Jurnal 6 QCC
Jurnal 6 QCC
Jurnal 6 QCC
ABSTRAK
PT. GE. Lighting Indonesia adalah perusahaan PMA yang memproduksi lampu
pijar.Untuk bisa bersaing dengan perusahaan sejenis .Perusahaan harus mempunyai
keunggulan. Salah satu faktor penentu daya saing dengan meningkatkan kualitas. Upaya
itu dilakukan perusahaan dengan melakukan perbaikan terus menerus dengan tujuan
mengurangi jumlah defect atau cacat produk .
Tujuan penelitian untuk mengetahui prosentase defect yang terjadi di
Depertemen Incandescent ,departemen ini memproduksi lampu pijar model PX.60.
Penelitian difokuskan pada permasalahan defect hasil proses produksi lampu pijar
(GLS).Timbulnya cacat yang dikategorikan sebagai Critical to Quality (CTQ)
disebabkan 4 faktor yaitu manusia, mesin, material, dan metode. Keempat faktor
tersebut diduga sebagai potensial causes.
Dengan menggunakan QCC dan Seven tools sebagai alat analisis dan improve
diketahui proses yang menghasilkan cacat terbesar selama periode Peb-April 2006, yaitu
pada proses Sealing, Mounting, Basing, Stem dan Exhaust, dengan proporsi 25,11%,
24,94 %, 23,33 %, 20 %, dan 6,23 %. Sebagai tindak lanjut dari informasi itu digunakan
diagram fishbone untuk mengetahui penyebab cacat pada setiap proses dan FMEA
digunakan untuk mengetahui akar penyebab cacat kritis. Perbaikan terhadap cacat
dominan / kritis dilakukan pada proses sealing dengan proporsi cacat terbesar yaitu
25,11%. Pada jenis cacat yang mempunyai jumlah terbesar, yaitu pada tipe cacat
exhaust tube patah dengan proporsi 20% proses sealing. Analisis menyimpulkan bahwa
penyebab cacat dominan terjadinya Exhaust tube patah diakibatkan oleh kehandalan
mesin kurang, operator kurang teliti dan material jelek / tidak standar. Untuk mengatasi
hal tersebut dibuat model matrik 5W +1H., model matrik 5W + 1H tersebut dilakukan
improve berdasar alternatif yang ada. Alternatif kualitas perawatan dan perbaikan
mesin sebagai salah satu pilihan utama disamping inspeksi material diperketat sebelum
proses sealing, dan inspeksi output proses mounting. Berdasarkan alternatif terpilih
tersebut diperoleh penurunan proporsi defect secara bertahap yang semula 6.59 %
menjadi 4,17 % atau berkurang sebesar 2,42 %.
Kata kunci: QCC, Seven Tools, CTQ, FMEA, defect.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Kompetisi global menyebabkan persaingan antar perusahaan menjadi semakin
ketat. Agar dapat bertahan dalam persaingan, setiap perusahaan harus mampu bersaing
meningkatkan daya saingnya. Salah satu faktor penentu daya saing perusahaan adalah
kualitas disamping harga produk dan pelayanan. Pihak manajemen harus mampu
membuat keputusan tentang standar kualitas yang tepat dalam kondisi pasar yang
terus berubah. Untuk itu,diperlukan informasi yang akurat mengenai standar kualitas
yang bisa diterima oleh konsumen. Kekurangan informasi bisa berakibat fatal karena
dapat menimbulkan kesalahan dalam pengambilan keputusan yang dapat
mengakibatkan perusahan ditinggalkan para konsumen. Dengan kata lain bila tidak
terdapat adanya kesuaian terhadap produk tersebut konsumen akan pindah membeli
produk dari produsen lain. Salah satu tolok ukur yang bisa digunakan untuk mengetahui
apakah perusahaan berhasil dalam upaya peningkatan kualitasnya adalah jika
perusahaan tersebut berhasil mencapai kondisi zero defect, akan tetapi kondisi ini sangat
sulit untuk dicapai, karena produk yang cacat pasti ada walaupun sedikit dalam setiap
proses produksi. Hal ini disebabkan oleh adanya berbagai penyimpangan yang sering
terjadi dalam suatu proses produksi, baik dari segi mesin metode yang digunakan dan
tentu saja yang tidak kalah pentingnya adalah Human Error, kejadian ini akan
mengurangi kepercayaan konsumen terhadap perusahan dan mengurangi keuntungan
yang bisa didapat.
Dengan mencoba menempatkan diri sebagai produsen yang memperhatikan
kepuasan konsumen maka pelaku bisnis harus mampu memenuhi keinginan konsumen
atas kualitas produk yang dihasilkan.Untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi
maka diperlukan pengendalian dalam proses yaitu berupa pengawasan dan pengendalian
didalam setiap tahap-tahapan produksinya. Pengendalian kualitas memiliki peranan
yang sangat penting dalam pengambilan keputusan guna meningkatkan hasil produksi,
mengurangi produk cacat, menghemat biaya produksi serta dapat bersaing dipasar
global. Salah satu cara untuk mengurangi tingkat defect adalah dengan metode Quality
Control Circle (QCC). Dengan metode tersebut diharapkan akan mampu
mengidentifikasi sekaligus memperbaiki hasil proses produksi dan tingkat defect produk
yang lebih kecil. Pendekatan ini umumnya dipakai oleh berbagai perusahaan yang
selalu berusaha untuk melakukan perbaikan kualitas produk yang dihasilkan secara terus
menerus, agar bisa bersaing dengan perusahaan lainnya. Metode ini diperkenalkan oleh
W.E Deming dan WA Shewhart, yang dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai
Delapan Langkah Perbaikan Kualitas.
Di Indonesia cukup banyak perusahaan yang bergerak dalam industri bola
lampu ,salah satunya adalah PT. GE.Lighting Indonesia , perusahaan tersebut salah satu
hasil produksinya adalah bola lampu pijar dengan berbagai tipe.
Dengan banyaknya perusahaan yang membuat produk ( lampu) sejenis, maka
faktor tingkat persaingan tidak dapat dihindarkan. Setiap perusahaan mengharapkan
hasil produksinya dapat terjual dipasaran dalam jumlah besar. Sedangkan konsumen
selalu mencari produk dengan kualitas yang baik. Oleh karena itu peranan kualitas
menjadi sangat penting untuk selalu diteliti, dengan demikian PT. GE.Lighting harus
memperhatikan kualitas lampu yang berkualitas yang diproduksinya. PT. GE. Lighting
Indonesia adalah perusahan PMA dengan reputasi kualitas kelas dunia yang bergerak
dalam memproduksi berbagai jenis lampu, salah satu jenis produknya adalah lampu
pijar. Dengan akan diterapkannya perekonomian pasar bebas di Indonesia tentunya akan
menjadi tantangan tersendiri bagi PT. GE. Lighting Indonesia untuk terus
mempertahankan eksistensinya bahkan meningkatkan profit margin melalui perbaikan
dan peningkatan kualitas yang kontinu. Hal ini sesuai dengan Visi perusahaannya yaitu
“ Menjadi pemimpin dunia di bidang mutu tanpa perkecualian”. PT. GE. Lighting
Indonesia yang merupakan salah satu produsen lampu listrik yang terkemuka di dunia
untuk negara negara komersial dan Industri. Sistem produksi perusahaan ini berbasis
make -to order , sehingga perusahaan hanya akan berproduksi jika ada pesanan (jenis
dan Jumlah) produk yang dihasilkan adalah lampu pijar (IncandescentnLamp),lampu
neon FL ( Flourescent lamp ) dan lampu FCL (Flourescent Circline lamp). Tiap
tahunnya PT. GE Lighting Indonesia dapat memproduksi sekitar 100.000.000 lampu.
Dengan perincian kurang lebihnya adalah lampu pijar (GLS ) 40.000.000 lampu atau 40
%, lampu pijar dekorasi (DEC) 35.000.000 atau 35 %, lampu neon (TL) 23.000.000
atau 23 % dan lampu FCL Sebanyak 2.000.000 atau 2 %. Berdasarkan Observasi
lapangan dan Brainstorming dengan pihak manajemen perusahan, diketahui bahwa
produk lampu pijar (GLS) merupakan produk yang paling banyak diproduksi sehingga
tentu akan terdapat permasalahan kualitas sehingga akan memberi dampak yang besar
terhadap performansi perusahaan.
Pada saat ini PT. GE. Lighting Indonesia menetapkan bahwa target defect untuk
produk lampu tipe PX 60 adalah sebesar 3% dari output total, namun yang terjadi
dilapangan bahwa target tersebut selalu lebih dari 3 %. Ada beberapa faktor utama yang
dapat menyebabkan cacat- cacat diatas, hal itu bisa didapatkan dari Manpower,
Machines, Methods, Material maupun media. Hal inilah yang menjadi perhatian peneliti
untuk mengkaji lebih jauh mengapa hal itu dapat terjadi. Mengidentifikasi macam
macam defect produk tersebut., kemudian melakukan tindakan perbaikan agar kondisi
tersebut tidak terulang lagi. Berdasarkan studi pustaka terhadap penelitian terdahulu
mengenai permasalahan kualitas yang pernah dilakukan di PT. General Electric
Lighting Indonesia , maka peneliti menyimpulkan bahwa penelitian terdahulu hanya
difokuskan pada kualitas produk di bagian produksi saja, tetapi belum menyentuh pada
tingkat defect produk disetiap mesin proses produksi. Untuk penelitian ini akan
difokuskan pada bagian proses produksi yang menjadi salah satu sumber penyebab
cacat yang terjadi pada perusahaan tersebut. Hal ini tentunya akan mempengaruhi
upaya perusahaan untuk mencapai kondisi zero defect atau paling tidak mengurangi
tingkat defect yang terjadi .Oleh karena itu perlu dilakukan perbaikan secara terus
menerus.
Tujuan Penelitian
1. Mengidentifikasi variabel kualitas dan macam macam defect
2. Menemukan penyebab kritis terjadinya defect pada proses yang mempunyai tingkat
defect yang tinggi
3. Menetapkan Critical To Quality (CTQ) kunci yang disyaratkan perusahaan
4. Mendapatkan usulan perbaikan untuk mengurangi jumlah defect pada proses yang
mempunyai nilai defect tertinggi
5. Merancang program perbaikan kualitas
LANDASAN TEORI
Definisi Kualitas
Kata kualitas memiliki banyak definisi yang berbeda, dan bervariasi dari yang
konvensional sampai yang lebih strategik.Kualitas sering kali diartikan sebagai
kepuasan pelanggan (Customer Satisfaction) atau komformansi terhadap kebutuhan atau
persyaratan (comformance to the requarements ). Kualitas juga dapat diartikan sebagai
segala sesuatu yang menentukan kepuasan pelanggan dan upaya perubahan ke arah
perbaikan terus-menerus sehingga dikenal dengan istilah Quality – Meets Agreed Term
and Changes (Q-MATCH). Berdasarkan definisi di atas pada dasarnya kualitas
mengacu kepada pengertian pokok berikut serta pada Tabel 1. : [Gaspersz, 2002 : 5]
1. Kualitas terdiri dari sejumlah keistimewaan produk, baik keistimewaan langsung
maupun keistimewaan atraktif yang memenuhi keinginan pelanggan dan dengan
demikian memberikan kepuasan atas penggunaan produk itu.
2. Kualitas terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan.
Karakteristik Kualitas
Pada dasarnya sistem kualitas dapat dicirikan oleh lima karakteristik yang akan
diuraikan sebagai berikut : [ Gaspersz, 2002 : 12 ]
1. Orientasi dari sistem kualitas adalah customer.
2. Kepemimpinan sangat mempengaruhi nilai-nilai dari sistem kualitas.
3. Pentingnya pemahaman dari setiap orang terhadap tanggung jawab spesifik untuk
kualitas.
4. Pencegahan kerusakan merupakan orientasi utama dalam sistem kualitas.
5. Perbaikan secara terus-menerus ( continuous improvement ) kualitas desain, kualitas
konformansi, perbaikan efisiensi dan efektifitas dari penggunaan sumber.
Biaya Kualitas
Pada dasarnya biaya kualitas dapat dikategorikan ke dalam empat jenis, yaitu :
1. Biaya Kegagalan Internal (Internal Failure Costs), merupakan biaya-biaya yang
berhubungan dengan kesalahan dan nonkonformansi (errors and nonconformance)
yang ditemukan sebelum penyerahan produk kepada pelanggan. Contoh dari biaya
kegagalan internal adalah Scrap, pekerjaan ulang (rework), analisis kegagalan
(Failure Analysis), inspeksi ulang dan pengujian ulang (Reinspection and
Retesting), Downgrading,, Avoidable Process Losses.
2. Biaya Kegagalan Eksternal (External Failure Causes) merupakan biaya-biaya
yang berhubungan dengan kesalahan dan nonkonformansi (errors and
nonconformance) yang ditemukan setelah produk itu diserahkan kepada pelanggan.
Contoh dari biaya kegagalan eksternal adalah Jaminan (warranty), penyelesaian
keluhan (Complaint Adjusment), produk dikembalikan (Returned Product),
Allowances.
3. Biaya Penilaian (Appraisal Costs) merupakan biaya-biaya yang berhubungan
dengan penentuan derajat konformansi terhadap persyaratan kualitas (spesifikasi
yang ditetapkan). Contoh dari biaya penilaian adalah Inspeksi dan pengujian
kedatangan material, inspeksi dan pengujian produk dalam proses, inspeksi dan
pengujian produk akhir, audit kualitas produk, pemeliharaan akurasi peralatan
pengujian, evaluasi stock
4. Biaya Pencegahan (Prevention Costs), merupakan biaya-biaya yang berhubungan
dengan upaya pencegahan terjadi kegagalan internal maupun eksternal. Contoh dari
biaya pencegahan adalah perencanaan Kualitas, peninjauan ulang produk baru
(New-Product Review), pengendalian proses, audit kualitas, evaluasi kualitas
pemasok, pelatihan.
Dimensi dimensi dari kualitas
Ada delapan dimensi kualitas yang dikembangkan Garvin (dalam Lovelock,
1994; Peppard dan Rowland,1995) dan dapat digunakan sebagai kerangka perencanaan
strategis dan analisis. Dimensi-dimensi tersebut adalah:
1. Kinerja (performance) karakteristik aperasi pokok dari produk inti misalnya
kecepatan, konsumsi bahan baker, jumlah penumpang yang diangkut,kemudahan
dan kenyamanan dalam mengemudi, dan sebagainya.
2 Ciri cirri keistimewaan tambahan (features), yaitu karakteristik sekunder atau
pelengkap, misalnya kelengkapan interior dan eksterior seperti dask board, AC,
sound system, door lock system, power steering, dan sebagainya.
3 Kehandalan (reliability), yaitu kemungkinan kecil akan mengalami kerusakan atau
gagal dipakai, misalnya mobil tidak sering ngadat/ macet/ rewel/ rusak.
4 Kesesuaian dengan spesifikasi (conformance to specifications), yaitu sejauh mana
karakteristik desain dan operasi memenuhi standar- standar yang telah ditetapkan
sebelumnya. Misalnya standar keamanan dan emisi terpenuhi, seperti ukuran as roda
untuk truk tentunya harus lebih besar daripada mobil sedan.
5 Daya tahan (durability), berkaitan dengan berapa lama suatu produk dapat terus
digunakan. Dimensi ini mencakup umur teknis maupun umur ekonomis penggunaan
mobil. Umumnya daya tahan mobil buatan Amerika atau Eropa lebih baik dari pada
mobil buatan Jepang.
6 Serviceability, meliputi kecepatan, kompetensi, kenyamanan, mudah direparasi,
serta penanganan keluhan yang memuaskan. Pelayanan yang diberikan tidak
terbatas hanya sebelum penjualan, tetapi juga selama proses penjualan hingga purna
jual, yang juga mencakup pelayanan reparasi dan ketersediaan komponen yang
dibutuhkan.
7 Estetika, yaitu daya tarik produk terhadap panca indra, misalnya bentuk fisik mobil
yang menarik, model/desain yang artistic, warna, dan sebagainya.
8 Kualitas yang dipersepsikan (perceived quality), yaitu citra dan reputasi produk serta
tanggung jawab perusahaan terhadapnya. Biasanya karena kurangnya pengetahuan
pembeli akan atribut/ciri ciri produk yang akan dibeli maka pembeli akan
mempersepsikan kualitasnya dari aspek harga, nama merek, iklan reputasi
perusahaan, maupun negara pembuatnya. Umumnya orang akan menganggap merek
Mercedes dan BMW sebagai jaminan mutu
Meskipun beberapa dimensi di atas dapat diterapkan pada bisnis jasa, tetapi
sebagian besar dimensi tersebut dikembangkan berdasarkan pengalaman dan penelitian
terhadap perusahaan manufaktur
Metode Perbaikan Kualitas
Suatu perusahaan selalu berusaha untuk memperbaiki kualitas produk yang
dihasilkan secara terus menerus, agar bisa bersaing dengan perusahaan lain dan
tentunnya agar bisa diterima oleh konsumen ,maka diperlukan suatu metode untuk
melaksanakan rencana perbaikan tersebut. Berikut adalah beberapa metode perbaikan
kualitas yang salah satunya biasa digunakan
1 QCC ( Quality Control Cycle)
Pendekatan yang banyak dipakai oleh perusahaan perusahaan dalam melakukan
perbaikan kualitas adalah siklus atau daur PDCA yang merupakan singkatan dari Plan-
Do-Check-Act. Pendekatan ini diperkenalkan oleh W.E Deming dan WA Shewhart,
sehingga siklus PDCA ini juga dikenal sebagai siklus Deming atau siklus pengendalian.
Yang kemudian dalam perkembangannya lebih dikenal sebagai Delapan Langkah
Perbaikan Kualitas
2 TQM( Total Quality Management)
Total Quality Management suatu sistem manajemen yang dinamis dengan
melibatkan seluruh anggota perusahaan dalam rangka usaha memelihara,
mengembangkan dan meningkatkan mutu disegala bidang, dengan menerapkan konsep
dan teknik pengendalian mutu sehingga dapat memberikan kepuasan kepada pelanggan
dan anggota perusahaan.
TQM merupakan suatu konsep yang berupaya melaksanakan sistem manajemen
kualitas kelas dunia. Untuk itu diperlukan perubahan besar dalam budaya dan sistem
nilai suatu organisasi.Gagasan kunci ketiga adalah pengembangan strategi untuk
mencapai tujuan jangka panjangnya. Setiap perusahaan harus menentukan strategi mana
yang paling masuk akal dilihat dari posisinya dalam industri dan tujuan yang ingin
dicapainya, peluang yang dihadapinya dan sumber daya yang dimilikinya.
3 Continous Improvement
ISO 9001:2000 tidak menetapkan langkah-langkah apa yang harus dilakukan
oleh manajemen organisasi, ketika menetapkan peningkatan terus-menerus agar
memenuhi persyaratan dari Klausul 8.5.1 dalam ISO 9001: 2000 (peningkatan terus-
menerus). Yang dituntut oleh ISO 9001: 2000 adalah bahwa harus ada bukti yang
menunjukan komitmen keterlibatan manajemen organisasi untuk peningkatan sistem
manajemen kualitas melalui pengukuran, pemantauan, analisis, dan peningkatan kinerja
proses terus-menerus. Dalam hal ini setiap organisasi dapat menentukan sendiri
langkah-langkah apa yang dilakukan untuk peningkatan terus-menerus dari efektivitas
Sistem Manajemen Kualitas ISO 9001: 2
4. Six Sigma
Six Sigma Motorola merupakan suatu metode atau teknik pengendalian dan
peningkatan kualitas dramatik yang diterapkan oleh perusahaan Motorola sejak tahun
1986, yang merupakan terobosan baru dalam bidang manajeman kualitas. Six Sigma
Motorola dikembangkan dan diterima industri karena mampu melakukan peningkatan
kualitas secara dramatik menuju tingkat kegagalan nol (zero defect). Perusahaan
Motorola kurang lebih 10 tahun setelah implementasi konsep Six Sigma telah mampu
mencapai tingkat kualitas 3,4 DPMO (Defect per million opporunities- kegagalan per
sejuta kesempatan). Ide dasar dari prinsip-prinsip six sigma berasal dari 3-sigma
Statistical Quality Control tetapi implementasinya sangat berbeda.
Apabila produk (barang/jasa) diproses pada tingkat kualitas Six Sigma,
perusahaan boleh mengharapkan 3,4 kegagalan per satu juta kesempatan (DPMO) atau
mengharapkan 99,99966 persen dari apa yang diharapkan pelanggan akan ada dalam
produk itu. Dengan demikian Six Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem
industri tentang bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok
(industri) dan pelanggan (pasar).
5. Quality Function Deployment (QFD)
Quality Function Deployment adalah suatu proses perencanaan sistematis yang
dikembangkan untuk membantu tim dalam menyusun semua elemen-elemen yang
dibutuhkan untuk mendefinisikan, mendesain, dan menghasilkan sebuah produk (jasa)
yang dapat memenuhi kebutuhan pelanggan. (Daetz at all, 1995) Quality Function
Deployment juga merupakan suatu metoda perencanaan produk terstruktur dan juga
merupakan metoda pengembangan yang memungkinkan tim pengembang suatu
perusahaan untuk menjelaskan spesifikasi keinginan dan kebutuhan pelanggan sehingga
mereka dapat mengevaluasi kelebihan dan kekurangan dari setiap produk atau jasa yang
ditawarkan.
Quality Function Deployment adalah suatu metodologi untuk menterjemahkan
kebutuhan dan keinginan konsumen ke dalam suatu rancangan produk yang memiliki
persyaratan teknis dan karakteristik kualitas tertentu. (Akao, 1990). Quality Function
Deployment lebih mengutamakan keinginan pelanggan. Keinginan pelanggan
merupakan input utama QFD sebagai Voice of Costumer, dimana keluarannya adalah
berupa prioritas peningkatan kualitas.
6. TQC(Total Quality Control)
TQC merupakan pemikiran Armand feigenbaum yang dikemukakan pada tahun
1956, pendapatnya adalah bahwa pengendalian harus dimulai dari perancangan produk
dan berakhir hanya jika produk telah sampai ke tangan pelanggan yang puas. Prinsip
utamanya adalah “Quality is Everybody’s Job”.Ia menyatakan bahwa kegiatan kualitas
dapat dikelompokkan ke dalam tiga kategori, yaitu pengendalian rancangan baru,
pengendalian bahan baku yang baru datang, dan pengendalian product/ shop
Tujuh Alat Kendali Mutu (Seven Tools)
1 Lembar Periksa (Check Sheet)
2 Diagram Pareto (Pareto Diagram)
3 Diagram Fishbone / Diagram Ishikawa/Cause-Effect Diagram
4 Histogram
5 Diagram Scatter (Scatter Diagram)
6 Peta-Peta Kontrol (Control Charts)
7 Stratifikasi Analysis
Delapan Langkah Perbaikan Kualitas
METODOLOGI PENELITIAN
Tahap Identifikasi
Tahap Identifikasi merupakan titik tolak dalam penelitian.. Tahap ini dilakukan
untuk mempermudah penelitian. Studi ini dilakukan di perusahaan PT. GE. LIGHTING
INDONESIA tepatnya pada Departemen Incandescent. Dari hasil identifikasi, diperoleh
informasi mengenai produk lampu pijar (GLS) yang merupakan produk paling banyak
diproduksi sehingga tentu akan terdapat permasalahan kualitas sehingga akan memberi
dampak yang besar terhadap performansi perusahaan. Tahap ini terdiri atas Identifikasi
Masalah, Perumusan Tujuan Penelitian, Observasi Lapangan dan studi pustaka
Studi Pustaka
Studi pustaka dilakukan untuk mencari landasan teori yang dapat digunakan dalam
memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh perusahaan. Tujuan dari tahapan ini
adalah untuk memberikan kerangka berfikir selama penelitian sehingga diperoleh
pegangan atau kajian ilmiah yang diperlukan dalam penelitian sebagai landasan ilmiah
yang berguna dan menjadi bahan refrensi ataupun sebagai titik tolak pembanding
terhadap hasil penelitian.
Tahap Pengumpulan dan Pengolahan Data
Data diperoleh langsung dari lokasi penelitian, artinya perolehan data yang didapat
merupakan informasi yang sesuai dan relevan dengan penelitian ini. Data yang
diperlukan dalam penelitian ini didapat dengan menggunakan dua teknik, yaitu : teknik
pengamatan dan wawancara. Sedangkan pengolahan data dilakukan untuk mengetahui
akar penyebab cacat dari keenam proses produksi pada departemen Incandescent bagian
Quality Control dan Produksi, pengolahan dilakukan dengan Seven Tools dan software
Minitab
Tahap Analisa dan Pembahasan
Setelah pengolahan data dilakukan ,langkah berikutnya adalah melakukan
analisis, analisis dilakukan berdasarkan pengumpulan dan hasil pengolahan data yang
telah dilakukan pada tahap sebelumnya serta pembahasan masalah berdasarkan
alternatif-alternatif yang ada dengan menggunakan Fishbone diagram dan FMEA.
Sedangkan rencana perbaikan dilakukan dengan cara Membuat model matrik 5W+1H
dengan proses Brainstorming
Tahap Kesimpulan
Tahapan ini merupakan akhir dari tahapan penelitian, yaitu melakukan penarikan
kesimpulan dan saran yang didasarkan pada langkah sebelumnya . Dan ini merupakan
jawaban dari permasalahan yang ada, proses manakah yang kritis harus diberi prioritas
perbaikan ,serta memberikan rekomendasi pada perusahaan apa yang sebaiknya
dilakukan perusahaan guna perbaikan terhadap hasil penelitian yang telah dilakukan
untuk ditindaklanjuti
pecah bibir flare 640 Molor (LIW menyen tuh gelas) 662
JUMLAH = 7394
mowire tidakngerol 0
JUMLAH 1836
JUMLAH=6872
Data Jenis cacat pada proses utama Periode Pebr-Apr 2006 yang dominan disetiap stasiun kerja
No Mesin Jumlah prosentase Jenis defect yang Jumlah prosentase
defect dominan pada
proses
1 Stem 5890 20 Patah exhaust tube 1208 4,10
bawah
2 Mounting 7344 24,94 Mowire tidak lengkap 4488 15,24
3 Sealing 7394 25,11 Exhaust tube patah 1460 4,95
4 Exhaust 6,23 Pecah gelas pada 1174 3,99
1836 bodi
5 Basing 6872 23,33 putus filament 1644 5,58
Jumlah 29336 Jumlah 9974 33,86
8000 7344 7394 1,2
6872
7000
5890 1
6000
0,8
5000
4000 0,6
3000
1836 0,4
2000
0,2
1000
0 0
Stem Mounting Sealing Exhaust Basing
10000
5000
0
Flare Stem Mounting Sealing Exhaust Basing
Peb. 0 4774 8082 6150 1192 7634
Maret 0 4080 7842 10672 3102 4000
April 0 8778 6110 5362 1216 8990
Rata-rata 0 5890 7344 7394 1836 6872
Mesin
Gambar 4.2 Grafik Defect pada proses produksi lampu pijar Periode Pebr-Apr 2006
Gambar 5.3 Pareto diagram proses sealing Gambar 5.4 fishbone diagram sealing
Berdasarkan fishbone diagram diatas dapat dilihat bahwa penyebab failure mode / cacat sebagian
besar disebabkan oleh Mesin. Potensial cause pada Mesin meliputi proses pemanasan terlalu
tinggi, setingan mesin kurang center, angin tidak stabil,mesin terjadi aus . Selain dari Mesin faktor
Manusia juga berpotensi menghasilkan potensial cause yaitu ketelitian operator yang kurang
ketika melakukan inspeksi dan juga faktor material yang meliputi kondisi exhaust tube kurang
bagus, yang terjadi pada sealing. Exhaust tube patah disamping disebabkan oleh penempatan yang
tidak pas karena tidak center juga disebabkan oleh benturan keras antar exhaust ,permasalahan
tersebut juga dapat dipengaruhi juga karena kondisi exhaust tube yang tidak standar, sehingga dari
beberapa hasil brainstorming diatas dapat dirangkum dalam cause effect Diagram berikut
20 1
10 6,23 0,5
0
0 0
Flare Stem Mounting Sealing Exhaust Basing
PROSES PADA MESIN
Secara grafik dapat digambarkan perbedaan kedua hasil proses sealing yang didapatkan dalam waktu
yang berbeda tersebut yaitu
0
Pecah
nguping
menyen tuh
Coating
nyeplok
LIW fuse
lengket di
pecah bibir
cetak jelek
melembung
belang/
terbakar
Molor (LIW
gelas
Cetakan
potongan
stem
flare
Mowire Mowire
tidak tidak
3 Mounting 7344 5176 24,94 28,57 4488 2694 15,24 14,87
lengkap lengkap
Exhaust Exhaust
4 Sealing 7394 3914 25,11 21,60 tube tube 1460 750 4,95 4,14
patah patah
Pecah
Filamen
5 Exhaust 1838 1130 6,23 6,24 gelas 1174 377 3,99 2,08
terbakar
pada bodi
putus putus
6 Basing 6872 4694 23,33 25,91 1644 1184 5,58 6,53
filament filament
Jumlah 29336 18120 100 100 Jumlah 9974 5597 33,86 30,89
30
28,57
25 24,94 25,11 25,91
PROPORSI CACAT
23,33
21,6
20 20
17,69
15
10
6,23
6,24
5
0 0
Flare Stem Mounting Sealing Exhaust Basing
PROSES
sebelum
sesudah
Gambar diatas menunjukkan perbaikan terhadap mesin sealing dihasilkan proporsi cacat .Pada
mesin sealing terjadi penurunan sebesar 3,51% , Pada proses stem juga terjadi penurunan
sebesar 2,31%, Pada proses mounting dan basing terjadi peningkatan defect yaitu 3,63% dan
2,58 dan proses exhaust relatif stabil dengan peningkatan sangat kecil sebesar 0,01%.
berdasarkan gambar 5.5 dan tabel 5.8 diatas dapat direkomendasikan bahwa yang harus
dilakukan perbaikan berikutnya berturut turut adalah proses mounting dan proses basing dengan
proporsi cacat berturut turut 28,57% dan 25,91%.
KESIMPULAN
Berdasarkan penelitian dan analisa serta pembahasan maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut :
1 Sistem produksi yang ada dilakukan secara kontinu. Untuk menghasilkan sebuah
lampu pijar. GE. Lighting Indonesia melakukan beberapa tahapan proses, salah satu
prosesnya adalah proses utama. Untuk proses ini produksi lampu pijar dilakukan
sebanyak 6 tahap proses dimulai dari flare process, Stem Process, Mounting
Process, Sealing process, Exhaust process, dan berakhir Basing process
2 Penelitian yang difokuskan pada keenam proses produksi tersebut dan ditemukan
pada periode Pebruari-April 2006 terjadi kenaikan produk defect pada proses
produksi dengan rata rata kenaikan sebesar 6,59%
3 Dengan diagram Pareto ditemukan bahwa keenam proses produksi utama ditemukan
proses Sealing merupakan proses yang menghasilkan proporsi defect dominan jika
dibandingkan kelima proses lainnya dengan proporsi defect rata-rata 25,11%. disusul
proses Mounting dengan proporsi defect rata-rata 24,94% ,berikutnya proses Basing
,Stem dan Exhaust dengan proporsi rata-rata cacat 23.33%, 20%, dan 6,23%. Pada
proses Flare tidak ditemukan defect. Hal itu dikarenakan pada proses flare tingkat
defectnya sangat kecil sehingga kerusakan pada proses flare diabaikan (tidak ada).
4 Dari fishbone diagram diperoleh penyebab failure mode/cacat pada proses
mounting, Stem, sebagian besar disebabkan Mesin , sedangkan cacat pada proses
sealing, exhaust disebabkan Material sedangkan cacat pada proses Basing
disebabkan juga oleh mesin
5 Setelah dilakukan perbaikan terhadap mesin sealing dihasilkan perubahan proporsi
cacat pada proses yaitu sebagai berikut: proses mesin sealing terjadi penurunan
sebesar 3,51%, dan proses stem juga terjadi penurunan sebesar 2,31%, tetapi proses
mounting dan basing terjadi peningkatan defect yaitu 3,63% dan 2,58% sedangkan
proses exhaust relatif stabil dengan peningkatan sebesar 0,01%. Perbaikan setelah
proses mesin sealing secara berturut turut adalah proses mounting dan proses basing
dengan proporsi cacat 28,57% dan 25,91%. Sedangkan setelah improve dilakukan
telah terjadi penurunan defect secara keseluruhan sebesar 2,42% yang semula
sebesar 6,59% menjadi 4,17 %
DAFTAR PUSTAKA
Akao, Yoji, Quality Function Deployment: Integrating Costumer Requrements into
Product Design, Portland, Productivity Press, 1990.
Ariani, Dorothea W. Manajemen Kualitas. Edisi I, Universitas Atmajaya, Yogyakarta:
1999
Assauri , Sofjan, 1980, Management produksi, Jakarta: Lembaga Penerbit
Prosiding Seminar Nasional Manajemen Teknologi IV
Program Studi MMT-ITS, Surabaya 5 Agustus 2006
ISBN : 979-99735-1-1
A-25-5