BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah
“Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan fisik biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi atau rusak yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia” (Tirtakusumah (1994) dalam Fadlan (2011)). “Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove dilakukan oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan hidup, seperti: penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan“ (Permenhut (2004) dalam Riandani, (2007)).
Akhbar (2003) menyatakan dari hasil identifikasi menunjukkan bahwa hutan mangrove di Sulawesi Tengah telah mengalami penurunan populasi yang sangat drastis hingga mencapai angka 51,42% atau 23.685 Ha dari area mangrove seluas 46.000 Ha tahun 1989 (sesuai SK. Gubernur Sulawesi Tengah tahun 1989). Artinya daerah pesisir pantai Sulawesi Tengah yang masih bervegetasi mangrove hanya tersisa seluas 22.377 Ha atau 48,58%. Data tersebut menunjukkan bahwa dalam 10 tahun terakhir Provinsi Sulawesi Tengah kehilangan ekosistem hutan mangrove seluas 2.368,5 Ha/tahun.
1
Ekosistem mangrove sebagian besar sudah mengalami kerusakan akibat dari pemanfaatan yang tidak sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi. Pengalihfungsian hutan mangrove sebagai tempat budidaya tambak serta penebangan hutan mangrove untuk berbagai keperluan masyarakat.
Kondisi tersebut, telah terjadi pula pada hutan mangrove yang terdapat di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tersisa sekitar 39,62 Ha dari 3.056.26 Ha dari luas keseluruhan hutan mangrove di Kabupaten Tolitoli menurut data Dinas Kehutanan Kabupaten Tolitoli. Hal itu disebabkan oleh dua faktor, yaitu faktor alam dan faktor manusia. Kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh faktor manusia berupa aktivitas ekonomi penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam yang terdapat di dalam ekosistem hutan mangrove tersebut. Aktivitas ekonomi penduduk yang menyebabkan kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan pemukiman. Selain itu, pohon mangrove dimanfaatkan sebagai bahan bakar (kayu bakar, arang), bahan bangunan (balok perancah, atap rumah, tonggak, dan badan kapal).
Ekosistem hutan mangrove yang sudah dieksploitasi oleh aktivitas ekonomi penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan biasanya tidak dilakukan konservasi ulang sehingga ekosistem hutan mangrove akan terus-menerus mengalami kerusakan dan terancam punah. Untuk ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan yang disebabkan oleh aktivitas ekonomi penduduk perlu dilakukan upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh pemerintah dan masyarakat dengan konservasi, reboisasi, dan rehabilitasi hutan mangrove. Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dilakukan oleh pemerintah biasanya dilakukan oleh Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat kemudian dibantu oleh masyarakat yang ikut berpartisipasi dalam menjaga kelestarian lingkungan alam.
Terkait dengan permasalahan-permasalahan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang kondisi dan perubahan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan selama 5 (lima) tahun terakhir dengan judul“ Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012”.
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:
Bagaimanakah gambaran kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012?
Jenis aktivitas sosial-ekonomi penduduk apa sajakah yang paling berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012?
Bagaimanakah upaya pelestarian ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas sosial-ekonomi penduduk di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli?
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk:
Menggambarkan kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012 ( berdasarkan analisis peta penggunaan lahan tahun 2007 dan 2012 serta peta perubahan penggunaan lahan 2007 dan 2012);
Menggambarkan jenis-jenis aktivitas sosial-ekonomi penduduk yang berpengaruh terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007-2012;
Merumuskan berbagai upaya pemulihan dan pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove akibat aktivitas sosial-ekonomi penduduk di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli;
Sasaran Penelitian
Sasaran dalam penelitian ini adalah:
Kawasan hutan mangrove Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli;
Penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli yang telah melakukan pembukaan hutan mangrove untuk berbagai keperluan usaha (tambak ikan, pemukiman, sumber bahan bakar kayu arang dan peralatan rumah);
Pemerintah Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli;
Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Pariwisata, dan Dinas Kehutanan Kabupaten Tolitoli;
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk:
Memberikan sumbangan pemikiran bagi masyarakat dan pemerintah daerah dalam upaya pemulihan kondisi hutan mangrove yang rusak untuk dapat berfungsi sebagaimana mestinya;
Memberikan masukan bagi upaya pemulihan dan pelestarian ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli;
Bahan kajian bagi pihak peneliti lain untuk melakukan penelitian yang sama di tempat dan permasalahan yang lain.
Ruang Lingkup Penelitian
Sebagai subyek dalam penelitian ini adalah seluruh penduduk yang memanfaatkan kawasan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh penduduk dalam memanfaatkan kawasan hutan mangrove. Penelitian ini dilakukan pada penduduk yang secara langsung memanfaatkan hutan mangrove. Adapun Desa yang menjadi obyek penelitian adalah Desa Dongko, yang merupakan Desa yang memanfaatkan kawasan hutan mangrove menjadi lahan tambak dan permukiman.
Ruang Lingkup ini dimaksudkan untuk memperjelas permasalahan yang terdiri dari:
Mengkaji kerusakan ekosistem hutan mangrove oleh penduduk yang meliputi jenis-jenis perubahan lahan ekosistem hutan mangrove;
Menganalisis hasil kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dilakukan oleh penduduk yang ditinjau dari aspek pelestarian lingkungan hidup;
Merumuskan arahan strategi kebijakan terkait ekosistem hutan mangrove kepada penduduk.
Sistematika Pembahasan
Sistematika pembahasan laporan penelitian ini terdiri dari beberapa bab sebagai berikut:
Bab I Pendahuluan
Bab I menyajikan uraian pendahuluan yang meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, saran dan kegunaan penelitian, ruang lingkup penelitian, sistematika pembahasan, dan definisi operasional.
Bab II Kajian Pustaka
Bab II membahas tentang tinjauan pustaka yang berisikan hasil-hasil penelitian terdahulu yang sejenis, landasan teori yang mencakup pengertian kerusakan, ekosistem, hutan, mangrove, dan kerangka umum pemikiran .
Bab III Metode Penelitian
Bab III membahas mengenai jenis penelitian, lokasi penelitian, waktu pelaksanaan penelitian, jenis dan sumber data, populasi dan sampel penelitian, variabel penelitian, rancangan penelitian, instrumen penelitian, prosedur penelitian, pengumpulan data dan analisis data.
Bab IV Gambaran Umum Daerah Penelitian
Bab IV menyajikan uraian singkat gambaran umum daerah penelitian yang meliputi uraian tentang letak, luas dan batas lokasi penelitian, kondisi fisik sosial, ekonomi dan budaya lokasi penelitian.
Bab V Hasil Penelitian dan Pembahasan
Bab V menyajikan hasil-hasil penelitian, dokumentasi penelitian, dan hasil analisis data serta pembahasannya.
VI Penutup
Bab VI menyajikan simpulan hasil penelitian yang ditarik dari tahap analisis-analisis data, pembuktian hipotesis, serta pembahasannya, juga berisi pula berbagai saran yang memuat masukan-masukan dari penulis yang terkait dengan penelitian yang telah dilakukan, serta ditutup dengan penyampaian masukan untuk penelitian selanjutnya.
Definisi Operasional
Mangrove
Mangrove adalah komunitas vegetasi pantai tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut pantai berlumpur. Contoh mangrove sejati misalnya: api-api (Avicenia spp), Bakau (Rhizophora spp). (Aziz Budianta, 2008). Dalam penelitian ini mangrove adalah semua jenis pohon mangrove yang ada di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
1.6.2 Hutan Mangrove
Hutan mangrove adalah hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim (Santoso, 2000). Dalam penelitian ini hutan mangrove adalah hutan mangrove yang terdapat di daerah Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Kawasan Hutan Mangrove
Kawasan hutan mangrove adalah suatu area yang ditumbuhi berbagai spesies tumbuhan perdu (Santoso, 2000). Dalam penelitian ini kawasan hutan mangrove adalah kawasan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli seluas 79,83 Ha.
Ekosistem Hutan Mangrove
Ekosistem mangrove adalah suatu sistem di alam tempat berlangsungnya kehidupan yang mencerminkan hubungan timbal balik antara makhluk hidup dengan lingkungannya dan di antara makhluk hidup itu sendiri, terdapat pada wilayah pesisir, terpengaruh pasang surut air laut, dan didominasi oleh spesies pohon atau semak yang khas dan mampu tumbuh dalam perairan asin/payau (Santoso, 2000).
Kerusakan Hutan Mangrove
Kerusakan hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia (Khosim, 2005). Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan kerusakan hutan mangrove adalah penyusutan luas kawasan hutan mangrove akibat aktivitas penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan adalah segala macam campur tangan manusia baik secara permanen maupun secara siklis terhadap kumpulan berbagai sumberdaya alam dan sumberdaya buatan yang secara keseluruhannya disebut lahan, dengan tujuan untuk mencukupi kebutuhan-kebutuhannya sendiri baik kebendaan maupun spiritual atau kedua-duanya (Malingreau,.J.P. (1977) dalam Aziz Budianta (2008)).
Perubahan Penggunaan Lahan
Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri. Dalam penelitian ini perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan lahan hutan mangrove menjadi pemukiman dan pertambakan di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Pemetaan
Pemetaan adalah proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran permukaan bumi (geodesi) dengan menggunakan cara atau metode tertentu sehingga didapatkan hasil berupa softcopy maupun hardcopy ( Aronoff, 1989).
Pemetaan Penggunaan Lahan
Pemetaan penggunaan lahan adalah suatu proses pengukuran pada suatu perubahan lahan yang dilakukan oleh aktivitas manusia. Dalam penelitian pemetaan penggunaan lahan adalah untuk mengetahui sejauh mana perubahan penggunaan lahan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Sistem Informasi Geografi (SIG / GIS)
Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah database ( Aronoff, 1989).
Kepala Keluarga (KK)
Kepala keluarga adalah nahkoda atau pimpinan dari sebuah keluarga yang mengepalai satu keluarga terdiri dari suami, istri dan anaknya. sedangkan kepala rumah tangga adalah penanggung jawab rumah tangga (Anonimus, 2012a). Dalam penelitian ini Kepala Keluarga (KK) adalah pimpinan KK perubah penggunaan lahan hutan mangrove menjadi pemukiman dan pertambakan di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
Tinjauan Pustaka
Fadlan, (2011).”Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan”. Hasil penelitian dengan data sekunder yang bersumber dari Kantor Kelurahan Bagan Deli untuk mengetahui tentang kerusakan ekosistem hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan dapat diketahui bahwa luas keseluruhan kawasan ekosistem hutan mangrove di daerah penelitian sebesar 125 Ha (54,35%) dari luas wilayah administrasi Kelurahan Bagan Deli 230 Ha (Kantor Kelurahan Bagan Deli, 2011) yang dimana luas lahan kawasan ekosistem hutan mangrove terbagi menjadi tiga tingkatan menurut kondisinya berdasarkan pada kriteria ekosistem hutan mangrove menurut tingkat Kondisi di Kelurahan Bagan Deli 2011.
Kondisi ekositem hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli terdapat tiga tingkatan yaitu (1) kondisi baik sekitar 12 Ha (9,60%) yang dimana persentasi penutupan vegetasi hutan mangrove di lahan kawasan ekosistem hutan mangrove ≥ 75% dan kerapatan pohon mangrove ≥ 1500 Pohon/Ha; (2) kondisi sedang sekitar 19 Ha (15,20%) yang dimana persentasi penutupan vegetasi hutan mangrove di lahan kawasan ekosistem hutan mangrove ≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon mangrove ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi rusak sekitar 94 Ha (75,20%) yang dimana persentasi penutupan vegetasi hutan mangrove di lahan kawasan ekosistem hutan mangrove < 50% dan kerapatan pohon mangrove < 1000 Pohon/Ha. Untuk luas lahan kawasan ekosistem hutan mangrove dengan kondisi rusak di Kelurahan Bagan Deli sekitar 94 Ha (75,20%) dengan tingkat kerusakanyang berbeda.
Chatarina Muryani, (2011). “Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pelestarian Hutan mangrove di Pantai Pasuruan Jawa Timur”. Hasil penelitia bahwa perubahan tutupan lahan di pantai Pasuruan yang paling besar adalah hutan mangrove menjadi tambak (tahun 1981-1994 seluas 347,14 ha, tahun 1994-2008 seluas 85,95 ha) dan hutan mangrove menjadi laut ( tahun 1981-1994 seluas 217,21 ha, tahun 1994-2008 seluas 2,05 ha). Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan mangrove sangat serius di daerah penelitian yang terutama disebabkan penebangan oleh masyarakat.
Konversi dan hilangnya hutan mangrove tampaknya bukan merupakan sesuatu yang baru terjadi pada dekade terakhir ini saja. Jauh sebelumnya, lebih dari 75 tahun yang lalu, Meindersma telah melaporkan bahwa sangat sulit untuk menemukan hutan mangrove yang alami dan tidak terganggu di Pulau Jawa, kecuali di Segara Anakan dan Teluk Pangong (dekat Selat Bali) (Noor dkk., (1999) dalam Muryani, (2011)). Kegiatan pembangunan utama yang memberikan sumbangan terbesar terhadap menurunnya luas areal hutan mangrove di Indonesia adalah pengambilan kayu untuk keperluan komersiil serta peralihan peruntukan untuk tambak dan areal pertanian. Akibat yang terlihat nyata adalah pada saat penelitian diadakan sudah tidak dapat ditemukan lagi vegetasi mangrove yang diameternya di atas 10 cm. dan kerapatan vegetasi yang bernilai komersial (Bruguiera, Ceriops, Rhizophora) juga semakin rendah. Hal ini merupakan indikasi terjadinya degradasi hutan mangrove.
Tabel 2.1 Persamaan dan Perbedaan dengan Peneliti Terdahulu
Komponen
Fadlan
Charitna Muryani
Rahman
Judul Skripsi
Aktivitas Ekonomi Penduduk Terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan
Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pelestarian Hutan mangrove di Pantai Pasuruan Jawa Timur
Kerusakan Ekosistem Hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2007-2012
Populasi (N)
13.618
-
465
Sampel (n)
93
-
211
Metode Pengumpulan Data
Observasi, Angket dan Dokumentasi
Observasi, Wawancara dan Focus Grup Discussion (FGD)
Observasi, Wawancara, Pemetaan, dan Dokumentasi.
Hasil Penelitian
Kondisis fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan dengan luas kerusakan hutan manngrove 94 Ha (75,20%) dari luas seluruh hutan mangrove 125 Ha, kerusakn ekosistem hutan mangrove tergolong berat 72 Ha (76,60%) dari luas kerusakan hutan mangrove 94 Ha, aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove berupa pengalifungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan pertambakan dan lahan pembangunan.
Berdasarkan hasil penelitian bahwa perubahan tutupan lahan di pantai Pasuruan yang paling besar adalah hutan mangrove menjadi tambak (tahun 1981-1994 seluas 347,14 Ha, tahun 1994-2008 seluas 85,95 ha) dan hutan mangrove menjadi laut ( tahun 1981-1994 seluas 217,21 ha, tahun 1994-2008 seluas 2,05 ha). Hal ini membuktikan bahwa telah terjadi kerusakan hutan mangrove sangat serius di daerah penelitian yang terutama disebabkan penebangan oleh masyarakat.
Kondisi fisik kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli dengan luas kerusakan 40,21 Ha (50,36%). dari luas seluruh hutan mangrove 79,83 Ha, hal disebabkan oleh aktivitas sosial ekonomi penduduk seperti pengalifungsian lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan dan pemukiman.
Landasan Teoritis
Pengertian Hutan MANGROVE
Secara asal kata (etimologi), kata “mangrove” berasal berasal dari kata “Mangue” (Bahasa Prancis) dan kata “at Grove” (Bahasa Inggris) yang artinya komunitas tanaman yang tumbuh di daerah berlumpur dan pada umumnya ditumbuhi oleh sejenis pohon bakau (Rhizophera sp) (Davis, (1940), dalam Fadlan, (2011)). Hutan mangrove merupakan hutan yang terdapat di daerah pantai yang selalu atau secara teratur tergenang air laut dan terpengaruh oleh pasang surut air laut tetapi tidak terpengaruh oleh iklim sedangkan daerah pantai adalah daratan yang terletak di bagian hilir Daerah Aliran Sungai (DAS) yang berbatasan dengan laut dan masih dipengaruhi oleh pasang surut dengan kelerengan kurang dari 8% (Departemen Kehutanan, (1994), dalam Santoso, (2000)). Sedangkan (Noor dkk, (1999), dalam Riandani, (2007)). memberikan batasan tentang hutan mangrove bahwa “hutan mangrove sebagai hutan yang tumbuh pada tanah alluvial di daerah pantai dan sekitar muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut serta ciri dari hutan ini terdiri dari tegakan pohon Rhizhophor, Bruguiera, Sonneratia, Nypa, Avicennia, Ceriops, Lumnitzera, Aegiceras, Xylocarpus dan Scyphyphora”.
Nilai Strategis Hutan Mangrove
Menurut Saenger, 1983, dalam Fadlan, (2011). menyatakan bahwa “fungsi ekosistem mangrove mencakup: (1) Fungsi fisik: menjaga garis pantai agar tetap stabil, melindungi pantai dari erosi laut (abrasi) dan intrusi air laut, dan mengolah bahan limbah, (2) Fungsi biologis: tempat pembenihan ikan, udang, tempat pemijahan beberapa biota air, tempat bersarangnya burung, habitat alami bagi berbagai jenis biota, dan (3) Fungsi ekonomi sebagai sumber bahan bakar (arang kayu bakar), pertambakan, tempat pembuatan garam, dan bahan bangunan”. Saenger, (1983) juga merinci hasil-hasil produk dari ekosistem hutan mangrove, antara lain: bahan bakar (kayu bakar, arang dan alkohol), bahan bangunan (balok perancah, bangunan, jembatan, balok rel kereta api, pembuatan kapal, tonggak dan atap rumah), pertanian (makanan ternak, pupuk dan sebagainya), perikanan (tiang-tiang untuk perangkap ikan, pelampung jaring, pengeringan ikan, bahan penyamak jaring dan lantai), dan bahan baku industri (makanan, minuman, obat-obatan, kertas, dan sebagainya).
Berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup (1995/1996) bahwa “potensi ekosistem hutan mangrove memiliki fungsi dan manfaat, yaitu (1). Membantu mencegah terjadinya abrasi laut; (2). Mengatur keseimbangan antara ketersediaan garam dan air tawar dalam memelihara ekosistem; (3). Akar pohon mangrove dapat menahan gerakan pasang surut air laut; (4). Sebagai sumber makanan, tempat berlindung dan tempat bereproduksi bagi hewan laut dan satwa liar darat; dan (5). Sebagai sumber bahan bakar, bahan bangunan dan bahan baku industri kimia. Dilihat dari segi ekonomi, ekosistem hutan mangrove sangat berfungsi dan bermanfaat bagi kehidupan manusia terutama penduduk setempat yang berdomisili di dekat ekosistem hutan mangrove, misalnya sebagai sumber penghasilan tambahan atau sebagai sumber mata pekerjaan sampingan penduduk setempat. (Anwar dan Gunawan, (2003), dalam Fadlan, (2011)).
Hutan Mangrove di Indonesia
Menurut Bengen (2000). “Indonesia memiliki vegetasi hutan mangrove yang keragaman jenis yang tinggi. Jumlah jenis yang tercatat mencapai 202 jenis yang terdiri dari 89 jenis pohon, 5 jenis palem, 19 jenis liana, 44 jenis epifit”. Flora mangrove umumnya di dalam ekosistem hutan mangrove tumbuh membentuk zonasi mulai dari pinggir pantai sampai pedalaman daratan yang terbentuk bisa berupa zonasi yang sederhana (satu zonasi, zonasi campuran) dan zonasi yang kompleks (beberapa zonasi) tergantung pada kondisi lingkungan mangrove yang bersangkutan yang mencerminkan tanggapan ekofisiologis tumbuhan mangrove terhadap gradasi lingkungan.
Menurut Chapman, 1984, dalam Riandani, (2007). menyatakan bahwa:
Flora yang terdapat dalam ekosistem hutan mangrove dapat dikelompokkan ke dalam dua kategori, yaitu; (1). Flora mangrove inti, yakni flora mangrove yang mempunyai peran ekologi utama dalam formasi hutan mangrove, contoh: Rhizophora, Bruguiera, Ceriops, Kandelia, Sonneratia, Avicennia, Nypa, Xylocarpus, Derris, Acanthus, Lumnitzera, Scyphiphora, Smythea dan Dolichandrone; dan (2). Flora mangrove peripheral (pinggiran), yaitu flora mangrove yang secara ekologi berperan dalam formasi hutan mangrove, tetapi juga flora tersebut berperan penting dalam formasi hutan lain, contoh: Excoecaria agallocha, Acrostichum aureum, Cerbera manghas, Heritiera littorelis, Hibiscus tiliaceus, dan lain-lain.
Kondisi Fisik Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Sumberdaya alam ekosistem mangrove termasuk dalam golongan wilayah pesisir yang bersifat alami dan dapat diperbaharui, yang harus dijaga keutuhan fungsi dan kelestariannya, supaya dapat menunjang pembangunan dan dapat dimanfaatkan seoptimal mungkin. Menurut Dahuri (2003), ada tiga parameter lingkungan utama yang menentukan kelangsungan hidup dan pertumbuhan mangrove, yaitu suplai air tawar dan salinitas, pasokan nutrien, dan stabilitas substrat.
“Kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah perubahan kondisi fisik biotik maupun abiotik di dalam ekosistem hutan mangrove menjadi tidak utuh lagi (rusak) yang disebabkan oleh faktor alam dan faktor manusia” (Tirtakusumah,(1994), dalam Riandani, (2007)). “Pada umumnya kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh aktivitas manusia dalam pendayagunaan sumberdaya alam wilayah pantai tidak memperhatikan kelestarian, seperti; penebangan untuk keperluan kayu bakar yang berlebihan, tambak, permukiman, industri dan pertambangan” (Permenhut, 2004). kerusakan ekosistem hutan mangrove dikarenakan adanya fakta bahwa sebagian manusia dalam memenuhi keperluan hidupnya dengan mengintervensi ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan ekosistem hutan mangrove menjadi tambak, pemukiman, industri, dan sebagainya maupun penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Hal itu dikarenakan memang pada dasarnya hutan mangrove memiliki fungsi ekonomi antara lain sebagai penghasil keperluan rumah tangga, penghasil keperluan industri, dan penghasil bibit.
Khomsin, 2005, dalam (Fadlan, 2010). menyatakan bahwa:
Kerusakan alamiah ekosistem hutan mangrove timbul karena peristiwa alam seperti adanya gelombang besar pada musimangin timur dan musim kemarau yang berkepanjangan sehingga dapat menyebabkan akumulasi garam dalam tanaman. Selain itu, gelombang besar dapat menyebabkan tercabutnya tanaman muda atau tumbangnya pohon, serta menyebabkan erosi tanah tempat bakau tumbuh. Kekeringan yang berkepanjangan bisa menyebabkan kematian pada vegetasi mangrove dan menghambat pertumbuhannya.
“Konversi hutan mangrove terus meningkat untuk dijadikan lahan pertanian atau tambak ikan/udang, sehingga menyebabkan penurunan produktivitas ekosistem tersebut”. Menurut Irwanto (2008) bahwa “banyak kegiatan manusia di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove yang berakibat perubahan karakteristik fisik dan kimiawi di sekitar habitat hutan mangrove sehingga tempat tersebut tidak lagi sesuai bagi kehidupan dan perkembangan flora dan fauna di dalam ekosistem hutan mangrove”. Menurut Soesanto (1994) bahwa “dalam usaha pengembangan ekonomi kawasan mangrove seperti pembangkit tenaga listrik, lokasi rekreasi, pemukiman dan sarana perhubungan serta pengembangan pertanian pangan, perkebunan, perikanan dan kehutanan harus mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumber daya wilayah pesisir”. Pertumbuhan penduduk yang pesat menyebabkantuntutan untuk mendayagunakan sumberdaya mangrove terus meningkat. Berdasarkan pada Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan mangrove, maka kondisi ekosistem hutan mangrove dibagi menjadi tiga kriteria dapat dilihat pada Tabel 2.2
Tabel 2.2 Kriteria Ekosistem Hutan Mangrove
No
Kriteria
Penutupan
Kerapatan
Pohon/ Ha
1
Baik
≥ 75%
≥ 1500 Pohon/Ha
2
Sedang
≥ 50%- < 75%
≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha
3
Rusak
< 50%
< 1000 Pohon/Ha
Sumber : Dahuri, 1996 (Fadlan, 2010)
Dilihat dari tabel 1 kriteria ekosistem hutan mangrove dapat diketahui bahwa (1) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong baik apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan ≥ 75% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove ≥ 1500 Pohon/Ha; (2) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong sedang apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan ≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong rusak apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan < 50% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove < 1000 Pohon/Ha. Selain itu, Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 201 Tahun 2004 menyatakan bahwa “ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu:
a. Kerusakan Ringan
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong ringan apabila jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari 50% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 1.000 pohon/Ha. Untuk kerusakan ringan ekosistem hutan mangrove hanya berpengaruh kecil terhadap kelangsungan hidup fauna yang ada di sana maupun aktivitas ekonomi penduduk yang tinggal di daerah tersebut.
b. Kerusakan Sedang
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong sedang apabila jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari 30% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 600 pohon/Ha. Untuk kerusakan sedang ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan sebagian besar fauna kehilangan sumber makanan dan tempat tinggal, serta sebagian besar aktivitas ekonomi penduduk dalam memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan berkurang.
c. Kerusakan Berat
Kerusakan ekosistem hutan mangrove yang tergolong berat apabila jumlah populasi pohon mangrove yang menutupi ekosistem hutan mangrove kurang dari 10% dan jumlah kerapatan pohon mangrove kurang dari 200 pohon/Ha. Untuk kerusakan berat ekosistem hutan mangrove dapat mengakibatkan kehidupan fauna yang berhabitat disana terancam bahaya bahkan kepunahan dan aktivitas ekonomi penduduk yang memanfaatkan sumberdaya alam hutan mangrove akan terhenti, selain itu daerah tersebut akan terancam dari bencana alam tsunami, gelombang laut besar dan abrasi yang membahayakan kehidupan manusia.
Keterkaitan Aktivitas Ekonomi Penduduk Terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Menurut Soesanto dan Sudomo, 1994, dalam Fadlan, (2011). kerusakan ekosistem hutan mangrove dapat disebabkan oleh berbagai hal, antara lain: (1). Kurang dipahami kegunaan ekosistem hutan mangrove; dan (2). Meskipun hutan mangrove terus terancam kelestariannya, namun berbagai aktivitas penyebab kerusakan hutan mangrove terus terjadi dan adakalanya dalam skala dan intensitas yang terus meningkat. “Perubahan dari hutan mangrove primer dan sekunder menjadi areal non hutan mangrove diakibatkan oleh konversi, terutama pembukaan areal untuk pertambakan, pertanian maupun pembangunan” Rudianto, 2009, dalam Riandani, (2007).
Bengen, 2004, (Fadlan, 2011). menyatakan bahwa:
Dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dll), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung (misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan) maupun tak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan ).
Menurut Ibrahim, 2006, dalam Fadlan, (2011). bahwa “penyebab ancaman dan kerusakan ekosistem hutan mangrove antara lain: (1). Meningkatnya jumlah penduduk yang bermukim di lingkungan sekitar ekosistem hutan mangrove, sehingga pemanfaatan sumberdaya alam hutan mangrove semakin meningkat; (2). Pemanfaatan sumberdaya alam hutan mangrove yang semula dilakukan secara tradisional berubah menjadi secara komersial; (3). Ekosistem hutan mangrove peka terhadap perubahan dan tekanan dari luar yang melampaui kemampuan dan daya dukungnya, misalnya pencemaran lingkungan berupa limbah industri dan sampah di dalam ekosistem hutan mangrove; (4). Semakin meningkatnya jumlah penduduk mengakibatkan kawasan ekosistem hutan mangrove diubah menjadi perumahan, permukiman, perkantoran, industri, pelabuhan, tempat rekreasi (objek wisata), dan lain-lain; serta (5). Kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi berkurang karena adanya perubahan pemanfaatan lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, baik tambak ikan maupun tambak udang.
Faktor-faktor yang mendorong aktivitas manusia untuk memanfaatkan hutan mangrove dalam rangka mencukupi kebutuhannya sehingga berakibat rusaknya hutan, antara lain: (1). Keinginan untuk membuat pertambakan dengan lahan yang terbuka dengan harapan ekonomis dan menguntungkan, karena mudah dan murah; (2). Kebutuhan kayu bakar yang sangat mendesak untuk rumah tangga, karena tidak ada pohon lain di sekitarnya yang bisa ditebang; dan (3).Rendahnya pengetahuan masyarakat akan berbagai fungsi hutan mangrove, adanya kesenjangan sosial antara petani tambak tradisional dengan pengusaha tambak modern, sehingga terjadi proses jual beli lahan yang sudah tidak rasional (Perum Perhutani 1994). Menurut Dahuri, (1996) “bahwa dampak potensial yang dapat timbul akibat aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove yang dapat dilihat pada Tabel 2.3
Tabel 2.3 Beberapa Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Dampak Potensial Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
NO
Aktivitas penduduk
Dampak potensial
1
Tebang Habis
Berubahnya komposisi tumbuhan, pohon-pohon mangrove akan digantikan oleh spesies-spesies yang nilai komersialnya rendah dan terjadinya penurunan fungsi sebagai feeding, nursery dan spawning ground.
2
Pengalihan aliran air tawar misalnya pada pembangunan irigasi
Terjadinya peningkatan salinitas dan penurunan kesuburan mangrove.
3
Konversi menjadi lahan, pertanian, perikanan, pemukiman
Mengancam regenerasi stok ikan dan udang diperairan lepas pantai, terjadi pencemaran laut oleh pencemar yang sebelumnya diikat oleh substrat mengrove. Terjadi pendangkalan pantai, abrasi dan intrusi air laut.
4
Pembuangan sampah cair
Penurunan kandungan oksigen, munculnya gas H2S.
5
Pembuangan sampah padat
Memungkinkan tertutupnya pneumatopor yang berakibat kematian mangrove dan perembesan bahan-bahan pencemar dalam sampah padat.
6
Pencemaran tumpahan
minyak mengakibatkan kematian mangrove.
7
Penambangan dan ekstraksi mineral, baik dalam hutan maupun daerah sekitar hutan
Kerusakan total ekosistem mangrove sehingga menghancurkan fungsi bioekologis mangrove dan terjadinya pengendapan sedimen yang berlebihan yang dapat mematikan mangrove.
(Sumber: Fadlan, 2011).
Upaya Pelestarian Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove Akibat Aktivitas Ekonomi Penduduk
Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove dibeberapa daerah, baik di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi, maupun Papua telah dilakukan berkali-kali (Sumarhani, 1995). Upaya ini biasanya dilakukan oleh pemerintah berupa proyek yang berasal dari Departemen Kehutanan, Departemen Kelautan dan Perikanan maupun dari Pemerintah daerah setempat, namun hasil yang dipeorleh relatif tidak sesuai dengan biaya dan tenaga yang dikeluarkan oleh pemerintah (Saparinto, 2007). Upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove tidak hanya dilakukan oleh pemerintah saja, tetapi juga dilakukan oleh masyarakat yang ikut berpertisipasi membantu pemerintah dalam menjaga kelestarian lingkungan hidup khususnya ekosistem hutan mangrove dengan metode, yaitu konservasi, reboisasi dan rehabilitasi (Rahmawaty, 2006).
Kusmana (2005) menyatakan bahwa:
Secara umum, semua habitat pohon mangrove di dalam ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat memperbaiki kondisinya seperti semula secara alami dalam waktu 15 – 20 tahun apabila (1). Kondisi normal hidrologi tidak terganggul; dan (2). Ketersediaan biji dan bibit serta jaraknya tidak terganggu atau terhalangi. Jika kondisi hidrologi normal atau mendekati normal tetapi biji pohon mangrove tidak dapat mendekati daerah rehabilitasi, maka dapat direhabilitasi dengan cara penanaman. Oleh karena itu, habitat pohon mangrove dapat diperbaiki tanpa penanaman, maka rencana rehabilitasi harus terlebih dahulu melihat potensi aliran air laut yang terhalangi atau tekanan-tekanan lain yang mungkin menghambat perkembangan pohon mangrove.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Pasal 43 tentang kehutanan bahwa dalam kaitan kondisi hutan mangrove yang rusak pada setiap orang yang memiliki, mengelola atau memanfaatkan hutan mangrove wajib melaksanakan rehabilitas untuk tujuan perlindungan konservasi. Rudianto (2007) menyatakan bahwa “salah satu cara melindungi hutan mangrove adalah dengan menunjuk suatu kawasan hutan mangrove sebagai kawasan konservasi, dan sebagai bentuk sabuk hijau di sepanjang pantai dan tepi sungai”.
Menurut Sugandhy (1994) bahwa ada beberapa permasalahan yang terdapat dalam kawasan ekosistem hutan mangrove yang dengan upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, yaitu; (1). Pemanfaatan ganda yang tidak terkendali; (2). Permasalahan tanah timbul akibat sedimentasi yang berkelanjutan; (3). Konversi kawasan hutan mangrove menjadi kawasan lain; (4). Permasalahan sosial ekonomi; (5). Permasalahan kelembagaan dan pengaturan hukum kawasan pesisir dan lautan; dan (6). Permasalahan informasi kawasan pesisir. Menurut Anita, 2002, (Fadlan, 2011), bahwa usaha-usaha yang harus dikembangkan dalam upaya pelestarian kerusakan ekosistem hutan mangrove, antara lain; (1). Perlindungan kawasan hutan mangrove yang bernilai konservasi tinggi; (2). Peremajaan perlu dilakukan pada hutan mangrove yang telah rusak untuk memulihkan fungsi ekosistem dan untuk meningkatkan nilai manfaat langsungnya; dan (3). Pencagaran ekosistem hutan mangrove hendaknya berdasarkan kriteria yang jelas dan pertimbangan yang rasional.
Sugiarto (1996) menyatakan bahwa
kawasan ekosistem hutan mangrove banyak dikonservasi dalam kawasan terpisah maupun kawasan tergabung dalam cagar alam, suaka margasatwa dan taman nasional berdasarkan pada empat strategi pokok konservasi, yaitu pelindung proses ekologis dan penyangga kehidupan kawasan, pengawet keragaman sumberdaya plasma nutfah, pelestarian pemanfaatan jenis dan ekosistem, serta tata guna dan tata ruang kawasan hutan mangrove.
Menurut Perum Perhutani (1994) “dalam pelaksanaan reboisasi (penghijauan) kawasan ekosistem hutan mangrove yang mengalami kerusakan dapat dilakukan dengan cara pengadaan bibit, seleksi bibit, persemaian bibit, menggunakan media semai, pengangkutan bibit, penanaman bibit, serta pemeliharaan dan perlindungan”.
Peranan Sistem Informasi Geografis (SIG) dalam Pemetaan Lokasi Penelitian
Sistem Informasi Geografis adalah sistem informasi khusus yang mengelola data yang memiliki informasi spasial (bereferensi keruangan). Atau dalam arti yang lebih sempit, adalah sistem komputer yang memiliki kemampuan untuk membangun, menyimpan, mengelola dan menampilkan informasi berefrensi geografis, misalnya data yang diidentifikasi menurut lokasinya, dalam sebuah databes. Para praktisi juga memasukkan orang yang membangun dan mengoperasikannya dan data sebagai bagian dari sistem ini.
Teknologi Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk mengetahui persebaran berbagai sumberdaya alam, misalnya minyak bumi, batubara, emas, besi dan barang tambang lainnya, SIG bisa membantu waktu tanggap darurat saat terjadi bencana alam, atau SIG dapat digunaan untuk mencari lahan basah yang membutuhkan perlindungan dari polusi.
Kerangka Pemikiran
Penelitian kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli, diawali dengan tahap observasi awal melalui wawancara dengan Kepala Desa Dongko serta beberapa penduduk Desa Dongko, sehingga penyusun menemukan masalah mengenai kebiasaan penduduk memanfaatkan ekosistem hutan mangrove seperti mengambil kayu bakar untuk memasak, membuat areal pertambakan (tambak ikan atau udang), dan pembangunan pemukiman. Oleh karena itu, dengan melihat permasalahan yang ada peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Berdasarkan hasil observasi awal dengan mengumpulkan data-data tentang penduduk Desa Dongko, dapat diketahui jumlah populasi dan disusun daftar kerangka sampel penelitian (penentuan jumlah sampel penelitian). Selanjutnya mencari literatur di perpustakaan dan internet untuk dijadikan sebagai landasan teori oleh peneliti dalam melakukan penelitian. Kemudian menentukan metode penelitian meliputi: sumber data yang terdiri dari dua sumber yakni data primer dan data sekunder. Setelah itu, menyiapkan instrumen atau alat untuk pengumpalan data. Setelah mendapatkan semua data yang diteliti kemudian dilakukan pengolahan data yang meliputi: pengolahan data peta dengan kerangka Sistem Informasi Geografi (meliputi tahapan digitasi, overley, dan layn out serta pembuatan peta tematik), pengolahan data sosial dan ekonomi penduduk (meliputi tahap editing, coding, tabulating, dan analyzing), setelah pengolahan data kemudian dianalisis secara terpadu dengan analisis deskriptif. yang dilengkapi dengan analisis SWOT untuk merumuskan berbagai kebijakan yang akan diambil dalam rangka penyelamatan kawasan hutan mangrove. Tahap terakhir adalah membahas hasil analisis untuk memperoleh kesimpulan. Keseluruhan tahapan dan proses penelitian sebagaimana secara skematik tercantum dalam bagan alir penelitian. (Gambar 2.1).
Terjaadi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Terjadi Perubahan Lahan Mangrove ke Permukiman,Tempat Usaha dan Fasilitas Umum
DESA DONGKO
PENGAMATAN/OBSERVASI
KAJIAN PUSTAKA
METODE PENELITIAN
Pemetaan dan Analisis Peta,
Survei Sampel
SUMBER DATA
Pemetan Penggunaan Lahan
DATA SEKUNDER
Data Demografi
Peta PL 2011-2012
INSTRUMEN PENELITIAN
Kuesioner
DATA PRIMER
Survei Sampel
Penduduk perubah PL
PETA DASAR
Peta Topografi
Penggunaan Lahan 2007, 2008, 2009
Luas Penggunaan Lahan 2010
PENGUMPULAN DATA
Observasi
Wawancara
Koesioner
Dokumentasi
Pengolahan Data
pengeditan
Pemberian Kode
Pembuatan Tabel-tabel
Pengolahan Data SIG
Pemasukan Data Digital
Tumpang Susun Peta
Tata Atribut Peta
ANALISIS DATA
Analisis Peta, Analisis Tabel Tunggal, Analisis Diskriftif dan Analisis SWOT
Peta PL Tahun 2007-2012
Pengabungan Peta Penggunaan Lahan Tahun 2007-2012
kriteria kerusakan
Ringan (≥1500 Pohon/Ha)
Sedang (≥1000 ≤1500 Pohon/Ha)
Berat (≤1000 Pohon/Ha)
Pembahasan dan Rumusan kebijakan
PELAPORAN
Gambar 2.1. Bagan Alir Penelitian
BAB III
BAB III
METODE PENELITIAN
Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian survei. Penelitian survei merupakan penelitian yang mengumpulkan informasi dari suatu populasi/sampel dengan menanyakan langsung/wawancara (interview) dengan menggunakan daftar pertanyaan (angket/kuesioner) yang telah dipersiapkan sebelumnya agar nantinya menggambarkan aspek dari populasi (Fraenkel dan Wallen, 1990 dalam Yatim Riyanto, 1996). Sedangkan menurut Mantra Ida Bagus (1995) menyatakan bahwa: ”penelitian survei adalah penelitian yang datanya dikumpulkan dari seluruh populasi atau sebagian populasi”. Adapun kelebihan dari penelitian survei ini adalah akan mendapatkan data perimer yang dapat dipercaya. Secara biaya survei mungkin tidak murah, semua biaya akan semakin besar jika sampel populasi risetnya juga semakin banyak. Tetapi biaya yang relatife besar diimbangi oleh hasil survei yang relatif lebih tepat.
Lokasi Penelitian
Secara adminitrasi daerah penelitian terletak di Desa Dongko, yang merupakan salah satu diantara 11 (sebelas) desa yang ada di Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli, Provinsi Sulawesi Tengah. Secara astronomi wilayah Desa Dongko berada pada 0°45’46’’- 0°53’15’’ LU dan 120°17’05’’- 120°18’21’’ BT. Desa Dongko terbagi menjadi 3 (tiga) dusun dengan luas wilayah Desa Dongko adalah 48,10 Km2 atau 4810 Ha (12% luas Kecamatan Dampal Selatan). Peta administrasi Kecamatan Dampal Selatan tercantum dalam Lampiran 3.
Batas wilayah Desa Dongko Sebelah Utara Desa Mimbala, Sebelah Timur Pegunungan Indo Ampe, Sebelah Selatan Desa Bangkir dan Desa Puse, Sebelah Barat Teluk Dampal. Desa Dongko berada pada ketinggian 0-1000 Mdpl. suhu berkisar antara 27-32 °C dengan curah hujan 1.008,92 mm perbulan (Kecamatan Dampal Selatan dalam angka tahun 2011). Adapun pengunaan lahan wilayah Desa Dongko terdiri dari pemukiman penduduk 82,5 Ha (1,75% luas Desa Dongko), pertanian 528,2 Ha (10% luas Desa Dongko), perkebunan 2605,8 Ha (54,17% luas Desa Dongko), lahan hutan 648 Ha (13,47% luas Desa Dongko), pendidikan 5,7 Ha (0,11% luas Desa Dongko), olahraga 3,2 Ha (0,06% luas Desa Dongko), perikanan 38 Ha (0,79% luas Desa Dongko), rumah ibadah 1,3 Ha (0,02% luas Desa Dongko) dan pemakaman 2,5 Ha (0,05% luas Desa Dongko) serta lahan kosong 894,8 Ha (18,60% luas Desa Dongko) (Desa Dongko, 2010).
Adapun alasan penulis mengambil daerah ini sebagai lokasi penelitian adalah:
Daerah tersebut banyak terdapat pengalih-fungsian/konversi lahan hutan mangrove menjadi lahan tambak dan permukiman, luas ekosistem hutan mangrove yang dulunya sekitar 79,83 Ha kini tersisa sekitar 39,62 Ha (penyusutannya sekitar 40,21 Ha atau sekitar 50,46% dari luas keseluruhan hutan mangrove);
Belum pernah dilakukan penelitian yang sama di daerah ini sebelumnya;
Lokasi penelitian tersebut merupakan daerah asal peneliti.
Waktu Pelaksanaan Penelitian
Penelitian dilaksanakan mulai bulan Desember 2012 sampai dengan bulan April 2013. (bersesuaian dengan Semester Ganjil Tahun Akademik 2012/2013). Penelitian terdiri dari 11 (sebelas) tahapan berdasarkan jenis aktivitasnya. Adapun tahapan penelitian sebagai berikut:
Penacarian bahan, observasi, dan penyusunan proposal;
Konsultasi dan perbaikan proposal;
Ujian proposal;
Perbaikan proposal;
Pengurusan surat izin penelitian dan SK Pembimbing;
Penelitian lapangan (pengumpulan data primer dan sekunder);
Pengolahan data;
Analisis data;
Ujian hasil;
Ujian skripsi;
Perbaikan skripsi;
Keseluruhan aktivitas tahapan penelitian dan alokasi waktu pelaksanaan penelitian sebagaimana tercantum dalam Lampiran 1
Jenis dan Sumber Data Penelitian
Jenis Data
Jenis data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diambil dari sumber pertama (responden). Data primer berupa hasil pengisian kuesioner. Data sekunder adalah data yang dikumpulkan dari instansi yang terkait. Data sekunder dalam penelitian ini salah satunya berupa dokumentasi data penduduk 2012, seperti data jumlah penduduk, luas penggunaan lahan pemukiman, luas penggunaan lahan tambak yang digunakan penduduk, dan sebagainya.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah penduduk (responden) Desa Dongko, Kantor Desa, dan Koordinator Statistik Kecamatan Dampal Selatan. Jenis dan sumber data dalam penelitian sebagaimana tercantum dalam Tabel 3.2
Tabel 3.2 Jenis dan Sumber Data Penelitian
No
Intstrumen penelitian
Jenis Data
Sumber Data
1
Kuesioner
Data Primer
Penduduk (Responden)
2
Dokumentasi
Data Sekunder
Kantor Desa, Koord. Statitistik Kec. Dampal Selatan, BPN Kab. Tolitoli, BAPPEDA Kab. Tolitoli.
Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi Penelitian
Populasi penelitian yang dimaksudkan di sini adalah penduduk yang terlibat langsung dalam perubahan penggunaan lahan ekosistem hutan mangrove dan penduduk yang bermukim di sekitar hutan mangrove yang berjumlah 1021 jiwa atau 465 Kepala Keluarga (KK).
Tabel 3.3 Jumlah Penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2012
No
Nama Dusun
Jenis Kelamin
Jumlah
Kepala Keluarga
Laki-Laki
Perempuan
1
Dongko
361
336
303
2
Silumba
166
158
162
Jumlah
527
494
465 KK
Jumlah laki-laki+ perempuan = 1021
Sumber : Kantor Desa Dongko 2012
Sampel
Menurut Arikunto S. (2002:109) menyatakan bahwa “Sampel adalah sabagian atau wakil dari populasi yang diteliti”. Sampel juga merupakan sebagian anggota dari anggota populasi yang dapat memberikan keterangan atau data yang diperlukan dalam suatu penelitian, sampel ini biasanya disimbolkan dengan (n) yang ukurannya akan selalu lebih kecil dari populasi (N). Sampel dalam penelitian ini adalah penduduk yang bertempat tinggal/berdomisilin di Desa Dongko.
Pengambilan sampel dilakukan dengan metode acak sederhana (Simple Random Sampling) dan yang menjadi sampel dalam penelitian adalah Penduduk Desa Dongko yang bermukim di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove, dari ketiga dusun yang ada di desa Dongko hanya dua dusun yang berada di sekitar ekosistem hutan mangrove yaitu dusun I Dongko dan dusun 3 Silumba yang keseluruhan memiliki penduduk berjumlah 621 jiwa dari 465 KK. Penarikan sampel secara Simple Random Sampling yaitu jumlah ditentukan dengan cara undian. Hal ini dimaksudkan agar semua individu (penduduk) dalam populasi mempunyai peluang atau kesempatan yang sama menjadi anggota sampel.
Jumlah sampel penelitian ditentukan dengan Formulasi Krejcie dan Morgan (Mantra, Ida Bagoes, 1995), lebih lanjut Mantra, Ida Bagoes (1995) menyimpulkan bahwa: “dalam melakukan perhitungan ukuran sampel didasarkan atas kesalahan kesalahan maksimal 5%. Jadi sampel yang diperoleh itu mempunyai tingkat kepercayaan sebesar 95% terhadap populasinya”. Formulasi Krejcie dan Morgan (1990) dalam penentuan jumlah sampel (sample size) adalah :
X2 NP (1- P)
S =
d2 (N -1) + X2 p (1 – P)
di mana:
S = Jumlah anggota sampel
N = Jumlah anggota populasi
P = Proporsi populasi (0,5)
d = Derajat ketelitian (0,05)
x2 = Nilai tabel X2 (3,841).
Berdasarkan pendapat di atas, maka jumlah sampel yang diambil yaitu :
X2 NP (1- P)
S =
d2 (N -1) + X2 p (1 – P)
3,841.465.0,5 (1- 0,5)
S =
0,052(465 -1) + 3,841.0,5 (1 – 0,5)
446,51625
S =
2,12025
S = 211
Penelitian ini yang dijadikan sampel adalah penduduk yang terlibat langsung dalam perubahan penggunaan lahan di kawasan hutan mangrove dan penduduk yang berada disekitar kawasan hutan mangrove, akan tetapi untuk mempermudah dalam pengambilan sampel maka dihitung dari dari jumlah populasi penduduk 465 KK. Sehingga dari hasil perhitungan dengan menggunakan Formulasi Krejcie dan Morgan diperoleh sampel sebanyak 211 KK (45,3%) dan ditambah informan yaitu Kepala Desa (Andi Moh. Messeng). Jumlah responden yang ditetapkan dalam penelitian sebagaimana tercantum pada Tabel 3.3
Tabel 3.3 Jumlah Kepala Keluarga (KK) Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli Tahun 2011 dan Sampel Penelitian
No
Nama Dusun
Populasi
( N )
Sampel
( n )
1
Dongko
303
138
2
Silumba
162
73
Jumlah
465
211
Sumber : Kantor Desa Dongko (2011) dan hasil perhitungan
Variabel penelitian
Adapun variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas (independent variabel) dan variabel terikat (dependent variabel). Varibel bebas adalah kerusakan ekosistem yang diberi simbol X, sedangkan variabel terikat adalah hutan MANGROVE yang diberi simbol Y. Penelitian ini bersifat korelasi, berdasarkan varibel penelitian maka ada hubungan variabel X dan varibel Y adalah:
Luasan
Hutan MANGROVE (Y)
Kerusakan Ekosistem (X)
Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian merupakan suatu alat bantu yang digunakan dalam melakukan penelitian, tujuan dari adanya intsrumen ini yaitu untuk memberi kemudahan kepada peneliti dalam melakukan penelitian. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah daftar pertanyaan penelitian/kuesioner (questionaire), dan peta (map).
Prosedur Penelitian
Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam pengumpulan data sebagai berikut:
Tahap Awal
Mencari literatur yang sesuai dengan penelitian;
Observasi pada lokasi penelitian;
Menentukan lokasi penelitian;
Menyusun proposal penelitian;
Menyeminarkan proposal penelitian;
Lapangan.
Tahap Pelaksanaan
Pada tahap pelaksanaan ini dilakukan pengumpulan data dengan cara pengumpulan data memberikan kuesioner langsung ke rumah responden/melakukan wawancara;
Pengolahan data primer dan data sekunder (editing, coding, dan tabulating data);
Menganalisis data primer dan sekunder (data analizing);
Mengurus surat keterangan bahwa telah mengadakan penelitian.
Tahap Akhir
Pada tahap terakhir yang dilakukan adalah menyusun laporan hasil penelitian / skripsi
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah:
Observasi
Observasi adalah pengamatan dan pencatatan dengan sistematik tentang fenomena-fenomena yang diteliti. Menurut Jehoda dkk (dalam Sutrisno Hadi, 1973) observasi menjadi alat penelitian ilmiah apabila:
Mengabdi kepada tujuan dan sasaran penelitian yang akan dirumuskan;
Direncanakan secara sistematik;
Dicatat dan dihubungkan secara sistematik dengan proposisi-proposisi yang lebih umum;
Dapat dicek dan dikontrol ketelitiannya.
Metode observasi merupakan cara yang sangat baik untuk mengamati perilaku penduduk seperti misalnya: perilaku dalam lingkungan atau ruang, waktu dan keadaan tertentu. Namun demikian metode ini ada pula kelemahannya yaitu tidak dapat mengungkapkan hal-hal yang sangat pribadi, dan juga perbuatan-perbuatan di masa lampau.
Pemetaan Penggunaan Lahan
Pemetaan penggunaan lahan sangat penting untuk dilakukan, untuk mengetahui sejauh mana tingkat kerusakan fisik ekosistem hutan mangrove yang telah dilakukan oleh penduduk setempat melalui analisis peta.
Wawancara
Sebelum melakukan wawancara dengan responden, pewawancara harus memahami benar isi dari daftar pertanyaan, operasionalisasi dari konsep-konsep yang ada dalam daftar pertanyaan tersebut. Berhasil tidaknya pewawancara mewawancarai responden sangat tergantung pada pendekatan pewawancara terhadap responden.
Menurut Singarimbun, Irawati (1989), pedoman untuk mencapai tujuan wawancara dengan baik adalah sebagai berikut:
Berpakaian sederhana dan rapi, tanpa perhiasan;
Sikap rendah hati;
Sikap hormat kepada responden;
Ramah dalam sikap dan ucapan disertai dengan air muka yang cerah;
Sikap yang penuh pengertian terhadap responden dan netral;
Bersikap seolah-olah tiap responden yang kita hadapi selalu ramah dan menarik;
Sanggup menjadi pendengar yang baik.
Kuesioner
Kuesioner adalah suatu cara pengumpulan data melalui suatu daftar pertanyan tertulis. Setiap responden dapat menentukan salah satu dari beberapa alternatif jawaban yang disediakan pada tiap-tiap pertanyaan. Kuesioner ini akan diberikan kepada responden yang telah dipilih di lokasi penelitian.
Dokumentasi
Dokumentasi yaitu suatu tehnik pengumpulan data yang dilakukan melalui pencatatan dokumen-dokumen penting yang berkaitan dengan aspek penelitian. Maksud dari dokumentasi ini adalah memberikan penguatan pada data primer sehingga data yang ada benar-benar akurat. Adapun data yang hendak diperoleh melalui tehnik ini adalah seluruh data yang menyangkut Desa Dongko yang akan mendukung analisis dalam penelitian ini.
Analisis Data
Adapun teknik analisis data yang akan dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif. Analisis ini digunakan untuk memberikan gambaran tentang kebiasaan penduduk memanfaatkan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli.
Analisis Peta dengan Kerangka SIG
Analisis Peta dengan Kerangka SIG adalah sistem informasi yang didisain untuk mengolah data yang berkenaan dengan koordinat geografis atau keruangan. Pendek kata, SIG adalah suatu sistem basis data dengan kemampuan khusus untuk data yang berkenaan dengan keruangan, dan juga seperangkat operasi untuk mengolah data. Keunggulan SIG adalah kemampuannya untuk mengolah data keruangan, yang akan digunakan untuk melengkapi atau memodifikasi peta sehingga data yang terpisah-pisah dapat dianalisis saling hubungannya dan dievaluasi perkembangan wilayahnya hasil olahan jenis-jenis data penggunaan lahan tiap tahun pemotretan akan menghasilkan peta baru yang komprehensif.
Hasil interpretasi penggunaan lahan dari masing-masing tahun pemotretan kemudian diuji tingkat ketelitiannya, dengan maksud untuk mengetahui tingkat kesahihan data foto udara untuk keperluan studi ini. Untuk memperoleh ukuran luas dan bentuk perubahan penggunaan lahan selanjutnya hasil interpretasi yang berupa peta penggunaan lahan diubah dalam bentuk peta digital agar dapat diolah lebih lanjut dengan komputer dengan menggunakan perangkat lunak Sistem Informasi Geografis (SIG), khususnya dengan perangkat lunak Arc/Info dan ArcGis. Pengolahan dengan SIG memungkinkan dilakukan analisis secara spasial dan temporal Peta akhir yang diperoleh dari tumpang susun antara peta-peta yang berbeda tahun tersebut akan menghasilkan blok-blok unit penggunaan lahan dan perubahannya. Selanjutnya peta akhir yang diperoleh yang telah dianalisis dengan SIG dapat dibaca untuk dilakukan deskripsi dan analisis lanjut, sehingga dapat menjawab permasalahan penelitian.
Analisis Data Sosial dan Ekonomi
Adapun tahapan pengolahan data yang dilakukan pada analisis deskriptif ini sebagai berikut:
Pengeditan (Editing) adalah pekerjaan pengecekan/pemeriksaan kelengkapan dan kebenaran pengisian jawaban responden dalam kuesioner penelitian oleh interviewer untuk diolah lebih lanjut;
Pemberian Kode (Coding) adalah pemberian simbol angka pada jawaban yang diberikan responden berkaitan dengan pertanyaan dalam kuesioner;
Pembuatan tabel (Tabulating) adalah pemindahan data dan informasi dari kuesioner satu lembar kode ke dalam tabel-tabel tematik;
Penganalisaan (Analyzing) adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa untuk mengetahui peristiwa yang sebenarnya.
Analisis SWOT
Data yang digunaan dalam Analisis SWOT adalah data dari kuesioner yang diisi oleh Penduduk dan kemudian dirumuskan dari kebijakan pemerintah daerah. Analisis SWOT adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat dimaksimalkan kekuatan (S), secara bersama dapat meminimalkan kelemahan (W), peluang (O), dan ancaman (T). Analisis SWOT membandingkan antara faktor eksternal peluang (Opportunities) dan ancaman (Threats) dengan faktor internal kekuatan (Strengths) dan kelemahan (Weakneses). Dalam penelitian ini analisis SWOT dipergunakan untuk merumuskan strategi pengelolaan kawasan hutan mangrove Desa Dongko dengan merebut peluang yang tersedia maupun untuk mengatasi kelemahan yang dihadapi. Matriks strategi untuk menentukan kebijakan sebagaimana tersebut dalam Tabel 3.4
Tabel 3.4 Matriks Strategi Berdasarkan Matriks SWOT
IFAS
EFAS
Strength (S)
Masukkan daftar faktor kekuatan internal disni
Weakness (W)
Masukkan daftar faktor kelemahan internal disni
Opportunities (O)
Masukkan faktor peluang eksternal di sini
Strategi S-O
Buat strategi dalam rangka menggunakan kekuatan internal untuk memanfaatkan atau menangkap peluang eksternal
Strategi W-O
Buat strategi dalam rangka meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan atau menangkap peluang
Threats (T)
Masukkan daftar tantangan eksternal di sini
Strategi S-T
Buat strategi dalam rangka menggunakan kekuatan internal untuk menghadapi ancaman eksternal
Strategi W-T
Buat strategi yang meminimalkan kelemahan sekaligus menghindari ancaman
Sumber: Konsep dan Metode Analisis SWOT dalam Aziz Budianta (2008)
BAB IV
GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN
Sejarah Desa Dongko
Desa Dongko merupakan sebuah desa yang terletak di Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli dahulu di daerah tersebut terdapat Kerajaan Dampal yang berpusat di Desa Bangkir. Wilayah bekas kekuasaan Kerajaan Dampal saat ini meliputi 2 (dua) wilayah kecamatan yaitu wilayah Kecamatan Dampal Selatan dan wilayah Kecamatan Dampal Utara.
Raja Dampal sering mengunjungi wilayah-wilayah yang berada di bawah kekuasaannya. Pada suatu hari raja Dampal mengunjungi wilayahnya yang berada di Utara, di tengah perjalanan raja Dampal merasa sangat kelelahan dan memutuskan untuk beristirahat sejenak di suatu pinggir pantai yang memiliki hawa/udara yang sangat sejuk dan di kelilingi oleh banyak pepohonan. Dikarenakan derah tersebut belum memiliki nama maka Raja Dampal memberi nama Daerah tersebut dengan sebutan “Dongko”. Kata “Dongko” berasal dari suatu kata dalam bahasa Dampal yang artinya “Kayu Bengkok”.
Letak, Luas, dan Batas
Secara adminitrasi Desa Dongko terletak di Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli, dengan letak astronomis 0°45’46’’- 0°53’15’’ LU dan 120°17’05’’- 120°18’21’’ BT . Luas wilayah Desa Dongko adalah 48,10 Km2 atau 4810 Ha (12% Luas Kecamatan Dampal Selatan). Letak Desa Dongko berada di sebelah Utara berjarak sekitar 4 Kilometer dari Ibu Kota Kecamatan Dampal Selatan. Peta administrasi Desa Dongko tersebut dalam Gambar 4.1. Secara adminitrasi Desa Dongko berbatasan dengan daerah sekitarnya dengan batas wilayah:
Sebelah Utara : Desa Mimbala
Sebelah Timur : Pegunungan Indo Ampe
Sebelah Selatan : Desa Bangkir dan Desa Puse
Sebelah Barat : Teluk Dampa
Gambar 4.1 Peta Administrasi Desa Dongko Tahun 2012 Skala: 1: 40.000
Kondisi Fisik
Iklim
Sebagaimana wilayah di Indonesia pada umumnya, iklim di sebagian besar wilayah Kabupaten Tolitoli termasuk ke dalam kategori iklim tropis. Suhu maksimum tertinggi mencapai 31,90°C yang terjadi pada bulan Juni 2011. Sementara itu suhu minimum rata-rata tercatat 23,30°C, lebih tinggi bila dibandingkan dengan tahun 2010 yang mencapai 22,57°C dengan suhu terendah 22,00°C yang terjadi pada bulan Februari 2011. Rata-rata Kelembapan Udara pada tahun 2011 lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2010, yaitu dari 83,49% menjadi sebesar 84,79% (Kecamatan Dampal Selatan dalam Angka 2011).
Cuaca di wilayah Desa Dongko pada umumnya di pengaruhi oleh 2 (dua) musim secara tetap yaitu Musim Barat membawa uap air yang banyak dan Musim Timur yang kering. Musim Barat Terjadi sekitar Bulan Mei – Oktober yang ditandai dengan banyaknya turun hujan, sedangkan Musim Timur sekitar Bulan Nopember – April yang ditandai dengan sedikitnya turun hujan. Pada akhir tahun 2012 curah hujan bervariasi rata-rata 1.008,92 mm perbulan, dengan rata-rata hari hujan 10 hari perbulan. Jumlah curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Januari 2012 dengan curah hujan mencapai 551 mm sedangkan terendah terjadi pada bulan September 2012 yang hanya 0 mm. Banyaknya curah hujan dan hari hujan di Kecamatan Dampal Selatan tahun 2012 sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.1
Tabel 4.1 Keadaan Curah Hujan Per Bulan di Kecamatan
Dampal Selatan tahun 2012
No
Bulan/Month
Hari hujan/Rain day
Nilai (mm)
1.
Januari
16
511
2.
Februari
12
315
3.
Maret
12
137
4.
April
12
139
5.
Mei
6
90
6.
Juni
14
111
7.
Juli
8
141
8.
Agustus
10
55
9.
September
3
0
10.
Oktober
3
87
11.
November
20
255
12
Desember
7
243
Jumlah/Total
123
2.084
Sumber/Source: PPH kecamatan
Topografi
Topografi wilayah memberikan gambaran tentang keadaan bentang alam yang diukur pada tingkat kemiringan lereng (slope). Topografi suatu wilayah dapat dijadikan potensi pengembangan juga sekaligus dapat pula menjadi penghambat dalam pelaksanaan pembangunan daerah, tergantung pada bagaimana perlakuan/adaptasi terhadap kondisi topografi yang ada tersebut.
Topografi wilayah Desa Dongko adalah berlembah dan berbukit, dengan luas wilayah lembah 66,37% sedangkan wilayah perbukitan seluas 33,63%. di kawasan pesisir pantai dengan ketinggian tempat berkisar dari 0 meter sampai dengan 1000 meter dari permukaan laut. ( Kecamatan Dampal Selatan dalam angka 2011).
Kondisi Demografi
Luas wilayah Desa Dongko adalah 48,10 Km2. Pada akhir tahun 2012, jumlah penduduk Desa Dongko sebanyak 1489 jiwa (meliputi 678 Kepala Keluarga) yang dirinci menurut jenis kelamin laki-laki sejumlah 776 jiwa dan perempuan 713 jiwa, dengan kepadatan penduduk sekitar 32 jiwa per Km2 (Kecamatan Dampal Selatan dalam angka 2012). Penduduk Desa Dongko tersebut dalam 3 (tiga) wilayah Dusun yaitu:
Tabel 4.2 Penduduk Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan
Tahun 2012
Dusun
Jenis Kelamin
Jumlah
Kepala
Keluarga
Laki-Laki
Perempuan
Dongko
361
336
697
303
Lemo
249
219
468
213
Silumba
166
158
324
162
Desa Dongko
776
713
1489
678
Sumber : Kantor Desa Dongko 2012
Dilihat dari etnis/sukunya, suku-suku yang mendiami Desa Dongko antara lain: suku Bugis, Mandar, Dampal, Dondo, Pindau, Sunda, Kaili, Lauje, Gorontalo, Manado, dan Flores sebagaimana dalam Tabel 4.3
Tabel 4.3 Etnis/suku Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan
Tahun 2012
Suku
Frekuensi
Persentase (%)
Bugis
1125
75,55
Mandar
278
18,67
Dampal
15
1,01
Dondo
14
0,94
Pindau
28
1,89
Sunda
4
0,26
Kaili
3
0,20
Lauje
7
0,48
Gorongtalo
2
0,13
Manado
8
0,54
Flores
5
0,33
Jumlah
1489
100%
Sumber : Kantor Desa Dongko 2012
Kondisi Infrastruktur
Kondisi infrastruktur menggambarkan ketersediaan prasarana dan sarana pelayanan penduduk yang ada di daerah penelitian. Ditinjau dari ketersediaan prasarana dan sarana pelayanan penduduk Desa Dongko masih sangat minim, dikarenakan masih banyak yang belum tersedia, baik prasana dan sarana pendidikan, pemerintahan dan kesehatan, walaupun infrastruktur sudah ada tapi masih jauh dari kata layak karena tidak tidak diurus dengan baik/tidak terawat. Prasarana dan sarana yang sudah tersedia di Desa Dongko sampai dengan akhir tahun 2012 sebagaimana tercantum dalam Tabel 4.4
Tabel 4.4 Prasarana dan Sarana Desa Dongko
Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2012
No
Bangunan
Jumlah
1
Gedung SDN /MI
2 Unit
2
Rumah Dinas Guru
4 Unit
3
Rumah Dinas Kepsek
2 Unit
4
Gedung TK
2 Unit
5
Pustu
1 Buah
6
Posyandu
2 Buah
7
Pos Kamling
2 Buah
8
Pos Babinsa
1 Buah
9
Taman Pengajian
3 Buah
10
Lokasi Perkantoran/ Balai Desa
1 Buah
Sumber Kantor Desa Dongko 2012
Kondisi Pendidikan
Sebagai upaya mencerdaskan kehidupan bangsa maka pendidikan menjadi hal yang sangat penting yang pada gilirannya merupakan investasi manusia bagi kepentingan pembagunan nasional.
Dilihat dari pengembangan sumber daya manusia yang ada, di Desa Dongko fasilitas pendidikan masih sangat minim. Hal ini dapat dilihat dari pembagunan sarana pendidikannya TK 1 Buah dan SD 2 buah. Sedangkan untuk SMP dan SMA atau sederajat belum ada/belum tersedia.
Kondisi Sosial Budaya dan Ekonomi
Kondisi Sosial Ekonomi
Penduduk Desa Dongko mayoritas bekerja sebagai petani/ nelayan hal ini didukung oleh wilayah Desa Dongko yang memiliki banyak lahan pertanian yang dapat diolah oleh penduduk. Secara aktivitas ekonomi penduduk Desa Dongko meliputi bidang tanaman pangan, perkebunan, dan perikanan. Gambaran umum aktivitas penduduk Desa Dongko ditinjau dari bidang lapangan pekerjaan adalah:
Bidang Tanaman Pangan
Sektor pertanian tanaman pangan adalah merupakan sektor yang sangat potensial di Desa Dongko karena sebagian besar penduduk mempunyai mata pencaharian dengan bercocok tanam terutama tanaman padi dan palawija (misalnya padi, jagung, ubi kayu, kacang tanah, ubi kayu/singkong, dan ubi jalar).
Bidang Perkebunan
Jenis tanaman/komoditas perkebunan yang mayoritas diusahakan penduduk Desa Dongko meliputi: Coklat/Kakao, Kopi, dan Kelapa. Jumlah luas panen tanaman Kelapa mengalami luas peningkatan panen sedangkan tanaman Coklat dan Kopi terus mengalami penurunan dikarenakan ditebang oleh penduduk untuk dijadikan lahan usaha tanaman Kelapa. Untuk sektor perkebunan Kelapa, luas lahanya semakin meningkat hal ini disebabkan oleh kebijakan pemerintah daerah untuk mengolah lahan tidur menjadi lahan perkebunan Kelapa.
Bidang Peternakan
Usaha peternakan ternak besar dan kecil meliputi: Sapi dan Kambing mengalami peningkatan hal ini didukung oleh topografi wilaya Desa Dongko di mana banyak terdapat lahan untuk sebagai tempat berternak dan bayak terdapat rumput liar sebagai makanan ternak.
Bidang Perikanan
Usaha perikanan Desa Dongko tiap tahun mengalami peningkatan karena semakin banyaknya lahan tambak yang dibuat oleh petani setempat. Baik lahan tambak Ikan Bandeng dan tambak Ikan Mujahir. Mengenai beberapa sub sektor usaha di atas dapat meningkatkan hasil perekonomian penduduk Desa Dongko.
Kondisi Sosial Budaya
Kondisi budaya penduduk Desa Dongko masih mempertahankan budaya lokal seperti adat istiadat leluhurnya. Sebagai Contoh apabila ada orang sakit penduduk lebih sering kedukun dari pada ke puskesmas untuk berobat. Contoh lain dalam hal gotong royong warga masih pertahankannya seperti dalam pembuatan rumah panggung dan pada saat musim tanam padi sawah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengaruh tradisi nenek moyang masih cukup kental mewarnai kehidupan sosial penduduk Desa Dongko. Sosial budaya suku-suku yang masih ada di Desa Dongko seperti budaya suku Dampal, suku Bugis, Suku Mandar. Adat istadat suku Dampal yaitu “Mappamali” acara adat ini biasanya dilakukan pada akhir tahun, tujuan dari adat ini untuk menolak bala. Adat istiadat suku Bugis yang masih ada yaitu “Mappadendang” adat ini lakukan pada waktu habis panen, tujuannya yaitu merupakan bentuk rasa syukur kepada Allh SWT karena telah memberikan rezeki. Adat istiadat suku Mandar yaitu “Kuda Pattuduq” dilakukan pada bulan Rabiul Awal sampai Rabiul Akhir tujuannya untuk memperigati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW dan Khatam Al-qur’an .
Kondisi Kesehatan
Pembangunan di bidang kesehatan bertujuan agar semua penduduk dapat memproleh pelayanan kesehatan secara mudah, murah dan merata. Tujuan tersebut bisa dicapai bila sarana kesehatan sudah merata, di samping itu unsur tenaga kerja medis/pramedis serta obat-obatan juga harus tersedia untuk meningkatkan kwalitas hidup penduduk yang diharapkan dapat menekan angka kematian, meningkatkan usia harapan hidup, kesehatan reprodiksi ibu hamil, mengurangi penderita penyakit, dan menbudayakan hidup sehat. Upaya-upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan penduduk yang telah dilakukan pemerintah daerah, antara lain dengan melakukan penyuluhan kesehatan dan penyediaan fasilitas umum seperti puskesmas pembantu, posyandu dan penyediaan sarana air bersih penduduk (sumur suntik, sumur bor dan air PAM) serta membuat fasilitas Mandi, Cuci, dan Kakus (MCK) agar mengurangi kebiasaan penduduk untuk buang hajat disembarangan tempat seperti semak dan sungai. Jumlah fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) yang ada di Desa Dongko tiap Dusun dapat dilihat dalam Tabel 4.5.
Tabel 4.5 Jumlah Fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK)
di Desa Dongko
Dusun
Mandi Cuci Kakus (MCK)
Dongko
7
Lemo
5
Silumba
5
Jumlah
17
Agama
Seluruh penduduk Desa Dongko beragama Islam, dalam menjalani kehidupan beragama pemerintah Desa dongko melalui remaja masjid berusaha membangun suasana yang rukun, yang diarahkan kepada peningkatan amal ma’ruf dan nahi mungkar. Jenis prasarana peribadatan yang tersedia di Desa Dongko meliputi Masjid dan Mushollah/Langgar. Jenis dan jumlah prasarana peribadatan yang tersedia Kecamatan Dampal Selatan (termasuk Desa Dongko) tahun 2012 tersebut dalam Tabel 4.6.
Tabel 4.6 Jenis dan Jumlah Prasarana Peribadatan
di Kecamatan Dampal Selatan
Desa/Dusun
Masjid
Mushollah/Langgar
Kombo
6
2
Tampiala
4
2
Soni
6
3
Bangkir
7
3
Dongko
4
-
Dongko
Lemo
Silumba
2
1
1
-
-
-
Mimbala
2
1
Abbajareng
2
-
Paddumpu
3
1
Lempe
6
2
Puse
3
-
Simuntu
1
-
Kec. Damsel
48
14
Sumber: Kecamatan Dampal Selatan Dalam Angka, 2012
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Responden Penelitian
Responden pada penelitian ini adalah Penduduk Desa Dongko sebanyak 211 KK. Oleh karena itu, jumlah kuesioner yang disebar sebanyak 211 eksemplar. Dari semua kuesioner yang tersebar tidak ada yang dinyatakan gugur karena telah diisi secara lengkap, sehingga kuesioner yang dapat diolah sebanyak 211 eksemplar.
Analisis Variabel Penelitian
Hasil tabulasi data kuesioner yang diperoleh dari masing-masing jawaban responden dengan pernyataan tentang kerusakan ekosistem hutan mangrove kepada Kepala Keluarga (KK)/Responden untuk menentukan jumlah masing-masing nilai kuesioner dari semua jawaban responden. Adapun analisis deskriptif kerusakan ekosistem hutan mangrove kepada responden adalah sebagai berikut.
Karakteristik Penduduk Desa Dongko
Jenis Kelamin Kepala Keluarga
Pada umumnya jenis kelamin Kepala Keluarga adalah laki-laki. Hasil penelitian tentang jenis kelamin kepala keluarga di Desa Dongko disajikan pada Tabel 5.1.
Tabel 5.1 Jenis Kelamin Kepala Keluarga Penduduk Desa Dongko
Jenis Kelamin
Frekuensi
Persentase (%)
Laki-laki
198 orang
93,84
Perempuan
13 orang
6,16
Jumlah
211 orang
100,00
Tabel 5.1 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa jenis kelamin Kepala Keluarga mayoritas adalah laki-laki, yaitu sebanyak 198 orang (93,84%), sisanya perempuan sebanyak 13 orang (6,16%).
Status Perkawinan Kepala Keluarga
Data status perkawinan Kepala Keluarga diperlukan untuk menggambarkan status responden dan pemenuhan kewajiban seorang Kepala Keluarga terhadap keluarganya. Berdasarkan status perkawinannya Kepala Keluarga dapat dibedakan menjadi: belum kawin, kawin, dan cerai hidup/cerai mati (janda/duda). Hasil penelitian mengenai status perkawinan Kepala Keluarga tersebut dalam Tabel 5.2.
Tabel 5.2 Status Perkawinan Kepala Keluarga
Status Perkawinan
Frekuensi
Persentase (%)
Belum Nikah
1 orang
0,48
Nikah
196 orang
92,89
Janda/Duda
14 orang
6,63
Jumlah
211 orang
100,00
Berdasarkan Tabel 5.2 dapat dijelaskan bahwa jumlah responden 92,89% berstatus menikah, 663% berstatus Duda/Janda dan sisanya 0,48% berstatus belum menikah. Secara keseluruhan status perkawinan Kepala Keluarga adalah menikah/berkeluarga sebanyak 196 orang, yang menunjukkan bahwa sebagian besar Kepala Keluarga sudah menikah. Kaitannya dengan mata pencaharian adalah untuk memberikan gambaran bahwa secara umum Kepala Keluarga berjenis kelamin laki-laki, akan tetapi kepala keluarga juga dapat berjenis kelamin perempuan apabila Kepala Keluarga yang berjenis kelamin laki-laki sudah tidak ada (meninggal), bercerai, dan lain-lain. Hal ini disebabkan yang paling banyak berperan dalam keluarga khususnya dalam hal bertugas menafkahi keluarga adalah Kepala Keluarga yang berjenis kelamin laki-laki dan dapat saling membantu dalam menyelesaikan masalah ekonomi yang dihadapi.
Umur Kepala Keluarga
Umur Kepala Keluarga sangat penting karena dari segi umur dapat dilihat dalam kemampuan untuk melakukan suatu pekerjaan dan kematangan dalam berpikir untuk mengambil segala keputusan dalam keluarga. Dari segi umurnya kepala keluarga dapat dikelompokkan menjadi: 0-14 tahun (sangat muda), 15-49 tahun (dewasa) dan >50 tahun (lanjut). Keterkaitan umur dengan mata pencaharian adalah untuk memberikan gambaran mengenai umur Kepala Keluarga apakah tergolong muda atau tua yang dapat mempengaruhi produktifitas dalam bekerja, dimana kepala keluarga dari seluruh responden lebih dominan bekerja sebagai petani/nelayan. Karena pekerjaan apabila semakin tua umur kepala keluarga maka semakin rendah penghasilan yang diperoleh begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian dapat disajikan pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Umur Kepala Keluarga
Kelompok Umur
Frekuensi
Persentase (%)
0 – 14 (sangat muda)
0 orang
0,00
15 – 49 (dewasa)
182 orang
86,25
>50 (lanjut)
29 orang
13,75
Jumlah
211 orang
100,00
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa mayoritas umur Kepala Keluarga termasuk dalam kategori dewasa sebanyak 182 orang (86,25%) dan sebagian kategori lanjut/tua sebanyak 29 orang (13,75%), dan umur produktif 15-65 tahun.
Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga (KK)
Tingkat pendidikan adalah “jenjang pendidikan formal tertinggi yang telah dicapai yang bisa dihitung berdasarkan jumlah tahun sukses” (Aziz Budianta, 2008). Tingkat pendidikan Kepala Keluarga merupakan hal yang penting, karena perbedaan tingkat pendidikan pendidikan Kepala Keluarga akan mempengaruhi dalam lingkungan keluarga itu sendiri. Berdasarkan jumlah tahun sukses (tingkat pendidikan) Kepala Keluarga dapat diklasifikasikan menjadi: 0 tahun (tidak sekolah), 1-5 tahun (tidak lulus SD), 6 tahun (lulus SD), 7-9 tahun lulus SLTP, 10-12 tahun lulus SLTA dan > 13 tahun lulus akademi/PT. Kaitannya dengan mata pencaharian adalah untuk memberikan gambaran bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan Kepala Keluarga, maka akan lebih selektif dalam memilih pekerjaan untuk menafkahi keluarga dan mengambil keputusan yang lebih bijaksana. Hasil penelitian tentang tingkat pendidikan Kepala Keluarga dapat disajikan pada Tabel 5.4.
Tabel 5.4 Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga Berdasarkan Jumlah
Tahun Sukses
Tingkat Pendidikan
Tahun Sukses
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak Sekolah
0
6 orang
2,84
Tidak Lulus SD
1-5
11 orang
5,21
Lulus SD
6
127 orang
60,19
Lulus SLTP
7 – 9
37 orang
17,54
Lulus SLTA
10 – 12
27 orang
12,80
Akademi/PT
> 13
3 orang
1,42
Jumlah
211 orang
100,00
Tabel 5.4 menunjukkan bahwa tingkat pendidikan Kepala Keluarga berdasarkan tingkat pendidikan responden yang ditunjukkan dari jumlah tahun sukses, yaitu jumlah akumulasi waktu/tahun menempuh pendidikan tertinggi yang ditamatkan. Berdasarkan jumlah tahun suksesnya, yang paling tinggi kelulusan responden (KK) berada pada kelompok tahun sukses adalah 6 tahun sebanyak 127 orang (60,19%) atau lulusan SD, 7-9 tahun sebanyak 37 orang (17,54%) atau lulus SLTP, 10-12 tahun sebanyak 27 orang (12,80%) atau lulus SLTA, 1-5 tahun sebanyak 11 orang (5,21%) atau tidak lulus SD, 0 tahun sebanyak 6 orang (2,84%) atau tidak sekolah dan > 13 Tahun sebanyak 3 orang (1,42%) atau lulusan akademi/Perguruan Tinggi. Berdasarkan hasil data tersebut terlihat bahwa tingkat pendidikan Kepala Keluarga tergolong masih sangat rendah.
5.1.3.5 Tempat Asal, Lama Tinggal dan Alasan Tinggal Kepala Keluarga
Data tempat asal, lama tinggal dan alasan tinggal Kepala Keluarga diperlukan untuk mengetahui asal-usul dan dapat memberikan gambaran apakah Kepala Keluarga tersebut merupakan penduduk asli, penduduk pendatang, tinggal karena adanya perkawinan dan sebagainya. Berdasarkan daerah asalnya Kepala Keluarga dapat dibedakan menjadi: penduduk asli dan penduduk pendatang/transmigrasi. Hasil penelitian mengenai tempat asal Kepala Keluarga disajikan pada Tabel 5.5.
Tabel 5.5 Keterangan Tempat Asal KK
Tempat Asal KK Frekuensi Persentase (%)
Asli 131 Orang 62,09
Pendatang 80 Orang 37,91
Jumlah 211 orang 100,00
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa berdasarkan tempat asal Kepala Keluarga mayoritas penduduk di Desa Dongko adalah penduduk asli yaitu, sebanyak 131 orang (62,09%), sementara itu penduduk Desa Dongko yang merupakan pendatang sebanyak 80 orang (37,91%) dengan daerah asal meliputi: Kabupaten Buol, Kabupaten Parigi Moutong, Provinsi Gorontalo, Provinsi Sulawesi Selatan, Provinsi Sulawesi Barat, Provinsi NTT, Provinsi NTB, Kota Palu serta beberapa desa yang berada di Kabupaten Tolitoli.
5.1.3.6 Jumlah Anggota Keluarga (KK)
Informasi jumlah anggota keluarga dalam penelitian ini ditujukan untuk mengetahui tipe/ukuran keluarga responden, disamping itu pendapatan maupun pengeluaran suatu keluarga pula tergantung dari jumlah anggota keluarga itu sendiri. Berdasarkan jumlah anggota keluarganya dapat dibedakan menjadi: < 3 orang (keluarga inti), 3–5 orang (keluarga kecil), dan > 5 orang (keluarga besar). Hasil penelitian dapat disajikan pada Tabel 5.6.
Tabel 5.6 Jumlah Anggota Keluarga Penduduk
Desa Dongko
Jumlah Anggota Keluarga
Frekuensi
Persentase (%)
< 3
35 orang
16,59
3 – 5
161 orang
76,30
> 5
15 orang
7,11
Jumlah
211 orang
100,00
Tabel 5.6 tersebut menjelaskan bahwa jumlah anggota keluarga Desa Dongko adalah < 3 orang sebanyak 35 orang (16,59%), berkisar 3–5 orang sebanyak 161 orang (76,30%) dan > 5 orang sebanyak 15 orang (7,11%). Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa mayoritas penduduk Desa Dongko merupakan keluarga kecil dengan jumlah anggota keluarga berkisar 3-5 orang. Kaitannya dengan mata pencaharian adalah untuk memberikan gambaran bahwa semakin banyak jumlah anggota dalam keluarga maka semakin banyak pula jumlah pengeluarannya, hal tersebut akan mempengaruhi taraf kehidupan keluarga, jika pendapatan tidak seimbang dengan pengeluaran. Tetapi apabila jumlah anggota keluarga KK sudah bekerja maka, jumlah pengeluaran akan seimbang dengan pemasukan, sehingga taraf hidup akan lebih baik.
Mata Pencaharian Pokok Kepala Keluarga
Umumnya mata pencaharian setiap orang berbeda. Hal ini dapat diakibatkan oleh kondisi geografi dan tersedianya lapangan pekerjaan. Jenis pekerjaan adalah “macam pekerjaan yang sedang atau pernah dilakukan oleh orang-orang yang termasuk golongan bekerja atau orang-orang yang sedang mencari perkerjaan atau pernah bekerja” (Aziz Budianta, 2008). Adapun tujuan dalam analisis data ini mengenai mata pencaharian Kepala Keluarga, karena yang paling banyak berperan dalam keluarga adalah Kepala Keluarga, hasil penelitian tentang mata pencaharian Kepala Keluarga disajikan pada Tabel 5.7
Tabel 5.7 Mata Pencaharian Kepala Keluarga Desa Dongko
Jenis Pekerjaan Frekuensi Persentase (%)
PNS 6 orang 2,84
Pegawai Honorer 1 orang 0,47
Wiraswasta 8 orang 3,80
Petani/Nelayan 183 orang 86,72
Buruh 12 orang 5,70
Paramedis 1 Orang 0,47
Jumlah 211 orang 100,00
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa mata pencaharian Kepala Keluarga (KK) di Desa Dongko adalah: 6 orang (2,84%) sebagai PNS, 1 orang (0,47%) sebagai Pegawai Honorer, 8 orang (3,80%) sebagai Wiraswasta, 183 orang (86,72%) sebagai Petani/Nelayan/Peternak 12 orang (5,70%) sebagai Buruh dan 1 orang (0,47) sebagai paramedis. Berdasarkan data tersebut diketahui bahwa jenis pekerjaan Kepala Keluarga di Desa Dongko mayoritas adalah sebagai Petani, meliputi petani sawah, petani perkebunan kelapa, petani tambak dan nelayan.
5.1.3.8 Total Penghasilan/Pendapatan Keluarga
Tingkat pendapatan adalah“pendapatan Kepala Keluarga (KK) dan anggota keluarga lainnya yang diperoleh dari aktivitas di bidang seperti: pertanian, perdagangan, wirausaha, gaji pegawai, pensiunan dan sebagainya termasuk kiriman dari anggota keluarga yang berada di luar daerah yang diteliti/dianalisis”(Aziz Budianta, 2008).
Total penghasilan/pendapatan keluarga dalam penelitian ini merupakan salah satu indikator mengetahui kondisi keluarga dari segi ekonomi. Adapun jumlah pendapatan keluarga yang dibagi menjadi: pendapatan tetap ayah (KK), pendapatan sampingan ayah (KK), pendapatan tetap ibu dan pendapatan sampingan ibu. Hasil penelitian tentang sumber-sumber penghasilan/pendapatan keluarga sebagaimana tersebut pada Tabel 5.8.
Tabel 5.8 Total Pendapatan Tetap Kepala Keluarga Setiap Bulan
Kelompok Penghasilan
Frekuensi
Persentase (%)
< 500.000
17 0rang
8,05
500.000 - 1.000.000
87 orang
41,23
1.000.000 -1.500.000
73 orang
34,60
1.500.000 - 2.000.000
20 orang
9,48
> 2.000.000
14 orang
6,64
Jumlah
211 orang
100,00
Tabel 5.8 menunjukkan bahwa total pendapatan tetap ayah setiap bulan yang sudah bekerja (dalam satuan rupiah per bulan). Hasil penelitian menunjukkan bahwa moyoritas responden Kepala Keluarga (KK) berada pada kelompok penghasilan sangat rendah sampai sedang (83,88%) dan tinggi (16,12%).
Pengetahuan Penduduk Tentang Hutan Mangrove
Pengetahuan Tentang Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Pengetahuan tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove sangat penting untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove memiliki fungsi untuk menjaga pesisir pantai dari bahaya abrasi atau pengikisan yang diakibat oleh air laut serta memberikan manfaat bagi makhluk hidup berupa penyedia oksigen. Hasil penelitian pengetahuan responden tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove, sebagaimana tersebut dalam Tabel 5.9.
Tabel 5.9 Pengetahuan Penduduk Desa Dongko Tentang Fungsi dan Manfaat Hutan Mangrove
Peryataan
Frekuensi
Persentase (%)
Mengetahui
58 Orang
27,49
Tidak Mengetahui
153 Orang
72,51
Jumlah
211
100
Tabel 5.9. Menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Desa Dongko belum mengetahui fungsi dan mamfaat hutan mangrove. Hasil penelitian menujukkan bahwa sebanyak 153 orang (72,51%) belum mengetahui dan 58 orang (27,49) sudah mengetahui. Hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah karena masih minimnya pengetahuan penduduk tentang fungsi dan manfaat hutan mangrove sehingga memungkinkan ikut berperang terhadap terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove.
Jarak Ekosistem Hutan Mangrove dengan Tempat Tinggal Penduduk
Jarak merupakan salah satu faktor penting dalam ilmu Geografi, dalam hal jarak antara ekosistem hutan mangrove dengan tempat tingal penduduk memberikan dampak positif dan dampak negatif bagi kelangsungan ekosistem hutan mangrove. Hasil penelitian berdasarkan asfek jarak antara tempat tinggal responden dengan kawasan hutan mangrove sebagaimana tersebut pada Tabel 5.10
Tabel 5.10 Jarak Ekosistem Hutan Mangrove dengan Tempat Tinggal Penduduk
Jarak
Frekuensi
Persentase (%)
Dekat (0-500 m)
120 Orang
56,88
Sedang (500-1000 m)
76 Orang
36,01
Jauh (>1000 m)
15 Orang
7,11
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.10. menunjukkan bahwa jarak tempat tinggal penduduk Desa Dongko dengan ekosistem hutan mangrove mayoritas termasuk dalam kriteria dekat (<500). Hasil penelitian menunjukkan dekat 0-500 meter sebanyak 120 orang (56,88%), sedang 500-1000 meter sebanyak 76 orang (36,01%) dan jauh >1000 meter sebayak 15 orang (7,11%). Hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu sangat besar kemungkinan terjadi pengalihfungsian lahan yang diakibat oleh aktivitas sosial ekonomi penduduk.
5.1.4.3 Pemanfaatan Hutan Mangrove oleh Penduduk
Faktor penyebab rusaknya hutan mangrove dikarenakan pemanfaatan yang tidak terkontrol, disebabkan tingkat ketergantungan masyarakat yang menempati wilayah pesisir sangat tinggi, seperti untuk berbagai kepentingan diantaranya kepentingan tambak, dan pemukiman, tanpa mempertimbangkan kelestarian dan fungsinya terhadap lingkungan hidup disekitarnya. Gambaran pemanfaatan hutan mangrove oleh penduduk Desa Dongko tersebut dalam Tabel 5.11
Tabel 5.11 Pemanfaatan Hutan Mangrove oleh Penduduk
Peryataan
Frekuensi
Persentase (%)
Memanfaatkan
211
100,00
Tidak Memanfaatkan
0
0,00
Jumlah
211
100,00
Sumber: Hasil pengolahan data primer, 2013
Tabel 5.11 menunjukkan bahwa seluruh penduduk Desa Dongko memanfaatkan hutan mangrove. Hasil penelitian menunjukkan sebayak 211 orang (100%) menjawab ya atau pernah memanfaatkan. Hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah semakin tinggi aktivitas pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan penduduk maka semakin tinggi tingkat kerusakan yang akan ditimbulkan, penyebabnya karena pemanfaatan komponen kawasan hutan mangrove sebagaimana tersebut dalam Tabel 5.12
Tabel 5.12 Bagian Pemanfaatan Hutan Mangrove
Bagian yang Dimanfaatkan
Frekuensi
Persentase
Pohon (kayu,buah,biji dan akar)
197 Orang
93,36
Biota Laut
14 Orang
6,64
Lainnya
0
0,00
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.12 menujukkan bahwa tingkat pemanfaatan hutan mangrove yang dilakukan oleh penduduk pada bagian tumbuhan sangat tinggi yaitu bagian pohon (kayu, buah, biji, dan akar) sebayak 197 orang (93,36%) dan pemanfaatan biota sebayak 14 orang (6,64%). Hubungannya dengan kerusakan ekosistem hutan mangrove adalah semakin berkurangnyan spesies pohon mangrove akibat pemanfaatan yang dilakukan oleh penduduk lambat laun semakin habis. Sebagaimana aktivitas penduduk yang terdapat pada Gambar 5.1
Gambar 5.1 Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh Penduduk
5.1.5 Pengalihfungsian Kawasan Hutan Mangrove
5.1.5.1 Pengalihfungsian Kawasan Hutan Mangrove Menjadi Lahan Pertambakan
Pengalihfungsian lahan (konvensi lahan) adalah proses perubahan sesuatu jenis penggunaan lahan kejenis penggunaan lahan lainnya. Pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan mengakibatkan kerusakan pada lahan hutan mangrove di Desa Dongko berada dalam ancaman yang cukup serius. Konversi pemanfaatan seperti untuk budidaya perikanan dan udang. Proses pengalifungsian kawasan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan sebagaimana dalam Tabel 5.13
Tabel 5.13 Pengalihfungsian Kawasan Hutan Mangrove
Menjadi Lahan Pertambakan
Peryataan
Frekuensi
Persentase (%)
Terdapat Alifungsi Lahan
211 Orang
100,00
Tidak Terdapat Alifungsi Lahan
0
0,00
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.13 menunjukkan bahwa di Desa Dongko telah terjadi penagalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan. Berdasarkan hasil penelitian dari 211 orang (100%) menjawab ya atau telah terjadi pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi pertambakan. Sebagaimana salah satu contoh gambaran pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan pertambakan yang terdapat pada Gambar 5.2
Gambar 5.2 Pengalihfungsian Kawasan Ekosistem Mangrove
menjadi Lahan Pertambakan
Ancaman langsung yang paling serius terhadap mangrove pada umumnya diakibatkan pembalakan liar mangrove untuk pembangunan tambak ikan dan udang. Meskipun kenyataannya bahwa produksi udang telah jatuh sejak beberapa tahun yang lalu, yang sebagian besar diakibatkan oleh hasil yang menurun, para petambak bermodal kecil masih terus membuka areal mangrove untuk pembangunan tambak baru. Usaha spekulasi semacam ini pada umumnya kekurangan modal dasar untuk membuat tambak pada lokasi yang cocok, tidak dirancang dan dibangun secara tepat, serta dikelola secara tidak profesional. Maka akibat yang umum dirasakan dalam satu atau dua musim, panennya rendah hingga sedang, yang kemudian diikuti oleh cepatnya penurunan hasil panen, dan akhirnya tempat tersebut menjadi terbengkelai.
5.1.5.2 Pengalihfungsian Kawasan Hutan Mangrove menjadi Lahan Pembangunan
Pembangunan merupakan suatu hal yang diingin oleh setiap manusia demi kemajuan dalam kehidupan dalam bermasyarakat, pembangunan yang dilakukan di kawasan hutan mangrove tanpa mementingkan dampak yang ditimbulkan dapat mengakibatkan kerusakan pada kawasan tersebut. Proses pengalifungsian Kawasan hutan mangrove menjadi lahan pembagunan atau terbagun sebagai mana tercantum dalam Tabel 5.14
Tabel 5.14 Pengalihfungsian Kawasan Hutan Mangrove
Menjadi Lahan Pembangunan
Peryataan
Frekuensi
Persentase (%)
Terdapat Alihfungsi Lahan
211 Orang
100,00
Tidak Terdapat Alihfungsi Lahan
0
0,00
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.14 menunjukkan hasil penelitian bahwa dari 211 orang (100%) menjawab terdapat alihfungsi lahan, bahwa di Desa Dongko telah terjadi pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi kawasan pembangunan/areal terbagun baik berupa pemukiman penduduk maupun sarana umum. Seiring dengan perkembangan penduduk yang semakin meningkat, maka kebutuhan lahan semakin meningkat pula. Hal ini mengakibatkan terjadinya pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi lahan pemukiman penduduk dan sarana pelayanan pendukung pemukiman. Kondisi Gambaran pengalihfungsian hutan mangrove menjadi lahan pembagunan seperti pada gambar 5.3-5.4
Gambar 5.3 Pengalihfungsian Kawasan Ekosistem Mangrove menjadi Lahan Pemukiman
Gambar 5.4 Pengalihfungsian Kawasan Ekosistem Mangrove menjadi Lahan Sarana Pelayanan Pendukung Pemukiman.
5.1.6 Kondisi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
5.1.6.1 Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove
Kriteria ekosistem hutan mangrove dapat diketahui bahwa (1) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong baik apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan ≥ 75% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove ≥ 1500 Pohon/Ha; (2) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong sedang apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan ≥ 50% - < 75% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove ≥ 1000 - < 1500 Pohon/Ha; dan (3) kondisi ekosistem hutan mangrove tergolong rusak apabila jumlah vegetasi hutan mangrove yang menutupi lahan < 50% dan kerapatan pohon yang tumbuh di lahan hutan mangrove < 1000 Pohon/Ha. Kriteria kondisi ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko berdasarkan pernyataan responden sebagaimana dalam Tabel 5.15
Tabel 5.15 Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko Berdasarkan Pernyataan Responden
Kondisi
Frekuensi
Persentase (%)
Baik (≥ 1500 Pohon/Ha)
0
0,00
Sedang (≥ 1000 ≤ 1500 Pohon/ Ha)
73 Orang
34,60
Rusak (< 1000 Pohon/Ha)
138 Orang
65,40
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.15 menujukkan hasil penelitian bahwa kondisi ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko dalam kondisi rusak (<1000 pohon/Ha) sebayak 138 orang (65,40%), sedang (≥1000≤1500/Ha) sebayak 73 orang (34,60%). Ancaman yang paling serius bagi mangrove adalah persepsi di kalangan penduduk Desa Dongko dan sebagian besar pegawai pemerintah yang menganggap mangrove merupakan sumberdaya yang kurang berguna yang hanya cocok untuk pembuangan sampah atau dikonversi untuk keperluan lain. Sebagian besar pendapat untuk mengkonversi mangrove berasal dari pemikiran bahwa lahan mangrove jauh lebih berguna bagi individu dan pemerintah daripada sebagai lahan yang berfungsi secara ekologi. Apabila persepsi keliru tersebut tidak dikoreksi, maka masa depan mangrove Desa Dongko akan menjadi sangat suram/terancam punah. Gambaran kondisi fisik ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.5-5.6
Gambar 5.5 Ekosistem Hutan mangrove dalam Kondisis Rusak
Gambar 5.6 Ekosistem Hutan Mangrove dalam Kondisi Baik
5.1.6.2 Tingkat Pengaruh Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Pertumbuhan penduduk yang tinggi dan pesatnya kegiatan pembangunan di pesisir bagi berbagai peruntukan (pemukiman, perikanan, dan sarana pendukung pemukiman), tekanan ekologis terhadap ekosistem pesisir, khususnya ekosistem hutan mangrove, semakin meningkat pula. Meningkatnya tekanan ini tentunya berdampak terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove itu sendiri baik secara langsung misalnya kegiatan penebangan atau konversi lahan, maupun tak langsung misalnya pencemaran oleh limbah berbagai kegiatan pembangunan. Pengukuran tingkat pengaruh aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove berdasarkan hasil wawancara dengan responden sebagaimana yang disajikan dalam Tabel 5.16
Tabel 5.16 Tingkat Pengaruh Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Tingkat Kerusakan
Frekuensi
Persentase
Kecil (tidak begitu terasa)
64 Orang
30,33
Sedang (terasa dan nyata pengaruhnya)
134 Orang
63,51
Besar (sangat terasa pengaruhnya)
13 Orang
6,16
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.16 menunjukkan hasil penelitian bahwa tingkat pengaruh aktivitas ekonomi penduduk terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove berdasar wawancara dengan responden berkisar dari kecil sampai besar, kecil (tidak begitu terasa) sebanyak 64 orang (30,33%), sedang (terasa dan nyata pengaruhnya) sebanyak 134 orang (63,51%), dan besar (sangat terasa pengaruhnya) sebanyak 13 0rang (6,16%).
5.1.6.3 Pengaruh Kerusakan Ekositem Hutan Mangrove terhadap Aktivitas Ekonomi Penduduk
Pengaruh kerusakan mangrove dapat mengakibatkan instrusi air laut, yakni masuknya atau merembesnya air laut ke arah daratan sampai mengakibatkan area sawah penduduk di sekitar pemukiman menjadi rusak/mati, selain itu pengaruh kerusakan ekosistem hutan mangrove terhadap aktivitas penduduk yaitu banjir yang mengakibatkan rusaknya pertanian penduduk bahkan membawa hanyut tanaman Padi yang baru ditanam, hal ini disebabkan karena pengalihfungsi kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi pertambakan sehingga menghambat aliran air, hal inilah yang menjadi penyebatkan banjir. Bencana banjir yang terjadi tergolong serius dikarenakan biasanya lama surut (selalu menggenang). Tingkat pengaruh kerusakan ekosistem hutan mangrove terhadap aktivitas ekonomi penduduk berdasarkan hasil survei dapat di lihat dalam Tabel 5.17
Tabel 5.17 Pengaruh Kerusakan Ekositem Hutan Mangrove terhadap Aktivitas Ekonomi Penduduk
Pengaruh Kerusakan
Frekuensi
Persentase (%)
Tidak berpengaruh sama sekali
39 Orang
18,49
Agak berpengaruh, beberapa aktivitas
ekonomi terganggu
172 Orang
81,51
Sangat berpengaruh, semua aktivitas
ekonomi terganggu
0
0,00
Jumlah
211
100,00
Tabel 5.17 Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove berpengaruh terhadap aktivitas ekonomi penduduk yang ditunjukkan oleh mayoritas (sebanyak 172 orang (81,49%)) menyatakan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitas ekonomi penduduk. Hal ini diperparah lagi apabila terjadi musim hujan, mengakibatkan banjir di pemukiman penduduk sehingga aktivitas ekonomi penduduk terganggu karena terpaksa tidak pergi bekerja. Sebagaimana gambaran yang ditimbulkan dari dampak kerusan ekosistem hutan mangrove yang terdapat pada Gambar 5.7
Gambar 5.7 Dampak dari Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove
Hasil analisis SWOT
Tahapan analisis SWOT adalah melakukan identifikasi terhadap faktor-faktor internal dan faktor-faktor eksternal di wilayah Desa Dongko yang dianggap berpengaruh secara positif maupun negatif dalam merencanakan dan melaksanakan pembagunan Daerah. Berbagai potensi dan masalah yang dihadapi dapat dipilah-pilah berdasarkan sumbernya baik secara eksternal maupun internal. Berbagai potensi yang dihadapi Desa Dongko secara eksternal dan internal disajikan dalam Tabel 5.18
Tabel 5.18 Berbagai Potensi dan Masalah yang dihadapi Desa Dongko secara Eksternal dan Internal ( Analisis SWOTH )
POTENSI
KENDALA
EKSTERNAL
(Faktor Pengaruh dari Luar Wilayah Desa Dongko)
Opportunities (O)
Pengembangan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko menjadi hutan lindung.
Mempromosikan berbagai potensi yang ada di kawasan hutan mangrove di Desa Dongko, salah satunya adalah potensi tempat pemancingan.
Sudah tersediannya RTRW Kab. Tolitoli
Sudah tersedianya kebijakan pemerintah terkait pengelolahan hutan mangrove.
Threats (T)
Penduduk/Tingkat pengetahuan relatif rendah
Penegakan hukum lemah. Rencana tata ruang dan peraturan pengelolaan mangrove tidak diimplementasikan secara tegas.
Tidak dilakukan penanam kebali
INTERNAL
(Faktor Pengaruh dari Dalam Wilayah Desa Dongko)
Strength (S)
Potensi sumberdaya alam sangat memungkinkan (SDA).
Berfungsi sebagai kawasan pelindung dari abrasi pantai dan berpotensi sebagai tempat bertelurnya ikan.
Memilki habitat hutan tropis darataran rendah.
Weakness (W)
Sumberdaya Manusia masih sangat rendah (tercermin dari tingkat pendidikan dan keterampilan.
Masih kurangnya kesadaran penduduk setempat tentang pentingnya menjaga kelestarian hutan mangrove.
Kurangnya perhatian pemerintah daerah, terkait hutan mangrove di Desa Dongko.
Berdasarkan matriks potensi dan permasalahan kerusakan ekosistem hutan mangrove pada Tabel 5.18 maka dapat dikembangkan strategi pengembangan dengan metode matriks analisis SWOT, maka dapat dihasilkan empat set kemungkinan alternatif strategi yang akan dihadapi dalam menanggulangi kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko, yaitu: dengan memetakan komponen-komponen “Kekuatan (S)”, dan “Kelemahan (W)” kepada faktor “Peluang (O)”, dan “Tantangan (T)” sehingga hasil pemetaan tersebut adalah.
a. Strategi S-O
Pengembangan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko sebagai hutan lindung, yang berpedoman pada kebijakan pemerintah Kabupan Tolitoli terkait pengolahan mangrove. (O 1,2-S 1,2,3).
Meningkatkan prasarana dan sarana guna menunjang pembangunan penanggulangan kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove (O 2-S 1,2).
b. Sterategi O 2-W 2
Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia dan penguasaan IPTEK masyarakat yang tinggal di kawasan hutan mangrove guna mewujutkan rencana dan strategi pembangunan daerah, khususnya Desa Dongko dengan berbagai pendidikan dan pelatihan. (O 2-W 2).
Mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko ke arah yang lebih baik lagi (O 2-W 1,3).
c. Strategi S-T
Merumuskan kebijakan yang mengatur pengelolaan ekosistem hutan mangrove (S 1,2,3-T 1,3).
Merumuskan kebijakan yang mengatur pembangunan di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove dengan tetap menjaga kelestarian daya dukung potensi SDA dan kelestarian lingkungan hidup (S 1-T 2,3)
d. Strategi T-W
melakukan penanaman kembali terhadap ekosistem hutan mangrove yang rusak (T 1,2,3-W 1,2,3).
5.2 PEMBAHASAN
5.2.1 Indikasi Kerusakan Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan, Kabupaten Tolitoli Tahun 2007 – 2012
Kawasan pantai yang ditumbuhi berbagai jenis tumbuhan seperti pepohonan dikenal sebagai hutan mangrove. Kawasan mangrove mempunyai peranan yang sangat penting bagi manusia dan hewan yang hidup di dalamnya. Belum adanya pengetahuan yang cukup akan pentingnya hutan mangrove membuat kawasan ini terabaikan dan dialihfungsikan peruntukannya.
Menurut Ritohardoyo, (2013), “semakin meningkatnya pertumbuhan jumlah dan kebutuhan penduduk, semakin meningkat pula kebutuhan tempat atau lahan untuk tempat tinggal sertah tempat kegiatan kehidupan sosial ekonomi dan budaya”. Seiring dengan laju pertumbuhan dan kebutuhan penduduk di Desa Dongko maka fungsi lingkungan pantai di daerah ini telah menurun atau rusak. Indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir Desa Dongko semakin meningkat dari tahun ke tahun. Faktor penyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks yang bersumber dari penduduk Desa Dongko beserta perilakunya yang senang memanfaatkan hutan mangrove baik berupa pemanfaatan hutan mangrove sebagai lahan pertambakan, pemukiman maupun memanfaatkan langsung hutan mangrove sebagai kayu bakar untuk memasak, serta dari alam hal ini diindikasikan oleh adanya proses erosi/abrasi pantai, intrusi air Iaut, dan degradasi hasil perairan. Sedangkan hasil pelitian Fadlan indikasi kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan oleh pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi lahan pertambakan dan lahan pembangunan, sedangkan hasil penelitian Muryani kerusakan ekosistem hutan mangrove disebabkan penebangan oleh masyarakat untuk dijual maupun untuk pemenuhan kebutuhan keluarga seperti kayu bakar, bahan bangunan dan perbaikan perahu nelayan.
5.2.2 Analisis Sistem Informasi Geografi (SIG)
Tahapan ini mengacu pada tahapan analisis terhadap kondisi fisik Desa Dongko yang berdasakan parameter yang digunakan guna mengukur pemetaan penggunaan lahan. Tahapan analisis pemetaan penggunaan lahan berdasarkan kawasan yang ditentukan yang terdiri dari daratan. Dalam tahapan ini peta yang diperlukan adalah peta penggunaan lahan. Setelah data terkumpul, kemudian dilakukan teknik scoring dan overlay untuk mengetahui penggunaan lahan masing-masing dengan menggunakan software ArcGis sebagai perangkat lunak komputer yang diciptakan untuk keperluan pemetaan. ArcGis yang merupakan produk dari ESRI (Environmental Systems Research Institute) yang berdiri pada Tahun 1968, adalah sebuah perusahaan yang bergerak dibidang perangkat lunak sistem informasi geografis. ArcGis terbagi menjadi beberapa program yaitu; ArcCatalog 10, ArcGis Administrator, ArcGlobe 10, ArcMap 10, dan ArcScene 10 yang mempunyai fungsi yang berbeda-beda.
Dalam penelitian yang dilakukan hanya mengunakan tiga program yaitu AcrMap 10, ArcCatalog dan ArcBruTile 0.3.3. ArcMap digunakan untuk membuka data spasial atau peta yang telah ada, selain itu ArcMap juga digunakan sebagai alat untuk meraktifikasi data rester sehingga dapat menunjukan referensi spesial, ArcCatalog digunakan untuk membuat peta tema (Shape file) yang baru dan akan diberi penilaian serta di tumpang susun bersama-sama peta lain, dan ArcBruTile 0.3.3 sebagai program tambahan dalam pemetaan yang berfungsi untuk mendapatkan potongan gambar dari citra satelit.
Adapun tahapan analisis data dalam penelitian ini yaitu; Digitasi, Editing, Membangun Topologi, Transformasi, Tumpang Susun (Overlay), Pengklasifikasian, Layout, dan Percetakan Peta. Tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
Digitasi adalah sebuah kegiatan untuk merubah bentukan/feature geografi yang berasal dari peta analog ke bentuk digital dalam format ArcGis. Proses analisis tema yang ditentukan pada layer dibuat menjadi 1 (satu) tema. Proses perubahan menggunakan potongan dari citra satelit kemudian menghubungkan koordinat yang diketik lewat excel yang terlebih dahulu diambil data koordinatnya menggunakan GPS. Proses ini membuat layer peta yang baru berdasarkan tema-tema yang ditentukan seperti peta administrasi Desa Dongko dan peta penggunaan lahan.
Transformasi adalah mentransformasi sistem koordinat peta ke sistem koordinat UTM sesuai dengan hasil pengukuran lapangan melalui GPS.
Membangun topologi sesuai dengan karakteristik data seperti polyline contohnya dalam pembutan jalan dan sungai. Polygon digunakan untuk menentukan batas wilayah Desa Dongko kemudian dilanjukkan dengan memotong bagian-bagian sesuai dengan penggunaan lahan yang ada di Desa Dongko contohnya kawasan hutan rakyat, kawasan perkebunan kelapa, kawasan lahan tidur, kawasan persawahan, kawasan permukiman, kawasan hutan mangrove dan kawasan pertambakan. Point/titik dalam suatu layer peta berdasarkan data-data yang diperoleh dari penelitian lapangan yang dilakukan sebelumnya seperti kantor desa, sekolah, dan masjid.
Editing adalah tahap dalam memperbaiki kesalahan-kesalahan dalam proses sebelumnya. Editing dimaksudkan untuk menyempurnakan batas-batas area, garis maupun titik dari hasil kesalahan pada saat proses digitasi gambar yang telah dilakukan sebelumnya sebagaimana rupa sehingga kesalahan-kesalahan dapat diminimalisir.
Tumpang Susun (Overlay) adalah penggabungan 2 atau lebih, peta yang berfungsi untuk mencari analisis peta perubahan lahan 2007-2012 pada layer berdasarkan tema-tema yang ditentukan, yang sesuai dengan penggunaan lahan berdasarkan parameter yang digunakan untuk mendapatkan analisis penggunaan lahan pada kawasan penelitian.
Pengklasifikasian adalah proses mengklasifikasikan area dalam peta sesuai bobot nilai hasil tumpang susun beberapa layer peta. Proses ini akan menunjukan kelas penggunaan lahan.
Layout adalah kegiatan mengatur komponen-komponen peta pada satu halaman dengan tampilan peta yang sesuai berdasarkan kaidah-kaidah yang di tentukan contoh judul peta, arah mata angin, skala peta, insert, keterangan, sumber peta dan tahun pembuatan.
Output Peta adalah langkah mengekspor hasil peta ke dalam berbagai format keluaran sebagai Image, misalkan JPG, PNG, dan lain sebagainya. Bisa juga langsung dicetak dengan memilih menu Print.
Percetakan Peta adalah proses percetakan peta yang sesuai dengan ukuran yang di inginkan, misalnya kertas ukuran A4 dan A3.
5.2.3 Penyusutan Areal Hutan Mangrove (Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007 dan 2012)
Penggunaan lahan merupakan campur tangan manusia baik secara permanen atau periodik terhadap lahan dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan, baik kebutuhan kebendaan, spiritual maupun gabungan keduanya (Malingreau,.J.P. (1977) dalam Aziz Budianta (2008)).
Kenampakan penggunaan lahan berubah berdasarkan waktu, yakni keadaan kenampakan penggunaan lahan atau posisinya berubah pada kurun waktu tertentu. Perubahan penggunaan lahan dapat terjadi secara sistematik dan non-sistematik. Perubahan sistematik terjadi dengan ditandai oleh fenomena yang berulang, yakni tipe perubahan penggunaan lahan pada lokasi yang sama. Kecenderungan perubahan ini dapat ditunjukkan dengan peta multiwaktu (Time series data). Fenomena yang ada dapat dipetakan berdasarkan seri waktu, sehingga perubahan penggunaan lahan dapat diketahui. Perubahan non-sistematik terjadi karena kenampakan luasan lahan yang mungkin bertambah, berkurang, ataupun tetap. Perubahan ini pada umumnya tidak linear karena kenampakannya berubah-ubah, baik penutup lahan maupun lokasinya. Analisis penggunaan lahan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko, sehubungan dengan kerusakan kawasan hutan mangrove, terkait perubahan penggunaan lahan di sajikan pada peta Lampiran 3.
Berdasarkan Lampiran 3 menunjukkan bahwa hasil Analisis perubahan penggunaan lahan dapat diketahui dibeberapa kawasan yang mengalami perubahan, kawasan ini terdiri dari kawasan hutan rakyat, perkebunan kelapa, persawahan, pemukiman, lahan tidur, tambak dan hutan mangrove . Teknik Scoring dan Overlay yang digunakan dalam penelitian ini, sehubungan dengan kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove sistem pemetaan penggunaan lahan yang ada di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012 maka diperoleh beberapa perubahan penggunaan lahan yang tersaji dalam Tabel 5.18.
Tabel 5.18 Luas Perubahan Penggunaan Lahan (Ha) Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Tahun 2007 - 2012
No
Tahun
Hutan MANGROVE
Hutan Rakyat
Perkebunan Kelapa
Persawahan
Lahan Tidur
Tambak
Pemukiman
1.
2007
79,83
1510,94
1831,63
1149,47
528,88
4,85
53,66
2.
2008
72,16
1509,31
2059,59
1157,98
321,52
18,76
60,65
3.
2009
58,63
1467,13
2155,42
1165,39
264,23
28,05
70,22
4.
2010
49,00
1466,97
2207,63
1179,03
188,82
29,77
78,72
5.
2011
45,70
1408,83
2307,87
1218,46
179,61
36,00
79,63
6.
2012
39,62
1408,83
2549,22
1408,83
137,44
38,00
80,28
Luas Perubahan Lahan Tahun 2007 – 2012
40,21
102,11
717,59
259,36
391,44
33,15
26,62
Tabel.5.18. menunjukkan hasil pemetaan perubahan penggunaan lahan di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli tahun 2007 – 2012, pada tahun 2007 luas kawasan hutan mangrove 79,83 Ha, tahun 2008 luas kawasan mangrove 72,16 Ha atau mengalami perubahan lahan sekitar 7,67 Ha, tahun 2009 luas kawasan mangrove 58,63 Ha jadi luas perubahan lahan tahun 2008-2009 sekitar 13,53 Ha, tahun 2010 luas kawasan mangrove 49,00 Ha jadi luas perubahan lahan 2009-2010 sekitar 9,63 Ha, tahun 2011 luas kawasan mangrove 45,70 Ha jadi luas perubahan lahan 2010-2011 sekitar 3,30 Ha, tahun 2012 luas kawasan mangrove 39,62 Ha jadi luas perubahan lahan sekitar 6,08 Ha. Jadi luas kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko selama 5 (lima) tahun terakhir sekitar 40,21 Ha (50,36%). Sedangkan hasil penelitian Fadlan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan luas kerusankan ekosistem hutan mangrove 94 Ha (75,20%), dan hasil penelitian Muryani di pantai Pasuruan Jawa Timur luas kerusakan ekosistem hutan mangrove selama 25 (dua puluh lima) tahun terakhir 652,35 Ha.
Jenis-Jenis Pengalihfungsian Lahan Hutan Mangrove
Lahan Permukiman
Konversi hutan mangrove menjadi lahan permukiman di kawasan Desa Dongko lebih dikarenakan oleh faktor penambahan jumlah penduduk sehingga meningkatkan kebutuhan penduduk akan lahan semakin meningkat. Berdasarkan data penduduk Desa Dongko, pertumbuhan penduduk Desa Dongko tiap tahunnya mengalami peningkatan serta banyak perkawinan usia muda, sehingga memerlukan suatu kawasan untuk pemukiman baru untuk melangsungkan kehidupannya. Penggunaan lahan yasan, menurut Setiawati, (2011), dalam Ritohardoyo, (2013), “ membuat dengan cara menebang hutan sendiri”. Sehingga menyebabkan pembukaan lahan baru untuk membangun rumah di sekitar kawasan mangrove. Serta memanfaatkan kayu hutan mangrove untuk peralatan rumah dan bahan bakar kayu arang untuk memasak. Sedangkan hasil penelitian Fadlan dan Muriyani disebabkan karena semakin kurang lahan pemukiman sehingga penduduk setempat membangun pemukiman di kawasan hutan mangrove.
Lahan Tambak/Empang
Konversi hutan mangrove menjadi tambak/empang di kawasan Desa Dongko pertama kali terjadi pada tahun 1990 untuk mengembangkan budidaya pertambakan Ikan Bandeng dan Udang. yang kemudian tidak terlalu berhasil karena masih dikerjakan secara tradisional yang mengakibatkan banyak tanggul tambak yang jebol akibat air pasang. Tahun 2008 alat berat (escavator) mulai masuk sehingga mengakibatkan pembukaan lahan tambak terjadi secara besar-besaran/intensif sampai dengan saat ini. Meskipun pembukaan lahan pertambakan di Desa Dongko sudah dikerjakan dengan alat modern namun hasil yang didapat petani tambak tidak sesuai dengan pengeluaran yang dilakukan karena masih minimnya pengetahuan petani tambak tentang budidaya perairan. Hasil penelitian Fadlan di kawasan Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan konversi hutan mangrove menjadi lahan pertambakan seperti tambak ikan, udang dan kepiting, dan hasil penelitian Mulyani konversi hutan mangrove menjadi tambak di kawasan pantai Pasuruan Jawa Timur pertama kali tahun 1981.
Lahan Fasilitas Umum
Sama halnya dengan konversi hutan mangrove menjadi lahan permukiman, konversi hutan mangrove di Desa Dongko menjadi fasilitas umum juga dikarenakan oleh faktor jumlah penduduk yang mempengaruhi kebutuhan prasarana dan sarana penunjang. Pembangunan fasilitas umum sangat terkait dengan upaya pelengkap sarana kelayakan pemukiman penduduk contohnya masjid merupakan fasilitas umum sangat penting bagi penduduk Desa Dongko yang semuanya beragama Islam. Sedangkan hasil penelitian Fadlan di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan pengalihfungsian kawasan ekosistem hutan mangrove menjadi fasilitas umum seperti sekolah, dan pelabuhan.
5.2.5 Aktivitas Penduduk yang Menyebabkan Kerusakan Hutan Mangrove
Berdasarkan pengamatan yang di lakukan di lapangan aktivitas penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan yaitu berupa pengalihfungsian kawasan hutan mangrove menjadi area pemukiman dan pertambakan. Dari kedua jenis konversi lahan yang paling banyak menyebabkan kerusakan hutan mangrove adalah konvensi lahan menjadi pertambakan yang luasnya sekitar 34 Ha sedangkan konvensi lahan pemukiman hanya sekitar 5 Ha.
Selain dari pembukaan pertambakan dan pemukiman yang di lakukan oleh penduduk di Desa Dongko masih ada aktivitas lain yang dilakukan penduduk yang menyebabkan kerusakan hutan mangrove seperti pemanfaatan kayu bakau sebagai kayu bakar untuk memasak, sebagai tiang rumah digunakan untuk membangun rumah Panggung, membuat kandang ternak seperti Sapi dan Kambing, dan peralatan untuk perahu nelayan. Sedangkan bagian daun mangrove jenis nipa-nipa digunakan untuk membuat atap rumah dan atap kandang ternak. Salah satu contoh gambaran aktivitas pemanfaatan kayu mangrove yang dilakukan penduduk sebagaimana yang terdapat pada gambar 5.8
Gambar 5.8 Pemanfaatan Kayu Mangrove oleh Penduduk sebagai Kayu Bakar
Kondisi Ekosistem Hutan Mangrove di Desa Dongko
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kondisi ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko berdasarkan jawaban responden, sebanyak 65,40% menjawab dalam keadaan rusak. Hal tersebut sesuai dengan pengamatan yang telah dilakukan di lapangan berdasarkan kriteria kondisi ekosistem hutan mangrove. Kondisi ekosistem hutan mangrove dalam keadaan baik ≥ 1500 Pohon/Ha, kondisi sedang ≥1000 ≤1500 Pohon/Ha, kondisi rusak <1000 pohon/Ha, sedangkan di Desa Dongko kondisi ekosistem hutan mangrove <1000 Pohon/Ha atau dalam keadaan rusak. Berdasarkan hasil penilitian Fadlan kondisi ekosistem hutan mangrove di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan sekitar 75,20% dalam keadaan rusak dan tingkat kerapan <1000 Pohon/Ha.
Upaya Pengelolaan dan Pendidikan Masyarakat terkait Konservasi dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pengelolaan mangrove berbasis masyarakat termasuk pada program penanggulangan kerusakan mangrove yang telah terjadi pada kawasan pantai melalui langkah terpadu yang tepat dilakukan adalah pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat dengan konsep pemberdayaan masyarakat. Tujuan utama langkah ini adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan mangrove. Dalam hal ini Syukur dkk., 2007 menyatakan bahwa ada lima yang harus diperhatikan dalam kegiatan pengelolaan hutan mangrove berbasis masyarakat adalah:
Meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pembinaan usaha pertambakan dengan menggunakan teknik silvofishery yaitu melakukan penanam mangrove di dalam tambak dan di tepi pematang tambak yang secara ekonomi menguntungkan dan secara ekologi rama lingkungan;
Memberikan akses kepada masyarakat berupa informasi, akses terhadap pasar, pengawasan, penegakan dan perlindungan hukum serta prasarana dan sarana pendukung lainnya;
Menumbuh dan meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap arti dan nilai sumberdaya ekosistem sehingga membutuhkan pelestaraian;
Menumbuh dan meningkatkan partisipasi masyarakat untuk menjaga, mengelola dan melestarikan ekosistem;
Menumbuh dan meningkatkan kemampuan masyarakat untuk mengelola dan melestarikan sumberdaya ekosistem.
Pengelolaan hutan mangrove menjadi lokasi wisata cenderung akan memberikan dampak posistif terhadap perekonomian penduduk di Desa Dongko, seperti terbukanya lapangan usaha dan perekrutan tenaga kerja. Hal utama dari program ini, pola penduduk sebagai perambah hutan mangrove terhenti dan berganti dengan pola penyelamatan mangrove sebagai kawasan yang diminati pengunjung wisata. Bentuk upaya yang dilakukan pemerintah daerah Kabupaten Tolitoli melalui Dinas kehutanan terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli berupa sosialisasi dengan penduduk Desa Dongko tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan mangrove, serta baru sebatas janji akan melakukan penanaman mangrove pada kawasan yang telah mengalami kerusakan. Sedangkan hasil penelitian Fadlan upaya yang dilakukan pemerintah daerah yaitu melakukan penaman kembali pada kawasan ekosistem hutan mangrove pada kawasan yang telah mengalami kerusakan.
BAB VI
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan penulis di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan Kabupaten Tolitoli, maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut
Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan tahun 2007-2012 (5 tahun terakhir) terjadi di Dusun 1 Dongko dan Dusun 3 Silumba dengan luas kerusakan 40,21 Ha (50,36%). Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko melibatkan 1021 populasi atau 465 KK yang terdiri dari 30 penduduk yang berprofesi sebagai pemilik usaha tambak dan 24 KK yang bermukim di kawasan ekosistem hutan mangrove, serta penduduk yang bermukim di sekitar kawasan ekosistem hutan mangrove yang memanfaatkan hutan mangrove.
Kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko Kecamatan Dampal Selatan disebabkan oleh aktivitas sosial dan ekonomi penduduk seperti pengalihfungsian lahan hutan mangrove menjadi lahan pertambakan, dan permukiman. Luas konversi hutan mangrove menjadi pertambakan di Desa Dongko sekitar 34 Ha dan pemukiman 5 Ha. Dampak yang diakibatkan dari kerusakan ekosistem hutan mangrove yaitu berupa banjir dan intrusi air laut ke daratan sampai mengakibatkan sawah penduduk menjadi rusak sehingga tanaman Padi menjadi mati.
Upaya pelestarian yang dilakukan pemerintah daerah terhadap kerusakan ekosistem hutan mangrove di Desa Dongko melalui Dinas Kehutanan yaitu berupa sosialisasi dengan penduduk tentang pentingnya menjaga ekosistem hutan mangrove, serta sebatas janji akan melakukan penaman mangrove secara bersama-sama. Berdasarkan hasil analis SWOT perlu dilakukan pengembangan kawasan hutan mangrove di Desa Dongko sebagai hutan lindung yang berpedoman pada kebijakan pemerintah Kabupaten Tolitoli terkait pengelohaan mangrove, meningkatkan prasarana dan sarana guna menunjang pembangunan penanggulangan kerusakan kawasan ekosistem hutan mangrove, meningkatkan sumberdaya manusia, mencari solusi terbaik untuk memecahkan masalah, merumuskan kebijakan pengelolaan dan pembangunan di sekitar mangrove serta melakukan penaman kembali terhadap ekosistem hutan mangrove yang rusak.
Saran
Upaya pemanfaatan sumberdaya hutan mangrove perlu diselaraskan dengan upaya pelestariannya, agar fungsi hutan mangrove secara fisik, ekologis dan sosial-ekonomis tetap lestari dan berkelanjutan. Upaya-upaya yang dilakukan hendaknya melibatkan semua pihak yang terkait seperti masyarakat, pemerintah, swasta, akademika dan lembaga swadaya masyarakat serta pihak-pihak lain dalam bentuk kemitraan yang adil dan sejajar. Pelestarian ekosistem hutan mangrove dapat dilakukan dengan menggunakan teknik silvofishery dalam usaha pertambakan yang berbasis lingkungan, penyuluhan serta pendekatan dalam usaha rehabilitasi (reboisasi) hutan mangrove. Selain itu upaya untuk kelestarian hutan mangrove dapat ditempuh dengan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional masyarakat kearifan lokal (local wisdeom) serta adanya peraturan-peraturan daerah yang mengatur serta mengontrol kegiatan masyarakat di kawasan hutan mangrove.
Masukan Penelitian Selanjutnya
Penulis menyadari dalam skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan baik dalam segi isi maupun tinjauan pustaka yang digunakan, oleh karena itu dengan rendah hati penulis memberi masukan bagi peneliti selanjutnya untuk lebih memperdalam kajian mengenai : jenis-jenis tumbuhan mangrove dan tingkat kerapatan pohon mangrove, dapat dijadikan tema dalam penelitian selanjutnya dengan lokasi/tempat yang berbeda dalam ruang lingkup penelitian geografi.
DAFTAR PUSTAKA
Akhbar, 2003. Potensi Degradasi dan Program Rehabilitasi Hutan Mangrove di Sulawesi Tengah. Palu: Yayasan Perhutanan Sosial Bumi Tadulako (YPST) Sulawesi Tengah,
Anonim, 2003. Kepmen LH No. 201 Tahun 2003 tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan MANGROVE. Jakarta: Sekretariat Negara RI.
_______, 2012a. Pengertian kepala keluarga. http://id.answers.yahoo.com /question/index?qid=20100114122438AAtkSNX diakses 21 Januari 2013 jam 20.00 Wita
Arief, 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisius.
Arikunto, Suharsimi. 2008. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Aronoff, 1989. Pengertian Peta dan Pemetaan Sistem Informasi Geografi http://dwigunauncp.blogspot.com/2012/10/pengertian-peta-dan-pemetaan-dan-sig.html. (Online), Diakses Tanggal 2 Oktober 2013 Jam 15.45 WITA.
Aziz Budianta, 2008. Kumpulan Istilah Lingkungan Hidup. Palu: Tadulako University Press.
Aziz Budianta, 2008a. Konsep dan Metode Analisis SWOT. Bahan Bacaan 2008.
Bengen, 2000. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem mangrove. Bogor: PKSL-IPB.
Fadlan, Mohammad. 2011. Aktivitas Ekonomi Penduduk terhadap Kerusakan Ekosistem Hutan MANGROVE di Kelurahan Bagan Deli Kecamatan Medan Belawan. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Harahab, Nuddin. 2010. Penilaian Ekonomi Ekosistem Hutan Mangrove dan Aplikasinya dalam Perencanaan Wilayah Pesisir. Yogyakarta: Graha Ilmu.
Irwanto, 2008. Hutan Mangrove dan Manfaatnya, http://www.irwantoshut.com/penelitian/hutan_Mangrove/. (Online), Diakses Tanggal 7 September 2012 Jam 20.00 WITA.
Kusmana, 2005. Habitat Hutan Mangrove di dalam Ekosistem Hutan Mangrove, Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
Mantra, Ida Bagoes. 1995. Langkah-Langkah Penelitian Survei. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Muryani, Chatrina. 2011. Model Pemberdayaan Masyarakat dalam Pengelolaan dan Pelestarian Hutan Mangrove di Pantai Pasuruan Jawa Timur. Jurnal: LPPM Universitas Sebelas Maret.
Rahmawaty, 2006. Upaya Pelestarian Mangrove Berdasarkan Pendekatan Masyarakat. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Raymond P. Graziano. 2010. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat, http://www.google.com/search?q=pengelolaan+hutan+mangrove+berbasis+masyarakat+. (Online), diakses tanggal 22 Januari 2013 jam 19:45 WITA
Riandani, 2007. Komposisi Jenis Vegetasi Mangrove di Desa Tomoli Kecamatan Ampibabo Kabupaten Parigi Moutong. Palu: Universitas Tadulako.
Ridwan, 2008. Metode dan Teknik Penyusunan Proposal Penelitian. Bandung: Alfabeta.
Ritohardoyo, Su. 2013. Penggunaan Lahan dan Tata Guna Lahan. Yogyakarta: Ombak.
Santoso, 2000. Definisi Hutan Mangrove dan Ekosistem Mangrove. http://melacakalam.wordpress.com/2011/11/24/definisi-hutan-MANGROVE-dan-ekosistem-mangrove/. (Online), Diakses Tanggal 20 Februari 2013 Jam 19.45 WITA.
Saparinto, C. 2007. Pendayagunaan Ekosistem Mangrove. Semarang: Dahara Prize.
Sugandy, 1994. Pengelolaan Hutan Mangrove secara Berkelanjutan. Jember: Jurnal
Sugiarto, 1996. Penghijauan Pantai. Jakarta: Penebar Ilmu.
Suhendang, E. dan Kusuma C. 1993. Kelestarian Hasil dalam Pengelolaan Hutan Mangrove. Jakarta: Lestari.
Sukardi, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Kompetensi dan Praktiknya. Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Sumarhani, 1995. Rehabilitasi Hutan Mangrove Terdegradasi dengan Sistem Perhutanan Sosial. Jember: Jurnal
Suriani, Melinda. 2012. Pengelolaan Hutan Mangrove Berbasis Masyarakat pada Kawasan Pantai Timur Sumatera Utara. http://meilindasuriani.wordpress.com/2012/06/14/pengelolaan-hutan-mangrove-berbasis-masyarakat-pada-kawasan-pantai-timur-sumatera-utara/. (Online), Diakses Tanggal 27 Januari 2013 Jam 21.30 WITA.
Yatim Riyanto. 1996. Metodologi Penelitian Pendidikan. Surabaya: SIC 2001
1
44