Academia.eduAcademia.edu

KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI PESISIR KARAWANG

Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa fungsi yakni fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di Kabupaten Karawang, untuk diluar kawasan hutan, tingkat kerusakan tergolong rusak berat dan rusak sedang masing masing seluas 13.217,36 ha dan 16.697,38 ha dari total luas diluar kawasan hutan 253.30 ha. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Isu abrasi dapat menjadi pemicu untuk menggalakkan kembali rehabilitasi hutan mangrove yang rusak di Karawang dalam rangka meredam efek kikisan ombak ke bibir pantai, mengingat tingkat erosi di Kabupaten Karawang cukup tinggi. Tulisan berikut merupakan hasil kajian pustaka untuk menggambarkan kondisi dan peranan hutan mangrove khususnya di Kabupaten Karawang.

KERUSAKAN HUTAN MANGROVE DI PESISIR KARAWANG Rahadian Febry Maulana (24011021) Magister Studi Pembangunan Institut Teknologi Bandung 2011 Abstrak Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa fungsi yakni fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di Kabupaten Karawang, untuk diluar kawasan hutan, tingkat kerusakan tergolong rusak berat dan rusak sedang masing masing seluas 13.217,36 ha dan 16.697,38 ha dari total luas diluar kawasan hutan 253.30 ha. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Isu abrasi dapat menjadi pemicu untuk menggalakkan kembali rehabilitasi hutan mangrove yang rusak di Karawang dalam rangka meredam efek kikisan ombak ke bibir pantai, mengingat tingkat erosi di Kabupaten Karawang cukup tinggi. Tulisan berikut merupakan hasil kajian pustaka untuk menggambarkan kondisi dan peranan hutan mangrove khususnya di Kabupaten Karawang. Kerusakan Hutan Mangrove Hutan mangrove atau hutan bakau adalah hutan yang tumbuh di wilayah pesisir pantai pada lahan lahan rawa berair payau yang terletak pada garis pantai dan dipengaruhi oleh air laut, atau di teluk-teluk yang terlindung dari gempuran ombak, maupun di sekitar muara sungai. Ekosistem ini mempunyai fungsi ekologis dan ekonomis. Fungsi ekologis hutan mangrove antara lain: pelindung garis pantai (abrasi, banjir), mencegah intrusi air laut, habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), tempat pemijahan (spawning ground) bagi aneka biota perairan, serta sebagai pengatur iklim mikro. Sedangkan fungsi ekonominya antara lain: penghasil keperluan rumah tangga dan penghasil keperluan industri. Luas ekosistem mangrove di Indonesia mencapai 75% dari total mangrove di Asia Tenggara, atau sekitar 27% dari luas mangrove di dunia. Luas penyebaran mangrove terus mengalami penurunan. Berdasarkan data Direktorat Jendral Rehabilitas Lahan dan Perhutanan Sosial (Ditjen RLPS) (2001) luas hutan Mangrove di Indonesia pada tahun 1999 diperkirakan mencapai 8.60 juta hektar akan tetapi sekitar 5.30 juta hektar dalam keadaan rusak. Di pulau Jawa terdapat sebaran mangrove yaitu di pesisir utara pulau jawa dan di pesisir barat pulau jawa. Kerusakan mangrove di masing-masing pesisir sudah mencapai tahap memprihatinkan, 70% dari kawasan pesisir barat dan utara mengalami kerusakan. Tulisan ini mencoba mengulas kerusakan hutan mangrove di Kabupaten Karawang yang merupakan bagian dari pesisir utara pulau Jawa. Hutan mangrove di Kabupaten Karawang tersebar di sembilan kecamatan, yaitu Kecamatan Pakisjaya, Batujaya, Tirtajaya, Cibuaya, Pedes, Cilebar, Tempuran, Cilamaya Kulon dan Cilamaya Wetan. Namun potensi koloni hutan mangrove yang terbesar ada di Kecamatan Tirtajaya, Cibuaya, Cilebar dan Cilamaya. Sedangkan di kecamatan-kecamatan lainnya hanya bersifat setempat dengan jumlah pohon yang tinggal hanya beberapa batang saja. Sebagian masyarakat di sekitar kawasan pesisir memenuhi kebutuhan hidupnya dengan cara melakukan intervensi terhadap ekosistem mangrove. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan (mangrove) menjadi tambak, pemukiman, industri, reklamasi pantai untuk wisata dan penebangan oleh masyarakat untuk berbagai keperluan. Berikut peta sebaran hutan mangrove yang ada di Kabupaten Karawang Tahun 2004. Gambar 1. Sebaran Hutan Mangrove Kabupaten Karawang Sumber : Puslitbang geologi kelautan 2004 Saat ini kondisi hutan bakau alias mangrove di pesisir Kabupaten Karawang semakin kritis. Bahkan, sebagian ruas sepanjang pantai Pisangan, Kecamatan Cibuaya dan Pantai Pusaka Jaya, Kecamatan Cilebar hanya tinggal beberapa batang saja."Kini yang bisa diandalkan hanya sekitar 4.000 hektare hutan mangrove di Desa Cikeong, Kecamatan Tirtajaya, “itu pun saat ini kondisinya sudah kritis”, menurut Asisten Daerah (Asda) I Kab. Karawang, Saleh Effendi (Pikiran Rakyat). Kondisi kritis tersebut diperparah dengan masih adanya aksi penebangan hutan mangrove oleh orang tak dikenal di desa Cikiong baru-baru ini, penebangan tersebut belum diketahui motifnya. Bagian Kesatuan Pemangkuan Hutan (BKPH) Cikiong menemukan 44 rumpun hutan mangrove yang berada di lahan seluas sekitar 3 hektare (ha) yang rusak karena adanya aksi penebangan tersebut. "Saat kami melakukan patroli dan pengawasan, kami menemukan banyak bekas penebangan pada hutan mangrove Cikiong seluas sekitar tiga hektare. “Namun, hingga kini kami belum tahu siapa pelakunya," ucap Kepala BKPH Cikiong, Ardani Cahyaji, Minggu (30/10). "Pembabatan yang dilakukan cukup mengkhawatirkan, karena yang dibabat adalah mangrove dengan usia 22 tahun yang mempunyai fungsi lebih besar dibanding mangrove usia muda," katanya. (Pikiran Rakyat 30/10/2011). Gambar 2. Penebangan hutan mangrove di desa Cikiong oleh orang tak dikenal Sumber : Pikiran Rakyat Kerusakan yang terjadi di hutan mangrove kawasan pesisir Kabupaten Karawang diperlihatkan oleh tabel 1. Tabel 1. Citra satelit landsat dan SIG Tabel 2. Lokasi dan luas tingkat kerusakan hutan mangrove Kabupaten Karawang Sumber : Analisis Citra Landsat 2005/2006, Peta RBI dan Survey Lapang Kendala dalam melestarikan Mangrove Saat ini sangat sulit menjaga dan melestarikan hutan Mangrove, fungsi utama hutan Mangrove sebagai pelindung utama bibir pantai sudah tidak dianggap penting lagi oleh pemerintah apalagi oleh masyarakat. Masyarakat tidak segan merusak hutan Mangrove untuk dijadikan areal tambak, dan perhatian pemerintah juga sangat minim dalam pengelolaan Hutan Mangrove ini, terbukti dengan sedikitnya peraturan tentang Mangrove dan sedikitnya pula alokasi anggaran untuk melestarikan hutan Mangrove. Di satu sisi masyarakat dan pemerintah cukup sadar akan fungsi mangrove sebagai penjaga garis terdepan pantai jika terjadi bencana, tetapi di sisi lain posisi hutan Mangrove selalu terancam. Berbagai macam kendala muncul dalam upaya melestarikan hutan Mangrove. Salah satunya adalah kendala dalam penataan kawasan hutan mangrove yang melibatkan berbagai pihak terkait. Pertama jika kita melihat pada keberadaan hutan mangrove itu sendiri, terdapaat dua wilayah keberadaan tanaman mangrove menurut pengelolaan dan fungsinya. Pertama, tanaman mangrove di dalam kawasan hutan, kawasan ini dimiliki oleh pemerintah dan berfungsi sebagai hutan lindung. Kedua, adalah tanaman mangrove yang berada dikawasan luar hutan, yang berupa lahan milik masyarakat maupun lahan lainnya diluar kawasan hutan. Pengelolaan kawasan hutan mangrove sering mengalami kendala koordinasi kelembagaan, lemahnya penegakan hukum mengenai tata ruang memicu terjadinya beberapa kegiatan yang menyebabkan kerusakan pada kawasan mangrove di Kabupaten Karawang. Permasalahan hukum yang dihadapi dalam pengelolaan kawasan pesisir adalah penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Umum Tata Ruang Daerah baik Kabupaten/Kota maupun RUTR Propinsi. Hampir seluruh kerusakan hutan mangrove selalu berkaitan dengan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan Rencana Tata Ruang. Banyak lahan mangrove di kawasan dalam hutan yang seharusnya digunakan sebagai kawasan lindung tiba-tiba berubah menjadi pertanian, tambak, atau tempat pariwisata. Ada beberapa rencana proyek pembuatan tempat pariwisata yang mengikis habis hutan mangrove, tetapi setelah mangrove terkikis dan lahan sudah siap didirikan bangunan, proyek tersebut tidak jadi hanya karena alasan posisinya yang tidak strategis. Fenomena pelanggaran RT/RW ini sudah tidak asing kita temui di hampir seluruh sektor. Rencana Tata Ruang sewaktu-waktu dapat seenaknya dirubah untuk berbagai kepentingan, walaupun kepentingan tersebut bertentangan atau berlawanan dengan hukum. Ketidak sesuaian RT/RW yang tertulis dengan kondisi di lapangan sudah menjadi sesuatu yang lumrah dan tidak aneh lagi. Kawasan mangrove baik yang berada di dalam hutan maupun yang berada diluar hutan tidak terlepas dari penyalah gunaan tata ruang. Hal ini terjadi salah satunya dikarenakan adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan hutan mangrove antara pihak Dinas Kehutanan dan Dinas Perikanan&Kelautan. Di satu sisi hutan mangrove berpotensi sebagai wilayah konservasi hutan untuk Ecoturism, tetapi di sisi lain hutan Mangrove diarahkan sebagai areal tambak karena kawasan hutan mangrove cocok untuk pemijahan ikan. Pada dasarnya kedua kepentingan tersebut tetap mempunyai dampak negatif bagi hutan Mangrove, karena pada prakteknya pengelolaan yang dilakukan pasti buruk. Misalnya terdapat rencana proyek Ecoturism hutan Mangrove yang malah banyak merusak habitat Mangrove itu sendiri. Ironis sekali, mengembangkan pariwisata hutan Mangrove tetapi lahan mangrove banyak berkurang akibat pembangunan tempat wisata tersebut. Pengalih fungsian lahan menjadi areal tambak yang dilakukan masyarakat juga membabat habis hutan Mangrove. Kewenangan pengelolaan kedua instansi tersebut telah diatur dalam peraturan perundangan, bahwa Hutan Mangrove adalah kawasan kehutanan yang harus di lindungi dan dilestarikan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dipertegas dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 mengamanatkan bahwa dinas Kehutanan, mendapat kewenangan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove diperairan dalam hal ini pada pesisir Kabupaten Karawang. Sementara itu dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan atau pembudiyaan ikan meliputi sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Oleh karenanya, hutan mangrove yang merupakan daerah genangan air yang sangat potensial untuk perikanan, oleh sektor perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan) dapat memanfaatkannya sebagai area untuk dijadikan budidaya perikanan, yakni sebagai area tambak ikan. Hasilnya, daerah hutan mangrove pun mulai berkurang. Kendala lainnya muncul dari masyarakat dan petugas yang beroprasi di daerah pesisir pantai di Kabupaten Karawang. Masyarakat pesisir pantai yang pada mulanya berprofesi sebagai nelayan sekarang sudah beralih profesi menjadi petani tambak, menurut warga setempat populasi ikan di pesisir Kabupaten Karawang sudah semakin sedikit karena adanya sedimentasi laut. Jika dipaksakan melaut, nelayan hanya memperoleh uang sebesar Rp 11.500,- sekali melaut, karena kondisi tangkapan yang tidak sebanyak dulu. Hal ini yang membuat para nelayan tertarik untuk beralih menjadi petani dan membuka lahan untuk tambak, karena tidak banyak pilihan pekerjaan yang lainnya. Setiap adanya pembuatan tambak oleh warga, berarti mau tidak mau terdapat tanaman Mangrove yang dibabat. Memang ada peraturan untuk para penambak, barang siapa yang telah mengalihfungsikan kawasan mangrove, maka petani tersebut diwajibkan menanam kembali mangrove yang jumlahnya sama dengan yang dibabat, benih dari Mangrove sendiri dapat diperoleh di Polisi hutan. Tetapi peraturan tersebut tidak berjalan baik, karena kenyataanya banyak petani yang merusak lahan seluas 500m, tetapi hanya menanam kembali sekitar 5 pohon Mangrove, bahkan ada sama sekali yang tidak mengganti penanaman. Tidak adanya pengawasan dari pemerintah mengakibatkan para petani tambak merasa berani, karena tidak ada yang memberikan sanksi pelanggaran. Tetapi meskipun peraturan menanam kembali mangrove berjalan dengan baik, tetap saja tidak menyelesaikan masalah mengingat pertumbuhan Mangrove yang cukup lama. Mangrove yang siap menjadi pemecah gelombang air laut dan penghalau abrasi adalah mangrove yang sudah berumur di atas 20 tahun. Untuk mencapai panjang 2 meter saja harus memakan waktu 8 tahun. Jadi jika kawasan Mangrove di pesisir Karawang hanya tersisa 30% lagi maka untuk jangka waktu 20 tahun tidak ada yang menjaga bibir pantai dari ancaman abrasi, gelombang pasang, bahkan tsunami. Fenomena ini terus terjadi hingga sekarang, padahal Departemen Kehutanan mengeluarkan peraturan untuk menjaga kelestarian hutan Mangrove, jika dilanggar, sanksi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pun sangat jelas yakni barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00,- (lima ratus juta rupiah). Sepertinya sanksi tersebut tidak berlaku pada kasus hutan Mangrove, karena berkaitan dengan adanya tumpang tindih kewenangan yang mengakibatkan sulitnya menerapkan sanksi di atas kepada orang yang melanggar. Petugas patroli lapangan yang berasal dari Dinas Kehutanan seharusnya berperan penting terhadap kerusakan hutan Mangrove. Karena setiap harinya mereka berada di lapangan dan langsung berinteraksi dengan warga serta diberikan kewenangan untuk menegur dan memberikan sanksi kepada warga yang melakukan pelanggaran pada hutan Mangrove. Seharusnya banyak yang dapat dikerjakan oleh Polisi Hutan, tetapi kenyataanya tidak. Polisi hutan di pesisir Karawang terkadang juga ikut merusak tanaman mangrove, dengan tidak mencegah para petani tambak yang mengalihfungsikan lahan mangrove menjadi tambak. Polisi hutan juga dinilai kurang disiplin dalam menjalankan tugasnya, patroli yang seharusnya dilakukan 5x dalam sehari terkadang hanya dilakukan 1x sehari bahkan terkadang mereka tidak berpatroli. Terkadang Polisi Hutan berkomplot dengan warga yang menebang Mangrove untuk menjual kayu Mangrove tersebut. Pada waktu-waktu tertentu polisi hutan seketika dapat berubah menjadi baik, jika hanya saat ada kunjungan dari pemerintah ke lokasi hutan Mangrove. Kelalaian petugas pengawas lapangan tersebut disebabkan oleh tidak adanya monitoring untuk petugas polisi hutan. Kasus seperti itu menggambaran betapa buruknya perencanaan pembangunan yang pemerintah kita miliki, dan betapa awamnya pengetahuan masyarakat mengenai pentingnya menjaga dan melestarikan hutan bakau, yang seharusnya pengetahuan tersebut diketahui oleh seluruh masyarakat, apalagi bagi masyarakat yang bermukim di daerah pesisir. Kegiatan yang sudah dilakukan Ada beberapa kegiatan yang telah dilakukan untuk menyelesaikan masalah kritis-nya kondisi hutan mangrove di pesisir Kabupaten Karawang. Salah satunya adalah, pemerintah Kabupaten Karawang menganggarkan Rp 146.000.000,- untuk mengatasi Abrasi laut yang terjadi di daerah pesisir. Dana tersebut hanya dapat menanam 10 hektar lahan mangrove, sementara wilayah yang mengalami kerusakan sebesar 80 Km. Menurut beberapa berita yang dilansir media masa, saat ini usaha untuk menyelesaikan permasalahan hutan mangrove di pesisir Karawang masih dilakukan sendiri-sendiri. Misalnya kegiatan yang dilakukan warga pantai Cilebar Kabupaten Karawang, mereka mengumpulkan kantong pasir yang digunakan sebagai pemecah ombak sehingga gelombang air laut tidak terhempas ke daratan. Hal ini dilakukan menjelang cuaca buruk (angin yang bertiup kencang dan gelombang air laut yang tinggi) karena ketiadaan tanaman mangrove yang berfungsi sebagai pemecah gelombang air laut. (Pikiran Rakyat 04/12/2011). Jika melihat dari nominal dana yang dikeluarkan pemerintah Kabupaten Karawang jelas program penanaman kembali tersebut sulit berhasil atau boleh dikatakan tidak menyelesaikan masalah yang sekarang dirasakan masyarakat pesisir akibat rusaknya kawasan Mangrove. Karena dana sebesar itu hanya menutupi sekitar 5% dari keseluruhan hutan Mangrove di pesisir yang kondisinya rusak. Selain itu, mengingat pertumbuhan tanaman Mangrove yang cukup lama, menambah semakin terancamnya nasib masyarakat pesisir Karawang. Aktifitas pengumpulan kantong pasir juga akhirnya sulit diharapkan keberhasilannya, karena merunut dari pengalaman, kantong pasir tidak dapat bertahan lama ketika datang hujan besar disertai angin yang menyebabkan gelombang ombak tinggi. Kantong pasir yang dikumpulkan warga hanya dapat menahan sedikit gelombang ketika angin dan hujan tidak terlalu besar. Seharusnya untuk menyelesaikan kawasan kritis hutan mangrove, dibutuhkan kerjasama dan koordinasi antar lembaga terkait yang bertugas dan bertanggung jawab mengelola tanaman mangrove (lingkungan), warga pesisir pantai sebaiknya difasilitasi dengan alat pemecah gelombang oleh pemerintah jika memang hutan mangrove nya sudah tidak ada, karena mau tidak mau pemerintah juga berperan sebagai aktor penyebab kerusakan mangrove, karena telah lalai dalam mengelola kawasan pesisir. Berikut beberapa lembaga yang mengelola hutan mangrove Kabupaten Karawang : (1). Dinas Pertanian, (2). Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Karawang, (3). KPH Purwakarta dan intansi lain yang terkait yaitu: (4). Ditjen KP3K Departemen Kelautan dan Perikanan, (5). Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat, (6). Dinas Kelautan dan Perikanan Jawa Barat, (7). BPLHD Provinsi Jawa Barat dan (8). Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Karawang. Kurangnya koordinasi antar lembaga tersebut menjadi kendala besar bagi usaha penyelamatan hutan mangrove, karena lembaga-lembaga tersebut saling terkait. Kesimpulan Permasalahan wilayah pesisir pantai khususnya hutan mangrove sangat kompleks. Di satu sisi terdapat hutan mangrove yang mutlak harus dijaga dan dilestarikan, tapi di sisi lain ada masyarakat yang berkepentingan untuk bertahan hidup dan menggunakan lahan mangrove sebagai mata pencahariannya. Tarik menarik pemerintah dengan warga setempat mengenai penggunaan lahan masih sulit mencapai titik temu, karena tidak ada pemahaman dari kedua belah pihak terhadap kepentingan masig-masing. Pembukaan tambak yang dilakukan masyarakat di kawasan hutan bakau bukan semata-mata karena masyarakat gemar dan ingin bertambak, melainkan masyarakat tidak punya banyak pilihan untuk meneruskan kelangsungan hidupnya. Masyarakat pesisir Karawang yang semula bekerja sebagai nelayan, sekarang mereka sudah tidak sanggup lagi melaut karena populasi ikan semakin berkurang akibat sedimentasi, untuk sehari melaut para nelayan terkadang tidak mendapatkan sepeser pun, bahkan mereka merugi. Jika melihat dari aksi-aksi yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah, fenomena tersebut belum difahami oleh pemerintah. Terbukti belum ada penyelesaian hingga saat ini. Hal yang terpenting dari permasalahan ini adalah bagaiamana agar habitat mangrove bisa kembali normal dan masyarakat sekitar pesisir pantai dapat mencari nafkah dan mendekati kehidupan yang sejahtera menuju kondisi ideal, karena bagaiamanapun juga kehidupan masyarkat pesisir sangat berkaitan dengan kawasan Mangrove, jika tanaman Mangrove dalam kondisi kritis maka secara tidak langsung kehidupan masyarakat pesisir pun terancam. Hal ini memang menjadi tanggung jawab bersama, tetapi pemerintah mendapat porsi yang besar dalam mewujudkan kondisi ideal tersebut. Tidak perduli bagaimana kaitan dan bagaimana konflik di antar instansi yang mengelola kawasan Mangrove, karena konflik dan tidak jalannya fungsi-fungsi yang dimiliki oleh instansi terkait bukan kesalahan masyarakat, bukan kesalahan LSM, bukan kesalahan Negara tetangga, melainkan kesalahan daripada instansi-instansi tersebut, dan merupakan kesalahan pemerintah sebagai penyelenggara Negara. Jika pemerintah bekerja dengan benar dan memberi perhatian yang cukup kepada daerah pesisir karawang, niscaya fenomena pengrusakan hutan mangrove serta alih fungsi hutan mangrove dapat diminimalisir. Penyelesaian permasalahan hutan mangrove menuntut suatu manajemen terbuka yang menjamin keberlangsungan proses koordinasi antar lembaga. Partisipasi masyarakat dalam penyusunan rencana, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi harus disertakan. Pemerintah harus memiliki kekuatan untuk menjalankan apa yang harus dijalankan demi kesejahteraan rakyat. Daftar Pustaka Anonim,http://id.wikibooks.org/wiki/Melibatkan_Masyarakat_dalam_Penanggulan gan_Kerusakan_Lingkungan_Pesisir_dan_Laut Anonim, http://digilib.its.ac.id/public/ITS-Master-11434-410205706-Chapter1.pdf Bappeda Jabar, (2010), Mewujudkan Pembangunan Jawa Barat Berbasis Tematik. Bandung. Chairil Anwar dan Hendra Gunawan, http://www.dephut.go.id/files/Chairil_Hendra.pdf Dwi Susilo.K.Rachmad. (2008), Sosiologi Lingkungan, Bandung: Rajawali Pers Noor,Y.R., M Khazali, dan I.N.N Suryadiputra. (1999). Panduan Pengenalan Mangrove di Indonesia. PKA/WI-IP.Bogor. www.pikiran-rakyat.com 9