Tranformasi Kultural Elemen-Elemen Budaya Disiplin Klinis ke dalam Praktik Jasa
Perawatan Kecantikan
Oleh : Sri Murlianti
Abstrak
Hingga akhir dekade 1990-an, masih terdapat jarak yang nyata antara praktik klinis kedokteran
dengan praktik jasa perawatan kecantikan. Praktik klinis kedokteran hanya dihubung-hubungkan
dengan praktik perawatan kesehatan. Sementara praktik jasa perawatan kecantikan hanya
terdengar sebagai bisnis yang dihubung-hubungkan dengan budaya perawatan kecantikan.
Kalaupun praktik klinis kedokteran menyentuh domain kecantikan, ia selalu dikaitkan dengan
hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan tubuh seseorang. Namun mulai dekade 2000-an,
terjadi pergeseran mencolok dalam praktik jasa perawatan kecantikan. Elemen-elemen budaya
dari praktik klinis (kedokteran) mulai digunakan dan semakin mendominasi bisnis perawatan
kecantikan. Layanan jasa perawatan kecantikan menjadi nampak mirip dengan praktik
pengobatan yang berlangsung di rumah sakit. Tulisan ini akan menyajikan ringkasan penelitian
tentang bagaimana tranformasi elemen-elemen disiplin klinis dalam praktik klinik kecantikan.
Tulisan akan membahas bagaimana elemen-elemen disiplin klinis digunakan dan menempati
posisi sebagai modal-modal simbolik yang mendiskualifikasikan modus praktik jasa kecantikan
sebelumnya. Penelitian dilakukan pada sebuah klinik kecantikan terkenal di Indonesia, Natasha
Skin Care. Rumus praktik Bourdieu digunakan untuk menginterpretasikan penelitian dengan
menggunakan metode etnografi modern.
Kata Kunci: Tranformasi Kultural, Pierrre Bourdieu, Praktik, Modal Simbolik, Kecantikan
Pengantar
Sekarang ini bisa dikatakan tidak ada pembicaraan tentang klinik kecantikan di Indonesia
tanpa menyebutkan nama Natasha Skin Care (Biasa disebutkan dengan ’Natasha’ saja). Natasha
adalah cermin sukses perjuangan dan strategi pasangan dokter-dokter gigi (Fredy-Onny) dalam
memenangkan ranah perjuangan industri kecantikan di Indonesia. Mereka menempuh jalan
panjang berliku hingga berhasil memenangkan arena pertarungan bisnis klinik kecantikan ini.
Pada dasarnya Natasha hanyalah satu dari sekian banyak bisnis yang menjual jasa perawatan
meraih kecantikan. Namun ia memiliki nilai kultural khas dibanding praktik-praktik industri
kecantikan yang lain. Di dalamnya, terkumpul sejumlah modal yang belum digunakan oleh
permainan-permainan bisnis kecantikan sebelumnya. Simbol-simbol kultural dari ranah praktik
kedokteran Barat digunakan menjadi bagian dari praktik jasa klinik kecantikan ini. Mereka
dipasang di permukaan tempat praktik jasa perawatan kecantikan untuk memberikan
Dimuat pada Publikasi Ikatan Sosiologi Indonesia, 2013
Pengajar Jurusan Sosiologi Universitas Mulawarman, Samarinda, Indonesia
penampakan wajah sebagai praktik jasa kecantikan yang sehat.
Melalui
perjuangan
yang
sangat panjang, kini Natasha menjadi klinik kecantikan terpopuler di Indonesia. Ia memiliki
beragam modal simbolik yang tak dimiliki para pesaingnya. Hingga akhir penelitian ini, Natasha
telah memiliki setidaknya 56 cabang klinik di wilayah-wilayah perkotaan di Indonesia. Jutaan
orang dari beragam kalangan menjadi pelanggan Natasha.
Metodologi
Proyek penelitian ini bermaksud untuk menggambarkan bagaimana penggunaan elemenelemen kultural praktik kedokteran ke dalam praktik jasa kecantikan. Analisis akan
menggunakan abstraksi richardJohnson tentang tranformasi kultural (cultural tranformacy) dan
teori Pierre Boourdieu tenntang praktik. Abstraksi Johson saya gunakan untuk menggambarkan
bagaimana eemen-elemen lultural disiplin kedokteran digunakan sebagai modal-modal simbolik
dari praktik jasa klinik kecantikan. Sedangkan teori Bourdieu tentang praktik akan saya gunakan
untuk melihat bagaimana strategi dan perjuangan pemilik Natasha mengumpulkan dan
menggunakan modal-modal dari praktik kedokteran dan menngkonversikannya menjadi modalmodal simbolik dari praktik jasa kecantikan.
Istilah ‘Tranformasi Kultural’ (Cultural Tranformacy) digunakan Richard Johnson1
untuk merujuk pada perubahan karakter elemen-elemen budaya tertentu dalam praktik-praktik
budaya modern. Ia menggambarkan bagaimana para pelaku bisnis industri budaya menciptakan
‘budaya baru’ dengan mentranformasikan elemen-elemen budaya dari beragam konteks
kebudayaan. Menurutnya apa yang disebut sebagai ‘budaya baru’ adalah bricollage budaya
yang sengaja ditata kembali dengan teknik ‘tranformasi cultural.’ Elemen-elemen budaya dari
beragam konteks kebudayaan diambil dan digunakan untuk membangun praktik budaya baru
yang berbeda makna lama dari mana sebuah elemen budaya itu berasal. Di sini sebuah elemen
budaya mengalami ‘tranformasi kultural’ menjadi bagian dari pembentuk makna baru yang ingin
ditonjolkan dalam ‘budaya baru’ yang ingin dikreasikan. Istilah ‘tranformasi kultural’ ini saya
gunakan untuk memahami bagaimana elemen-elemen budaya medis digunakan oleh bisnis klinik
kecantikan untuk menonjolkan citra sebagai jasa perawatan kecantikan ‘yang sehat’
1
Lihat artikel lengkapnya dalam buku berjudul ‘What’s Cultural Studies?’ editor John Storey (1996), University
of Sunderland, A Member of the Hodder headline Group, London. New York. Sydney. Aukland. Hal: 75-114.
Pierre Bourdieu2 menyediakan beberapa konsep dan penjelasan yang bisa digunakan
untuk memahami praktik-praktik sosial yang tidak dijelaskan Johnson. Ranah kehidupan (field),
modal, habitus dan praktik; adalah beberapa konsep kuncinya dalam menjelaskan kehidupan
sosial. Konsep-konsep Bordieu tentang distingsi dan modal-modal itu akan berguna untuk
melihat strategi komodifikasi klinik kecantikan untuk membedakan diri dengan para pesaingnya.
Konsep-konsep ini berguna untuk melihat kelihaian para pebisnis klinik membangun keunggulan
produk-produknya dengan mengkonversikan jenis-jenis modal ini.
Bourdieu memandang sistem sosial terdiri dari ranah-ranah. Setiap ranah memiliki
praktik-praktik otonom. Praktik digambarkannya dengan rumus: ’Praktik = (habitus x modal) +
Ranah.’ Indisvidu-individu terlibat dalam permainan beragam ranah kehidupan. Praktik-praktik
yang kelihatan alami itu mengandung permainan dominasi antara orang-orang yang memiliki
kekuasaan simbolik dan kaya modal; dengan orang-orang yang miskin modal. Setiap ranah
kehidupan menuntut modal-modal tertentu agar bisa memenangkan permainan di dalamnya.
Kedudukan seseorang dalam sebuah ranah kehidupan bergantung dari kesanggupannya
melakukan akumulasi modal-modal di sepanjang hidupnya. Setiap ranah kehidupan menuntut
modal-modal tertentu agar bisa memenangkan permainan di dalamnya.3
Kemenangan yang diperoleh dalam permainan ranah kehidupan tertentu, bisa digunakan
dan diakumulasikan untuk perjuangan individual dalam memenangkan permainan di ranah
kehidupan yang lain. Kemenangan yang diperoleh dalam permainan ranah kehidupan tertentu,
bisa digunakan dan diakumulasikan untuk perjuangan individual dalam memenangkan
permainan di ranah kehidupan yang lain. Konsep modal dipinjam Bordieu dari khasanah ilmu
ekonomi, tetapi tidak semata-mata mengacu pada determinasi uang dan sarana-prasarana dalam
ilmu ekonomi murni.
Modal ekonomi jelas. Modal budaya meliputi ijasah, pengetahuan yang sudah diperoleh,
cara bicara, kemampuan menulis, cara pembawaan, sopan santun, cara bergaul dan sebagainya.
2
Dalam Pierre Bordieu, 1979. Distinction, A Social Critic of The Judment Of Taste. Routlegde.
3
Penjelasan konsep ‘modal’ Bordieu ini dikutib dari catatan kaki Haryatmoko di artikel berjudul Landasan
Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu; Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa , di Majalah Basis
Edisi November-Desember 2003, Hal : 4-23
Modal sosial ialah hubungan-hubungan dan jaringannya yang merupakan sumberdaya untuk
mereproduksi kedudukan-kedudukan sosial. Modal simbolik tidak lepas dari kekuasaan
simbolik, yaitu kekuasaan yang memungkinkan untuk mendapatkan setara dengan apa yang
diperoleh melalui kekuasaan fisik dan ekonomi. Contohnya adalah gelar pendidikan, kantor
mewah di kawasan strategis dst.
Habitus adalah Disposisi: kapasitas, tendensi, kemampuan untuk mengenali dan
melakukan aktivitas yang secara sosial telah terbentuk dalam eksistensi material beerkaitan
dengan kelompok sosial tertentu. Konsep ranah dan habitus, mengatasi jarak ntara konsep/teori
dengan praktik kehidupan sehari-hari dalam masyarakat. Dengan demikian, kedua konsep itu
juga mengatasi kesenjangan antara pikiran dan tindakan, serta antara ide dan realitas konkret.
Walaupun ranah itu dibentuk oleh agen-egen sosial (didalam habitus), sebuah habitus -sebagai
dampaknya- merepresentasikan tranformasi struktur-struktur obyektif dari ranah tersebut ke
dalam struktur subyektif tindakan dan pikiran agen.
Distingsi atau Distinction secara sederhana bisa dikatakan sebagai sebuah perbedaan
yang digunakan untuk menunjukan posisi status kelas tertentu. Bordieu mendiskusikan panjang
lebar betapa selera itu sama sekali tidak netral. Dari pengamatannya, ia menggambarkan bahwa
selera diorganisasikan sesuai dengan posisi di dalam masyarakat. Selera selalu merupakan
representasi khas dari suatu kelompok kelas. Ia adalah representasi dari hasrat membedakan diri
(distingsi) dengan kelompok sosial yang lain, terutama yang lebih bawah. Distingsi kurang lebih
bisa disederhanakan sebagai perbedaan yang merujuk pada pengelompokan suatu kelas sosial
tertentu.
Metode etnografi membantu untuk menghimpun dan mengintepretasikan data-data
praktik jasa klinik kecantikan ini. Pengamatan mendalam, Fotografi dan pencatatan terstruktur
membantu saya merekonstruksikan kembali bagaimana obyek-obyek material dari konteks
budaya kecantikan yang berbeda digunakan bersama-sama untuk membangubaru praktik budaya
baru bernama klinik kecantikan. Dengan teknik ini, saya bisa memahami bagaimana praktik
budaya ini menata obyek-obyek disiplin klinis di sepanjang permukaan permainan untuk
menonjolkan penampakan praktik klinis. Melalui metode partisipatori, dengan menyamar
sebagai konsumen saya bisa menginterpretasikan bagaimana elemen-elemen acana kedokteran
dipadukan dengan elemen-elemen acana kecantikan dari beragam konteks kebudayaan. Di sini
elemen-elemen wacana kedokteran menjadipenjelasan dan pembenaran akan produk-produk
yang ditawarkan.
Distingsi Baru Dalam Praktik Budaya Perawatan Kecantikan
Klinik kecantikan sebenarnya bukanlah praktik baru dalam budaya perawatan kecantikan.
Budaya perawatan kecantikan sudah ada sama tuanya dengan sejarah manusia. Sebelumnya,
budaya ini telah dikomodifikasikan dengan cara-cara yang berbeda. Setidaknya ada dua model
komodifikasi perawatan kecantikan sebelum klinik kecantikan, yakni industri kosmetik dan salon
kecantikan. Industri kosmetik mengkomodifikasikannya dengan menjual produk-produk
kosmetik untuk dipakai dirumah. Salon kecantikan membuat distingsi lain berupa pesona
perawatan bak para priyayi jaman kerajaan tradisional. Konsumen dilayani dan dirawat di tempat
yang bersih dan terawat ala para putri keraton jaman dulu. Klinik kecantikan menjual distingsi
baru dalam perawatan kecantikan. Distingsinya berupa penampakan disiplin klinis dalam
prosedur pelayanannya. Penampakan ini membuatnya tampak syah mendefinisikan diri sebagai
jasa perawatan kecantikan ’yang sehat’.
Habitus baru dalam praktik jasa klinik kecantikan dibangun dari artikulasi gabungan
elemen-elemen budaya
dari beragam konteks kebudayaan. Elemen-elemen budaya ini
sebelumnya juga telah diartikulasikan dengan cara berbeda oleh praktik industri kosmetik dan
salon kecantikan. Gambaran distingsi praktik klinik kecantikan ini bisa digambarkan dalam
tabel berikut:
Distingsi
Industri kosmetik
Salon kecantikan
Klinik kecantikan
Elemen Budaya
Ramuan tradisional
Dilayani seperti priyayi di
Dilayani seperti priyayi di
Tradisional
dengan kemasan
tempat yg bersih dan terawat,
tempat yg bersih dan terawat
modern
menejemen tradisional
Alibi Halal
Salon Muslimah, Salon khusus
Undian naik haji/umroh, buka
Perempuan
puasa bersama,
Elemen Budaya
Spiritual/Agama
pengajian/kebaktian bersama
Elemen Budaya
Zat kimia, sintetis,
Plus menejemen modern dan
Plus menejemen modern dan
Modern
diolah dan dikemas
teknologi salon: Ozonisasi,
teknologi medis
BPOM
Dokter dan Penampakan
secara modern
Elemen Budaya
Medis
BPOM
sempurna prosedur perawatan
klinis
Baik industri kosmetik, salon kecantikan maupun klinik kecantikan sama-sama
mengartikulasikan beragam elemen-elemen
budaya. Namun klinik kecantikan memiliki
sekumpulan distingsi baru yang membuat komoditas industri kosmetik dan salon kecantikan itu
terdiskualifikasi dengan sendirinya. Distingsi baru itu terpusat pada hadirnya dokter dan
diterapkan disiplin klinis dalam paket layanannya. Modal-modal yang telah digunakan oleh
praktik industri kosmetik dan salon kecantikan tetap digunakan sebagai modal-modal dalam
praktik klinik kecantikan. Produk-produk kosmetik (dari praktik industri kosmetik) tetap
digunakan sebagai bagian dari modal material klinik kecantikan. Prosedur pelayanan penuh
hormat ala para abdi dalem atau pelayan jaman keraton juga masih digunakan sebagai bagian
dari modal-modal budya. Elemen-elemen budaya industri kosmetik dan salon kecantikan ini
digtabungkan bersama-sama elemen-elemen budaya klinis membentuk penampakan sempurna
displin klinis dalam praktik jasa kecantikan bernama klinik kecantikan.
Di klinik kecantikan, elemen-elemen budaya klinis menempati posisi utama sebagai
modal-modal simbolik yang mendiskkualifikasikan model-model praktik jasa kecantikan yang
telah ada sebelumnya. Dokter, konsultasi dokter, resep dokter, pasien, kartu kontrol pasien,
perawat, obat, apotek, apoteker, ruang perawatan, teknologi kedokteran, ruang sterilisai alat;
semuanya tampak ada dan menjadi bagian dari prosedur perawatan. Modal-modal material dan
budaya dari praktik klinis kedokteran ini menjadi modal-modal simbolik praktik klinik
kecantikan. Mereka disusun sedemikian rupa hingga menampakkan dengan sempurna prosedur
perawatan klinis. Sedangkan kosmetik dan layanan ala priyayi digunakan sebagai bagian dari
modal-modal material dan modal-modal budaya. Memasuki klinik kecantikan, konsumen akan
diperlakukan dengan penuh hormat ala para priyayi keraton. Prosedur tampak seperti prosedur
perawatan klinis. Namun ’obat’ yang ditawarkan untuk dibeli gabungan antara produk-produk
kosmtik dengan produk-produk kosmetik medis. Masalah-masalah penampilan tampak menjadi
masalah kesehatan yang syah melalui sentuhan prosedur medis yang disokong oleh penampakan
penggunaan intrumen-instrumen medis.
Di Natasha, distingsi penampakan prosedur medis ini disempurnakan dengan nama
pemiliknya, dr Fredi Setiaan yang sukses dicitrakan sebagai ikon pakar dermatologi estetik
Indonesia. Pengalamannya menjadi seorang dokter pertama yang belajar praktik dermatologi
estetik ke sebuah lembaga pendidikan terkait yang ternama di Singapura menjadi puncak modal
simbolik praktik Natasha. Fredi belajar praktik kecantikan medis ke Singapura. Pengalaman ini
lantas digembar-gemborkan melalui berbagai cara untuk membangun citra Fredi sebagai pakar
dermatologi estetik utama di Indonesia, walaupun ia hanya memiliki gelar akademik sebagai
dokter umum. Strategi ini menjadi amat sempurna karena pada saat itu dokter-dokter spesialis
kulit (pakar dermatologi) masih berkutat pada problema-problema kesehatan kulit murni.
Akumulasi modal-modal simbolik terus-menerus dilakukan Natasha agar tetap menjadi klinik
kecantikan terdepan. Mulai dari rutin membeli teknologi dermatologi estetik keluaran terbaru,
merekrut para dokter muda, modifikasi kemasan krem-krem perawatan, penataan gedung yang
elegan, hingga diskon-diskon perawatan. Kesemuanya ini menjadikan Natasha senantiasa berada
di puncak citra sebagai praktik jasa perawatan kecantikan
Tabel 1.2: Perbandingan Praktik Salon Kecantikan dan Klinik Kecantikan
SALON KECANTIKAN
KLINIK KECANTIKAN
Prosedur penjual-pembeli
Prosedur dokter-pasien
Memakai bahan alami atau produk
pasaran
Memiliki produk racikan sendiri berijin
Depkes
Ditangani beautician dan staf
Ditangani dokter, beautician dan staf
Perawatan dari luar kulit
Perawatan dari luar dan dalam kulit
Problema: jerawat, flek, kulit kusam
Plus kantong mata, keriput, kutil, tanda lahir,
pori-pori membesar, pipi tembem,
kegemukan, warna kulit dst
Dekoratif
”Alami”
Sumber: Diolah dari brosur-brosur salon kecantikan dan klinik kecantikan
Perbedaan pertama terletak pada hadirnya dokter dalam paket layanan klinik kecantikan.
Industri kosmetik dan salon sebenarnya juga sudah menggunakan legitimasi medis. Produkproduk kosmetik baik yang dijual di pasaran ataupun yang digunakan di salon-salon kecantikan
banyak mencantumkan tulisan ’Hasil riset medis’ atau ’Terdaftar di POM RI.’ Paling tidak
dengan cara-cara itu ingin ditekankan bahwa produk-produk yang dijual aman secara medis.
Di klinik kecantikan dokter hadir, ada secara fisik dihadapan konsumen, konsumen bisa
berkonsultasi langsung. Profesionalitas dokter jelas melampaui para beautician yang sudah
terlebih dulu menandai citra profesional di salon-salon kecantikan. Para beautician, mendapatkan
predikatnya hanya dari sekolah setingkat SMKK (sekolah Menengah Kejuruan Kecantikan,
kursus-kursus atau D3 Kecantikan. Sedang gelar dokter jelas didapat melalui prosedur sekolah
yang jauh lebih lama dan lebih rumit dari sekedar profesi beautician.
Hadirnya dokter sebagai bagian dari prosedur layanan menimbulkan kesan seolah-olah
apa yang disajikan di klinik kecantikan lebih aman secara medis. Pengetahuan konsumen tentang
tubuhnya melalui indranya, hanyalah referensi kecil bagi sang dokter untuk mendiaknosa
penyakit konsumen. Referensi utamanya adalah ilmu pengetahuan kedokteran yang didapat dari
prosedur sekolah yang ketat. Dokter mampu mengenali permasalahan kecantikan kulit wajah dan
tubuh jauh lebih detail dibanding apa yang dirasakan konsumen.
Termasuk dalam paket kekuasaan dokter adalah penguasaan terhadap teknologi
penunjangnya yang memungkinkannya mengamati dan menganalisa problema tubuh yang
diwacanakan. Dokter dan kecanggihan teknologi dermatologi estetik mampu menjangkau
permasalahan yang lebih rumit; seperti kantung mata, pipi tembem, bopeng selulit, pori-pori
membesar, bulu badan, tanda lahir, tumor jinak (kutil), perut buncit, lengan atau paha besar dan
seterusnya. Salon kecantikan hanya mampu menangani problem-problem kecantikan klasik
seperti jerawat, kulit kusam dan flek dengan perawatan dari luar kulit.
Masuknya dokter dalam praktik ini tidak meniadakan berbagai bangunan pengetahuan
pada praktik sebelumnya. Seluruh pekerjaan teknis kecuali injeksi dan pemakaian teknologi
canggih; masih dikerjakan oleh para beautician berkualitas sama seperti para karyawan salon
kecantikan. Dokter hanya menggenapi praktik-praktik itu dengan pengetahuan medis. Namun
khadiran dokter di klinik kecantikan juga merubah secara keseluruhan prosedur layanan.
Di salon kecantikan yang berlaku adalah modus layanan penjual-pembeli, konsumen
datang memilih menu layanan yang disajikan dan para beautician langsung melayaninya. Di
klinik kecantikan yang berlaku adalah modus disiplin klinis (hubungan dokter-pasien).
Keputusan tentang layanan seperti apa yang tepat, produk apa yang harus diberikan dan
bagaimana detail disiplin perawatan sehari-hari sepenuhnya berada dalam keputusan para dokter.
Pegunjung klinik kecantikan tidak bisa serta merta memilih satu layanan sesuai dengan
keinginannya.
Distingsi klinik kecantikan yang lain terletak pada klaim hasil akhir yang dicapai. Istilah
dekoratif diberikan oleh hasil capaian salon kecantikan yang hanya mampu menangani problem
kecantikan agar ketika didandani (dengan kosmetik) hasilnya maksimal. Artinya, salon
kecantikan hanya mampu merawat wajah agar lebih mudah didandani (didekorasi). Dikotomi
’dekoratif-alami’4 membedakan hasil perawatan salon kecantikan dengan perawatan di klinik
kecantikan.
Masalah flek misalnya, ditangani dari luar dengan menggunakan produk-produk krim
(tradisional ataupun modern) dan Facial. Selebihnya, jika flek masih ada akan ditutupi dengan
Foundation (alas bedak) sebelum memakai bedak. Hidung kurang mancung, pipi tembem atau
rahang lebar diatasi dengan teknik make-up. Beautician mendekorasi bentuk-bentuk yang tidak
ideal dengan tipuan warna-warna Make-up mulai dari Foundation, Blush On, bedak, Eye
Shadow, sampai dengan maskara dan pensil alis.
Konsep dekorasi wajah ini saya pahami lebih jelas dari supervisor La Tullipe Cosmetic
untuk cabang Boyolali bernama Andri:
“Kalau Krisdayanti itu di TV jadi kelihatan cantik sekali, itu karena seri make-up
khusus buat dia foundation-nya saja sampai sembilan macam warna, untuk menutupi
kekurangan bentuk wajah…..misalnya untuk rahang yang berbentuk persegi, perlu
foundation dengan warna lebih gelap di bawah garis rahang, blush on disapukan
sedikit di bawahnya…”5
Industri kosmetik dan salon kecantikan menyajikan teknik-teknik dekorasi wajah agar
dalam kesempatan-kesempatan tertentu (pesta, seminar dll) wajah tampil sempurna. Beginilah
cara Mbak Andri menjelaskan pembentukan alis yang simetris:
“Perhatikan ibu-ibu, jika menggambar alis, pandang cermin dengan lurus ke depan,
posisi garis lurus ke atas dari lingkar luar bola mata yang hitam adalah puncak alis.
Dari pangkal alis pensil diangkat sampai puncak alis, mulai dari situ pensil alis mulai
agak tipis dan tarik pensil alis turun”
Penjelasan di atas adalah salah satu contoh bagaimana industri kosmetik mengajari para
konsumennya mendekorasi bentuk wajah agar tampak ideal. Cara-cara seperti di atas oleh opini
kedokteran dianggap sebagai cara yang ”tidak sehat.” Menutupi flek dengan foundation dan
bedak akan menyumbat pori-pori dan tidak menyehatkan kulit. Cara yang lebih sehat adalah
menghilangkan flek secara permanen dengan prosedur medis yang benar. Bebas flek bukan
4
Dikotomi dekoratif-alami (salon kecantikan-klinik kecantikan) saya pahami dari Mbak Laksmi, beautician
Golden Skin Care.
5
Penjelasan ini disampaikan pada sebuah acara pelatihan facial dan make-up bagi para pegawai perempuan Dinas
Pariwisata Kabupaten Boyolali.
berarti menipiskan flek dan kemudian ditutupi dengan teknik make-up yang sempurna. Bebas
flek, artinya menghilangkan flek itu sebersih-bersihnya dengan penanganan medis murni
ditunjang teknologi dermatologi canggih.
Di klinik kecantikan, dokter ditunjang teknologi medis menyajikan teknik mengatasi flek
dari dalam ataupun dari luar kulit. Mulai dari chemical peeling, microdemabrasi, tindakan laser
hingga krem yang harus dipakai di rumah. Chemical peeling adalah teknik membersihkan kulit.
Malampaui facial yang biasa disajikan di salon-salon. Chemical peeling membersihkan kotorankotoran penyumbat pori-pori yang tidak sanggup dibersihkan dengan facial-facial biasa (physical
peeling) andalan salon-salon kecantikan.
Bahan kimia dioleskan ke wajah untuk menghilangkan sel-sel kulit mati, meningkatkan
produksi kolagen dan meningkatkan peremajaan kulit. Cara ini dianggap jauh lebih efektif
dibanding physical peeling yang hanya berfungsi menghilangkan sel-sel kulit mati dengan cara
paksa. Bahan-bahan yang digunakan untuk chemical peeling beragam, mulai dari Alpha Hidroxy
Acid Peel (AHA), Salicylic Acid Peel, Jessner Peel, Phenol Peel dsb. Alpha Hidroxy Acid juga
masih beragam jenisnya seperti Glycolic Acid, Lastic Acid citric Acid dan Malic Acid. Zat-zat ini
bisa digunakan sendiri-sendiri ataupun diracik bersama-sama. Bahan-bahan itu mampu dengan
sendirinya merontokkan kotoran yang menyumbat pori-pori kulit tanpa ada gesekan fisik yang
merusak kulit (tidak digosok-gosokkan). 6
Microdermabrasi juga merupakan tindakan peeling, bedanya peeling ini dilakukan secara
mekanis dengan teknologi canggih Microdermabration (MCD). Alat ini bisa dikatakan sebagai
’mesin amplas’ wajah yang dirancang untuk mengatasi problem flek, bopeng dan permukaan
kulit kasar. Peeling biasa yang hanya dilakukan dengan menggunakan tangan atau Fremator
(mesin perata peeling) yang hanya menjangkau kotoran permukaan kulit paling luar.
Mikrodermabrasi melakukan tindakan pengamplasan dengan daya jangkau lebih dalam dari
physical peeling.
Mesotherapy memberikan jenis perawatan yang lain lagi. Dengan bantuan teknologi
Mesogun, zat-zat tertentu (vitamin, ekstrak tumbuhan dsb) ditembakkan ke jaringan mesodermis
6
Lihat artikel berjudul ‘Kulit Cantik dengan Chemical Peeling,’ tulisan Fredi Setiawan di Majalah Natasha Edisi
Mei-Juni, Hal: 30
(bawah kulit), memberi vitamin tepat pada tempat yang dibutuhkan.7 Tidak seperti facial di
mana vitamin-vitamin hanya menyentuh permukan kulit luar, mesotherapy menyuntikkan zat-zat
itu ke bawah permukaan kulit. Pada kasus flek misalnya, obat langsung disuntikan ke lapisan
kulit dermis (dalam) sehingga diharapkan mampu memberi vitamin tepat pada sasaran kulit yang
mengalami pigmentasi. Harapannya dengan cara ini flek memudar dengan sendirinya.
Konsultasi dokter tampak nyata menjadi bagian dari prosedur pelayanan para konsumen.
Kewajiban menggunakan konsultasi dokter ini sebenarnya semata karena alasan medis. Beberapa
krim perawatan yang dijual di klinik kecantikan menggunakan bahan berkategori obat. Daya
invansinya lebih dalam ketimbang bahan kosmetik yang di jual bebas dan digunakan di salonsalon kecantikan. Efek samping yang mungkin timbul dari bahan obat lebih besar dari bahan
kosmetik. Obat tidak dirancang untuk dikonsumsi secara permanen dalam jangka waktu lama.
Sedangkan kosmetik diperbolehkan dijual bebas di pasaran karena memang dirancang hanya
untuk bekerja di lapisan luar kulit dan bisa digunakan dalam jangka waktu lama.
Fungsi dokter di klinik kecantikan sebenarnya untuk memberikan konsultasi medis detail
atas penggunaan obat dalam perawatan kecantikan ini. Prosedur konsultasi wajib untuk
mengantisipasi dan meminimalisir berbagai dampak buruk jika krem perawatan digunakan tanpa
petunjuk dokter. Dokter wajib menjelaskan sedetail mungkin prosedur pemakaian hingga
berbagai kemungkinan dampak yang mungkin saja timbul dari pemakaian obat ini. Kehadiran
dokter dan prosedur klinis menjadi distingsi yang mendiskualifikasikan bisnis-bisnis kecantikan
sebelumnya.
Paket distingsi salon kecantikan ini adalah gabungan praktik klinis kedoteran, layanan ala
para abdi dalem keraton tradisional dan budaya kaum intelek. Sekumpulan elemen-elemen
kultural yang berasal dari konteks budaya disiplin klinis tertata rapi di permukaan, digunakan
sebagai distingsi baru yang mendiskualifikasikan praktik-praktik jasa kecantikan yang ada
sebelumnya. Penataaan ini memberikan penampakan prosedur klinis . Para pengunjung didikte
untuk berperilaku layaknya para pasien di rumah sakit, seperti mendaftar, malakukan konsultasi
dokter, perawatan, membeli ’obat’ dan membayar semua layanan itu. Namun bukan sembarang
pasien yang diharapkan mnjadi para pelanggan praktik jasa kecantikan ini. Mereka dituntut
menggabungkan perilaku sebagai ’pasien’ di rumah sakit dengan perilaku ala ’para priyayi.’
7
Penjelasan tentang Mesotherapy dan Mikrodermabrasi disalin dari brosur London Beauty Centre, Yogyakarta
2008
Tiruan Kreatif Disiplin Klinis
Paket distingsi ini membentuk sebuah kode perilaku mirip dengan perilaku para pasien di rumah
sakit, namun tidak bisa dikatakan sepenuhnya sebagai aplikasi disiplin klinis. Prosedur ini lebih
tepat dikatakan sebagai tiruan kreatif disiplin klinis. Ada begitu banyak campuran aroma yang
tidak selalu sejalan dengan kaidah-kaidah disiplin klinis di sepanjang jalannya pelayanan di
Natasha. Mulai dari mekanisme pendataan pasien, diagnosa, penentuan treatment, hingga
penulisan dan penggunaan resep dokter. Perbandingan prosedur dermatologi klinis dengan
prosedur dermatologi estetik yang ditampilkan di Natasha bisa saya gambarkan sebagai berikut:
Tabel 2: Perbandingan Prosedur Disiplin Klinis dan Disiplin Natasha
Disiplin dermatologi klinis ketat
Disiplin dermatologi estetik luwes
Diagnosa dengan alat dermatologi
Diagnosa dengan kamera digital
Penyembuhan penyakit
Perawatan penampilan
Yang sakit yang bermasalah
Semua orang bermasalah
Prosedur ketat demi kesehatan pasien
Prosedur elastis demi penampilan
Sumber: Diolah dari beberapa sumber
Mekanisme pendataan pasien saat pertama datang, lebih mencerminkan logika narsis,
ketimbang identifikasi problema medis. Indentifikasi pasien melampaui apa yang selama ini ada
di rumah sakit. Data identitas pasien meliputi foto close-up yang diambil dari jarak dekat. Foto
diambil dengan menggunakan kamera digital yang terhubung langsung dengan monitor
komputer di ruang konsultasi dokter. Prosedur ini seolah menunjukkan betapa Natasha benarbenar memperhatikan para pengunjung secara individual. Seolah setiap pengunjung benar-benar
diperhatikan secara seksama problematika kulitnya dari sejak pendataan pasien.
Namun di sisi lain mekanisme ini merupakan strategi untuk melebih-lebihkan persoalan
penampilan kulit pengunjung. Alat deteksi dermatologi biasa hanya menampilkan jaringan kulit,
tidak akan terlihat tampilan cantik atau jeleknya wajah pasien dari layar monitor. Dengan teknik
ini, semua orang akan terlihat bermasalah dan menjadi seolah membutuhkan perawatan di
Natasha. Sementara kecepatan kamera digital yang sekitar 80 MB, mampu memperlihatkan
potret wajah beserta noda-noda sekecil apapun di permukaan wajah, bahkan yang tidak
tertangkap mata telanjang dari jarak pandang yang wajar. Noda, kotoran sekecil apapun bahkan
kerinngat diwajah terekam jelas oleh jepretan kamera jenis ini, apalagi jika pemotretan dari jarak
dekat. Jarak pemotretan di Natasha kurang lebih 0,5 meter. Jarak ini terlalu dekat hingga akan
sulit mendapatkan hasil penampakan gambar yang maksimal. Siapapun yang dipotret dengan
jarak sedekat itu, akan terlihat jelek. Foto ini seolah menunjukkan dengan sempurna masalah
yang diderita semua orang.
Saat di hadapan dokter, foto ini diperbesar hingga selebar layar monitor komputer 14 inc.
Kotoran, pori-pori kulit yang membesar dan flek sekecil apapun akan diperlihatkan dengan
sangat nyata. Foto ini melebih-lebihkan kekurangsempurnaan wajah pasien. Foto akan
memperlihatkan dengan sempurna efek buruknya noda, kerutan atau jerawat itu bagi keseluruhan
penampakan wajah pasien. Hasil gambarnya menampakkan dengan jelas beberapa masalah kulit
wajah, bahkan yang tidak tertangkap oleh mata telanjang dengan jarak yang sama. Dengan
begitu, akan menjadi jelas penyakit yang harus diobati.
Saat pasien dipanggil konsultasi satu persatu, foto pasien sudah tampak di layar monitor
komputer meja dokter. Dokter akan menerangkan semua penyakit pasien dengan penjelasan
kaidah-kaidah ilmu kedokteran, bahkan menyangkut hal-hal yang tidak disaari pasien
sebelumnya. Bukan penjelasan umum, tetapi penjelasan khusus yang telah disesuaikan dengan
problema kulit seperti yang tampak pada foto pasien. Penjelasan akan menekankan logika medis
atas masalah yang membuat pasien merasa jelek. Seolah ia benar-benar memeriksa dengan amat
teliti keluhan yang disampaikan pasien. Seolah-olah dokter dan ilmu medisnya itu benar-benar
mengutamakan kesehatan konsumennya.
Tetapi ketika konsultasi ini berpindah pada solusi permasalahan, dokter akan berperan
sebagai seller handal. Ia akan dengan sempurna menjelaskan beragam tawaran produk-produk
Natasha yang sesuai dengan masalah yang dihadapi pasien. Pembeberan meliputi produk krem
perawatan di rumah dan jenis-jenis layanan di klinik. Di sini juga tidak berlaku rumus displin
medis makin serius penyakitnya, makin canggih teknologi yang digunakan dan makin mahal
biayanya. Yang berlaku adalah setiap masalah ditawarkan beragam solusi dari yang termurah
sampai yang termahal. Mahalnya harga suatu jenis layanan tidak selalu mencerminkan
keseriusan penyakit yang ditangani. Seperti teknologi hair removal (laser) berharga milyaran
yang digunakan untuk menghilangkan bulu badan.
Penulisan resep dokter juga tidak seperti pada disiplin medis. Penentuan treatment bukan
berdasarkan tingkat keseriusan penyakit pasien tetapi lebih pada kesanggupan keuangannya.
Dokter menawarkan semua jenis layanan, pasienlah yang memilih jenis sesuai kemampuannya.
Tak jarang seseorang yang memiliki permasalahan lebih serius hanya memillih perawatan yang
murah. Sementara beberapa pasien kaya membeli perawatan laser berharga jutaan hanya untuk
mengecilkan pori-pori, membuang tahi lalat atau menghilangkan bulu badan.
Apotek dan dan para apotekernya benar-benar ada di dalam gedung Natasha. Letaknya di
bagian kiri depan, berseberangan dengan jajaran meja front office. Beragam obat-obatan ditata
rapi. Namun penerimaan resep dokter, pembayaran dan penyerahan obat; seluruhnya
dilaksanakan oleh para petugas costumer service di meja front office. Walaupun pengunjung
berjubel, aktivitas di apotek tampak selalu sepi. Sebaliknya meja costumer service diwarnai hiruk
pikuk pelayanan para pasien; mulai dari pendaftaran, pemanggilan konsultasi, penerimaan resep
dokter, pembayaran hingga penyerahan obat
Dokter sebagai rezim signifikansi praktek klinis ini, menerapkan disiplin karet bagi para
pasien. Sebagai konsultan medis, mereka memang menentukan prinsip-prinsip perawatan klinis
ini. Penentuan jenis-jenis obat ditentukan oleh dokter berdasarkan jenis kulit dan problema yang
dialami. Pemakaiannya tidak boleh dicampur dengan produk kosmetik atau produk apapun di
luar produk Natasha. Pemakaian bedak transparan, agar pori-pori kulit bisa mendapatkan
sirkulasi udara lebih baik. Prinsip-prinsip ini selalu ditekankan kepada para pasien terutama saat
pertama kali berkunjung ke Natasha.
Tetapi prosedur ganjaran-hukuman bersifat sangat elastis, sangat tak terduga. Hukuman
atau ganjaran diberikan bukan dari tingkat kepatuhan atau pembangkangan para pasien dalam
melaksanakan prinsip-prinsip perawatan klinis narsis ini. Nasib para pasien di hadapan dokter
lebih ditentukan apakah perilakunya itu memberi efek bagi rusaknya citra Natasha ataukah tidak.
Kepatuhan, pembangkangan atau kreativitas para konsumen dalam menyeleksi, menggunakan
dan menggabungkan produk-produk perawatan menghasilkan reward beragam dari para dokter.
Ia akan mendapat ganjaran berupa pujian atau persetujuan dari dokter; jika ia berdampak baik
bagi kulit wajahnya dan menaikkan citra Natasha. Sebaliknya, perilaku yang sama akan
mendapat hukuman berupa kemarahan dokter; jika itu menimbulkan dampak buruk di wajah
yanng merusak citra Natasha.
Tranformasi Kultural Elemen-Elemen Budaya Klinis
Istilah ‘tranformasi kultural’ (cultural tranformacy)digunakan Johnsonuntuk menggambarkan
peralihan simbol-simbol kultural yang terjadi dalam sirkuit komoditas industri budaya. Bisnis klinik
kecantikan menggambarkan dengan sempurna permainan ekspresi gabungan antara elemen-elemen
kultural dari beragam ranah perjuangan kehidupan. Simbol-simbol budaya dari ranah budaya klinis
diekspresikan secara bersama-sama dengan elemen-elemen cultural dari beragam praktik kebudayaan
untuk membentuk distingsi baru bagi sebuah praktik jasa peraatan kecantikan. Elemen-elemen cultural
dari praktik klinis mengalami tranformasi cultural yang mencolok. Dari yang semula menjadi penanda
bagi sebuah praktik budaya yang dihubung-hubungkan dengan problema kesehatan manusia menjadi
penanda bagi praktik budaya pemujaan penampilan tubuh luar.
Ada begitu banyak penampakan simbol-simbol cultural dari praktik klinis, seperti dokter, resep
dokter, teknologi dermatologi dan prosedur klinis. Namun semuanya itu tidak selalu bisa dimaknai
sebagai disiplin ketat yang harus ditempuh demi kesehatan para pengunjungnya. Semuanya itu pertamatama lebih tampak digunakan sebagai pesona untuk menonjolkan perbedaan dengan praktik-praktik jasa
kecantikan yang ada sebelumnya. Ada begitu banyak dokter lengkap dengan kostum jas putih,
pengetahuan medis, teknologi dermatologi dan ijin praktiknya. Namun mereka tidak lagi memerankan diri
sebagai paramedic yang mengurusi
tugas utamanya mengurusi kesehatan para pasiennya. Mereka
pertama-tama dibayar untuk mengenalkan produk-produk dan membujuk para pengunjung agar membeli.
Para dokter bertugas sebagai konsultan kecantikan yang bertugas menunjukkan masalah-masalah
penampilan hingga ke hal-hal kecil yang kadang bahkan tak dipermasalahkan para pengunjung
sebelumnya.
Pengetahuan kedokterab digunakan bukan untuk menjelaskan hakekat penyakit pasiennya, tetapi
untuk mendikte pengunjung tentang ancaman problema kesempurnaan penampilan hingga pada hal-hal
yang tak tertangkap mata telanjang. Tujuannya adalah agar setiap oranng tampak memiliki persoalan
penampilan dan memerlukan perawatan. Perawatan atau treatment tidak lagi dilakukan dalam rangka
menyembuhkan penyakit atau gangguan kesehatan, tetapi untuk menyempurnakan penampilan.
Keberhasilan para dokter disini tidak ditandai oleh penyembuhan para pasiennya, tetapi oleh seberapa
bisa mereka membujuk para pengunjung agar membeli koleksi produk perawatan yang disajikan.
Ada begitu banyak ‘para perawat’ berseragam yang membantu tugas para dokter. Tetapi mereka
ini bukanlah paramedic yang dibekali pengetahuan medic yang mumpuni layaknya para peraat di rumah
sakit. Mereka adalah para beautician yang memiliki latar belakang pengetahuan perawatan kecantikan
yang sama dengan para beautician yang bekerja di praktik-praktik jasa salon kecantikan. Bedanya mereka
ini dibekali dengan pengetahuan penggunaan teknologi dermatologi. Mereka ini bertugas membantu para
dokter melakukan peraatan, bahkan untuk peraatan-peraatan standar salon kecantikan, mereka bisa
melakukan peraatan tanpa dokter. ‘Obat’ dan teknologi medis digunakan untuk melakukan perawatan atas
problema-problema yang tidak selalul ada hubungannya dengan kesehatan pengunjung. Keduanya
digunakan untuk problema-problema penampilan hingga yang tak tampak oleh mata telanjang. Keduanya
digunakan untuk mencari sekecil apapun problema penampilan untuk ditangani, hingga sampai ke hal-hal
yang sebelumnya tidak disadari oleh para pengunjung.
Ada banyak pengunjung yang tampak menjadi ‘pasien’ di klinik kecantikan. Mereka
mempraktikkan kode-kode perilaku yang tampak menjadi bagian dari prosedur perawatan kesehatan
layaknya para pasien di rumah sakit. Namun mereka ini tidak selalu mencerminkan orang-orang yang
menderita gangguan-gangguan kesehatan serius yang membutuhkan peraatan medis. Mereka adalah
orang-orang yang menderita kekuasaan pengetahuan akan kecantikan yang ‘sehat.’ Mereka rela meniru
gerak-gerik para pasien di rumah sakit untuk mendapatkan kepastian akan pengetahuaan, peraatan dan
penggunaan produk-produk demi kecantikan yang ‘sehat.’ Di rumah sakit, yang dianggap sebagai pasien
yang perlu dirawat adalah yang menderita gangguan kesehatan serius. Di klinik kecantikan, semua yang
dating dianggap memiliki problema penampilan yang serius. Problema penampilan ini bukan semata-mata
hal-hal yang lazim dianggap sebagai perusak penampilan seperti jeraat, bopeng atau flek. Problema
penampilan meliputi hal-hal yang tak terlihat oleh mata telanjang seperti ukuran pori-pori kulit, kantung
mata dan tingkat kelembaban kulit. Tatapan kamera digital membuat semua orang bermasalah karena
tampilan pembesaraanya mendramatisir kekurangan kecil penampilan yang bahkan tak tampak oleh mata
telanjang.
Di Klinik kecantikan, elemen-elemen cultural dari kontek budaya praktik klinis ditranformasikan
menjadi bagian dari praktik jasa peraatan kecantikan. Dokter, resep dokter, pengetahuan medis, teknologi
dermatologi, prosedur medis, apotek, perawat, apotek dan apoteker; semuanya ada nyata dan tampak
menjadi bagian dari pelayanan. Namun semuanya itu tidak lagi memiliki keterkaitan atau
merepresentasikan upaya kesehatan pengunjungnya. Di sini elemen-elemen cultural praktik medis ini
terlepas dari makna awalnya sebagai bagian dari praktik keshatan. Mereka dihadirkan untuk menandai
praktik budaya baru yang tidak selalu berhubungan dengan problema kesehatan, yaitu pemujaan
kesempurnaan penampilan tubuh luar. Praktik klinik kecantikan ini menghadirkan bahasa baru dalam
dunia jasa perawatan kecantikan yaitu ‘perawatan kecantikan yang sehat’ dan elemen-elemen cultural dari
praktik klinis ini digunakan sengai penanda, seakan-akan sebagai bukti yang tak terbantahkan akan
kesehatan praktik yang berlangsung di dalamnya.
Daftar Bacaan
Bordieu, Pierre. 1979. Distinction, A Social Critic of The Judment Of Taste. Routlugde.
Setiawan, Fredi, 2008. ‘Kulit Cantik dengan Chemical Peeling,’ tulisan di Majalah Natasha
Edisi Mei-Juni 2008, Hal: 30
Haryatmoko. 2003. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Pierre Bordieu; Menyingkap
Kepalsuan Budaya Penguasa. Majalah “Basis” Edisi November-Desember 2003, Hal : 423
Haryatmoko.2002. Kekuasaan Melahirkan Anti Kekuasaan, Menelanjangi Mekanisme dan
Teknik Kekuasaan Bersama Michel Foucault. Majalah Basis, edisi Januari-Februari
2002, hal 8-21.
Johnson, Richard. Dalam John Storey (ed) 1996. ‘What’s Cultural Studies?’ editor John Storey (1996),
University of Sunderland,