Bab I Entamoeba Histolytica
Bab I Entamoeba Histolytica
Bab I Entamoeba Histolytica
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Penyakit infeksi merupakan salah satu masalah kesehatan penting di
negara Indonesia. Lingkungan tempat tinggal yang tidak memadai, kumuh,
kepadatan penduduk yang tinggi, menjadi faktor risiko terjadinya penularan
penyakit infeksi. Salah satu penyakit infeksi yang menyerang sebagian besar
penduduk Indonesia adalah diare. Diare terjadi akibat infeksi pada saluran
pencernaan yang dapat disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, dan parasit.
Parasit penyebab diare salah satunya adalah Entamoeba histolytica (Izzah,
2009).
Infeksi protozoa usus masih menjadi masalah kesehatan di beberapa
negara di dunia, dibuktikan dengan prevalensinya yang masih tinggi dan
tersebar luas di daearah tropik dan subtropik. Umumnya infeksi ini terjadi
pada wilayah dengan tingkat sosio-ekonomi yang rendah dan ditunjang
dengan hygiene sanitasi penduduknya yang buruk (Anorital et al., 2010).
Amebiasis merupakan suatu infeksi yang disebabkan oleh protozoa saluran
cerna yakni Entamoeba histolytica. Komplikasi extraintestinal dari infeksi
Entamoeba histolytica menyebabkan abses hati sehingga menimbulkan pus
dalam hati. Penderita umumnya mengalami demam, nyeri perut kanan atas,
hepatomegali yang nyeri spontan atau nyeri tekan. Kadang gejalanya tidak
khas, timbul perlahan-lahan atau tidak bergejala.
Kelainan pemeriksaan laboratorium yang ditemukan adalah anemia ringan
sampai sedang dan leukositosis. Komplikasi terpenting dari amoebiasis adalah
abses hati. Jika penderita tidak diobati dengan baik, proses lisis jaringan hati
berlanjut sehingga abses pecah dan menyebar ke organ-organ sekitar seperti,
paru, otak, kulit dan limpa (Soedarto, 2011).
Suatu penyakit dapat bergejala maupun tanpa gejala seperti pada
amebiasis. Pada beberapa kasus ditemukan bahwa didalam tinja manusia
normal terdapat trofozoid Entamoeba histolytica. Hal ini menunjukan bahwa
tidak semua penderita amebiasis menimbulkan gejala klinis baik berupa diare,
abses hati, maupun abses otak. Menurut beberapa penelitian, kurang lebih
90% orang yang terinfeksi Entamoeba histolytica tidak menunjukan gejala.
Individu tanpa gejala sebaiknya diobati karena ada risiko berkembang menjadi
amebiasis yang invasif, sehingga pemeriksaan tinja perlu dilakukan (Stanley,
2003).
Penderita tanpa gejala dapat menjadi sumber penularan amebiasis dari
manusia ke manusia, karena didalam tubuh penderita terdapat kista
Entamoeba histolytica sehingga skrining pada suatu komunitas sangat penting
dilakukan. Pelaksanaan skrining pun dapat bermanfaat apabila metode yang
dipakai dapat mendeteksi jumlah penderita yang tidak menunjukan gejala,
sehingga dapat dilakukan langkah-langkah antisipasi untuk mencegah
berkembangnya penyakit dan penularan ke individu lainnya.
Beberapa metode dapat digunakan untuk diagnosis amebiasis pada
manusia, seperti pemeriksaan mikroskopik, biokimia (kultur dan isoenzim),
deteksi antibodi dan antigen (ELISA), dan PCR. Setiap metode memiliki
kelebihan dan kekurangannya antara lain ELISA dan PCR biayanya mahal
serta harus memiliki fasilitas yang memadai (Izzah, 2009).
Pemeriksaan mikroskopik sering digunakan untuk diagnosis infeksi
Entamoeba histolytica karena biayanya murah dan dapat mendeteksi parasit
lainnya, namun harus dilakukan oleh orang yang terlatih dan berpengalaman.
Pemeriksaan mikroskopik akan menjadi lebih sulit bila jumlah parasitnya
sedikit. Hal diatas dapat diatasi dengan cara mengkonsentrasikan tinja
sebelum dilakukan pemeriksaan mikroskopik. Dengan metode konsentrasi ini
tinja akan tersedimentasi dan kista akan mengendap, sehingga kemungkinan
untuk mendeteksi kista akan lebih mudah (Izzah, 2009).
Faktor resiko yang paling dominan dalam menimbulkan penularan
penyakit diare terkait protozoa intestinal adalah, sarana air bersih yang dipakai
sebagai sumber air tidak memenuhi syarat kesehatan, pembuangan kotoran
berupa jamban yang tidak higiene dan tidak memenuhi syarat, pembuangan air
limbah serta pengelolaan sampah yang tidak baik.
B. DASAR TEORI
Entamoeba histolytica Entamoeba histolytica merupakan salah satu jenis
protozoa usus yang dapat mengakibatkan penyakit dalam tubuh manusia.
Entamoeba histolytica dapat menyebabkan amebiasis. Entamoeba histolytica
merupakan anggota kelas rhizopoda (rhiz=akar, podium=kaki). Amebiasis
pertama kali diidentifikasi sebagai penyakit yang berbahaya oleh Hippocrates
(460-377 SM). Ia berhasil mengidentifikasi amebiasis pada pasien yang
mengalami demam dan disentri. Kemudian, dalam Old Testament dan Huang
Ti’s Classic in Internal Medicine (140-87 SM) sudah terdapat kepustakaan
mengenai disentri. Pada tahun 1875, seorang ahli medis di St Petersburg,
Fedor Aleksandrovich Losch berhasil mengisolasi trofozoit amoeba dari tinja
seorang petani yang menderita disentri parah.
Leonard Rogers pada tahun 1912 berhasil mendesain emetine sebagai
pengobatan efektif pertama pada amebiasis. Pada tahun 1912, Walker dan
Sellards berhasil mengetahui bahwa transmisi E. histolytica berlangsung
dalam bentuk kista, bukan trofozoit. Mereka juga menemukan bahwa karier
asimtomatik merupakan reservoir yang dapat menyebabkan penularan.
Sebagian besar amebiasis terjadi melalui penularan dari individu yang
asimtomatik. Setelah itu, pada tahun 1925, Dobell menjelaskan tentang siklus
hidup E. histolytica. Pada tahun yang sama Brumpt mengajukan bahwa E.
histolytica dan E. dispar bersifat identik secara morfologis, tetapi hanya E.
histolytica yang bersifat patogen terhadap manusia.
Penemuan kultur aksenik E. histolytica pertama oleh Diamond pada tahun
1961 merupakan titik balik terbesar dalam pemahaman mengenai biologi sel
dan biokimia dari E. histolytica. Pada tahun 1978, Sargeaunt melaporkan
bahwa E. histolytica dan E. dispar dapat dibedakan melalui analisis zimodem.
Berikut merupakan penjelasan lebih lanjut mengenai patologi klinis,
morfologi, diagnosis serta daur hidup E histolityca :
1. Patologi klinis
Umumnya seseorang yang terinfeksi oleh E histolytica tidak
mengalami perubahan yang signifikan dan dapat menghilangkan parasit
tersebut tanpa menimbulkan penyakit. Akan tetapi, ada juga yang dapat
menimbulkan penyakit dalam kurun waktu lebih dari satu tahun. Penyakit
tersebut harus diobati agar tidak menular kepada lingkungan sekitar. Diare
akan didahului dengan kontak antara stadium trofozoit E histolytica dan
sel epitel kolon, melalui antigen Gal/Gal Nacletin yang terdapat di
permukaan trofozoit. Antigen terdiri dari dua kompleks disulfida. Kedua
rantai tersebut dihubungkan dengan protein. Sel epitel usus yang berikatan
dengan trofozoit akan berikatan tidak bergerak dalam waktu beberapa
menit yang kemudian akan menghilang. Invensi ameba berlanjut menuju
jaringan ekstra sel melalui sistem proteinase yang dikeluarkan trofozoit.
Sistein proteinase akan melisiskan matriks protein ekstra sel, sehingga
invensi trofozoit ke jaringan submukosa akan mudah. Trofozoit akan
menembus dan bersarang di submukosa dan membuat kerusakan yang
lebih luas pada mukosa usus, akibatnya terjadi luka yang disebut ulkus
ameba. Bentuk klinis amebiasis yang banyak dikenal adalah amoebiasis
intestinal (amebiasis kolon/usus) dan amoebiasis ekstra-intestinal.
Amebiasis ekstraintestinal biasanya terjadi pada abses hati
2. Morfologi
3. Diagnosis
Diagnosis penyakit amebiasis adalah dengan menemukan parasit di
dalam tinja atau jaringan. Diagnosis laboratorium dapat dibuat dengan
pemeriksaan mikroskopis dengan menemukan parasit dalam biakan tinja
sering dijumpai Entamoeba histolytica bersamasama dengan kristal
Charcot-Leyden. Diagnosis yang sulit mengharuskan untuk melakukan
pemeriksaan berulang-ulang. Kegagalan dapat terjadi apabila
menggunakan teknik yang salah, pencarian parasit yang kurang teliti, atau
juga sering dikacaukan dengan protozoa lain dan sel-sel artefak. Pada
amebiasis kolon akut biasanya diagnosis klinis ditetapkan bila terdapat
sindrom disentri disertai dengan sakit perut (mules). Biasanya gejala diare
berlangsung tidak lebih dari sepuluh kali dalam sehari. Diagnosis
laboratorium ditegakkan dengan menemukan Entamoeba histolytica
dalam tinja.
4. Siklus hidup
Entamoeba histolytica dibagi dalam dua tahap, yaitu bentuk kista yang
bersifat multinucleate dan keras serta bentuk trofozoit yang motil. Pada
manusia yang sebagai host alami, infeksi ini disebabkan oleh termakan
kista yang terkandung di dalam makanan atau minuman terkontaminasi
oleh tinja atau melalui kontak seksual oral-anal yang lebih jarang (Longo
et al, 2011).
Setelah ditelan, kista melewati lambung dan dilindungi dari
lingkungan yang asam oleh dinding kista, hingga ke ileum, dimana
eksistasi terjadi. Proses eksistasi ini terjadi di ileum terminal dan kolon
dalam waktu 5-6 jam. Lingkungan netral atau sedikit basa di dalam usus
diperlukan untuk proses ini. Setelah eksistasi, organisme dengan
tetranucleate tunggal segera mengalami mitosis sehingga menghasilkan
delapan trofozoit yang kecil dan metakistik, yang akan menuju ke kolon
untuk tahap selanjutnya. Penurunan aktivitas peristaltik usus
memungkinkan trofozoit lebih mapan di daerah caecum. Sebaliknya,
peningkatan motilitas usus atau volume makanan akan mengurangi potensi
pembentukan amoeba (Burtonet al, 2013).
Inhabitasi trofozoit Entamoeba histolyticaterjadi di kolon dan rektum.
Diameter trofozoit yang motil berukuran rata-rata 25mm (kisaran, 15-
60mm) dan biasanya monopodial dengan memproduksikan satu
pseudopodium yang besar dan fingerlike. Sitoplasmanya dibagi menjadi
dua zona, yaitu ektoplasme yang jelas dan refraktil dan endoplasme yang
bergranular halus dimana vakuola makanan berada. Vakuola tersebut berisi
eritrosit, leukosit dan sel epitel, serta bacteria dan bahan usus lain.
Trofozoit berproliferasi secara mitotic dengan carabinary fission di dalam
usus (Burtonet al, 2013).
Selanjutnya, ensistasi dimulai dengan sekresi membrane hialin yang
tipis oleh trofozoit pre-kista untuk membentuk dinding kista. Pada tahap
ini, kista berbentuk bulat dengan diameter rata-rata 12mm (kisaran, 10-
20mm) dan mengandung satu nukleus. Massa glikogen dan chromatoidal
bar dapat diamati. Nukelus kista akan mengalami dua kali pembelahan
mitotik untuk memproduksi empat inti vesikuler di dalam kista matang
dari Entamoeba histolytica. Kista tersebut merupakan bentuk infektif yang
akan keluar dari tubuh manusia melalui tinja, dimana glikogen dan
substansi chromatoidal akan dimetabolisme (Burtonet al, 2013).
Kista matang di dalam kolon meninggalkan host dalam jumlah besar
dan dapat bertahan hidup dan infektif di lingkungan yang lembab dan
dingin selama 12 hari. Kista ini dapat hidup sepanjang 30 hari di dalam air.
Kista matang juga resisten terhadap tingkat klorin yang biasa digunakan
untuk disinfeksi air. Meskipun demikian, kista ini tidek resisten dan cepat
dibunuh oleh pengeringan dan suhu dibawah 5 °C atau di atas 40 °C (Raza
et al, 2013).