BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Character Building atau yang biasa disebut dengan pendidikan karakter sangat berperan dalam kepribadian seseorang sehingga sampai saat ini pun pendidikan karakter terus berlangsung untuk memperbaiki diri menjadi pribadi yang ideal dan bermanfaat bagi sesama. Pendidikan karakter ini pula merupakan sebuah formasi kegiatan yang melatih seorang individu untuk memiliki jati diri, terutama kepribadian spiritual yang kuat dan bertanggung jawab atas kehidupannya sebagai pemimpin di dunia.
Pasalnya, pembentukan karakter seseorang terjadi ketika seorang individu tersebut berada di dalam kandungan, ditentukan oleh lingkungan, dan dapat berubah sesuai kehendak individu tersebut. Maka faktor keturunan pun dapat mempengaruhi watak, tabiat dan akhlak budi pekerti. Sedangkan faktor lingkungan mempengaruhi kondisi sosial dan status individu tersebut.
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=384:character-building-bag-1&catid=12:artikel&Itemid=85 Adapun jika ia tinggal di lingkungan yang kotor dan kumuh, dan ia tidak mau menerima hal itu ia akan mampu memprovokasikan kepada orang-orang sekitar untuk hidup bersih dan sehat. Hal ini pula didorong motivasi individu tersebut untuk menjadi orang yang bermartabat dan bijak dalam segala aspek kehidupan.
Maka dalam hal ini pun, suara hati merupakan dasar spiritualnya yang harus dijunjung tinggi. Seorang individu harus membersihkan jiwa (tazkiyatunnnafs) dari akhlak tercela dan senantiasa menghiasi diri dengan akhlak terpuji. Hal ini ditujukan untuk membangun ikatan antara nilai kehidupan dengan suara hati manusia yang terdalam (inner voice) sehingga setiap individu menjalankan nilai-nilai tersebut bukan karena kewajiban dalam tataran intelektual, dan juga bukan karena takut pada pimpinan dalam tataran emosional, melainkan sebagai sebuah komitmen spiritual mereka kepada Sang Pencipta.
http://www.esqway165.com/solution/esq-basic-training/ Dan inilah yang menjadi landasan para sufi tarekat Islam untuk selalu membersihkan jiwa atau yang disebut dengan tazkiyatunnafs dengan metode yang tertulis di dalam kalam Ilahi dan sesuai tuntunan Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Rumusan Masalah
Bagaimana konsep Tazkiyatunnafs menurut para sufi?
Bagaimana hakikat Mujahadah dan Riyadhah?
Tingkatan apa saja yang ada dalam maqamat dan ahwal?
Seperti apa perbandingan konsep Character Building menurut Islam dan Barat?
Bagaimana penerapan Mujahadah dan Riyadhah dalam kehidupan?
BAB II
PEMBAHASAN
Konsep Tazkiyatunnafs Menurut Para Sufi
Tazkiyatunnafs atau yang biasa disebut dengan membersihkan jiwa merupakan salah satu tugas yang diemban Rasulullah, sebagaimana firman-Nya:
“Dia-lah yang telah mengutus kepada umat yang ummi seorang Rasul dari kalangan mereka. Dia membacakan ayat-ayatNya kepada mereka, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kitab dan hikmah kepada mereka. Sesungguhnya sebelum itu mereka benar-benar berada dalam kesesatan yang nyata.” (QS Al-Jumu’ah: 2)
Karenanya, siapa pun yang mengharapkan Allah dan hari akhir, mesti memperhatikan kebersihan jiwanya. Allah juga telah menjadikan kebahagiaan seorang hamba tergantung kepada tazkiyatunnafs. Hal ini disebutkan di dalam al-Qur’an setelah disebutkannya sebelas sumpah secara beruntun. Suatu keistimewaan yang tidak dimiliki oleh hal lain.
“Demi matahari dan sinarnya di pagi hari, dan bulan apabila mengiringinya, dan malam apabila menutupinya, dan langit serta apa-apa yang dibinanya, dan bumi serta apa-apa yang dihamparkannya, dan demi jiwa dan penyempurnaannya, lalu Dia Allah mengilhamkan kepadanya mana yang buruk dan mana yang baik. Sesungguhnya telah mendapat kemenanganlah orang yang membersihkan (jiwa)nya. Dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams:1-10)
Kata tazkiyah secara bahasa berarti tathahhur, yang mengandung makna membersihkan atau mensucikan. Karena itulah sedekah harta dinamakan zakat, seakar kata dengannya, yang mengandung arti dengan dikeluarkannya hak Allah dari harta itu, ia menjadi suci dan bersih.
Ibnu Rajab Al-Hambali, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Imam Ghazali. Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih. Solo: Pustaka Arafah. 2008. hlm. viii-ix Sedangkan kata an-nafs merupakan bentuk jama’ dari kata nufus atau anfus, yang mengandung arti jiwa atau nafsu.
Maka dari sini dapat dikatakan bahwa tazkiyatunnafs berarti membersihkan jiwa ataupun mensucikan nafsu. Disamping itu pula, tazkiyatunnafs mengandung makna an-numuw yang berarti bertumbuh dan berkembang. Hal ini dimaksudkan agar dengan tazkiyatunnafs ini jiwa-jiwa dapat tumbuh sehat dan berkembang dengan memiliki sifat-sifat yang terpuji.
menaraislam.com/content/view/127/1/
Tazkiyatunnafs dalam konsep Tasawuf mengibaratkan jiwa manusia adalah cermin, sedangkan ilmu makrifat ibarat gambar-gambar objek atau benda yang akan dipantulkan gambarnya di cermin. Maka hati manusia pun memiliki keterbatasan-keterbatasan sebagaimana cermin tersebut. Banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan gambar bergantung pada kadar kebersihan cermin yang bersangkutan. Begitu pun dengan hakikat ilmu makrifat yang terpantul dalam hati, seringkali gagal menampung pengetahuan.
John Renard. Mencari Tuhan: Menyelam Ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2006. hlm. 295 Dengan demikian, kesucian jiwa adalah syarat bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu makrifat ke dalam jiwa, sementara jiwa yang kotor, misalnya dengan mengikuti hawa nafsu duniawi, akan membuat manusia terhijab dari Allah.
Rosihon Anwar. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia. 2009. hlm. 94-95.
Berikut akan dijelaskan penyebab sebuah bayangan tidak terpantul dicermin, diantara:
Rendahnya daya pantul cermin seperti pada kasus dimana cermin masih berbentuk besi olahan, belum digosok atau dikilap secara sempurna.
Adanya kotoran atau karat pada cermin meski proses pembuatannya sempurna.
Posisi cermin tidak pas di hadapan benda, misalnya benda yang akan dipantulkan ke cermin justru terletak di belakang cermin.
Adanya penghalang antara benda dengan cermin.
Ketidakjelasan letak benda yang hendak dilihat pantulannya dalam cermin.
John Renard. Ibid,. 294-295
Adapun jika hati atau jiwa gagal dalam menampung pengetahuan, maka hal tersebut sering terjadi karena lima hal berikut:
Kekurangsempurnaan hati itu sendiri. Misalnya, seorang bocah sulit memahami suatu pengetahuan tertentu karena kekurangsempurnaan hatinya.
Adanya noda dosa dan cacat yang menutupi permukaan hati. Hal ini terjadi karena ketika seseorang selalu menuruti keinginan hawa nafsunya sehingga dapat merusak kesucian dan kejernihan hati serta terhalangnya makrifat ke dalam jiwanya.
Hati menyeleweng dari realitas spiritual yang seharusnya. Hal ini sering terjadi terhadap seseorang yang taat dan soleh, tetapi kebenaran belum tampak jelas di hadapannya. Disebabkan ia enggan mencari kebenaran dan tidak menghadapkan cermin hatinya ke arah yang seharusnya.
Adanya tabir penghalang, seperti seseorang yang masih percaya pada suatu kekeliruan yang diperolehnya atas dasar prasangka baik semata-mata.
Kejahilan mengenai arah manakah (atau dengan cara apakah) mereka akan berhasil menemui pengetahuan-pengetahuan yang seharusnya.
John Renard. Ibid,. 295-297
Selain diibaratkan dengan cermin, perumpamaan tazkiyatunnafs adalah seperti membersihkan dan mengisi gelas. Jika gelas kotor, meskipun diisi dengan air yang bening, airnya akan berubah menjadi kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang lezat, tidak akan ada yang mau minum karena kotor. Tetapi jika gelasnya bersih, diisi dengan air yang bening akan tetap bening. Bahkan bisa diisi dengan minuman apa saja yang baik-baik, seperti teh, sirup, jus, dan sebagainya.
Maka dari kedua analogi tersebut, dapat disimpulkan bahwa proses yang harus dilakukan dalam penyucian jiwa (tazkiyatunnafs) adalah Takhalliy (memakai kha’) dan Tahalliy (memakai ha’). Takhalliy merupakan menyucikan jiwa dari akhlak tercela yang terdapat di dalam hati dan jiwa, seperti kufur, nifaq, riya’, hasad, ujub, sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan hawa nafsu, dan sebagainya. Bersamaan dengan Takhalliy, perlu dilakukan Tahalliy, yaitu menghiasi jiwa yang telah disucikan tersebut dengan akhlak terpuji, seperti ikhlas, jujur, zuhud, tawakkal, cinta dan kasih sayang, syukur, sabar, ridha, dan sebagainya.
menaraislam.com/content/view/127/1/
Setelah tahapan penyucian jiwa dan menghiasi jiwa dengan akhlak terpuji, seorang sufi akan melalui tahapan ketiga, yaitu Tajalli. Pada proses tahapan ini, seorang sufi akan menemukan kebahagiaan sejatinya. Ia lenyap dalam wilayah Allah Ta’ala. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam ridha-Nya. Pada tahap ini pula para sufi menyebutnya sebagai makrifah, orang yang sempurna sebagaimana manusia luhur.
Syekh Abdul Qadir Jaelani menyebutnya sebagai insan kamil, manusia sempurna, seorang malaikat yang berbadan manusia. Ruhaninya telah mencapai ketinggian kebahagiaan, dan telah mencapai derajat tertinggi kerohanian manusia. Tradisi sufi menyebut orang yang memasuki tahap ketiga ini sebagai Waliyullah, kekasih Allah. Sebagaimana yang pernah dilalui pula oleh Syekh Abdul Qadir Jaelani, Hasan Basri, Imam Junaed al-Baghdadi, Imam Ghazali, Rabiah al-Adawiyah, Imam Qusyairi, dan lain sebagainya.
naqsdna.wordpress.com/2011/02/09/kultivasi-takhalli-tahalli-tajalli/
Berikut akan dijelaskan urgensi-urgensi tazkiyatunnafs:
Tazkiyatunnafs merupakan suatu hal terpenting yang dibawa oleh para rasul, sebagaimana yang telah dijelaskan dalam firman-Nya:
“Ya Tuhan kami, utuslah untuk mereka seseorang Rasul dari kalangan mereka, yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayat Engkau, dan mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah) serta mensucikan mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (QS Al-Baqarah:129)
Tazkiyatunnafs yang dibawa oleh para rasul ini melalui tiga macam cara yang disampaikan kepada ummat, yaitu: 1) Tadzkir yaitu mengingat ayat-ayat Allah di dalam diri manusia. 2) Ta’lim dengan mempelajari Kitab dan Sunnah. Dan 3) Tazkiyah, yaitu membersihkan hati dan memperbaiki akhlak.
Tazkiyatunnafs merupakan tujuan orang yang beriman, hal tersebut telah dijelaskan dalam firman-Nya:
“Di dalamnya ada orang-orang yang cinta untuk senantiasa membersihkan dirinya.” (QS At-Taubah: 108)
“Dan sungguh akan Kami selamatkan orang yang paling bertaqwa dari neraka, yaitu orang yang memberikan hartanya karena ingin mensucikan dirinya.” (QS Al-Lail: 17-18)
Tazkiyatunnafs merupakan parameter kebahagiaan, Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.” (QS Asy-Syams: 9-10)
Tazkiyatunnafs merupakan salah satu solusi untuk mengenal dan mengobati penyakit-penyakit zaman, sebab salah satu penyakit zaman sekarang ini adalah hilangnya khusyu’, cinta dunia, dan takut mati (wahn). Maka dengan tazkiyatunnafs ini menuntun seseorang untuk tidak terbuai dengan dunia dengan diberikan tadzkir, ta’lim, dan tazkiyah.
tarbiyahruhiyah.abatasa.co.id/post/detail/5630/tazkiyatun-nafs
Mujahadah dan Riyadhah
Setelah mengenal dan mengetahui hakikat serta konsep tazkiyatunnafs menurut para sufi, maka adakalanya langkah atau cara yang harus ditempuh oleh para sufi untuk menjadi insan kamil, yaitu niat sungguh-sungguh (mujahadah) membersihkan diri dengan melakukan olah jiwa (riyadhah) secara berlangsung terus menerus hingga mendapatkan derajat tinggi. Berikut penjelasan tentang niat sungguh-sungguh atau yang disebut dengan mujahadah, dan olah jiwa yang disebut pula dengan riyadhah.
Mujahadah merupakan bentuk masdar mim dari kata jahada, yang memiliki arti berjuang dan bersungguh-sungguh. Seakar kata pula dengan Jihad yang merupakan bentuk isim masdar, yang mengandung makna berjuang secara fisik, Ijtihad dengan berjuang secara nalar, dan demikian Mujadah mengandung makna berjuang dan bersungguh-sungguh dengan olah batin.
Nasaruddin Umar. Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada Di Maqam Yang Lebih Tinggi. Jakarta: www.depag.com Dalam pemahaman secara umum, mujahadah merupakan suatu upaya yang sungguh-sungguh dalam memerangi hawa nafsu (keinginan-keinginan) serta segala macam ambisi pribadi supaya jiwa menjadi suci bersih bagaikan kaca yang dengan cepat menangkap apa saja yang bersifat suci, sehingga ia berhak memperoleh berbagai macam pengetahuan yang hakiki tentang Allah dan kebesaran-Nya.
tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/riyadhah-mujahadah-perspektif-kaum-sufi.html?m=1 Berkaitan dengan hal tersebut, Allah Ta’ala berfirman: “Dan mereka yang bersungguh-sungguh mencari Allah, maka sungguh Kami akan menunjukkan jalan kepadamu.” (QS [29]:49)
Adapun muraqabah yang berkaitan dengan mujahadah, yaitu perjuangan dan upaya spiritual melawan hawa nafsu dan berbagai kecenderungan jiwa rendah. Mujahadah adalah perang terus menerus yang disebut dengan perang besar (jihad al-akbar). Perang ini menggunakan berbagai senjata samawi berupa dzikrullah, yaitu mengingat Allah. Para sufi sudah matang dalam menempuh jalan spiritual, mereka yang mengenal Allah pun mengatakan bahwa mujahadah adalah permainan anak-anak. Sedangkan pekerjaan orang dewasa sesungguhnya adalah pengetahuan Ilahi.
Sudirman Tebba. Meditasi Sufistik. Ciputat: Penerbit Pustaka irVan. 2007. hlm. 3.
Riyadhah merupakan bentuk masdar ghoyru mim dari kata radhiya, yang memiliki arti senang, rela. Seakar kata pula dengan kata ridhwan, yang berarti kepuasan dan kesenangan.
Nasaruddin Umar. Ibid,. Namun secara umum riyadhah dalam bahasa Arab memiliki makna olahraga karena dapat memberikan kepuasan dan kesenangan bagi yang melakukan olahraga tersebut, sebab fisik terlatih dan sehat.
Tujuan riyadhah bagi seorang sufi adalah untuk mengontrol diri, baik jiwa maupun badannya, agar roh tetap suci dari akhlak tercela. Oleh sebab itu, dalam melakukan riyadhah harus bersungguh-sungguh dan penuh kerelaan. Sehingga riyadhah dan mujahadah merupakan metode yang tidak akan terpisahkan satu sama lain. Keduanya harus dikerjakan bersamaan.
Seorang sufi yang bersungguh-sungguh dalam melakukan kedua metode ini akan mendatangkan cahaya di dalam kalbu mereka. Dalam kesungguhan mereka, Allah akan menumbuhkan rasa manisnya amal ibadah di hati mereka sehingga mereka semakin tekun beribadah, serta menumbuhkan akhlak terpuji di hati mereka. Maka di dalam hati mereka akan mengalami keadaan (haal) yang bermacam-macam. Adapun diantara mereka yang hatinya diliputi cahaya Ilahi, tersingkapnya rahasia batin (mukasyafah), merasakan nikmat dan lezatnya beribadah. Namun pencapaian tersebut tidak lepas dari jalan (thariqat) yang harus mereka lalui. Dalam menempuh jalan-jalan tersebut, Syekh Abdul Qadir Jaelani mengungkapkan syariat bagaikan pohon, tarekat bagaikan cabang, makrifat sebagai daun, dan hakikat bagaikan buah.
Sirrur Asror. Terj. Suryalaya, 1996. hlm. 44.
Maka setelah mengetahui ilmu pengetahuan tentang konsep tazkiyatunnafs dengan mujahadah dan riyadhah, para sufi yang akan melakukan perjalanan spiritualnya harus berniat dengan memurnikan keimanannya, melakukan taubat nasuha, zuhud, dan melakukan ibadah secara terus menerus, baik ibadah secara lahir maupun ibadah secara batin. Khusus ibadah batin (dzikr dan tafakkur) harus diperkuat dengan mepat macam sikap dan perilaku, yaitu:
Mahjuddin. Akhlak Tasawuf I: Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi. Jakarta: Kalam Mulia. 2009 hlm. 224-225
Mengurangi perkataan ( قِلَّةُ الْكَلَام )
Mengurangi makanan ( قِلَّةُ الطَّعَام )
Mengurangi tidur ( قِلَّةُ الْمَنَام)
Mengisolir diri ( الإعْتِزَالُ عَنِ النَّاسِ)
Maqamat dan Ahwal
Kata maqam dengan fathah pada huruf min, makna asalnya adalah tempar berdiri sedangkan muqam, dengan dhamah pada huruf mim merupakan tempat mendirikan. Tetapi terkadang kedua kata tersebut memiliki makna yang sama, yaitu mendirikan dan berdiri. Yang dimaksud berdiri (qiyam) disini ialah suatu keadaan bertambah lebih baiknya seorang hamba karena sifat-sifat terpuji yang dimilikinya.
Dr. Amir An-Najar. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Bandung: PT Mizan Publika. 2004. hlm. 41-42
Namun dalam pandangan Imam Tirmidzi, maqam merupakan berbagai tahap pendakian kepada Yang Mahaluhur dan berbagai fase penempuhan menuju kepada-Nya. Adapun Al-Qusyairi dalam kitab Ar-Risalah mengemukakan bahwa maqam adalah etika yang dapat diwujudkan oleh seorang hamba dalam manzilah-nya, yaitu upaya yang menuntunnya kepada Allah Ta’ala dengan beragam cara
Dr. Amir An-Najar. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Bandung: PT Mizan Publika. 2004. hlm. 44 yang tidak keluar dari syariat. Dengan demikian, maqam setiap orang merupakan tempat berdirinya ketika berupaya memanifestasikan etika dan sibuk melakukan riyadhah.
Ibarat sebuah tangga, maqam memiliki tingkatan dari tangga pertama sampai puncaknya harus dilalui dengan perjuangan dan upaya spiritual, yaitu mujahadah dan riyadhah. Maqamat (anak-anak tangga) tidak sama pada setiap orang atau setiap tarekat. Namun secara umum, Imam Al-Ghazali mengemukakan maqam-maqam tersebut, diantaranya:
Taubat merupakan kembalinya seorang hamba pada Allah Ta’ala, meninggalkan jalan orang-orang yang dimurkai, dan meninggalkan jalan orang-orang yang sesat. Maka taubat merupakan permulaan seorang hamba, sekaligus penghujungnya.
Tazkiyatunnafs, hlm 173
Al-Qusyairi berkata bahwa para ahli ushul fiqh di kalangan Ahli Sunnah mengemukakan syarat-syarat taubat, yaitu penyesalan, berhenti dari dosa, dan azam (tekad) untuk tidak mengulanginya. Syarat-syarat ini harus terpenuhi semua agar taubat yang dilakukan oleh seseorang benar-benar sah.
Taubat memiliki sebab, urutan, dan pembagian. Sebab munculnya taubat adalah kesadaran hati dari kelalaian dan menglihatan manusia bahwa betapa buruk apa yang dilakukannya. Seorang hamba mengalami hal tersebut karena Allah Ta’ala mengizinkan untuk mendatangkan cercaan Al-Haqq ke dalam hatinya. Allah Ta’ala berfirman:
وَ تُوْبُوا إلَى اللهِ جَمِيْعًا اَيُّهَا الْمُؤْمِنُوْنَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ [الأية]
“Bertaubatlah kamu sekalian, wahai orang-orang beriman, supaya kalian beruntung.” (QS An-Nur: 31)
Dalam suatu riwayat menyebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Sesungguhnya ke dalam hati timbul ujaran-ujaran yang meliputi, maka Aku memohon ampunan kepada Allah sebanyak tujuh puluh kali dalam sehari.”
Psikoterapi Sufistik, hlm 51
Dalam hal taubat, Dzunun al-Misri
www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/riyadhah-mujahadah-perspektif-kaum-sufi.html?m=1 membagi taubat kepada tiga macam, yaitu: 1) taubatnya orang mukmin awam dari dosa, 2) taubatnya orang mukmin pilihan dari kelalaian, dan 3) taubatnya para nabi dari tidak mendekatkan dirinya kepada Allah.
Sabar merupakan metode terpenting dalam menerpi berbagai penyakit jiwa. Para sufi menggambarkan konsep sabar sebagai kemuliaan akhlak. Secara bahasa, sabar berarti melarang dan menahan. Menurut istilah berarti menahan nafsu dari ketergesaan, menahan lisan dari keluhan, dan menahan anggota badan dari memukul dan yang sebagainya.
Allah Ta’ala juga memberitahukan bahwa bersamaan dengan sabar ada taqwa, musuh tak akan dapat mengalahkan kita, sekuat apa pun mereka. Sebagaimana firman-Nya: “Dan jika kalian bersabar dan bertaqwa, niscaya tipu daya mereka tidak akan mendatangkan mudharat bagi kalian. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas apa yang mereka kerjakan.” (QS Ali Imran: 120). Allah juga mengabarkan bahwa sabar lebih baik dari yang lain, firman-Nya: “Sungguh, jika kalian bersabar, maka kesabaran itu lebih baik bagi orang-orang yang sabar.” (QS An-Nahl: 126)
Allah juga menjanjikan kemenangan dengan surga dan keselamatan dari api neraka hanya kepada orang-orang yang sabar, firman-Nya:
اِنِّيْ جَزَيْتُمُ الْيَوْمَ بِمَا صَبَروا إِنَّهُمْ هُمُ الْفَائِزُوْنَ [الأية]
“Sesungguhnya Aku membalas mereka pada hari ini dengan sebab kesabaran mereka. Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang mendapat kemenangan.” (QS Al-Mukminun: 111)
Tazkiyatunnafs, hlm 97-101
Syukur adalah memuji Sang Pemberi nikmat atas kebaikan yang telah dikuasai oleh seorang hamba. Syukur seorang hamba terdiri atas tiga rukun, yaitu: 1) secara batin mengakui nikmat, 2) secara lahir membicarakannya, dan 3) menjadikannya sebagai sarana untuk taat kepada Allah Ta’ala. Dengan demikian, syukur berkaitan dengan hati untuk makrifat dan mahabbah; lisan untuk memuji; dan anggota badan untuk menggunakannya dalam mentaati Allah dan mencegah dari bermaksiat kepada-Nya.
Hasan al-Basri mengemukakan, “Perbanyaklah menyebut nikmat-nikmat Allah. Sesungguhnya itu adalah kesyukuran. Allah telah memerintahkan Nabi-Nya untuk menceritakan nikmat Rabb-Nya dengan berfirman:
وَ اَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ [الأية]
“Dan adapun tentang nikmat Rabb-mu, maka ceritakanlah!” (QS Adh-Dhuha:11) dan juga: “Dan ingatlah ketika Rabb-mu memberitahukan, jika kalian bersyukur niscaya Aku akan tambah bagi kalian. Dan jika kalian kufur, sesungguhnya adzab-Ku amat berat.” (QS Ibrahim: 7)
Tazkiyatunnafs, hlm 113-117
Khauf (takut kepada Allah) muncul dari ma’rifah (pengetahuan) kepada Allah dan ma’rifah terhadap sifat-sifat-Nya. Namun khauf juga bisa muncul dari perasaan banyak dosa yang telah diperbuat oleh seorang hamba. Kadang khauf muncul dari keduanya. Semakin seorang hamba mengetahui aib dirinya dan mengetahui pula keagungan Allah Ta’ala, dan bahwa Dia akan menanyakan dan meminta pertanggungjawaban kepada hamba-hamba-Nya, sehingga semakin kuat khaufnya.
Khauf akan membakar syahwat yang diharamkan, sehingga kemaksiatan yang dulu disukai jadi dibenci. Maka ketika seorang hamba khauf, hati menjadi khusyu’ dan tenang, jauh dari kesombongan, iri, dan dengki. Bahkan ia mampu menguasai segala kegundahan dan tahu bahayanya. Kesibukannya pun adalah usaha mendekatkan diri, muhasabah, mujahadah, dan memperhitungkan setiap nafas dan waktunya. Ia menjadi waspada terhadap segala pikiran, langkah, dan kalimat yang keluar dari dirinya.
Ibid, hlm 147-151 Keutamaan khauf yaitu Allah menyediakan petunjuk, rahmat, ilmu, dan keridhaan bagi hamba-hamba-Nya yang khauf, sebagaimana dalam firman-Nya:
رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَ رَضُوْا عَنْهُ ذلِكَ لِمَنْ خَشِيَ رَبَّه [الأية]
“Allah ridha terhadap mereka, dan mereka pun ridha kepada-Nya. Demikian itu bagi siapa saja yang takut terhadap Rabb-nya.” (QS Al-Bayyinah: 8)
Raja’ (berpengharapan kepada Allah) adalah tenang dan senangnya hati karena menunggu sesuatu yang disukai atau dicintai setelah berbagai syarat yang mampu diusahakan oleh sang hamba terpenuhi. Yang belum hanya hal-hal yang tidak dimampuinya, yaitu anugerah Allah Ta’ala untuk idak mendatangkan hal-hal yang dapat memupus atau meyiraminya dengan air ketaatan, membersihkan hatinya dari akhlak tercela, lalu menunggu anugerah Allah, yaitu penetapan husnul khatimah. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الَّذِيْنَ آمَنُوْا وَ الَّذِيْنَ هَاجَرُوْا وَ جَاهَدُوْا فِيْ سَبِيْلِ اللهِ اُولئِكَ يَرْجُوْنَ رَحْمَتَ اللهِ وَ اللهُ غَفُوْرٌ الرَّحِيْمٌ [الأية]
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan orang-orang yang berhijrah di jalan Allah, merekalah orang-orang yang raja’ terhadap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al-Baqarah: 218)
Berikut tiga hal yang harus dipenuhi oleh orang yang raja’ terhadap sesuatu, yaitu: 1) mencintai yang diharapkannya, 2) takut akan kehilangannya, dan 3) usaha untuk mendapatkannya. Maka raja’ yang tidak disertai dengan ketiga perkara tersebut hanya angan-angan semata. Sedangkan raja’ itu bukan angan-angan, begitu pula sebaliknya.
Setiap orang yang raja’ pasti orang yang khauf (takut). Seorang pejalan kaki, jika ia takut, ia pasti mempercepat langkahnya karena khawatir ia tidak akan menemukan tujuannya.
Tazkiyatunnafs, ibid, hlm. 139-141
Tawakkal adalah kesungguhan hati dalam bersandar kepada Allah Ta’ala untuk mendapatkan kemaslahatan serta mencegah dari kemudharatan, menyangkut urusan dunia maupun akhirat. Allah Ta’ala berfirman:
وَ مَنْ يَّتَّقِ اللهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَ يَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِبْ وَ مَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَي اللهِ فَهُوَ حَسْبُهُ [الأية]
“Dan barangsiapa bertakwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan baginya jalan keluar dan memberinya rezeki dari arah yang tidak disangka-sangka. Dan barangsiapa bertawakkal kepada Allah, maka Dia cukup baginya.” (QS Ath-Thalaq:2-3)
Tazkiyatunnafs, ibid, hlm. 121-122
Selain itu pula tawakkal dapat memudahkan urusan rezeki di dunia, sebagaimana dalam hadits: “Jika kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenarnya niscaya Allah akan memberikan rezeki kepada kalian seperti seekor burung. Pagi-pagi ia pergi dalam keadaan lapar dan pulang di sore hari dalam keadaan kenyang.”
HR at-Tirmidzi, lih. Tazkiyatunnafs, ibid, hlm. 126
Mahabbah atau kecintaan kepada Allah adalah tujuan akhir dan derajat tertinggi. Setelah menggapai mahabbah, tidak ada lagi tingkatan selain buah dari mahabbah itu sendiri, seperti syauq (kerinduan), uns (kenyamanan), dan ridha. Serta tidak ada pula tingkatan sebelum mahabbah, kecuali pendahuluan menuju kepadanya, seperti taubat, sabar, zuhud, dan sebagainya.
Cinta yang paling bermanfaat, yang paling wajib, yang paling tinggi, dan yang paling mulia adalah cinta kepada Dzat yang telah menjadikan hati cinta kepada-Nya dan menjadikan seluruh makhluk di bumi ini memiliki fitrah untuk mengesakan-Nya. Allah dicintai dari berbagai sisi. Segala sesuatu selain-Nya dicintai dalam rangka cinta kepada-Nya. Keharusan mencintai-Nya ditunjukkan oleh seluruh kitab yang diturunkan dan rasul yang diutus.
Seluruh hati diciptakan dengan tabiat cinta kepada siapa saja yang memberinya nikmat dan bersikap baik kepadanya. Maka tidak perlu diragukan lagi bahwa tidak ada satu nikmat pun yang dirasakan oleh makhluk kecuali berasal dari-Nya.
وَ مَا بِكَمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ الله ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمً الضَّرّ فَإِلَيْهِ تَجْئَرُوْنَ [الأية]
“Segala nikmat yang ada pada kalian berasal dari Allah. Kemudian jika kalian ditimpa kemudharatan, kepada-Nya lah kalian meminta pertolongan.” (QS An-Nahl: 53)
وَ مِنَ النَّاسِ مَن يَتَّخِذُ مِنْ دُوْنِ اللهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللهِ وَ الَّذِينَ ءَامَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلهِ [الأية]
“Dan diantara manusia ada yang menjadikan makhluk sebagai saingan disamping Allah, yang mereka cintai seperti cinta mereka kepada Allah. Sedangkan orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (QS Al-Baqarah: 165)
Padahal tidak ada makhluk yang saling mencintai kecuali karena salah satunya membutuhkan kepada yang lain, atau dua-duanya sama. Sedangkan Allah Ta’ala, Dia menuntut kecintaan makhluk kepada-Nya semata-mata untuk kebaikan makhluk itu sendiri. Abdullah bin Mubarak menendangkan nasyid,
Engkau bermaksiat kepada Allah
Tetapi katamu kau mencintai-Nya
Sungguh ini adalah qiyas yang keliru
Kalaulah benar cintamu kepada-Nya
Kau pasti mentaati-Nya … Sebab
Pecinta itu pasti taat kepada yang dicintainya
Tazkiyatunnafs, ibid, hlm 127-134
Ridha adalah berlapang dada atas ketetapan Allah Ta’ala dan membiarkan keberadaan rasa sakit, walaupun ia merasakannya. Keridhaan meringankan deritanya. Karena hatinya dipenuhi ruh yakin dan makrifat. Maka ridha merupakan buah dari mahabbah.
Berbeda dengan sabar, mereka yang ridha adalah yang dapat menghayati hikmat dan kebaikan Dzat yang mendatangkan ujian. Mereka tidak berburuk sangka kepada-Nya. Ia terhanyut dalam persaksian Dzat Yang Maha Agung, Maha Mulia, dan Maha Sempurna, sehingga mereka tidak lagi merasakan derita. Namun, tingkatan ini dapat dicapai oleh mereka yang benar-benar bermakrifat dan bermahabbah.
Ibid, hlm135-136 Allah Ta’ala berfirman:
وَ مَن يُؤْمِنُ بِاللهِ يَهْدِ قَلْبَهُ [الأية]
“Barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Dia akan menunjuk hatinya.” (QS At-Taghabun: 11)
Juga dalam hadits dari Anas bin Malik meriwayatkan dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Sesungguhnya jika Allah mencintai suatu kaum, Dia menguji mereka. Barangsiapa yang ridha niscaya ia akan mendapatkan ridha-Nya. Barangsiapa yang kesal dan benci niscaya ia akan mendapatkan kemurkaan-Nya.”
HR at-Tirmidzi
Bersamaan dengan maqamat, sorang sufi akan merasakan hal, yaitu keadaan mental atau perubahan perasaan, dan pengalaman kejiwaan seperti perasaan senang, gelisah, takut, dan sebagainya yang diperoleh sebagai anugerah dan rahmat dari Allah. Kondisi perasaan ini tetap dan terus berlangsung, dan juga selalu bergerak naik setingkat demi setingkat sampai ke titik kulminasi, yaitu puncak kesempurnaan rohani.
Al-Qusyairi menjelaskan bahwa kondisi atau sikap mental seorang sufi berbeda-beda. Kadang-kadang datangnya kondisi tersebut cepat seperti kilat kemudian menghilang, yang biasa disebut dengan lawa’ih. Dan kalau hilangnya agak lambat, dinamakan bawadih.
Sarraj mengemukakan bahwa ahwal yang dialami para sufi adalah: muraqabah, al-qurb, al-hubb, ar-raja’, al-uns, al-musyahadah, al-khauf, asy-syauq, at-thuma’ninah, dan al-yaqin. Sedangkan menurut Harun Nasution, ahwal meliputi takut (al-khauf), rendah hati (tawadhu), patuh (tha’ah), ikhlas, rasa berteman (al-uns), senang hati (al-wujd), dan syukur. Namun diantara ahwal yang paling mahsyur pada abad ketiga Hijriah yang menjadi ciri para sufi, yaitu hal mahabbah (kecintaan terhadap Tuhan).
Imam Ghazali berpendapat bahwa mahabbah lebih tinggi dari makrifat. Sebagaimana yang pernah beliau katakan, “Cinta (mahabbah) tidak akan terjadi melainkan sesudah tercapai makrifat.” Demikian pula yang dikemukakan oleh Ibnu Qayyim, “Sesungguhnya sifat Allah dan kesmepurnann-Nya, hakekat asma-Nya menarik hati untuk mencintai-Nya. Hati hanya mencintai yang sudah dikenalnya, ditakuti, diharapkannya, dirindukannya, dan merasa lapang karena dekat kepada-Nya, dan merasa senang dan tentram hati karena ingat kepada-Nya.”
Adapun Sarraj membagi mahabbah kepada tiga tingkatan, yaitu:
Cinta (mahabbah) orang awam, yaitu mereka yang selalu mengingat Allah dengan dzikr, suka menyebut nama-nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan-Nya, serta selalu memuji-Nya.
Cinta (mahabbah) para mutahaqqiqin, yaitu mereka yang sudah kenal pada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya, pada ilmu-Nya, dan sebagainya.
Cinta (mahabbah) para shiddiqqin dan ‘arifin, yaitu mereka yang kenal benar pada Tuhan. Cinta ini timbul karena dia merasa tahu benar pada Tuhan-nya. Yang dilihat dan dirasakan bukan lagi cinta, tetapi diri yang dicintainya. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Adapun makrifat, yang memiliki arti pengetahuan dan pengalaman. Makrifat pula mengandung makna pengetahuan tentang rahasia hakekat agama, yaitu yang lebih tinggi dari ilmu biasa yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Dalam wacana sufistik, makrifat seirng digunakan untuk menunjukkan salah satu tingkatan (maqamat) atau kondisi psikologis (hal) dalam tasawuf. Oleh karena itu, makrifat diartikan sebagai pengetahuan melalui hati yang paling dalam. Adapun proses sampainya qalb pada cahaya Tuhan erat kaitannya dengan konsep tazkiyatunnafs (pembersihan jiwa), kemudian terbukanya hijab (tajalli). Hijab itu sendiri merupakan jalan untuk mencapai makrifat, dan terjadinya fana, yaitu hilangnya sifat-sifat dan rasa kemanusiaan, melebur pada sifat-sifat Tuhan.
www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/riyadhah-mujahadah-perspektif-kaum-sufi.html?m=1
Perbandingan Character Building Menurut Islam dan Barat
Setelah mengetahui konsep dan sistematis character building dalam Islam menurut para sufi, yaitu dengan konsep tazkiyatunnafs. Maka adakalanya berikut penjelasan tentang charachter building menurut Barat oleh st. Joseph A City:
www.freespirit.com
Respect, yaitu hormat; perbuatan yang menandakan rasa khidmat atau takzim, ramah dan sopan santun kepada orang lain.
Responsibility, yaitu tanggung jawab; dapat dipercaya, dapat dituntut, dan dapat diperhitungkan atas suatu perbuatan.
Self-Discipline, yaitu jiwa yang disiplin; melatih seseorang untuk mengerjakan pekerjaan yang benar, dan melawan godaan untuk melakukan pekerjaan yang salah.
Citizenship, yaitu kewarganegaraan; melakukan suatu kewajiban sebagai warga negara, mematuhi hukum, dan menyediakan layanan untuk masyarakat umum.
Caring and fairness, yaitu peduli dan keadilan; menunjukkan pengertian dan empati terhadap penderitaan orang lain dan orang yang tidak beruntung. Dan menghormati serta menyetujui suatu kesepakatan dengan orang lain dan menaati peraturannya.
Perseverance, yaitu tabah, tekun, ketetapan hati; dengan teguh melanjutkan perbuatan baik dan tidak menyerah ketika menghadapi rintangan-rintangan dan penolakkan yang terjadi.
Honesty, yaitu jujur; berbicara yang kebenaran, untuk menjaga perkataan dan janji, dan tidak berbuat curang atau mencuri.
Courage, yaitu keberanian; kemauan untuk mengahadapi sesuatu yang sulit atau menyakitkan. Dan teguh terhadap keyakinan.
Gratitude, yaitu berterimakasih; terhadap anugerah, kesempatan, atau keberkahan yang diterima, atau terhadap sesuatu yang membuat kita senang.
Industriousness, yaitu rajin, kerja keras; melakukan yang terbaik, bekerja keras, untuk memberi apresiasi tanpa diminta sebelumnya.
Cooperation, yaitu bekerja dengan orang lain; bekerjasama dengan orang lain untuk mencapai suatu tujuan.
Loyalty, yaitu kesetiaan; menghormati komitmen antarsesama, keluarga, tempat kerja, komunitas dan Negara.
Maka dari sini dapat diketahui bahwa character building menurut pemahaman Barat adalah melatih sikap dan perbuatan untuk menjadi lebih baik dan bertanggung jawab atas perbuatan tersebut. Sedangkan dalam dunia Islam, character building merupakan seperangkat konsep tazkiyatunnafs untuk melatih jiwa spiritual agar mental dan fisik terjaga dari perbuatan tercela.
Character building yang terjadi di dunia Barat merupakan sebuah konsep yang dirumuskan oleh masyarakat umum untuk menjadi pribadi yang ideal dan dapat menjadi pemimpin bagi masyarakat itu sendiri. Adapun dalam Islam, character building yang terjadi adalah rumusan konsep yang telah tertulis dalam syariat dan norma-norma agama.
Sehingga dalam Islam pun prinsip-prinsip agama menjadi pedoman dalam memperkuat moralitas dan sebagai motivasi untuk menjadi manusia yang ideal. Oleh karena itu, prinsip-prinsip tersebut merupakan wahyu Ilahi. Berbeda dengan pemahaman Barat oleh Sigmund Freud yang memiliki pendapat bahwa potensi dan motivasi yang sangat berpengaruh di dalam karakter manusia adalah id, ego, dan superego.
Id merupakan naluri bawaan yang sudah ada dalam kepribadian dasar manusia. Maka dari sinilah tindakan refleks (tindakan yang segera dan tanpa mekanisme kerja) dan proses yang melibatkan sejumlah reaksi psikologis yang rumit terjadi, seperti mengisap, mengedipkan mata, membayangkan makanan ketika lapar, dan sebagainya. Adapun Ego, yaitu sistem kepribadian yang bertindak sebagai pengarah individu kepada dunia objek dari kenyataan, dan menjalankan fungsinya berdasarkan prinsip kenyataan (the reality principle). Ego pun terbentuk sebagai hasil kontak dengan dunia luar. Sedangkan superego terbentuk melalui internalisasi nilai-nilai atau aturan-aturan oleh individu dari sejumlah figur yang berperan, berpengaruh, atau berarti bagi individu tersebut seperti orang tua dan guru. Dari superego ini, individu akan melakukan sikap observasi diri dan muhasabah (intropeksi diri).
E. Koswara. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco, 1991, hlm. 32-35
Penerapan Mujahadah dan Riyadhah
Beberapa peneliti penyebutkan bahwa berbagai naluri yang merespon terhadap agama memiliki cabang yang sangat banyak. Cabang yang paling menonjol adalah sabang dari kecenderungan umum dalam pengukuhan diri atau kecenderungan subjektif dengan dimensinya yang negatif. Yang pertama adalah naluri kebahayaan yang selalu dibarengi dengan rasa takut, reaksi karena pengaruh sugesti dan segala sesuatu yang berkolerasi dengan masuknya unsur ketakutan dalam keagamaan.
Emosi keagamaan merupakan emosi manusia yang asli. William James mengatakan bahwa emosi keagamaan merupakan emosi yang tersusun dari berbagai bentuk emosi yang beragam. Sebagaimana pula yang dikemukakan Jung, dia menjelaskan bahwa dalam diri manusia terdapat potensi dan fungsi keagamaan yang alami. Kebenaran dan kestabilan individu bersandar sampai tingkatan yang besar pada pengungkapan yang sesuai dengan fungsi tersebut dan sesuai pula dengan tingkatan pengungkapan berbagai naluri. Kemudian ia juga berpandang bahwa agama merupakan benteng pengaman, ketika dikaitkan dengan relung jiwa manusia yang terwujud di dalam ketidaksadaran kolektif.
Dr. Amir an-Najar. Psikoterapi Sufistik Dalam Kehidupan Modern. Jakarta: PT Mizan Publika, 2004, hlm 139-141
Maka langkah awal untuk menerapkan mujahadah dan riyadhah adalah dengan mengikuti sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabatnya, yaitu niat dan azzam yang kuat dengan mempelajari ilmu terlebih dahulu dan mengatur ego dalam kesabaran untuk memulai langkah. Selanjutnya dengan melakukan amal-amalan ibadah harian secara khusyu’ dan ikhlas.
Shalat misalnya, bila dikerjakan secara khusyu’, ikhlas, dan sesuai dengan syariat pasti akan menjadi pembersih jiwa, maka jiwa akan menjadi bersih. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah Rhadiyallahu ‘Anhu bahwa ia mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Bagaimanakah pendapat kamu kalau di muka pintu (rumah) salah satu dari kamu ada sebuah sungai, kemudian ia mandi daripadanya tiap hari lima kali, apakah masih ada tertinggal kotorannya? Para sahabat menjawab: Tidak. Beliau Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Maka demikianlah perumpamaan shalat lima waktu, Allah menghaus dengannya dosa-dosa.”
HR Bukhari dan Muslim
Dari hadits ini nampak sekali bahwa misi penegakkan shalat fardhu lima waktu sehari semalam tidak lain adalah untuk membersihkan jiwa dari dosa-dosa. Terlebih lagi jika ditambah dengan penegakkan shalat sunnah, tentu nilai kebersihan jiwa yang diraih lebih banyak lagi.
Demikian halnya dengan shaum (puasa). Hakikat puasa sebenarnya berada dalam aspek tazkiyatunnafs adalah meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta, sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam: “Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan dan perbuatan dusta maka Allah tidak butuh terhadap puasanya dari makan dan minum.”
HR Bukhari, Ahmad, dan lainnya
Dari hadits ini pula nampak bahwa hakikat dari puasa adalah mendekatkan diri kepada Allah dan menjauhi hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada kesia-siaan. Puasa bukan hanya tentang menahan makan dan minum, tetapi juga untuk melatih kesabaran dalam kelaparan dan kehausan serta melawan hawa nafsu. Maka dari sinilah nilai tertinggi puasa tersebut.
Selain itu pula dapat diketahui dalam ibadah qurban. Esensi utama qurban adalah ketaqwaan kepada Allah Ta’ala yang berarti pembersihan jiwa bukan terbatas pada daging dan darah qurban, sebagaimana firman Allah Ta’ala:
“Daging-daging dan darahnya itu, sekali-kali tidak dapat mencapai derajat (keridhaan) Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.” (QS Al-Hajj: 37)
Masih banyak lagi ibadah-ibadah dalam syariat Islam yang hakikatnya adalah untuk membersihkan jiwa, dan tidak lupa dengan muhasabah (intropeksi diri) yang bertujuan untuk mengevaluasi nilai-nilai ibadah yang pernah dilakukan. Muhasabah ini bertujuan untuk menjadikan muslim lebih baik lagi dalam beribadah, dan bukan hanya gerak-gerik kosong dari ruh keimanan dan taqarrub kepada Allah Ta’ala. Sebaliknya, ibadah apapun yang dikerjakan hendaknya bernuansa tazkiyatunnafs. Dengan cara inilah, insya Allah seorang muslim akan mencapai derajat tertinggi dan mencapai keberuntungan di dunia dan di akhirat.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Konsep character building dalam Islam merupakan rumusan syariat kalam Ilahi dan sunnah Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam yang kemudian dijadikan pedoman bagi ummat muslim untuk memperbaiki diri dan membersihkan jiwa serta menghiasinya dengan akhlak terpuji. Konsep ini dinamakan tazkiyatunnafs, yang hakikatnya adalah takhalliy dan tahalliy, kemudian dilanjutkan dengan tajalli. Seorang sufi yang ingin melakukan tazkiyatunnafs ini sebelumnya harus mengetahui ilmu terlebih dahulu dan melalui metode mujahadah (bersungguh-sungguh) dan riyadhah (latihan). Hal terpenting dalam riyadhah adalah melatih jiwa untuk melepaskan ketergantungan terhadap kelezatan duniawi yang fatamorgana, sehingga dapat mencapai tujuan tajalli, yaitu menghubungkan diri dengan realitas rohani dan Ilahi.
Maka dalam menempuh tujuan tersebut, seorang muslim sufi akan menempuh maqamat dan ahwal. Maqamat ibarat anak tangga yang akan dilalui oleh muslim sufi, diantaranya taubat, sabar, syukur, khauf, raja’, tawakkal, mahabbah, dan ridha. Sedangkan ahwal merupakan kondisi jiwa dan perasaan yang akan dirasakan oleh muslim sufi dalam melakukan mujahadah dan riyadhah, seperti muraqabah (dekat dengan Tuhan), al-qurb (rela, ikhlas), al-hubb (cinta), ar-raja’ (pengharapan hanya kepada Tuhan), al-uns (rasa nyaman), al-musyahadah (persaksian), al-khauf (takut), asy-syauq (rindu), at-thuma’ninah (rasa tenang), dan al-yaqin (keyakinan).
Adapun konsep character building menurut Barat, yang merupakan rumusan yang dilakukan oleh masyarakat untuk mencapai tujuan manusia ideal (the ideal human), yaitu manusia yang senantiasa melakukan akhlak terpuji dan dapat mempertanggungjawabkan setiap perbuatannya. Maka hal-hal yang harus dilakukan dalam pendidikan karakter di Barat adalah dengan memupuk karakter jiwa dengan sifat hormat, peduli, disiplin, kreatif, tanggung jawab, berani, jujur, menjadi pribadi yang penuh syukur dan dapat berpikir secara logis dan realistis.
DAFTAR PUSTAKA
Buku Terkait:
Al-Ghazali, Imam, dkk. 2008. Tazkiyatun Nafs: Konsep Penyucian Jiwa Menurut Ulama Salafushshalih. Solo: Pustaka Arafah.
Anwar, Rosihon. 2009. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
An-Najar, Amir. 2004. Psikoterapi Sufistik dalam Kehidupan Modern. Bandung: PT Mizan Publika.
E. Koswara. 1991. Teori-Teori Kepribadian. Bandung: PT Eresco.
Mahjuddin. 2009. Akhlak Tasawuf I: Mukjizat Nabi Karomah Wali dan Ma’rifah Sufi. Jakarta: Kalam Mulia.
Renard, John. 2006. Mencari Tuhan: Menyelam Ke Dalam Samudra Makrifat. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Sirrur Asror. Terj. Suryalaya, 1996.
Tebba, Sudirman. 2007. Meditasi Sufistik. Ciputat: Penerbit Pustaka irVan.
Artikel Terkait:
Umar, Nasaruddin. Mencermati Kondisi Batin: Ketika Kita Berada Di Maqam Yang Lebih Tinggi. Jakarta: www.depag.com
http://www.esqway165.com/solution/esq-basic-training/
http://www.stialanbandung.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=384:character-building-bag-1&catid=12:artikel&Itemid=85
menaraislam.com/content/view/127/1/
naqsdna.wordpress.com/2011/02/09/kultivasi-takhalli-tahalli-tajalli/
tarbiyahruhiyah.abatasa.co.id/post/detail/5630/tazkiyatun-nafs
www.freespirit.com
www.tasawufpsikoterapi.web.id/2012/05/riyadhah-mujahadah-perspektif-kaum-sufi.html?m=1
19