KUALITATIF
KUALITATIF
KUALITATIF
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan adalah sebuah usaha yang dilakukan secara sadar dan terencana
untuk mewujudkan proses pembelajaran untuk mengembangkan potensi diri serta
keterampilan. Pendidikan juga bisa diartikan sebagai proses pembelajaran bagi
peserta didik untuk mengerti dan bisa membuat manusia berpikir kritis.
Pendidikan sering terjadi di bawah bimbingan orang lain, tetapi juga
memungkinkan secara otodidak. Pendidikan merubah prilaku manusia menuju
pendewasaan atau ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, pendidikan yang baik
adalah pendidikan yang tidak hanya mempersiapkan peserta didik untuk suatu
profesi atau jabatan, tetapi bagaimana pendidikan dapat mempersiapkan peserta
didik untuk dapat menyelesaikan masalah yang akan dihadapinya dalam
kehidupan sehari-hari dan mampu menerapkannya dalam kondisi apapun.
Pendidikan dapat meningkatkan kehidupan manusia itu sendiri. Salah satu
ilmu pengetahuan yang dekat dengan masyarakat dan kehidupan sehari-hari
adalah matematika. Matematika merupakan ilmu yang dapat digunakan dalam
sehari-hari. Menurut Hannell (dalam Syela, 2019:2) bahwa “mathematics is very
important matter throughout human life. Today’s pupils will all need mathematics
when they leave school and get a job. Without an understanding of mathematics,
they will be disadvantaged throughout their lives”. (matematika adalah hal yang
sangat penting sepanjang hidup manusia. Pada saat ini semua murid perlu
matematika ketika mereka meninggalkan sekolah dan mendapatkan pekerjaan.
Tanpa pemahaman tentang matematika, mereka akan dirugikan sepanjang hidup
mereka). Pelajaran matematika adalah dasar dari mata pelajaran lainnya.
Matematika diberikan di sekolah dasar, sekolah menengah pertama, sekolah
menengah atas hingga perguruan.
Matematika merupakan mata pelajaran yang wajib dipelajari di setiap jenis
dan jenjang pendidikan mulai dari tingkat dasar sampai perguruan tinggi di
berbagai disiplin ilmu. Dalam pembelajaran matematika proses komunikasi yang
terjadi antara guru sebagai pendidik dan siswa sebagai peserta didik harus
berlangsung harmonis. Sehingga proses pembelajaran berjalan sesuai yang
diharapkan. Hal ini tercantum dalam kurikulum matematika sekolah bahwa tujuan
diberikannya matematika antara lain agar peserta didik mampu menghadapi
perubahan keadaan dunia yang selalu berkembang, melalui latihan bertindak atas
dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif (Suherman
dalam Arnasih dan Hartaya, 2015:54).
Matematika yang pada dasarnya tidak hanya menekankan kepada kemahiran
hitung menghitung peserta didik, tetapi juga penerapan konsep matematis dan
kelogisan dalam memecahkan masalah dalam proses berpikir menjadi penting
untuk diperhatikan. Oleh karena itu, peran guru menjadi begitu penting untuk
memastikan berbagai kemampuan matematis dapat diperoleh siswa di sekolah.
Berbagai kemampuan matematis itu salah satu yang paling krusial adalah
kemampuan pemahaman matematis siswa. Mengingat saat ini proses
pembelajaran oleh guru terhadap siswa harus didasari oleh adanya masalah maka
pemahaman matematis siswa itu menjadi penting bagaimana memahami masalah
tersebut kaitanya dengan matematika yang dipelajari.
Kesulitan yang dialami itu dikarenakan siswa masih cenderung menghafal
sehingga pemahaman siswa terhadap konsep materi masih belum optimal. Hal ini
sejalan dengan Ferdianto dan Ghanny (2014:47) bahwa proses penyelesaian
masalah dalam matematika yang saat ini banyak dilakukan oleh siswa adalah
dengan cara menghafal rumus matematika yang akan digunakan, sehingga siswa
merasa terbebani dengan banyaknya rumus yang ada, hal ini yang menyebabkan
pelajaran matematika menjadi menakutkan, susah untuk dipelajari dan masih
banyak lagi paradigma yang kurang bagus terhadap pelajaran matematika.
Pemahaman matematis menjadi salah satu aspek penilaian pada tes yang
diselenggarakan Trends Internasional Mathematics and Science Study (TIMSS).
Kemampuan pemahaman matematis berkaitan dengan kemampuan siswa dalam
memahami suatu konsep. Siswa dapat mencapai tujuan pembelajarannya apabila
mereka dapat memahami konsep dengan baik. Menurut Duffin & Simpson
(2000:415-427) bahwa siswa diharapkan mampu memahami dan menjelaskan
keterkaitan antar konsep secara tepat dalam menyelesaikan masalah,
mengungkapkan kembali materi yang telah dipelajari, menggunakan konsep pada
berbagai situasi yang berbeda, dan mengembangkan suatu konsep.
Kemudian, Heris Hendriana (2014:27-38) menyatakan bahwa sesungguhnya
pemahaman matematik memiliki tingkat kedalaman tuntutan kognitif yang
berbeda, misalnya : seorang siswa SMP dikatakan memahami hukum asosiatif
bila ia dapat menerapkan sifat itu dengan benar.Sehingga kita dapat memahami
bahwa pemahaman matematika merupakan kekhasan dalam kemampuan
matematika. Kemampuan pemahaman matematis adalah salah satu tujuan penting
dalam pembelajaran, memberikan pengertian bahwa materi-materi yang diajarkan
kepada siswa bukan hanya sebagai hafalan, namun lebih dari itu dengan
pemahaman siswa dapat lebih mengerti akan konsep materi pelajaran itu sendiri.
Pemahaman tidak hanya sekedar memahami sebuah informasi tetapi termasuk
juga keobjektifan, sikap dan makna yang terkandung dari sebuah informasi.
Dengan kata lain seorang siswa dapat mengubah suatu informasi yang ada dalam
pikirannya ke dalam bentuk lain yang lebih berarti, sehin gga terkadang siswa
mengalami hambatan dalam menyelesaikan soal-soal pemahaman matematik. Hal
ini terbukti dari masih sulitnya siswa menyelesaikan masalah matematika
terutama masalah-masalah non rutin. Bahkan untuk soal sederhana sekalipun, jika
soal tersebut berbeda dari contoh yang telah diberikan sebelumnya, siswa bisa
menjadi kesulitan mengerjakan soal tersebut. Pemahaman matematis ini bisa
ditunjang dengan pemberian pemahaman tentang aspek kognitif siswa, dimana
aspek tersebut meliputi konsep diri.
Pada dasarnya hasil belajar matematika siswa dipengaruhi oleh beberapa
faktor, diantaranya sikap siswa pada matematika, konsep diri dan kecemasan
siswa dalam belajar dan faktor-faktor eksternal lainnya. Pengertian sikap menurut
(Robbins dalam Leonard dan US, 2010:342) adalah pernyataan-pernyataan
evaluatif baik yang diinginkan atau yang tidak diinginkan mengenai objek, orang
atau peristiwa. Sikap mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu.
Setiap individu dalam melakukan aktivitasnya akan didasarkan atas sikapnya
tentang aktivitas yang akan dilaksanakannya. Sikap umumnya akan
mencerminkan bagaimana seseorang merasakan sesuatu. Misalnya, jika seorang
siswa mengatakan bahwa ”saya menyukai pelajaran matematika”, berarti dia
sedang mengungkapkan sikapnya tentang mata pelajaran matematika tersebut.
Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,
menyangkut fisik, emosi, intelektual, sosial, dan spiritual. Termasuk di dalamnya
persepsi individu tentang sifat dan potensi yang dimiliki, interaksi dengan orang
lain maupun lingkungannya, nilai-nilai yang berkaitan dengan pengalaman dan
objek, serta tujuan, harapan dan keinginan. Konsep diri yang sehat tidak sekedar
positif, tetapi merupakan gambaran tentang dirinya (real self). Apabila gambaran
tentang dirinya, terutama diri yang dicita-citakan (ideal self) tidak sesuai
kenyataan dirinya, maka akan terjadi kesenjangan antara diri yang harapkan
dengan kenyataan dirinya. Semakin besar kesenjangan, semakin besar pula rasa
tidak nyaman yang ditimbulkan (Sunaryo dalam Saputri dan Moordiningsih,
2016:262).
Konsep gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikontruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara
laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan, perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri
merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat
dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki, yang bisaa berubah dari waktu
ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari suatu
kelas ke kelas yang lain, itulah yang dikenal dengan konsep gender (Mansour,
2013: 9).
Teori skema gender (gender schema theory) merupakan kombinasi teori
belajar sosial dan teori perkembangan kognitif. Teori perkembangan kognitif akan
menjelaskan bagaimana informasi baru tentang kategori gender tersebut dapat
dicerna sistem kognisi dan menjaga konsistensi gender (Helgeson dalam Latief
2020:81-84). Teori belajar sosial menyumbangkan pemahaman dari mana
seseorang mendapatkan ciri-ciri kategori gender dan hal apa yang dapat
mengasosiasikan dirinya dengan kategori tersebut. Teori belajar sosial (social
learning theory) dari Bandura dan Walters menyatakan ada dua metode dasar
dalam pembentukan gender, yaitu dengan meniru model (modeling) dan mendapat
penguatan (reinforcement) dari lingkungan sosial. Dengan memahami teori skema
gender, maka dapat diketahui bahwa anak cenderung maskulin atau feminin. Dari
sinilah persepsi dan ekspektasi anak tentang karakteristik gender terbentuk.
Selain faktor strategi pembelajaran, faktor gender juga mempengaruh hasil
belajar matematika. Siswa perempuan cenderung memiliki motivasi rendah dalam
belajar matematika dari pada siswa laki-laki. Hal tersebut dipengaruhi oleh
belahan otak kanan siswa laki-laki mempunyai kemampuan yang lebih kuat di
bidang numerik dan logika dari pada belahan otak kanan siswa perempuan.
Sedangkan belahan otak kiri siswa perempuan mempunyai kelebihan di bidang
estetika dan religius dari pada belahan otak kiri siswa laki-laki (Firman dkk dalam
Hudiono dan Rajiin 2015:3). Intelegensi yang tinggi pada perempuan cenderung
tidak pernah mempunyai ketertarikan yang menyeluruh pada soal-soal teoritis
seperti laki-laki. Perempuan lebih dekat pada masalah-masalah kehidupan yang
praktis dan kongkrit, sedangkan laki-laki lebih tertarik pada segi-segi yang
abstrak.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penulis mencoba melakukan penelitian
yang berjudul : “Deskripsi Konsep diri Matematis dan Kemampuan
Pemahaman Matematis Siswa ditinjau dari Perbedaan Gender Pada Siswa
Kelas IX SMP Negeri 4 Buton Tengah”.
Di dalam penelitian ini dikaji tentang keterkaitan konsep diri matematis dan
pemahaman matematis ditinjau dari perbedaan gender.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang di atas, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini yaitu:
1. Bagaimanakah deskripsis konsep diri matematis dan kemampuan matematis
siswa kelas IX SMP Negeri 4 Buton Tengah?.
2. Bagaimana hubungan konsep diri matematis dengan pemahaman matematis
ditinjau dari perbedaan gender?
C. Tujuan Penelitian
Sejalan dengan rumusan masalah di atas maka tujuan penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui deskripsi konsep diri matematis dan kemampuan
matematis siswa kelas IX SMP Negeri 4 Buton Tengah.
2. Untuk mengetahui hubungan konsep diri matematis dengan pemahaman
matematis ditinjau dari perbedaan gender.
D. Manfaat Penelitian
1. Bagi siswa, dapat mengukur sejauh mana hubungan konsep diri matematis
dan kemampuan matematis siswa dalam menyelesaikan masalah matematika
yang diberikan oleh guru.
2. Bagi guru, dapat melihat sejauh mana hubungan antar konsep diri matematis
siswa dan kemampuan pemahaman matematis siswa dalam menyelesaikan
masalah matematika yang diberikan yang ditinjau melalui gender.
3. Bagi sekolah, hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan dan wawasan
untuk memperbaiki dan meningkatkan kondisi serta kualitas pembelajaran
matematika, khususnya dalam meningkatkan kualitas mutu akademik siswa.
4. Bagi peneliti, sebagai upaya untuk mengembangkan pengetahuan sekaligus
dapat menambah wawasan, pengalaman dalam tahap proses pembinaan diri
sebagai calon pendidik.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Hakikat Matematika
Matematika berasal Bahasa latin “manthanein” atau “mathema” berarti
belajar atau hal yang dipelajari. Sedangkan dalam Bahasa Belanda disebut
“wiskunde” atau “ilmu pasti”. Menurut (Hasratuddin dalam Siagian, 2017:63)
bahwa unsur utama pekerjaan matematika adalah penalaran deduktif (deductive
reasoning) yang bekerja atas dasar asumsi dan mempunyai kebenaran yang
konsisten.
Selanjutnya (Hasratuddin, 2014:31) menyatakan bahwa matematika
mempelajari tentang keteraturan, tentang struktur yang terorganisasikan, konsep-
konsep matematika tersusun secara hirarkis, berstruktur dan sistematika, mulai
dari konsep yang paling sederhana sampai pada konsep yang paling kompleks.
Dalam matematika objek dasar yang dipelajari adalah abstrak, sehingga disebut
objek mental, objek itu merupakan objek pikiran. Objek dasar itu meliputi :
Simbol, merupakan suatu lambang dari suatu objek atau pernyataan. Konsep,
merupakan suatu ide abstrak yang digunakan untuk menggolongkan sekumpulan
objek. Misalnya, segitiga merupakan nama suatu konsep abstrak. Dalam
matematika terdapat suatu konsep yang penting yaitu “fungsi”, “variabel”, dan
“konstanta”. Konsep berhubungan erat dengan definisi, definisi adalah ungkapan
suatu konsep, dengan adanya definisi orang dapat membuat ilustrasi atau gambar
atau lambang dari konsep yang dimaksud. Prinsip, merupakan objek matematika
yang kompleks. Prinsip dapat terdiri atas beberapa konsep yang dikaitkan oleh
suatu relasi/operasi, dengan kata lain prinsip adalah hubungan antara berbagai
objek dasar matematika. Prinsip dapat berupa aksioma, teorema dan sifat. Operasi,
merupakan pengerjaan hitung, pengerjaan aljabar, dan pengerjaan matematika
lainnya, seperti penjumlahan, perkalian, gabungan dan irisan.
Kemudian, matematika adalah ilmu yang penting untuk dipelajari karena
matematika merupakan ilmu yang mempunyai ciri khas sebagai ilmu yang
memiliki objek abstrak, berpola pada pemikiran deduktif aksiomatik, dan juga
berlandaskan pada kebenaran. Dengan adanya ciri khas tersebut, matematika
berguna dalam menumbuhkembangkan kemampuan serta membentuk pribadi
siswa. Matematika sebagai ilmu dasar juga digunakan untuk mencapai
keberhasilan yang berkualitas tinggi. Oleh karena itu, matematika diajarkan pada
semua jenjang sekolah, dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi. Di samping
matematika juga merupakan ilmu yang dapat diterapkan untuk menyelesaikan
masalah dalam kehidupan sehari-hari (Imswatama dan Muhassanah, 2016: 1-2).
Keberhasilan sebuah proses pembelajaran tidak hanya diwujudkan dengan
prestasi hasil belajar siswa disekolah saja. Namun, suatu proses pembelajaran
dapat dikatakan berhasil jika proses tersebut mampu memberi dampak kepada
siswa sehingga mampu mengembangkan dan mengaplikasikan apa yang telah
mereka terima dalam kehidupannya. Demikaian halnya dengan pembelajaran
matematika. Bruner (Hudoyo dalam Siagian, 2017:64-65) menjelaskan
pembelajaran matematika adalah belajar tentang konsep dan struktur matematika
yang terdapat dalam materi yang dipelajari serta mencari hubungan antara konsep
dan struktur matematika di dalamnya. Hal ini sejalan dengan pandangan NCTM
(1989) bahwa berlajar bermakna merupakan landasan utama terbentuknya
mathematical connection. Artinya pembelajaran matematika haruslah diarahkan
(a) menggunakan koneksi matematika antar ide matematika; (b) memahami
keterkaitan materi yang satu dengan yang lain sehingga terbangun pemahaman
yang menyeluruh; dan (c) memperhatikan serta menggunakan matematika dalam
konteks di luar matematika. Untuk mengetahui kegunaan matematika dalam
konteks diluar matematika, maka secara tidak langsung siswa akan merasakan
manfaat dari mempelajari matematika. Oleh sebab itu perlu adanya perubahan
pandangan terhadap pembelajaran matematika, yaitu dari pandangan yang semula
memandang matematika sebagai ilmu pengetahuan yang ketat dan tersetruktur
secara rapi kepandangan bahwa matematika adalah aktivitas kehidupan manusia.
Dengan demikian hendaknya proses pembelajaran matematika lebih menekankan
kepada aktivitas membangun pengetahuan yang dilakukan oleh siswa itu sendiri,
dan guru berperan sebagai fasilitator dalam mengontrol aktivitas siswa dalam
mengkonstruksi pengetahuannya. Maka sebaiknya guru dapat melakukan
perencanaan yang matang dalam menyusun pembelajaran matematika, agar proses
pembelajaran yang pada umumnya bersifat satu arah antara guru ke siswa dapat
berubah menjadi proses pembelajaran yang bersifat multi arah, yaitu antara guru
ke siswa, siswa ke guru dan siswa ke siswa.
Menurut (Sutawidjaja dan Dahlan dalam Siagian, 2017:65) Penetapan isi
matematika dalam perencanaan pembelajaran akan membantu kita dalam memilih
strategi pembelajaran dan fasilitasnya sehingga siswa dapat mempelajarinya
secara bermakna, serta menyusun tujuan kognitif dan afektif, serta mendiskusikan
tujuan-tujuan tersebut dengan siswa. Sebagaimana diketahui bahwa tujuan
kognitif dan afektif merupakan 2 dari tiga taksonomi dari Bloom. Tujuan kognitif
dan afektif tersebut harus diketam dengan pengetahuan dalam matematika terdiri
dari fakta, keterampilan, konsep, dan prinsip, tahapan berpikir siswa, tingkatan
sekolah, dan strategi pembelajaran yang akan digunakan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika
adalah suatu pengetahuan yang dipelajari sebagai hasil dari pemikiran manusia
dalam penyelesaian masalah yang menggunakan bahasa simbol khususnya
bilangan dalam penyampaiannya terhadap orang lain. Pengetahuan matematika
tersusun konsisten berdasarkan logika berpikir.
2. Pemahaman Matematis
Pemahaman merupakan terjemahan dari istilah understanding yang diartikan
sebagai kemampuan untuk menyerap arti dari materi atau bahan yang dipelajari
(Ikasari, 2017: 3).Menurut kamus besar bahasa indonesia, pemahaman diartikan
sebagai suatu proses atau cara memahami dan memahami itu sendiri diartikan
sebagai mengerti benar atau mengetahui (Septiawan,Djalil,& Coesamin 2013).
Menurut Darke (dalam Marzuki, 2017: 2) pemahaman adalah proses memahami
isi pelajaran yang dipelajari.
Pemahaman adalah tingkat kemampuan yang mengharapkan siswa mampu
memahami arti atau konsep, situasi serta fakta yang diketahuinya(Murizal,
Yarman,& Yerizon, 2012: 19). Menurut Perkins dan Blythe (dalam Murizal,
Yarman dan Yerizon, 2012:19) menyatakan bahwa pemahaman sebagai mampu
menjelaskan, menemukan bukti dan contoh, menggeneralisasi, menerapkan, dan
merepresentasikan topik dengan cara baru. Belajar saat ini tidak lagi menekankan
kebenaran dari jawaban akhir tetapi telah bergeser ke penekanan pada proses,
konteks, dan pemahaman. Setiap topik dalam matematika memiliki pemahaman
konseptual dan penguasaan keterampilan untuk dipelajari oleh siswa.
Berdasarkan pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa pemahaman adalah
kemampuan siswa dalam menjelaskan, menemukan bukti dan contoh,
menggeneralisasi, menerapkan, dan merepresentasikan topik dengan cara baru
dalam pembelajaran matematika, serta termaksud pula memahami arti dan fakta.
Apabila hal tersebut terpenuhi maka siswa dianggap memiliki pemahaman yang
baik oleh guru.
Sulisworo & Permprayoon (Angraini & Prahmana, 2018: 1) menyatakan
bahwa pemahaman matematis adalah pengetahuan siswa tentang konsep, prinsip,
prosedur, dan kemampuan siswa menggunakan strategi dalam menyelesaikan
permasalahan matematika.Akan tetapi, pemahaman tidak hanya mengingat konsep
matematika atau mampu mengikuti prosedur. Pemahaman dalam pembelajaran
matematika membutuhkan lebih dari sekadar mengingat fakta (Idris, 2009: 36).
Pemahaman matematis merupakan salah satu kemampuan yang penting untuk
dimiliki siswa, sejalan dengan yang diungkapkan Purwasih (2015) bahwa
kemampuan pemahaman matematis dapat membantu siswa untuk berpikir secara
sistematis, selain itu siswa dapat menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-
hari serta mampu menggunakan matematika dalam bidang ilmu pengetahuan lain
(Pitriyani & Zanthy: 2018: 110).
Kemampuan pemahaman siswa dalam belajar merupakan hal penting untuk
tercapainya tujuan dari pembelajaran matematika, artinya siswa yang memiliki
pemahaman terhadap materi atau suatu konsep matematika akan terlihat dari
bagaimana siswa tersebut menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan
matematika (Hikmah, 2017: 271). Pemahaman matematis juga merupakan salah
satu tujuan dari setiap materi yang disampaikan oleh guru, sebab guru merupakan
pembimbing siswa untuk mencapai konsep yang diharapkan (Bani, 2011: 13).
3. Indikator Kemampuan Pemahaman Matematis
Adapun indikator kemampuan pemahaman matematis yang digunakan dalam
penelitian ini adalah kemampuan pemahaman matematis oleh Skemp (1979)
(dalam Idris, 2009: 37-38) yang membedakan pemahaman menjadi tiga kategori
yakni pemahaman instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman logis.
a. Pemahaman instrumental
Pemahaman Instrumental adalah kemampuan untuk menerapkan aturan yang
diingat tepat untuk solusi masalah tanpa mengetahui mengapa aturan itu bekerja.
Dengan kata lain kita tahu "bagaimana" tetapi tidak tahu "mengapa". Pada tahap
ini, pemahaman konsep masih terpisah dan hanya sekedar hafalansuatu rumus
untuk menyelesaikan permasalahan rutin/sederhana sehingga siswa belum mampu
menerapkan rumus tersebut pada permasalahan baru yang berkaitan.
b. Pemahaman relasional
Pemahaman Relasional adalah kemampuan untuk menyimpulkan aturan atau
prosedur khusus dari hubungan matematika yang lebih umum. Singkatnya, orang
tahu "bagaimana" dan "mengapa". Pada tahap ini, siswa dapat mengaitkan antara
suatu konsep atau prinsip dengan konsep atau prinsip lainnya dengan benar dan
menyadari proses yang dilakukan.
c. Pemahaman Logis
Pemahaman logis terkait erat dengan perbedaan antara diyakinkan diri
sendiri, yang pemahaman relasionalnya cukup, dan meyakinkan orang lain.
Sebagian besar dari kita tunduk pada ide-ide kita untuk kritik diri sebelum
mempublikasikannya, secara formal atau informal dan membangun bukti yang
memuaskan diri kita sendiri. Dengan kata lain, siswa dapat mengkonstruksi
sebuah bukti sebelum ide-ide yang dimilikinya dipublikasikan secara formal atau
informal sehingga membuat siswa tersebut merasa yakin untuk membuat
penjelasan kepada siswa yang lain.
4. Pengertian Konsep Diri
Menurut Hurlock (dalam Rahman, 2012:22), self-concept merupakan
gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang meliputi fisik, psikologis,
sosial, emosional, aspirasi dan prestasi yang telah dicapainya. Segi fisik meliputi
penampilan fisik, daya tarik dan kelayakan. Sedangkan segi psikologis meliputi
pikiran, perasaan, penyesuaian keberanian, kejujuran, kemandirian, kepercayaan
serta aspirasi.
Konsep diri self-concept merupakan suatu bagian yang penting dalam setiap
pembicaraan tentang kepribadian manusia. Konsep diri merupakan sifat yang unik
pada manusia, sehingga dapat digunakan untuk membedakan manusia dari
makhluk hidup lainnya. Diri (self) berisi ide-ide, persepsipersepsi dan nilai-nilai
yang mencakup kesadaran tentang diri sendiri. Konsep diri merupakan
representasi diri yang mencakup identitas diri yakni karateristik personal,
pengalaman, peran, dan status sosial (Syamsul Bachri Thalib dalam Arnasih &
Hartaya2015:56).
Konsep berfungsi sebagai fondasi dalam mencapai keberhasilan dalam
kehidupan, konsep diri juga berperan sebagai penentu arah dalam bertindak.
Siswa dengan konsep diri yang positif cenderung bertindak lebih positif dalam
belajar, tugas yang diberikan guru akan diselesaikan dengan penuh tanggung
jawab dan hambatan belajar ia jadikan sebagai tantangan dan mampu semangat
belajarnya. Beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri di antaranya adalah:
(1) cita-cita, (2) citra diri, dan (3) harga diri. (Gunawan dan Setiyono dalam
Alamsyah, 2016:158). Menurut Brooks dan Emmerst (dalam Jalaluddin dalam
Alamsyah, 2016:158), ada lima tanda orang yang memiliki konsep diri tinggi atau
positif yaitu: (1) ia yakin akan kemampuannya mengatasi masalah, (2) ia merasa
setara dengan orang lain, (3) ia menerima pujian tanpa rasa malu, (4) ia menyadari
bahwa setiap orang mempunyai berbagai perasaan, keinginan dan perilaku yang
tidak seluruhnya disetujui masyarakat, dan (5) ia mampu memperbaiki dirinya
karena ia sanggup mengungkapkan aspek-aspek kepribadian yang tidak
disenanginya dan berusaha mengubahnya.
Tanda-tanda orang yang memiliki konsep diri rendah atau negatif, di
antaranya yaitu: (1) Ia peka pada kritik, orang ini sangat tidak tahan kritik yang
diterimanya, dan mudah marah atau naik pitam. Bagi orang ini koreksi sering kali
dipersepsi sebagai usaha untuk menjatuhkan harga dirinya, (2) Orang yang
memiliki konsep diri rendah atau negatif cenderung menghindari dialog yang
terbuka dan bersih keras mempertahankan pendapatnya dengan berbagai
justifikasi atau logika yang keliru, (3) Bersikap hiperkritis terhadap orang lain,
selalu mengeluh, mencelah atau meremehkan apapun dan siapapun. Mereka tidak
pandai dan tidak sanggup mengungkapkan penghargaan atau pengakuan pada
kelebihan orang lain, (4) Orang yang konsep dirinya rendah atau negatif,
cenderung merasa tidak disenangi orang lain, ia merasa tidak diperhatikan, dan
(5) Orang yang konsep dirinya rendah atau negatif, bersikap pesimis terhadap
kompetisi seperti terungkap dalam keengganannya untuk bersaing dengan orang
lain dalam membuat prestasi.
Berhubungan dengan konsep diri terhadap matematis matematika, Ayodele
(dalam Rahmawati & Umbara 2018:110) mendefinisikan selfconcept sebagai cara
seseorang untuk berfikir (thinks), merasakan (feels), bertindak (acts), menilai
(values), dan mengevaluasi (evaluates) dirinya sendiri yang berhubungan dengan
matematika. Beberapa gambaran karakteristik self-concept positif dan negatif
dikemukan oleh Silvernail (dalam Rahmawati & Umbara 2018:111) yang
mengatakan bahwa Self-concept positif ditandai dengan: (1) tidak takut
menghadapi situasi baru; (2) mampu mempunyai teman-teman baru; (3) mudah
mengenal tugas-tugas baru; (4) mudah menyesuaikan diri pada orang-orang asing;
(5) dapat bekerja sama; (6) bertanggung jawab; (7) kreatif; (8) berani
mengemukakan pengalaman-pengalamannya; (9) mandiri; dan (10) pengembira.
Self-concept negatif ditandai dengan: (1) menunggu keputusan dari orang lain; (2)
jarang mengikuti aktivitas baru; (3) selalu bertanya dalam menilai sesuatu; (4)
tidak spontan; (5) kaku terhadap barang-barang miliknya; (6) pendiam; dan (7)
menghindar dan tampak frustasi. Siswa yang memiliki sikap positif terhadap
matematika memiliki ciri-ciri seperti: menyenangi matematika, terlihat sungguh-
sungguh dalam belajar matematika, memperhatikan guru dalam menjelaskan
materi matematika, menyelesaikan tugas dengan baik dan tepat waktu,
berpartisipasi aktif dalam diskusi, dan mengerjakan tugas-tugas pekerjaan rumah
dengan tuntas dan selesai pada waktunya. Sedangkan, siswa yang memiliki sikap
negatif terhadap matematika memiliki ciri-ciri, seperti: tidak menyenangi
matematika, malas dalam belajar matematika, kurang memperhatikan guru saat
menjelaskan materi matematika, jarang menyelesaikan tugas matematika, merasa
cemas ketika mengikuti pelajaran matematika.
Kemudian (Abdullah dalam Alamsyah, 2016:158-159), menjelaskan bahwa
konsep diri adalah gabungan segala kepercayaan diri juga meliputi persepsi
lingkungan. Masing-masing individu akan mereaksi atas ucapan dan cara pandang
orang lain pada dirinya. Pada orang-orang tertentu yang bersifat sensitif, cara
pandang dan pernyataan lingkungan akan berpengaruh pada konsep diri,
dijelaskan juga bahwa konsep diri adalah semua ide, pikiran, kepercayaan dan
pendirian yang diketahui individu tentang dirinya. Pernyataan ini secara nyata
menggambarkan bahwa keberadaan lingkungan memiliki peran penting dalam
pengembangan konsep diri.
Batasan-batasan tentang self-concept telah banyak diberikan oleh para ahli,
meskipun isi pengertiannya hampir sama atau memiliki berbagai kesamaan.
Namun, dengan adanya berbagai macam batasan itu justru dapat saling
melengkapi. Pada setiap batasan mengenai pengertian self-concept itu selalu
terdapat elemen persamaan yang menunjukkan bahwa pada self-concept itu ada
pandangan individu terhadap dirinya sendiri.
Dengan demikian, konsep diri mengacu pada cara seseorang berpikir tentang
kemampuan mereka dalam berbagai fakta-fakta seperti: akademisi, atletik dan
interaksi sosial. Dibandingkan dengan awal masa kanak-kanak, remaja memiliki
pandangan diri yang relatif kaya. Sebagai remaja membaiknya keterampilan
kognitif dan pengalaman meningkat, konsep diri terus tumbuh hingga pendidikan
tinggi.
5. Aspek-aspek Konsep Diri
Menurut Pudjijogyanti (Fitriani dalam Magfirah dkk 2015:105) konsep diri
terbentuk atas dua komponen, yaitu sebagai berikut: (a) Komponen kognitif,
Merupakan pengetahuan individu tentang keadaan dirinya, misalnya: “Saya anak
bodoh”. Jadi komponen kognitif merupakan penjelasan dari “siapa saya” yang
akan memberi gambaran tentang diri seseorang (self-pictute). Gambaran diri
tersebut akan membentuk citra diri. (b) Komponen afektif, Merupakan penilaian
individu terhadap diri. penilaian tersebut akan membentuk penerimaan terhadap
diri (self-acceptance) serta harga diri (self-esteem) (Fitriani dalam Magfirah,
2015: 105).
6. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Konsep Diri
Secara umum, konsep diri sebagai gambaran tentang diri sendiri dipengaruhi
oleh hubungan atau interaksi individu dengan lingkungan sekitar, pengamatan
terhadap diri sendiri dan pengalaman dalam kehidupan keseharian. Sebagaimana
halnya dengan perkembangan pada umumnya, keluarga, khususnya orang tua
berperan penting dalam perkembangan konsep diri anak. Konsep diri terbentuk
dan berkembang dalam proses pengasuhan termasuk interaksi inerpersonal ibu-
anak (Thalib dalam Magfirah, 2015: 105).
7. Indikator Konsep Diri
Self-Concept memiliki 4 dimensi yang hendak diukur, yaitu: Pengetahuan,
Harapan, dan Penilaian. Dimensi pengetahuan mengenai apa yang siswa ketahui
tentang matematika, indikatornya yaitu pandangan siswa terhadap matematika dan
pandangan siswa terhadap kemampuan matematika yang dimilikinya. Dimensi
harapan mengenai pandangan siswa tentang pembelajaran matematika yang ideal,
indikatornya yaitu manfaat dari matematika dan pandangan siswa terhadap
pembelajaran matematika. Dimensi penilaian mengenai seberapa besar siswa
menyukai matematika, indikatornya yaitu ketertarikan siswa terhadap matematika
dan ketertarikan siswa terhadap soal-soal berpikir kreatif (Rahman, 2012: 21).
Menurut (Ijrar March: 2019) konsep diri matematis memiliki 8 dimensi
yang hendak diukur, yaitu: 1) konsep diri kemampuan akademik yang meliputi
evaluasi emosi diri, motivasi, kepercayaan, sikap dan kebiasan yang dimiliki oleh
siswa terhadap akademik; 2) konsep diri minat akademik yang meliputi perasaan,
motivasi, sikap, kebiasaan, dan pandangan siswa tentang minat akademiknya: 3)
konsep belajar mandiri yang meliputi evaluasi kemampuan diri, minat, kebiasaan,
sikap, pandangan, motivasi dan imajinasi siswa tentang belajar; 4) konsep diri
ujian yang meliputi evaluasi motivasi diri, emosi, imajinasi, minat, pendapat, dan
sikap terhadap ujian: 5) konsep diri interaksi akademik berarti keyakinan siswa
untuk menjadi teman siswa lain di sekolah dan menjaga hubungan yang baik
dengan mereka; 6) konsep diri untuk upaya akademik melupiti sikap khusus,
perasaan, harapan, pendapat, minat, kepercayaan siswa tentang upaya akademik.
Konsep diriyang digunakan dalam penelitian ini adalah indikator self-
concept oleh Kulm dan Gerald (1973, 3-4) sesuai dengaan instrumen yang
digunakan yang terdiri dari enam faktor atau dimensi yaitu:
1) Kemampuan dalam belajar matematika
Item dengan beban berat berkaitan dengan menjadi siswa matematika yang
baik, mengerjakan dengan baik dibandingkan dengan yang lain, dan tidak
mengkhawatirkan soal ujian.
2) Melaksanakan tugas
Selain hal-hal yang berkaitan dengan tugas, perhatian di kelas memiliki beban
signifikan pada faktor ini.
3) Partisipasi di kelas
Item tersebut terutama yang terkait dengan partisipasi sukarela, meskipun
dipanggil di kelas juga memiliki beban yang cukup besar.
4) Keyakinan di kelas
Barang-barang yang sarat muatan menyangkut perasaan nyaman, menikmati
kelas, dan belajar matematika. Faktor ini mengidentifikasi perasaan umum
tentang berada di kelas daripada tentang berpartisipasi.
5) Sikap
Beban tinggi diperoleh untuk minat matematika dan kepedulian terhadap
pembelajaran matematika. Menariknya, dua item yang berkaitan dengan
konsentrasi pada matematika dan melekat pada masalah juga memiliki beban
tinggi pada faktor sikap ini.
6) Belajar mandiri
Seiring dengan terus maju dengan masalah dan memiliki ide-ide bagus, faktor
ini termasuk menerapkan dan mengingat apa yang dipelajari.
8. Hubungan Antara Konsep Diridan Pemahaman Matematis
Pembelajaran matematika pada dasarnya tidak hanya menekankan kepada
kemahiran hitung menghitung peserta didik, tetapi juga penerapan konsep
matematis dan kelogisan dalam memecahkan masalah dalam proses berpikir
menjadi penting untuk diperhatikan. Selain itu, penyajian materi pembelajaran
tidak hanya pada penggunaan rumus siap pakai melainkan siswa menemukan
fakta dan konsep dari permasalahannya yang diselesaikan sendiri. Hal ini
memberikan pengalaman belajar bagi siswa akan terbentuknya pemahaman yang
mendalam.
Salah sartu tujuan pembelajaran yang harus dicapai adalah setiap siswa
memiliki kemampuan pemahaman yang baik agar siswa dapat menyelesaikan
soal-soal matematika dalam bentuk apapun dan juga dapat menyelesaikan
permasalahan yang berkaitan dengan matematika dalam kehidupan sehari-hari.
Pemahaman matematis dalam penelitian ini terdiri atas dua yaitu pemahaman
instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman berkaitan dengan
kemampuan seseorang dalam mengingat sifat-sifat dan menggunakan suatu
konsep untuk menyelesaikan masalah tanpa mengetahui mengapa konsep itu
digunakan (pemahaman instrumental). Tidak hanya memiliki pemahaman
intrumental,kemampuan seseorang dalam menghubungkan suatu konsep dengan
konsep yang lain dalam memecahkan masalah dengan penuh kesadaran mengapa
dan bagaimana konsep itu digunakan (pemahaman relasional) juga penting, sebab
hal ini yang membuat siswa berpikir.
Tingkat pemahaman matematika seorang siswa lebih dipengaruhi dari luar
dan dari dalam diri siswa itu sendiri. Proses interaksi antara siswa dan guru atau
interaksi antar sesama siswa dalam berdiskusi dalam proses belajar mengajar dan
menyelesaiakan soal-soal matematika akan memberikan pengaruh seorang siswa
tersebut dalam memahami materi pembelajaran matematika. Hal itu akan
berlangsung terus menerus dan membentuk suatu pengalaman yang bermakna
bagi siswa. Dengan kata lain, pemahaman seorang siswa dalam belajar diperoleh
dari apa yang ia alami dalam pembelajaran tersebut yang mana pembelajaran
matematika merupakan usaha untuk membantu siswa dalam mengkonstruksi
pengetahuan.
Selain aspek kognitif yang mempengaruhi siswa dalam pembelajaran
matematika, terdapat aspek pisikologi yang berkontribusi dalam keberhasilan
siswa mencapai tujuan pembelajaran yaitu konsep diri. Konsep diriadalah cara
pandang seseorang dalam melihat dirinya baik secara fisik, pisikis, sosial, dan
emosipnal dalam menyelesaiakn berbagai tugas-tugasnya dalam mencapai
keberhasilan khususnya keberhasilan dalam bidang akademik. Konsep diripula
terbentuk dari proses umpan balik dari individu lainnya. Meskipun demikian,
konsep dirijuga merupakan suatu faktor intern yang menentukan bagaimana
seseorang itu memandang dirinya dan bagaimana seseorang itu berpikir dan
bertindak.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa konsep
dirimempunyai hubungan dengan tingkat pemahaman matematis siswa. Sebab,
dalam pembelajaran matematika konsep diridapat menumbuhkan pandangan dan
sikap dalam menyelesaikan soal-soal matematika. Pandangan dan sikap tersebut
yang mendorong siswa untuk mengingat dan berpikir dalam memecahkan
masalah matematika dengan penuh kesadaran yang merupakan kemampuan
pemahaman siswa.
Konsep diripositif siswa dapat menunjukan sikap percaya diri, mampu
menyesuaikan diri terhadap hal-hal yang baru, dan antusias dalam melaksanakan
tugas sebaik-baiknya. Tidak hanya itu, konsep diriyang positif dari siswa dapat
memacu partisipasi aktif siswa dalam mempengaruhi orang lain yang sama
positifnya, mempunyai rasa tanggug jawab, dan menujukan tingkah laku dalam
belajar mandiri. Hal-hal tersebut mampu mempengaruhi siswa dalam mencapai
tingkat pemahaman yang lebih baik , sebab pemahaman itu sendiri dipengaruhi
oleh seberapa besar usah siswa dalam proses mengkonstruksi pengetahuannya dari
pengalamanya berpikir, bertindak, dan berinteraksi.
9. Gender
Memahami kajian kesetaraan gender, seseorang harus mengetahui terlebih
dahulu perbedaan antara gender dengan seks (jenis kelamin). Kurangnya
pemahaman tentang pengertian gender menjadi salah satu penyebab dalam
pertentangan menerima suatu analisis gender disuatu persoalan ketidak adilan
sosial. Menurut (Fakih dalam Jasruddin & Quraisy 2017: 88) mengemukakan
bahwa gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun
perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Perubahan ciri
dan sifat- sifat yang terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat lainnya
disebut konsep gender. (Santrock dalam Jasruddin & Quraisy 2017: 88)
mengemukakan bahwa istilah gender dan seks memiliki perbedaan dari segi
dimensi. Isilah seks (jenis kelamin) mengacu pada dimensi biologis seorang laki-
laki dan perempuan, sedangkan gender mengacu pada dimensi sosial-budaya
seorang laki-laki dan perempuan. Perbedaan antara jenis kelamin dengan gender
yaitu, jenis kelamin lebih condong terhadap fisik seseorang sedangkan gender
lebih condong terhadap tingkah lakunya.selain itu jenis kelamin merupakan status
yang melekat/bawaan sedangkan gender merupakan status yang
diperoleh/diperoleh. Gender tidak bersifat biologis, melainkan dikontruksikan
secara sosial. Karena gender tidak dibawa sejak lahir, melainkan dipelajari
melalui sosialisasi, oleh sebab itu gender dapat berubah.
Menurut (Susento dalam Zubaidah, 2013:16) perbedaan gender bukan hanya
berakibat pada perbedaan kemampuan dalam matematika, tetapi cara memperoleh
pengetahuan matematika. Keitel menyatakan “Gender, social, and cultural
dimensions are very powerfully interacting in conceptualization of mathematics
education,...”. Berdasarkan pendapat Keitel bahwa gender, sosial dan budaya
berpengaruh pada pembelajaran Matematika. Brandon (1985) menyatakan bahwa
perbedaan gender berpengaruh dalam pembelajaran matematika terjadi selama
usia Sekolah Dasar. Yoenanto dalam Nawangsari (dalam Zubaidah, 2013:16)
menjelaskan bahwa siswa pria lebih tertarik dalam pelajaran matematika
dibandingkan dengan siswa wanita, sehingga siswa wanita lebih mudah cemas
dalam menghadapi matematika dibandingkan dengan siswa pria. Oleh karena itu
aspek gender perlu menjadi perhatian khusus dalam pembelajaran matematika.
Jensen (2011:46) menyatakan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki cara
yang sangat berbeda dalam mendekati dan menyelesaikan masalah. Khusus dalam
pembelajaran matematika. (Nafi’an dalam Wijaya & dkk 2019:176) menjelaskan
perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam belajar matematika sebagai
berikut: (1) Laki-laki lebih unggul dalam penalaran, perempuan lebih unggul
dalam ketepatan, ketelitian, kecermatan, dan keseksamaan berpikir. (2) Laki-laki
memiliki kemampuan matematika dan mekanik yang lebih baik dari pada
perempuan.
Perbedaan ini tidak dinyatakan pada tingkat sekolah dasar akan tetapi
menjadi tampak lebih jelas pada tingkat yang lebih tinggi. Pendapat tersebut
menunjukan kemampuan yang tinggi bagi anak laki-laki dalam hal matematika,
namun perempuan lebih unggu dalam aspek efektifnya (tekun, teliti, cermat).
Sukayasa (2012) mengatakan laki-laki dan perempuan mempunyai perbedaan
kemampuan antara lain sebagai berikut: (1) Perempuan mempunyai kemampuan
verbal lebih tinggi dari pada laki-laki. (2) Laki-laki lebih unggul dalam
kemampuan visual spatial (penglihatan keruangan) daripada perempuan.(3) Laki-
laki lebih uggul dalam kemampuan matematika. Perbedaan-perbedaan yang
terdapat pada laki-laki dan perempuan tentu menyebabkan perbedaan pola pikir
dan perbedaan cara menghadapi berbagai permasalahan dalam belajar. Sehingga
laki-laki dan perempuan tentu memiliki banyak perbedaan dalam belajar
matematika.
Gender dalam penelitian ini juga diartikan sebagai perbedaan jenis kelamin
laki-laki dan perempuan, juga terlihat dari perbedaan peran gender. Identitas
gender didefinisikan sebagai konsep pribadi dari diri sendiri sebagai laki-laki atau
perempuan (Stake dalam Misu & Rahim 2019:1). Konsep ini berkaitan erat
dengan konsep peran gender, yang didefinisikan sebagai manifestasi luar dari
kepribadian yang mencerminkan identitas gender. Kemudian, peran gender terdiri
dari maskulin, feminin, androgini, dan undifferentiated (Basow dalam Misu,
2019:1). Karakteristik maskulin atletis, independen, analitis, kompetitif, dan
agresif, sementara fitur feminin seperti cinta, peka terhadap kebutuhan orang lain,
kasih sayang, lembut, dan hangat (Bem dalam Misu & Rahim 2019:2). Sementara
fitur androgini memiliki dua kepribadian, yaitu karakteristik maskulin dan fitur
feminin. Kemudian, karakteristik maskulin dan feminin stereotip tidak terikat
dengan seks biologis. Mayoritas gadis-gadis pada usia 12 sampai 13 tahun dapat
ditemukan dalam kategori androgini, yaitu mereka cenderung memiliki sangat
berkembang maskulin dan feminin karakteristik (Santos dalam Misu & Rahim
2019:2). Di sisi lain, sebagian besar anak laki-laki menunjukkan karakteristik
yang bisa dibedakan, yaitu, mereka memiliki karakteristik maskulin dan feminin
rendah. studi longitudinal kami akan memberikan bukti bagaimana identitas
gender berubah dari waktu ke waktu.
Berdasarkan pendapat di atas, maka sehubungan dengan penelitian ini, gender
adalah suatu sifat manusia baik perempuan maupun laki-laki yang dapat
dipertukarkan.
B. Kerangka Berpikir
Konsep diriadalah gambaran seseorang mengenai dirinya sendiri yang
meliputi fisik, psikologis, sosial, emosional yang digunakan untuk menyelesaikan
tugasnya dalam mencapai keberhasilan akademik maupun dalam hidup. Pada
pembelajaran matematika konsep diri siswa tercermin dari bagaimana siswa itu
berpikir, merasakan, bertindak, menilai, dan mengevaluasi dirinya. Siswa yang
memiliki konsep diripositif maka siswa tersebut lebih mudah dalam
menyesuaikan diri terhadap berbagai kondisi baru, mudah mendapat mengalaman
belajar yang baru, aktif, percaya diri, dan mampu menyelesaikan tugas-tugasnya.
Sebaliknya, siswa yang memiliki konsep dirinegatif sulit dalam menyelesaikan
tugas-tugasnya sebab tidak mampu beradaptasi dengan kondisi yang baru, kaku,
tidak optimis, dan bahkan hanya mengganggu orang lain.
Faktor dari dalam diri siswa jauh lebih mempengaruhi siswa tersebut
dalam belajar dan minatnya untuk dapat memiliki pemahaman matematis yang
baik. Selain faktor dari dalam diri siswa yang dapat mempengaruhi kemampuan
siswa dalam belajar, faktor kepribadian siswa atau gender siswa bisa menjadi
salah satu faktor yang juga dapat mempengaruhi kepribadian dan minat belajar
siswa.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Penelitian kuantitatif adalah penelitian yang berlandaskan pada filsafat
positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu, teknik
pengambilan sampel pada umumnya dilakukan secara random, pengumpulan data
menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat kuantitatif/statistik
dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah ditetapkan (Sugiono, 2006).
C. Subjek Penelitian
Subjek dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas IX SMP N 4 Buton
Tengah tahun ajaran 2019/2020, yang tersebar pada 4 kelas yaitu kelas IX A, IXB,
IXC, dan IXD. Dengan jumlah siswa laki-laki sebanyak 49siswa terdiri atas: (1)
masculine 12 siswa, (2) feminime 6 siswa, (3) androgynous 4 siswa. Siswa
perempuan sebanyak 43 siswa terdiri atas: (1) masculine 9 siswa, (2) feminime 3
siswa, (3) androgynous 4 siswa, dengan jumlah subjek penelitian 92 siswa.
D. Definisi Operasional
1. Konsep diri Matematis adalah sebuah tes konsep diri dikembangkan untuk
digunakan dalam sebuah matapelajaran matematika dimana untuk
membangun akademik siswa yang melibatkan delapan faktor.
2. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan menyerap dan
memahami ide-ide dalam metematika, serta merupakan tujuan pembelajaran
yang utama. Indikator dari pemahaman matematis dalam penelitian ini
adalah pemahaman instrumental, pemahaman relasional, dan pemahaman
logis. Pemahaman Instrumental adalah kemampuan untuk menerapkan
aturan yang diingat tepat untuk solusi masalah tanpa mengetahui mengapa
aturan itu bekerja. Pemahaman Relasional adalah kemampuan untuk
menyimpulkan aturan atau prosedur khusus dari hubungan matematika yang
lebih umum. Pemahaman logis terkait erat dengan perbedaan antara
diyakinkan diri sendiri, yang pemahaman relasionalnya cukup, dan
meyakinkan orang lain.
3. Gender adalah perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dan
berperan sebagai maskulin, feminim, androgynous, dan undifferentiated yang
menjadi indikator dalam penelitian ini.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah angket dan tes
pemahaman matematis siswa.
1. Angket
Menurut Sugiono (2009:199) angket adalah teknik pengumpulan data yang
dilakukan dengan cara memberi seperangkat pertanyaan atau pernyataan tertulis
kepada responden untuk dijawabnya. Angket merupakan teknik pengumpulan
data yang efisien yang diharapkan dari responden. Selain itu, angket juga cocok
digunakan bila jumlah responden cukup besar dan tersebar diwilayah luas.
Untuk menentukan subjek penelitian terlebih dahulu dilakukan pemberian
angket diagnosis siswa terhadap pelajaran matematika yang berisi pernyataan-
pernyataan konsep diri matematis dan gender siswa. Menurut
(Widoyoko,2012:34) penggunaan angket sebagai metode pengumpulan data pada
penelitian didasarkan pada anggapan : (1) Bahwa subjek adalah orang yang paling
tahu tentang dirinya sendiri. (2) Bahwa apa yang dinyatakan oleh subjek kepada
peneliti adalah benar dan dapat dipercaya. (3) Bahwa interpensi subjek tentang
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepadanya adalah sama dengan yang
dimaksudkan oleh peneliti.
Angket dalam penelitian ini terbagi dalam dua bagian yaitu angket gender dan
angket konsep diri.
a) Kisi-kisi Angket Gender
Adapun kisi-kisi angket gender dapat dilihat pada Tebel 3.1 berikut:
Tabel 3.1
1,4,7,10,13,16,19,22,25,28,31,34,37,40,43,46,49,52,
55,58
1. Masculin 20
e
2,5,8,11,14,17,20,23, 26,29,32,5,38,41,44,47, 50,
53, 56, 59
2. Feminim 20
e
3,6,9,12,15,18,21,24,27,30,33,36,39,42,45,48,51,
3. Netral 54,57,60 20
Pilihan Jawaban
No Pernyataan
STS TS R S SS
Adapun kisi-kisi angket konsep diri dapat dilihat pada Tabel 3.3 berikut:
Tabel 3.3
Kisi-kisi Angket Konsep Diri
No Aspek Indikator No. Item Jumlah
Menjadi siswa yang baik dalam
1, 2
pelajaran matematika
Kemampuan Melakukan atau meyelesaikan
1 dalam belajar masalah dengan baik dibanding 12 4
matematika yang lainnya
Tidak khawatir tentang tes
26
matematika
Mengerjakan tugas matematika 10, 25
Melaksanakan
2 Perhatian dalam pembelajaran 5
tugas 8, 16, 19
matematika di kelas
Partisipasi di
3 Sukarela berpartisipasi di kelas 4, 7, 9, 11 4
kelas
Kepercayaan Rasa nyaman 3
4 4
diri di kelas Menikmati belajar matematika 13, 17, 23
Tertarik dengan matematika 14, 24
5 Sikap 5
Peduli tentang belajar matematika 15, 22, 27
Belajar Menyelesaikan masalah 5, 18, 21
6 5
mandiri Memiliki pemikiran yang baik 6, 20
Jumlah 27
3. Sentos memiliki sebuah kain yang berbentuk persegi panjang dengan ukuran
125 ×100 cm. Ia berencana menghias sekeliling kain tersebut dengan renda.
Berapa panjang renda paling sedikit yang diperlukan Sentos?
c) Pemahaman Logis
Adapun soal pemahaman matematis berdasarkan indikator relasional yaitu:
4. Temukan keliling persegi yang memiliki luas 144 c m2!
Tabel 3.4
Pedoman Penskoran Tes Pemahaman Matematis
No Kunci Jawaban Skor
Keliling Persegi = 4 × s
1
= 4 × 12
= 48 5
5. a. 4 a 3
b. 6 a
3
c. 8 a
d. ( 2 n+2 ) a 3
e. Dengan memperhatikan pola mulai keliling 1 persegi, 2
persegi, 3 persegi, dan seterusnya. Membentuk pola 5
bilangan genap yang dimulai dari bilangan 4, sehingga
didapat untuk sebanyak n persegi ¿ ( 2 n+2 ) a
10
Total 100
F. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data pada penelitian ini akan dilakukan melalui angket dan
hasil tes pemahaman matematis terhadap masing-masing subjek penelitian.
Pemahaman subjek penelitian dipelajari melalui interprestasi atau representatif
yang diberikan subjek dalam menjawab pertayaan-pertanyaan peneliti. Disamping
itu, peneliti seminimal mungkin membantu subjek dalam menjawab permasalahan
secara tersurat maupun tersirat untuk mengarahkan jawaban yang dikehendaki
peneliti, seperti memberi petujuk atau motivasi yang dapat mempengaruhi proses
berfikir subjek.
Untuk memperoleh data, langkah-langkah dan teknik yang digunakan dalam
penelitian ini sebagai berikut: (1) Untuk data gender diperoleh dari hasil
penyebaran angket gender dengan jumlah butiran pertanyaan sebanyak 60 butir,
yang masing-masing dibagi kedalam 3 kelompok yaitu: Androgynous, Masculine
dan Feminine, dengan masing-masing 20 butir pertanyaan. Cara untuk
mengelompokan siswa kedalam 3 kelompok gender dilakukan dengan cara yaitu
Jika Rerata skor Maskulin ≥ Median Skor Maskulin, dan Rerata skor Feminim ≥
Median Skor Feminim = Androgynous
Jika Rerata skor Maskulin ≥ Median Skor Maskulin, dan Rerata skor Feminim <
Median Skor Feminim = Masculine
Jika Rerata skor Maskulin < Median Skor Maskulin, dan Rerata skor Feminim ≥
Median Skor Feminim = Feminine
Jika bukan ketiganya, maka disebut: Undifferentiated (Misu & Rahim
2019), (2) Untuk data konsep diri matematis siswa diperoleh dari hasil penyebaran
angket dengan jumlah pertanyaan 27 pertanyan yang memuat 8 indikator yang
harus diukur dalam konsep diri matematis yang akan diberikan kepada sampel
yang telah dipilih atau ditentukan.
Dalam penelitian ini, peneliti terlibat sepenuhnya dalam pengumpulan data.
Peneliti mengumpulakan semua sampel dari ke-4 kelas IX dan akan dikumpulkan
dalam satu kelas dengan jumlah sampel 92 siswa.
G. Teknik Analisis Data
Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan dua teknik analisis,
yaitu analisis deskriptif.Analisis deskriptif diperukan untuk mendeskripsikan atau
menggambarkan karakteristik distribusi masing-masing data variabel (konsep
diri)dan kemampuan pemahaman matematis siswa) berupa mean, median, modus,
nilai minimum, nilai maksimum, dan standar deviasi.
Kemudian analisis deskriptif konsep dirimatematis siswa digunakan
pedoman penilaian acuan normal sebagai berikut:
Tabel 3.5
Pedoman Analisis Deskriptif konsep diriSiswa
Batas Kategori Kategori
(Sudijono, 2015:175)
Keterangan:
X́ = rata-rata nilai siswa
X = nilai yang diperoleh siswa
SD = standar deviasi nilai total
Data isian angket dianalisis dengan cara menghitung presentase konsep dirisiswa.
Analisis hasil angket konsep dirisiswa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
a. Menghitung jumlah skor per indikator pada setiap butir pernyataan dengan
acuan pedoman pensekoran yang telah ditetapkan
b. Menjumlahkan skor indikator ke-i dari setiap aspek pernyataan.
Menghitung presentase per-indikator angket gaya belajar dengan
menggunakan rumus:
jumlah skor indikator ke-i
Persentase= ×100 %
jumlah skor maksimal indikator ke-i
Keterangan:
i = 1, 2, 3,...
c. Setelah mendapatkan presentase hasil angket konsep dirisiswa per-indikator,
dilakukan pemberian kategori skor untuk mengetahui peningkatan ketegori
per-indikator aspek-aspek pernyataan tentang konsep dirisiswa.
Kemudian untuk mengklasifikasikan kualitas kemampuan pemahaman
matematis siswa, digunakan pedoman penilaian acuan normal yang dapat dilihat
pada Tabel 3.6.
Tabel 3.6
Pedoman Analisis Kemampuan Pemahaman Matematis
Batas Kategori Kategori
(Sudijono, 2015:175)
Keterangan:
X́ = rata-rata nilai siswa
X = nilai yang diperoleh siswa
SD = standar deviasi nilai total