MAKALAH TASAWUF ESYYYYyyyyyyy

Download as docx, pdf, or txt
Download as docx, pdf, or txt
You are on page 1of 24

“Pengertian Tasawuf Akhlaqi / Amali Beserta Ajaran, Karya dan

Pengaruh Dari As-Sulami, Abu Na’im Al-Asbahani dan Al-Qusyairy”


(Untuk Memenuhi Tugas Individu Mata Kuliah Ilmu Tasawuf)

Dosen Pengampu : Prof. Dr. Arrafie Abduh M.Ag

Disusun Oleh :

Esy Sukma Nurmadhani (12030327408)

STUDI AGAMA AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN

UIN SULTAN SYARIF KASIM RIAU

2022
“The Meaning Of Moral Sufism / Practice Sufism Along With The Teachings,
Works And Influences Of As-Sulami, Abu Na’im Al-Asbahani and Al-Qusyairi"
Email: [email protected]
Abstract; The essence of Islam is morality, namely the morals between a
servant and his Lord, between a person and himself, between him and others,
including members of the community and their environment. Moral Sufism is
Sufism that is oriented towards improving morals, seeking the essence of
truth and realizing humans who can be knowladge to Allah, with certain
methods that have been formulated. Sufism practice is a continuation of moral
sufism because someone who wants to relate to Allah SWT then he must
clean his soul. To achieve a close relationship with God, one must obey and
implement the Laws or religious provisions. Obedience to religious provisions
must be followed by outward and spiritual practices. As-Sulamī underlined the
importance of emphasizing Sufism on obedience to the read, leaving the case
of lust, ta'dzim to the teacher, and being forgiving. In the concept of
remembers, al-Sulami argues that the comparison between remembers and
thought is more perfect in thought, because the truth is preached by
remembers not by thought in the process of spiritual opening. There are
several levels of remembers, namely tongue remembers, heart remembers,
sirr dhikr (secret), and spirit remembers. Abu Nu'aim al Ashbahani. The name
Ashbahan, which is a relative of its name, is a city that still exists today,
located in Iran. At the time of Abu Nu'aim the study was very focused or
taught to feel the read because it was the first obligation for every Muslim, but
besides that at that time it was also allowed and many people had carried out
the narration of tradition. Al-Qusyairi is a figure of Sufism in the 5th century
Hijri in Naisabur who tends to reform, namely by returning Sufism to the basis
of the read and As-Sunnah. It can be said that Al-Qusyairi is one of the
scholars who vehemently denies the accusation that the Sufis are separated
from the Laws. This is the background of the birth of the works of al-Qusyairi,
al-Risalah al-Qusyairyyah and Tafsir Latha'if al-Isign. Actually, this book was
written by him for the Sufi group of people in several Islamic countries in the
year 473 H, then it was widely circulated throughout the place because its
contents were intended to make improvements to Sufi teachings which at that
time had deviated a lot from the sources of Islamic law. As for the teachings
of moral Sufism according to Al-Qusyairi namely, Controlling Sufism to the
Ahlussunnah Foundation, mental health, and deviations of the Sufis.
Keywords: Moral Sufism, Practice Sufism, Teachings, Works, Influences, As-
Sulami, Abu Nua’im Al-asbahani, Al-Qusyairi

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL

ABSTRACT........................................................................................................
i

DAFTAR ISI........................................................................................................
ii

BAB I : PENDAHULUAN....................................................................................
1

A. Latar Belakang...................................................................................
1
B. Rumusan Masalah.............................................................................
1

BAB II : PEMBAHASAN.....................................................................................
2

A. Pengertian Tasawuf Akhlaki / Tasawuf Amali....................................


2
B. Pandangan Tasawuf Akhlaki/Tasawuf Amali Menurut Para Tokoh...
7

BAB III : PENUTUP............................................................................................


19

A. Kesimupulan......................................................................................
19

ii
DAFTAR KEPUSTAKAAN..................................................................................
20

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf sebagai ajaran pembersihan hati dan jiwa memiliki
sejarah perkembangan dari masa ke masa. Dalam sejarah
perkembangannya, para ahli tasawuf membagi tasawuf menjadi dua,
yaitu tasawuf yang mengarah pada teori-teori perilaku dan tasawuf
yang mengarah pada teori-teori rumit yang memerlukan pemahaman
mendalam. Pada perkembangannya, tasawuf yang berorientasi ke
arah pertama sering di sebut dengan tasawuf akhlaki dan amali. Ada
yang menyebutkan sebagai tasawuf yang banyak dikembangkan kaum
salaf. Adapun tasawuf yang berorientasi ke arah kedua disebut
tasawuf falsafi.1
Oleh karena itu penulis ingin membahas lebih lanjut mengenai
tasawuf Akhlaki/Amali dalam perspektif As-Sulami, Abu Nu’aim Al-
Asbahani dan Al-Qusyairy.

B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang akan kami bahas pada makalah kali
ini diantaranya :
1. Bagaimana pengertian mengenai tasawuf akhlaki / amali ?
2. Bagaimana pandangan tasawuf akhlaki / amali menurut As-
Sulami, Abu Na’im Al-Asbahani dan Al-Qusyairy ?

1
Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 62-63

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Tasawuf Akhlaki / Tasawuf Amali


1) Pengertian Tasawuf Akhlaki

Tasawuf akhlaki adalah tasawuf yang berorietasi pada


perbaikan akhlak, mencari hakikat kebenaran dan mewujudkan
manusia yang dapat ma'rifat kepada Allah Swt, dengan metode-
metode tertentu yang telah dirumuskan. Tasawuf akhlaki biasa juga
disebut dengan istilah tasawuf sunni. Tasawuf akhlaki model ini
berusaha untuk mewujudkan akhlak mulia dalam diri si sufi, sekaligus
menghindarkan diri dari akhlak madzmumah (tercela). Tasawuf akhlaki
ini menjadi prikehidupan ulama salaf al-shaleh dan mereka
mengembangkannya dengan sebaik- baiknya.

Secara etimologi tasawuf akhlaqi adalah kajian ilmu yang


sangat memerlukan praktik untuk menguasainya. Tidak hanya berupa
teori sebagai sebuah pengetahuan, tetapi harus dilakukan dengan
aktifitas kehidupan manusia. Di dalam diri manusia juga ada potensi-
potensi atau kekuatan-kekuatan. Ada yang disebut dengan fitrah yang
cenderung kepada kebaikan. Ada juga yang disebut dengan nafsu
yang cenderung kepada keburukan. (Artani Hasbi, 2006, 78) 2

Dengan demikian tasawuf akan menghantarkan manusia pada


tercapainya “supreme akhlaki” (keunggulan akhlak). Sehingga bisa

2
A. Gani, Tasawuf Amali Bagi Pencari Tuhan, (Bandung: CV. Alfabeta, 2019), hlm. 34

2
3

mencapai insan kamil, mencontoh tokoh sufi ideal dan terbesar dalam
sejarah Islam, yakni Nabi Muhammad Saw, karena beliaulah suri-
tauladan terbaik bagi seluruh umat manusia, Pada hakekatnya, para
kaum sufi telah membuat sebuah sistem yang tersusun secara teratur
yang berisi pokok-pokok konsep dan merupakan inti dari ajaran
tasawuf akhlaki. (Hadi Mukhtar, 2009, 59)3

Oleh karena itu dalam tasawuf akhlaki mempunyai tingkatan


sistem pembinaan akhlak yang tersusun sebagai berikut:

1. Takhalli
Takhali berarti membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari
maksiat lahir dan maksiat batin. Takhalli merupakan langkah
pertama yang harus di lakukan oleh seorang sufi. Takhalli adalah
usaha mengosongkan diri dari perilaku dan akhlak tercela. Salah
satu dari akhlak tercela yang paling banyak menyebabkan akhlak
jelek antara lain adalah kecintaan yang berlebihan kepada urusan
duniawi.
2. Tahalli
Tahalli adalah upaya mengisi dan menghiasi diri dengan jalan
membiasakan diri dengan sikap, perilaku, dan akhlak terpuji.
Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa
dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama
baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang
disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat
formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat

3
A. Gani, Tasawuf Amali Bagi Pencari Tuhan, (Bandung: CV. Alfabeta, 2019), hlm. 35
4

dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada


Tuhan.4
3. Tajalli
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui
pada fase tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya
adalah fase tajalli. Kata tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib.
Agar hasil yang telah diperoleh jiwa dan organ-organ tubuh –yang
telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan sudah terbiasa
melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang
dilakukan dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang
mendalam dengan sendirinya akan menumbuhkan rasa rindu
kepada-Nya.5

2) Pengertian Tasawuf Amali


Tasawuf ‘amali merupakan kelanjutan dari tasawuf akhlaqi
karena seseorang yang ingin berhubungan dengan Allah Swt maka ia
harus membersihkan jiwanya, sebagaimana Allah berfirman:
“dan Allah menyukai orang-orang yang bersih” (Qs.al-Taubah:108)
dan “Sesungguhnya Allah menyukai orang yang bertobaat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri” (Qs.al-Baqarah: 222).”6
Untuk mencapai hubungan yang dekat dengan Tuhan,
seseorang harus mentaati dan melaksanakan Syariat atau ketentuan
ketentuan agama. Ketaatan pada ketentuan agama harus diikuti
dengan amalan-amalan lahir maupun batin yang disebut Thariqah
4
Alba Cecep, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Oflset, 2012), hlmn. 212
5
Alba Cecep, Tasawuf dan Tarekat, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya Oflset, 2012),hlm 213
6
Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah.
5

sebagai jalan menuju Tuhan. Dalam amalan-amalan lahir batin itu


orang akan mengalami tahap demi tahap perkembangan ruhani.
Ketaatan pada Syari’ah dan amalan-amalan lahir-batin akan
mengantarkan seseorang pada kebenaran hakiki (haqiqah) sebagai
inti Syariat dan akhir Thariqah. Kemampuan orang mengetahui
haqiqah akan mengantarkan pada ma’rifah, yakni mengetahui dan
merasakan kedekatan dengan Tuhan melalui qalbu. Pengalaman ini
begitu jelas, sehingga jiwanya merasa satu dengan yang diketahuinya
itu Tasawuf amali adalah tasawuf yang membahas tentang bagaimana
cara mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Apabila dilihat dari sudut amalan dan ilmu yang dipelajari,
terdapat 4 aspek yang harus dipelajari dalam aliran tasawuf amali,
yaitu:
a. Syaria’t
Syaria’t berasal dari kata syara’, secara etimologi mempunyai
arti “jalan-jalan yang bisa ditempuh air”, maksudnya adalah jalan yang
harus ditempuh manusia untuk menuju jalan Allah SWT.
Secara umum, syaria’at merupakan hukum (segala ketentuan yang
ditetapkan Allah SWT) yang mengatur seluruh sendi kehidupan umat
muslim di dunia, mulai dari urusan hubungan antar manusia dengan
Tuhan, manusia dengan manusia (Habuminallah Habuminannas),
kunci menyelesaikan masalah kehidupan baik dunia dan akhirat,
rukun, syarat, halal-haram, perintah dan larangan, dan sebagainya.
Sumber syaria’t sendiri berada dalam Al-Quran dan As-Sunnah. 7
b. Thariqat

7
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf.”
(Yogyakarta: Aura Media). hlm. 30
6

Thariqat (‫ )ط رق‬berarti “metode” atau “jalan”, yang secara


konseptual terkait dengan haqiqah/ hakikat atau kebenaran sejati.
Dalam aliran tasawuf atau sufisme, thariqat berarti jalan yang
ditempuh oleh para sufi untuk mencapai tujuan sedekat mungkin
dengan Allah SWT, dengan menerapkan metode pengarahan moral
dan jiwa.Thariqat digambarkan sebagai jalan yang berpangkal pada
syariat. Jadi jalan utamanya adalah Syar’, sedangkan anak jalan
disebut thariq. Sehingga dapat disimpulkan untuk menuju Thariq,
seseorang harus melewati syar’. Maksudnya, sebelum mempelajari
thariqat para sufi wajib memahami syariat terlebih dahulu, sebab
syariat adalah pangkal dari suatu ibadah.
c. Hakikat
Secara etimologi, hakikat berasal dari kata “Al-Haqq” yang
berarti kebenaran. Secara garis besar, hakikat merupakan ilmu yang
digunakan untuk mencari suatu kebenaran sejati mengenai Tuhan.
Dalam kitab Al-Kalabazi, hakikat menurut ilmu tasawuf didefinisikan
sebagai aspek yang berkaitan dengan amal batiniah, merupakan
amalan paling dalam dan merupakan akhir perjalanan yang ditempuh
oleh para sufi.
d. Ma’rifah
Ditinjau dari segi bahasa, Ma’rifat berasal dari kata ‘arafa-yurifu-irfan.
Secara umum, ma’rifat didefinisikan sebagai kumpulan ilmu
pengetahuan, pengalaman, dan amalan ibadah yang merupakan
perpaduan dari syariat, thariqat, dan hakikat, dimanan nantinya ilmu ini
7

digunakan untuk mengenal Allah SWT lebih mendalam melalui


sanubari atau mata hati.8

B. Pandangan Tasawuf Akhlaki / Amali Menurut Para Tokoh


1) Pandangan As-Sulami
a. Ajaran Tasawuf Akhlaki/Amali Menurut As-Sulami

As-Sulami dengan nama lengkapnya adalah Abu Abdurrahman


bin Al-Hussain bin Muhammad bin Musa As-Sulami Al-Azdi atau
dengan nama singkat Abu Abdurrahman al-Sulami. As-Sulami lahir di
Khurasan, Iran, pada tahun 325 H dan wafat pada tahun 412 H.
Dikenal sebagai ulama sufi yang alim. 

Lewat konsep-konsep tasawuf yang diusungnya, As-Sulamī


juga menggaris bawahi pentingnya menitik tekankan tasawuf pada
ketaatan terhadap al-Qur'an, meninggalkan perkara nafsu syahwat,
ta'dzim pada guru/syeikh, serta bersifat pema'af. Manusia akan
menjadi hamba sejati kalau dia sudah bebas (hurr: merdeka) dari
selain Tuhan. Kalau kehendak hati sudah menyatu dengan kehendak
Allah, maka apa saja yang dipilih Allah untuknya, hati akan menerima
tanpa menentang sedikitpun.9

ِ ‫ق َو ْال َم ْغ ِربُ ۚ فََأ ْينَ َما تُ َولُّوا فَثَ َّم َوجْ هُ هَّللا ِ ۚ ِإ َّن هَّللا َ َو‬
‫اس ٌع َعلِي ٌم‬ ُ ‫َوهَّلِل ِ ْال َم ْش ِر‬

Yang artinya: “ dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka


kemampuan kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya

8
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Pengantar Ilmu Tasawuf”,
(Yogyakarta: Aura Media). hlm.31
9
Sara Saviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, (Bandung: Pustaka Hidayah,
2002),hlm. 23
8

Allah Maha Luas (Rahmat-Nya) lagi maha mengetahui”. (QS. Al-


Baqarah:115)10

Disitulah wajah Allah maksudnya: kekuasaan Allah SWT


meliputi seluruh alam, sebab itu dimana saja manusia berada, Allah
mengetahui perbuatannya, karena ia selalu berhadapan dengan Allah
SWT.

Dalam konsep dzikir al-Sulami berpendapat bahwa


perbandingan antara dzikir dan pikir adalah lebih sempurna pikir,
karena kebenaran itu diberitakan oleh dzikir bukan oleh pikir dalam
proses pembukaan kerohanian. Ada beberapa tingkatan mengenai
dzikir, yaitu dzikir lidah, dzikir hati, dzikir sirr (rahasia), dan dzikir ruh.

Pada kitab Tabaqatu al-Suffiyah, beliau mencoba memadukan


ajaran syari’at dengan ajaran tasawuf. Ini merupakan pemikirannya
yang memperingatkan kepada murid-muridnya, bahwa ilmu lahir
(syari’at) dengan ilmu batin (tasawuf) tidak boleh dipertentangkan,
karena Rasulullah SAW sendiri tidak mempertentangkannya. 11

Dalam karyanya, Kitab al-Futuwwah, Al-Sulami memaparkan


212 poin mengenai ajaran-ajaran dan tingkah laku futuwwah yang
diambil, secara otentik, dari al-Qur’an dan sunnah. Secara garis besar,
karya ini hendak membimbing para murid tasawuf untuk teguh dijalan
Allah, beriman dan mencintai Allah, meneladani semua perilaku
Rasulullah, mencintai sesama saudara muslim, menjaga
persaudaraan, cinta kasih, dan kesetiaan diantara mereka, membantu
fakir miskin dan kaum dhuafa, senang bersedekah, bersikap lemah
10
Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus Sunnah.
11
Mahjuddin, Akhlak Tasawuf II, (Jakarta: Kalam Mulia, 2010), hlm. 143
9

lembut, senang menghormati, sabar atas segala musibah, tawadhu’,


dan menjaga dari kata-kata kotor serta tercela. Intinya, futuwwah
adalah memberikan pelayanan prima kepada sesama tanpa diminta
sekalipun dan mencintai umat manusia tanpa pandang bulu. 12

Adapun al-Sulamī memberikan gagasannya dalam tasawuf


amali mengenai beberapa hal diantaranya: Yang pertama adalah
mengenai makrifat: Adapun mengenai makrifat ialah suatu kewajiban
yang diwajibkan Allah kepada hamba-Nya. Sebagaimana yang
difirmakan-Nya: “Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
agar mereka beribadah kepada-Ku” Ibnu Abbas berkata: untuk
mengetahui. Nabi Muhammad Saw., pernah ditanya: bagaimana kamu
mengetahui Allah Azza wa Jalla? Maka ia menjawab: (Andai Allah
berkeinginan! Sesungguhnya aku tidak mengetahui Tuhan dengan
sesuatu, sebaliknya aku mengetahui sesuatu dengan-Nya). Abu Bakar
as-Siddiq berkata: Maha Suci Allah, seseorang tidak dijadikan sebagai
penciptaan suatu jalan untuk mengetahui, kecuali tidak ada kuasa
mengetahuinya.

Dan sebagian yang lain berkata: bagi seorang yang bijaksana


ada tiga tanda: lisannya selalu berkata yang benar, hatinya selalu
mengetahui yang baik, dan badannya selalu menyesuaikan batasan.
Dan berkata: carilah bagi kalian di dalam hati kalian, dan
carilah bagi kalian kepercayaan dari ulama. Dan jangan membutuhkan
kalian dengan Allah dari Allah. Dan jangan pula dengan pengetahuan
dari pengetahuan dan belajarlah kalian sesungguhnya setiap
pengetahuan adalah pengetahuan. Setiap pengetahuan adalah

12
Media Zainul Bahri, Tasawuf Mendamaikan Dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 68-69
10

mengetahui. Diceritakan, sesungguhnya seorang lelaki mendatangi


Abil Husain an-Nuri, maka ia bertanya padanya: apa dalil atas Allah?
Maka ia menjawab: Allah. Ia bertanya lagi: Apa akal dapat
menjangkaunya? Maka ia menjawab: akal tidak kuasa, karena
ketidakkuasaannya tidak menunjukkan kecuali atas tidak kuasanya
perumpamaan!13

b. Karya dan Pengaruh As-Sulami

Selain dikenal luas sebagai sufi besar, As-Sulami juga sebagai


seorang penulis kitab yang produktif. Ia sudah menulis ketika masih
berusia 20 tahun. Karya-karyanya meliputi sejumlah besar kitab dan
risalah tentang hadis dan tasawuf. Semua karyanya menjadi tumpuan
rujukan para ulama di seluruh dunia hingga kini.

Adapun karya dari As-Sulami yaitu:

1) Al-Farq Bayna al-Shari’ah wa-al Haqiqah


2) Al- Hadithu al-Arba’un
3) Adab As-Sufiyya
4) Adab Al-Suhba wa Husn al-Ushra
5) Amthal al-Qur’an
6) Al-Arbain fi al-Hadist
7) Bayan fi Al-Sufiyya
8) Darajat al-Muamalat
9) Darajat As-Shiddiqin
10) kitab Al-Futuwwa14

13
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam (Jakarta.PT.Ichtiar Baru Van J, 1993), hlm.
80
14
Media Zainul Bahri, Tasawuf mendamaikan dunia, (Jakarta: Erlangga, 2010), hlm. 64.
11

11) Ghalatat al-Sufiyya


12) Al-Ikhwah wal Akhwa min al-Sufiyya
13) Al-Istishadat, Juwami, dan tarikh al-sufiyyah

Di antara sekian banyak karyanya, yang paling mendapat


perhatian para ulama ialah Thabaqat al-Sufiyya. Lebih dari 100 orang
telah memberikan syarah dan komentar atas kitab tersebut. Bahkan
pengaruh-pengaruh pikirannya dalam kitab itu tampak jelas dalam
karya Abu Naim dalam kitabHilyat al-Auliya, Kitab Al-Baghdadi dalam
kitab Tarikh al-Baghdad, Al-Qusyairi dalam kitab Al-Risalah,
Abdurrahman al-Jami, dalam kitab Nafkhat al-Uns dan Al-Sya’rani
dalam Thabaqat al-Qubra. Dalam karya-karyanya As-Sulami selalu
berusaha mempersatukan syariat dan hakikat, selalu berpegang pada
Al-Qur’an dan As-Sunah.15

2) Perspektif Abu Nu’aim Al-Asbahani


a. Ajaran Tasawuf Amali Menurut Abu Nu’aim Al-Asbahani
Tokoh ini lebih dikenal dengan sebutan Abu Nu’aim al
Ashbahani. Nama Ashbahan yang menjadi nisbat pada namanya,
merupakan sebuah kota yang sampai sekarang masih ada, terletak di
Negara Iran. Kadang, dikenal juga dengan sebutan Ashfahan. Abu
Nu’aim sendiri memiliki nama, Ahmad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin
Ishaq bin Musa bin Mihran. Dia dilahirkan pada bulan Rajab 336 H.
Ada juga yang berpendapat, ia lahir tahun 334 H. Dan beliau
meninggal pada 20 Muharram 430 H dalam usia 94 tahun. Usia beliau
banyak dihabiskan dengan belajar, mengajar dan menulis.

Muhammad Hisyam Kabbani, Tasawuf dan Ikhsan Antivirus Kebatilan dan Kedzaliman (Jakarta:
15

PT Serambi Ilmu semesta, 2007), hlm. 94.


12

Pada masa Abu Nu’aim kajian sangat difokuskan atau di


ajarkan kepada dirasah al- Qur’an karena hal itu merupakan kewajiban
yang pertama bagi setiap muslim, namun disamping itu pada masanya
juga dibolehkan dan sudah banyak orang yang melakukan
periwayatan hadis, lebih tepatnya periwayatan tanpa bertemu dengan
guru atau rawi hadisnya secara langsung, atau yang disebut dengan
ijazah (sertifikat) yakni meriwayatkan hadis yang ada pada kitab
seorang rawi. Seperti yang dilakukan oleh Ibn Yunus as-Shufdi (346
H), ia tidak melakukan rihlah untuk sima’.
 selain pada orang yang sezaman dengannya namun ia
berhasil menjadi seorang Imam hadis. Pada masanya pula banyak
bermunculan ulama-ulama besar hadis seperti Ibn Mandah (395 H)
yang mengumpulkan 1.700 hadis, Ibn Uqdah (332 H) yang hafal
sampai 50.200 sanad dan matan hadis, Abu Hasan ad-Daruqutni
pembesar ulama hadis kurun keempat, al-hakim an-Naisabury dan
lain-lain.16
b. Karya dan Pengaruh Abu Na’im Al-Asbahani
Beliau juga termasuk ulama yang sangat banyak karyanya,
diantaranya yaitu :
1. Tarikh Asbahan
2. Ma’rifah Shabah
3. Ulum al-Hadits
4. Mustakhraj al Bukhari
5. Mutakhraj ‘ala Shahih Muslim

16
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2008), hlm. 135
13

6. Kitab Aliyyah al-Aulia wa Thabaqah al-Ashfiya, kitab yang terakhir


ini mendapat banyak pujian dari para ulama.17

3) Perspektif Al-Qusyairy
a. Ajaran Tasawuf Akhlaki Menurut Al-Qusyairy

Al-Qusyairi adalah seorang tokoh sufisme abad ke-5 Hijriyah di


Naisabur. Nama lengkap Al-Qusyairi adalah Abdul Karim bin Hawazin
bin Abdul Malik bin Thalhah bin Muhammad An-Naisaburi. Ia lebih
dikenal dengan nama Abdul Thalhah Al-Qusyairi karena dikenal dari
keturunan kabilah Arab Al-Qusyairi bin Ka'ab yang pindah ke
Khurasan pada masa Dinasti Umawi. Al-Qusyairi lahir tahun 376
Hijriah di Istiwa, kawasan Nishafur, salah satu pusat ilmu pengetahuan
pada masanya. Disini lah ia bertemu dengan gurunya, abu Ali Ad-
Daqqaq, seorang sufi terkenal. Al-Qurairi selalu menghadiri majelis
gurunya dan dari gurunya itulah ia menempuh jalan tasawuf.
Sang guru menyarankannya untuk pertama-tama mempelajari syariat.
Oleh karena itu, dia selalu mempelajari fiqih dari seorang faqih, Abu
Bakr Muhammad bin Abu Bakar Ath-Thusi (wafat tahun 405 H), dan
mempelajari ilmu kalam serta ushul fiqih Abu Bakar bin Farauk (wafat
tahun 406 H).18

 Selain itu, ia pun menjadi murid Abu Ishak al-Isfarayini (wafat


tahun 418 H) dan menelaah banyak karya al-Baqillani. Dari situlah Al-
qusyairi berhasil menguasai doktrin Ahlussunnah Wal Jama’ah yang

https://selasarmuslim.wordpress.com/2015/01/29/studi-kitab-al-mustakhraj-abu-nuaim-al-
17

ashbahani/ diakses pada tanggal 6 oktober 2022, pukul 20.23

Muzakkir. Tasawuf: Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan. (Medan: Perdana
18

Publishing, 2018). hlm. 61–62


14

dikembangkan al-Asyi’ari dan muridnya. Al-Qusyairi adalah pembela


paling tangguh dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah,
Karamiyyah, mujassamah dan Syi’ah. Karena tindakannya itu, ia
mendapat serangan keras dan dipenjara selama sebulan lebih atas
perintah Thugrul Bek karena hasutan seorang menterinya yang
menganut aliran Mu’tazilah Rfidhah. Bencana yang menimpa dirinya
itu, yang bermula pada tahun 445 H, diuraikannya dalam karyanya,
Syikayah Ahl As-Sunnah. Menurut ibnu Khallikan, Al-Qusyairi adalah
seorang yang mampu mengompromikan syari’at dengan hakikat.
Beliau wafat di kota Naisabur pada hari minggu tanggal 16 bulan Rabi’
al-Akhir tahun 465 H.

Sebagaimana telah disinggung diatas, Al-Qusyairi adalah


seorang tokoh yang terkemuka pada abad kelima Hijriyah yang
cenderung mengadakan pembaharuan, yakni dengan mengembalikan
tasawuf ke landasan Al-Qur’an dan As-Sunnah yang merupakan ciri-
ciri utama dari ajaran tasawuf sunni. Kedudukannya yang demikian
penting, mengingat karya-karyanya tentang para sufi dan tasawuf
aliran sunni pada abad-abad ketiga dan keempat Hijriyah, yang
membuat terpeliharanya pendapat dan khazanah tasawuf pada masa
itu, baik dari segi teoritis maupun praktis. Menurut Ibnu Khalikan, Al-
Qusyairi adalah seorang tokoh yang mampu “mengkompromikan
syariat dengan hakikat”.19

Dapat dikatakan, Al-Qusyairi terkenal karena ia menuliskan


sebuah risalah tentang tasawuf, yang diberi nama Ar-Risalah al-
Qusyairiah. Sebenarnya, kitab ini ditulis olehnya untuk golongan
Muzakkir. Tasawuf: Pemikiran, Ajaran dan Relevansinya dalam Kehidupan. (Medan: Perdana
19

Publishing, 2018). hlm. 64


15

orang-orang sufi dibeberapa negara Islam dalam tahun 473 H,


kemudian tersiar luas keseluruh tempat kerena isinya ditujukan untuk
mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi yang pada saat itu
telah banyak menyimpang dari sumber hukum Islam. Karya tulis Al-
Qusyairi yang paling terkenal dan hingga saat ini menjadi bahan
bacaan wajib bagi para peminat tasawuf adalah Risalah al-
Qusyairiyyah fi’Ilm at-Tasawufi. Al-Qusyairi adalah salah satu ulama
yang dengan lantang membantah tuduhan bahwa kalangan sufi
berlepas dari syariat. Hal ini yang melatari lahirnya karya al-Qusyairi,
al-Risalah al-Qusyairyyah dan Tafsir Latha'if al-Isyarat.

Adapun ajaran tasawuf akhlaki menurut Al-Qusyairi :

- Mengendalikan Tasawuf ke Landasan Ahlussunnah


Seandainya karya Al-Qusyairi, Ar-Risalah Al-Qusyairiyah dikaji
secara mendalam akan tampak jelas bahwa Al-Qusyairi cenderung
mengembalikan tasawuf ke atas landasan doktrin Ahlus sunnah.
Secara implisit dalam ungkapan Al-Qusyairi tersebut terkandung
penolakan terhadap para sufi syathahi, yang mengucapkan
ungkapan-ungkapan penuh kesan terjadinya perpaduan antara
sifat-sifat ketuhanan khususnya sifat terdahulunya dengan sifat-
sifat kemanusiaan khususnya sifat barunya bahkan dengan
konotasi lain secara kenang-kenangan Al qusyairi mereka. 20
- Kesehatan Batin
Selain itu, Al-Qusyairi pun mengecam keras para sufi pada
masanya karena kegemaran mereka mempergunakan pakaian
orang-orang miskin, sementara tindakan mereka pada saat yang

20
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2008), hlm. 131
16

sama bertentangan dengan dengan pakaian mereka. Ia


menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang pada Al-
Qur’an dan As-Sunnah lebih penting dari pada pakaian lahiriah. 21
- Penyimpangan Para Sufi
Dalam konteks yang berbeda, dengan ungkapan yang pedas,
Al-Qusyairi mengemukakan penyimpangan lain dari para sufi abad
kelima hijriyah, pendapat Al-Qusyairi barangkali terlalu berlebihan.
Namun, apapun masalahnya, paling tidak hal itu menunjukkan
bahwa tasawuf pada masanya mulai menyimpang dari
perkembangan yang pertama, baik dari segi akidah atau dari segi
moral dan tingkah laku.
Menanggapi masalah ini, dia berkata, barang siapa yang
berkata bahwa syariat berbeda dengan hakikat maka ia zindiq.
Serta barang siapa yang berkata bahwa yang dimaksud cinta
kepada Allah dan sampai kepadanya adalah tidak mengikuti Al-
Qur’an dan As-Sunnah secara keseluruhan maka dia itu zindiq.
Oleh karena itu, ia menulis risalahnya karena keprihatinannya
melihat apa-apa yang menimpa jalan tasawuf. Ia tidak bermaksud
menjelek-jelekkan salah seorang dari kelompok tersebut dengan
mendasarkan diri pada penyimpangan sebagian penyerunya.
Risalahnya itu, menurutnya sekadar pengobat keluhan atas apa
yang menimpa tasawuf pada masanya.
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa pengembalian arah
tasawuf, menurut Al-Qusyairi harus dengan merujuknya pada
doktrin Ahlus Sunnah wal Jama’ah yang dalam ini adalah dengan

21
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, (Bandung: CV. Pustaka setia, 2008), hlm. 132
17

mengikuti para sufi Sunni abad ketiga dan keempat Hijriyah seperti
diriwayatkan dalam Ar-Risalah.
Selian dari ketiga hal diatas, Al-Qusyairi juga memberikan
pandangannya kepada beberapa istilah yang ada dalam tasawuf,
seperti fana’ dan baqa’, wara’, syari’at dan hakikat: 22
1) Baqa’ dan Fana’
Dalam struktul ahwal, yaitu mengenai fana’ dan baqa’, Al-
Qusyairi mengemukakan bahwa fana’ adalah gugurnya sifat-
sifat tercela, sedangkan baqa’ adalah jelasnya sifat-sifat terpuji.
Barangsiapa fana’ dari sifat-sifat tercela, maka yang tampak
adalah sifat-sifat terpuji. Sebalikya, apabila yang dominan
adalah sifat-sifat tercela maka sifat-sifat terpuji akan tertutupi.
Jika seorang individu secara terus-menerus membersihkan diri
dengan segala upayanya, maka Allah akan memberikan
anugerah melelui kejernihan perilakunya, bahkan dengan
penyempurnaan tingkah laku tersebut.
2) Wara’
Pemikiran Al-Qusyairi yang lain adalah wara’, menurutnya
wara’ merupakan usaha untuk tidak melakukan hal-hal yang
bersifat syubhat (sesuatu yang diragukan halal haramnya).
Bersikap wara’ adalah suatu pilihan bagi ahli tarekat.
3) Syari’at dan Hakikat
Al-Qusyairi membedakan antara syari’at dan hakikat; hakikat itu
adalah penyaksian manusia tentang rahasia-rahasia ke-
Tuhanan dengan mata hatinya. Sedangkan syari’at adalah
kepastian hukum dalam ubudiyah, sebagai kewajiban hamba
22
Prof. Dr. M. Solihin. M.Ag, Ilmu Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2008.
18

kepada Al-Khaliq. Syari’at ditunjukkan dalam bentuk kaifiyah


lahiriah antara manusia dengan Allah SWT.
b. Karya dan Pengaruh Al-Qusyairy
Karangan Al-Qusyairi yakni Risalah Qusyairiyah juga
memperngaruhi cara berfikir dari al-Ghazali dalam menyatakan
alasannya, banyak sekali di temukan ucapan-ucapan Ibn Adham,
Tustari, Muhasibi, terutama Abu Thalib al-Maliki (w.386M), pengarang
Qutul Qulub dan Ibnu Hawazan al-Qusyairi (w. 465 H) pengarang
Risalah Qusyairiyah (tokoh dalam bahasan ini), kedua pengarang dari
kitab-kitab sufiyah yang sangat mempengaruhi cara berfikir Al-Ghazali,
begitu juga perkataan Nabi Isa, Musa dan Daud sera Nabi-nabi yang
lain. Karya karya lainnya diantaranya yakni; Ahkam al-Syar'I, Adab al-
Shufiyah, Al-Arba'un fi al-Hadits, Istifadhah al-Muradat, Balaghah al-
Maqashid fi al-Tasawuf, at Tahbir fi Tadzkir, Tartib al-Suluk, fi
Thariqillahi Ta'ala, al-Tauhid al-Nabawi, at-Taisir fi 'Ilmi al-Tafsir, al-
Jawahir, Hayat al-Arwah dan al-Dalil ila Thariq al-Shalah, Diwan al-
Syi'ri, al-Dzikr wa al-Dzakir, al-Risalah al-Qusyairiyah fi ‘Ilmi al-
Tasawwuf, Sirat al-Masayikh, Syarâh Asma al-Husna, Syikuyat Ahl al-
Sunnah bi Hikayati ma Nalahun min al-Mihnah, Uyun al-Ajwibah fi
Ushul al-Asilah, Lathaif al-Isyarat, al-Fushul fi al-Ushul, dan masih
banyak lagi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat diambil oleh pemakalah mengenai
Tasawuf akhlaki dan amali ini adalah bahwasanya tasawuf akhlaki
merupakan tasawuf yang membersihkan tingkah laku atau saling
membersihkan tingkah laku. Tasawuf amali adalah tasawuf yang
membahas tentang bagaimana cara mendekatkan diri kepada Allah
SWT.
Bagian terpenting dari tujuian tasawuf adalah memperoleh
hubungan langsung dengan Tuhan, sehingga merasa sadar berada di
“hadirat” Tuhan. Semua sufi berpendapat bahwa satu-satunya jalan
yang dapat menghantarkan seseorang kepada kehadirat Allah
hanyalah dengan kesucian jiwa. Para sufi berpendapat bahwa untuk
merehabilitas sikap mental yang tidak baik diperlukan terapi yang tidak
hanya dari aspek lahiriah.

19
KEPUSTAKAAN

A. Gani, Tasawuf Amali Bagi Pencari Tuhan, Bandung: CV. Alfabeta, 2019
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam,Jakarta: PT.Ichtiar Baru
Van J, 1993.
Al-Quran Terjemahan. 2015. Departemen Agama RI. Bandung: CV Darus
Sunnah.
M. Solihin dan Rosihon Anwar, Ilmu Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka setia,
2008.
Mukhtar Hadi, M.Si. 2009. Memahami Ilmu Tasawuf “Sebuah Peng antar
Ilmu Tasawuf”. Yogyakarta: Aura Media

Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, Bandung: CV. Pustaka setia, 2010.


Sara Saviri, Demikianlah Kaum Sufi Berbicara, Terj. Ilyas Hasan, Bandung:
Pustaka Hidayah, 2002.
Simuh. 1996. Tasawuf dan Perkembangannya Dalam Islam. Jakarta: PT 
Raja Grafindo Persada,2009.
https://tafsirq.com/2-al-baqarah/ayat-115 diakses pada tanggal 04 Oktober
2022 pukul 17.35.

20

You might also like