah insan yang digunakan Al-Quran untuk menunjukkan manusia”. Abuddin Nata, Metologi Studin Islam, (Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2010), h. 19 Manusia itu terbatas kemampuannya, oleh karena itu tidak mungkin Allah Swt yang telah menciptakan manusia, kemudian Dia memberikan beban kepada hamba-hamba-Nya apa yang mereka tidak sanggup memikulnya. Dari segi kabahasaan makna Islam berasal dari “bahasa Arab, yaitu salima yang artinya selamat, sentosa, dan damai. Kemudia dari kata salima itu berobah menjadi bentuk aslama artinya berserah diri masuk dalam kedamaian” Abuddin Nata, Metodologi... h. 62 . Quraish Shihab mengatakan makna “Islam adalah penyerahan”. M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Lentera Hati, Cet. Ke-II, 2006), h. 13 adalah agama yang mengimani Tuhan hanya satu, yaitu Allah. Agama ini termasuk agama samawi (agama yang dipercaya oleh para pengikutnya diturunkan dari langit) dan termasuk dalam golongan agama Ibrahim. Dengan lebih dari satu seperempat milyar orang pengikut di seluruh dunia, menjadikan Islam sebagai sebuah agama yang banyak dianut di muka bumi ini. Pengikut ajaran Islam dikenal dengan sebutan Muslim dan muslimat. Artinya orang yang menyerah. Islam mengajarkan bahwa Allah menurunkan firman-Nya kepada manusia melalui rasul utusan-Nya, dan diyakini dengan sungguh-sungguh bahwa Nabi Muhammad SAW. adalah nabi dan rasul terakhir yang diutus ke dunia oleh Allah, dan hamba-Nya (umat Nabi Muhammad saw) adalah umat yang terbaik, diajarkan untuk selalu mengajak kepada kebikan dan mencegah segala kemungkaran baik untuk dirinya, keluarganya, dan masyarakat luas pada umumnya, firman-Nya: Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. sekiranya ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka, di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (Q.S: 2:110). Islam atau al-Islam, juga bermakna “tunduk-patuh dan taat-pasrah kepada Tuhan yang meliputi seluruh alam semesta – Al-Islam universal inilah yang merupakan satu-satunya ajaran ketundukan atau din yang dibenarkan oleh Tuhan yang Maha Esa” Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Yayasan Wakaf PARAMADINA, 2004), h. 42 . Dengan demikian, makna Islam adalah tunduk, patuh dan berserah diri dalam semua tindakan dan perbuatan semua insan harus benar-benar sesuai dengan maksud serta tujuan Allah menciptakannya makhluk yang namanya manusia, yaitu mengabdi, beribadah semata-mata karena dan untuknya semua. Kemudian dari segi istilah, sebagaimana pendapat-pendapat para intelektual Islam, maka Islam itu adalah sebuah agama yang inti sumber ajarannya adalah wahyu atau firman Tuhan (Allah Swt), bukan ucapan manusia, dan bukan pula dari Rasulullah Saw, karena menurut akidah orang Islam, firman Tuhan (al-Quran) itu way of life, sumber hukum pertama untuk umat-Nya melalui perantaraan Rasul-Nya Muhammad saw. sebagai khatamul al-Anbiya wal-Mursalin. Ini menandakan hanya Islam-lah satu-satunya agama yang diakui disisi-Nya, serta menjaga dan memelihara keutuhan dan keotentikan kitab suci-Nya, sebagaimana firman-Nya “Sesungguhnya Kami yang menurunkan peringatan (al-Quran) itu, dan Kami pula yang menjaganya”. (Q.S. 15:9). Lebih lanjut Nurcholish Madjid, mengutip beberapa pendapat, antara lain, Profesor Wallace mengatakan bahwa agama ialah “sesuatu kepercayaan tentang makna terakhir alam raya”. E.S.P. Haynes berpendapat bahwa agama ialah “suatu tiori tentang hubungan manusia dengan alam raya”. Bagi John Morley, agama adalah “perasaan kita tentang kekuatan-kekuatan tertinggi yang menguasai nasib umat manusia”. Dan James Martineau mendefinisikannya sebagai “kepercayaan tentang Tuhan yang abadi, yaitu tentang Jiwa dan Kemauan Ilahi yang mengatur alam raya dan berpegang pada hubungan-hubungan moral dengan umat manusia” Nurcholish Madjid, Islam Kemordenan dan Keindonesiaan, (PT. Mizan Pustaka, Cet - I 2008), h. 112 . Berbeda dengan pendapat yang ada di Barat, bahwa “agama adalah hasil pemikiran manusia, nilai-nilai agama disejajarkan dengan nilai-nilai ekonomi, politik, pengetahuan, susila, dan sebagainya” Harun Nasution, Islam Rasional, (Penerbit, Mizan, Cet. Ke. V, 1998), h. 289 Sejak waktu yang lama Islam kian banyak dikaji orang, muslim dan non muslim. Apa saja motivasi sehingga phenomena tersebut begitu menonjol terutama sesudah tahun 1970an? Sebagaimana diketahui, bahwa negara Indonesia ini bukanlah negara Islam, Islam tidak bisa dipisahkan dengan negara, akan tetapi sebuah negera demokrasi yang berlandaskan Pancasila dan UUD 1945. Dengan demikian masyarakatnya menganut berbagai macam agama dan kerpercayaan menurut keyakinannya masing-masing, baik muslim maupun non muslim. Kenyataan yang tidak bisa dipungkiri bahwa sepanjang tahun 1970-an, 1980-an, sampai 1990-an, Indonesia telah mencatat sebuah kebangkitan Islam yang amat progresif dan begitu memiliki masa depan. Inilah fenomena luar biasa dan mengejutkan, apabila kenyataan itu dibandingkan dengan yang seringkali disebut sebagai “Islamic revival” atau kebangunan kembali Islam. Sejumlah studi, baik dalam kaitan tugas akademik maupun riset-riset ilmiah lainnya menjelaskan perkembangan pemikiran Islam di Indonesia berikut tokoh-tokohnya. Perkembangan pemikiran tersebut secara umum mereka sebut sebagai horizon modernisasi Islam di Indonesia dan kemunculan “Islam Modernis”. Dalam buku Jejak Pemikiran dari Pembaharuan sampai Guru Bangsa, seorang tokoh pembaharu bangsa, Nurcholish Madjid, Cak Nur panggilannya, banyak orang melihatnya sebagai sosok yang menampilkan “Muhammad Natsir baru”, seorang ulama, cendikiawan dan tokoh politik reformis yang dilarang turut-serta dalam kancah politik oleh penguasa. Namun sesudah tahun 1970, Nurcholish Madjid dengan HMI-nya yang dipengaruhinya, dia mengungkapkan ide-ide pembaharuannya, yaitu tak lama sekembalinya dari perjalannya yang pertama ke Eropa, Amerika dan Timur Tengah, oleh para tokoh tua telah mulai memandangnya sebagai pemuda ambisius Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Cet. II ( Pustaka Pelajar, 2003 ), h. 89. Artinya Nurcholish Madjid telah melihat gejala-gejala yang kurang menguntungkan bagi umat Islam dalam mengembankan misinya untuk menjalankan perintah Allah secara bebas dan bertanggung jawab. padahal al-Quran telah memberikan kebebasan dalam memilih agama dan keyakinannya masing-masing, yang barangkali sesuai dengan firman Allah: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat...(Q.S.2:256). Disini mungkin Islam dengan penganutnya (muslim) masih diragukan dan bahkan dianggap berhaya dalam kancah perkembangan politik bangsa, padahal itu semua tidak benar, sebagaimana pendapat Ahmad Muflih Saefuddin dalam buku Jejak Pemikiran..., demikian katanya “Ciri khas Islam antara lain adalah perubahan perpaduan antara tidak berubah oleh apapun (tsabat) dan elastis atau menerima perubahan sepanjang tidak menyimpang dari batas syariat dengan sifat murunah-nya sanggup memecahkan tiap problematika hidup masa kini yang beraneka ragam dan memberikan lapangan leluasa untuk mengadakan ijtihad tentang masaalah yang tidak ada nash-nya” Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran... h. 37 . Sikap jumud (statis) yang menghiasi alam pikiran dan prilaku umat Islam merupakan biang kemunduran dan menyebabkan mereka tidak dinamis, berhenti berpikir dan berusaha. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip keimanan Islam yang mengandung unsur-unsur gerak dinamis. “Pada Oktober 1972, di Taman Ismail Marzuki, Cak Nur menuangkan kembali gagasannya, tetapi dengan bahasa yang lebih halus”. Dia menyampaikannya itu dalam sebuah makalah yang berjudul “Menyegarkan Paham Keagamaan di Kalangan Umat Islam Indonesia. Dia mencoba dengan gagasannya itu “menerangkan maksud dan tujuan dari proyek pembaruannya”. Dalam makalah tersebut “Cak Nur banyak memaparkan implikasi iman bagi cara pandang seorang muslim. Menurutnya, seorang muslim ideal tentu akan memandang hidup ini sebagai ladang untuk beramal baik” Nurcholish Madjid, Islam Kemordenan dan Keindonesiaan, (PT. Mizan Pustaka, 2008), h. xivi Islam tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan modern. Kemajuan Islam sebagaimana yang pernah dicapai pada masa-masa keemasan-nya adalah karena sangat mementingkan ilmu pengetahun. Dahulu umat Islam disegani oleh masyarakat dunia. Mereka belajar dari kita. Tetapi, kini kita tertinggal dalam segala bidang, bahkan kita mendapat tantangan dari segala penjuru. Untuk itu Islam memberikan porsi yang besar bagi akal Khusus mengenai pemikiran atau pemakaian akal, dikalangan umat Islam sekarang terdapat rasa cemas terhadap akal, karena pemikiran akal menghasilkan pendapat-pendapat yang sepintas lalu kelihatan bertentangan dengan teks wahyu. Sedang umat Islam dewasa ini masih banyak terikat kepada arti harfiah dari teks ayat Al-Quran. Memberi arti metaforis kepada ayat––sebagaimana yang dilakukan golongan Mu’tazilah, kaum filosof, dan kaum sufi di masa lampau, sehingga pertentangan lahiriah itu dapat diatasi––belum dapat diterima kecuali di kalangan Islam tertentu. (Harun Nasution, Islam Rasional, h. 60). untuk memahami ayat-ayat Tuhan, baik ayat qauliyah maupun kauniyah agar dapat menemui kembali jati diri sebagaimana pernah mengalami masa keemasannya. Mungkin inilah beberapa phenomena yang terjadi diera sesudah 1970-an Dalam ralitas hidup ada yang dinamakan “orang beragama, ada pula, katanya, “orang tidak beragama.” Lantas bagaimana cara memahaminya secra baik dan benar ? Secara substansi ada penjelmaan yang berbeda antara orang yang sungguh-sungguh beragama dan orang-orang yang pura-pura beragama. Perbedaan itu diantaranya dapat dilihat dalam beberapa hal. Petama keteguhan iman. Keteguhan iman itu dapat dimaknai dengan ”kesungguhan dan keikhlasan dalam menjalaankan agama” artinya seseorang itu ”beragama dengan hati” Gambaran keteguhan iman seseorang dapat dilihat dari sikap dan perilakunya. Sikap dapat mencerminkan seseorang apakah ia termasuk orang yang teguh dalam memegang prinsip ataukah orang yang mudah terpengaruh. Sedangkan perilaku dapat mencerminkan perbuatan seseorang apakah perbuatannya mengarah pada hal-hal yang positif ataukah negatif. Seseorang yang memiliki keteguhan iman akan selalu beupaya bahwa kehidupan yang dijalani tidak boleh bertentangan dengan ajaran agama. Dalam pengalaman hidup manusia, iman akan senantiasa mengalami pasang-surut. Harun Nasution mengatakan “Meskipun Abu Hanifah mengatakan ”Iman tidak mempunyai safat bertambah atau berkurang” Harun Nasution, Teologi Islam, (Universitas Indonesia, UI-Press, 2011), h. 27 . Pasang-surutnya iman akan menggambarkan apakah seseorang itu termasuk orang yang teguh imanya ataukah rapuh. ”Tidak banyak orang yang beragama cara demikian, akan tetapi kebanyakan manusia beragama dengan tiori saja” bukanlah orang yang beragama pintar tiori agama, menguasai bahasa Arab merasa sudah menguasi ilmu Allah di dalam al-Quran, kalau sudah berpakaian dan beratribut islami, rasanya sudah menjadi orang Islam yang sempurna Harun Nasution, Teologi... h. 27, sementara ia tidak menjalankan perintah dan tidak pula menjauhi larangan-larangan Allah swt dalam arti amar makruf dan nahi mungkar. Kedua konsistensi dalam menaati ajaran agama. Ada sebagian orang yang memahami bahwa ia menjalankan ajaran agama itu secukupnya saja, tidak perlu terlalu taat dan juga tidak sering melanggar ajaran agama. Bahkan ada orang yang shalat,tetapi maksiat jalan terus. Hal yang demikian sesungguhnya menunjukkan ketidak konsistenan seseorang kepada Allah. Al-qur’an mengajarkan manusia untuk konsisten memegang iman dan menjalankan ajaran agama dengan baik. Sebagaimana firman-Nya : Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal. (Q.S.8:2) Seorang dikatakan beragama (agama Islam) yang benar dapat dibukikan dengan keimananya. Sebagai contoh bagaikan keadaan seseorang yang sedang mendayung perahu di tengah samudera dengan ombak dan gelombangnya yang dahsyat lagi bergemuruh. Nun jauh disana, tampak remang-remang pulau yang dituju. Pada saat berada ditengah samudera itu, pasti timbul dalam benak si pendayung suatu ketidakpastian/keraguan yang menimbulkan tanda tanya: “Dapatkah tiba di pulau yang dituju itu?” Nah, demikian pula halnya dengan iman! Akan timbul aneka tanda tanya dalam benak orang yang beriman tentang objek-objek keimananya. Tanda tanya ini akan selalu muncul sebelum samapai ke pulau yang dituju, yakni sebelum datangnya kematian” M. Quraish Shihab, Menabur... h. 6-7 . Demikian untaian Quraish Syihab dalam bukunya “Menabur Pesan Ilahi”. Dengan konsisten beragama itulah Allah akan memberikan balasan yang lebih baik bagi kita, baik didunia maupun di akhirat. Dalam beragama juga terdapat pilar-pilar yang dapat memberikan indikator apakah seseorang telah beragama secara holistik, dalam bahasa agama disebut kaffah (menyeluruh) ataukah parsial saja. Kekonsistenan dalam menjalankan perintah Allah berarti harus ”meningkatkan kualitas keimanan” artinya seseorang harus belajar, caranya terserah, bisa sama orang lain, bisa sendiri, belajar secara formal, maupun tidak formal” Kondisi demikian yang paling penting adalah sesuai dengan perintah agama. Pilar-pilar yang dimaksud adalah sebagai berikut : Pertama, learning to know atau ilmu (belajar mengetahui), Kedua, learning to do atau amal (belajar untuk mengamalkan), Ketiga, learning to be atau ihsan secara pribadi, Keempat, learning to live toghether, dalam beragama bukan hanya sekedar berurusan dengan Allah akan tetapi juga berurusan dengan sesama yang diwujudkan dalam bentuk jalinan hubungan baik dengan sesama. Diatas telah disebutkan tentang orang yang konsisten beragama dan orang beragama hanya persial saja. Kalau orang melakukan sesuatu dengan mencoba-coba, mengetes, menelusuri berbagai kemungkinan, mempertanyakan dulu, dikenal sebagai tindakan yang tidak termasuk riligius, tidakan yang pragmatis dan sekuler, bahkan kalau dilakukan dengan biasa-biasa saja, rileks, seadanya, bahkan senda gurau, tidak dikatakan tindakan religius, sebaliknya kalau sesuatu diperlakukan dengan istimewa, sangat hormat, sangat tertib dan khusyuk itulah yang dinamakan dengan ciri-ciri seorang yang beragama. Demikian pendapat Bustanuddin Agus dalam bukunya ”Agama dalam Kehidupan Manusia” Bustanuddin Agus, Agama dalam kehidupan Manusia, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007), h. 46 . Tidak berlibihan dikatakan bahwa agama-agama besar selalu mengajarkan pemeluk-pemeluknya agar selalu taat pada aturan-aturan yang telah ditentukan, agama Kong Hu Cu dan agama Budha lebih merupakan kumpulan ajaran moral daripada kepercayaan kepada Tuhan. Agama Hindu juga mengajarkan norma moral dan mengaitkan dengan sanksi darma pala dan reinkarnasi. Agama Yahudi lebih menonjolkan aspek moral dan hukumnya daripada aspek spiritualitas. Agama kristen lebih menonjolkan aspek spiritualitas dalam menanamkan nilai moral. Agama Islam mengajarkan akhlak terhadap diri sendiri, terhadap orang lain, terhadap flora dan fauna, serta akhlak terhadap Allah dan rasul-Nya. Itulah tanda-tanda orang perbedaan orang yang beragama dengan orang yang tidak beragama, lebih-lebih agama Islam, aspek akhlak dikonkretkan menjadi aspek hukum. Pelanggaran moral dan hukum Islam tidak hanya dikenai sanksi supernatural, juga diancam dengan berbagai sanksi hukum, demikian dalam Bustanuddin Agus. Apa saja sebagai inti ajaran Islam? Bagaimana memahaminya dan bagaimana pula mengajarkannya kepada manusia? Berbicara masaalah inti ajaran agama Islam, ini tidak terlepas dengan tujuan Allah menciptakan Jin dan Manusia, yaitu untuk menyembah-Nya. Ini semua secara filosofi dapat memberikan suatu pengertian mentauhidkan-Nya. Oleh karena itu, untuk memahaminya tentu perlu dibekali dengan berbagi macam pengetahuan, baik agama, sosial, kebudayaan. Karena agama Islam bukanlah agama yang statis, tetapi agama yang dinamis, bukan agama milik seseorang, tetapi milik semua orang, bukan agama warisan, tetapi agama dari Tuhan, bukan ucapan insan, tetapi firman Tuhan, bukan agama buatan tetapi agama fitrah dari Tuhan. Secara garis besar inti ajaran Islam ada tiga macam. Pertama berserah diri kepada Allah dngan metauhidkan-Nya. Inti ajaran Islam pertama adalah berserah diri sepenuh jiwa dan raga hanya kepada Allah yang didasari kemurnian tauhid Bagi kaum sufi, kemurnian tauhid mengandung arti bahwa hanya Tuhan yang mempunyai wujud. Kalau ada yang lain yang mempunyai wujud yang hakiki di samping Tuhan, itu mengandung arti bahwa ada banyak wujud, dan dengan demikian merusak kemurnian tauhid. Oleh karena itu mereka berpendapat: Tiada yang berwujud selain dari Allah Swt. Semua yang lainnya pada hakikatnya tidak ada. Wujud yang lain itu adalah wujud bayangan. Kalau dibandingkan dengan pohon dan bayangannya, yang sebenarnya mempunyai wujud adalah pohonnya, sedang bayangannya hanyalah gambar yang seakan-akan tidak ada. Pendapat inilah kemudian yang membawa kepada paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud), dalam arti wujud bayangan bergantung pada wujud yang punya bayangan. Karena itu, ia pada hakikatnya tidak ada; bayangan tidak ada. Wujud bayangan bersatu dengan wujud yang punya bayangan. (Harun Nasution, Islam Rasional, h. 43). kepada-Nya semata. “Berserah diri” di sini bermakna menghinakan dan merendahkan diri disertai ketundukan yang tulus dari setiap hamba kepada penciptanya. Sehingga secara utuh maknanya seorang hamba berserah diri, patuh lagi tunduk kepada Allah untuk meninggikan keesaan-Nya dalam hak-hak berkehendak dan berbuat yang melazimkan keesaan-Nya dalam hak-hak peribadahan. Inilah hakikat mentauhidkan Allah, yaitu yang disebut tauhid ibadah, bermakna diunjukkannya seluruh peribadahan hamba hanya kepada-Nya semata. Ketahuilah, mentauhidkan Allah dengan seluruh peribadatan merupakan hal yang paling fondomental dalam ajaran Islam. Keagungan peribadatan ini tersirat dari penyebutannya di dalam Kitabullah (al-Qur’an) dan dalam hadits-hadits Rasulullah saw. Ia merupakan perintah Allah yang pertama dan seruan awal para rasul utusan-Nya kepada manusia, bahkan para rasul itu diutus demi tujuan tauhid ibadah tersebut. Kedua adalah mewujudkan ketaatan atas segala perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya, mengapa Islam memerintahkan manusia untuk taat kepada perintah Allah dan Rasul-Nya, apa faedah yang akan didapati oleh mereka yang taat, apa pula celakanya bila mereka tidak taat? Pertanyaan seperti ini mungkin yang sering menutupi fithrah suci setiap orang yang enggan untuk taat. Ada satu hal yang harus selalu kita ingat, yaitu bahwa Allah telah mengutus para rasul kepada seluruh umat, bahkan tiada suatu umat pun melainkan Allah telah mengutus kepada mereka seorang rasul. Allah juga menyebutkan tujuan diutusnya mereka guna menyampaikan kabar gembira sekaligus peringatan serta ancaman. Allah berfirman: Sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. dan tidak ada suatu umat pun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan. (QS. Fathir : 24) Kabar gembira dan peringatan tersebut disampaikan kepada seluruh umat ini, yaitu kabar gembira bagi umat yang taat dan peringatan serta ancaman bagi mereka-mereka yang enggan. Ketahuilah, ketaatan apapun yang dilakukan oleh manusia pada hakikatnya adalah untuk kebaikan diri mereka sendiri dan bukan untuk membahagiakan Allah dengan ditaati-Nya. Sungguh, ketaatan manusia kepada Allah dan rasul-Nya merupakan kebutuhan asasi disebabkan butuhnya mereka kepada rahmat Allah, penciptanya. Oleh sebab itu, Allah memerintahkan manusia untuk taat kepada-Nya dan taat kepada rasul-Nya, yaitu agar mereka dirahmati oleh Rabb seru sekalian alam. Ini adalah sebagian kabar gembira yang dibawa oleh para rasul. Ketiga adalah: Berlepas diri dari unsur kesyirikan dan pelakunya. Kewajiban awal bagi setiap muslim adalah bertauhid yang murni lagi tulus seiring dengan berlepas diri dan cuci tangan dari kesyirikan. Perhatikanlah apa yang telah Allah perintahkan dan dari apa yang kita dilarang-Nya dalam ayat berikut: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun…  (QS. an-Nisa : 36) Di sini Allah Swt, memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk beribadah Ibadah dalam arti bahasa adalah mengikuti, tunduk, atau taat. Para ulama mengartikan ibadah sebagai tunduk yang setinggi-tingginya dan doa. Ibadah dalam etimologi didasarkan pada surat Yasin ayat 60. Ulama Tauhid mengartikan ibadah dengan tauhid (العبادة التوحيد ( Ibadah ialah mengesakan Allah Swt, Menurut Ikrimah, segala lafazh ibadah dalam Al-Quran diartikan dengan tauhid. Ulama akhlak mengartikan ibadah sebagai mengerjakan segala taat badaniah dan menyelenggarakan segala syariat yang berkaitan dengan budi pekerti mengenai diri sendiri, keluarga, dan masyarakat Ulama Fiqih mengartikan segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala di akhirat. (Baca: Juhaya S. Praja, Tiori Hukum dan Aplikasinya, h. 227-228) kepada-Nya dan melarang mereka mempersekutukan-Nya. Hal ini mengandung penetapan hak peribadahan hanya bagi-Nya semata. Sehingga siapa yang tidak beribadah kepada-Nya maka ia kafir lagi congkak, dan siapa yang beribadah kepada Allah disertai peribadatan kepada selain-Nya maka ia kafir lagi musyrik, sedangkan siapa saja yang hanya beribadah kepada-Nya semata ialah muslim yang  mukhlish. Ketahuilah, berlepas diri dari kesyirikan itu mengharuskan berlepas diri dari para pelakunya. Tatkala seseorang berusaha menyucikan diri dari kesyirikan maka usahanya itu mengharuskannya membersihkan diri dari hubungan baik dengan para pelaku kesyirikan di atas kesyirikan mereka. Quraish Syihab mengatakan dalam bukunya Menabur Pesan Ilahi: ”Sebelum Nabi Muhammad saw. Mengajarkan bagaimana hukum-hukum keagamaan, beliau terlebih dahulu memperkenalkan Tuhan dengan sifat-sifat-Nya yang indah. Dia adalah Tuhan Pemelihara, Dia adalah Pencipta alam semesta, dan Dia adalah Maha Pemurah. Itulah yang pertama kali diperkenalkan dalam wahyu pertama. Akhirnya, semoga Allah menuntun kita semua meniti jalan-Nya yang lurus dalam agama yang hanif sesuai dengan kehendak-Nya. Berikut, Bagaimana memahami ajaran Islam yang benar? Abuddin Nata mengatakan ”Sebagai sumber ajaran Islam yang utama al-Quran diyakini berasal dari Allah dan mutlak benar” Keberadaan al-Quran sangat dibutuhkan manusia. Dikalangan Mu’tazilah dijumpai pendapat bahwa Tuhan wajib menurunkan al-Quran bagi manusia, karena manusia dengan segala daya yang dimilikinya tidak dapat memecahkan berbagai masaalah yang dihadapinya. ”Bagi Mu’tazilah al-Quran berfungsi sebagai konfirmasi” Abuddin Nata, Metodologi... h. 71 . Banyak diantara umat Islam tidak mau mempelajari ajaran Islam berdasarkan Al-Qur’an, kenapa demikian? Untuk melanjutkan pembahsan sebelumnya tentang bagaimana memahami ajaran yang benar, terlebih dahulu intropeksi dan mengoreksi diri masing-masing apakah ibadah yang dikerjakan sudah menyeluruh sesuai yang diperintah Allah dalam Al-Qur’an? Dan apakah ibadah yang kita lakukan sudah benar dan tidak bertentangan dengan Kitab Allah (Al-Qur;an)?. Kalau kita tidak membaca isinya dan mempelajarinya bagaimana tahu bahwa yang dikerjakan benar atau salah? Sebab kenyataan yang terjadi di lingkungan umat Islam mereka pada umumnya hanya percaya dengan hadis-hadis serta pendapat para ulama, padahal pendapat yang disampaikan para ulama belum tentu semuanya benar, karena ulama yang menyampaikannya ayat-ayat berdasarkan hadis-hadis adalah manusia biasa yang tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan. Oleh karena itu, ”apabila orang Islam berselisih dalam segala urusannya hendaknya ia berhakim kepada Alquran” Abuddin Nata, Metodologi... h. 72. Ini menunjukkan sebagai orang Islam harus selalu berpegang-teguh kepada petunjuk Tuhan itu. Sebagai orang Islam, untuk mengantisipasi kesalahan-kesalahan yang disampaikan para ulama tersebut, kita harus memperdalam pengetahuan dengan ilmu yang diperoleh dengan membaca ayat-ayat dalam Al-Qur’an berdasarkan tafsirnya bila tidak bisa menterjemahkan langsung dari bahasa Al-Qur;an itu. Sebab Kitab Al-Qur’an mutlak benar dan tidak ada keraguan didalamnya bila anda membacanya, karena Allah telah menjamin keaslian dan keotentikan isi Al-Qur’an itu tidak ada manusia termasuk jin yang bisa mempengaruhi hati dan pikiran anda sehingga dibelokkan penafsirannya terhadap hal-hal yang menyimpang. Dan Allah mengatakan dalam Firman-Nya : ”Dia menurunkan Al-Qur’an kepadamu (Muhammad), yang mengandung kebenaran, membenarkan kitab-kitab sebelumnya, dan menurunkan Taurat dan Injil (Q.S.3:3) “Wahai Manusia telah sampai kepadamu pelajaran Al-Qur’an dari Tuhanmu, penyembuh bagi penyakit yang ada dalam dada, dan petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.(Q.S.Yunus:57). Sehingga ketika kita membacanya maka akan diperoleh hikmah yang sangat banyak. Berbeda bila kita membaca buku novel, sekali dibaca setelah tahu isi ceritanya, membaca tahap berikutnya tetap isinya tidak akan berubah. Sedangkan membaca AL-Qur’an pertama kali dibaca akan berbeda hikmah yang diperoleh ketika membaca berikutnya dan seterusnya. Sehingga Allah berfirman :”Dan seandainya pohon-pohon rantingnya dibuat pena dan lautan menjadi tinta dan ditambah tujuh lautan lagi setelah kering,niscaya tidak akan habis-habisnya ditulis kalimat-kalimat Allah...(Q.S. Luqman: 27). Kemudian Allah berfirman :”Dan sungguh ,telah Kami buatkan dalam Al-Qur’an ini segala macam perumpamaan bagi manusia, agar mereka dapat pelajaran.(Q.S. Al-Zumar:27).  Lantas kenapa umat Islam enggan untuk membaca tafsirnya agar bisa mendapat pelajaran? Dan kebanyakan hanya membaca saja tanpa memahami isi yang dibaca tersebut, akibatnya Al-Qur’an itu hanya sebagai pelengkap dan disimpan saja dan yang digunakan hanya hadis-hadis dan pendapat para ulama saja. Sehingga akibat itulah banyak para anak muda muslim yang sedang memperdalam keislamannya akhirnya terjebak pada aliran-aliran dan faham-faham yang menyesatkan dan telah menyimpang jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya berdasarkan Al-Qur’an. Sebabnya adalah karena yang digunakan sebagai dasar ilmu menggunakan hadis-hadis dan pendapat para ulama saja tanpa menggunakan Al-Qur’an sama sekali. Al-Qur’an hanya bisa dibaca tulisan bahasa Arabnya saja tanpa memahami isinya, karena banyak para ulama bahkan menganggap tabu bisa membaca tafsirnya, cukup hanya dibaca sudah dapat pahala. Itulah sebabnya ada yang nekat melakukan bom bunuh diri untuk mendapatkan mati syahid dan menganggap perbuatan itu sama dengan Jihad dan masuk Surga. Padahal sebaliknya justru mereka yang melakukannya bukan masuk surga melainkan terjerumus kedalam “Neraka”. Seharusnya yang benar adalah yang dipelajari dan dimengerti petunjuk adalah dasarnya Al-Qur’an, sedangkan hadis-hadis adalah sebagai pelengkap untuk menambah pengetahuan dari apa yang diperoleh dalam Al-Qur’an. Padahal sebenarnya memahami Islam ”harus dipelajarai dari sumbernya yang asli, yaitu Al-Quran dan Al-Sunnah Rasulullah. Kekeliruan memahami Islam, karena orang hanya mengenalnya dari sebagian ulama dan pemeluknya yang telah jauh dari bimbingan Al-Quran dan Al-Sunnah, atau melalui pengenalan dari sumber kitab-kitab fiqih dan tasawuf yang semangatnya sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman” Abuddin Nata, Metodologi... h. 155 Selanjutnya bagaimana mengajarkan kepada manusia tentang Islam itu, ini tentu harus memahami terlebih dahulu metode-metodenya. Dalam kajian keislaman metode berarti juga “Thariqah”, yang berarti langkah-langkah strategis yang dipersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan. Dengan demikian metode mengajar dapat diartikan sebagai cara yang digunakan oleh guru dalam membelajarkan peserta didik saat berlangsungnya proses pembelajaran.Metode mengandung arti adanya urutan kerja yang terencana, sistematis dan merupakan hasil eksperimen ilmiah guna mencapai tujuan yang telah direncanakan. Metode pendidikan adalah suatu ilmu pengetahuan tentang metode yang digunakan dalam pekerjaan mendidik. Asal kata “Metode” mengandung pengertian “Suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu tujuan” “metode dalam bahasa Arab, dikenal dengan istilah thariqah yang berarti langkah-langkah strategis dipersiapkan untuk melakukan suatu perkerjaan” Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam, (Kalam Mulia, Cet. Kelima, 2008), h. 2 . Sedangkan metodologi pendidikan adalah “suatu ilmu yang membicarakan tentang jalan atau cara yang harus dilalui untuk mencapai tujuan pendidikan atau menguasi kompetensi tertentu yang dirumuskan dalam silabus mata pelajaran” Ramayulis, Metodologi... h. 4 . Dengan demikian metodologi kajian keislaman, adalah suatu cara bagaimana mengkaji dan menyelidiki tetang agama Islam dan para penganutnya, baik semenjak masa Nabi Muhammad Saw, khulafaur Rasyidun, masa klasik, masa pertengahan, bahakan samapai masa kita sekarang ini. Sehingga Agama Islam, bukanlah sebuah agama yang identik dengan keterbelakangan, kebodohan, bahkan sebuah ancaman yang dianggap berbahaya, dianggap teroris oleh penganut agama-agama lain, terutama Amerika dan sekutu-sekutnya. Fenomena atau gejala-gejala seperti tersebut diatas pernah dikemukakan oleh Karen Armstrong, menyatakan “Kami di barat mempunyai sejarah yang panjang dalam bentuk kebencian dan permusuhan terhadap Islam. Akan tetapi, kebencian terus tampak menonjol dan bertambah kuat di seputar Atlantik. Tidak ada satupun yang mampu menghalangi manusia untuk menyerang agama Islam walaupun mereka tidak mengetahui secuilpun tentangnya” Irena Handono, Menyingkap Fitnah Teror, (Gerbang Publising, Cet. Ke-I, 2008), h. 8 Dalam hal ini al-Quran sendiri mengajarkan bagaimana metode pengajaran yang baik sehingga orang akan senang dan mau menerima ajaran-ajarannya, dan orang-orang non muslim tidak lagi membenci penganutnya. Allah swt. Telah memberikan kepada nabi Muhammad saw. thariqah membimbing umat sebagaimana firman-Nya, yang artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Q.S.16:125) Dalam tafsir Al-Maraghi dijelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW dianjurkan untuk meniru Nabi Ibrahim yang memiliki sifat-sifat mulia, yang telah mencapai puncak derajat ketinggian martabat dalam menyampaikan risalanya. Allah berfirman: Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.( Q.S.16:123) Adapun cara yang disebutkan adalah dengan hikmah yaitu dengan Al-Qur’an. Makna umum dari ayat ini bahwa Nabi diperintahkan untuk mengajak umat-nya dengan cara-cara yang telah menjadi tuntunan Al-Qur’an yaitu dengan cara al-Hikmah, Mau’izhah Hasanah, dan Mujadalah. Dengan cara ini Nabi sebagai Rasul telah berhasil mendidik umatnya dengan penuh kesadaran. Peristiwa ini pernah dialami Nabi sendiri manakala meraka kaum quraisy melakukan penyiksaan terhadap beliau “mereka menjadi berfikir dan menelaah kebenaran ajaran yang dibawa oleh Muhammad saw. Sebab jika bukan karena keyakinan para pengemban dakwah akan kebenaran risalah yang mereka anut, pasti mereka tidak akan bersikap tegar seperti ini ketika menghadapi berbagai serangan dan konfrontasi” Irena Handono, Menyingkap... h. 80 Azyumardi Azra mengatakan dalam bukunya Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru “Nabi Muhammad saw. Baik ketika berada di Makkah, maupun setelah hijrah ke Madinah, secara sempurna menunjukkan keteladanan sebagai pendidik utama. Di Makkah, misi utama beliau adalah membangun masyarakat yang bertauhid; meletakkan dasar-dasar fundamental bagi pembentukan nucleus masyarakat historis yang viable untuk menjawab tantangan zaman” Azyumardi Azra, PENDIDIKAN ISLAM Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. Pertama (PT. Logos Wacana Ilmu, 1999) h. 56 . Ini menunjukkan tata cara mengajak umat untuk mau menerima dan mengamalkan Islam secara pelan-pelan tapi pasti. Sementara, di Madinah Nabi sebagai pendidik utama dalam pembangunan masyarakat sosial politik-masyarakat politik-keagamaan Islam Madinah. Ada empat macam Islam memberikan pola pembinaan keluarga. Keluarga merupakan basis dari ummah (bangsa); dan karena itu keadaan keluarga sangat menentukan keadaan ummah itu sendiri. Sebagaimana Azyumardi Azra mengatakan dalam bukunya “Paradigma Baru Pendidikan Nasional” “Pertama: keluarga yang memiliki semangat dan kecintaan untuk mempelajari dan menghayati ajaran-ajaran agama. Kedua; keluarga dimana setiap anggotanya saling menghormati dan menyayangi. Ketiga; keluarga dari segi nafkah tidak berlebih-lebihan,. Keempat; keluarga yang sadar akan kelemahan dan kekurangannya; dan karena itu selalu berusaha meningkatkan ilmu dan pengetahuan setiap anggota keluarganya melalui proses belajar dan pendidikan seumur hidup. Dengan demikian, apabila masyarakat telah melaksanakan proses pendidikan seperti itu, akan dapat dikatakan tidak keliru dan salah dalam menerapkan pola serta sistem pembinaan pendidikan ditengah-tengah kemajemukan masyarakat pada umumnya, sehingga implementasi pola pembinaan sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Nabi sendiri akan dapat menelorkan hasilnya yang baik pula, yang pada gilirannya dapat pula memahami inti daripada ajaran Islam itu sendiri. Ketika Islam sebelum tahun 1970an ada trend dipersepsi sebagai “kebodohan” dan “keterbelakangan,” maka kini ada pula trend Islam dilihat sebagai ancaman.” Dimananya yang salah? Apa penyebab, dan bagaimana cara menghilangkannya? Trend kebodohan dan keterbelakangan bahkan sebagai ancaman terhadap Islam itu adalah sebuah opini yang keliru bahkan salah. karena kedatangan nabi Muhammad saw kemuka bumi ini adalah sebagai rahmatan lil’alamin, sebagaimana firman Allah yang artinya: Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.(Q.S.21:107) Bahkan Rasulullah saw bersabda yang maksudnya: Agama Islam itu tinggi, dan tidak ada agama yang lebih tinggi dari agama Islam. Hadist ini dikuatkan oleh firman Allah swt dalam surat Ali Imran yang artinya : Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam. tiada berselisih orang-orang yang Telah diberi Al Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, Karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah Maka Sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.(Q.S.3:19) Ayat tersebut memberikan pemahaman bahwa agama Islam satu-satunya agama yang sangat dan paling dicintai disisi Allah swt, dalam arti semua agama yang lain tidak akan diterima-Nya. Oleh karena itu janganlah memandang agama Islam secara trtadisonal belaka, namun yang lebih penting melihat agama Islam secara rasional, sehingga pemahaman tentang Islam tidak lagi keliru dan menganggap sebagai agama yang identik dengan kebodohan, keterbelakangan bahkan sebuah ancaman, sekali lagi ini adalah sebuah kesalahan. Padahal posisi agama Islam terhadap agama yang lain ada dua , yaitu “akomodatif dan persuasif” Abuddin Nata, Metodologi... h. 125. Artinya agama Islam mengakomodir nilai-nilai spiritual yang terdapat pada agama masa lalu dengan memberikan asumsi, gairah dan semngat baru, seperti adat dan kebiasaan mereka melakukan pemujuaan dengan menyembelih hewan untuk dipersembahkan kepada dewa-dewa dan arwah nenek moyang mereka yang dianggap sebagai wujud mencari keberkahan. Oleh karena itu memahami Islam tidaklah secara parsial saja, namun harus secara konprehensif Apabila Islam dipelajari sebagian saja dari ajarannya, apalagi yang bukan pokok ajaran, dan dalam bidang-bidang masaalah khilafiah, maka tentulah pengetahuannya tentang Islam seperti yang dipelajarinya, yaitu sebagian kecil dari masalah dalam Islam dan yang bukan pokok. Lebih dari itu seseorang mungkin skeptis atau ragu terhadap Islam dengan adanya hal-hal yang tampaknya mengandung antagonisme, pertentangan. Pemahaman Islam secara parsial akan membawa akibat seperti hikayat pengenalan dari empat orang buta terhadap gajah. Bagi mereka yang kebetulan memegang ekornya berpendapat bahwa gajah itu panjang seperti cambuk. Bagi mereka yang memegang kakinya berkata bahwa gajah itu ibarat pohon kelapa, dan yang kebetulan memegang telinganya mengatakan bahwa gajah itu lembek dan lebar, tetapi yang kebetulan memegang perutnya memahami gajah itu laksana tergantung yang besar. ( Metodologi Studi Islam, h. 145)., sehingga agama Islam dan penganutnya itu tidak menjadi sebuah trend yang identik dengan kebodohan, bahkan sebuah ancaman ditengah era globalisasi sekarang ini. Memaknai Islam tidak terlepas dengan pendidiknnya, artinya agama Islam mengajarkan penganutnya agar selalu berpegang teguh kepada sumber yang asli untuk melahirkan kepribadian pemeluknya yang menyeluruh. Azra mengutip sebuah hasil konperensi Internasional pertama tentang pendidikan Islam di Makkak tahun 1977 “Pendidikan bertujuan mencapai pertumbuhan kepribadian manusia yang menyeluruh secara seimbang melalui latihan jiwa, intelek, diri manusia yang rasional, perasaan dan indera. Karena itu pendidikan harus mencakup pertumbuhan manusia dalam segala aspeknya: spiritual, intelektual, imajinatif, fisik, ilmiah, bahasa baik secara individual maupun secara kolektif, dan mendorong semua aspek ini kearah kebaikan dan mencapai kesempurnaan” Azyumardi Azra, PENDIDIKAN... h. 57 Ini membuktikan, bahwa agama Islam sangat mengharap umatnya pandai, cerdik, trampil, baik spiritual maupun intelektualnya, sehingga dituntut pemeluknya supaya mempelajari berbagai macam ilmu dan pengetahuan agar bisa bangkit dari keterpurukan, kehancuran, keterbelakangan, kebodohan, dan bahkan dianggap sebagai sebuah ancaman bagi penganut agama-agama yang lain. Sejalan dengan itu umat Islam harus memiliki “semangat saling menghormati yang tulus dan saling menghargai yang sejati adalah pangkal bagi adanya pergaulan kemanusiaan dalam sistem sosial dan politik yang demokratis” Nurcholish Madjid, Islam... h. 34 . “Sebuah jajak pendapat Washinton Post/ABC News pada 2006 mendapati bahwa hampir separuh orang Amerika (46%) berpandangan negatif terhadap Islam – proporsi warga Amerika yang percaya bahwa Islam membantu memperbesar kekerasan terhadap non-Muslim meningkat lebih dari dua kalinya sejak serangan 11 September, dari 14 % pada januari 2002 menjadi 33 % - Pew Research Center menemukan bahwa sekitar sepertiga orang Amerika mengatakan Islam lebih berpotensi dibandingkan agama lain untuk mendorong kekerasan diantara penganutnya” Jonh L. Esposito dan Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Terjemahan Eva Y. Nukman, (PT. Mizan Pustaka, Cet, Ke-II, 2008), h. 72Kemudian penulis berasumsi sebagaimna isyarat Azra “ketiadaan kultur demokratis merupakan faktor selanjutnya yang menghambat demokrasi di negara muslim. Masih kuatnya tradisionalisme politik Islam yang ditampilkan sebagian kiyai (ulama) dan kemudian dipraktikkan sebagian kalangan masyarakat di Indonesia, misalnya, menjadi salah satu penghambat munculnya kultur demokratis di Indonesia – yang diikuti dengan lemah atau tidak berfungsinya civil society” Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (PT. Kompas Media Nusantara, Cet. Ke. 2, 2006), h. 163 Dengan demikian, Islam tidak lagi identik dengan kebodohan, keterbelakangan dan sebuah ancaman bagi pemeluknya. Disamping itu, kata Mukti Ali, “memahami Islam sebagaimana yang dikemukakan Ali Syari’ati yang menekankan pentingnya melihat Islam secara menyeluruh. Dalam hubungan ini Mukti Ali mengatakan, apabila kita melihat Islam hanya dari satu segi saja, maka kita hanya akan melihat satu demensi dari fenomena-fenomena yang multifaset, sekalipun kita melihatnya itu betul. Islam harus dipahami secara bulat, yaitu pemahaman Islam yang dilakukan secara komprehensif” Abuddin Nata, Metodologi... h. 158 . Jikalau seseorang melihat Islam hanya satu demensi, disitulah akan terjadi benturan dengan pemahaman yang sebenarnya yang dikehendaki oleh Islam sendiri, padahal makna Islam adalah kedamaian, dalam arti yang luas, menciptakan kehidupan yang saling menghargai dan saling menghormati dalam hal-hal yang bersifat pemahaman tujuan, sudut pandang yang berbeda, pada intinya untuk mencari kebahagian baik duniawi maupun ukhrawi. Bagaimana dapat dapat dijelaskan aspek keterkaitan antara Islam dengan agama-agama lain, dalam hunbungan global seperti sekarang ini, berbasis ajaran Islam itu sendiri. Berbicara tentang keterkaitan antara Islam dengan agama-agama lain, dalam hunbungan global seperti sekarang ini, berbasis ajaran Islam itu sendiri.Ini tidak terlepas dengan pluralisme agama dimaknai secara berbeda-beda di kalangan para tokoh dan cendekiawan muslim termasuk di Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis. Oleh karena itu, M. Arkoun menawarkan suatu konsep yang baru untuk hubungan antar umat beragama yang bersifat keluar dan tidak hanya asyik dengan diri sendiri saja, pandangan melihat kedepan dengan cara bersama-sama menghadapi masa depan kemanusiaan yang dinamis dan merujuk kepada kerja. Ia menyebut pendekatan ini tarikiyah ilmiya yaitu pendekatan bersifat eposteriori, empirik, open ended, dialogis, dan toleran tanpa meninggalkan normativitas ajaran agama yang dipeluknya sendiri Amin Abdullah, Falsafah Kalam,(Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), h. 256 Secara sosiologis Ilmu ini dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila menggunakan jasa bantuan dari ilmu sosiologi. Dalam agama Islam dapat dijumpai peristiwa Nabi Yusuf yang dahulu budak lalu akhirnya bisa jadi penguasa di Mesir. Mengapa dalam melaksanakan tugasnya Nabi Musa harus dibantu oleh Nabi Harun, dan masih banyak lagi contoh yang lain. Beberapa peristiwa tersebut baru dapat dijawab dan sekaligus dapat ditemukan hikmahnya dengan bantuan ilmu sosial. Tanpa ilmu sosial peristiwa-peristiwa tersebut sulit dijelaskan dan sulit pula dipahami maksudnya. Di sinilah letaknya sosiologi sebagai salah satu alat dalam memahami ajaran agama. (Metodologi Studi Islam, h.39), pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam dan plural dalam hal beragama. Ini adalah kenyataan sosial, sesuatu yang niscaya dan tidak dapat dipungkiri lagi. Dalam kenyataan sosial, kita telah memeluk agama yang berbeda-beda. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain. Sebelum agama Islam muncul dipermukaan bumi ini, telah banyak agama-agama yang dianut oleh umat manusia. Para ulama membagi al-Din itu secara umum kepada dua .Yaitu pertama, agama samawi yang diturunkan Tuhan melalui firman-Nya hal itu sebagaimana terdapat dalam al-Quran, agama kelompok pertama ini adalah Yahudi, Nsarani dan Islam. Sedangkan yang kedua adalah agama hasil renungan para tokoh dengan dibuat kitab-kitabnya. Agama semacam ini disebut dengan agama ardhi karena muncul dari renungan manusia di bumi. Disamping ciri khas agama Islam yang paling menonjol adalah mempercayai sekalian agama besar di dunia yang datang sebelumnya diturunkan dan diwahyukan oleh Allah, dan itu merupakan bagian dari rukun iman, umpamanya, Surat Al-Baqarah, ayat 4, 136, dan 285 yang artinya: Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al Quran) yang Telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang Telah diturunkan sebelummu. Katakanlah (hai orang-orang mukmin): "Kami beriman kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma'il, Ishaq, Ya'qub dan anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan kami Hanya tunduk patuh kepada-Nya". Rasul Telah beriman kepada Al Quran yang diturunkan kepadanya dari Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. semuanya beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya dan rasul-rasul-Nya. (mereka mengatakan): "Kami tidak membeda-bedakan antara seseorangpun (dengan yang lain) dari rasul-rasul-Nya. Ayat-ayat tersebut memberikan pemahaman yang cukup jelas, bahwa “posisi Islam di antara agama-agama lainnya dari sudut keyakinan adalah agama yang meyakini dan mempercayai agama-agama yang dibawa oleh para rasul sebelumnya. Dengan demikian orang Islam bukan saja beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Melainkan beriman pula kepada semua Nabi” Abuddin Nata, Metodologi... h. 121. Disini, umat beragama sangat penting memahami ajaran agamanya masing-masing, sehingga dalam perjalanan hidup akan selalu dapat saling menghormati, saling menghargai, saling kerja sama, bahkan saling bantu-membantu satu sama lain, baik berbangsa, maupun bernegara, yang pada gilirannya tidak saling mencurigai, bahkan juga untuk saling kenal-mengenal. Inilah wujud dari firman Allah dalam surat Al-Hujurat ayat: 13 yang artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Kesimpulan Pendekatan studi al-Qur‟ân belakangan sudah merambah keberbagai perspektif dan analisis, bukan lagi dengan hanya menggunakan satu perspektif, teologis-normatif, melainkan menggunakan berbagai perspektif modern Tegasnya, Metodologi Studi al-Qur‟ân, atau lebih dikenal dengan Ilmu Tafsir, merupakan salah satu ilmu (Keislaman) yang mengalami perkembangan sangat cepat, bahkan lebih cepat apabila dibandingkan dengan metode keilmuan yang lain, seperti metode studi hadis dan us}ûl al-fiqh (metode istinbât} hukum). Untuk itu, pemberian mata kuliah ilmu- ilmu al-Qur‟ân dengan sistem keilmuan klasik, yakni pemisahan antara Ulûm al-Qur‟ân dan Ilmu Tafsir, yang disajikan secara parsial akan mengakibatkan mahasiswa ketinggalan perkembangan studi al- Qur‟ân. Hal lain yang mendukung urgensi pengembangan studi al-Qur‟ân adalah dikedepankannya al-Qur‟ân sebagai paradigma berpikir (manhâj al-fikr). Tawaran paradigma sebagai paradigma alternatif merupakan salah satu respons terhadap imperialisme epistemologis yang lebih banyak dipengaruhi oleh rasionalisme dan empirisme dalam metode ilmiah (scientific method). Hal yang terakhir disebutkan ini pada perkembangannya mengakibatkan ilmu pengetahuan modern, tegasnya ilmu pengetahuan Barat, memperoleh kritik tajam dari banyak ahli yang menganggap ilmu pengetahuan Barat sebagai faktor utama dari runtuhnya nilai-nilai kemanusiaan karena memisahkan manusia dengan alam dan mematahkan nilai dari ranting-ranting pengetahuan. Menjawab itu semua, studi al-Qur‟ân tidak bisa disajikan dengan hanya menggunakan satu paradigma, tetapi mesti multi partadigma, sesuai dengan makna al-Qur‟ân yang multi-sisi dan multi-dimensi. Dengan demikian, keilmuan studi al-Qur‟ân yang sementara ini dilakukan dalam sistem keilmuan yang parsial, mesti dirubah dengan penggunaan paradigma dan pendekatan holistik, yakni pendekatan yang menjadikan keilmuan studi al-Qur‟ân dalam satu kesatuan yang terpadu, untuk menghindari dampak yang paling negatif dari akibat studi al-Qur‟ân yang parsial. DAFTAR PUSTAKA Abdullahi Ahmed An-Na’im, Islam dan Negara Sekuler Abuddin Nata, Metologi Studin Islam, Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2010 Imam Abi Husain bin Hajjaj Qusairi An Naisaburi, Sahih Muslim, Juz. IV, ( Bairut. Dar Al-Fkr, tt,) M. Quraish Shihab, Menabur Pesan Ilahi, (Lentera Hati, Cet. Ke-II, 2006) Nurcholish Madjid, dkk, Fiqih Lintas Agama, (Yayasan Wakaf PARAMADINA, 2004) Nurcholish Madjid, Islam Kemordenan dan Keindonesiaan, (PT. Mizan Pustaka, Cet - I 2008) Harun Nasution, Islam Rasional, (Penerbit, Mizan, Cet. Ke. V, 1998) Nurcholish Madjid, Jejak Pemikiran dari Pembaharu sampai Guru Bangsa, Cet. II ( Pustaka Pelajar, 2003 ) Harun Nasution, Teologi Islam, (Universitas Indonesia, UI-Press, 2011) Bustanuddin Agus, Agama dalam kehidupan Manusia, (PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007) Juhaya S. Praja, Tiori Hukum dan Aplikasinya, h. 227-228) Ramayulis, Metodologi Pendidikan Islam, (Kalam Mulia, Cet. Kelima, 2008) Irena Handono, Menyingkap Fitnah Teror, (Gerbang Publising, Cet. Ke-I, 2008) Azyumardi Azra, PENDIDIKAN ISLAM Tradisi dan Modernisasi Menuju Milenium Baru, Cet. Pertama (PT. Logos Wacana Ilmu, 1999) Jonh L. Esposito dan Dalia Mogahed, Saatnya Muslim Bicara, Terjemahan Eva Y. Nukman, (PT. Mizan Pustaka, Cet, Ke-II, 2008) Azyumardi Azra, Paradigma Baru Pendidikan Nasional, (PT. Kompas Media Nusantara, Cet. Ke. 2, 2006) 27 1