Academia.eduAcademia.edu

Atuaran-Aturan Khusus Hukum Acara Mahkamah Konstitusi

Memenuhi Tugas Hukum Acara Mahkamah Konstitsui

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Hukum acara merupakan salah satu jenis norma hukum dalam kesatuan system norma hukum. Hukum acara menentukan jalannya proses penegakan hukum dan pelaksanaan wewenang hukum dari suatu lembaga. Hukum acara Mahkamah Konstitusi meliputi materi-materi terkait dengan kewenangan Mahkamah Konstitusi, kedudukan hukum pemohon, pembuktian, hingga pengambilan keputusan. Hukum acara yang bersifat khusus untuk masing-masing jenis kewenangan diatur secara sendiri. Dapat dipahami karena beberapa sifat perselisihan berbeda antara satu dengan yang lain dan juga membutuhkan pengaturan berbeda pula disamping aturan yang umum menjadi wewenang Mahmakah Konstitusi. Ketentuan-ketentuan hukum acara yang bersifat khusus berlaku untuk masing jenis perselisihan yang menjadi kewenangan yang diatur dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi. Beberapa kewenangan Mahkamah Konstitusi secara khusus akan lebih dijelaskan dalam pembahasan makalah ini. Rumusan Masalah Jelaskan Aturan-aturan Khusus hukum acara Mahkamah Konstitusi ! Tujuan Mengetahui tentang pengertian dan unsur-unsur Beracara Khusus di Mahkamah Konstitusi BAB II PEMBAHASAN KEKHUSUSAN HUKUM ACARA MAHKAMAH KONSTITUSI Sesuai dengan perkara yang termasuk dalam wewenang peradilan MK, terdapat karakteristik utama yaitu dasar hukum yang digunakan dalam proses peradilan baik terlibat dengan perkara maupun hukum acara adalah konstitusi sendiri, yaitu UUD 1945. Wewenang Mahkamah Konstitusi memutus pengujian undang-undang, adalah menguji konstitusionalitas suatu undang-undang. Wewenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara pada hakikatnya adalah memutus kewenangan suatu lembaga negara yang dipersengketakan konstitusionalitasnya. Wewenang memutus pembubaran partai politik adalah wewenang memutus konstitusionalitas suatu partai politik. Demikian pula halnya dengan wewenang memutus pendapat DPR dalam proses pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden. PENGUJIAN UNDANG-UNDANG TERHADAP UNDANG-UNDANG DASAR 1945 Hukum acara khusus yang mengatur prosedur dan hal-hal lain terkait dengan pengujian undang-undang di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi meliputi hal-hal sebagai berikut : undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian; pihak yang dapat bertindak dalam permohonan pengujian undang-undang; bentuk pengujian undang-undang; kewajiban MK menyampaikan salinan permohonan kepada institusi/lembaga negara tertentu (terutama lembaga negara pembentuk undang-undang); hak MK meminta keterangan terhadap lembaga negara terkait dengan permohonan; materi putusan, akibat putusan pengujian undang-undang dan kewajiban MK setelah putusan. Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas tidak dapat menampung permasalahan - permasalahan yang timbul. Karena itu berdasar mandat Pasal 86 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan mengatur, telah membentuk Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) untuk melengkapi hukum acara yang telah ada, yakni dengan PMK Nomor 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Undang-undang yang Dapat Dimohonkan Pengujian Di dalam UUD 1945 tidak terdapat batasan mengenai undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian. Namun di dalam Undang-undang Mahkamah Konstitusi undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian itu dibatasi hanya undang-undang yang diundangkan setelah terjadinya perubahan UUD 1945. Terhadap ketentuan ini MK dengan putusannya Nomor 004/PUU-I/2004, berpendapat tidak sesuai konstitusi, karena itu MK mengesampingkan. Sejak putusan yang terakhir ini, maka secara efektif tidak terdapat lagi batasan undang-undang yang dapat dimohonkan pengujian di Mahkamah Konstitusi. Pihak yang Dapat Bertindak sebagai Pemohon dalam Permohonan Pengujian Undang-Undang Ketentuan Pasal 51 Undang-undang Mahkamah Konstitusi ditegaskan bahwa dalam pengujian undang-undang yang dapat bertindak sebagai pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang. Kerugian konstitusional itu merupakan syarat untuk dapat bertindak sebagai pemohon dalam pengujian undang-undang (legal standing). Di dalam praktik Mahkamah Konstitusi menetapkan rincian ketentuan dimaksud dengan syarat-syarat sebagai berikut: adanya hak konstitusional pemohon yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar 1945; bahwa hak konstitusional pemohon tersebut dianggap oleh pemohon telah dirugikan oleh suatu undang-undang yang diuji; bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang menurut penalaran yang wajar dapat dipastikan akan terjadi; adanya hubungan sebab akibat (casual verband) antara kerugian dan berlakunya undang-undang yang dimohonkan untuk diuji; adanya kemungkinan bahwa dengan dikabulkannya permohonan, maka kerugian konstitusional yang didalilkan tidak akan atau tidak terjadi lagi; Bentuk Pengujian Undang-Undang Sebagaimana telah dikenal, pengujian undang-undang itu meliputi pengujian formil dan pengujian materiil. Sejalan dengan itu, maka pemohon wajib menguraikan dengan jelas, apakah yang dimaksudkan dalam permohonan itu permohonan pengujian formal atau permohonan pengujian secara materiil undang-undang terhadap UUD 1945. Permohonan pengujian formil dimaksudkan sebagai bentuk pengujian berkenaan dengan pembentukan undang-undang yang dianggap tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945. Mengenai hal ini PMK merinci tentang apa yang dimaksud dengan pembentukan itu, yakni meliputi pembahasan, pengesahan, pengundangan, dan pemberlakuan. Kewajiban MK Menyampaikan Salinan Permohonan kepada Lembaga Negara Tertentu Secara administratif permohonan itu dianggap diterima MK apabila telah diregistrasi. Mahkamah Konstitusi yang telah meregistrasi permohonan berkewajiban menyampaikan salinannya kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang (legislator) untuk diketahui. Di samping itu, berkewajiban pula untuk memberitahukan kepada Mahkamah Agung. Penyampaian salinan permohonan dan pemberitahuan dimaksud harus dilaksanakan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak permohonan itu dicatat dalam BRPK. Khusus pemberitahuan kepada Mahkamah Agung disertai pemberitahuan tentang kewajiban Mahkamah Agung untuk menghentikan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang yang sedang dilakukan apabila undang-undang yang menjadi dasar pengujian peraturan tersebut sedang dalam proses pengujian di MK sampai ada putusan MK. Hak MK untuk Meminta Keterangan dan Risalah Rapat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan/atau Presiden Pembentukan undang-undang dilakukan oleh legislator dalam hal ini adalah DPR dan Presiden. Untuk undang-undang tertentu, misalnya yang terkait dengan urusan daerah melibatkan pula DPD, dan juga institusi atau lembaga pemerintahan yang lain. Untuk itu MK berhak meminta keterangan dan/atau risalah rapat yang berkenaan dengan permohonan yang sedang diperiksa kepada MPR, DPR, DPD, dan/atau Presiden serta lembaga terkait lainnya. Di dalam praktik, permintaan keterangan dan/atau risalah rapat tersebut dapat juga dimintakan dari menteri/departemen dan/atau satuan organisasi di bawahnya. Untuk DPR misalnya, Mahkamah Konstitusi meminta kepada komisi yang terkait atau bahkan kepada panitia khusus RUU. Materi Putusan Mahkamah Konstitusi wajib memberikan respon terhadap suatu permohonan sejalan dengan sistematika di dalamnya. Pertama tentang kewenangan MK, kemudian tentang syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) sebagaimana ketentuan pasal 51 UU MK dan kemudian tentang pokok permohonan. Tentang kewenangan MK untuk permohonan pengujian undang-undang, sebagaimana telah diuraikan di atas semula hanya terhadap undang-undang yang diundangkan setelah perubahan UUD 1945 yakni setelah tanggal 19 Oktober 1999. Kemudian dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 004/PUU-I/2003tanggal 30 Desember 2003 pasal 50 tersebut dikesampingkan. Terakhir dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 066/PUU-II/2004 tanggal 12 April 2005, pasal 50 UU MK tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat .Dengan demikian, MK berwenang untuk menguji setiap undang-undang yang diajukan Hal-hal terkait dengan Putusan Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang harus dimuat dalam Berita Negara dalam jangka waktu paling lambat 30 (tigapuluh) hari kerja terhitung sejak putusan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum. Putusan MK berlaku ke depan artinya sebelum ada putusan yang menyatakan bahwa undang-undang tersebut bertentangan dengan UUD 1945, undangundang yang diajukan permohonan pengujian itu tetap berlaku. Putusan MK yang mengabulkan permohonan pengujian undang-undang itu disampaikan kepada DPR, DPD, Presiden dan MA. Bahkan juga diumumkan kepada masyarakat agar diketahui oleh publik. Terhadap materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari undang-undang yang telah dimohonkan pengujian dan ditolak oleh MK, tidak dapat dimohonkan pengujian kembali. Kecuali terhadap permohonan yang tidak diterima berdasarkan alasan terkait dengan syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing).Namun demikian PMK memungkinkan pengujian materiil yang ditolak untuk dimohonkan pengujian kembali dengan syarat konstitusionalitas yang menjadi alasan permohonan yang bersangkutan berbeda. . Soeharno, “Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Penegak Hukum dan Pengadilan”, Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2014, Hlm. 19- SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA Kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD, di samping melakukan pengujian undang-undang terhadap UUD, pada dasarnya merupakan kewenangan konstitusional yang dibentuk dengan tujuan untuk menegakkan ketentuan yang terdapat dalam UUD. Ini disebabkan karena dari dua hal inilah persoalan konstitusionalitas dapat timbul. Fungsi Mahkamah Konstitusi sebagai peradilan konstitusi tercermin dalam dua kewenangan tersebut, yaitu: kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD; dan kewenangan untuk memutus Sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya bersumber dari UUD. . Harjono, Transformasi Demokrasi, Jakarta: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009, Hlm. 140 Dalam sengketa kewenangan tersebut yang dapat bertindak sebagai pemohon adalah lembaga negara yang mempunyai kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 dan terhadap kewenangan itu pemohon mempunyai kepentingan langsung. Dan yang mengajukan permohonan perkara ini harus mempunyai beberapa syarat : Mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan. Ada hubungan kasual kerugian yang dialami kewenanganya langsung dengan kewenangan yang dilaksanakan lembaga lain. Lembaga Negara yang menjadi termohon. Dalam jenis perkara sengketa kewenangan lembaga Negara, jelas harus disebutkan dalam permohonan pemohon lembaga mana yang menjadi termohon yang merugikan kewenanganya yang diperoleh dari UUD 1945. Dalam hal ini sudah diatur dalam pasal 61 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung meskipun sebagai lembaga negara, dalam sengketa kewenangan ini tidak dapat menjadi pihak, baik sebagai pemohon atau termohon . Siahaan Maruarar, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta; Sinar Grafika, 2011, Hlm. 149. Dengan adanya pemohon dan termohon jelaslah bahwa perkara ini bersifat Contentius. Oleh karena itu setelah meregistrasi permohonan, Mahkamah Konstitusi harus menyampaikan salinan permohonan itu kepada termohon. Penyampaian salinan permohonan ini berdasarkan ketentuan harus disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari kerja sejak dicatat. PEMBUBARAN PARTAI POLITIK Masalah permohonan untuk membubarkan partai politik adalah pemerintah. Dan dalam penjelasanya yang lebih pemerintah disini adalah pemerintah pusat. Karena pemerintah dipimpin oleh presiden. Hal ini secara jelas diatur dalam Pasal 68 ayat 1 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pemerintahan yang mengajukan permohonan pembubaran partai haruslah dengan penunjukan Presiden atau melalui surat kuasa. Pemohon pembubaran partai yang ditunjuk presiden bisa melalui Menteri Dalam Negeri, Menteri HAM atau KPU. Dalam permohonan pembubaran partai politik, harus ditunjuk dengan tegas partai politik yang dimohonkan untuk dibubarkan. Permohonan harus ditandatangani oleh Pemohon atau Kuasanya. Permohonan sekurangkurangnya memuat: identitas lengkap pemohon dan kuasanya jika ada, yang dilengkapi surat kuasa khusus untuk itu; uraian yang jelas tentang ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik yang dimohonkan pembubaran yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945; alat-alat bukti yang mendukung permohonan. ._________, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010. Hlm. 203 Pembubaran partai politik bisa dilakukan apabila ideologi, asas, tujuan, program dan kegiatan partai politik bertentangan dengan UUD 1945. . Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, op.,cit , Hlm. 152-153 Sebagaimana diatur dalam Pasal 68 ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Pembubaran partai politik ini termasuk perkara peradilan cepat. Oleh karena itu MK wajib memeriksa dan memutus dalam jangka waktu paling lambat 60 hari kerja sejak permohonan dicatat dalam BRPK. Karena tidak diatur secara khusus, proses pemeriksaan persidangan selanjutnya mengikuti hukum acara Mahkamah Konstitusi yang meliputi pemeriksaan pendahuluan, pemeriksaan persidangan, dan putusan. Sebagaimana terhadap perkara lainnya, putusan terhadap permohonan pembubaran partai politik juga terdiri 3 kemungkinan, yakni tidak diterima, dikabulkan, dan ditolak. . Apabila bukti serta permohonan dipandang beralasan maka permohonan pembubaran dikabulkan. Namun apabila tidak terbukti secara sah menurut hukum, maka permohonan tersebut ditolak. Eksekusi putusanya dilakukan cukup sederhana yaitu membatalkan pendaftaran pada pemerintah. PERSELISIHAN HASIL PEMILU Perselisihan hasil pemilihan umum berdasarkan ketentuan dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusi meliputi, Perselisihan hasil pemilu legislatif dan Presiden dan Wakil Presiden. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum ditegaskan bahwa Pemilukada merupakan rezim pemilu maka penyelesaian sengketa pemilu diberikan langsung kepada Mahkamah Konstitusi. Berdasarkan Pasal 3 peraturan Mahkamah Konstitusi No. 16/PMK/2009 ditentukan bahwa yang dapat menjadi pemohon mengajukan sengketa di Mahkamah Konstitusi adalah ; Perorangan warga Negara Indonesia calon anggota DPD berserta pemilu; Pasangan calon presiden dan wakil presiden peserta pemilu Partai politik peserta pemilu. Partai politik yang mengajukan permohonan dalam perselisihan hasil pemilu DPR/DPRD haruslah pengurus pusat partai yang bersangkutan sebagai badan hukum. Selanjutnya sebagai pihak termohon, adalah KPU nasional karena terdapat Pasal 74 ayat 2 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi yang menjadi materi permohonan adalah penetapan hasil pemilu yang dilakukan KPU secara nasional. Hasil permohonan hasil penenatapan dipengaruhi sebagai berikut; terpilihnya calon anggota Dewan Perwakilan Daerah; penentuan pasangan calon yang masuk pada putaran kedua pemilihan Presiden dan Wakil Presiden serta terpilihnya pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden; perolehan kursi partai politik peserta pemilihan umum di suatu daerah pemilihan. Perselisihan hasil pemilu hanya dapat diajukan dalam jangka waktu paling lambat 3 x 24 jam terhitung sejak KPU mengumumkan penetapan hasil pemilu secara nasional. Materi permohonan tersebut harus diuraikan dengan jelas dan rinci terkait dengan: Kesalahan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan hasil penghitungan yang benar menurut pemohon; dan Permintaan untuk membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar menurut pemohon. Terhadap permohonan yang tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hukum (legal standing) dan syarat-syarat kejelasan materi sebagaimana dimaksud pasal 74 ayat 1 sampai dengan ayat 3 dan Pasal 5 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi. Bilamana alasan yang menjadi dasar permohonan terbukti secara hukum dan meyakinkan, maka MK memutuskan mengabulkan permohonan dengan menyatakan membatalkan hasil penghitungan suara yang diumumkan oleh KPU dan menetapkan hasil penghitungan suara yang benar sebagaimana dimaksudkan oleh Pemohon. Sebaliknya manakala tidak terbukti beralasan, maka MK menyatakan putusan yang menolak permohonan pemohon. Mengenai putusan MK bersifat final dan mengikat serta wajib dilaksanakan oleh KPU. DUGAAN PELANGGARAN UNDANG-UNDANG DASAR OLEH PRESIDEN/WAKIL PRESIDEN Materi objek perselisihan yang bisa dipermohonkan adalah pendapat DPR bahwa presiden atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhiatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, atau pendapat bahwa presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden, maka DPR dapat mengajukan usul pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden kepada MPR. Usul ini dapat diajukan kepada MPR setelah terlebih dahulu DPR mengajukan permohonan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat itu dan tentunya setelah MK menyatukan putusan. Sejalan dengan apa yang telah diuraikan tersebut di atas, berdasarkan Pasal 80 ayat (1) dan (2) UU MK, maka pemohon dalam perkara ini adalah DPR dan materi permohonannya adalah dugaan: Presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; Presiden dan/atau wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden berdasarkan UUD 1945 Pengajuan permohonan dalam perkara ini ke MK harus disertai: Keputusan DPR tentang hal itu; Proses pengambilan keputusannya; Risalah dan/atau Berita Acara rapat DPR; Bukti-bukti Proses pengambilan keputusan dalam pendapat dimaksud berdasarkan UUD 1945 Pasal 7B ayat (3) harus didukung oleh 2/3 (duapertiga) dari jumlah anggota DPR hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 (dua pertiga) dari anggota DPR. Peraturan tata tertib DPR tentu akan mengatur syarat inisiatif usul impeachment ini untuk diproses. Dalam tenggang waktu paling lambat 90 hari sejak diregistrasi, permohonan tersebut harus diputus oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam tenggang waktu tersebut jika presiden dan wakil presiden mengundurkan diri, bahkan walaupun dalam proses pemeriksaan sekalipun, maka proses pemeriksaan tersebut dihentikan dan permohonan dinyatakan gugur. Putusan MK terhadap permohonan tersebut, jika tidak memenuhi syarat-syarat kedudukan hakim dan syarat-syarat kejelasan serta kelengkapan sebagaimana dimaksud pasal 80 Undang-Undang Mahkamah Konstitusi menyatakan tidak diterima. apabila pendapat tersebut tidak terbukti, maka putusan MK menyatakan permohonan ditolak. Sebaliknya apabila terbukti maka putusan MK menyatakan membenarkan pendapat DPR. . Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Penegak Hukum dan Pengadilan,. Op,.cit , Hlm. 27-29 BAB III PENUTUP Kesimpulan Aturan-aturan khusus Mahkamah Konstitusi antara lain memutus pengujian Undang terhadap Undang-Undang dasar 1945, adalah menguji konstitsonalitas suatu uu; memutus sengketa lembaga negaraadalah memutus kewenangan lembaga negara yang dipersengketakan konstitusionalnya; memutus pembubaran parpol adalah memutus konstitusionalitas partai politik; demikian pula halnya dengan memutus pendapat DPR terhadap pemberhentian Presiden dan atau Wakil Presiden, juga dalam memutus perselisihan hasil pemilihan umum. DAFTAR PUSTAKA Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, (Jakarta; Sinar Grafika, 2011) Soeroso, Hukum Acara Khusus “Kompilasi Ketentuan Hukum Acara dalam Undang-Undang”, (Jakarta; Sinar Grafika. 2010) Soeharno, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Penegak Hukum dan Pengadilan, (Manado; Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, Volume 1 Nomor 2 Tahun 2014) Harjono, Transformasi Demokrasi, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, 2009) Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta; Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2010) 12