Sad Darsana

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 12

SAD DARSANA

Kata Darśana berasal dari urat kata dṛś yang artinya melihat, menjadi kata Darśana (kata benda)
artinya pengelihatan atau pandangan. Kata Darśana dalam hubungan ini berarti pandangan
tentang kebenaran (filsafat). Ilmu Filsafat adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana
caranya mengungkapkan nilai-nilai kebenaran hakiki yang dijadikan landasan untuk hidup yang
dicita-citakan.
Demikian halnya ilmu filsafat yang ada di dalam ajaran Hindu yang juga disebut dengan
Darśana, semuanya berusaha untuk mengungkapkan tentang nilai-nilai kebenaran dengan
bersumber pada kitab suci Veda. Aliran atau sistem filsafat India dibagi menjadi dua kelompok
besar, yaitu āstika dan nāstika.  Kelompok pertama terdiri atas enam system filosofis utama yang
secara populer dikenal sebagai Ṣaḍ Darśana yang dikenal dengan aliran orthodox, bukan karena
mereka mempercayai adanya Tuhan, tetapi karena mereka menerima otoritas dari kitabkitab
Veda.
Sebagai catatan, dalam bahasa India modern, kata āstika dan nāstika umumnya berarti theis dan
atheis, tetapi dalam kepustakaan filosofis Sanskṛta, kata āstika berarti ‘orang yang mempercayai
otoritas kitab kitab Veda, atau orang yang mempercayai kehidupan setelah kematian’, sedangkan
kata nāstika berarti lawannya. Di sini, kata tersebut dipergunakan dalam pengertian pertama
karena dalam pengertian yang kedua, aliran filsafat Jaina dan Buddha pun adalah āstika, karena
mereka mempercayai kehidupan setelah kematian. Dalam kedua pengertian di atas, keenam
aliran filsafat orthodox adalah āstika dan aliran filsafat Cārvāka sebagai nāstika. Pada uraian
berikut akan diuraikan tentang Ṣaḍ Darśana.
BAGIAN-BAGIAN DARI SAD DARSANA
Nyāya Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajaran
Pendiri ajaran ini adalah Rṣi Gautaman yang juga dikenal dengan nama Akṣapāda dan
Dīrghatapas, yang menulis Nyāyaśāstra atau Nyāya Darśana yang secara umum juga dikenal
sebagai Tarka Vāda atau diskusi dan perdebatan tentang suatu Darśana atau pandangan filsafat
kurang lebih pada abad ke-4 SM, karena Nyāya mengandung Tarka Vāda (ilmu perdebatan) dan
Vāda-vidyā (ilmu diskusi).
Pada tahun 400 Masehi kitab Nyāyaśāstra ini dikomentari oleh Rṣi Vāstsyāna dengan karyanya
yang berjudul Nyāya Bhāsya (ulasan tentang Nyāya). Objek utamanya adalah untuk menetapkan
dengan cara perdebatan, bahwa Parameśvara merupakan pencipta dari alam semesta ini. Nyāya
menegakkan keberadaan Īśvara dengan cara penyimpulan, sehingga dikatakan bahwa Nyāya
Darśana merupakan sebuah śāstra atau ilmu pengetahuan yang merupakan alat utama untuk
meyakini suatu objek dengan penyimpulan yang tidak dapat dihindari.
b. Sifat Ajaran
Pandangan filsafat Nyāya menyatakan bahwa dunia di luar manusia ini terlepas dari pikiran. Kita
dapat memiliki pengetahuan tentang dunia ini dengan melalui pikiran yang dibantu oleh indra.
Oleh karena itu sistem filsafat Nyāya ini dapat disebut sebagai sistem yang realistis (nyata).
Pengetahuan ini dapat disebut benar atau salah, tergantung daripada alat-alat yang diperguṇakan
untuk mendapatkan pengetahuan tersebut, dimana secara sistematik semua pengetahuan
menyatakan 4 keadaan, yaitu:
1. Subjek atau si pengamat (pramātā).
2. Objek yang diamati (prameya).
3. Keadaan hasil dari pengamatan (pramīti).
4. Cara untuk mengamati atau pengamatan (pramāṇa)

Prameya atau objek yang diamati, dengan nama pengetahuan yang benar dapat diperoleh, ada 12
banyaknya, yaitu Roh (Ātman), Badan (śarīra), indriya, objek indriya (artha), kecerdasan
(buddhi), pikiran (manas), kegiatan (pravṛtti), kesalahan (doṣa), perpindahan (pretyabhāva),
buah atau Hasil (phala), penderitaan (duhkha), dan pembebasan (apavarga). Kita membuat
perbedaan pada suatu benda karena adanya beberapa ciri-ciri pada kedua benda tersebut yang
masing-masing memiliki beberapa atribut yang tak didapati pada bagian lainnya. Karena
kekhususan atribut (viśeṣa) merupakan dasar utama dari pengamatan, maka sistem lanjutan dari
filsafat ini disebut sebagai Vaiśeṣika. Nyāya Darśana, yang utamanya bertindak pada garis ilmu
pengetahuan atau ilmiah menghubungkan Vaiśeṣika pada tahapan, di mana materi-materi
adhyatmikā (spiritual) terkandung di dalamnya, yang keduanya ini memperguṇakan Tarka
(logika) dan Tattva (filsafat) dimana filsafat dinyatakan melalui media logika.
c. Catur Pramāṇa
Nyāya Darśana dalam memecahkan ilmu pengetahuan menggunakan 4 metoda pemecahan yang
disebut Catur Pramāṇa, dengan bagian-bagian sebagai berikut:
1. Pratyakṣa Pramāṇa, yaitu pengamatan langsung Pada Pratyakṣa Pramāṇa atau pengamatan
secara langsung memberikan pengetahuan kepada kita tentang objek-objek menurut keadaannya
masingmasing yang disebabkan hubungan panca indra dengan objek yang diamati di mana
hubungan itu sangat nyata..
2. Anumāna Pramāṇa yaitu pengetahuan yang diperoleh dari suatu objek dengan menarik
pengertian dari tanda-tanda yang diperoleh (linga) yang merupakan suatu kesimpulan dari objek
yang ditentukan, disebut juga Ṣaḍya. Hubungan kedua hal tersebut di atas disebut dengan nama
Wyapi. Selanjutnya Anumāna Pramāṇa, yang sangat penting dalam suatu proses pengamatan
dalam Nyāya Darśana ini.
3. Upamāṇa Pramāṇa yaitu ilmu pengetahuan yang diperoleh melalui perbandingan. Upamāṇa
Pramāṇa merupakan cara pengamatan dengan membandingkan kesamaan-kesamaan yang
mungkin terjadi atau terjadi di dalam objek yang diamati dengan objek yang sudah ada atau
pernah diketahui.
4. Śabda Pramāṇa yaitu pengetahuan yang diperoleh dengan mendengarkan melalui penjelasan
dari sumber yang patut dipercaya. Śabda Pramāṇa adalah pengetahuan yang diperoleh melalui
kesaksian (śabda) dari seseorang yang dapat dipercaya kata-katanya ataupun dari naskah yang
diakui kebenarannya,
d. Pokok-pokok ajaran Nyāya
Objek pengetahuan filsafat Nyāya adalah mengenai
1. Ātma
2. Tentang tubuh atau badan
3. Pañca indra dengan objeknya
4. Buddhi (pengamatan)
5. Manas (pikiran)
6. Pravṛtti (aktivitas)
7. Doṣa (perbuatan yang tidak baik)
8. Pratyabhāva (tentang kelahiran kembali)
9. Phala (buah perbuatan)
10. Duḥka (penderitaan)
11. Apavarga (bebas dari penderitaan)
Di samping oleh Rṣi Vāstsyāna yang mengomentari Nyāya Sūtra dengan karyanya yang berjudul
Nyāya Bhāsya, Śrikaṇṭha menulis Nyāya-laṇkara, Jayanta menulis Nyāya-mañjari, Govardhana
menulis Nyāya-Bhodhini dan Vācaspati Miśra menulis Nyāya-Varṭṭika-Tatparya-Tīkā. Selain itu
Udayana juga menulis sebuah buku yang disebut Nyāya- Kusumāñjali. Seperti yang telah
diketahui bahwa filsafat Nyāya merupakan dasar dari semua pengantaran ajaran filsafat
Sanskṛta. Nyāya juga merupakan rangkaian pendahuluan bagi seorang pelajar filsafat, karena
tanpa pengetahuan tentang filsafat Nyāya, kita tidak akan dapat memahami Brahma Sūtra dari
Śri VyāṢaḍeva, karena filsafat Nyāya membantu untuk mengembangkan daya penalaran ataupun
pembantahan, yang membuat kecerdasan bertambah tajam dan lembut guṇa pencarian filsafat
Vedāntik.
Vaisesika Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Vaisesika yang merupakan salah satu aliran filsafat India yang tergolong ke dalam Ṣaḍ Darśana
agaknya lebih tua dibandingkan dengan filsafat Nyāya. Vaisesika dan Nyāya Darśana
bersesuaian dalam prinsip pokok mereka, seperti sifat-sifat dan hakikat Sang Diri dan teori atom
alam semesta, dan dikatakan pula Vaisesika merupakan tambahan dari filsafat Nyāya, yang
memiliki analisis pengalaman sebagai objektif utamanya. Diawali dengan susunan pengamatan
atas kategori-kategori (padārtha), yaitu perhitungan atau perumusan tentang sifat-sifat umum
yang dapat dikenakan pada benda-benda yang ada di alam semesta ini, serta merumuskan
konsep-konsep umum yang berlaku pada benda-benda yang dikenal, baik melalui indra maupun
melalui penyimpulan, perbandingan, dan otoritas tertinggi.
b. Pokok-Pokok Ajaran
Padārtha secara harfiah artinya adalah arti dari sebuah kata, tetapi di sini Padārtha adalah satu
permasalahan benda dalam filsafat. Sebuah Padārtha merupakan suatu objek yang dapat
dipikirkan (artha) dan diberi nama (pada). Semua yang ada, yang dapat diamati dan dinamai,
yaitu semua objek pengalaman adalah Padārtha. Bendabenda majemuk saling bergantung dan
sifatnya sementara, sedangkan benda-benda sederhana sifatnya abadi dan bebas. Padārtha dan
Vaisesika Darśana, seperti yang disebutkan oleh Rsi Kanada sebenarnya hanya 6 buah kategori,
namun satu katagori ditambahkan oleh penulis-penulis berikutnya, sehingga akhirnya berjumlah
7 katagori (Padārtha), yaitu:
1) Substansi (dravya).
Substansi adalah zat yang ada dengan sendirinya dan bebas dari pengaruh unsurunsur lain.
Namun unsur lain tidak dapat ada tanpa substansi. Substansi (dravya) dapat menjadi sebab yang
melekat pada apa yang dijadikannya. Atau dravya dapat menjadi tidak ada pada apa yang
dihasilkannya. Ada sembilan substansi yang dinyatakan oleh Vaisesika, yaitu (1) Tanah (pṛthivī);
(2) Air (āpah, jala); (3) Api (tejah); (4) Udara (vāyu); (5) Ether (ākāśa); (6) Waktu (kāla); (7)
ruang (dis); (8) diri/roh (Jīva); dan (9) pikiran (manas).
2) Kualitas (guṇa)
Guṇa ialah keadaan atau sifat dari suatu substansi. Guṇa sesungguhnya nyata dan terpisah dari
benda (substansi) namun tidak dapat dipisahkan secara mutlak dari substansi yang diberi sifat.
3) Aktivitas (karma)
Karma mewakili berbagai jenis gerak (movement) yang berhubungan dengan unsur dan kualitas,
namun juga memiliki realitas mandiri. Tidak semua substansi (zat) dapat bergerak. Hanya
substansi yang bersifat terbatas saja dapat bergerak atau mengubah tempatnya
4) Universalia (sāmānya)
Samanya bersifat umum yang menyangkut 2 permasalahan, yaitu sifat umum yang lebih tinggi
dan lebih rendah, dan jenis kelamin dan spesies. Dalam epistemologi, hal ini mirip dengan
konsep universalia dan agak mirip dengan idenya Plato.
5) Individualitas (viśeṣa)
Kategori ini menunjukkan ciri atau sifat yang membedakan sebuah objek dari objek lainnya.
Sistem Vaisesika diturunkan dari kata viśeṣa, dan merupakan aspek objek yang mendapat
penekanan khusus dari para filsuf Vaisesika
6) Hubungan Niscaya (samavāya)
Dimensi objek ini menunjukkan hakikat hubungan yang mungkin antara kualitas-kualitasnya
yang inheren. Hubungan ini dapat dilihat bersifat sementara (saṁyoga) atau permanen
(samavāya). Saṁyoga adalah hubungan sementara seperti antara sebuah buku dan tangan yang
memegangnya.
7) Penyangkalan, Negasi, Non-Eksistensi (abhāva)
Kategori ini menunjukkan sebuah objek yang telah terurai atau larut ke dalam partikel subatomis
terpisah melalui pelarutan universal (mahapralaya) dan ke dalam ketiadaan (nothingness).
Semua benda-benda yang ada dan bernama digolongkan sebagai bhava, sedangkan entitas yang
sudah tidak ada digolongkan sebagai abhāva
Sāṁkhya Darśana
a. Pendiri dan Pokok Ajarannya
Sāṁkhya berasal dari kata Sanskṛta ‘Sāṁkhya’ (pencacahan, perhitungan).  Dalam filsafat,
pencacahan akurat dari kebenaran telah ditentukan. Akibatnya, filsafat ini bernama ‘Sāṁkhya’.
Mungkin ada alasan lain bahwa salah satu arti dari ‘Sāṁkhya’ adalah musyawarah atau refleksi
atas hal-hal yang berkaitan dengan kebenaran. Filsafat ini mengandung musyawarah tersebut dan
kontemplasi atas kebenaran. Dalam persepsi filsafat, Pratyaksh (persepsi langsung melalui rasa-
organ), Anumān (inferensi atau kognisi mengikuti beberapa pengetahuan lainnya), dan Śhabda
(kesaksian verbal) adalah tiga pramānā yang diterima (sumber pengetahuan yang sah atau
metode mengetahui benar). Misalnya, Nyāyikās (pengikut filsafat Nyāya) telah menerima empat
Pramānā, para Mimāsakās (pengikut filsafats Mimāsa) telah menerima enam pramānā.
b. Konsep Puruṣa dan Prakṛti
Prakṛti dan Puruṣa adalah Anādi (tanpa awal) dan Ananta (tanpa akhir; tak terbatas).
Ketidakberbedaan (Aviveka) antara keduanya merupakan penyebab adanya kelahiran dan
kematian. Perbedaan antara Prakṛti dan Puruṣa memberikan Mukti (pembebasan). Baik Prakṛti
maupun Puruṣa adalah Sat (nyata). Puruṣa bersifat Asaṅga (tak terikat) dan merupakan
kesaḍaran yang meresapi segalanya dan abadi.
Prakṛti merupakan si pelaku dan si penikmat, yang tersusun dari asas materi dan rohani yang
memiliki atau terpengaruh oleh 3 Guṇa atau sifat, yaitu Sattvam, Rājas dan Tamas. Prakṛti
artinya ‘yang mula-mula’, yang mendahului dari apa yang dibuat dan berasal dari kata ‘Pra’
(sebelum), dan ‘Kri’ (membuat yang mirip dengan Māyā dan Vedānta. Prakṛti merupakan
sumber dari alam semesta dan ia juga disebut Pradhāna (pokok), karena semua akibat ditemukan
padanya dan juga merupakan sumber dari segala benda.
Pradhāna dan Prakṛti adalah kekal, meresapi segalanya, tak dapat digerakkan dan cuma satu
adanya. Ia tak memiliki sebab tapi merupakan sebab dari suatu akibat. Prakṛti hanya bergantung
pada aktivitas dari unsur pokok Guṇa-nya sendiri. Ke-3 Guṇa tersebut tak pernah dan saling
menunjang satu sama lainnya, serta saling bercampur. Ia membentuk substansi Prakṛti. Akibat
dari pertemuan antara Puruṣa dan Prakṛti timbullah ketidakseimbangan tri guṇa tersebut yang
menimbulkan evolusi atau perwujudan.
c. Tri Guṇa
Prakṛti dibangun oleh guṇa yaitu, Sattva, Rājas, dan Tamas. Guṇa artinya unsur, atau komponen
penyusunan. Guṇa itu tidak dapat kita amati dengan indra. Adanya itu disimpulkan atas objek
dunia ini yang merupakan akibat daripadanya. Karena adanya kesamaan azas antara akibat dan
sebab, maka dapat kita ketahui sifat-sifat Guṇa itu dari alam yang merupakan wujud hasil
daripadanya. Semua objek dunia ini memiliki tiga sifat yaitu sifat-sifat yang menimbulkan rasa
senang, susah, dan netral. Nyanyian burung yang menyenangkan seorang seniman, menyusahkan
orang sakit, tak berpengaruh apapun untuk orang yang acuh. Sebab semua sifat ini merupakan
akibat suatu sebab, maka sifat-sifat itu haruslah terkandung dalam Sattva, Rājas, dan Tamas itu.
d. Evolusi Alam Semesta
Prakṛti akan mengembang menjadi alam ini bila berhubungan dengan Puruṣa. Melalui
perhubungan ini Prakṛti dipengaruhi oleh Puruṣa seperti halnya anggota badan kita dapat
bergerak karena hadirnya pikiran. Evolusi alam semesta tidak mungkin terjadi hanya karena
Puruṣa, karena ia bersifat pasif. Tidak juga hal itu dapat terjadi karena ia tanpa kesadaran.
e. Ajaran tentang Kelepasan
Hidup di dunia ini adalah campuran antara senang dan susah. Banyak kesenangan dapat
dinikmati,banyak pula kesusahan dan sakit yang diderita orang. Bila orang dapat menghindarkan
diri dari kesusahan dan sakit, maka ia tak dapat menghindarkan diri dari ketuaan dan kematian.
Ada tiga macam sakit dalam hidup ini yaitu Adhyātmika, Adhibāutika, dan Adhidāivika.
1. Adhyātmika adalah sakit karena sebab-sebab dari dalam badan sendiri seperti kerja alat-
alat tubuh yang tidak normal dan gangguan perasaan. Dengan demikian ia merupakan
gangguan perasaan. Ia merupakan gangguan jasmani dan rohani seperti sakit kepala,
takut, marah, dan sebagainya.
2. Adhibāutika adalah sakit yang disebabkan oleh faktor luar tubuh, seperti terpukul, kena
gigitan nyamuk, dan sebagainya.
3. Adhidāivika adalah sakit karena tenaga gaib seperti setan, hantu dan lain-lainnya.
Yoga Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Kata Yoga berasal dari akar kata ‘yuj’ yang artinya menghubungkan. Yoga merupakan
pengendalian aktivitas pikiran dan merupakan penyatuan roh pribadi dengan roh tertinggi.
Hiraṇyagarbha adalah pendiri dari sistem Yoga. Yoga yang didirikan oleh Mahāṛṣi Patañjali,
merupakan cabang atau tambahan dari filsafat Sāṁkhya. Ia memiliki daya tarik tersendiri bagi
para siswa yang memiliki temperamen mistis dan perenungan. Ia menyatakan bersifat lebih
orthodox dari pada filsafat Sāṁkhya, yang secara langsung mengakui keberadaan dari Makhluk
Tertinggi (Ìśvara). Tuhan menurut Patañjali merupakan Purūṣa istimewa atau roh khusus yang
tak terpengaruh oleh kemalangan kerja, hasil yang diperoleh dan cara perolehannya. Pada-Nya
merupakan batas tertinggi dari benih kemahatahuan, yang tanpa terkondisikan oleh waktu,
merupakan guru bagi para bijak zaman dahulu. Dia bebas selamanya.
b. Pokok-Pokok Ajarannya
Yoga-nya Mahāṛṣi Patañjali merupakan Aṣṭāṅga-Yoga atau Yoga dengan delapan anggota, yang
mengandung disiplin pikiran dan tenaga fisik. Haṭha Yoga membahas tentang cara-cara
mengendalikan badan dan mengatur pernapasan yang memuncak dari Rāja Yoga. Sādhanā yang
progresif dalam Haṭha Yoga membawa pada keterampilan Haṭha Yoga. Haṭha Yoga merupakan
tangga untuk mendaki menuju tahapan puncak dari Rāja Yoga. Bila gerakan pernapasan
dihentikan dengan cara Kumbhaka, pikiran menjadi tak tertopang.

c. Penjelasan Rāja Yoga atau Aṣṭāṅga-Yoga


1. Yama dan Niyama
Pelaksanaan Yama dan Niyama membentuk disiplin etika, yang mempersiapkan siswa-siswa
Yoga untuk melaksanakan Yoga yang sesungguhnya. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan
tanpa kekerasan, kejujuran, pengendalian nafsu, tidak mencuri dan tidak menerima pemberian
yang mengantar pada kehidupan mewah; dan melaksanakan kemurnian, kepuasan,
kesederhanaan mempelajari kesucian dan berserah diri kepada Tuhan. Siswa Yoga hendaknya
melaksanakan:
 Ahiṁsā atau tanpa kekerasan, yaitu jangan melukai makhluk lain baik dalam pikiran atau
pun perkataan. Perlakukanlah pihak lain seperti engkau ingin memperlakukan diri sendiri.
 Satya atau kebenaran dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
 Asteya atau pantang mencuri atau menginginkan milik orang lain
 Bramacarya atau pembujangan dalam pikiran, perkataan, dan perbuatan
 Aparigraha atau pantang kemewahan yang melebihi apa yang diperlukan

Kelima pantangan ini merupakan sesuatu yang bersifat universal (mahāvrata) atau sumpah luar
biasa yang harus dipatuhi,tanpa alasan pengelakan berdasarkan Jati (kedudukan pribadi), Deśa
(tempat kediaman), Kāla (usia dan waktu) dan Samāyā (keadaan). Ia harus dilaksanakan oleh
semua orang, tak ada pengecualian terhadap prisip-prinsip ini.

2.  Āsana, Prāṇāyāma dan Pratyāhara


Āsana merupakan sikap badan yang mantap dan nyaman. Āsana atau sikap badan merupakan
bantuan secara fisik untuk konsentrasi. Bila seseorang memperoleh penguasaan atas āsana, ia
bebas dari gangguan pasangan-pasangan yang berlawanan. Prāṅāyāma atau pengaturan napas
memberikan ketenangan dan kemantapan pikiran serta kesehatan yang baik. Pratyāhara adalah
pemusatan pikiran, yaitu penarikan indra-indra dari objek-objeknya. Yama, Niyama, Āsana.
prāṇāyāma, dan Pratyāhara merupakan tambahan bagi Yoga.
3.  Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi
Dhāraṇa, Dhyāna, dan Samādhi merupakan 3 tahapan berturut-turut dari proses yang sama dari
konsentrasi mental dan karena itu merupakan bagian dari keseluruhan organ. Dhāraṇa adalah
usaha untuk memusatkan pikiran secara mantap pada suatu objek. Dhyāna merupakan pemusatan
yang terus menerus tanpa henti dari pikiran terhadap objek. Samādhi adalah pemusatan pikiran
terhadap objek dengan intensitas konsentrasi demikian rupa sehingga menjadi objek itu sendiri.
Pikiran sepenuhnya bergabung dalam penyamaan dengan objek yang dimeditasikan. Saṁyama
atau konsentrasi, meditasi dan samādhi merupakan hal yang sama dan satu yang memberikan
suatu pengetahuan dari objek supra alami. Siddhi merupakan hasil sampingan dari konsentrasi
yang sesungguhnya merupakan halangan terhadap pelaksanaan samādhi atau kebebasan, yang
merupakan tujuan dari disiplin Yoga
4.  Yoga Samādhi dan Ciri-cirinya
Dhyāna atau meditasi memuncak dalam samādhi. Objek meditasi adalah Samādhi. Samādhi
merupakan tujuan dari disiplin Yoga. Badan dan pikiran menjadi mati sementara sedemikian
rupa terhadap semua kesan-kesan luar. Hubungan dengan dunia luar lepas. Dalam samādhi,
Yoga memasuki ketenangan tertinggi yang tak tersentuh oleh suara-suara yang tak henti-hentinya
dari dunia luar. Pikiran kehilangan fungsinya. Indriya-indriya terserap ke dalam pikiran. Bila
semua perubahan pikiran terkendalikan si pengamat yaitu Puruṣa, terhenti dalam dirinya sendiri.
Patañjali mengatakan hal ini dalam Yoga Sūtra-nya sebagai Svarūpa Awasthānam (kedudukan
dalam diri seseorang yang sesungguhnya).
d. Kondisi Guna Berhasil dalam Rāja Yoga
Para calon spiritual yang menginginkan untuk mencapai perwujudan Tuhan hendaknya
melaksanakan kedelapan anggota Yoga ini. Pada penghancuran ketidakmurnian melalui
pelaksanaan delapan anggota dari Yoga, muncullah sinar kebijaksanaan yang membawa ke
pengetahuan pembedaan. Guna mencapai Samādhi atau penyatuan dengan Tuhan, pelaksanaan
Yama dan Niyama merupakan suatu keharusan. Siswa Yoga hendaknya melaksanakan Yama dan
mematuhi Niyama secara berdampingan. Tak mungkin mencapai kesempurnaan dalam meditasi
dan Samādhi tanpa berusaha melaksanakan Yama dan Niyama. Kamu tak dapat
mengkonsentrasikan pikiran tanpa melepaskan kepalsuan, kebohongan, kekezaman, nafsu dan
sebagainya yang berada di dalam. Tanpa konsentrasi pikiran, meditasi dan Samādhi tidak dapat
dicapai.
e. Lima Tingkatan Mental Menurut Aliran Filsafat Patañjali
Kṣipta, Muḍha, Vikṣipta, Ekagra dan Niruddha, merupakan lima tingkatan mental, menurut
aliran Rāja Yoga dari Patañjali. Tingkatan Kṣipta adalah pada saat pikiran mengembara diantara
berbagai objek duniawi dan pikiran dipenuhi dengan sifat Rājas. Tingkatan Muḍha, pikiran
berada dalam keadaan tertidur dan tak berdaya disebabkan sifat Tamas. Tingkatan Vikṣipta
adalah keadaan pada saat sifat Sattva melampaui, dan pikiran goyang antara meditasi dan
objektivitas. Sinar pikiran secara perlahan berkumpul dan bergabung. Bila sifat Sattva
meningkat, akan memiliki kegembiraan pikiran, pemusatan pikiran, penaklukan indriya-indriya
dan kelayakan untuk perwujudan ātman. Tingkatan ekagra adalah pada saat pikiran terpusatkan
dan terjadi meditasi yang mendalam sifat Sattva terbebas dari sifat Rājas dan Tamas. Tingkatan
niruddha adalah pada saat pikiran di bawah pengendalian yang sempurna. Semua Vṛtti pikiran
dilenyapkan.
f. Lima Kleśa dan Pelepasannya
Menurut Patañjali, avidyā (kebodohan), asmitā (keakuan), rāga-dveṣa (keinginan dan antipati,
atau suka dan tidak suka) dan abhiniweśa (ketergantungan pada kehidupan duniawi) merupakan
5 kleśa besar atau mala petaka yang menyerang pikiran. Ada keringanan dengan cara
melaksanakan Yoga terus menerus, tetapi tidak menghilangkan secara total. Mereka akan muncul
lagi pada saat mereka menemukan situasi yang menyenangkan dan menguntungkan. Tetapi
Asaṁprajñata samādhi (pengalaman mutlak) menghancurkan sekaligus benih-benih dari
kejahatan ini. Avidyā merupakan penyebab utama dari segala kesulitan. Keakuan merupakan
hasil langsung dari avidyā, yang memberi kita keinginan dan kebencian, serta menyelubungi
pandangan spiritual. Pelaksanaan yoga samādhi melenyapkan avidyā. Kriyā Yoga memurnikan
pikiran, melunakkan 5 kleśa dan membawa pada keadaan samādhi. Tapas (kesederhanaan),
svadhyāya (mempelajari dan memahami kitab suci) dan Ìśvara-praṁidhāna (pemujaan Tuhan
dan penyerahan hasilnya pada Tuhan) membentuk Kriyā Yoga. Pengusahaan persahabatan
(Maitrī) terhadap sesama, kasih sayang (karuṇa) terhadap yang lebih rendah, kebahagiaan
(mudita) terhadap yang lebih tinggi, dan ketidakacuhan (upekṣā) terhadap orang-orang kejam
(atau dengan memandang sesuatu menyenangkan dan menyakitkan, baik dan buruk)
menghasilkan ketenangan pikiran (citta prasāda). Seseorang dapat mencapai samādhi melalui
kepatuhan pada Tuhan yang memberikan kebebasan. Dengan Ìśvara-praṁidhāna, siswa yoga
memperoleh karunia Tuhan. Abhyāsa (pelaksanaan) dan Vairāgya (kesabaran, tanpa keterikatan)
membantu dalam pemantapan dan pengendalian pikiran. Pikiran hendaknya ditarik berkali-kali
dan dibawa ke pusat meditasi, apabila ia mengarah keluar menuju objek duniawi. Ini merupakan
abhyāsa yoga. Pelaksanaan menjadi mantap dan terpusatkan, apabila secara terus menerus
selama beberapa waktu tanpa selang waktu dan dengan penuh ketaatan. Pikiran merupakan
sebuah berkas Tṛṣṇa (kerinduan).
Mīmāmsā Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Pūrva Mīmāmsā atau Karma Mīmāmsā atau yang lebih dikenal dengan Mīmāmsā, adalah
penyelidikian ke dalam bagian yang lebih awal dari kitab suci Veda; suatu pencarian ke dalam
ritual-ritual Veda atau bagian Veda yang berurusan dengan masalah Mantra dan Brāhmana saja
disebut Pūrva Mīmāmsā karena ia lebih awal daripada Uttara Mīmāmsā (Vedānta), dalam
pengertian logika, dan tidak demikian banyak dalam pengertian kronologis.
Mīmāmsā sebenarnya bukanlah cabang dari suatu sistem filsafat, tetapi lebih tepat kalau
disebutkan sebagai suatu sistem penafsiran Veda dimana diskusi filosofisnya sama dengan
semacam ulasan kritis pada Brāhmana atau bagian ritual dari Veda, yang menafsirkan kitab
Veda dalam pengertian berdasarkan arti yang sebenarnya. Sebagai filsafat Mīmāmsā mencoba
menegakkan keyakinan keagamaan Veda. Kesetiaan atau kejujuran yang mendasari keyakinan
keagamaan Veda terdiri atas bermacam-macam unsur, yaitu :
1. Percaya dengan adanya roh yang menyelamatkan dari kematian dan mengamati hasil dari
ritual di surga.
2. Percaya tentang adanya kekuatan atau potensi yang melestarikan dampak dari ritual yang
dilaksanakan.
3. Percaya bahwa dunia adalah suatu kenyataan dan semua tindakan yang kita lakukan
dalam hidup ini bukanlah suatu bentuk illusi.
Tokoh pendiri dari sistem filsafat Mīmāmsā adalah Mahāṛṣi Jaimini yang merupakan murid dari
Mahāṛṣi Vyāsa telah mensistematir aturan-aturan dari Mīmāmsā dan menetapkan keabsahannya
dalam karyanya itu dimana aturan-aturannya sangat penting guna menafsirkan hukum-hukum
Hindu. Beliau menulis kitab Mīmāmsā Sūtra yang menjadi sumber ajaran pokok Mīmāmsā.
Sūtra pertama dari Mīmāmsā Sūtra berbunyi: Athato Dharmajijñasa, yang menyatakan
keseluruhan dari sistemnya yaitu, suatu keinginan utnuk mengetahui Dharma atau kewajiban,
yang tekandung dalam pelaksanaan upacara-upacara dan kurban-kurban yang diuraikan oleh
kitab Veda. Dharma yang diperintahkan Kitab Veda, dikenal dengan Śruti yang pelaksanaannya
memberi kebahagiaan. Seorang Hindu harus melaksanakan nitya karma seperti saṅdhyā-
vandana. Serta naimitika karma selama ada kesempatan, untuk mendapatkan pembebasan, yang
dapat dikatakan sebagai kewajiban tanpa syarat.
b. Sifat Ajarannya
Ajaran Mīmāmsā bersifat pluralistis dan realistis yang mengakui jiwa yang jamak dan alam
semesta yang nyata serta berbeda dengan jiwa. Karena sangat mengagungkan Veda, maka
Mīmāmsā menganggap Veda itu bersifat kekal dan tanpa penyusun, baik oleh manusia maupun
oleh Tuhan. Apa yang diajarkan oleh Veda dipandang sebagai suatu kebenaran yang mutlak.
Menurut filsafat Mīmāmsā, pelaksanaan upacara keagamaan adalah semata-mata perintah dari
Veda dan merupakan suatu kewajiban yang mendatangkan pahala. Kekuatan yang mengatur
antara pelaksanaan upacara tersebut dengan pahalanya disebut apūrva. Pelaksanaan apūrva
memberikan ganjaran kepada si pelaksana kurban, karena apūrva merupakan mata rantai atau
hubungan yang diperlukan antara kerja dengan hasilnya. Apūrva adalah Adṛṣṭa, yang merupakan
kekuatan-kekuatan yang tak terlihat yang sifatnya positif.
c. Pokok-pokok ajarannya
Mengenai Jīva, Mīmāmsā menyatakan bahwa jiwa itu banyak dan tak terhingga, bersifat kekal,
ada di mana-mana dan meliputi segala sesuatu. Karena adanya hubungan antara jiwa dengan
benda, maka jiwa mengalami avidyā dan kena Karmavesana. Jaimini tidak mempercayai adanya
Mokṣa dan hanya mempercayai keberadaan Svarga (surga), yang dapat dicapai melalui karma
atau kurban. Para penulis yang belakangan hadir seperti Prabhakāra dan Kumārila, tak dapat
menyangkal tentang masalah pembebasan akhir, karena ia menarik perhatian para pemikir
filsafat lainnya. Prabhakāra menyatakan bahwa penghentian mutlak dari badan yang disebabkan
hilangnya Dharma dan A-Dharma secara total, yang kerjanya disebabkan oleh kelahiran
kembali, merupakan kelepasan atau pembebasan mutlak, karena hanya dengan Karma saja tak
akan dapat mencapai pembebasan akhir.
Pandangan Kumārila mendekati pandangan dari Advaita Vedānta yang menetapkan bahwa Veda
disusun oleh Tuhan dan merupakan Brahman dalam wujud suara. Mokṣa adalah keadaan yang
positif baginya, yang merupakan realisasi dari Ātman. Menurut Jaimini, pelaksanaan kegiatan
yang dilarang oleh kitab suci Veda merupakan sādhanā atau cara pencapaian surga. Karma
Kāṇḍa merupakan pokok dari Veda yang menjadi penyebab belenggu adalah pelaksanaan dari
kegiatan yang dilarang (nisiddha karma). Sang Diri adalah jaḍa cetana, gabungan dari
kecerdasan tanpa perasaan. Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa isi pokok ajaran Jaimini
adalah “Laksanakanlah upacara kurban dan nikmati hasilnya di Surga”.
Dalam sistem Mīmāmsā dikenal dua jenis pengetahuan yaitu, immediate dan mediate. Immediate
adalah pengetahuan yang terjadi secara tiba-tiba, langsung dan tak terpisahkan. Sedangkan
mediate ialah pengetahuan yang diperoleh melalui perantara. Objek dari pengetahuan immediate
haruslah sesuatu yang ada atau zat. Pengetahuan yang datangnya tiba-tiba dan tidak dapat
ditentukan terlebih dahulu disebut nirvikalpa pratyakṣa atau alocāna-jñana. Dari pengetahuan
immediate objeknya dapat dilihat tetapi tidak dapat dimengerti. Objek dari pengetahuan mediate
juga sesuatu yang ada dan dapat diinterprestasikan dengan baik berdasarkan pengetahuan yang
dimiliki.
Dalam pengetahuan mediate objeknya dapat dimengerti dengan benar, pengetahuansemacam ini
dinamakan savikalpa Pratyakṣa. Mīmāmsā Sūtra, yang terdiri atas 12 buku atau bab Mahāṛṣi
Jaimini merupakan dasar filsafat Mīmāmsā, sedangkan ulasan-ulasan lain selain Prabhakāra dan
Kumārila, juga dari penulis lain seperti dari Bhava-nātha Miśra, Śabarasvāmīn, Nilakaṇṭha,
Raghavānanda dan lain-lainnya. Prabhakāra menyatkan bahwa sumber pengetahuan kebenaran
(pramāṇa) menurut Mīmāmsā adalah sebagai berikut:
1. Pratyakṣa : pengamatan langsung.
2. Anumāna : dengan penyimpilan.
3. Upamāṇa : mengadakan perbandingan.
4. Śabda : kesaksian kitab suci atau orang bijak.
5. Arthāpatti : penyimpulan dari keadaan.
6. An-upalabdhi: pengamatan ketidakadaan.
Vedānta Darśana
a. Pendiri dan Sumber Ajarannya
Filsafat ini sangatlah kuno yang berasal dari kumpulan literatur bangsa Arya yang dikenal
dengan nama Veda. Vedānta ini merupakan bunga diantara semua spekulasi, pengalaman dan
analisis yang terbentuk dalam demikian banyak literatur yang dikumpulkan dan dipilih selama
berabad-abad. Filsafat Vedānta ini memiliki kekhususan.
Yang pertama, ia sama sekali impersonal, ia bukan dari seseorang atau Nabi. Istilah Vedānta
berasal dari kata Veda-anta, artinya bagian terakhir dari Veda atau inti sari atau akhir dari Veda,
yaitu ajaran-ajaran yang terkandung dalam kitab Upaniṣad. Kitab Upaniṣad juga disebut dengan
Vedānta, karena kitab-kitab ini merupakan jñana kāṇda yang mewujudkan bagian akhir dari
Veda setelah Mantra, Brāhmaṇa dan Āraṇyaka yang bersifat mengumpulkan.
b. Sifat Ajarannya
Sistem filsafat Vedānta juga disebut Uttara Mīmāmsā kata ‘Vedānta’ berarti akhir dari Veda.
Sumber ajarannya adalah kitab Upaniṣad. Oleh karena kitab Vedānta bersumber pada kitab-kitab
Upaniṣad, Brahma Sūtra dan Bhagavad Gītā, maka sifat ajarannya adalah absolutisme dan
teisme. Absolutisme maksudnya adalah aliran yang meyakini bahwa Tuhan yang Maha Esa
adalah mutlak dan tidak berpribadi (impersonal God),sedangkan teisme mengajarkan Tuhan
yang berpribadi (personal God). Uttara-Mīmāmsā atau filsafat Vedānta dari Bādarāyaṇa atau
Vyāsa ditempatkan sebagai terakhir dari enam filsafat orthodox, tetapi sesungguhnya ia
menempati urutan pertama dalam kepustakaan Hindu.
c. Pokok- Pokok Ajaran Vedānta
Vedānta mengajarkan bahwa nirvāna dapat dicapai dalam kehidupan sekarang ini, tak perlu
menunggu setelah mati untuk mencapainya. Nirvāna adalah kesadaran terhadap diri sejati. Dan
sekali mengetahui hal itu, walau sekejap, maka seseorang tak akan pernah lagi dapat diberdaya
oleh kabut individualitas. Terdapat dua tahap pembedaan dalam kehidupan, yaitu yang pertama,
bahwa orang yang mengetahui diri sejatinya tak akan dipengaruhi oleh hal apapun. Yang kedua
bahwa hanya dia sendirilah yang dapat melakukan kebaikan pada dunia Seperti yang telah
disebutkan tadi bahwa filsafat Vedānta bersumber dari Upaniṣad.

Anda mungkin juga menyukai