Amoebiasis

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 28

Pendahuluan

Amebiasis merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh Entamoeba


histolytica. Amoebiasis dikenal juga dengan istilah entamoebiasis, amoebiosis, disentri
amoebik atau diare berdarah. Amebiasis merupakan infeksi protozoa yang menempati
urutan

ketiga

berdasarkan

banyaknya

tingkat

kematian

setelah

malaria

dan

schistosomiasis.
Amebiasis terjadi di seluruh dunia dan memengaruhi lebih dari lima puluh juta
orang setiap tahun. Penyakit ini sangat endemik terutama di negara berkembang, seperti
Indonesia. World Health Organization (WHO) memperkirakan bahwa 5-15% dari semua
diare pada anak di negara berkembang disebabkan oleh protozoa. Lebih dari 100.000
kematian dilaporkan akibat dari amebiasis setiap tahunnya. Amebiasis banyak ditemukan
pada kelompok homoseksual, imigran, turis yang bepergian ke daerah endemis, orang
yang tinggal di asrama, dan penderita HIV.
Sejarah penemuan Entamoeba histolytica.
1. Dikenal sejak 460 tahun sebelum masehi oleh Hipokrates
2. Pada tahun 1875, Parasit (Entamoeba histolytica) pertama kali ditemukan oleh
Losch di tinja penderita disentri di Rusia dalam bentuk trofozoit. Bentuk ini
ditemukan pada ulkus usus besar saat otopsi.
3. Pada tahun 1893, stadium kista ditemukan oleh Quinche dan Roos.
4. Pada tahun 1903, Schaudinn memberi nama pada spesis Entamoeba Histolytica
dan membedakannya dengan Entamoeba coli yang juga hidup dalam usus besar.
5. Pada tahun 1913, Walker dan Sellards melakukan eksperimen di Filipina dan
membuktikan E.histolytica sebagai penyebab kolitis amebik.
6. Pada tahun 1979, Brumpt menemukan bahwa walaupun E.histolytica dan E.dispar
tidak dapat dibedakan secara morfologi, namun hanya E. histolytica yang bersifat
patogenik.
Manifestasi amebiasis dapat terjadi pada intestinal dan ekstra-intestinal. Infeksi
dimulai pada organ intestinal, kemudian dapat menyebar ke organ lain, seperti liver, paru,
abdomen, kulit, otak bila tidak diobati secara adekuat. Pada anak, manifestasi klinis yang
sering terjadi berupa diare yang disertai darah.Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan
yang tepat untuk menghindari komplikasi yang tidak diinginkan dari amebiasis.

Epidemiologi
Amebiasis terjadi di seluruh dunia dan menginfeksi 10-12% dari populasi dunia,
Mayoritas dari populasi ini tidak menunjukkan gejala. Sebagian besar pasien (80-98%)
memiliki gejala kolitis amuba, sedangkan sisanya 0,2-20% memiliki gejala ekstraintestinal, dimana abses hati merupakan manifestasi ekstra-intestinal yang paling sering
terjadi. Insiden amebiasis sangat bervariasi di berbagai belahan dunia. Prevalensi infeksi
bervariasi antara 1% di negara industri, hingga 50% dan 80% di negara yang beriklim
tropis. Prevalensi E. histolytica di berbagai daerah di Indonesia, sekitar, 10-18%. Di RRS,
Mesir, India, dan Belanda berkirsar di angka 10,1%-11,5%. Tingkat prevalensi tersebut
meningkat sangat cepat sehingga telah dilaporkan bahkan pada neonatus. Kasus
amoebiasus pada neonatus memang jarang dilaporkan, tetapi kematian yang terjadi
karena kolitis yang disebabkan oleh amuba sangat tinggi terjadi pada bayi. Kematian
yang disebabkan oleh amebiasis invasif sangat tinggi, sehingga penyakit parasitik ini
merupakan penyebab kematian ketiga yang paling sering terjadi di dunia. Prevalensi
infeksi tertinggi ditemukan pada orang dewasa. E.H menyebabkan 11% kasus diare di
India. Loshak telah melaporkan prevalensi kolitis amuba yang tinggi pada pasien diare
akut, dimana infeksi E.H ini ditemukan pada lebih dari separuh pasien dengan diare akut.
Hasil yang serupa diamati di Mesir, dimana 57,1% dari pasien dengan diare akut juga
memiliki hasil positif E.H pada pemeriksaan. Salah satu penelitian di Indonesia
mengemukakan bahwa prevalensi amebiasis usus pada anak dengan diare berdarah
bervariasi dari berbagai laporan, yaitu antara 11-14,9%. Pada penelitian yang dilakukan
terhadap 889 orang anak dengan diare berdarah, didapati bahwa 58 anak (6,5%) memiliki
amuba usus berdasarkan temuan dari bentuk trofozoit dalam spesimen tinja; sementara
spesimen dengan kista saja, tanpa trofozoit ditemukan pada 10 anak (1,1%). Sekitar 40
(58,8%) subjek anak laki-laki dan sekitar 39,7% dari pasien yang berusia di bawah 12
bulan.

Morfologi dan Daur Hidup E. histolytica


Trofozoit: Trofozoit memiliki diameter 12- 60m, dikelilingi oleh membran sel lipidprotein tiga lapis yang menjadi karakteristik dari pseudopodia ameboid dan
memungkinkan trofozoit untuk bergerak dan melakukan fagositosis (proses penyerapan
partikel makanan). Sitoplasma dibedakan menjadi ektoplasma dan endoplasma yang
berbulir, dan terdiri dari sitosol yang menjadi tempat untuk banyak organel sel seperti
endosom, lisosom, apparatus golgi, vakuola dengan sel darah merah, dan massa glikogen.
Ektoplasma berwarna bening homogen (bagian tepi sel, terlihat nyata).
Ektoplasma membentuk pseudopodium yang besar dan lebar seperti daun, dibentuk
mendadak, pergerakannya cepat ke satu arah. Endoplasma mengandung bakteri dan sisa
makanan.

Terdapatnya

sel

darah

merah

pada

endoplasma

disebut

sebagai

erythrophagocytosis (tanda patognomonik infeksi E. histolytica). Trofozoit Entamoeba


histolytica tidak mengandung mitokondria. Massa glikogen hanya terdapat pada fase
kista muda; kista yang matur tidak berisi massa glikogen. Selain itu, kista merupakan ciri
khas dari spesies E. histolytica. Di sisi lain, kista berisi batang kromatoid yang tumpul.
Struktur ini dapat terlihat jelas dengan pemberian tetesan iodin atau trichrome (Teknik
Gomori-Whatley).
Trofozoit E. histolytica berisi satu inti bulat, di mana materi genetik (DNA)
terkonsentrasi dalam bentuk kecil, padat, pada bagian tengah maupun perifer dari
karyosome. Inti sel seperti ini hanya dimiliki oleh E. histolytica. Bentuk dan posisi
karyosome serta penempatan kromatin dalam inti sel digunakkan untuk membedakan
setiap amuba.
Trofozoit merupakan parasit otonom, dimana parasit ini mampu menjalankan
semua fungsi vital, termasuk siklus hidup parasit pada tubuh host. Trofozoit
mensekresikan enzim proteolitik yang spesifik (hialuronidase, sistein proteinase)
menyebabkan degradasi dan sitolisis sel yang telah diserang oleh E.H. Protease telah
terbukti mengganggu polimerisasi MUC2, komponen utama dari lapisan lendir (mucin)

kolon. Mucin yang terdegradasi ini kurang efisien untuk mencegah kontak antara
trofozoit dan sel-sel epitel. Demikian pula, penghancuran protein matriks ekstraselular
juga dapat memfasilitasi invasi trofozoit. Inhibitor protease sistein mengurangi ukuran
abses hati dalam model eksperimental, sehingga memberikan bukti pada peran protease
dalam patogenesis. Trofozoit berkembang secara belah pasang.

Kista: Kista dari E. histolytica merupakan stadium infektif dari parasit ini. Kista adalah
trofozoit yang dikelilingi oleh membran spesifik. Kista ini mampu bertahan dalam
kondisi buruk di lingkungan eksternal selama beberapa hari. Hal ini disebabkan karena
kista ini dilapisi oleh membran berlapis yang berisi, antara lain, kitin, yang sebagian
besar berfungsi untuk mencegah pertukaran zat interior kista dan lingkungan eksternal.
Kista memiliki diameter 10-20 m, biasanya berbentuk bulat, dan berisi 1, 2, 3 atau 4
inti. Karakteristik kista E. histolytica yang matur mengandung glikogen di dalam
sitoplasmanya dengan bentuk yang tidak teratur, dan bila diberikan yodium Lugol akan
terlihat gelap dengan warna oranye kecokelatan.

Daur Hidup
Kista matang tertelan > tiba di lambung dalam keadaan utuh (tahan asam) > dinding
kista dicerna di terminal usus halus > eksitasi > keluar stadium trofozoit > masuk
ke rongga usus besar (invasi jaringan)> secara hematogen menyebar ke jaringan hati,
paru, otak, kulit, vagina.

Patofisiologi dan Manifestasi Klinis


Bentuk klinis yang paling umum dari amebiasis adalah sebagai berikut.
Disentri akut, intestinal amebiasis: Penyakit ini dimulai ketika trofozoit dari E.
histolytica melekat pada sel epitel usus besar dengan Gal khusus/ GalNAc lectin,
heterodimer yang terdiri dari tiga subunit dengan berat molekul Total 260 kDa. Trofozoit
menempel pada mukosa usus dan mensekresikan enzim proteolitik tertentu seperti
hialuronidase, proteinase sistein, dan cathepsin B, yang menghasilkan reaksi lokal
inflamasi, obstruksi, degradasi pada sel yang diserang oleh amuba, dan memfasilitasi
trofozoit untuk menginvasi lebih lanjut hingga jaringan submukosa usus. Trofozoit dari
amuba menyebabkan induksi enzim siklooksigenase-2 (COX-2) pada lapisan usus,
menyebabkan peningkatan sekresi prostaglandin E2 (PGE2), yang berkontribusi untuk
menstimulasi proses inflamasi. Trofozoit dari Entamoeba histolytica mengeluarkan
polipeptida tertentu, yang disebut pori amuba (amoebapores), dan menyebabkan sitolisis
sel pada lapisan usus. Hal ini disebabkan oleh karena hilangnya organel sel dapat
menstimulasi amoebapores dalam jaringan yang terinfeksi oleh E. histolytica. Sitolisis sel
juga disebabkan oleh induksi proses apoptosis oleh trofozoit Entamoeba histolytica.

Seiring progresifitas penyakit, mukosa usus yang meradang kemudian berkembang secara
abnormal dan mengalami ruptur, sehingga menyebabkan perdarah masif yang bahkan
dapat mengancam nyawa. Oleh karena itu, bentuk klinis dari penyakit ini disebut sebagai

disentri amoeba (amebiasis).


Amebiasis usus akut ditandai dengan adanya diare yang disertai lendir dan darah, nyeri
perut, mual, kembung, serta demam. Pada kondisi diare berat, berlangsung untuk waktu
yang lama, disertai dengan perdarahan dan ulkus, individu tersebut dapat mengalami
dehidrasi berat, gangguan elektrolit, hingga gangguan kardiovaskular dan kematian.
Diare yang berkepanjangan sangat berbahaya untuk bayi dan anak-anak karena kelompok
ini

sangat

rentan

terhadap

dehidrasi

dan

ketidakseimbangan

asam-basa.

10

11

Amebiasis intestinal kronik: Apabila fase akut amebiasis tidak diobati, kasus ini dapat
berkembang menjadi kronis. Sindrom ini ditandai dengan gejala yang bergantian seperti,
diare berdarah dan sembelit (konstipasi) dengan tingkat keparahan yang beragam dari
berbagai gejala kolitis ulserativa kronis, hipersensitivitas dari usus (iritasi usus),
pembesaran dan nyeri liver, demam ringan, serta kehilangan berat badan dan anemia.
Komplikasi:

Acute necrotizing colitis sakit berat, demam, diare dengan lendir dan darah,
nyeri perut dengan tanda iritasi peritoneum. Penyakit dapat berkembang menjadi

perforasi usus dan membutuhkan tindakan bedah.


Toxic megacolon
Ameboma akibat pembentukan jaringan granulasi kolon berbentuk cincin,
tunggal atau multipel. Pada pemeriksaan histologi dapat ditemukan jaringan
kolagen dan fibroblas disertai tanda peradangan menahun. Ameboma ini

menyerupai karsinoma kolon.


Amebiasis kutis
Ulkus perianal yang membentuk fistula

Amoebik hepatitis: Hepatitis amoebik terjadi akibat amebiasis usus akut. Hal ini terjadi

12

karena transfer trofozoit Entamoeba histolytica melalui hematogen dari usus ke hati.
Hepatitis amuba memiliki manifestasi berupa nyeri hati karena pembesaran, demam, dan
menggigil. Hasil laboratorium menunjukkan peningkatan enzim ALT dan AST.
Abses liver amuba (ALA): Penyakit ini merupakan komplikasi yang sangat umum dan
berbahaya dari amebiasis usus akut. Trofozoit, melalui hematogen, menyebar dari usus ke
liver dan menyebabkan perubahan berupa inflamasi, fibrosis dan nekrosis lokal lobulus
hati, sehingga terjadi pembentukan abses, yang berisi dengan nanah tebal. Manifestasi
penyakit ini berupa nyeri di kuadran kanan atas, gejala positif Chelmonski, hepatomegali,
suhu demam tinggi, kurang nafsu makan, penurunan berat badan. Selain itu, hasil
laboratorium dapat menunjukan leukositosis dan peningkatan ESR. Jika tidak diobati,
abses

liver

ini

dapat

mematikan.

13

Bentuk lain dari amebiasis: Abses liver amoebik dalam tubuh dapat menyebabkan
abses amuba di berbagai organ tubuh lainnya, seperti paru, perikardial, limpa, otak, ginjal
atau kandung kemih. Abses dapat terjadi terutama pada pasien AIDS. Abses amuba
terkadang memerlukan tindakan bedah untuk pengangkatan. Bila infeksi menyebar
hingga ke permukaan diafragma liver, maka penderita dapat mengalami nyeri pleura
kanan atau nyeri yang menjalar sampai ke kanan. Pada fase sub-akut dapat ditemukan
penurunan berat badan, demam, dan nyeri abdomen difus. Abses lebih banyak terbentuk
di lobus liver kanan, bersifat soliter, dan berisi nanah berwarna coklat.
Abses liver yang tidak diobati bisa pecah dan menyebar per kontinuinatum. Ameba
kemudian menembus diafragma, masuk ke rongga pleura dan paru, meninmbulkan abses
paru, dan menimbulkan abses paru. Abses liver dapat menyebar ke abdomen dan
menyebabkan peritonitis atau menembus kulit dan menimbulkan amebiasis kulit.
Amebiasis rektum dapat menyebar ke anus (amebiasis perianal), perineum (amebiasis
perineal atau vagina). Amebiasis kulit dan vagina dapat berkembang menjadi bentuk
ulkus. Trofozoit juga dapat menyebar secara hematogen ke paru dan otak, sehingga

14

menimbulkan abses pada organ tersebut.

Invasi disentri subklinis: Beberapa infeksi Entamoeba histolytica dapat terjadi tanpa
manifestasi klinis (infestasi asimptomatik). Invasi asimptomatik E. histolytica terutama
terjadi pada individu yang tinggal di daerah beriklim sedang. Namun, laporan ilmiah
baru-baru ini mengatakan bahwa invasi asimptomatik pada kebanyakan kasus disebabkan
oleh spesies yang non-patologis E. dispar dan E. moshkovskii.

15

Penelitian di RSAB Harapan kita antara bulan Januari 2009 hingga Desember
2010 mengungkapkan bahwa Tenesmus ditemukan pada 10 anak (14,7%) dan anemia
diamati pada 20,6% anak dengan hemoglobin tingkat darah 11 g / dL. Serum leukosit
hitung> 10.000 / uL ditemukan pada 30,9% dari anak-anak, sementara leukosit fecal lebih
dari 10 / uL dan eritrosit tinja lebih dari 5 / uL ditemukan di 72,1% dan 75% dari anakanak, masing-masing. Tidak ada komplikasi yang ditemukan dalam mata pelajaran kami.

16

Diagnosis

17

Beberapa langkah ini perlu dilakukan untuk menginvestigasi kasus kecurigaan terhadap
amebiasis.
Investigasi kasus - identifikasi sumber infeksi potensial:

Riwayat paparan yang berkaitan dengan:


o Paparan terhadap karier/ individu yang diketahui mengalami diare selama
masa inkubasi; tentukan tanggal dan tempat
o Kontak degan individu yang baru saja bepergian ke daerah endemik dalam

periode 6 bulan sebelum onset; tentukan tanggal dan tempat


o Kontak seksual pada periode inkubasi
Riwayat bepergian
Temuan kasus dan transmisi
o Identifikasi kasus diare pada anggota keluarga dan tamu, tetangga,
maupun di lingkungan pekerjaan
18

Bila tidak terdapat faktor risiko yang dapat diidentifikasi, pertimbangkan restoran/
tempat umum atau riwayat makanan 2-6 minggu sebelum onset.

Investigasi kontak Identifikasi individu/ populasi yang terpapar:

Kontak dengan keluarga, pasangan seksual


Kontak dengan pembuat makanan
Diagnosis pasti amebiasis dapat ditegakkan dengan ditemukannya kista atau

trofozoit dari E.H pada feses atau jaringan. Spesimen tinja harus disimpan dan diberikan
pewarnaan sebelum pemeriksaan mikroskopik dilakukan. Kista ditemukan pada feses
yang berampas atau keras dan trofozoit ditemukan pada feses yang berair (diare). Tinja
segar juga dapat segera diperiksa untuk dapat mengidentifikasi motilitas dari trofozoit.
Pemeriksaan mikroskopik setidaknya dilakukan 3 kali dalam 1 minggu, karena satu kali
pemeriksaan tidak sensitif. Sel darah merah pada sitoplasma E.histolytica stadium
trofozoit menunjukan invasi E. histolytica. Motilitas stadium trofozoit menghilang dalam
20-30 menit, sehingga tinja harus disimpan dalam polyvinil alcohol atau pada suhu 4
derajat celcius dan dapat bertahan aktif hingga 4 jam. Hal yang mempengaruhi hasil
pemeriksaan mikroskopik, yaitu keterlambatan waktu pemeriksaan, jumlah tinja tidak
mencukupi, wadah tinja terkontaminasi urin atau air, penggunaan antibiotik, laksatif,
antasid, preparat antidiare (bismuth, kaolin), frekuensi pemeriksaan, tinja tidak diberi
pengawet.
Sigmoidoskopi dapat menunjukkan karakteristik ulkus, terutama pada penyakit
yang lebih berat. Aspirasi atau biopsi juga dapat diperiksa secara mikroskopik untuk
melihat adanya trofozoit. Saat ini, alat deteksi antigen tersedia untuk mengekstraksi DNA
tinja melalui metode PCR. Deteksi dengan menggunakan metode DNA ini dapat
digunakan untuk membedakan E. histolytica dari E. dispar.
Serologi sangat berguna untuk mendiagnosis amebiasis ekstraintestinal. Tujuh
puluh hingga delapan puluh persen pasien dengan kolitis akut invasif atau abses hati, dan
lebih dari 90% pasien dalam proses pemulihan, memiliki antibodi terhadap serum E.
histolytica. Antibodi ini dapat bertahan selama bertahun-tahun sehingga kita tidak dapat
membedakan infeksi masa lampau dan saat ini di daerah endemik. Teknik pencitraan noninvasif (seperti ultrasound, CT scan, Magnetic Resonance Imaging) dapat digunakan
19

untuk mendeteksi abses hati. Deteksi SOL (space occupying lesion) di dalam liver
dikombinasikan dengan hasil serologi positif memiliki sensitivitas dan spesifisitas yang
tinggi. Aspirasi abses liver dapat dilakukan, namun jarang dipakai dan hanya ditujukan
pada kasus tertentu (seperti, tidak tersedianya fasilitas serologi dan pencitraan, atau untuk
tujuan terapeutik). Hasil aspirasi tampak berupa cairan cokelat kemerahan tebal yang
jarang mengandung trofozoit. Trofozoit paling mungkin ditemukan pada dinding abses
dan bukan pada debris nekrotik yang berada di tengah abses.

Klasifikasi kasus
Kasus amebiasis dibagi menjadi beberapa klasifikasi. Klasifikasi ini digunakkan untuk
membantu menegakkan terapi/

Terkonfirmasi, amebiasis intestinal:


o Terlihat secara klinis dan terkonfirmasi dengan hasil laboratorium
Terkonfirmasi, amebiasis ekstra-intestinal:
o Terkonfirmasi secara parasitologi pada jaringan ekstra-intestinal, atau

20

o Diantara individu simtomatik (dengan temuan klinis dan radiografi sesuai


dengan infeksi ekstraintestinal), ditemukan antibodi spesifik terhadap E.
histolytica seperti yang diukur dengan inderect hemagglutination atau uji
imunodiagnostik

lain

yang

terpercaya

(seperti,

enzyme-linked

immunosorbent assay).
Probable
o Terdapat kista atau trofozoit E.histolytica pada feses berdasarkan

pemeriksaan laboratorium, tanpa informasi pada gejala klinis


Suspect
o Serologi positif pada individu asimtomatik atau pada individu dengan
gejala klinis yang belum dilaporkan

Diagnosis Banding
Diagnosis banding amebiasis intestinal adalah diare yang
disebabkan oleh shigella, salmonella, escherichia coli, campylobacter.
Secara klinis, diare yang diakibatkan oleh organisme ini sulit dibedakan,
sehingga dibutuhkan pemeriksaan yang lebih dalam. Pada tingkat pelayanan
primer, biasanya semua diare berdarah diobati sebagai shigellosis dan diberi
antibiotik kotrimoksazol. Kecurigaan terhadap amebiasis biasanya dipikirkan,
bila dalam 2 hari tidak didapatkan perbaikan. Diare yang diakibatkan oleh
salmonella biasanya disertai dengan demam kurang lebih 1 minggu, sedangkan
pada amebiasis biasanya tidak terdapat demam. Oleh karena itu, amebiasis juga
dapat memiliki diagnosis banding penyakit non-infeksi, seperti kolitis ulseratif,
IBD, atau divertikulitis. Pada divertikulitis biasanya ditemukan nyeri kolik pada
regio kiri bawah abdomen dan membaik setelah defekasi, serta dapat terjadi
painless rectal bleeding.Pemeriksaan fisik: nyeri tekan pada regio kiri bawah,
muscle guarding. Darah pada pemeriksaan colok dubur. Pada IBD, pasien
biasanya mengeluhkan adanya diare yang mengandung mukus, pus, atau darah;
nyeri abdomen; rasa tidak lampias dan ingin defekasi terus-menerus. Bila

21

terjadi komplikasi, amebiasis juga dapat didiagnosis bandingkan dengan


kolesistitis. Kolestistitis memiliki karakteristik nyeri abdomen kuadran kanan
atas dan menjalar hingga ke belakang dan ke area bahu. Pasien juga dapat
mengeluhkan adanya mual, muntah, anoreksia, dan demam, serta nyeri
abdomen setelah memakan makanan berlemak. Pasien dapat memiliki riwayat
batu empedu. Pemeriksaan fisik berupa Murphys sign positif, serta beberapa
pasien dapat tampak jaundice.

Tatalaksana
Regimen ini merupakan regimen yang direkomendasikan untuk infeksi E.histolytica yang
telah terkonfirmasi atau dengan kecurigaan tinggi:
1. Asimtomatik, cyst excreter:
Luminal amebicide, seperti iodoquinol, paromomycin, atau diloxanide.
2. Gejala intestinal ringan-sedang atau iberat (disentri) atau penyakit
ekstraintestinal (abses liver): metronidazole (or tinidazole) followed by a
therapeutic course of a luminal amebicide (iodoquinol atau paromomycin).
3. Terapi alternatif: Dehydroemetine diikuti dengan terapi luminal amebicide
untuk pasien dengan terapi penyakit invasif yang gagal atau tidak dapat
menoleransi; dan terapi alternatif untuk abses liver adalah chloroquine
phosphate bersamaan dengan metronidazole (atau tinidazole) dan bila
diperlukan, dehydroemetine, diikuti dengan luminal amebicide.

22

Obat pada amebiasis dibagi ke dalam 2 jenis, yaitu obat yang bekerja
pada lumen, dan obat yang bekerja pada jaringan.
1. Obat yang bekerja pada lumen
Obat yang bekerja pada lumen biasa. Tidak diabsorbsi baik dalam usus, sehingga
dapat membunuh stadium trofozoit dan kista pada lumen usus.
o Paromomisin (humatin)
Antibiotik golongan aminoglikosida
Hanya membunuh stadium di lumen usus
Digunakkan untuk mengeliminasi kista di lumen setelah

pengobatan dengan metronidazol atau tinidazol


Dosis: 25-35 mg/kgbb/hari terbagi dalam 8 jam, selama 7 hari.
Toksis, tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang dan

pada penderita kelainan ginjal


o Diloksanid furoat (furmaid, entamizol)
Dosis: 3 x 500 mg perhari selama 10 hari
Efek samping: kembung, mual, muntah, diare
o Iodoquinol (Iodoksin)
Golongan hidroksikuinolon
Dosis: 3 x 650 mg per hari selama 20 hari
Digunakkan untuk stadium kista setelah pemberian nitroimidazol
Tidak boleh diberikan pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal
2. Obat yang bekerja pada jaringan
o Emetin hidroklorida
Bekerja terhadap stadium trofozoit
Baik bila diberikan secara parenteral (absorbsi tidak sempurna

pada pemberian oral), intramuskular atau subkutis selama 10 hari


Dosis:
Dewasa: Maksimal 65 mg per hari
Anak di bawah 8 tahun: 10 mg per hari
Pada orang tua dan sakit berat, dosis harus dikurangi.
Tidak dianjurkan pada ibu hamil, penderita gangguan jantung dan

ginjal.
Dehidroemetin kurang toksik dibanding emetin, dan bisa diberikan

oral. Dosis maks. 0,1 gram sehari, selama 4-6 hari. Keduanya
efektik untuk pengobatan amebiasis liver.
o Metronidazole
Efektif terhadap stadium trofozoit dalam dinding usus dan jaringan

23

(amebiasis coli dan liver)


Tidak dapat membunuh stadium kista
Efek samping: mual, muntah, pusing.
Metronidazole dikombinasikan dengan diloksanid furoat ditambah

paromomisin atau tetrasiklin


Dosis: Dewasa 3x750 mg/hari 7-10 hari
Tidak diberikan pada ibu hamil trimester pertama
o Klorokuin
Amebisid jaringan yang efektif terhadap amebiasis liver
Efek samping: toksisitas ringan (mual, muntah, diare, sakit kepala)
Dosis orang dewasa: 1 gram sehari selama 2 hari, kemudian 500
mg sehari selama 2-3 minggu

24

Pada anak, kebanyakan pasien mengalami diare persisten. Oleh sebab


itu, bila pasien datang dengan keluhan diare persisten, harus dilakukan
manajemen secara bertahap sebagai berikut.
1. Penilaian awal, resusitasi dan stabilisasi
Menilai status dehidrasi dan rehidrasi secepatnya
Koreksi elektrolit (khususnya pada kondisi hipokalemia dan asidosis)
Pemberian antibiotik spektrum luas harus dipertimbangkan pada anak-anak
yang menunjukkan gambaran kondisi kegawatan atau infeksi sistemik
25

sebelum hasil kultur diperoleh


2. Pemberian nutrisi
a. Kebutuhan dan jenis diet pada diare persisten/kronis
100 kcal/kg/hari dan 2-3 g/kg/hari.
Pilihan terapi: diet elemental, berbahan dasar susu, dan ayam.
Diet elemental, terdiri atas asam amino kristalin atau protein
hidrolisat, mono- atau disakarida, dan kombinasi trigliserida rantai
panjang atau sedang.
Kelemahan: harganya mahal, rasa tidak enak (terkadang harus

menggunakkan NGT).
Diet berbahan dasar susu yang utama adalah ASI.
Keunggulan: mengatasi dan mencegah diare persisten, antara lain
mengandung nutrisi dalam jumlah yang mencukupi, kadar laktosa
yang tinggi (7 gram laktosa/100gram ASI, pada susu non-ASI
sebanyak 4,8 gram laktosa/100 gram) tetapi mudah diserap oleh
sistem pencernaan bayi, serta membantu pertahanan tubuh dalam
mencegah infeksi. Proses pencernaan ASI di lambung berlangsung
lebih cepat dibandingkan susu non-ASI, sehingga lambung cepat
kembali ke kondisi pH rendah, dengan demikian dapat mencegah
invasi bakteri ke dalam saluran pencernaan. ASI juga membantu
mempercepat pemulihan jaringan usus pasca infeksi karena

mengandung epidermial growth factors.


Diet berbahan dasar daging ayam, seperti bubur ayam
Keunggulan: bebas laktosa, hipoosmolar, dan lebih murah.

b. Pemberian mikronutrien
Minimal dua RDA (Recommended Daily Allowances) selama dua minggu.
Satu RDA untuk anak umur 1 tahun meliputi asam folat 50 mikrogram,
zinc 10 mg, vitamin A 400 mikrogram, zat besi 10 mg, tembaga 1 mg dan
magnesium 80 mg. WHO (2006) merekomendasikan suplementasi zinc
untuk anak berusia 6 bulan sebesar 10 mg (1/2 tablet) dan untuk anak
berusia >6 bulan sebesar 20 mg (1 tablet), dengan masa pemberian 10-14
hari. Meta-analisis yang dilakukan The Zinc Investigator Collaborative
Group menunjukkan bahwa pemberian zinc menurunkan probabilitas

26

pemanjangan diare akut sebesar 24% dan mencegah kegagalan terapi diare
persisten sebesar 42%.
c. Probiotik
Pemberian susu yang mengandung Lactobacillus casei, Lactobacillus
acidophillus dan Saccharomyces boulardii pada penderita diare persisten
selama 5 hari menurunkan jumlah tinja, durasi diare, dan durasi muntah
yang menyertai. Probiotik dapat mencegah terjadinya antibioticassociated diarrhea.
d. Tempe
Anak yang mendapat bahan makanan campuran tempe-terigu berhenti
diare setelah 2,39 0,09 hari (rerata), lebih cepat bila dibandingkan
dengan anak yang mendapat bahan makanan campuran beras-susu (ratarata 2,94 0,33 hari).
3. Terapi Farmakologis
Metronidazol oral (50 mg/kg dalam 3 dosis terbagi) diberikan pada kondisi
adanya trofozoit Entamoeba histolytica dalam sel darah, adanya trofozoit Giardia
lamblia pada tinja, atau jika tidak didapatkan perbaikan klinis pada pemberian dua
antibotik berbeda yang biasanya efektif untuk Shigella.
4. Follow up
o Memantau tumbuh kembang anak dan hasil terapi.
o Kegagalan manajemen nutrisi: peningkatan frekuensi BAB dan diikuti
tanda-tanda dehidrasi, atau kegagalan pertambahan berat badan dalam
waktu 7 hari.

Pencegahan
Pencegahan amebiasis pada dasarnya difokuskan pada usaha menghentikan
penyebaran secara fekal-oral dari stadium kista infektif parasit. Kista resisten terhadap
klorin dan iodin dosis rendah, sehingga air harus dididihkan sebelum diminum, dan sayur
27

mentah harus dicuci dengan sabun dan direndam pada cuka selama 15 menit sebelum
dimakan. Amebiasis dapat menyebar dalam satu rumah tangga, sehingga diperlukan
skrining pada seluruh anggota keluarga pasien. Langkah-langkah yang dapat diambil
dapat berupa, sebagai berikut.

Memberikan edukasi terhadap masyarakat tentang kebersihan pribadi, terutama

pembuangan sanitasi tinja.


Memberikan edukasi kepada jasa penyedia makanan mengenai proses penyajian

dan pengolahan yang higienis.


Memberikan edukasi kepada individu yang terinfeksi agar tidak berpartisipasi

dalam proses penyajian makanan.


Memberikan edukasi tentang risiko yang dapat diakibatkan oleh aktivitas seksual

fecal-oral.
Melakukan pengujian

kontaminasi parasit.
Menyarankan kepada invidual yang terinfeksi untuk tidak menggunakan sumber

pada persediaan air untuk mengantisipasi bahaya

air umum seperti kolam berenang. Air yang terkontaminasi merupakan sumber
penularan patogen enteric.

28

Anda mungkin juga menyukai