Academia.eduAcademia.edu

Tugas Hukum Acara Mahkamah Konstitusi.pdf

2019

SEJARAH PERKEMBANGAN PENGUJIAN UNDANG-UNDANG Oleh : Nindiyanti Turuki (1011417294) Kelas B Fakultas Hukum, Universitas Negeri Gorontalo Tugas : Hukum Acara Mahkamah Konstitusi PENDAHULUAN Negara Indonesia adalah negara hukum Istilah negara hukum secara terminologis terjemahan dari kata Rechtsstaat atau Rule of law. Para ahli hukum di daratan Eropa Barat lazim menggunakan istilah Rechtsstaat, sementara tradisi Anglo–Saxon menggunakan istilah Rule of Law. Di Indonesia, istilah Rechtsstaat dan Rule of law biasa diterjemahkan dengan istilah “Negara Hukum1. Dasar yuridis bagi negara Indonesia sebagai negara hukum tertera pada Pasal 1 ayat (3) UUD Negara RI 1945 (amandemen ketiga), “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”2 Konsep negara hukum mengarah pada tujuan terciptanya kehidupan demokratis, dan terlindungi hak asasi manusia, serta kesejahteraan yang berkeadilan. Kata “pengujian” dalam konteks tulisan ini adalah pengujian undang-undang (UU) dalam arti luas yaitu dalam arti formal dan material, sedangkan pengujiannya (lembaganya) tidak hanya lembaga peradilan saja melainkan juga lembaga legislatif dan/atau eksekutif. Khusus untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan pengujian UU melalui lembaga peradilan (judicial review). Dasar ide akan adanya mekanisme Judicial Review adalah bagaimana caranya memaksa pembentuk peraturan perundangan-undangtan agar taat terhadap norma hukum yang tertuang dalam peraturan tingkat atasnya dan agar terbentuk peraturan Perundang-Undangan yang selaras dengan ketentuan dalam konstitusi. Dibentuknya MK adalah dimaksudkan dalam rangka menyempurnakan sistem dan meknaisme serta model kewenangan Judicial Review di Indoensia. Hanya saja dalam praktiknya bahwa model pengaturan yang demikian justru rentan menimbulkan sejumlah persoalan hukum2. 1 Ajar Triharso, Buku Modul Kuliah Kewarganegaraan, Universitas Airlangga, Surabaya, 2013, hlm. 5 Janpatar Simamora, Analisa Yuridis Terhadap Model Kewenangan Judicial review di Indoensia, Mimbar Hukum, Vol. 25 No. 3 Oktober 2013 hlm. 389-390 2 Catatan sejarah lain menyebutkan bahwa ide terkait judicial review berkembang saat Hans Kelsen menggagas berdirinya Mahkamah Konstitusi di Austria pada tahun 1919-1920 M3. Sebagaimana kita ketahui bahwa Hans Kelsen juga menggagas konsep tentang legislator, yaitu ide untuk membatalkan berlakunya suatu peraturan perundangan melalui putusan pengadilan. Gagasan tersebut mirip dengan ide terkait judicial review. Dari kedua peristiwa bersejarah tersebut, akhirnya konsep judicial review masuk ke Indonesia melalui amandemen UUD NRI Tahun 1945. Amandemen terhadap UUD NRI Tahun 1945 memberikan ruang bagi lahirnya kekuasaan kehakiman yang secara lebih spesifik judicial review menjadi wewenang Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. PEMBAHASAN Pengujian UU terhadap UUD (konstitusi) erat kaitanya dengan teori atau ajaran trias politica atau ajaran pemisahan kekuasaan (separation of powers) . sebagaimana kita ketahui ajaran trias politica ini dicetuskan oleh montesquieu (yang diilhami oleh ajaran John Locke), di mana dikatakan bahwa tujuan dan perlunya “pemisahan” kekuasaan, adalah untuk menjamin adanya dan terlaksananya kebebasan politik (political liberty) anggota masyarakat negara. Menurut Bagir Manan dalam bukunya kekuasaan kehakiman Republik Indonesia4. Adanya perubahan yang mendasar terhadap perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945 maka di perlukannya sebuah mekanisme institusional dan konstitusional serta lembaga negara yang mengatasi kemungkinan terjadinya sengketa antar lembaga 1945. Dimana kewenangan untuk menguji UU terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahuun 1945 harus diberikan kepada lembaga tersendiri di luar MA. Atas dasar pemikiran itulah keberadaan MK yang berdiri sendiri di samping MA. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pembentukan MK dapat di pahami dari 2 sisi yakni sisi politik dan sisi hukum. Dalam perkembangannya, ide pembentukan Mahkamah Konstitusi mendapat respon positif dan menjadi salah satu materi perubahan UUD yang diputuskan oleh MPR. Setelah melalui proses pembahasan yang mendalam, cermat, dan demokratis, akhirnya ide Mahkamah 3 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundang-undangan, (Jakarta: BPHN KemenkumHAM RI, 2014), hlm, 6 4 Bagir Manan, Kekuasaan Kehakiman Republik Indonesia, Pusat Penerbitan LPPM Konstitusi menjadi kenyataan dengan disahkannya Pasal 24 ayat (2) dan Pasal 24C UUD 1945 yang menjadi bagian Perubahan Ketiga UUD 1945 pada ST MPR 2001 tanggal 9 November 2001. Kelahiran Mahkamah Konstitusi pada pasca-amandemen UUD 1945 membawa Indonesia ke arah demokrasi yang lebih baik. Hal ini disebabkan oleh adanya suatu lembaga tersendiri yang khusus menjaga martabat UUD 1945 sebagai norma tertinggi di Indonesia sehingga setiap tindakan yang berkaitan dengan konstitusi ditanggapi secara khusus pula di Mahkamah konstitusi. MK yang dibentuk berdasarkan Pasal 24 Ayat (2) dan Pasal 24C Ayat (1), (2), (3), (4), (5) Ayat (6), dan pasal III Aturan Peralihan UUDNRI Tahun 19453 hasil perubahan ketiga telah memberikan jaminan terhadap setiap orang yang merasa hak konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya suatu undang-undang. Namun begitu, perubahan UUDNRI Tahun 1945 juga masih menyisihkan persoalan yaitu masih terdapat dualisme kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan, yaitu MK dan MA yang sama-sama memiliki kewenangnan untuk melakukan judicial review.5 Pemikiran mengenai pengujian UU terhadap UUD atau pengujian aspek konstitutionaalitas UU melalui judicial review di Indonesia dalam sejarah pembentukan UUD pada tahun 1945, Indonesia dalam sejarah pembentukan UUD pada tahun 1945, pernah dilontarkan oleh Mohammad Yamin pada saat pembahasan rancangan UUD di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Mohammmad Yamin melontarkan gagasan mengenai Perlunya suatu lembaga yang melakukan pengujian konstitutionalitas UU sekaligus mengusulkan agar masuk dalam rumusan rancangan UUD yang sedang disusun. Belajar dari pengalaman terkait dengan lahirnya persoalan hukum terkait dengan konsep pengaturan serta kewenangan lembaga yang berwenang melaksanakan Judicial Review yang diserahkan kepada dua lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman serta adanya potensi permasalahan yang dikhawatirkan akan muncul dikemudian hari, maka patut kiranya untuk mengkaji ulang konsep pengaturan kewenangan Judicial Review yang lebih ideal bagi bangsa Indonesia yakni dengan memberikan kewenangan pengujian yang ada di MA di alihkan ke MK. 5 Taufiqurrahman Syahuri, 2014, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian Peraturan Perundangundangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementrian Hukum dan HAM RI, Jakarta, hlm. 38. Menurut Jimly, ada empat alasan yang menyebabkan dualisme pengujian peraturan tersebut menjadi tidak ideal, yaitu sebagai berikut:6 1) Pemberian kewenangan pengujian (judicial review) materi undang-undang terhadap undang-undang dasar kepada MK yang baru dibentuk mengesahkan hanya sebagian tambahan perumusan terhadap materi UUDNRI Tahun1945 secara mudah dan tambal sulam seakan akan konsepsi hak uji yang diberikan kepada MK. Perumusan demikian terkesan seaan kurang didasarkan atas pendalaman konseptual berkenaan dengan konsepsi uji materi itu sendiri secara komprehensif. 2) Pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan yang dianut masih didasarkan atas prinsip pembagian kekuasaan sebagaimana yang dianut oleh UUDNRI Tahun 1945 sebelum mengalami perubahan pertama dan kedua, UUDNRI Tahun 1945 setelah perubahan telah resmi dan tegas menganut prinsip pemisahan kekuasaan horizontal mengutamakan prinsip checks and balances. Oleh karena itu, pemisahan antara materi undang-undang tidak seharusnya dilakukan lagi. 3) Dalam praktik pelaksanaannya nanti, secara hipoteris dapat timbul pertentangan substantif antara putusan MA dengan putusan MK. Dengan demikian masing-masing Mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang berbeda. MA menangani persoalan keadilan dan ketidak adilan bagi warga negara, sedangkan MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan. 4) Jika kewenangan pengujian materi peraturan dibawah UUDNRI Tahun 1945 sepenuhnya diberikan kepada MK, tentu beban MA dapat dikurangi. Dalam rangka mengefektifkan kewenangan Judicial Review, MK bisa saja menerapkan sistem persidangan lewat jalur teleconference, sehingga pihak-pihak yang mengajukan Judicial Review, khususnya terhadap peraturan perundang undangan setingkat peraturan daerah (Perda) yang tersebar diseluruh daerah tidak lain terkendala dengan masalah keberadaan MK yang hanya berekedudukan di Jakarta. Penerapan persidangan lewat teleconference juga bisa diterapkan dalam rangka pemeriksaan berbagai alat bukti, termasuk dalam rangka mendengarkan keterangan saksi. 6 Taufiqurrahman....,Op.Cit.hlm. 39. KESIM PULAN Berdasarkan hasil penelitian tersebut diatas maka kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian ini adalah: pertama, pengaturan tentang Judicial Review sudah tercantum dalam beberapa peraturan perundang-undangan namun tentunya belum sempurna dan masih terdapat beberapa kekurangan baik secara konsep penganturn maupun teknis. Kedua, Pelaksanaan Judicial Review yang dilaksanakan oleh dua lembaga peradilan yakni MA dan MK terdapat beberapa kelemahan dan persoalan sehingga kedepannya bisa di rekonsepsikan pengaturan tentang kewenangan Judiccial Review yang lebih ideal yakni dengan melimpahkan kewenangan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang ke Mahkamah Konstitusi. REFERENSI 1. https://media.neliti.com 2. https://eprints.unram.ac.id>JURNAL.fix 3. https://ejurnal.umm.ac.id 4. https://ejurnal.peraturan.go.id 5. https://Academia.edu/37972076/Analisis_Peraturan_Perundang-Undangan.dox