Academia.eduAcademia.edu

Interferensi

Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara internal artinya pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, morfologisnya atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini dilakukan dengan

BAB I PENDAHULUAN             Sebagai alat komunikasi dan interaksi yang hanya dimiliki oleh manusia, bahasa dapat dikaji secara internal maupun eksternal. Kajian secara internal artinya pengkajian itu hanya dilakukan terhadap struktur intern bahasa itu saja, seperti struktur fonologisnya, morfologisnya atau struktur sintaksisnya. Kajian secara internal ini dilakukan dengan menggunakan teori-teori dan prosedur-prosedur yang ada dalam disiplin linguistik saja. Sebaliknya, kajian secara eksternal berarti bahwa kajian itu dilakukan terhadap hal-hal atau faktor-faktor yang berada di luar bahasa, yang berkaitan dengan pemakaian bahasa itu oleh para penuturnya di dalam kelompok-kelompok sosial kemasyarakatan. Pengkajian secara eksternal ini akan menghasilkan kaidah-kaidah yang berkenaan dengan kegunaan dan penggunaan bahasa tersebut dalam kehidupan masyarakat. Pengkajian secara eksternal tidak hanya menggunakan prosedur dan teori linguistik saja, tetapi juga menggunakan teori dan prosedur disiplin lain yang berkaitan dengan penggunaan bahasa itu. Misalnya sosiologi, psikologi dan antropologi. Kajian yang bersifat antar disiplin ini (sosiologi, psikologi dan antropologi) selain untuk merumuskan kaidah-kaidah teoretis antardisiplin juga bersifat terapan. Artinya, hasilnya digunakan untuk memecahkan dan mengatasi masalah- masalah yang ada dalam kehidupan praktis masyarakat. Berbeda dengan kajian secara internal, yang hanya menyusun kaidah atau teori linguistik “murni”. Dalam hal ini, tentu saja sebelum orang tersebut terjun dalam kegiatan kajian antardisiplin itu, terlebih dahulu dia harus mempelajari kajian internal linguistik. Tanpa mengenai pemahaman yang cukup mengenai kajian internal, seseorang tentu saja akan mendapatkan kesulitan. Dalam kajian linguistik secara umum kajian secara internal ini lazim disebut kajian bidang mikrolinguistik, dan kajian secara eksternal disebut kajian bidang makrolinguistik. BAB II PEMBAHASAN             Interferensi dan integrasi merupakan dua topik dalam sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Keduanya berkaitan erat dengan masalah alih kode dan campur kode. Bila alih kode adalah peristiwa penggantian bahasa atau ragam bahasa oleh seorang penutur karena adanya sebab-sebab tertentu dan dilakukan dengan sadar, sedangkan campur kode adalah digunakannya serpihan-serpihan dari bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, maka dalam peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain. Interferensi terjadi dalam menggunakan bahasa kedua, dan yang berinterferensi ke dalam bahasa kedua itu adalah bahasa pertama atau bahasa ibu. A. Interferensi Istilah imterferansi pertama kali digunakan oleh Weinreich (1953) untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan oleh penutur bilingual. Sedangkan penutur bilingual yaitu penutur yang menggunakan dua bahasa secara bergantian dan penutur multilingual yaitu penutur yang dapat menggunakan banyak bahasa secara bergantian. Weinreich menganggap bahwa interferensi sebagai gejala penyimpangan dari norma-norma kebahasaan yang terjadi pada penggunaan bahasa seorang penutur sebagai akibat pengenalannya terhadap lebih dari satu bahasa, yakni akibat kontak bahasa. Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Dan kemampuan penutur bilingual maupun penutur multilingual dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga terpengaruh bahasa lain merupakan penyebab terjadinya interferensi. Kemampuan setiap penutur terhadap bahasa yang pertama digunakan dengan bahasa kedua itu bervariasi. Ervin dan Osgood (1965:139) menyatakan bahwa penutur berkemampuan berbahasa sejajar jika penutur bilingual mempunyai kemampuan terhadap bahasa 1 dengan bahasa 2 sama baiknya, artinya penutur bilingual tidak mempunyai kesulitan untuk menggunakan kedua bahasa itu kapan saja diperlukan, karena tindak laku kedua bahasa tersebut terpisah dan bekerja sendiri-sendiri. Sedangkan penutur berkemampuan bahasa majemuk yaitu penutur yang kemampuan berbahasa 2 lebih rendah atau berbeda dengan kemampuan berbahasa 1, artinya penutur mempunyai kesulitan dalam menggunakan bahasa 2 karena dipengaruhi bahasa 1. Hartman dan Stork (1972:15) tidak menyebut interferensi sebagai „pengacauan“ atau „ kekacauan“, melainkan „kekeliruan“, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa kedua. Weinreich membedakan tipe interferensi dalam bidang fonologi menjadi: interferensi substitusi (penutur Bali), interferensi overdiferensiasi (penutur Tapanuli dan Jawa), interferensi underdeferensi (penutur Jepang), dan interferensi reinterpretasi (penutur Hawai). Ahli linguistik edukasional William Mackey berpendapat bahwa interferensi itu adalah gejala penggunaan unsur- unsur satu bahasa dalam bahasa lainnya ketika seorang penutur mempergunakan bahasa-bahasa itu. Faktor utama yang dapat menyebabkan interferensi itu antara lain adalah adanya perbedaan di antara bahasa sumber dan bahasa sasaran. Perbedaan yang tidak saja dalam struktur bahasa melainkan juga keragaman kosakatanya. Gejala itu sendiri terjadi sebagai akibat pengenalan atau pengidentifikasian penutur terhadap unsur-unsur tertentu dari bahasa sumber, kemudian memakainya dalam bahasa sasaran. Di samping itu, setiap bahasa manapun tidak pernah berada pada satu keadaan tertentu. Ia selalu berubah sesuai dengan perubahan zaman. Setiap bahasa mempunyai caranya sendiri-sendiri dalam mengembangkan unsur-unsurnya itu. Proses perkembangan ini tergantung selain kepada unsur internal bahasa itu sendiri, yakni kesiapan bahasa menerima perubahan yang terjadi pada bahasa itu sendiri juga pada faktor eksternal bahasa, seperti tuntutan keadaan soaial budaya, tuntutan perkembangan IPTEK, tuntutan politik bahasa dan lain- lain. Interferensi dianggap gejala yang sering terjadi dalam penggunaan bahasa. Di zaman modern ini, persentuhan bahasa sudah sedemikian rumit, baik sebagai akibat dari mobilisasi yang semakin tinggi maupun sebagai kemajuan teknologi komunikasi yang sangat pesat, maka interferensi dapat dikatakan sebagai gejala yang dapat mengarah kepada perubahan bahasa terbesar, terpenting dan paling dominan saat ini. B. Jenis Interferensi 1.      Interferensi bunyi/Fonetik Interferensi terjadi bila penutur itu mengidentifikasi fonem sistem bahasa pertama (bahasa sumber atau bahasa yang sangat kuat mempengaruhi seorang penutur) dan kemudian memakainya dalam sistem bahasa kedua (bahasa sasaran). Dalam mengucapkan kembali bunyi itu, dia menyesuaikan pengucapannya dengan aturan fonetik bahasa pertama. Penutur dari jawa selalu menambahkan bunyi nasal yang homorgan di muka kata-kata yang dimulai dengan konsonan /b/, /d/, /g/, dan /j/, misalnya pada kata:/mBandung/, /mBali/, /nDaging/, /nDepok/, /ngGombong/, /nyJambi/ dalam pengucapan kata-kata tersebut telah terjadi interferensi tata bunyi bahasa Jawa dalam bahasa Indonesia. 2.      Interferensi Tatabahasa/Morfologi Terjadi apabila seorang penutur mengidentifikasi morfem atau tata bahasa pertama dan kemudian menggunakannya dalam bahasa kedua. Interferensi tata bentuk kata atau morfologi terjadi bila dalam pembentukan kata-kata bahasa pertama penutur menggunakan atau menyerap awalan atau akhiran bahasa kedua. Misalnya awalan ke- dalam kata ketabrak, seharusnya tertabrak, kejebak seharusnya terjebak, kekecilan seharusnya terlalu kecil. Dalam bahasa Arab ada sufiks -wi dan -ni untuk membentuk adjektif seperti dalam kata-kata manusiawi, inderawi, dan gerejani. Tipe lain interferensi ini adalah interferensi struktur. Yaitu pemakaian struktur bahasa pertama dalam bahasa kedua. Misalnya kalimat dalam bahasa Inggris, I and my friend tell that story to my father sebagai hasil terjemahan dari saya dan teman saya menceritakan cerita itu kepada ayah saya. Dalam kalimat bahasa Inggris tersebut tampak penggunaan struktur bahasa dalam bahasa Indonesia. Padahal terjemahan yang baik tersebut sebenarnya adalah My friend and i tell that story to my father. 3. Interferensi Kosakata/Sintaksis Interferensi ini terjadi karena pemindahan morfem atau kata bahasa pertama ke dalam pemakaian bahasa kedua. Bisa juga terjadi perluasan pemakaian kata bahasa pertama, yakni memperluas makna kata yang sudah ada sehingga kata dasar tersebut memperoleh kata baru atau bahkan gabungan dari kedua kemungkinan di atas. Interferensi kata dasar terjadi apabila misalnya seorang penutur bahasa Indonesia juga menguasai bahasa Inggris dengan baik, sehingga dalam percakapannya sering terselip kata-kata bahasa Inggris, sehingga sering terjebak dalam interferensi. Contohnya:   Planningku setelah lulus sarjana adalah melanjutkan sekolah ke luar negeri.   Mereka akan married bulan depan. 4. Interferensi Tatamakna/Semantik Interferensi dalam tata makna dapat dibagi menjadi tiga bagian. a.       Interferensi perluasan makna atau expansive interference, yakni peristiwa penyerapan unsur-unsur kosakata ke dalam bahasa lainnya. Misalnya konsep kata Distanz yang berasal dari kosakata bahasa Inggris distance menjadi kosakata bahasa Jerman. Atau kata democration menjadi Demokration dan demokrasi. b.      Interferensi penambahan makna atau additive interference, yakni penambahan kosakata baru dengan makna yang agak khusus meskipun kosakata lama masih tetap dipergunakan dan masih mempunyai makna lengkap. Misalnya kata Father dalam bahasa Inggris atau Vater dalam bahasa Jerman menjadi Vati. Pada usaha-usaha ‘menghaluskan’ makna juga terjadi interferensi, misalnya: penghalusan kata gelandangan menjadi tunawisma dan tahanan menjadi narapidana. c.       Interferensi penggantian makna atau replasive interference, yakni interferensi yang terjadi karena penggantian kosakata yang disebabkan adanya perubahan makna seperti kata saya yang berasal dari bahasa melayu sahaya. Dengan contoh-contoh di atas maka dapat dibedakan antara campur kode dengan inteferensi. Campur kode mengacu pada penggunaan serpihan bahasa lain dalam suatu bahasa, sedangkan interferensi mengacu pada penyimpangan dalam penggunaan suatu bahasa dengan memasukkan sistem bahasa lain. Tetapi serpihan-serpihan berupa klausa dari bahasa lain dalam suatu kalimat bahasa lain masih bisa dianggap sebagai peristiwa campur kode dan juga interferensi. Dari segi „kemurnian bahasa“, interferensi dapat „merusak“ bahasa. Dari segi pengembangan bahasa, interferensi merupakan suatu mekanisme yang sangat penting untuk memperkaya dan mengembangkan suatu bahasa untuk mencapai taraf kesempurnaan bahasa sehingga dapat digunakan dalam segala bidang kegiatan. Bahkan Hocket (1958) mengatakan bahwa interferensi merupakan suatu gejala terbesar, terpenting dan paling dominan dalam bahasa. Kontribusi utama interferensi yaitu bidang kosakata. Bahasa yang mempunyai latar belakang sosial budaya, pemakaian yang luas dan mempunyai kosakata yang sangat banyak, akan banyak memberi kontribusi kosakata kepada bahsa-bahasa yang berkembang dan mempunyai kontak dengan bahasa tersebut. Dalam proses ini bahasa yang memberi atau mempengaruhi disebut bahasa sumber atau bahasa donor, dan bahasa yang menerima disebut bahasa penyerap atau bahas resepien, sedangkan unsur yang diberikan disebut unsur serapan atau inportasi.  Menurut Soewito (1983:59) interferensi dalam bahasa indonesia dan bahasa-bahasa nusantara berlaku bolak balik, artinya, unsur bahasa daerah bisa memasuki bahasa indonesia dan bahasa indonesia banyak memasuki bahasa daerah. Tetapi dengan bahasa asing, bahasa indonesia hanya menjadi penerima dan tidak pernah menjadi pemberi. C. Unsur- unsur dalam Interferensi Sekurang- kurangnya ada tiga unsur penting yang mengambil peranan dalam terjadinya proses interferensi yaitu: 1.      Bahasa sumber (source language) atau biasa dikenal dengan sebutan bahasa donor. Bahasa donor adalah bahasa yang dominan dalam suatu masyarakat bahasa sehingga unsur-unsur bahasa itu kerapkali dipinjam untuk kepentingan komunikasi antar warga masyarakat. 2.      Bahasa sasaran atau bahasa penyerap (recipient). Bahasa penyerap adalah bahasa yang menerima unsur- unsur asing itu dan kemudian menyelaraskan kaidah- kaidah pelafalan dan penulisannya ke dalam bahsa penerima tersebut. 3.      Unsur serapannya atau importasi (importation). Hal yang dimaksud di sini adalah beralihnya unsur- unsur dari bahasa asing menjadi bahasa penerima. www.google.com BAB III KESIMPULAN Interferensi merupakan bagian dari sosiolinguistik yang terjadi akibat adanya penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat tutur yang multilingual. Interferensi timbul sebagai akibat kontak bahasa, yakni pemakaian satu bahasa di dalam bahasa sasaran atau kebalikannya yang terjadi pada seorang penutur bilingual. Dalam peristiwa interferensi digunakan unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan dalam penggunaan bahasa tulis maupun lisan yang terjadi pada suatu masyarakat bahasa, karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan. Penyebab terjadinya interferensi adalah kemampuan si penutur dalam menggunakan bahasa tertentu sehingga dipengaruhi oleh bahasa lain. DAFTAR PUSTAKA Hanum, Inayah.2011.Sosiolinguistik.Medan:UNIMED Nababan, P.W.J.1991.Sosiolinguistik Suatu Pengantar.Jakarta:Gramedia Pustaka Utama Chaer, Abdul dan Leonil Agustina.2010.Sosiolinguistik Perkenalan Awal.Jakarta:Rineka Cipta