DAMPAK PROSES FISIKA TERHADAP
KARAKTERISTIK FLUIDA PANAS BUMI
Alfred H. Truesdell
US Geological Survey, 345 Middlefield Road, Menlo Park, Ca. 94025, USA
Diterjemahkan oleh Jodhi Giriarso (2019)
Diterjemahkan dari “Effects of Physical Processes on Geothermal Fluids” (1991)
Catatan penerjemah: penerjemahan melibatkan penataan ulang kalimat
(parafrase) dan modifikasi gambar untuk mempermudah pemahaman. Jika
terdapat perdebatan mengenai konteks/makna penerjemahan dapat merujuk
kembali pada naskah aslinya. Semua kesalahan interpretasi yang timbul akibat
penataan ulang kalimat (parafrase) dan modifikasi gambar dalam upaya
penerjemahan sepenuhnya merupakan tanggung jawab penerjemah.
Pendahuluan
Sistem panas bumi terbentuk karena adanya sirkulasi panas dan fluida akibat perubahan tekanan dan
temperatur pada batuan permeabel. Di bawah permukaan yang dalam, fluida terpanaskan secara
konduktif, biasanya dari batuan beku. Fluida (air, uap dan air) cenderung bergerak ke atas karena
perbedaan densitas. Di atas kedalaman 0.5 – 4 km, fluida bergerak lateral membentuk reservoir panas
bumi. Proses fisika mengubah komposisi fluida yang bergerak dari reservoir ke permukaan karena
penurunan tekanan dan temperatur. Pola aliran ini merupakan bagian penting dalam eksplorasi dan
eksploitasi sumber daya panas bumi. Kajian ini membatasi diri dalam lingkup fluida air panas
ketimbang sistem dominasi uap karena lebih banyak ditemukan dan lebih mudah dipahami.
Proses Di Bawah Permukaan
Sirkulasi fluida terjadi di bawah permukaan. Pada proses ini terjadi perubahan komposisi kimia,
pertukaraan isotop antara air dan batuan. Beberapa pendapat berbeda dikemukakan oleh para ahli
(Ellis, 1966). Sebagian ahli percaya bahwa komposisi kimia berasal dari batuan beku (misalnya:
Giggenbach, 1981; Hedenquist, 1986), sedangkan ahli lain percaya bahwa komposisi fluida dan panas
berasal dari pelarutan batuan oleh fluida yang melewatinya (misalnya: Ellis dan Mahon, 1964). Studi
isotop menemukan bahwa fluida panas bumi merupakan air meteorik (Craig, 1963), dan fluida yang
bersumber dari batuan beku tidak terdeteksi, mungkin saking kecilnya. Gambar 1 (Hedenquist, 1986)
menunjukkan bahwa fluida magmatik dan air meteorik yang bersirkulasi.
1
Gambar 1 Skema potong memotong (cross section) dari sistem panas bumi pada gunung api silisik
Reservoir
Fluida panas bumi naik ke permukaan dari kedalaman melalui kolom sempit dan menyebar secara
lateral melalui batuan permeabel permukaan. Skema ini digambarkan di Wairakei, New Zealand, di
mana hampir semua sumur dalam, kecuali yang secara langsung naik ke permukaan, menunjukkan
pembalikan temperatur (reversal) ditunjukkan oleh Gambar 2. Kandungan kimia fluida menunjukkan
bahwa fluida mendingin dan lebih encer dari zona upflow di mana fluida naik ke permukaan memasuki
reservoir.
Fluida yang naik ke permukaan bisa saja terhenti karena terjadi presipitasi mineral (kalsit, silika, dan
mineral lempung, dan bisa juga karena adanya batuan penudung (caprock) yang permeabilitasnya
rendah.pada kondisi alamiahnya aliran fluida masuk dan keluar sebanding. Keluaran fluida dari
reservoir bisa diperkirakan dari kandungan klorida (atau spesi konservatif lainnya) air panas dan
rembesan yang keluar di permukaan (Ellis dan Wilson, 1955). Dimensi reservoir sulit diperkirakan dari
komposisi fluida, namun distribusinya bisa menjadi petunjuk yang baik.
2
Gambar 2 Skema ideal lapangan panas bumi Wairakei (Elder, 1981)
Fluida yang naik ke permukaan
Dalam eksplorasi, terutama geokimia, aliran fluida ke permukaan menjadi perhatian utama. Di
permukaan aliran tersebut muncul sebagai manifestasi seperti mata air panas/hangat, fumarol, kolam
lumpur, dan lainnya. Penilaian awal mengenai karakter fluida hampir semua mengandalkan data
manifestasi permukaan. Fluida dangkal (bertipe sulfat dan bikarbonat) berasal dari dekat permukaan
dan tidak mengandung fluida reservoir. Fluida reservoir bergerak naik secara lambat sehingga
komposisinya terpengaruh oleh reaksi yang terjadi sempanjang interaksi dengan batuan sehingga
bertemperatur lebih rendah. Kedua jenis air itu biasanya kurang dapat diandalkan untuk mengetahui
karakteristik fluida reservoir. Namun, lokasi keberadaan fumarol dan mata air panas asam dapat
mengindikasikan adanya pergerakan fluida bertemperatur tinggi sebagai upflow. Fluida berklorida dan
silika tingg, pH netral, mengalir dari reservoir dapat digunakan untuk memperkirakan temperatur dan
karakter fluida lainnya. Distribusi dari tipe air tersebut digambarkan pada Gambar 1.
3
Zona dekat permukaan
Zona dekat permukaan (kedalaman sekitar 400 m) dalam sistem panas bumi sangat penting dalam
eksplorasi karena proses yang terjadi di bagian ini berpengaruh pada komposisi kimia. Pada zona ini,
heterogenitas permeabilitas lebih besar ketimbang di kedalaman jauh; interaksi dengan air
permukaan sangat menonjol; gradien tekanan dan temperatur berubah drastis menyebabkan
pendidihan (boiling) dan deposisi mineral.
Kemunculan mata air panas di tepi sungai dan danau merupakan hasil pergerakan lateral dari air
panas. Sama halnya, keberadaan fumarol di elevasi tinggian merupakan hasil aliran naik dari zona
pendidihan (boiling) dengan aliran lateral sebagai residu air panas. Elder (1981, hal. 337)
menggambarkan pengukuran temperatur dekat permukaan menunjukkan kondisi alamiah sekitar
lembah Geyser ditunjukkan pada Gambar 3. Air dingin yang turun bercampur dengan air panas yang
naik di beberapa titik kedalaman. Kemunculan mata air panas bersamaan dengan keluaran air
permukaan menunjukkan adanya tanah beruap (steaming ground) di mana permukaan berada lebih
tinggi dari garis muka air (water table).
Gambar 3 Skema area mata air panas (Elder, 1981)
Interaksi gas atmosferik dengan fluida panas bumi terjadi di permukaan. Gas panas bumi bercampur
dengan udara dan air dingin menyebabkan oksidasi H2S membentuk ion sulfat dan hidrogen. Proses
ini dibantu oleh adanya tanah beruap dan mata air panas asam yang menghasilkan konsentrasi sulfat
terbatas oleh pasokan H2S dan jumlah yang terdilusi oleh air permukaan.1 Oksidasi di bawah
permukaan sangat terbatas. Reaksi H2S dengan air permukaan hanya dapat menghasilkan 10-15 ppm
1
Valensi dihilangkan dalam formula kimia kecuali penting untuk argumen
4
SO4 (dan menghasilkan sedikit H+) karena kelarutannya terbatas. Di wilayah mata air panas asam, ion
H+ mengalterasi dan melarutkan mineral batuan menghasilkan ion alkali dan alkali tanah bersamaan
dengan pelarutan Al dan SiO2. Pembentukan sulfat dan alum sering kali terjadi di tepian mata air panas
asam dan sekitar tanah beruap. Seperti mata air alkaline, mata air panas asam terbentuk di daerah
garis muka air dekat permukaan atau di daerah pembentukan garis muka air.
Campuran air panas dan air tanah dangkal menghasilkan kandungan tritium yang sebanding dengan
presipitasi. Kandungan tritium di air tanah lebih sedikit ketimbang atmosferik jika umurnya lebih besar
dari 100 tahun dan air tanah tidak bercampur dengan baik. Namun, kandungan tritium bisa lebih tinggi
jika air bercampur dengan baik. Pencampuran di dekat permukaan sering kali dapat dibedakan dari
kandungan tritium yang tinggi dalam air.
Proses yang mempengaruhi komposisi kimia fluida
Sejatinya, fluida reservoir bertemperatur lebih tinggi dari temperatur titik didih di permukaan. Itulah
sebabnya ketika kai ke permukaan temperatur cenderung turun. Sebabnya antara lain konduksi panas
ke batuan samping yang dilewatinya, pencampuran dengan air dingin atau uap terpisahkan dari fasa
cairnya. Pendinginan konduktif (asumsi: tidak ada reaksi dengan batuan) tidak mengubah komposisi
kimianya, tetapi dilusi dan pendidihan menyebabkan perubahan. Proses-proses ini bisa terjadi sendirisendiri atau bersamaan, sehingga kadang sulit ditafsirkan. Semakin banyak sampel dalam jangka
waktu panjang dan berkala akan membantu penafsiran yang lebih baik.
Pendinginan konduktif
Pada aliran yang bergerak lambat, konduksi bisa menurunkan temperatur. Secara teoritis aliran 26
kg/menit mendingin secara konduktif dari 200°C menjadi 100°C dari kedalaman 1000 m sesuai gradien
temperatur normal dari reservoir ke permukaan (Truesdell et al., 1977). Perhitungan ini menunjukkan
bahwa pendinginan konduktif pada temperatur yang sama dari aliran reservoir dangkal di kedalaman
300 m tidak lebih dari 8 kg/menit. Saat terjadi aliran lateral di dekat permukaan, transfer panas secara
konduktif lebih besar lagi. Di La Primavera, Mexico, sejumlah besar air panas mendingin dari 170°C ke
65°C secara konduktif selama mengalir lateral sejauh 7-10 km pada kedalaman 100 m (Mahood et al.,
1983).
Di berbagai wilayah (seperti Yellowstone) jumlah mata air panas sangat banyak sehingga baik secara
mandiri maupun total aliran di bagian pusat semburan pendinginan konduktif sangat kecil. Tetapi,
untuk sistem dengan keluaran moderat atau mata air di pinggiran sistem yang besar, pendinginan
secara konvektif sangat mendominasi. Pendinginan bisa terjadi karena konduksi dan karena
pencampuran dan/atau kehilangan uap. Di Platanares, Honduras, fluida dari dalam mendingin dari
245°C ke 200°C karena konduksi, kemudian mulai mendidih dari kedalaman 160 m ke atas (Janik et
al., 1991).
Dampak perubahan komposisi kimia akibat pendinginan konduktif bervariasi. Jika gerakan naik relatif
cepat, mungkin terjadi beberapa perubahan komposisi kimia dan isotop. Geotermometer yang
berkesetimbangan lambat (seperti Na/K, Na-K-Ca) kemungkinan tidak berkesetimbangan ulang dan
geotermometer yang berkesetimbangan lebih cepat (seperti K/Mg) akan mengalami perubahan.
Bahkan pada aliran lambat, komposisi kimia dan isotop seperti sodium (Na) dan klorida (Cl) tidak
bereaksi dengan batuan volkanik dan juga batuan silikat lainnya. Sementara itu, isotop bereaksi secara
lambat, geotermometer isotop tidak terdampak karena adanya pendinginan; karena pendidihan tidak
terjadi, geotermometer isotop oksigen SO4-H2O dapat digunakan tanpa koreksi.
5
Pencampuran dengan air dingin
Pada sistem panas bumi yang belum dieksploitasi, pencampuran dengan air dingin terjadi pada
berbagai tingkatan. Di kedalaman jauh, perbedaan tekanan antara kolom air yang lebih tumpat dan
kurang tumpat menyebabkan air dingin masuk ke reservoir air panas. Deposisi mineral (contohnya
kuarsa atau lempung) di tepi reservoir yang lebih dingin dapat membatasi atau mencegah masuknya
air dingin. Meningkatnya perbedaan tekanan reservoir air panas dan air dingin akibat produksi akan
meningkatkan rasio pencampuran air panas dan air dingin. Sampel fluida dari Cerro Prieto, Mexico,
menunjukkan fluida bertemperatur rendah dan kandungan klorida pada bagian dangkal (≈ 1000 m)
reservoir α mengindikasikan adanya pencampuran secara alamiah (Truesdell et all., 1979). Selama
produksi, fluida yang lebih dingin dengan klorida rendah terambil dari bagian samping dan atas.
Reservoir lainnya (contohnya Wairakei, New Zealand), dengan tepian yang terbatasi oleh deposisi
kuarsa, menunjukkan sedikit pencampuran air dingin selama produksi dan tidak terjadi pada kondisi
alamiah (Bixley, 1990).
Dampak pencampuran air non-panas bumi adalah pendinginan dan dilusi. Air panas memiliki salinitas
lebih tinggi ketimbang air dingin. Pencampuran dua air bisa menyebabkan penjenuhan dan presipitasi
sejumlah mineral. Hal ini merupakan dampak terhadap kelarutan produk (contohnya air panas dengan
kalsium tinggi bercampur dengan air dingin tinggi bikarbonat akan menghasilkan kalsium karbonat),
dari pendinginan air panas (contohnya presipitasi kuarsa), atau dari pemanasan air dingin (contohnya
presipitasi anhidrit dari air laut). Pencampuran dua air jenuh dengan kuarsa pada temperatur berbeda
akan menghasilkan air yang jenuh kuarsa seperti yang ditunjukkan pada Gambar 4. Kelarutan kuarsa
berbanding terbalik dengan temperatur. Pada temperatur < 300°C, kelarutan silika meningkat tajam.
Garis pencampuran (garis putus-putus) untuk larutan jenuh pada 50°C dan 250°C berada di atas garis
kelarutan kuarsa. Supersaturasi berdampak pada kelarutan produk ditunjukkan pada Gambar 5.
Aktivitas kesetimbangan kelarutan, XY, adalah satu. Hal ini selaras dengan masing-masing parameter
dengan nilai aktivitas untuk X dan Y antara lain dari 0.1 ke 10, dan dari 10 ke 0.1. Garis pencampuran
(garis putus-putus) merupakan garis lurus (dengan asumsi tidak ada perubahan koefisien aktivitas)
dan untuk fraksi pencampuran 50-50 aktivitas produk adalah 25 kali dari produk pada kesetimbangan.
Pendinginan akibat pencampuran menyebabkan reaksi pertukaran dengan mineral batuan sehingga,
contohnya rasio Na/K dan Mg/Na, akan terus meningkat.
Meskipun reaksi pertukaran mineral cenderung menyebabkan kesetimbangan ulang selama
pendinginan, reaksi-reaksi ini sangat lambat pada temperatur rendah (laju reaksi terjadi secara
proporsional terhadap temperatur absolut) dan pencampuran dapat menurunkan temperatur dengan
cepat sehingga komposisi kimia dalam kondisi kesetimbangan temperatur tinggi terkunci. Prinsip ini
berlaku pada model pencampuran yang temperatur dan komposisi kimia campurannya digunakan
untuk menghitung temperatur air panas sebelum bercampur. Model pencampuran ini menggunakan
konsentrasi silika dan temperatur air hangat dibahas oleh Fournier. Model pencampuran yang lain
juga berguna untuk mata air panas mendidih (Truesdell & Fournier, 1975; Fournier, 1979). Pada model
ini, konsentrasi klorida dan temperatur bawah permukaan (dari geotermometer) dari beberapa air
campuran digunakan untuk menghitung klorida dan temperatur akhir.
6
ss
Gambar 4 Pencampuran hipotetik(garis putus-putus) dari dua air (pada 50°C dan 250°C) jenuh dengan kuarsa
menghasilkan campuran super saturasi kuarsa
Gambar 5 Pencampuran hipotetik dari dua air yang jenuh dengan garam XY menghasilkan campuran supersaturasi (baca
penjelasannya di teks)
Pencampuran dua air dapat terindikasi pada plot dari unsur konservatif (inert, tidak terpresipitasi atau
bereaksi dengan mineral batuan). Pencampuran antara air panas dan air tanah dangkal (dari air hujan)
ditunjukkan pada Gambar 6. Secara umum, plot ini menunjukkan garis pencampuran yang ditarik dari
titik terakhir. Titik awal tanpa campuran mungkin tidak akan muncul di diagram ini. Titik yang
menyimpang dari garis pencampuran bisa jadi karena error atau karena adanya komponen fluida lain
yang masuk. Konstituen yang mungkin berlaku sebagai unsur konservatif pada rentang temperatur
7
tertentu, justru reaktif di rentang temperatur yang lain. Contohnya, silika bereaksi lambat pada
temperatur rendah dan menunjukkan korelasi pencampuran dengan klorida, dapat terpresipitasi pada
temperatur tinggi (> 200°) dan jatuh di bawah garis. Konsentrasi isotop stabil dalam air biasanya
konservatif: deuteurium, karena hampir tidak ada hidrogen dalam batuan, dan 16O karena pertukaran
oksigen pada batuan biasanya terjadi pada reservoir temperatur tinggi. Temperatur air (atau lebih
tepatnya, entalpi) bersifat konservatif jika tidak terjadi pendidihan (boiling) dan dapat digunakan
dalam diagram pencampuran.
Jika titik akhir pencampuran sangat encer, maka rasio ion dari air panas dengan salinitas tinggi akan
terjaga pada air campurannya. Hal ini berlaku untuk pencampuran dengan air dingin yang relatif pekat
jika komposisi kimia panas buminya sepsifik untuk Li, F atau B rendah. Bahkan Cl dapat tergabung
dalam kelompok ini jika campuran air dingin adalah tipe NaHCO3 dan atau SO4. Diagram dari suatu
rasio vs konstituen tertentu (contohnya Cl) dapat menunjukkan hubungan ini.
Gambar 6 Diagram Boron-Klorida untuk air panas, campuran, dan air dingin dari Platanares, Honduras, menunjukkan
bahwa semua boron dan klorida berasal dari air panas yang sama (setelah Janik et al., 1991)
Metode lain yang dapat menunjukkan pencampuran dalam jumlah konstituen banyak adalah diagram
Schoeller. Diagram ini menggunakan konsentrasi dalam skala logaritmik yang dihubungkan dengan
garis. Skala logaritmik digunakan untuk melihat sebaran konsentrasi. Dampak pencampuran dengan
air yang lebih encer (bisa karena memperoleh atau kehilangan uap) terlihat dari pergeseran garis yang
mewakili konsitituen yang dianalisis tanpa mengubah bentuknya. Kemiringan garis antara konstituen
menunjukkan rasio konsentrasi. Diagram ini menunjukkan dari pencampuran dari beberapa
konstituen. Saat sampelnya sangat banyak, pola individual mungkin hilang, tetapi pola pencampuran
akan tetap terlihat. Contoh dari diagram Schoeller yang digunakan pada Gambar 7 menunjukkan
8
konstituen utama dari air panas, air campuran dan air dingin dari San Ignacio, Honduras (Truesdell et
al., 1987). Air panas memiliki konsentrasi Li, Na, K, F, Cl, SO4 dan B yang lebih tinggi; Air dingin memiliki
konsentrasi Mg dan Ca yang lebih tinggi, namun mengandung HCO3 yang relatif sama dengan air
panas. Air panas mengandung Mg dan Ca rendah yang menunjukkan bahwa semua air panas memiliki
pengaruh air dingin, namun jumlahnya sangat kecil sehingga pergeseran konsentrasi Na, K, F, Cl, SO4
dan B sangat rendah. Diagram ini lebih efektif digunakan ketimbang tabel dalam menunjukkan
pencampuran dan secara umum memberikan informasi mengenai kimia air di daerah tersebut.
Gambar 7 Diagram Schoeller dari air panas dan air dingin di San Ignacio, Honduras (baca penjelasannya di teks)
Pencampuran air panas dan air dingin berdampak pada temperatur yang dihitung menggunakan
geotermometer. Geotermometer silika tergantung pada konsentrasi silika yang terdampak akibat
pencampuran (Gambar 4). Efek pencampuran pada geotermometer silika dibahas oleh Fournier
(dalam terbitan yang sama dengan ini). Geotermometer Na/K kemungkinan tidak berubah jika air nonpanas bumi sangat encer sehingga rasio Na/K tidak berubah. Geotermometer kation lain juga akan
terdampak jika air campuran sangat encer. Efek dari pencampuran terhadap geotermometer Na-K-Ca
dibahas oleh Fournier (1981). Sedangkan dalam geotermometer isotop, karena spesi yang dihitung
berada pada komponen termal sehingga hasilnya tidak akan berubah akibat pencampuran. Jika
penggunaan geotermometer isotop CO2-CH4, spesi CO2 dan CH4 (dalam wujud gas, terlarut dan
terionisasi) dianalisis, maka pencampuran air dengan air dingin yang lebih encer akan mengubah
konsentrasi gas tetapi δ13C tidak berubah. Geotermometer isotop SO4-H2O terdampak karena
komposisi isotop oksigen pada air campuran antara air panas dan air dingin. Jika komposisi air dingin
dan fraksi campuran diketahui maka komposisi δ18O dapat dihitung. Selain itu, temperatur terhitung
dapat diekstrapolasi ke komposisi air panas menggunakan klorida sebagai indikatornya lihat McKenzie
& Truesdell, 1977).
9
Proporsi campuran sulit dihitung secara akurat karena komposisi air panas dan air yang lebih dingin
tidak bisa diidentifikasi dengan baik. Air dingin sejatinya tidak mengandung spesi seperti B atau Li,
cukup mudah menentukan kontribusi dari air panas, sebaliknya agak menyulitkan. Beberapa
komponen konservatif dapat hadir dalam air dingin yang memiliki sedikit konsentrasi air panas.
Tritium adalah satu-satunya komponen yang dapat digunakan dalam mengidentifikasi proporsi ini,
namun karena waktu paruhnya sangat singkat, tritium bisa absen dari semua jenis air tanah. Dalam
beberapa situasi, Mg dan kemungkinan Ca dapat berguna (Gambar 7) tetapi spesi ini biasanya tidak
bersifat konservatif. Analisis 14C atau gas mulia (Mazor, 1976) bisa berguna tetapi terlalu mahal.
Pendidihan dan pelepasan uap
Dalam sistem panas bumi temperatur tinggi, fluida mendidih selama naik ke permukaan. Titik didih
berkorelasi dengan tekanan. Jika tekanan merupakan hidrostatik, maka titik didih per kedalaman
(boiling point depth – BPD) menjadi parameter penting. Kurva BPD dihitung dari perubahan densitas
air di dalam kolom. Kurva ini merupakan pembanding untuk temperatur pengukuran. Penyimpangan
dari temperatur pengukuran, dengan adanya tekanan dan temperatur titik didih per kedalaman, atau
dari kehadiran gas dan/atau zat terlarut (garam). Gas terlarut akan menyebabkan titik didih terjadi
pada kedalaman yang lebih dalam untuk temperatur yang sama jika tanpa gas terlarut. Sedangkan zat
terlarut akan menyebabkan naiknya temperatur titik didih di kedalaman lebih yang sama jika tanpa
zar terlarut. Pembahasan lebih lengkap mengenai BPD dengan berbagai parameter dibahas oleh
Henley et al. (1984).
Pendidihan berdampak beberapa hal: saat fluida mendidih bergerak naik, fluida itu akan mendingin.
Pendinginan cepat bisa terjadi karena gradien tekanan menukik tajam seiring dengan kenaikan di
lubang sumur. Pendidihan meningkatkan konsentrasi zat terlarut dan menurunkan konsentrasi gas
dalam fasa cair. Peningkatan zat terlarut seiring dengan pendinginan menghasilkan deposisi mineral.
Kuarsa (dan mineral silika lainnya) bisa terbentuk sepanjang aliran saat pendidihan terjadi. Pendidihan
fluida mengalir sepanjang sumur pada temperatur > 250°C mendepositkan silika yang dapat menutup
permeabilitas.
Pemisahan gas ke fasa uap akibat pendidihan menyebabkan presipitasi mineral. Pemindahan gas asam
(CO2 & H2S) dari fasa cair menyebabkan konversi HCO3 menjadi CO2 dan CO3 menghasilkan deposisi
kalsit. Skaling kalsit bisa terjadi di temperatur rendah (<200°C) pada reservoir batuan sedimen.
Kelarutan kalsit menurun seiring kenaikan temperatur sehingga pada temperatur tinggi sering terjadi
skaling kalsit. Pemisahan gas ke fasa uap juga meningkatkan potensial oksidasi karena gas H2
berpindah ke fasa uap dan meningkatkan tekanan parsial (fugasitas) dari O2. Ini kemungkinan
mengurangi Fe2+ dalam silikat menjadi oksida Fe3+ (hematit).
Pemisahan gas lanjutan pada pendidihan fluida tidak sama untuk semua gas, tergantung pada
kelarutan masing-masing gas. Gas seperti N2, H2, dan CH4 relatif tidak larut, CO2 lebih larut, dan H2S
dan NH3 sangat larut. Dengan pendidihan lanjutan setidaknya gas-mudah-larut terpisah lebih dulu,
perubahan konsentrasi gas dibedakan oleh kelarutannya mengindikasi adanya pendidihan lanjutan. Di
Wairakei, NZ, rasio CO2/H2S dan CO2/NH3 pada uap fumarola dan sumur mengindikasikan adanya
pergerakan langsung dari bawah permukaan dan sumber dari uap furmarol (Glover, 1970).
Mekanisme pendidihan juga menentukan seberapa banyak perubahan konsentrasi gas. Pendidihan
pada sistem terbuka, yaitu uap dan gas segera dipisahkan begitu terbentuk, memisahkan gas dari
cairan residu lebih cepat daripada sistem tertutup yang masih memungkinkan uap dan gas kontak
dengan cairannya. Tipe pendidihan berdampak pada konsentrasi isotop, yang akan didiskusikan lebih
lanjut, tetapi nyaris tidak menyebabkan perubahan pada konsentrasi zat terlarut. Pendidihan pada
sistem terbuka juga disebut “pemisahan uap berkelanjutan” dan sistem tertutup disebut “pendidihan
10
satu-tahap”. Sistem yang setengah terbuka bisa disebut “pendidihan multi-tahap”. Penurunan rumus
untuk menjelaskan konsentrasi gas dalam fluida mendidih dijabarkan di bawah ini. Fraksi uap yang
terbentuk akibat pendidihan (y) dapat dihitung dari entalpi uap (HV) dan air (HL) pada temperatur
pemisahan dan entalpi terukur sebelum terjadi pendidihan (HDL)
(1)
=
Nilai entalpi dapat dilihat dari Tabel Uap (Steam Table). Untuk perubahan konsentrasi gas dapat
dihitung dengan cara berikut:
=
+ (1 − )
(2)
( − 1)
(3)
Keterangan: y merupakan fraksi massa uap, dan CV, CL dan CO merupakan konsentrasi dalam uap, caira,
dan fluida asal (sebelum mendidih). Kelarutan gas ditunjukkan sebagai koefisien distribusi B = CV/CL,
sehingga rasio gas awal terhadap gas dalam air setelah pendidihan, adalah sebagai berikut:
=1+
Nilai B diberikan pada Tabel 1. Solusi dari persamaan ini untuk satu-tahap dan multi-tahap dijelaskan
oleh Henley et al. (1984). Dari perhitungan ini dapat ditunjukkan bahwa pada 250°C, saat uap lepas
sebanyak 2% pada pendidihan satu-tahap akan menurunkan CO2 hingga 24% dari konsentrasi awal,
namun jika dilakukan dalam tiga tahap maka akan turun hingga 13%.
Tabel 1 Koefisien distribusi gas untuk gas panas bumi (dari Giggenbach, 1980). [t dalam °C)
log
log
log
log
log
log
= 1.4113 − 0.00292
= 4.0547 − 0.00982
= 4.7593 − 0.01092
= 6.0783 − 0.01383
= 6.2283 − 0.01403
= 6.4426 − 0.01416
Perhitungan ini sulit diterapkan karena konsentrasi gas awal biasanya tidak diketahui dan beberapa
gas tidak reaktif. Kesulitan-kesulitan ini tidak ditemukan untuk gas-gas mulia yang berasal dari
atmosfer, yang diterapkan oleh Mazor dan Truesdell (1984) untuk menunjukkan besarnya pendidihan
fluida reservoir di Cerro Prieto.
Isotop hidrogen dan oksigen dalam air dapat digunakan untuk mengindikasi proses pendidihan.
Deuterium dan 18O merupakan unsur konservatif selama pendidihan. (Pergeseran isotop oksigen
terjadi pada reservoir temperatur tinggi, bukan saat naik ke permukaan). Ketergantungan terhadap
temperatur fraksinasi deuteurium dan 18O berbeda pada fasa cair dan uap. Hampir tidak ada fraksinasi
deuteurium antara uap dan cairan dari temperatur titik kritis (374°C) hingga 200°C, dan pada
temperatur lebih rendah fraksinasi meningkat seiring turunnya temperatur. Jika temperatur awal >
200°C, akan memberikan perbedaan signifikan komposisi deuteurium pada air panas permukaan
ketika uap terpisah di permukaan dalam satu tahap (untuk menghasilkan fraksinasi maksimal) atau
secara berkelanjutan (dengan uap yang terproduksi > 200°C berdampak minim pada komposisi akhir.
Pemisahan multi-tahap menghasilkan efek yang sama dengan pemisahan berkelanjutan jika uap awal
terpisah dekat 200°C. Persamaan untuk proses isotopik ini diterapkan pada fluida mendidih di Taman
Nasional Yellowstone (Truesdell et al., 1977). Pendekatan yang serupa (tapi terbatas pada 18O)
11
digunakan untuk mengoreksi pendidihan dalam penerapan geotermometer isotop SO4-H2O (McKenzie
& Truesdell, 1977).
Perhitungan isotop menggunakan kesetimbangan isotop dan persamaan fraksinasi. Kesetimbangan
isotop pada proses pendidihan adalah (δ merupakan isotop)
=
+ (1 − )
(4)
Keterangan: DL, V, dan L mengindikasikan fluida dalam sebelum mendidih, dan uap, dan fasa cair setelah
mendidih. Fraksinasi antara fasa uap dan fasa cair diungkapkan oleh fraktor fraksinasi,
(5)
=
Tetapi karena ln α ≈ α – 1 untuk α ≈ 1 dan 1000 + δV ≈ 1000 untuk δV << 1000, kita dapat menulis
pendekatan yang lebih sederhana seperti berikut:
1000 ln
≈
−
(6)
Dengan membandingkan kesetimbangan isotop dan persamaan fraksinasi (pers. 4 dan 6), maka kita
dapat menulis persamaan untuk komposisi isotop pada air asal sebelum mendidih, fraksi uap dan
faktor fraksinasi sebagai berikut:
=
− . 10 . ln
(7)
Nilai 103 ln αL – V ditunjukkan pada Tabel 2. Persamaan ini menunjukkan contoh pendidihan satu-tahap
mulai dari 260°C hingga ke permukaan menyebabkan cairan sisa terkayakan oleh 18O hingga 1.66
permil. Jika air panas memiliki δ18O = – 6.0, air reservoir mengandung δ18O = – 7.66. Perhitungan
terhadap efek pemisahan uap multi-tahap dilakukan setiap tahapan. Karena fraksinasi lebih kecil pada
temperatur tinggi, fraksinasi bertahap menyebabkan efek yang minim total isotop pada cairan sisa.
Persamaan untuk pemisahan uap berkelanjutan dibahas oleh Truesdell et al. (1977). Solusi numerikal
untuk persamaan ini diberikan sebagai nilai “I” untuk setiap temperatur (Tabel 2). Untuk setiap proses
pendidihan perbedaan nilai ini dari awal hingga temperatur akhir adalah perubahan pada komposisi
isotop fasa cair.
=
−(
−
)
(8)
Keterangan: nilai I adalah untuk temperatur tertentu. Untuk perubahan δ18O dari 260°C hingga 100°C
perbedaan nilai I adalah +1.055 (Tabel 2), sehingga untuk pemisahan uap yang berkelanjutan (sistem
terbuka) perhitungan air dalam menjadi –7.05 dibandingkan dengan –7.66 permil untuk pemisahan
satu tahap (sistem tertutup).
12
Tabel 2 Faktor fraksinasi 18O dan deuteurium, nilai integral I untuk model pemisahan berkelanjutan (dari Truesdell et al.,
1977).
Temperatur
Oksigen-18
Deuteurium
(°C)
10 ln α
I
10 ln α
I
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
200
220
240
260
280
300
320
340
360
374
11.2
9.54
8.17
7.03
6.07
5.24
4.53
3.91
3.37
2.9
2.48
2.1
1.77
1.46
1.19
0.94
0.7
0.45
0.19
0
0
0.349
0.651
0.916
1.15
1.357
1.542
1.707
1.855
1.989
2.11
2.219
2.319
2.41
2.494
2.571
2.644
2.71
2.769
2.805
106
81.5
61.3
46.4
36.1
27.8
21.5
16.3
11.7
7.4
3.5
0.1
-2.2
-3.6
-4
-3.4
-2.2
-1.3
-0.5
0
0
3.021
5.377
7.197
8.64
9.792
10.71
11.443
12.008
12.414
12.654
12.739
12.68
12.509
12.261
11.986
11.735
11.536
11.374
11.279
3
3
Proses pendinginan di Platanares, Honduras
Eksplorasi di Platanares, Honduras menunjukkan pendinginan akibat konduksi, pencampuran, dan
pendidihan (Janik et al., 1991). Eksplorasi di Platanares dilakukan dengan pemetaan geologi dan
evaluasi geokimia fluida mata air panas. Temperatur geotermometer disajikan pada Tabel 3, keluaran
panas sangat tinggi (lebih dari 50 l/det pada luas area 4 km2) dari beberapa patahan dengan
permeabilitas tinggi. Dua sumur dangkal telah dibor hingga kedalaman 650 m dan mengalirkan fluida
bertemperatur 160°C. Temperatur ini berada di bawah perhitungan geotermometer (190°C dan
240°C). Komposisi kimia fluida menunjukkan interpretasi tersebut walaupun belum terbukti melalui
pemboran lebih banyak sumur. Diagram klorida-entalpi dan gambar model ditunjukkan pada Gambar
8 dan 9.
Evolusi fluida mata air panas dan sumur ditunjukkan pada diagram klorida-entalpi (Gambar 8). Pada
diagram ini, fluida mendidih dan hampir-mendidih (simbol bulat) berada sepanjang garis klorida
berkisar dari 32 hingga 37 mg/kg dan dengan entalpi hampir konstan (411 J/g dari pendidihan pada
98°C). Nilai rata-rata 160°C dari komposisi fluida dari lubang sumur ditampilkan oleh simbol salib.
Korelasi ini ke garis fluida mendidih berada pada kondisi klorida terendah. Fluida 160°C terlihat pada
garis pendinginan konduktif yang diperpanjang ke nilai entalpi yang menunjukkan nilai temperatur
225°C diindikasi oleh kesetimbangan temperatur geotermometer yang lambat. Garis pendidihan
ditarik dari nilai klorida tertinggi dari mata air panas berpotongan dengan garis pendinginan konduktif
pada titik yang sebanding dengan 202°C. Sebelumnya fluida Platanares diduga memiliki temperatur
13
hingga 245°C. Fluida panas bumi yang naik ke permukaan kehilangan panas akibat konduksi. Sebagian
fluida yang naik lebih cepat dan mendidih pada 202°C pada kedalaman 173 m. Pendidihan berlanjut
hingga permukaan (98°C) dengan kehilangan uap, perubahan konsentrasi klorida dan zat terlarut lain
di fluida yang tersisa. Fluida inilah yang memberikan nilai klorida tertinggi. Fluida lain yang naik
mengalami pendinginan lebih lanjut oleh konduksi sebelum mendidih, dengan fluida 160°C karena
pendinginan konduktif. Fluida ini mulai mendidih pada kedalaman 57 m dan berlanjut hingga ke
permukaan membentuk mata air panas berklorida rendah. Kebanyakan fluida mulai mendidih pada
temperatur menengah antara 202°C dan 160°C, dan komposisi kimianya seperti yang teramati. Pola
aliran ini ditunjukkan pada Gambar 9.
Meskipun kesetimbangan ulang dari reaksi geotermometer terjadi ketika fluida naik ke permukaan
dan terjadi pendinginan konduktif, reaksi kesetimbangan ulang yang paling lambat dan paling cepat
terjadi pada periode yang sama. Geotermometer isotop sulfat (TSO4) dan NaK (TNK-F)
mengindikasikan temperatur 220-240°C dari hampir semua sampel mata air panas terlepas dari
konsentrasi klorida dan silika yang mengindikasikan temperatur 200°C yang menghasilkan mata air
panas klorida tertinggi. Fluida sumur 160°C yang tidak mendidih memiliki nilai geotermometer TKM
160°C, tetapi nilai TQA lebih tinggi (190°C) menunjukkan bahwa kesetimbangan kuarsa belum
sempurna.
Model geokimia menunjukkan fluida bertemperatur 202°C terbentuk di kedalaman dangkal (173 m)
sepanjang aliran menghasilkan mata air panas berklorida tinggi. Mata air panas ini muncul sepanjang
sesar Quebrada del Agua Caliente sekitar 250 m ke arah Barat Daya. Sumur berada 100-200 m ke arah
Barat Daya. Jika sesar ini memberikan jalur pada mata air panas dangkal, maka arah pemboran bisa
jadi terlalu dangkal atau terlalu jauh ke barat daya sehingga tidak mencapai fluida ini. Bukti geokimia
menunjukkan tidak ada reservoir besar bertemperatur 160°C Quebrada del Agua Caliente (bahkan
untuk geotermometer yang lambat berkesetimbangan ulang) dan harus mencari reservoir yang lebih
panas di kedalaman yang lebih jauh.
Tabel 3 Hasil perhitungan geotermometer (°C) untuk fluida sumur dan mata air panas dari Platanares, Honduras.
Geotermometer
Mata air klorida
tertinggi
189±6
PLTG-1
PLTG-3
194±1
191±2
203±7
185±8
192±26
220±21
214±17
289±6
173±15
208±4
189±4
198±13
226±10
213±8
292±3
158±5
205±4
186±5
208±4
233±4
209±3
295±3
156±4
δ18O-SO4 (T1)
257±9
245±2
243±3
δ18O-SO4 (T2)
TDP
Keterangan:
226±6
229±2
226±2
219±17
224±4
224±6
TQA
TQC
TCH
TNK-WE
TNK-F
T13
TNL
TKM
TQA
TQC
TCH
TNK-WE
: saturasi kuarsa dengan pendinginan adiabatik
: saturasi kuarsa dengan pendinginan konduktif
: saturasi kalsedon (konduktif)
: Na/K, persamaan White-Ellis
14
TNK-F
T13
TNL
TKM
δ18O-SO4
T1
isotop oksigen
T2
TDP
: Na/K, persamaan Fournier
: Na-K-Ca menggunakan β = 1/3
: Na/Li
: K/Mg
: isotop SO4-H2O (McKenzie dan Truesdell, 1977)
: tanpa penguapan; dihitung menggunakan air bawah permukaan berkomposisi
: Pemisahan uap satu tahap (mengindikasikan temperatur yang masuk akal)
: Geotermometer gas empiris (D’Amore dan Panichi, 1980)
Gambar 8 Diagram klorida entalpi untuk fluida sumur, mata air panas, dan mata air dingin di Platanares, Honduras
menunjukkan pendidihan, pencampuran dan pendinginan konduktif (setelah Janik et al., 1991; baca teks untuk
penjelasannya)
15
Pencampuran dan pendidihan fluida pada reservoir yang telah
dieksploitasi
Pada kondisi alamiahnya reservoir panas bumi berkesetimbangan karena aliran resapan dan keluaran
seimbang. Melalui mekanisme ini tekanan reservoir terjaga dengan akuifer sekitarnya. Pada masa
eksploitasi, jumlah fluida yang diproduksi melampaui keluaran alaminya dan tekanan berkurang
sehingga tak lagi setimbang. Volume fluida yang terambil harus digantikan dari fluida sekitarnya, yang
bisa jadi masuknya air dingin dari luar reservoir atau dengan pembentukan uap untuk menjaga
tekanan. Reservoir juga bisa terkompres (dan menyebabkan subsidens), tetapi tidak ada kompensasi
untuk kejadian ini. Dari mana pun air dingin masuk atau pendidihan terjadi tergantung permeabilitas
ke akuifer yang lain. Jika permeabilitas kecil (atau tidak permeabel), fluida mendidih; jika terbuka, air
dingin akan masuk ke reservoir.
Proses yang mendominasi pada kondisi alamiah, juga tetap mendominasi selama eksploitasi. Salah
satu contohnya adalah Cerro Prieto, Mexico. Ada tiga zona reservoir yang dieksploitasi besar-besaran:
reservoir dangkal (α) dan reservoir utara di bagian Barat Laut dan reservoir selatan di bagian Tenggara
dari reservoir yang lebih dalam (β) terpisahkan oleh sesar H. Sedangkan reservoir γ sangat kecil
produksinya. Pada kondisi alami, fluida panas bumi masuk ke reservoir β dan γ dari sesar H. Sebagian
kecil masuk melalui reservoir β di bagian Tenggara dan menyebar secara lateral ke S melalui akuifer
yang lebih dingin. Aliran besar masuk melalui reservoir β di Barat Laut dengan sebagian besar aliran
menuju ke arah Barat bercampur dan menyebar ke air dingin. Koneksi antara reservoir α dan β adalah
zona pendidihan. Di reservoir α, fluida mengalir ke Barat kemudian naik melalui sesar L, sebagiannya
menyuplai mata air panas, sebagian lagi bercampur dengan air dingin. Aliran ini ditunjukkan pada
Gambar 10 dari Lippmann et al. (1991).
16
Gambar 9 Skema Platanares, Honduras, area keterdapatan mata air panas terlihat sesar, litologi dan aliran air panas
(setelah Janik et al., 1991; baca teks untuk penjelasan).
Selama eksploitasi, aliran ke akuifer yang lebih dingin berbalik arah. Air dingin dari Selatan memasuki
reservoir β (Tenggara) dan air dingin masuk ke Barat sebagai bagian dari reservoir β (Barat Laut). Air
dingin mengalir melalui sesar L ke reservoir α. Sejumlah air dingin yang masuk bisa terlihat dari pola
18
O rendah di reservoir pada tahun 1987, sekitar 14 tahun setelah eksploitasi (Gambar 11). Bagian Utra
sebagai bagian reservoir β Barat Laut terisolasi menunjukkan adanya pendidihan dan tidak ada air
dingin yang masuk.
17
Gambar 10 Diagram aliran di reservoir Cerro Prieto, Mexico (dari Lippmann et al., 1991)
Mekanisme pendidihan di reservoir Cerro Prieto mengikuti dua cara berbeda (Truesdell et al., 1989).
Di Bagian utara dari reservoir β Barat Laut fluida panas karena pendidihan menyebar. Sumur-sumur
awal menembus reservoir air panas tanpa adanya kelebihan-uap (excess steam). Setelah beberapa
tahun berproduksi, produksi fluida bertambah akibat pendidihan yang menghasilkan kelebihan-uap.
Sumur yang lebih baru menunjukkan adanya kelebihan-uap. Proses pendidihan utama ini (berbeda
dengan pendidihan yang terjadi secara lokal) terjadi akibat adanya dari penurunan tekanan terhadap
luas area dengan permeabilitas yang relatif tinggi di dalam reservoir dan permeabilitas rendah di
tepian.
18
Gambar 11 Peta komposisi keluaran total isotop oksigen di fluida sumur Cerro Prieto, Mexico tahun 1987 (dari Truesdell et
al., 1989)
Mekanisme pendidihan lokal terjadi di reservoir α yang memiliki saluran terbuka ke reservoir. Koneksi
ke akuifer dingin dapat menjaga tekanan di tepi reservoir sehingga penarikan tekanan yang besar dan
pendidihan dapat dilokalisasi di dekat sumur. Tipe ini transien dan jumlahnya terbatas. Proses
pendidihan yang terjadi secara lokal dapat menjaga tekanan stabil karena posisinya berada di dekat
sumur sehingga penarikan tekanan tidak terlalu berpengaruh. Jumlah kelebihan-uap terbatas pada
pembentukannya akibat peralihan panas dari batuan di dalam zona pendidihan, dan menurun lalu
hilang saat temperatur dan tekanan stabil. Pendidihan lokal bisa menyebabkan pemampatan sumur
akibat deposisi mineral terbatas di dekat sumur. Dengan pendidihan besar-besaran, presipitasi
mineral menyebar.
19
Kesimpulan
Perpindahan fluida panas secara konvektif membuat reservoir bertahan. Fluida ini mendingin saat naik
oleh karena pencampuran dengan air dingin, pendidihan dan pelepasan uap, juga akibat konduksi
batuan yang lebih dingin. Proses-proses ini mengubah komposisi kimia dan isotopnya, dan juga
dampaknya perlu dipertimbangkan dalam menginterpretasi geotermometer, serta dalam
merekonstruksi komposisi fluida asal dari sampel permukaan dan sampel dekat permukaan. Selama
eksploitasi terjadi, penurunan tekanan reservoir menyebabkan fluida mendidih dan masuknya air
dingin. Geokimia fluida memberikan indikasi lokasi dan mekanisme proses yang terjadi untuk
membantu pengelolaan reservoir.
Ucapan Terima Kasih
Penulis berterima kasih pada Franco D’Amore (Istituto Internazionale per le Ricerche Geotermiche,
Pisa, Italia) dan Antonio Naviglio (UNITAR/UNDP Centre on Small Energy Resource, Roma, Italia) untuk
menyarankan subyek pembahasan dan Marcelo Lippmann (Lawrence Berkeley Laboratory), Robert
Fournier dan Cathy Janik (US Geological Survey), dan Claudia Stone (Papadopulos Assoc.) untuk
ulasannya.
Referensi
Bixley, P. F. (1990) Cold water invasion in producing liquid-dominated geothermal reservoirs. Proc.
15th Workshop on Geothermal Reservoir Engineering, Stanford, California, January 1990, p. 187191.
Craig, H. (1963) The isotopic geochemistry of water and carbon in geothermal areas. In: Tongiorgi, E.,
ed., Nuclear Geology on Geothermal Areas, Spoleto, 1963, Consiglio Nazionale delle Ricerche,
Laboratorio di Geologia Nucleare, Pisa, p. 17-53.
D’Amore, F. And Panichi, C. (1980) Evolution of deep temperatures of hydrothermal systems by a new
gas geothermometer. Geochim. Cosmochim. Acta, 44, 549-556.
Elder, J. (1981) Geothermal Systems. Academic Press, London, 508 pp.
Ellis, A. J. (1966) Volcanic hydrothermal areas and the interpretation of thermal water compositions.
Bull. Volcanol., 29, 575-584.
Ellis, A. J. And Mahon, W. A. J. (1964) Natural Hydrothermal systems and experimental hot-water/rock
interactions. Geochim.Cosmochim. Acta, 28, 1323-1357.
Ellis, A. J. And Wilson, S.H. (1955) The heat from the Wairakei-Taupo thermal region calculated from
chloride output. New Zealand J. Sci. Tech., 36B, 622-631.
Fournier, R. O. (1979) Geochemical and hydrological considerations and the use of enthalpy-chloride
diagrams in the prediction of underground conditions in hot-spring system. J. Volcanol.
Geotherm. Res., 5, 1-16.
Fournier, R. O. (1981) Application of water geochemistry to geothermal exploration and reservoir
engineering. In: Rybach L. And Muffler L. J. P. (eds.) Geothermal Sytems: Principles and Case
Histories, Wiley, New York, pp. 109-143.
Fournier, R. O. (1991) Water geothermometers applied to geothermal Energy. (This Volume)
20
Giggenbach, W. F. (1980) Geothermal gas equilibria. Geochim. Cosmochim. Acta, 44, 2021-2032.
Giggenbach, W. F. (1981) Geothermal gas equilibria. Geochim. Cosmochim. Acta, 45, 393-410.
Glover, R. B. (1970) Interpretation of gas composition from Wairakei field over 10 years. Geothermics,
Spec. Iss. 2, v. 2, pt. 2. 1355-1366.
Hedenquist, J. W. (1986) Geothermal systems in the Taupo volcanic zone: their characteristics and
relation to volcanism and mineralization. Royal Soc. New Zealand Bull., 23, 134-168.
Henley, R. W., Truesdell, A. H. and Barton Jr., P. B., witth contribution by Whitney J. A. (1984) Fluidmineral equilibria in hydrothermal systems. In: Robertson, J. M. (ed.), Review in Economic
Geology, v. L: Society of Economic Geologists, 267 pp.
Janik, C. J., Truesdell, A. H., Goff, F., Shevenell, L., Stallard, M. L., Trujillo, P. E. And Counce, D. (1991)
A geochemical model of the Platanares geothermal systems, Honduras. J. Volcanol. Geotherm.
Res., 45, 125-146.
Lippmann, M. J., Truesdell, A. H., Halfman-Dooley, S. E. And Manon, A. (1991) A review of the
hyrologic-geochemical model for Cerro Prieto. Geothermics, 20, 39-52.
Mahood, G. A., Truesdell, A. H. and Templos, L. A. (1983) A reconnaisance geochemical study of the
La Primavera geothermal area, Jalisco, Mexico. J. Volcanol. Geoth. Res., 16, 247-261.
Mazor, E. (1976) Atmosferic and radiogenic noble gases in thermal waters: Their potential application
to prospecting and steam production studies. Proc. 2nd U. N. Symp. on Geothermal Energy, San
Francisco, 1975, pp. 793-802.
Mazor, E. And Truesdell, A. H. (1984) Fluid dynamics of the Cerro Prieto geothermal fields as traced by
noble gases. Geothermics, 13, 91-102.
McKenzie, W. F. And Truesdell, A. H. (1977) Geothermal reservoir temperatures estimated from the
oxygen isotope compositions of dissolved sulfate and water from hot springs and shallow drill
holes. Geothermics, 5, 51-61.
Truesdell, A. H. and Fournier, R. O. (1975) Calculation of deep reservoir temperatures from chemistry
of boiling hot springs of mixed origin (abs.) 2nd United Nation Symp. on the Development and
Use of Geothermal Resources, San Francisco, May 20-29, 1975, Abstract Volume, III-25.
Truesdell, A. H., Nathanson, M. And Rye, R. O. (1977) The effects of subsurface boiling and dilution on
the isotopic compositios of Yellowstone thermal waters. J. Geophys. Res., 82, 3694-3704.
Truesdell, A. H., Janik, C. J., Goff, P. E., Shevenell, L. A., Trujillo, P. E. Jr., Counce, D. A., Kennedy, B. M.
and Paredes, J. R. (1987) The origin of thermal waters of Honduras and puzzling variations in
spring chemistries. Proc. 9th New Zealand Geothermal Workshop, 79-88.
Truesdell, A. H., Terrazas, B., Hernandes, L., Janik, C. J., Quijano, L. And Rovar, R. (1989) The response
of the Cerro Prieto reservoir to exploitation as indicated by fluid geochemistry: Proc. Symp. in
the Field of Geothermal Energy, San Diego, April 1989: US Dept. Energy Rept. Conf. 8904129,
123-132.
21