Vedanta
Vedanta
Vedanta
PENDAHULUAN
Vedanta Darsana adalah yang terakhir dari enam sistem filsafat India (Sad Darsana) yang
mengakui otoritas Veda (Astika), dan mendapat tempat terpenting di antara mereka. Pustaka atau
literature Vedanta adalah Upanisad, Brahmasutra dan Bhagavadgita, ketiganya disebut
Prastanatraya (tiga jalan besar). Dari ketiganya, Brahmasutra dari Badarayana menempati posisi
kunci. Sutra-sutra itu biasanya diekspresikan dalam kalimat singkat dan sering ambigu (memiliki
arti lebih dari satu) dan secara alamiah menimbulkan tafsir berbeda yang menjadi sebab lahirnya
tiga cabang Vedanta yang terkenal, yaitu; Advaita, Dvaita dan Visitadvaita.
Vedanta terdiri dari kata Sansekerta “Veda” dan “Anta”. Veda berarti ajaran-ajaran suci yang
berarti juga kitab sucinya Agama Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Anta berarti akhir,
jadi Vedanta berarti bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat inti dari
kerohanian Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita
rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa.
Vedanta sendiri merupakan bagian dari Mimamsa. Kata Mimamsa memiliki makna
“Penyelidikan”. Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan Utara Mimamsa.
Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang pertama yaitu kitab Brahmana dan Kalpasutra. Sedangkan Utara
Mimamsa atau Vedanta yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang kedua, yaitu kitab Upanisad. Purva Mimamsa sering disebut
Karma Mimamsa, sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Advaita merupakan salah satu aliran filsafat Vedanta yang juga membahas tentang hakekat
Brahman, Atman, Maya dan Moksa. Namun, setiap aliran filsafat memiliki pokok-pokok ajaran
dengan penekanan yang berbeda-beda. Dari penjelasan di atas, maka muncul pertanyaan-
pertanyaan yang menjadi permasalahan sebagai berikut.
1.3 Tujuan
1. Pembaca dapat mengetahui dan memahami sumber ajarannya, pendiri,dan sifat ajarannya
dalam Vedanta.
2. Pembaca dapat mengetahui dan memahami pokok-pokok ajaran dalam Vedanta.
Vedanta Darsana adalah yang terakhir dari enam sistem filsafat India (Sad Darsana) yang
mengakui otoritas Veda (Astika), dan mendapat tempat terpenting di antara mereka. Pustaka atau
literature Vedanta adalah Upanisad, Brahmasutra dan Bhagavadgita, ketiganya disebut
Prastanatraya (tiga jalan besar). Dari ketiganya, Brahmasutra dari Badarayana menempati posisi
kunci. Sutra-sutra itu biasanya diekspresikan dalam kalimat singkat dan sering ambigu (memiliki
arti lebih dari satu) dan secara alamiah menimbulkan tafsir berbeda yang menjadi sebab lahirnya
tiga cabang Vedanta yang terkenal, yaitu; Advaita, Dvaita dan Visitadvaita.
Vedanta terdiri dari kata Sansekerta “Veda” dan “Anta”. Veda berarti ajaran-ajaran suci yang
berarti juga kitab sucinya Agama Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup. Anta berarti akhir,
jadi Vedanta berarti bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat inti dari
kerohanian Hindu untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan cita
rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa.
Vedanta sendiri merupakan bagian dari Mimamsa. Kata Mimamsa memiliki makna
“Penyelidikan”. Mimamsa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Purva Mimamsa dan Utara Mimamsa.
Purva Mimamsa artinya penyelidikan sistematis yang pertama. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang pertama yaitu kitab Brahmana dan Kalpasutra. Sedangkan Utara
Mimamsa atau Vedanta yang artinya penyelidikan sistematis. Maksudnya, sistem ini
membicarakan bagian Veda yang kedua, yaitu kitab Upanisad. Purva Mimamsa sering disebut
Karma Mimamsa, sedangkan Utara Mimamsa disebut juga Jnana Mimamsa.
Filsafat ini sangatlah kuno yang berasal dari kumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal dengan
nama Veda. Vedānta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan analisis yang
terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama berabad-abad.
Filsafat Vedānta ini memiliki kekhususan.
Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi. Istilah Vedānta
berasal dari kata Veda-anta, artinya bagian terakhir dari Veda atau inti sari atau akhir dari Veda,
Sistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā kata ‘Vedānta’ berarti akhir dari Veda.
Sumber ajarannya adalah kitab Upanisad. Oleh karena kitab Vedānta bersumber pada kitab-kitab
Upanisad, Brahma Sūtra dan Bhagavad Gītā, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan teisme.
Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa adalah mutlak
dan tidak berpribadi (impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Tuhan yang berpribadi
(personal God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafat Vedānta dari Bādarāyana atau Vyāsa ditempatkan
sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia menempati urutan pertama
dalam kepustakaan Hindu.
Brahma Sūtra atau Vedānta Sūtra dan Bhagavad Gītā. Brahma Sūtra mengandung 556 buah Sūtra,
yang dikelompokkan atas 4 bab, yaitu Samanvaya, Avirodha, Sādhāna, dan Phala. Pada Bab I,
1. Sūtra pertama berbunyi : Athāto Brahmajijñāsā – oleh karena itu sekarang, penyelidikan
ke dalam Brahman. Aphorisma pertama menyatakan objek dari keseluruhan system
dalam satu kata, yaitu Brahma-jijñāsā yaitu keinginan untuk mengetahui Brahman.
2. Sūtra kedua adalah Janmādyasya yatah-Brahman yaitu Kesadaran Tertinggi, yang
merupakan asal mula, penghidup serta leburnya alam semesta ini.
3. Sūtra ketiga : Sāstra Yonitvāt – Kitab Suci itu sajalah yang merupakan cara untuk
mencari pengetahuan yang benar.
4. Sūtra keempat : Tat Tu Samvayāt – Brahman itu diketahui hanya dari kitab suci dan tidak
secara bebas ditetapkan dengan cara lainnya, karena Ia merupakan sumber utama dari
segala naskah Vedānta.
5. Sūtra kelima: Īksater Nā Aśabdam – Disebabkan ‘berfikir’, Prakrti atau Pradhāna bukan
didasarkan pada kitab suci.
Sūtra terakhir dari Bab IV adalah Anāvrttih Śabdāt Anāvrttih Śabdāt – tak ada kembali bagi roh
bebas, disebabkan kitab suci menyatakan tentang akibat itu. Masing-masing buku tersebut
memberikan ulasan isi filsafat itu berbeda-beda. Hal ini disebabkan oleh sudut pandangannya yang
berbeda. Walaupun objeknya sama, tentu hasilnya akan berbeda. Sama halnya dengan orang buta
yang meraba gajah dari sudut yang berbeda, tentu hasilnya akan berbeda pula.
Demikian pula halnya dengan filsafat tentang dunia ini, ada yang memberikan ulasan bahwa dunia
ini maya (bayangan saja), dilain pihak menyebutkan dunia ini betul-betul ada, bukan palsu sebab
diciptakan oleh Tuhan dari diri-Nya sendiri. Karena perbedaan pendapat ini dengan sendirinya
menimbulkan suatu teka-teki, apakah dunia ini benar-benar ada ataukah dunia ini betul-betul
maya. Hal ini menyebabkan timbulnya penafsiran yangg bermacam-macam pula. Akibat dari
penapsiran tersebut menghasilkan aliran-aliran filsafat Vedānta. Sūtra-sūtra atau Aphorisma dari
Vyāsa merupakan dasar dari filsafat Vedānta dan telah dijelaskan oleh berbagai pengulas yang
berbeda-beda sehingga dari ulasan-ulasan itu muncul beberapa aliran filsafat, yaitu:
1) Kevala Advaita dari Śrī Sankarācārya
2) Viśistādvaita dari Śrī Rāmānujācārya
3) Dvaita dari Śrī Madhvācārya
4) Bhedābedhā dari Śrī Caitanya
5) Śuddha Advaita dari Śrī Vallabhācarya, dan
6) Siddhānta dari Śrī Meykāndar.
Masing-masing filsafat tersebut membicarakan tentang 3 masalah pokok yaitu, Tuhan, alam, dan
roh. Dvaita, Viśistādvaita, dan Advaita adalah tiga aliran utama dari pemikiran metafisika, yang
Madhva mengatakan: “Manusia adalah pelayan Tuhan” dan menegakkan ajaran Dvaita-nya.
Rāmānuja berkata: “Manusia adalah cahaya dan percikan Tuhan” dan menegakkan filsafat
Viśistādvaita-nya. Śankara mengatakan: “Manusia identik dengan Brahman atau roh abadi” dan
menegakkan filsafat Kevala Advaita-nya. Nimbārkācārya mendamaikan semua perbedaan
pandangan mengenai Tuhan yang dipakai oleh Śankara, Rāmānuja, Madhva dan yang lainnya
serta membuktikan bahwa pandangan-pandangan mereka semua benar, dengan petunjuk pada
aspek terentu dari Brahman, yang berhubungan dengannya, masing-masing dengan caranya
sendiri. Śankara telah menerima realitas pada aspek transendental-Nya, sedangkan Rāmānuja
menerima- Nya pada aspek immanent-Nya, secara prinsipil, tetapi Nimbārkā telah menyelesaikan
perbedaan pandangan yang diterima oleh para pengulas yang berbeda tersebut. Perbedaan konsepsi
tentang Brahman tiada lain hanya merupakan perbedaan cara pendekatan terhadap Realitas, dan
sangat sulit bahkan hampir tak mungkin bagi roh terbatas untuk memperolehnya sekaligus
konsepsi tentang Yang Tak Terbatas atau Roh Tak Terbatas ini secara jelas, lebih-lebih lagi untuk
menyatakannya dengan istilah yang memadai. Semuanya tak dapat menjamah ketinggian filsafat
Kevala Advaita dari Śrī Śankara sekaligus dan untuk itu pikiran harus didisiplinkan seperlunya
sebelum dipakai sebagai sebuah alat yang pantas untuk memahami pendapat dari Advaita Vedānta-
Nya Śrī Śankara. Oleh karena itu kita sepatutnya merasa bersyukur dengan kehadiran beliau
sebagai Avatāra Purusa, yang masing-masing menjelmakan diri di bumi ini untuk melengkapi
suatu misi yang tak terbatas, untuk mengajarkan serta menyebarkan ajaran-ajaran tertentu, yang
tumbuh subur pada masa tertentu, yang ada pada tahapan evolusi tertentu, dan semua aliran filsafat
diperlukan, yang masing-masing dianggap paling sesuai bagi tipe manusia tertentu karena
perbedaan konsep mengenai Brahman hanyalah perbedaan pendekatan terhadap realitas.
a. Brahman
Advaita Vedanta menyatakan dalam ajarannya hanya Brahman yang ada, yang tunggal,
sedangkan jiwa perorangan adalah Brahman seutuhnya yang menampakkan diri dengan sarana
tambahan (Upadhi). Karena Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa pribadipun
memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana, tanpa terikat oleh
ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati.
Menurut Sankara, Brahman mempunyai dua wujud yaitu Para Brahman dan Apara Brahman.
Para Brahman adalah perwujudan Tuhan yang absolut tanpa sifat, tanpa bentuk, tanpa perbedaan,
dan tanpa pembatasan (Niruphadi). Dalam wujud seperti ini Tuhan disebut Nirguna Brahman.
Nirguna juga disamakan dengan Sunya Niskala, Parama Siva yaitu istilah yang digunakan untuk
Apara Brahman adalah perwujudan Brahman yang relative dalam artian Brahman memiliki sifat-
sifat dan pembatasan. Dalam wujud Apara Brahman Tuhan dipandang sebagai pencipta,
pemelihara dan pelebur alam semesta. Maka itu Tuhan dipandang sebagai Yang Maha Tahu dan
Maha Kuasa. Dalam keadaan seperti ini Tuhan dipandang sebagai Saguna Brahman atau Isvara
yang dipuja oleh manusia.
b. Atman
Hubungan Brahman dengan jiwa perorangan tidak dapat disamakan dengan hubungan antara
Brahman dengan dunia. Jiwa perorangan tidak dapat dipandang sebagai penampakan khayalan
belaka dari Brahman, sebab jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma
saja Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana tambahan (upadhi) yang
konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri.
Hubungan antara Brahman dengan Jiwa digambarkan sebagai “Kerang Perak” yang dilihat
dengan menggunakan “Kaca Kuning”. Kerang yang pada dasarnya berwarna perak itu, tampak
kuning bila dilihat dengan sarana tambahan berupa “Kaca Kuning”. “Kerang berwarna kuning”
bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang berwarna perak”. Yang tampak sama-sama
kerangnya, Cuma saja warnanya yang berbeda pada penampakan adalah “Kerang berwarna
kuning” sedangkan pada kenyataannya “Kerang berwarna perak”. “Kerang Kuning” atau Jiwa
perorangan bukanlah penampakan khayalan dari “Kerang Perak” atau Brahman seperti halnya
penampakan alam semesta. Ada unsur-unsur yang identik antara Jiwa dengan Brahman, hanya
saja Brahman memiliki keadaan yang membatasi unsur-unsur yang identic itu. Keadaan yang
membatasi itu adalah alat batin atau Antah Karana (Upadhi).
Disamping Antah Karana, ada lagi sarana tambahan yang lain yaitu berupa hasil perbuatan
sepanjang hidup manusia yang disebut dengan Karma Wasana. Karma Wasana ini ada pada
tubuh halus yang kemudian menentukan kehidupan manusia selanjutnya. Dengan adanya sarana
tambahan yang berlapis-lapis itu menyebabkan pengertian “Aku” menjadi manusia yang sangat
unik dan ruwet sekali, karena terdiri dari campuran Atman dan bukan Atman. Karena adanya
Avidya keduanya disamakan yang akibatnya menimbulkan penderitaan.
c. Maya
Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari Brahman, oleh
karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses penciptaan alam semesta,
Sankara menerima teori Samkya yakni pertemuan Purusa dan Prakerti kemudian dipengaruhi
oleh Triguna sehingga lahirlah secara berturut-turut; Budhi, Ahamkara (ego), Manas, Dasendria,
Panca Tanmantra dan Panca Mahabhuta. Gabungan dari Panca Mahabhuta inilah muncul alam
semesta beserta isinya.
d. Moksa
Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan merealisasikan bahwa
Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang diri sejati itu maka ia
mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman. Atman menurut Advaita adalah Brahman
Advaita Vedanta adalah bagian akhir dari kitab suci Veda yang menguraikan filsafat
monoisme untuk mencapai kesempurnaan hidup berupa ketentraman rohani, kestabilan
cita rasa dan karsa, serta kehidupan abadi di akhirat yang disebut Moksa.
1. Brahman: Hanya Brahman yang nyata, selain Brahman seluruh alam semesta beserta
isinya adalah maya. Sedangkan Atman adalah Brahman yang seutuhnya sehingga Jiwa
pribadipun memiliki sifat-sifat yang sama dengan Brahman, yaitu berada dimana-mana,
tanpa terikat oleh ruang dan waktu, maha tahu, tidak berbuat dan tidak menikmati.
2. Atman: Jiwa adalah Brahman yang seutuhnya tidak dapat dibagi-bagi. Cuma saja
Brahman disini menampakkan dirinya dengan sarana tambahan Antah Karana (upadhi)
yang konsekuensinya Brahman dibatasi oleh sarananya itu sendiri. Selain Antah Karana,
Karma Wasana juga ada pada tubuh halus yang kemudian menentukan kehidupan
manusia selanjutnya.
3. Maya: Alam semesta atau dunia dipandang sebagai suatu penampakan khayal dari
Brahman, oleh karena itu keadaannya tidak nyata atau semu. Sedangkan dalam proses
penciptaan alam semesta, Sankara menerima teori Samkya.
4. Moksa: Tujuan hidup tertinggi menurut Advaita adalah untuk mengetahui dan
merealisasikan bahwa Atman adalah Brahman. Barang siapa yang dapat mengetahui sang
diri sejati itu maka ia mencapai kelepasan yaitu bersatu dengan Brahman.
Gambar Vedanta.
Atmaja, I.B Oka Punia. 1989. Upanisad-Upanisad Utama. Yayasan Parijata: Jakarta Selatan
Maswinara, I Wayan.1998. Sistem Filsafat Hindu (Sarva Darsana Samgraha). Surabaya:
Paramita.
Ngurah, I Gusti Made dkk. 1999. Buku Pendidikan Agama Hindu Untuk Perguruan Tinggi.
Paramita: Surabaya.
Putra, Ngakan Putu. 2014. Kamu Adalah Tuhan. Media Hindu.
Sudiani, Ni Nyoman. 2012. Materi Ajar Mata kuliah Darsana.
Sumawa, I Wayan & Krisnu, Djokorda Raka. 1996. Materi Pokok Darsana. Universitas Terbuka:
Jakarta.