Journal by Rahadian Febry Maulana
Amandemen UUD 1945 pasca reformasi telah membawa perubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan ... more Amandemen UUD 1945 pasca reformasi telah membawa perubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan di Indonesia, diantaranya adalah diperkuatnya sistem desentralisasi dalam kerangka otonomi daerah. Dalam konteks ini pemerintah daerah memiliki kewenangan luas untuk mengatur sendiri tata kelola pemerintahannya (UU No. 23/2014).
Pada satu sisi, kewenangan luas yang dimiliki pemerintah daerah telah membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk berinovasi menciptakan cara-cara baru/program-program yang bersifat out of the box dalam upaya mewujudkan kesejahteraan serta meningkatkan kualitas hidup seluruh elemen masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Namun pada sisi lain, hal ini juga membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk menyalahgunakan wewenang, seperti membuat kebijakan yang ditujukan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, serta tidak berpihak pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan (korupsi, kolusi dan nepotisme). Untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang serta untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, diperlukan penerapan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance) sebagai jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean goverment). Secara garis besar, sistem tersebut tersusun atas 3 (tiga) paradigma, yakni paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Ketiga paradigma tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat dipandang secara parsial.
Ditinjau dalam perspektif pembangunan daerah, sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka dapat diimplementasikan oleh setiap kepala daerah terpilih sebagai pemegang kekuasaan di daerah. Tiga paradigma yang melandasi sistem tersebut dapat dijabarkan sebagai strategi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam konteks ini RPJMD menjadi pegangan dan landasan utama kepala daerah beserta segala aparatur di bawahnya dalam menjalankan pemerintahan selama kurun waktu jabatan kepala daerah tersebut. Penjabaran paradigma ke dalam RPJMD ini dilakukan agar program-program turunan dari ketiga paradigma (yang bertujuan untuk mewujudkan open governance) memiliki kejelasan secara administratif dan dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kriteria-kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sehingga dapat dijabarkan kedalam strategi RPJMD, yang kemudian ditindaklanjuti menjadi program-program konkret selama satu periode dan diimplementasikan setiap tahunnya. Dalam penelitian ini digunakan strategi RPJMD Jawa Barat Tahun 2008-2013 sebagai objek penelitian.
Adapun cara untuk melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan telaah terhadap paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dengan menempatkan ketiga paradigma tersebut di dalam kerangka sistem pembangunan daerah yang mengacu pada UU No. 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dirumuskan kriteria-kriteria yang melandasi masing-masing paradigma tersebut. Selanjtunya dilakukan verifikasi kriteria-kriteria yang telah terbentuk dalam strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Dalam tahap ini dapat diketahui kriteria mana saja yang telah terakomodasi dalam strategi RPJMD, untuk kemudian dilakukan simplifikasi menjadi paradigma apa yang telah terakomodasi dalam pembangunan Jawa Barat.
Dari tahapan tersebut diketahui bahwa kriteria paradigma transparansi yang terakomodasi dalam Strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 hanya sebanyak 1 (satu) kriteria dari 7 (tujuh) kriteria, paradigma partisipasi hanya 1 (satu) kriteria dari 4 (kriteria), kemudian paradigma akuntabilitas hanya 2 (dua) dari 5 (lima) kriteria. Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa pembangunan Jawa Barat yang terekam dalam dokumen RPJMD Tahun 2008-2013 tidak mengakomodasi seluruh kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Adapun beberapa kriteria yang terpenuhi pun tidak di implementasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini diketahui berdasarkan hasil analisis implementasi kriteria-kriteria yang mengacu pada data capaian indikator program dari strategi yang tidak terdapat dalam LKPJ, LPPD, Lakip, dan Jawa Barat Dalam Angka (publikasi BPS) Tahun 2009-2013. Dalam perspektif ini, pembangunan Provinsi Jawa Barat belum menerapkan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance).
After the reformation, National Amendment 1945 has brought fundamental changes to the system of g... more After the reformation, National Amendment 1945 has brought fundamental changes to the system of government; one of them was the role of the National Assembly as the highest institution of the state into state institutions, as well as the abolition of GBHN as an MPR decree which set the guidelines for national development planning. National development interpreted as efforts to improve the quality of human in Indonesia, so they are conducted on an ongoing basis, based on the national capacity in the use of science and technology, as well as attention to the challenges of global development.
In the pre-reform period, MPR (National Assembly) held and carried the sovereignty of the people, so that the GBHN as an MPR decree legally stand as the second highest law after National Amendment 1945. In this context, the GBHN are binding on all elements of the state apparatus, both national and regional scale. GBHN as the highest law can’t be changed and it can only be done by the National Assembly who established that law.
After 30 years, GBHN has been decided as a reference for national or regional government for development programs in every aspect. GBHN also set the harmony of the development both in region and national. The abolition of the GBHN made Indonesian government has no guidelines for the development of such GBHN, the legal law.
In return, the government together with the Parliament makes a regulation No.25/2004 named Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Seen in the perspective of the legal position, this regulation is not as strong as GBHN, because it’s just seen as a regulation. The characteristic of regulation can be change when the Constitutional Court makes judicial review.
In SPPN regulation is set of long-term national development plan (RPJPN), medium-term national development plan (RPJMN), long-term regional development plan (RPJPD) and medium-term development plan RPJMD area.
For development planning for the national/central stage, RPJPN documents prepared by President and is valid for 20 years. RPJPN then used as a reference for preparing RPJMN which was also prepared by the President elected by the vision of its mission once every 5 years. While in local development planning, the document prepared by the regional head (governor) elected for 20 years. Based on the RPJPN, then as a regional medium-term development plan, a document drawn up by the regional head (governor) based on its mission every five years.
From the perspective of regional development, RPJMD has given authority to determine its own development strategy in accordance with the vision and mission of each governor elected for five years. In this context, the vision and mission of the elected governor is the result of a political agreement between sympathizers supporting of the elected regional head (governor), so it potentially represents only the interests of a particular group.
Further, the elaboration of governor about their mission and vision into RPJMR programs did not explain what the paradigm is used to develop in their region. If there is an exact development paradigm is used, then the realization of its could be evaluated RPJMD based development paradigm used.
Based on the description above, this study focuses to examine what the paradigm used in RPJMD strategy. Using three Paradigm Development methods (Economic Growth, Welfare and Human Resources) it will analyze West Java Province’s RPJMD strategy on 2008-2013. The structure of RPJMD consists of a 151 strategy.
Then, using a scientific approach called ‘pohon keilmuan’, each paradigm of development decomposed into elements and criteria of the elements. Economic Development Paradigm consists of 4 elements and 14 criteria, then Welfare Paradigm consists of 4 elements and 11 criteria, as well as Human Resources paradigm consists of 6 elements and 24 criteria.
The next step is to correlate the 151 strategy with elements of the three development paradigm. The research tool used in this case is correlation matrix. From the results of these correlations, it is known that all elements of the Growth Paradigm, namely: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, and the elements of the welfare paradigm, namely: (1)centralized, (2)public service, (3)redistribution/transfer government, (4)social security have been done in West Java Province’s RPJMD in 2008-2013. While the paradigm of Human Resources, namely: (1)empowerment and (2)equality had been done. Meanwhile, the element that didn’t do are (3)sustainable (4)productivity, (5)participation, and(6) transparency.
The next stage is to analyze the implementation of the element of the three development paradigm on West Java Province’s RPJMD 2008-2013. The analysis is based on the development indicators derived from the data of LKPJ Governor of West Java province in 2012 (end of period) and West Java in Numbers. The analysis compares the average performance realization of the construction period of 2008-2013 with the initial conditions (in 2007).
The results obtained from the analysis, it is concluded that, those elements: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, (5)centralized, (6)public service, (7)redistribution/transfer government, (8)social security, (9)equality, and (10)has been implemented in the construction of empowerment in the province of West Java. While elements have implemented yet, are: (1)participation, (2)productivity, (3)sustained, and (4)transparency.
Keywords: Amendment of the 1945 Constitution, SPPN, Strategy RPJMD, Paradigm of Development, Correlation Matrix.
Lesson Learned by Rahadian Febry Maulana
Opini BPK atas Laporan Keuangan BPOM Dari 1 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, in... more Opini BPK atas Laporan Keuangan BPOM Dari 1 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, indikator sudah cukup baik. Indeks RB BPOM Dari 64 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, terdapat 13 indikator yang perlu pendalaman lebih lanjut.
Summary Rencana Pembangunan Daerah (RPD) Tolikara 2023 - 2026, 2022
Teknokratik RPJMD, 2020
Paparan berisi : Tata cara penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMD, peran Perangkat Daerah dalam p... more Paparan berisi : Tata cara penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMD, peran Perangkat Daerah dalam penyusunan Rancangan Teknokratik RPJMD, dan Cara Sinkronisasi Renstra PD dengan RPJMD.
Rencana Pembangunan Daerah merupakan dokumen perencanaan yang digunakan oleh PJ Kepala Daerah (ca... more Rencana Pembangunan Daerah merupakan dokumen perencanaan yang digunakan oleh PJ Kepala Daerah (caretaker) pada masa transisi sebelum Pemillukada serentak.
Pada tahun 2018 Dinas Pendidikan XXXXX melaksanakan 8 (delapan) program dan 188 kegiatan dengan t... more Pada tahun 2018 Dinas Pendidikan XXXXX melaksanakan 8 (delapan) program dan 188 kegiatan dengan total anggaran Rp4.504.537.984.485. Secara umum rata-rata realisasi anggaran Dinas Pendidikan masuk dalam kategori sedang, sementara itu rata-rata realisasi indikator kinerja program (outcome) masuk dalam kategori sangat tinggi. Analisis lebih rinci dijabarkan pada paragraf selanjutnya. Grafik 2.1 Realisasi Anggaran Program Dinas Pendidikan Berdasarkan Program Sumber : Emonev 2018 (diolah) Berdasarkan Grafik 2.1, dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi anggaran per Program pada Dinas Pendidikan masuk dalam kategori sedang (66% ≤ 75%). Kondisi tersebut dipengaruhi oleh realisasi anggaran dengan kategori rendah dari (1) Program Pengelolaan KDO dan (2) Program Pendidikan Anak Usia Dini dan Pendidikan Masyarakat. 36% 81% 77% 76% 93% 87% 51% 78% 0% 10% 20% 30% 40% 50% 60% 70% 80% 90%100%
Evaluasi Paruh Waktu Renstra BPOM, 2023
Dari 1 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, indikator sudah cukup baik. Nilai Kiner... more Dari 1 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, indikator sudah cukup baik. Nilai Kinerja Anggaran BPOM Dari 78 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, terdapat 14 indikator yang perlu pendalaman lebih lanjut. Opini BPK atas Laporan Keuangan BPOM Dari 1 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, indikator sudah cukup baik. Indeks RB BPOM Dari 64 indikator yang tersebar di unit organisasi/satker, terdapat 13 indikator yang perlu pendalaman lebih lanjut.
Kondisi wilayah pesisir secara fisik dan ekologis dipengaruhi oleh komponenkomponen oseanografi s... more Kondisi wilayah pesisir secara fisik dan ekologis dipengaruhi oleh komponenkomponen oseanografi seperti pasang surut, gelombang, arus, suhu, salinitas dan angin. Perubahan secara fisik oleh alam menimbulkan tingkat resistansi yang
Saat ini krisis energi listrik mulai dirasakan di Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia mas... more Saat ini krisis energi listrik mulai dirasakan di Indonesia. Hal ini terjadi karena Indonesia masih lebih banyak bergantung pada teknologi pembangkit listrik yang bersumber dari minyak bumi, gas bumi dan batubara (resource base energy), sementara penggunaan dan pengembangan sumber pembangkit listrik yang berasal dari energi baru dan terbarukan atau dapat dikatakan technology based energy masih sangat minim. Kondisi tersebut sangat mengherankan, karena kenyataan saat ini sumber-sumber penghasil energi listrik yang berasal dari perut bumi Indonesia semakin menipis jumlahnya (running dry), dan suatu saat seluruhnya dapat habis jika penggunaanya tidak dibatasi.
Dalam tugas kali ini penulis akan memaparkan hasil pengamatan sektor energi listrik di pesisir Ka... more Dalam tugas kali ini penulis akan memaparkan hasil pengamatan sektor energi listrik di pesisir Kabupaten Cirebon Kecamatan Losari, Desa Ambulu pada tanggal 28 Mei -31 Mei 2012. Kecamatan Losari berada di ujung timur wilayah Kabupaten Cirebon dan berbatasan dengan desa gebang di sebelah barat, dengan laut Losari/Ambulu di sebelah selatan dan dengan kali Cisanggarung di sebelah timur. Kunjungan ke desa Ambulu dilakukan selama 2 hari, yaitu tanggal 28 dan 30 Mei, selama kurang lebih 5 jam per harinya.
Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa fungsi yakni fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang... more Ekosistem hutan mangrove memiliki beberapa fungsi yakni fungsi ekologis, ekonomis dan sosial yang penting dalam pembangunan, khususnya di wilayah pesisir. Meskipun demikian, kondisi hutan mangrove di Indonesia terus mengalami kerusakan dan pengurangan luas dengan kecepatan kerusakan mencapai 530.000 ha/tahun. Sementara laju penambahan luas areal rehabilitasi mangrove yang dapat terealisasi masih jauh lebih lambat dibandingkan dengan laju kerusakannya, yaitu hanya sekitar 1.973 ha/tahun. Demikian juga kondisi hutan mangrove di Kabupaten Karawang, untuk diluar kawasan hutan, tingkat kerusakan tergolong rusak berat dan rusak sedang masing masing seluas 13.217,36 ha dan 16.697,38 ha dari total luas diluar kawasan hutan 253.30 ha. Oleh karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya untuk memulihkan kembali hutan mangrove yang rusak agar dapat kembali memberikan fungsinya bagi kesejahteraan manusia dan mendukung pembangunan wilayah pesisir. Isu abrasi dapat menjadi pemicu untuk menggalakkan kembali rehabilitasi hutan mangrove yang rusak di Karawang dalam rangka meredam efek kikisan ombak ke bibir pantai, mengingat tingkat erosi di Kabupaten Karawang cukup tinggi. Tulisan berikut merupakan hasil kajian pustaka untuk menggambarkan kondisi dan peranan hutan mangrove khususnya di Kabupaten Karawang.
Dalam rangka menerapkan pendekatan structure follow strategy, dokumen perencanaan strategis yang ... more Dalam rangka menerapkan pendekatan structure follow strategy, dokumen perencanaan strategis yang telah diselesaikan dijadikan landasan untuk perubahan struktur organisasi.
Panduan Integrasi Adaptasi Perubahan Iklim dalam Perencanaan Pembangunan Tingkat Pusat dan Daerah, 2019
Untuk mengawal proses penjabaran rencana Adaptasi Perubahan Iklim dalam RPJMN Tahun 2020-2024 sec... more Untuk mengawal proses penjabaran rencana Adaptasi Perubahan Iklim dalam RPJMN Tahun 2020-2024 secara operasional ke dalam dokumen perencanaan tingkat pusat (Renstra K/L, RKP, Renja K/L) dan tingkat daerah (RPJMD, Renstra PD, RKPD, Renja PD) maka pada Tahun 2019 disusun Kajian Panduan Integrasi API dalam Dokumen Perencanaan Pembangunan Tingkat Pusat dan Daerah. Panduan ini berisi langkah teknis dalam menyusun perencanaan berbasis API sesuai dengan sistematika penyusunan perencanaan jangka menengah dan tahunan (pusat dan daerah) sebagaimana telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Melalui penyusunan panduan ini diharapkan dokumen perencanaan tingkat pusat dan daerah dapat secara sistematis memuat analisis-analisis terkait potensi dampak dan risiko negatif perubahan iklim pada sektor terdampak, dimana analisis tersebut menjadi dasar perumusan program/kegiatan dan indikator kinerja beserta targetnya, yang benar-benar menjadi solusi untuk mengurangi dampak dan risiko negatif perubahan iklim pada sektor terdampak sesuai dengan kewenangan instansi terkait.
Uploads
Journal by Rahadian Febry Maulana
Pada satu sisi, kewenangan luas yang dimiliki pemerintah daerah telah membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk berinovasi menciptakan cara-cara baru/program-program yang bersifat out of the box dalam upaya mewujudkan kesejahteraan serta meningkatkan kualitas hidup seluruh elemen masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Namun pada sisi lain, hal ini juga membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk menyalahgunakan wewenang, seperti membuat kebijakan yang ditujukan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, serta tidak berpihak pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan (korupsi, kolusi dan nepotisme). Untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang serta untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, diperlukan penerapan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance) sebagai jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean goverment). Secara garis besar, sistem tersebut tersusun atas 3 (tiga) paradigma, yakni paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Ketiga paradigma tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat dipandang secara parsial.
Ditinjau dalam perspektif pembangunan daerah, sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka dapat diimplementasikan oleh setiap kepala daerah terpilih sebagai pemegang kekuasaan di daerah. Tiga paradigma yang melandasi sistem tersebut dapat dijabarkan sebagai strategi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam konteks ini RPJMD menjadi pegangan dan landasan utama kepala daerah beserta segala aparatur di bawahnya dalam menjalankan pemerintahan selama kurun waktu jabatan kepala daerah tersebut. Penjabaran paradigma ke dalam RPJMD ini dilakukan agar program-program turunan dari ketiga paradigma (yang bertujuan untuk mewujudkan open governance) memiliki kejelasan secara administratif dan dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kriteria-kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sehingga dapat dijabarkan kedalam strategi RPJMD, yang kemudian ditindaklanjuti menjadi program-program konkret selama satu periode dan diimplementasikan setiap tahunnya. Dalam penelitian ini digunakan strategi RPJMD Jawa Barat Tahun 2008-2013 sebagai objek penelitian.
Adapun cara untuk melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan telaah terhadap paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dengan menempatkan ketiga paradigma tersebut di dalam kerangka sistem pembangunan daerah yang mengacu pada UU No. 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dirumuskan kriteria-kriteria yang melandasi masing-masing paradigma tersebut. Selanjtunya dilakukan verifikasi kriteria-kriteria yang telah terbentuk dalam strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Dalam tahap ini dapat diketahui kriteria mana saja yang telah terakomodasi dalam strategi RPJMD, untuk kemudian dilakukan simplifikasi menjadi paradigma apa yang telah terakomodasi dalam pembangunan Jawa Barat.
Dari tahapan tersebut diketahui bahwa kriteria paradigma transparansi yang terakomodasi dalam Strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 hanya sebanyak 1 (satu) kriteria dari 7 (tujuh) kriteria, paradigma partisipasi hanya 1 (satu) kriteria dari 4 (kriteria), kemudian paradigma akuntabilitas hanya 2 (dua) dari 5 (lima) kriteria. Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa pembangunan Jawa Barat yang terekam dalam dokumen RPJMD Tahun 2008-2013 tidak mengakomodasi seluruh kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Adapun beberapa kriteria yang terpenuhi pun tidak di implementasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini diketahui berdasarkan hasil analisis implementasi kriteria-kriteria yang mengacu pada data capaian indikator program dari strategi yang tidak terdapat dalam LKPJ, LPPD, Lakip, dan Jawa Barat Dalam Angka (publikasi BPS) Tahun 2009-2013. Dalam perspektif ini, pembangunan Provinsi Jawa Barat belum menerapkan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance).
In the pre-reform period, MPR (National Assembly) held and carried the sovereignty of the people, so that the GBHN as an MPR decree legally stand as the second highest law after National Amendment 1945. In this context, the GBHN are binding on all elements of the state apparatus, both national and regional scale. GBHN as the highest law can’t be changed and it can only be done by the National Assembly who established that law.
After 30 years, GBHN has been decided as a reference for national or regional government for development programs in every aspect. GBHN also set the harmony of the development both in region and national. The abolition of the GBHN made Indonesian government has no guidelines for the development of such GBHN, the legal law.
In return, the government together with the Parliament makes a regulation No.25/2004 named Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Seen in the perspective of the legal position, this regulation is not as strong as GBHN, because it’s just seen as a regulation. The characteristic of regulation can be change when the Constitutional Court makes judicial review.
In SPPN regulation is set of long-term national development plan (RPJPN), medium-term national development plan (RPJMN), long-term regional development plan (RPJPD) and medium-term development plan RPJMD area.
For development planning for the national/central stage, RPJPN documents prepared by President and is valid for 20 years. RPJPN then used as a reference for preparing RPJMN which was also prepared by the President elected by the vision of its mission once every 5 years. While in local development planning, the document prepared by the regional head (governor) elected for 20 years. Based on the RPJPN, then as a regional medium-term development plan, a document drawn up by the regional head (governor) based on its mission every five years.
From the perspective of regional development, RPJMD has given authority to determine its own development strategy in accordance with the vision and mission of each governor elected for five years. In this context, the vision and mission of the elected governor is the result of a political agreement between sympathizers supporting of the elected regional head (governor), so it potentially represents only the interests of a particular group.
Further, the elaboration of governor about their mission and vision into RPJMR programs did not explain what the paradigm is used to develop in their region. If there is an exact development paradigm is used, then the realization of its could be evaluated RPJMD based development paradigm used.
Based on the description above, this study focuses to examine what the paradigm used in RPJMD strategy. Using three Paradigm Development methods (Economic Growth, Welfare and Human Resources) it will analyze West Java Province’s RPJMD strategy on 2008-2013. The structure of RPJMD consists of a 151 strategy.
Then, using a scientific approach called ‘pohon keilmuan’, each paradigm of development decomposed into elements and criteria of the elements. Economic Development Paradigm consists of 4 elements and 14 criteria, then Welfare Paradigm consists of 4 elements and 11 criteria, as well as Human Resources paradigm consists of 6 elements and 24 criteria.
The next step is to correlate the 151 strategy with elements of the three development paradigm. The research tool used in this case is correlation matrix. From the results of these correlations, it is known that all elements of the Growth Paradigm, namely: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, and the elements of the welfare paradigm, namely: (1)centralized, (2)public service, (3)redistribution/transfer government, (4)social security have been done in West Java Province’s RPJMD in 2008-2013. While the paradigm of Human Resources, namely: (1)empowerment and (2)equality had been done. Meanwhile, the element that didn’t do are (3)sustainable (4)productivity, (5)participation, and(6) transparency.
The next stage is to analyze the implementation of the element of the three development paradigm on West Java Province’s RPJMD 2008-2013. The analysis is based on the development indicators derived from the data of LKPJ Governor of West Java province in 2012 (end of period) and West Java in Numbers. The analysis compares the average performance realization of the construction period of 2008-2013 with the initial conditions (in 2007).
The results obtained from the analysis, it is concluded that, those elements: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, (5)centralized, (6)public service, (7)redistribution/transfer government, (8)social security, (9)equality, and (10)has been implemented in the construction of empowerment in the province of West Java. While elements have implemented yet, are: (1)participation, (2)productivity, (3)sustained, and (4)transparency.
Keywords: Amendment of the 1945 Constitution, SPPN, Strategy RPJMD, Paradigm of Development, Correlation Matrix.
Lesson Learned by Rahadian Febry Maulana
Pada satu sisi, kewenangan luas yang dimiliki pemerintah daerah telah membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk berinovasi menciptakan cara-cara baru/program-program yang bersifat out of the box dalam upaya mewujudkan kesejahteraan serta meningkatkan kualitas hidup seluruh elemen masyarakatnya ke arah yang lebih baik. Namun pada sisi lain, hal ini juga membuka peluang besar bagi setiap kepala daerah untuk menyalahgunakan wewenang, seperti membuat kebijakan yang ditujukan untuk memperkaya diri sendiri dan kelompoknya, serta tidak berpihak pada kepentingan masyarakat secara keseluruhan (korupsi, kolusi dan nepotisme). Untuk menghindari potensi penyalahgunaan wewenang serta untuk menciptakan kebijakan-kebijakan yang berpihak pada kepentingan masyarakat, diperlukan penerapan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance) sebagai jalan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (clean goverment). Secara garis besar, sistem tersebut tersusun atas 3 (tiga) paradigma, yakni paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Ketiga paradigma tersebut bersifat saling melengkapi dan tidak dapat dipandang secara parsial.
Ditinjau dalam perspektif pembangunan daerah, sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka dapat diimplementasikan oleh setiap kepala daerah terpilih sebagai pemegang kekuasaan di daerah. Tiga paradigma yang melandasi sistem tersebut dapat dijabarkan sebagai strategi ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD). Dalam konteks ini RPJMD menjadi pegangan dan landasan utama kepala daerah beserta segala aparatur di bawahnya dalam menjalankan pemerintahan selama kurun waktu jabatan kepala daerah tersebut. Penjabaran paradigma ke dalam RPJMD ini dilakukan agar program-program turunan dari ketiga paradigma (yang bertujuan untuk mewujudkan open governance) memiliki kejelasan secara administratif dan dasar hukum yang jelas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk merumuskan kriteria-kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas sehingga dapat dijabarkan kedalam strategi RPJMD, yang kemudian ditindaklanjuti menjadi program-program konkret selama satu periode dan diimplementasikan setiap tahunnya. Dalam penelitian ini digunakan strategi RPJMD Jawa Barat Tahun 2008-2013 sebagai objek penelitian.
Adapun cara untuk melakukan penelitian ini adalah dengan melakukan telaah terhadap paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas dengan menempatkan ketiga paradigma tersebut di dalam kerangka sistem pembangunan daerah yang mengacu pada UU No. 25/2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional dan UU No.23/2014 Tentang Pemerintahan Daerah. Kemudian dirumuskan kriteria-kriteria yang melandasi masing-masing paradigma tersebut. Selanjtunya dilakukan verifikasi kriteria-kriteria yang telah terbentuk dalam strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013. Dalam tahap ini dapat diketahui kriteria mana saja yang telah terakomodasi dalam strategi RPJMD, untuk kemudian dilakukan simplifikasi menjadi paradigma apa yang telah terakomodasi dalam pembangunan Jawa Barat.
Dari tahapan tersebut diketahui bahwa kriteria paradigma transparansi yang terakomodasi dalam Strategi RPJMD Provinsi Jawa Barat Tahun 2008-2013 hanya sebanyak 1 (satu) kriteria dari 7 (tujuh) kriteria, paradigma partisipasi hanya 1 (satu) kriteria dari 4 (kriteria), kemudian paradigma akuntabilitas hanya 2 (dua) dari 5 (lima) kriteria. Dari hasil yang diperoleh dapat diketahui bahwa pembangunan Jawa Barat yang terekam dalam dokumen RPJMD Tahun 2008-2013 tidak mengakomodasi seluruh kriteria dari paradigma transparansi, partisipasi dan akuntabilitas. Adapun beberapa kriteria yang terpenuhi pun tidak di implementasikan oleh pemerintah Provinsi Jawa Barat. Hal ini diketahui berdasarkan hasil analisis implementasi kriteria-kriteria yang mengacu pada data capaian indikator program dari strategi yang tidak terdapat dalam LKPJ, LPPD, Lakip, dan Jawa Barat Dalam Angka (publikasi BPS) Tahun 2009-2013. Dalam perspektif ini, pembangunan Provinsi Jawa Barat belum menerapkan sistem tata kelola pemerintahan yang terbuka (open governance).
In the pre-reform period, MPR (National Assembly) held and carried the sovereignty of the people, so that the GBHN as an MPR decree legally stand as the second highest law after National Amendment 1945. In this context, the GBHN are binding on all elements of the state apparatus, both national and regional scale. GBHN as the highest law can’t be changed and it can only be done by the National Assembly who established that law.
After 30 years, GBHN has been decided as a reference for national or regional government for development programs in every aspect. GBHN also set the harmony of the development both in region and national. The abolition of the GBHN made Indonesian government has no guidelines for the development of such GBHN, the legal law.
In return, the government together with the Parliament makes a regulation No.25/2004 named Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional (SPPN). Seen in the perspective of the legal position, this regulation is not as strong as GBHN, because it’s just seen as a regulation. The characteristic of regulation can be change when the Constitutional Court makes judicial review.
In SPPN regulation is set of long-term national development plan (RPJPN), medium-term national development plan (RPJMN), long-term regional development plan (RPJPD) and medium-term development plan RPJMD area.
For development planning for the national/central stage, RPJPN documents prepared by President and is valid for 20 years. RPJPN then used as a reference for preparing RPJMN which was also prepared by the President elected by the vision of its mission once every 5 years. While in local development planning, the document prepared by the regional head (governor) elected for 20 years. Based on the RPJPN, then as a regional medium-term development plan, a document drawn up by the regional head (governor) based on its mission every five years.
From the perspective of regional development, RPJMD has given authority to determine its own development strategy in accordance with the vision and mission of each governor elected for five years. In this context, the vision and mission of the elected governor is the result of a political agreement between sympathizers supporting of the elected regional head (governor), so it potentially represents only the interests of a particular group.
Further, the elaboration of governor about their mission and vision into RPJMR programs did not explain what the paradigm is used to develop in their region. If there is an exact development paradigm is used, then the realization of its could be evaluated RPJMD based development paradigm used.
Based on the description above, this study focuses to examine what the paradigm used in RPJMD strategy. Using three Paradigm Development methods (Economic Growth, Welfare and Human Resources) it will analyze West Java Province’s RPJMD strategy on 2008-2013. The structure of RPJMD consists of a 151 strategy.
Then, using a scientific approach called ‘pohon keilmuan’, each paradigm of development decomposed into elements and criteria of the elements. Economic Development Paradigm consists of 4 elements and 14 criteria, then Welfare Paradigm consists of 4 elements and 11 criteria, as well as Human Resources paradigm consists of 6 elements and 24 criteria.
The next step is to correlate the 151 strategy with elements of the three development paradigm. The research tool used in this case is correlation matrix. From the results of these correlations, it is known that all elements of the Growth Paradigm, namely: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, and the elements of the welfare paradigm, namely: (1)centralized, (2)public service, (3)redistribution/transfer government, (4)social security have been done in West Java Province’s RPJMD in 2008-2013. While the paradigm of Human Resources, namely: (1)empowerment and (2)equality had been done. Meanwhile, the element that didn’t do are (3)sustainable (4)productivity, (5)participation, and(6) transparency.
The next stage is to analyze the implementation of the element of the three development paradigm on West Java Province’s RPJMD 2008-2013. The analysis is based on the development indicators derived from the data of LKPJ Governor of West Java province in 2012 (end of period) and West Java in Numbers. The analysis compares the average performance realization of the construction period of 2008-2013 with the initial conditions (in 2007).
The results obtained from the analysis, it is concluded that, those elements: (1)the accumulation of capital, (2)industrialization, (3)the exploitation of the primary sector, (4)the free market, (5)centralized, (6)public service, (7)redistribution/transfer government, (8)social security, (9)equality, and (10)has been implemented in the construction of empowerment in the province of West Java. While elements have implemented yet, are: (1)participation, (2)productivity, (3)sustained, and (4)transparency.
Keywords: Amendment of the 1945 Constitution, SPPN, Strategy RPJMD, Paradigm of Development, Correlation Matrix.