PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
(STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH
KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI
SULAWESI TENGGARA)
TESIS
OLEH : YAHYANTO
Nomor Mhs
: 10912566
BKU
: Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
Program Studi : Magister Ilmu Hukum
PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
2011
HALAMAN PERSETUJUAN
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
(STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN
OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN
2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI
KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA)
Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan ke Dewan
Penguji dalam Ujian Tesis Pada Hari/Tanggal: Sabtu, 14 Januari 2012
Nama
NIM
: YAHYANTO
: 10912566
Bidang Kajian Khusus
: Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
Program Studi
: Magister Ilmu Hukum
DISETUJUI
PEMBIMBING
Dr. AROMA ELMINA MARTHA, S.H., M.H
MENGETAHUI
KETUA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Dr. Hj. NI’MATUL HUDA, S.H., M. Hum.
iii
TESIS
PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
(STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN
OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN
2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI
KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA)
Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran
Pada Hari/Tanggal: Sabtu, 14 Januari 2012 dan dinyatakan L U L U S
Nama
NIM
: YAHYANTO
: 10912566
Bidang Kajian Khusus
: Hukum dan Sistem Peradilan Pidana
Program Studi
: Magister Ilmu Hukum
Tim Penguji
Tanda Tangan
1. Ketua
Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H.
.................................................
2. Anggota
Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H.
..................................................
3. Anggota
Zairin Harahap, S.H., M.Si
...................................................
MENGETAHUI
KETUA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
Dr. Hj. NI’MATUL HUDA, S.H., M. Hum.
iii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Tesis dengan Judul:
PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN
(STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH
KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG
PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI
SULAWESI TENGGARA)
Benar-benar karya dari penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang telah
Diberikan keterangan pengutipan sebagaimana etika akademis yang berlaku.
Jika terbukti bahwa karya ini bukan karya penulis sendiri, maka penulis siap
Untuk menerima sanksi sebagaimana yang telah ditentukan oleh
Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta,Sabtu, 14 Januari 2012
YAHYANTO
MOTTO
“ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib seorang manusia kecuali
Manusia itu sendiri mau berusaha untuk merubahnya” (Q.S Ar- Ra’du :11).
PERSEMBAHAN
Penelitian ini selain persembahan keilmuan, secara khusus ingin peneliti
persembahkan kepada:
1. Kedua orang tuaku, yaitu Bapak Teto Mololo dan Ibu Piipa, sebagai tanda
bakti.
2. Kepada Kakakku Djabir,S.Pi , Nurliati, Djurana, Ismail dan Adik Iqlimawati.
3. Istriku tercinta Munarti,S.P dan anakku tersayang Muhammad Rifqiy
Ramadhan.
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt, yang telah menciptakan alam semesta dan
segala kesempurnaan isinya. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan
pada Nabi Muhammad Saw yang telah membimbing ummat manusia dari alam
kegelapan menuju alam yang penuh dengan hidayat dan inayyahnya.
Dengan
mengucapkan
Bismillahirahmanirrahim
penulisan
dapat
menyelesaikan tugas tesis yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA
LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN
LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG
NO
32
TAHUN
2009
TENTANG
PERLINDUNGAN
DAN
PENGELOLAAN
LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA)”
ini
merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat kesarjanaan Strata 2 (S2)
pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Hukum Universitas
Islam Indonesia.
Dalam penyusunan thesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan atau
bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan
terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Dr. Aroma
Elmina Martha, S.H., M.H selaku Pembimbing yang dengan penuh kesabaran
yang luar biasa telah membimbing penulis dan memberikan koreksi-koreksi dan
arahan-arahan yang sangat berguna sehingga akhirnya tesis ini dapat
terselesaikan. Semoga Allah SWT membalas segala amal ibadah dan kebaikan
beliau dengan pahala yang berlimpah.
Pada kesempatan yang baik ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Sebagai Rektor Universitas
Islam Indonesia Yogyakarta
vii
2. Ibu Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.H Sebagai Ketua Program Pascasarjana
Universitas Islam Indonesia Yogyakarta
3. Bapak Dr. Arief Setiawan, S.H., M.H selaku Penguji yang telah
memberikan masukan perbaikan thesis yang sangat berharga
4. Bapak Hazairin Harahap, S.H., M.Si selaku Penguji yang telah
memberikan masukan perbaikan tesis yang sangat berharga
5. Ayahhanda,
Ibunda
beserta
kakak-kakakku
yang
tiada
hentinya
memberikan semangat, mengorbankan segala kemampuan dan kasih
sayangnya dalam menuntut ilmu.
6. Bapak Dr. Ashari, S.STP., M.Si Selaku Rektor Universitas 19 Nopember
yang telah memberikan kesempatan untuk Melanjutkan studi.
7. Teman-teman BKU Hukum dan Sistem Peradilan Pidana serta rekan-rekan
Pascasarjana Ilmu Hukum UII
8. Kemudian sebagai akhir penghaturan terimahkasih, keberhasilan studi dan
penyelesaian thesis ini, secara khusus ingin penulis persembahkan kepada
istriku tercinta Munarti,S.P dan anakku tersayang Muhammad Rifqiy
Ramadhan, saya bersyukur atas kesetian dan dukungan yang begitu besar
yang akan saya balas dengan menjadi suami dan ayah yang kalian syukuri
dan banggakan.
Penyusun sangat menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan sebagai
sebuah karya ilmiah, oleh karena itu, penyusun mengharap kritik dan saran yang
konstruktif dari pembaca yang budiman untuk perbaikan di masa mendatang.
Akhirnya terhadap semua pihak yang telah membantu selama penulis kuliah di
S-2 Pascasarjana UII sampai dengan selesai, penulis menghanturkan banyak
terima kasih.
Yogyakarta, 31 Januari 2012
PENULIS
YAHYANTO
vii
DAFTAR ISI
Halaman Judul........................................................................................................i
Halaman Persetujuan............................................................................................ii
Halaman Pengesahan...........................................................................................iii
Halaman Pernyataan Orisinalitas.......................................................................iv
Halaman Motto dan Persembahan.......................................................................v
Kata Pengantar.....................................................................................................vi
Daftar Isi...............................................................................................................vii
Abstrak................................................................................................................viii
BAB I
PENDAHULUAN.................................................................................. 1
A.
Latar Belakang.................................................................................1
B.
Rumusan Masalah............................................................................7
C.
Tujuan Penelitian.............................................................................8
D.
Kerangka Konseptual.......................................................................8
E.
Tinjauan Pustaka............................................................................10
F.
Metode Penelitian...........................................................................25
BAB II KONSEP PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP.......................................................................29
A.
Konsep Penegakan Hukum............................................................29
1. Definisi Penegakan Hukum...................................................... 29
2. Konsep Penegakan Hukum Joseph Goldstein...........................60
3. Politik Kriminal Merupakan Bagian dari Penegakan Hukum...62
B.
Pengertian Hukum Lingkungan.....................................................72
C.
Perkembangan Hukum Lingkungan..............................................76
D.
Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia dan beberapa
Negara Lain....................................................................................77
BAB III RUANG LINGKUP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DAN
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM.................................101
A.
Pengertian Korporasi...................................................................101
B.
Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum
Pidana...........................................................................................106
C.
Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi..............................113
D.
Pengaturan Kejahatan Korporasi dalam Perundang-undangan
Lingkungan Hidup........................................................................116
1. Undang-Undang No.4 Tahun 1982 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup..........116
2. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup............................................................120
3. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup................................126
E.
Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang
N0. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup........................................................................144
F.
Perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup........................................................................145
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................151
A.
Penegakan Hukum Terhadap Korporasi oleh Kepolisian dan
Kejaksaan Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan
Menggunakan Analisis Joseph Golstein.......................................151
B.
Kendala-Kendala Hukum yang Timbul dalam Praktek Pidana yang
Dihadapi
oleh Kepolisian dan Kejaksaan apabila Korporasi
Melakukan Pencemaran Lingkungan Hidup setelah Berlakunya
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup...................................................158
1. Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih
terbatas.....................................................................................159
2. Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi Prioritas..............159
3. Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak
Pidana Lingkungan..................................................................160
4. Kendala Profesionalisme penegak hukum...............................163
5. Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan
Hukum.....................................................................................164
6. Ketergantungan
Penerapan
Penegakan
Hukum
Pidana
Lingkungan Terhadap Hukum Administratif..........................164
7. Hukum Pidana Masih Bersifat Ultimum Remedium dalam
Penegakan Hukum Lingkungan...............................................165
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................171
A.
Kesimpulan..................................................................................171
B.
Saran............................................................................................172
DAFTAR PUSTAKA
ABSTRAK
Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan, merupakan cerminan dari
kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan maka perlu adanya
penegakan hukum lingkungan hidup. Adapun rumusan masalah dalam penelitian
ini adalah: 1). Bagaimanakah penegakan hukum pidana lingkungan oleh
kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang
No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?; 2). Kendala-kendala hukum apa yang
timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan
apabila korporasi melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?. Penelitian ini
adalah penelitian yuridis.Temuan dalam penelitian ini menunjukan tahap
penegakan hukum, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goldstein, masih
lemahnya pelaksanaan penegakan hukum. Penegak hukum full enforcement
khususnya di tahap penyidik kepolisian masih lemah pelaksanaannya. Penegakan
hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan belum secara maksimal,
artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum untuk melanjutkan tindak pidana
ke proses lebih lanjut. Kondisi seperti ini dijadikan peluang bagi korporasi untuk
berbuat semaunya dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena
itu, kepolisian dan kejaksaan harus melaksanakan penegakan hukum secara tegas
dan konsisten. Kendala-kendala utama yang terjadi dalam praktek penegakan
hukum yang dihadapi oleh kepolisian dan kejaksaan apabila korporasi melakukan
tindak pidana lingkungan hidup, paling tidak ada lima kendala yang
mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan
diantaranya: a).Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas;
b).Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi
antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d).Kendala
Profesionalisme penegak hukum; e).Kendala Sarana atau Fasilitas yang
Mendukung Penegakan hukum; f).Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum
Pidana Lingkungan Terhadap Hukum Administratif; g). Hukum Pidana masih
Bersifat Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum Lingkungan. Kendalakendala yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut, dikategorikan sebagai
penegakan hukum tipe full enforcement, yaitu mengharapkan para penegak hukum
melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap
sebagai suatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam
penegakan hukum pidana. Penegakan hukum tipe actual enforcement penegakan
hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih
dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum. Selama Undang-Undang
No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
diberlakukan yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara
keseluruhan. Ternyata satu kasus pun tindak pidana lingkungan hidup yang
dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya
Undang -Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani.
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Di era globalisasi permasalahan lingkungan hidup bukan lagi menjadi
permasalahan individu atau satu-dua negara saja, namun menjadi tanggungjawab
bersama seluruh umat manusia di dunia. Kerusakan lingkungan akibat ulah tangan
manusia dapat dikatakan hampir mencapai titik kulminasi tinggi.1 Sederet bencana
lingkungan yang terjadi di hampir seluruh titik episentrum dunia, tidak terkecuali
di Indonesia.
Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia, kerap kali diharapkan untuk
menjadi
pelopor
dan
motor
penggerak
terciptanya
kelestarian
dan
keberlangsungan lingkungan hidup. Untuk itu mutlak diperlukan adanya
peningkatan
budaya
sadar
berlingkungan
di
setiap
sendi
kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga seluruh tindakan dan
kebijakan yang ditempuh akan senantiasa memperhatikan segala aspek yang
terkait dengan lingkungan hidup. UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) mengatakan:
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan”. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak
asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945.
1
Jimly Asshidiqie.2009. Gree Constitution. Rajawali Pers. Jakarta: hal. ix
2
Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini dapat
dilihat dengan
meningkatnya perekonomian bangsa, banyaknya investasi asing
khususnya di bidang Sumber Daya Alam (SDA) yang menanamkan sahamnya di
Indonesia. Memang harus diakui, dengan tumbuh-suburnya korporasi di Indonesia
tentu akan membantu dalam mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan
penerimaan pajak. Akan tetapi dibalik itu, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan
yang dilakukan juga cukup meningkat, yakni laju kerusakan hutan (deforestasi) di
Indonesia berada pada tingkat paling tinggi didunia, pencemaran lingkungan di
teluk buyat, pencemaran minyak mentah dari kapal MT Lucky Lady di perairan
Cilacap yang mengakibatkan 222.305 orang nelayan tradisional tidak melaut
selama 180 hari, pencemaran dan kerusakan alam akibat eksplorasi PT. Lapindo
Brantas di Sidoarjo.2
Potensi persoalan lingkungan hidup
yang dapat berpengaruh besar
terhadap kelestarian alam dan kesehatan manusia menimbulkan kesadaran
perlunya pengaturan masalah lingkungan hidup dengan perangkat hukum.3
Pengaturan masalah Lingkungan Hidup di Indonesia
dimulai dengan adanya
Undang - undang Lingkungan Hidup yaitu No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara th. 1982 No.
12 tambahan Lembaran
Negara No. 3215) yang dalam perkembangannya
disempurnakan dan diganti dengan Undang - Undang No. 23 tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan
2
Muhammad Topan. 2009. Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup. Nusa Media:
Bandung. hal. 1
3
Buyung Dwikora. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-undang No 23 Tahun
2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis FH-UNDIP. Semarang. hal. 14
3
Hidup perubahan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi dengan adanya
undang-undang tersebut tidak membuat persoalan lingkungan di Indonesia selesai,
kita melihat beberapa contoh, pencemaran lingkungan di teluk Buyat, pencemaran
dan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo
masih terjadi.
Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang
No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
tidak lain karena timbulnya kerugian terhadap aspek lingkungan hidup. Pihak
yang mengalami kerugian dari suatu tindak pidana disebut dengan korban tindak
pidana yang membutuhkan perlindungan atas kerugian yang dideritanya.4 Ada
beberapa pasal dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang membatasi korporasi untuk dapat
dipertanggungjawabkan yaitu Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan, setiap orang
dilarang:
1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup
2. Memasukkan B35 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke
dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sedangkan kategori penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup
dapat dilihat pada Pasal 20 ayat (1) menyatakan:
4
5
Muhammad Topan. op.cit. hal.114
Lihat Pasal 1 ayat (21) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
4
“Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu
lingkungan hidup”
Pasal 20 ayat (2) menyatakan: Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Baku mutu air;
Baku mutu air limbah;
Baku mutu air laut;
Baku mutu udara ambien;
Baku mutu emisi;
Baku mutu gangguan
Baku mutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
Persoalan yang sering dialami oleh aktivis lingkungan dalam menuntut
pertanggungjawaban korporasi dalam bidang lingkungan hidup adalah terlalu
kuatnya korporasi untuk dapat dituntut di muka pengadilan dengan kekuasaan
yang begitu besar dan berdampak pada tidak dapatnya karyawan perusahaan
tersebut bekerja, serta kurangnya pemahaman para penegak hukum terhadap
kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup. Hal ini penulis rasakan ketika
seorang penyidik 6 mendapatkan masalah ketika sebuah perusahaan pertambangan
melakukan pencemaran lingkungan hidup, penyidik kebingungan menetapkan
siapa yang dapat dipertanggungjawabkan apabila korporasi melakukan tindak
pidana apa orang pribadi atau korporasi dan bagaimana barang bukti berupa mesin
tersebut dihadirkan diruangan persidangan? Sempat terjadi diskusi antara penulis
dengan penyidik yang panjang untuk menentukan hal tersebut, dan penyidik pada
waktu itu sudah melakukan tindakan memberikan police line korporasi yang
diduga melakukan pencemaran lindungan untuk ditutup melakukan aktivitas
6
Pra Survei. Hasil wawancara dengan penyidik Wayan Sukawirawan. tanggal 10 Juni 2010. jam.
13.10 Wita
5
korporasi tersebut. Apabila hal tersebut dilakukan untuk menutup usaha
pertambangan maka akan berakibat kerugian yang sangat besar bagi negara.
Lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah
kompleks, ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait
dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam
yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.7
Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun
eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya
dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan.
“Kasus pencemaran lingkungan di teluk buyat yang dilakukan oleh PT.
Newmont Minahasa Raya yang selama 20 Tahun melakukan kegiatan eksplorasi
pertambangan emas, membuang limbah (lumpur sisa penghancuran batu
tambang), akibatnya masyarakat di sekitar perusahaan menjadi korba, yaitu
berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh yang sebelumnya tidak pernah
diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu diidentik dengan penyakit
Minamata.”8
Pada tahun 2000 dunia pertambangan kita dikejutkan dengan longsornya
overburden penambang PT. Freeport Indonesia di danau Wanagon, Irian Jaya
(Papua) yang menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden, dan air) ke
7
8
Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id, 11
Januari 2011
Minamata sebuah kota kecil dipantai barat pulau Kyushu (jepang selatan), yang pada tahun
19456 kota itu mendadak terkenal keseluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal
akibat makan ikan yang tercemar limbah merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. www.
Kompas, 21 Juli 2004
6
sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah danau.9 Tragedi
lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan dan
kerusakan lingkungan di Sidoarjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei
2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi
juga dunia usaha. Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada
masyarakat yang menjadi korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas,
yaitu sehubungan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo.
Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan
cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di
sekitar. Kasus-kasus pencemaran lingkungan diatas adalah contoh betapa sulitnya
penerapan hukum ketika berhadapan dengan korporasi. Kasus-kasus di bidang
lingkungan hidup yang terjadi tidak boleh dianggap sepele karena dampaknya
yang sangat luas dan bisa berdampak sistemik dan membutuhkan waktu yang
sangat lama untuk memulihkannya. Kerusakan lingkungan tidak bisa dipulihkan
seperti keadaan semula, Kerusakan yang tidak dapat dipulihkan tersebut, bukan
saja menimbulkan situasi alam yang disharmoni, tetapi menuntut pihak korporasi
untuk mengambil tanggungjawab akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan
alam.10 Pencemaran lingkungan diatas seolah-olah menjadi api dalam sekam,
yang setiap saat dapat memicu konflik antara masyarakat sekitar dan NGO
pemerhati lingkungan, pemerintah serta pelaku usaha.
9
Suharto. 2010. Hukum dan Lumpur Lapindo: Tanggungjawab Pemerintah dan PT.Lapindo
Brantas. Ringkasan Disertasi FH-UII. Yogyakarta. hal. 3
10
Buyung Kritora.loc.cit
7
Dalam perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup terdapat
kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai
dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian
unsur hubungan kausal menjadi kendala tersendiri. Pencemaran lingkungan hidup
sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber
pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi.11 Ciri khas aparat penegak hukum
Indonesia ketika berhadapan dengan korporasi yang melakukan kejahatan. Di
Indonesia, aparat penegak hukum cenderung untuk tidak mau repot dan bersusah
payah mengelaborasi suatu permasalahan hukum menyangkut korporasi. Segala
sesuatu dilihat dari kacamata kepasrahan , kalau sudah terjadi bencana, itu terjadi
karena takdir dari yang Maha Kuasa. Sehingga tak perlu repot-repot untuk
berpikir bagaimana cara untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi.12
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka masalah yang
dibahas dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimanakah penegakan hukum pidana lingkungan oleh kepolisian dan
kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di
Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?
11
Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.
Airlangga University Press. Surabaya. hal. 193
12
Lucky Raspati.2007. Jerat tidak pas lumpur panas. Rispati. blogspot.com. Diakses tanggal 6
Maret 2011
8
2.
Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang
dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi melakukan
pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya Undang-Undang No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?
C. Tujuan Penelitian
1.
Mengetahui bagaimana penegakan hukum pidana lingkungan oleh
kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara
2.
Mengetahui
kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek
pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi
melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara
D. Kerangka Konseptual
1.
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, bahasa
Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa
Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum
selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan
hukum hanya bersangkut dengan pidana saja, Pikiran seperti ini
diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegakan hukum itu polisi,
9
jaksa, dan hakim. Tidak disebut penjabat administrasi yang sebenarnya
juga menegakkan hukum.13
2.
Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan,
baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.14
3.
Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya,
keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang
mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan
kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.15
4.
Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis
dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup
dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup
yang
meliputi
perencanaan,
pemanfaatan,
pengendalian,
pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.16
5.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan
hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampui baku mutu lingkungan
hidup yang telah ditetapkan.17
Jadi yang dimaksud dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah
penegakan hukum dalam arti Law Enforcement.
13
Andi Hamzah.2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.Jakarta. hal.48
Lihat Pasal 1ayat (32) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup
15
Lihat Pasal 1ayat ( 1 )Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
16
Lihat Pasal 1 ayat ( 2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
17
Lihat Pasal 1 ayat ( 14) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.
14
dan
dan
dan
dan
10
E. Tinjauan Pustaka
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, Bahasa
Belanda rechtshandhaving.18 Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia
membawa kita kepada pemikiran penegakan hukum selalu dengan force sehingga
ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum hanya bersangkut dengan hukum
pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut
penegakan hukum itu itu polisi, jaksa, dan hakim. Tidak disebut pejabat
administrasi yang sebenarnya juga menegakkan hukum.19 Handhaving menurut
Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah pengawasan dan penerapan (atau
dengan
ancaman)
penggunaan
istrumen
administrasif,
kepidanaan
atau
keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku
umum dan individu.
Di samping atau sebelum diadakannya penegakan hukum, sering pula
diadakan negosiasi, persuasi dan supervisi agar peraturan hukum atau syaratsyarat izin ditaati. Ini biasa disebut compliance (pemenuhan). Sistem hukum
Anglo saxon Amerika dan Kanada membedakan pengertian law enforcement yang
berarti penegakan hukum secara represif, sedangkan compliance dalam arti
preventif terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Adapun sistem eropa
continental Belanda kedua fase tersebut termasuk handhaving. Sebelum dilakukan
dilakukan tindakan represif maka dilakukan tindakan preventif yang meliputi
penerangan dan nasihat. Misalnya mengenai izin, jika lewat waktu dapat diberikan
18
19
Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 48
Ibid
11
nasihat agar membuat permohonan perpanjangan. Dengan demikian, istilah
handhaving meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dan
penerapan sanksi administrasi dan pidana merupakan bagian penutup penegakan
hukum (handhaving).20
Penegakan hukum yang artinya luas (meliputi segi preventif dan
represif), cocok dengan kondisi Indonesia, yang unsur pemerintah turut aktif
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum lingkungan sangat rumit,
banyak seginya. Pelanggarannya pun beraneka ragam, mulai dari yang paling
ringan seperti pembuangan sampah dapur sampai kepada yang paling berbahaya
seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun serta radiasi atom. Oleh
karena itu, penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan
hukum sampai pada penerapan sanksi.21 Penegakan hukum lingkungan
sebagaimana disebutkan sebelumnya sangat rumit, karena hukum lingkungan
menempati titik silang pelbagai bidang hukum klasik. Ia dapat ditegakkan dengan
salah satu innstrumen, yaitu instrumen administratif, perdata atau hukum pidana
bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus.22
Pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana adalah merupakan
salah satu upaya dalam menanggulangi kriminalitas termasuk juga pelaksanaan
undang-undang pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peraturan peraturan
perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana yang terdiri dari
lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga
pemasyarakatan.
20
Andi Hamzah. op.cit. hal.49
Ibid
22
Ibid
21
12
Secara sosiologis dan filosofis dalam konteks penegakan hukum ini perlu
dipertanyakan “apa yang akan ditegakkan”. Satjipto Raharjo berpandangan
penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan
hukum menjadi kenyataan. Yang dimaksud sebagai keinginan-keinginan hukum
di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang
dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.23 Penegakan hukum selalu
akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan
tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia
tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang
tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu.
Di lihat dari fase penegakan hukum, ada beberapa faktor yang
mempengaruhinya yaitu:
1.
Faktor hukumnya sendiri, yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada
undang-undangnya saja.
2.
Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk
maupun menerapkan hukum.
3.
Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4.
Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut
berlaku atau diterapkan.
5.
Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24
23
Satjipto Raharjo.1983.Masalah Penegakan hukum (suatu tinjauan sosiologis) . Sinar
Baru.Bandung. hal.24
24
Soerjono Soekanto.1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers.
Jakarta.hal. 8
13
Selanjutnya menurut I.S. Susanto, bahwa paling tidak ada empat dimensi
yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum, yaitu disamping undangundangnya, maka penegakan hukum secara konkrit melibatkan pelanggar hukum,
korban (masyarakat) dan aparat penegak hukum, di dalam suatu hubungan bersifat
saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah struktur, politik, sosial,
ekonomi dan budaya pada suatu situasi tertentu.25
Dalam penegakan hukum pidana lingkungan yang dilakukan oleh
korporasi, maka diperlukan konsep penegakan hukum yang lain, yaitu penegakan
hukum dalam arti Law Enforcement. Joseph Goldstein26 menurut Joseph Goldtein
penegakan hukum pidana dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum
pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive
law of crime). Meskipun keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana
secara total, namun penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
dilaksanakan sehingga terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan
hukum (Area of no enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum
dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan
penagkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
dan
pemeriksaaan
pendahuluan. Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum
25
Hery Lius. 1998. Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban
Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi. Thesis FHUNDIP. hal 22
26
Joseph Goldstein dalam Rusli Muhammad. Kemandirian Pengadilan Indonesia.FH-UII Press.
Yogyakarta. Hal 148
14
pidana substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu
penuntutan, misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan.
Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum
jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total
(total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun
penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan
penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya itu
mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions).
Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan
hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di
dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara
nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah
penegak hukum itu.
Untuk penegakan supremasi
hukum, yang sangat mendasar adalah
perbaikan struktur aparatur hukumnya, sementara peraturan perundangan bisa
dilakukan sambil jalan, tetapi aparatur hukumnya adalah sangat mendesak yaitu
perbaikan moralitas dan komitmen sebagai seorang penegak hukum sehingga bisa
bertanggungjawab secara moral, para penegak hukum di Indonesia terkesan hanya
menjadi perangkat ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orangorang kecil, pencuri kelas kecil dan kejahatan konvensional. Namun, kalau sudah
15
berhadapan dengan kejahatan yang berbau korupsi, lingkungan hidup yang
pelakunya korporasi, hukumlah tidak berarti sebagai suatu perangkat menegakkan
keadilan serta sangat jelas tidak ada komitmen moralitas untuk itu padahal
undang-undangnya sudah mengatur dan juga mengakibatkan kesengsaraan bagi
warga sekitar.27
Rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak
pidana di bidang lingkungan hidup masih menjadi permasalahan, karena dalam
ketentuan umum hukum pidana positif di Indonesia (KUH Pidana) sampai saat ini
masih belum mengenal “korporasi” sebagai subjek tindak pidana. Subjek tindak
pidana yang dikenal dalam KUH Pidana positif adalah orang dalam konotasi
biologis yang alami (natuurlijke persoon).28
Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak
hanya sebatas penetapan dan penempatan korporasi sebagai “subyek hukum
pidana” saja, tetapi perlu adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban
pidana” untuk korporasi.29 Prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate
liability) di Indonesia tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUH Pidana
positif di Indonesia), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Dengan
demikian kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana korporasi
27
Sabian Utsman.2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif. Pustaka Pelajar. Jogjakarta. hal. 2324
28
Muhammad Topan. Op.cit. Hal. 75
29
Ibid
16
tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa
perundang-undangan khusus diluar KUH Pidana.30
Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang
masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang tidak
setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:31
1.
Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan
hanya terdapat pada persona alamiah.
2.
Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat
dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat
dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang,
perkosa, dan sebagainya).
3.
Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang,
tidak dapat dikenakan pada korporasi.
4.
Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya
mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah.
5.
Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma
atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau
korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana.
Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek hukum
pidana menyatakan hal-hal sebagai berikut:32
30
31
Ibid
Setiyono.2009. Kejahatan Korporasi. (Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban
Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia).Banyumedia Publishing.Malang.hal. 10
17
1.
Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan
represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu
korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi,
korporasi dan pengurus, atau pengurus saja.
2.
Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan
peranan yang penting pula.
3.
Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu
melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuanketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya
ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia,
maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk
selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi.
Dalam terminologi hukum pidana konvensional, kelompok doktrin
yang ada selalu berhubungan dengan adagium nullum crimen sine lege dan nulla
poena sine lege. Tidak satu orang pun dapat didakwa atau dihukum terhadap
sebuah tindak pidana kecuali perbuatan/ tindak pidana tersebut sebelumnya telah
diatur dan diberlakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk itu33
Prinsif tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault)
di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau
“strict liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk
membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip
32
33
Ibid
Andi Zainal Abidin. 1987. Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung. hal.
167
18
tanggungjawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan
untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.34
Menurut doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat), seseorang
sudah dapat dipertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu walaupun pada
diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability di
artikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa
kesalahan).35
Perkembangan subyek hukum pidana khususnya korporasi dalam sistem
common law terutama di Inggris, Amerika serikat dan kanada membawa dampak
bagi perkembangan subyek hukum pidana pada sistem civil law. Mula-mula
terdapat keenganaan untuk menghukum korporasi, karena korporasi dianggap
sebagai fiksi hukum (legal fiction), yang berdasarkan aturan ultra vires hanya
dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang secara specifik dimuat dalam
anggaran dasar korporasi tersebut.36
Selanjutnya Mardjono Reksodiputro37 mengatakan bahwa dalam
perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban
korporasi sebagai subjek tindak pidana yaitu pertama, pengurus korporasi sebagai
pembuat, penguruslah yang bertanggungjawab, kedua korporasi sebagai pembuat,
34
Muladi. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi . Kencana Prenada Media Group.
Jakarta. hal.107
35
Barda Nawawi Arief. 1988. Perbandingan Hukum Pidana.FH UNDIP: Semarang..hal.68
36
Muladi.et.ad. 0p.cit. hal.35
37
Mardjono Reksodiputro. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana
Korporasi. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. FHUNDIP.
Semarang 23-24 November 1989. hal 9
19
pengurus yang bertanggungjawab, dan ketiga korporasi sebagai pembuat dan yang
bertanggungjawab, Sistem pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa
pertanggungjawabkan ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang
dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk person). Sehingga
apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, tindak pidana itu
dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem pertama ini penyusun
kitab undang-undang hukum pidana masih menerima asas “universitas delinguere
non potest” (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Asas ini
sebetulnya berlaku pada abad lalu pada seluruh Negara eropa continental. Hal ini
sejalan dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik
yang berlaku pada waktu itu dan kemudian juga aliran modern dalam hukum
pidana. Dalam Memori penjelasan kitab Undang-undang hukum pidana yang
diberlakukan pada tanggal 1 September 1886, dapat dibaca: “suatu perbuatan
pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (natuurlijk persoon). Pemikiran
fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum (rechts persoon) tidak berlaku pada bidang
hukum pidana.38 Pada sistem pertama ini pengurus-pengurus yang tidak
memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi bisa
dinyatakan bertanggungjawab.
Sistem pertanggungjawaban yang kedua ditandai dengan pengakuan yang
timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat
dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), tapi tanggungjawab
untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi). Secara perlahan-
38
Muladi. et.al . Op. Cit.hal 53
20
lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang
memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin
korporasi secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi
bisa menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab adalah para
anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.39
Sistem pertanggungjawaban yang ketiga40 merupakan permulaan adanya
tanggungjawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan
menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana.
Hal-hal yang bisa dipakai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai
pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah karena dalam berbagai
delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau
kerugian yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat
demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana
hanya diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau
belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut.
Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat
korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang
bersangkutan.
Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah
terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan
sebagai pembuat, disamping manusia alamiah (natuurlijk persoon). Jadi
penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non
39
40
Ibid.
Ibid.
21
potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional
(functioneel daaderschap).41
Menurut Barda Nawawi Arief, dalam perundang-undangan selama ini
(undang-undang pidana khusus) terlihat hal-hal sebagai berikut.42
1.
Banyak yang memasukkan “korporasi” sebagai subyek tindak pidana,
namun dengan berbagai variasi istilah.
2.
Korporasi yang dijadikan subyek tindak pidana, tetapi undang-undang
yang
bersangkutan
tidak
membuat
ketentuan
pidana
atau
“pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi.
3.
Dalam hal undang-undang membuat pertanggungjawaban korporasi,
belum ada pola aturan pemidaan korporasi yang seragam dan
konsisten.
Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 alinea 14 mendefinisikan
pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkanya makhluk hidup,
zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan
manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah
ditetapkan.43 Lebih lanjut alinea 15 UU No. 32 tahun 2009 kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia,
41
Ibid
B.N. Arief. Makalah. Prinsip-prinsip Dasar Atas Pedoman Perumusan/Formulasi ketentuan
pidana dalam Perundang-undangan, hal. 4-6
43
Lihat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1
alinea 14
42
22
dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup
untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.44
Dari sudut hukum, Danusaputro45 menggolongkan sistem pencemaran
lingkungan menjadi:
1. Kerusakan yang melawan hukum (damnum injura);
2. Kerusakan yang tidak melawan hukum (damnum sine injura).
Kerusakan yang tidak dapat dielakkan (damnum fatale), termasuk
golongan pencemaran atau kerusakan yang tidak melawan hukum (damnum sine
injura, damage as non an injury); karena timbulnya perbuatan alam/act of god
demikian tidak melanggar hukum atau hak manusia, mengingat hak itu ada
ditangan ilahi, misalnya gempa dan gunung meletus. Selanjutnya, hal itu juga
akan menimbulkan perspektif tanggungjawab kepada manusia, yang berarti ada
pengecualian tanggungjawab (exemption of liabiity).
Kerusakan yang melawan hukum (damnum injura), adalah perbuatan
hukum murni yang dilakukan oleh manusia yang tanpa kausalitas dengan
timbulnya perbuatan alam/act of god yang melanggar hukum dan hak manusia
yang dapat dipertanggungjawabkan.46 suatu peristiwa lingkungan hidup
merupakan murni bencana alam (Act of God), sebenarnya merupakan akibat dari
perbuatan manusia secara “tidak langsung” (indirect action). Kasus lumpur
Lapindo, kasus Buyat, laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia,
44
Lihat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1
alinea 15
45
Siahaan.2009. Hukum Lingkungan.Pancuran Alam.Jakarta.Hal.133
46
Ibid
23
pencemaran minyak mentah dari kapal MT Lucky Lady di perairan Cilacap. Jika
diidentifikasikan maka sifat pertanggungjawaban disini bukan lagi dalam bentuk
responsibilitas. Karena aspeknya bukan sebagai Damnum Sine Injuri atau
Damnum Fatale, melainkan harus bersifat liability, karena kegiatan yang
dilaksanakan berdekatan dengan kausalitas aktivitas dan kebijakan manusia.
Karena begitu dekatnya hubungan demikian, tentu pula dapat ditelusuri lebih jauh,
apakah penyebab satu peristiwa atau bersumber dari aktivitas manusia,
kebijakannya (policy atau act), atau kemampuan dari manusia? jika sudah dapat
ditemukan adanya relasi kausalitas antara peristiwa/kasus demikian dengan
manusia (aktivitas/perbuatan, kebijakan, posibilitas kemampuannya), selanjutnya
siapa subyek yang berposisi untuk bertanggungjawab.
Secara hukum beberapa doktrin yang dapat di terapkan kepada korporasi
dapat dipertanggugjawabkan, secara umum konsep-konsep yang relevan seputar
tanggungjawab korporasi misalnya “strict liability” dan “vicarious liability”.
Mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun
2009, diatur dalam Pasal 116 sampai dengan 120 sebagai berikut:47
1.
Pasal 116 (1) : Dalam hal Tindak Pidana Lingkungan Hidup dilakukan
oleh, untuk, atau atas nama “badan usaha”, tuntutan pidana dan sanksi
pidana dijatuhjan kepada
a. Badan Usaha; dan/atau
47
Barda Nawawi Arief.2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam
Penanggulangan Kejahatan.Kencana Predana media Group. Jakarta. hal. 115
24
b. Orang yang member perintah atau orang yang bertindak sebagai
pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut
2. Pasal 116 (2) : apabila Tindak Pidana Lingkungan Hidup dilakukan oleh
orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain
yang bertindak dalam lingkungan kerja badan usaha, saksi pidana
dijatuhkan terhadap bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi
pidana dijatuhkan terhadap bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan terhadap:
a.
Pemberi perintah
b.
Pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memerhatikan tindak
pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama.
3. Pasal 117: ancaman pidana kepada pemberi perintah ataupemimpin tindak
pidana berupa pidana penjara dan denda yang diperberat sepertiga
4. Pasal 118: saksi pidana yang dijatuhkan kepada badan usaha diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional
5. Pasal 119: terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau
tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau;
25
e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga)
tahun
6. Pasal 120 menyatakan :
1. Dalam melaksanakan Pasal 119 huruf a samapai dengan huruf d jaksa
berkoordinasi dengan instansi yang bertanngungjawab di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan
eksekusi
2. Dalam melaksanakan Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk
mengelola badan usaha yang dijatuhkan sanksi penempatan dibawah
pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah
berkekuatan hukum tetap
Gagap aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan tegas terhadap
berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi ini sangat mengkwatirkan,
karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar.
Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Selain itu,
korporasi dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat
menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang
dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat,
sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Misalnya, dengan
memasang iklan di berbagai media (cetak maupun elektronik) untuk
membersihkan namanya dari tuduhan melakukan suatu kejahatan.48
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris. Pemilihan jenis
penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa telaah terhadap penelitian bersumber
pada data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain
48
Elsam.2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 6 “Tanggungjawab Pidana Korporasi
dalam RUU KUHP”. hal. 3
26
yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana lingkungan. Setelah itu akan
dipadu dengan hasil penilitian empirik berupa data primer yang dapat di lapangan.
2. Objek Penelitian
Objek penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Penegakan hukum pidana lingkungan ditingkat kepolisian dan
Kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No.
32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara
b. Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang
dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila melakukan pencemaran
lingkungan hidup oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang
No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara
3. Subyek Penelitian
a. Penyidik Kepolisian Negeri Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara
b. Penyidik Kejaksaan Negeri Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara
4. Lokasi Penelitian
a. Kab. Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara
5. Sumber Data
a. Data primer; Yakni data berupa wawancara yang diperoleh dari lapangan
secara langsung, guna memperkaya informasi penulis juga memasukkan
opini akademisi yang memahami terhadap penegakan hukum lingkungan
hidup
27
b. Data Sekunder, di kumpulkan dari berbagai bahan yang terdiri dari:
1. Bahan hukum yang mengikat langsung seperti Undang-Undang Dasar
Republik Indonesia 1945, Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang
Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan
Pemerintah RI No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
2. Bahan-bahan yang pada dasarnya memberi penjelasan mengenai bahan
hukum yang mengikat langsung seperti kepustakaan hukum, literatur,
Jurnal, Koran, makalah dan lain-lain.
6. Tehnik Pengumpulan Data
Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data dalam penelitian ini maka
dilakukan:
a. Penelitian kepustakaan
Kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumendokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau
keterangan yang dibutuhkan oleh penelitian ini.
b. Wawancara
Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data primer melalui
wawancara ditingkat kepolisian dan Kejaksaan terhadap korporasi setelah
28
berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara,
Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek yang dihadapi
kepolisian dan Kejaksaan apabila melakukan pencemaran lingkungan hidup
oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka
Propinsi Sulawesi Tenggara
7. Metode Pendekatan
Mendekati
permasalahan
dari
aspek
normatif
empiris
yang
diimplementasikan dalam tataran empirik, selanjutnya dilihat fakta-fakta empirik
tersebut yang merupakan fakta-fakta hukum.
8.
Analisis Data
Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan
data-data yang diperoleh berdasarkan dari hasil studi lapangan dan kepustakaan
dan selanjutnya data terkumpul dianalis dengan teori-teori, konsep-konsep yang
ada. Kemudian setelah dilakukan analisis ditarik pada kesimpulan.
29
BAB II
KONSEP PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENCEMARAN
LINGKUNGAN HIDUP
A. Konsep Penegakan Hukum
1. Definisi Penegakan Hukum
Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, Bahasa
Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia
membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force
sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum hanya bersangkut
dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita
menyebut penegakan hukum itu itu polisi, jaksa, dan hakim. Tidak disebut pejabat
administrasi yang sebenarnya juga menegakkan hukum.49 Handhaving menurut
Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah pengawasan dan penerapan (atau
dengan
ancaman)
penggunaan
istrumen
administrasif,
kepidanaan
atau
keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku
umum dan individu.
Di samping atau sebelum diadakannya penegakan hukum, sering pula
diadakan negosiasi, persuasi dan supervisi agar peraturan hukum atau syaratsyarat izin ditaati. Ini biasa disebut compliance (pemenuhan). Sistem hukum
Anglo saxon Amerika dan Kanada membedakan pengertian law enforcement yang
berarti penegakan hukum secara represif, sedangkan compliance dalam arti
49
Andi Hamzah. Op.cit.Hal. 48
30
preventif terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Adapun sistem eropa
continental Belanda kedua fase tersebut termasuk handhaving. Sebelum dilakukan
dilakukan tindakan represif maka dilakukan tindakan preventif yang meliputi
penerangan dan nasihat. Misalnya mengenai izin, jika lewat waktu dapat diberikan
nasihat agar membuat permohonan perpanjangan. Dengan demikian, istilah
handhaving meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dan
penerapan sanksi administrasi dan pidana merupakan bagian penutup penegakan
hukum (handhaving).50
Penegakan hukum yang artinya luas (meliputi segi preventif dan
represif), cocok dengan kondisi Indonesia, yang unsur pemerintah turut aktif
meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum lingkungan sangat rumit,
banyak seginya. Pelanggarannya pun beraneka ragam, mulai dari yang paling
ringan seperti pembuangan sampah dapur sampai kepada yang paling berbahaya
seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun serta radiasi atom. Oleh
karena itu, penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan
hukum sampai pada penerapan sanksi.51 Pelaksanaan peraturan perundangundangan pidana adalah merupakan salah satu upaya dalam menanggulangi
kriminalitas termasuk juga pelaksanaan undang-undang pengelolaan lingkungan
hidup. Jadi yang dimaksud dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah
penegakan hukum dalam arti Law enforcement.
50
51
Ibid
Ibid
31
Secara konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada
kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran
nilai
tahap
akhir,
untuk
menciptakan,
memelihara
dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar
filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak
lebih konkret.52
Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai
pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk.
Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan
tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman,
pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan
nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan
hukum hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu
penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai
ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketentraman titik
tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusaia memerlukan
keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi.
Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi
perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku
atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan
52
Soerjono Soekanto. op.cit. Hal. 5
32
mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi daripada penegakan
hukum secara konsepsional.53
Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan
penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat
diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.
Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada
ketidakserasian antara “tritunggal nilai, kaidah dan pola prilaku. Gangguan
tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan,
yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku
tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup.
Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah
semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam
kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian
law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk
mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim.
Pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan,
apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim
tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup.
Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor
yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang
53
Ibid
33
netral, sehingga dampak positif atau negatif terletak pada isi faktor-faktor
tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:54
1. Faktor hukumnya sendiri, dibatasi pada undang-undang saja.
2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum.
4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum ersebut berlaku
atau diterapkan.
5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang
didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena
merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada
efektifitas penegakan hukum.
Dalam membicarakan serta menginventarisasi unsur-unsur penegakan
hukum, tidak dapat diabaikan faktor lingkungan sosial tempat penegakan hukum
tersebut dijalankan. Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya
dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum.
Penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan
penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya. Apabila membahas
penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana
tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperoleh
54
Ibid.
34
gambaran stereotipis yang kosong. Membahas penegakan hukum menjadi berisi
apabila dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia.55
Van Doorn mengisyaratkan agar dalam pembahasan mengenai
penegakan hukum memberikan perhatian yang sesama terhadap peranan dari
faktor manusia. Faktor manusia menjadi penting karena hanya melalui faktor
tersebut penegakan hukum itu dijalankan. Masalah kedua berhubungan dengan
soal lingkungan dari proses penegakan hukum. Masalah lingkungan tersebut dapat
dikaitkan kepada manusianya secara pribadi serta kepada penegakan hukum
sebagai suatu lembaga. Kutipan pendapat dari Van doorn dimuka memberikan
dasar untuk membicarakan masalah lingkungan pribadi dari sang penegak hukum.
Dengan baik sekali Van Doorn mengatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai
pemegang fungsi di dalam rangka suatu organisasi, seorang penegak hukum
cenderung untuk menjalankan fungsinya menurut tafsirannya sendiri yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.56
Salah satu persoalan yang krusial di negeri ini, adalah persoalan
“penegakan hukum” yang selama orde baru hingga sekarang ini dirasakan sangat
lemah. Dengan bergulirnya era reformasi menimbulkan semangat baru untuk
memunculkan kembali supremasi hukum di negeri ini, artinya muncul keinginan
dan kesepakatan nasional untuk melihat kembali penegakan hukum di tanah air.
55
Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis). Genta Publishing. Yogyakarta.
Hlm. 26
56
Ibid
35
Persoalannya
adalah,
apakah
penegakan
hukum
dalam
upaya
mewujudkan agenda supremasi hukum akan dapat tercapai dengan baik?
Jawabannya tentu tergantung berbagai faktor. Banyak faktor yang berhubungan
dengan penegakan hukum itu.57
Sementara itu, menarik pula uraian yang diberikan oleh almarhum
Soedarto yang menegaskan bahwa perhatian dan penggarapan terhadap perbuatan
melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrech in potentie), itulah yang
merupakan penegakan hukum.58
Penegakan hukum tidak lain sebagai suatu upaya untuk mewujudkan atau
menerapkan ketentuan hukum ke dalam peristiwa-peristiwa yang nyata. Jika
berhadapan dengan hukum pidana, maka penegakan hukum pidana berarti upaya
untuk mewujudkan atau menerapkan hukum pidana itu ke dalam perbuatanperbuatan konkrit. Penegakan hukum pidana demikian dapat pula dilihat sebagai
suatu upaya penaggulangan kejahatan.59
Proses penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada
delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya, hukum lingkungan
menempati titik silang pelbagai bidang hukum lainnya. Proses penegakan hukum
adminstratif akan lain daripada proses penegakan hukum perdata ataupun hukum
pidana.60
57
Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia. FH UII Pres. Yogyakarta. Hlm.
146-147
58
Ibid
59
Ibid
60
Andi Hamzah. op.cit. Hal 51
36
Mas Achmad Santosa penegakan hukum lingkungan (environmental
enforcement) harus dilihat sebagai sebuah alat (an end). Tujuan penegakan hukum
lingkungan adalah penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya
dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan
kedalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur baku
mutu limbah atau emisi.61
Yahya Harahap menyebutkan penegakan hukum lingkungan ini berkaitan
dengan salah satu hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas
pencemaran lingkungan atau environmental protection. Hal ini di dasarkan pada
munculnya berbagai tuntutan hak perlindungan atas lingkungan, antara lain:62
1. Perlindungan atas harmonisasi menyenangkan antara kegiatan produksi
dengan lingkungan manusia.
2. Hak perlindungan atas upaya pencegahan (prevent) atau melenyapkan
kerusakan (eliminate damage) terhadap lingkungan dan biosper serta
mendorong (stimulate) kesehatan dan kesejahteraan manusia.
3. Hak perlindungan atas pencemaran udara (air polution) yang ditimbulkan
pabrik dan kendaraan bermotor dari gas beracun karbon monoksida
(carbon monoxide, nitrogen oxide dan hidro karbon, sehingga udara
bebas untuk selamanya dari pencemaran.
61
Syahrul Machmud.2012.
Yogyakarta.Hal.162
62
Ibid
Penegakan
Hukum
Lingkungan
Indonesia.
Graha
Ilmu.
37
4. Menjamin perlindungan atas pencemaran limbah industri di darat, di
sungai dan lautan, sehingga semua air terhindar dari segala bentuk
pencemaran limbah apapun (clean water).
a.
Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Administrasi
Salah satu instrumen atur dan awasi yang sangat penting adalah
penjatuhan sanksi administrasi. Saksi administrasi di sini harus dibedakan dengan
putusan pengadilan tata usaha negara (administrative juducial decision). Sanksi
administrasi didefinisikan sebagai suatu tindakan hukum (legal action) yang
diambil penjabat tata usaha negara yang bertanggungjawab atas pengelolaan
lingkungan hidup atas pelanggaran persyaratan. Di lain pihak penegakan hukum
melalui instrumen administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang
melanggar
hukum
atau
tidak
memenuhi
persyaratan,
berhenti
atau
mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran). Jadi,
fokus sanksi administratif adalah perbuatan.63
Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif
(bestuurdwang), hukum lingkungan mengenal pula sanksi administratif yang lain
yaitu penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksa
(dwangsom), dan penarikan izin.
Sanksi administratif kurang lengkap diatur di dalam UULH 1997, hanya
dalam perundang-undangan lain. Paksaan administratif disebut dalam UndangUndang tentang Pemerintah Daerah, khususnya di dalam Pasal 42 dengan istilah
“paksaan pemeliharaan hukum”. Tujuan paksaan administratif atau pemerintahan
63
Sukandi Husin. Op.cit. Hal.101
38
(bestuursdwang) adalah untuk memperbaiki hal-hal sebgai akibat dilanggarnya
suatu peraturan. Dalam mempergunakan instrumen administratif, penguasa harus
memperhatikan apa yang disebut oleh hukum tata usaha negara sebagai asas-asas
pemerintahan yang baik.
Penggunaan
hukum
administratif
dalam
penegakan
lingkungan
mempunyai dua fungsi, yaitu preventif dan represif. Misalnya Pasal 76 ayat (1)
“Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan
pelanggaran terhadap izin lingkungan”64
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup Disamping paksaan pemerintah yang diatur dalam
Pasal 80, pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran
apabila pelanggar yang dilakukan menimbulkan:
1.
ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup
2.
dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan
pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau
3.
kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera
dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya.
b. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Perdata
Sengketa perdata lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan
atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan.
64
Ibid
39
Jika usaha diluar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil, oleh salah satu atau
para pihak dapat ditempuh jalur pengadilan.65
Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009, menentukan
bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan
untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b.
tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu
untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau;
d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan
hidup. Ayat (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap
tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.
Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan melalui
instrumen perdata diatur juga dalam Pasal 87 ayat (1) menyatakan: Setiap
penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar
hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang
menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar
ganti rugi/atau melakukan tindakan tertentu.
Ayat (2) menyatakan : Setiap orang yang melakukan pemindah tanganan,
pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang
melanggar hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban
badan usaha tersebut.
65
Ibid
40
Ayat (3) menyatakan: Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa
terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan.
Ayat (4) menyatakan: Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan
perundang-udangan.
Secara khusus (lex specialis) telah diatur tentang ganti kerugian dan
pembebanan oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya
menetapkan pembayaran uang paksa. Gugatan perdata dapat juga dilakukan
berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata (BW) ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata
(BW) hanya dapat diambil hal-hal yang tidak diatur secara khusus, misalnya
pengertian “melanggar hukum” (onrechmatige daad) sesuai dengan yurisprudensi.
Juga masalah perhitungan ganti kerugian dan ajaran sebab akibat antara kesalahan
dan kerugian.66
Syarat umum yang ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHP Perdata (BW)
untuk mengajukan gugatan tentu terjadinya perbuatan melanggar hukum
(onrechmatigedaad). Suatu perbuatan dikatakan melanggar hukum, telah diartikan
luas yurisprudensi (Belanda) terkenal dengan Arrest Lindenbaum-Cohen, 31
Januari 1919 (N.J. 1919). Indonesia pun mengikuti pengertian luas perbuatan
melanggar hukum ini. Pengertian yang luas mengenai perbuatan yang langgar
hukum sesuai dengan hukum adat yang umumnya tidak tertulis. Dalam arrest itu
66
Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 94
41
Hoge Raad menentukan, bahwa salah satu kriteria di bawah ini secara berdiri
sendiri termasuk pengertian melanggar hukum (onrechtmatig):67
1.
Pelanggaran suatu hak
2.
Perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang
ditentukan dalam peraturan perundang-undangan
3.
Bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan
masyarakat.
Korban pencemaran lingkungan dapat meminta berupa ganti rugi. Ada dua
macam sistem tanggungjawab perdata (civil liability). Yaitu tanggungjawab
berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan tanggungjawab seketika
(strict liability). Tanggungjawab berdasarkan kesalahan diatur dalam Pasal 87.
Pasal ini berakar pada Pasal 1365 KUH Perdata (BW), yang mengatur tentang
tanggungjawab berdasarkan kesalahan. Artinya, ganti rugi hanya dapat diberikan
sepanjang adanya kesalahan (fault). Secara lebih spesifik Pasal tersebut
mensyaratkan bahwa permintaan ganti rugi baru dapat dikabulkan secara hukum
apabila dapat dibuktikan empat hal berikut yaitu:68
1.
Pencemaran atau perusakan lingkungan yang dipersoalkan itu merupakan
perbuatan yang melawan hukum;
2.
Pencemaran itu terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan (Fault);
3.
Pencemaran itu menimbulkan kerugian;
4.
Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan dan kerugian.
67
68
Ibid
Sukanda Husin. op.cit. Hal.107
42
Penggugatan ganti rugi berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2009
Pasal 87 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau
Pasal 1365 KUH Perdata (BW) harus dikaitkan dengan Pasal 1865 KUH Perdata,
yang mensyaratkan bahwa penggugat memikul beban pembuktian (bewijslast atau
burden of proof). Artinya dalam setiap penggugatan ganti rugi, penggugat harus
membuktikan empat elemen sebagaimana diuraikan diatas. Apabila gagal
membuktikan salah satu dari empat elemen tersebut, gugatan penggugat akan
ditolak oleh pengadilan.69
c. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Pidana
Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya hukum
terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman
penjara dan denda. Penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki
lingkungan yang tercemar. Akan tetapi, penegakan hukum pidana ini dapat
menimbulkan faktor penjera (deterrant factor) yang sangat efektif. Oleh karena
itu, dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.70
Penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup
dari sisi hubungan antara negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena
tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat (social defence) dan
lingkungan hidup dari perbuatan yang dilarang (verboden) dan perbuatan yang
69
70
Ibid
Ibid
43
diharuskan atau kewajiban (geboden) yang dilakukan oleh para pelaku
pembangunan. Secara khusus penghukuman dimaksud bertujuan untuk:71
1.
Mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau
perbuatan yang salah
2.
Mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar
Beberapa sarjana hukum, baik di Indonesia maupun di Belanda berpendapat
bahwa penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran
hukum lingkungan
hendaklah dipandang sebagai ultimum remedium. Mr. De Bunt72 memandang
pendapat yang didasarkan kepada hukum pidana klasik pidana modern tidaklah
demikian. Bahwa hukum pidana (modern) tidak mesti berakhir dengan pidana
penjara. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan khususnya dalam penegakan
hukum lingkungan, bahwa instrumen hukum pidana merupakan obat terakhir.
Menurut Mr. De Bunt, ultimum remedium mempunyai arti tiga macam yaitu
sebagai berikut:73
1.
Hukum pidana itu hanya diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang
sangat tidak benar secara etis (hoog ethische onwaarde). Pengertian ultimum
remedium secara klasik hukum pidana itu adalah secara khusus merupakan
instrumen penegakan hukum yang khusus. Jadi, penerapannya juga dalam
hal-hal yang khusus. Harus dicegah bahwa obat jangan lebih berat daripada
kejahatan. Hukum pidana itu merupakan alat yang sangat berat karena ciri
71
Ibid. Hal. 122
Andi Hamzah. Op.cit. 69
73
Ibid
72
44
khas pidana itu adalah nestapa yang dengan sengaja dikenakan. Oleh karena
itu, hukum pidana harus dipandang sebagai ultimum remedium. Ultimum
remedium didasarkan pada:
a. hukum pidana bersifat retributif
b. pelanggaran hukum lingkungan pada hakikatnya tidak penting secara etis
Tidak ada penegakan hukum pidana dalam hukum lingkungan kecuali
beberapa perbuatan melanggar hukum yang mencolok. Sebenarnya tidak dapat
dipisahkan secara tajam antara sanksi administratif dan sanksi hukum pidana
kecuali terhadap perbuatan yang mencolok melanggar hukum (onrechtmatig),
menurut De Bunt dapat diperdebatkan karena tidak ada perbedaan yang mendasar
antara sanksi hukum pidana dan sanksi hukum adminstratif. Menurut Mulder,
keduanya mempunyai persamaan, yaitu alat paksa untuk menegakkan hukum
publik, tidak ada perbedaan yang asasi antara kedua sanksi.
2. Pengertian yang kedua mengenai ultimum remedium menurut De Bunt adalah
dalam arti harfiah, yaitu alat (obat) yang terakhir yang diterapkan terhadap
delik lingkungan. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Belanda De
Ruiter yang mengatakan hukum pidana sebagai alat yang terakhir. Hukum
pidana menjadi obat yang terakhir karena membawa dampak sampingan yang
merugikan. Hukum pidana menyinggung sangat dalam terhadap kehidupan
pribadi terpidana (perampasan kemerdekaan, proses acara dengan alat paksa,
dan noda), jadi mesti dilakukan dengan hati-hati. De Ross74 mengatakan bahwa
walaupun tidak ada perbedaan antara sanksi hukum pidana dan sanksi
74
Ibid
45
administratif, namun sanksi hukum pidana itu relatif lebih berat karena pidana
perampasan
kemerdekaan merupakan sanksi yang menonjol. Penerapan
hukum pidana dalam ultimum remedium seperti ini selalu dalam pilihan yang
mana yang menguntungkan dan merugikan dalam pelbagai alat penegak
hukum. Pendapat yang demikian ini juga dibantah oleh De Bunt, karena
katanya ada pelanggaran hukum lingkungan yang sanksi administratif
dipandang terlalu berat dan tidak dapat diterapkan, misalnya perbuatan yang
sekali saja terjadi, mungkin ringan, seperti tidak memenuhi kewajiban melapor,
perusakan lingkungan yang tidak perlu dipertimbangkan sanksi adminstratif
atau sanksi hukum pidana dalam penegakan hukum.
3. Pengertian ultimum remedium yang ketiga, yaitu pejabat administratif lah yang
pertama-tama harus bertanggungjawab. Kalau pejabat adminstratif dipandang
sebagai yang pertama-tama bertanggungjawab, dan oleh karena itu berarti
bahwa kekuasaan yustisial ditempatkan sebagai ultimum remedium. Pejabat
administrasi harus bereaksi terlebih dahulu. Yang memberi izin harus lebih
dahulu memberi sanksi jika izin dilanggar. Akan tetapi bagaimana jika pejabat
administratif itu enggan atau tidak mau bertindak? bahkan bagaimana jika
pejabat administrasi itu terlibat dalam pelanggaran hukum lingkungan? . Dalam
hal seperti ini instrumen hukum pidana perlu ditempatkan sebagai premium
remedium. Tiada satu pun instrumen yang dapat dikatakan sebagai harus yang
pertama diterapkan secara apriori.
Masing-masing mempunyai
dasar
46
pertimbangan sendiri untuk diterapkan yang hanya dapat dilihatkan secara
kasus demi kasus.75
Dalam hal tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat
pelanggaran tersebut relatif besar, dan atau menimbulkan keresahan masyarakat
tersangka pelanggaran hukum lingkungan dapat diajukan melalui prosedur
pidana.76
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan pidana diatur dalam Bab XV Ketentuan
Pidana Pasal 97 sampai dengan Pasal 120.
a. Delik Materiel
Delik materiel sesungguhnya ditujukan kepada akibat dari adanya perbuatan
pencemaran dan/atau perusakan, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.
Pembuktian apakah benar terdakwa telah mencemari atau merusak lingkungan
menjadi beban penuntut umum. Pembuktian ini sangat terkait dengan pembuktian
ilmiah, dimana peran saksi ahli dan laboratorium sangat menentukan
tercemar/rusaknya lingkungan.77
Uraian secara lengkap delik materiel menurut UUPPLH No.32 tahun
2009 sebagai berikut:
Pasal 98 menyatakan:
(2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
75
Ibid
Mudzakiir.2011.Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia.Pascasarjana FH UI. Jakarta. Hal.
521
77
Ibid
76
47
denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)
(3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 menyatakan:
(2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
Pasal 108 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
b. Delik Formil
Delik formil sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH No. 32 tahun
2009, dimana beban pembuktiannya tidak atau belum dipersyaratkan kepada
apakah lingkungan telah tercemar atau telah rusak. Akan tetapi cukup dibuktikan
apakah tersangka atau terdakwa telah melanggar ketentuan perundang-undangan
tentang persyaratan izin yang merupakan hukum administrasi.78 Apabila
persyaratan izin tersebut telah dilanggar. Oleh karena itu untuk memudahkan
tugas penuntut umum dalam pembuktian diadakanlah delik formil, karena cukup
78
Ibid. Hal. 218
48
diambil sampel dari limbah yang dibuang oleh suatu kegiatan atau industri untuk
diukur di laboratorium. Manakah limbah yang dibuang tersebut berada di atas
ambang batas baku mutu yang ditentukan maka pelaku sudah dapat dijerat dengan
hukuman pidana.
Pasal-pasal pada delik formil ini sesungguhnya lebih menekankan pada
upaya preventif agar pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dicegah
lebih dini. Dengan demikian delik formil ini sesungguhnya merupakan suatu
upaya pengawasan atau upaya kontrol yang diberikan oleh undang-undang ini
agar lingkungan tidak terlanjur tercemar dan/atau rusak suatu usaha atau industri.
Perumusan delik formil selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 98 menyatakan:
(1) Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000
(sepuluh miliar rupiah). Pasal 99 ayat (1) perbuatan tersebut tidak disengaja
atau lalai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah)
Pasal 100 ayat 1 menyatakan:
Pasal 100 setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi,
atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
Pasal 101 menyatakan:
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
49
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 103 menyatakan:
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 104 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 106 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 107 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
50
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 109 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110 menyatakan:
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 112 menyatakan:
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan
pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113 menyatakan:
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
51
Pasal 114 menyatakan:
Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115 menyatakan:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
1. Badan usaha; dan/atau
2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri
atau bersama-sama.
Pasal 117 menyatakan:
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118 menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional
Pasal 119 menyatakan:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
b. Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan
52
c. Perbaikan akibat tindak pidana
d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 120 menyatakan:
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi
yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup untuk melaksanakan eksekusi
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
c.
Kejahatan Korporasi dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009
Pengaturan kejahatan korporasi dalam UUPPLH di atur dalam Pasal 116
- 120 disebut badan usaha, kalau dalam UUPLH tidk saja mengenal badan hukum
atau korporasi seperti perseroan dan yayasan, namun selain badan hukum tersebut
mengenalkan pula bentuk yang lain seperti perserikatan atau organisasi lain yang
dapat diberikan sanksi disamakan dengan badan hukum.
Saksi pidana yang diberikan pada kejahatan lingkungan yang dilakukan
oleh badan hukum ini diberikan saksi kepada pemberi perintah atau pimpinan
diperberat ditambah dengan sepertiganya. Hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan
yang dilakukan oleh korporasi dampaknya dirasakan lebih berat dan lebih parah
dibandingkan dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perorangan.79
Pasal 116 menyatakan:
(1) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kejahatan
lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, maka
pertanggungjawabannya dapat dituntut pada badan usaha itu sendiri serta
dapat digabungkan pula dengan pemberi perintah atau pemimpin badan usaha
tersebut.
79
Syahrul Machmud. Op.cit. Hal.224
53
(2) Menegaskan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan
lingkungan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan pada pemberi perintah atau pimpinan dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117 menyatakan:
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118 menyatakan:
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional
Pasal 119 menyatakan:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan
Perbaikan akibat tindak pidana
Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 120 menyatakan:
(1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi
yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup untuk melaksanakan eksekusi
(2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur seperti, tanggungjawab perusahaan
(corporate crime), delik formil (specific crime). seharusnya dengan berlakunya
54
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, banyak pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat
dijatuhi hukuman pidana karena Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kemudahan dalam
penuntutan, terutama dengan menerapkan pasal-pasal tentang delik formil.80
Ada dua macam tindak pidana yang diperkenalkan dalam UndangUndang No 32 tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yaitu delik materiil (generic crimes) dan delik formil (specific
crimes). Delik materiil (generic crimes) merupakan perbuatan melawan hukum
yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Perbuatan
melawan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan dengan pelanggaran aturanaturan hukum administratif.81
Generic crime yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak
Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
Untuk generic crime yang dilakukan karena kelalaian, ancaman
hukumnya adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun
dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
80
81
Sukanda Husin. op.cit. Hal.122
Ibid
55
Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan yang
melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil
dikenal juga sebagai Administrasi Dependent Crimes.
Dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, menurut Sudarto,
bahwa di samping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan (schuld) dan
melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah
pembahayaan
masyarakat
oleh
pembuat.
Dengan
demikian,
konsepsi
pertanggungjawabab pidana, dalam artinya dipidanannya pembuat ada beberapa
syarat yang harus dipenuhi, yaitu 1) ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh
pembuat
(adanya
perbuatan
pidana);
2)
ada
pembuat
yang
mampu
bertanggungjawab; 3) ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan
4) tidak ada alasan pemaaf.82
a.
Elemen “Perbuatan Pidana”
Ada 5 (lima) elemen yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa suatu
perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana, yaitu:
1.
Kelakuan dan akibat (perbuatan)
Setiap perbuatan pidana harus terdiri atas elemen-elemen yang lahir
dikarenakan perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang
ditimbulkan oleh perbuatan dimaksud. Maksudnya adalah kejadian dalam
alam lahir.83
82
Sudarto. 1981. Suatu Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia dalam Beberapa Guru Besar
Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan),
Bandung: Alumni. hlm. 69
83
Moelyatno. op.cit. Hlm. 58-63
56
2.
Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan
Perbuatan pidana juga harus merupakan suatu hal ikhwal atau suatu
keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Hal ikhwal dapat dibagi dua;
pertama yang menyangkut diri oran yang melakukan perbuatan, dan
kedua yang menyangkut diri orang lain yang bukan pelaku perbuatan,
misalnya perilaku korban perbuatan pidana.84
3.
Keadaan tambahan yang memberatkan pidana
Elemen ketiga dari perbuatan pidana adalah keadaan tambahan. Keadaan
tambahan ini merupakan suatu peristiwa yang terjadi setelah perbuatan
pidananya terjadi. Dengan demikian, keadaan tambahan ini hanya
dijadikan sebagai unsur yang memberatkan pidana.85
4.
Unsur melawan hukum yang objektif
Sifat perbuatan melawan hukumnya terletak pada keadaan objektif
sebagaimna yang diatur dalam undang-undang.86 Jadi, suatu perbuatan
diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan
dimaksud merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan
perundang-undangan yang berlaku (hukum positif).
5.
Unsur melawan hukum yang subjektif
Sifat perbuatan melawan hukumnya tidak saja terletak pada keadaan
objektif sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, tetapi juga
sangat bergantung pada keadaan subjektif pelakunya.87
84
Ibid
Ibid
86
Ibid
87
Ibid
85
57
Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa elemen “perbuatan pidana”
maksudnya semua perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan perbuatan
pidana itu merupakan perbuatan jahat, yang apabila dilanggar akan mendapatkan
ganjaran berupa sanksi pidana sebagaimana diatur dalam hukum pidana materil.
Dalam konteks hukum lingkungan, hal yang sama juga berlaku, tetapi
elemen perbuatan pidana harus berkaitan dengan suatu fakta apakah kejadian
pencemaran lingkungan hidup merupakan sesuatu yang dapat dicegah atau tidak.
Jika perbuatan itu dapat dicegah baik secara ekonomi maupun secara teknologi,
perbuatan tidak mencegah terjadinya pencemaran dapat dikatakan perbuatan jahat.
Oleh karena itu, perbuatan ini dapat dihukum.88
d. Ketergantungan Penerapan Hukum Pidana pada Hukum Administratif
Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak
tergantung pada hukum administratif atau hukum pemerintahan, terutama
menyangkut perizinan. Yang mengeluarkan izin adalah pejabat administrasi, baik
pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat.
Dapat dilihat bahwa banyak rumusan delik di dalam perundangundangan lingkungan atau yang menyangkut izin yang bagian inti (bestandeel)
“karena tanpa izin”, yang sudah jelas semuanya menyebabkan penerapan hukum
pidana lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif.89
Inilah yang disebut oleh Faure sebagai ketergantungan
administatif
hukum pidana lingkungan, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika izin
88
89
Sukanda Husin. op.cit. Hlm. 128
Andi Hamzah. op.cit. Hlm. 75
58
yang dikeluarkan oleh pejabat administratif yang kemudian ternyata, bahwa
dengan dipakainya izin, itu terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.90
Penerapan asas ultimum remedium sangat berkaitan erat dengan
penegakan hukum administrasi. Dalam Pasal 100 ayat (2) UUPPLH di tegaskan
bahwa asas ultimum remedium berkaitan dengan delik formil, dan delik formil
adalah delik yang berkaitan dengan hukum administrasi.
Bukan di Indonesia saja terjadi hal-hal seperti itu, tetapi juga di negara
lain. Faure selanjutnya menulis tentang ketergantungan administrasi itu;
1. Bagaimana ketergantungan itu terjadi.
2. Sampai berapa jauh titik taut ini dan apakah hakim pidana dapat menguji
perbuatan hukum administratif.
3. Sampai berapa jauh jangkauan suatu izin.
4. Bagaimana pengaruh suatu toleransi oleh pejabat adminstratif terhadap
dapatnya di pidana suatu perbuatan.
Ada perbedaan persepsi hukum terhadap masalah ketergantungan
administratif penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran lingkunga,
khususnya yang menganyangkut perizinan. Di Jerman hakim pidana tidak
dibenarkan untuk menguji sah tidaknya suatu izin. Adapun di Belgia hakim wajib
karena jabatan untuk menguji sah tidaknya suatu perbuatan hukum administratif
yang dihadapi.91
90
91
Ibid
Ibid
59
Bagaimana di Indonesia? Menurut Andi Hamzah92 tidak ada ketentuan
hukum yang dapat menjawab persoalan ini. Yang dapat diuji oleh Mahkamah
Agung adalah suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang, tidak
disebut mengenai pengujian atas suatu perbuatan hukum administratif oleh hakim
pidana, terutama dalam pelanggaran lingkungan yang menyangkut perizinan. Oleh
karena itu, jika terjadi hal semacam itu dalam penuntutan suatu delik lingkungan,
mestinya penuntut umum yang juga berwenang mewakili negara atau pemerintah,
dapat terlebih dahulu melalui hakim tata usaha agar izin yang dikeluarkan oleh
pejabat yang bersangkutan (secara pribadi) karena dilakukan secara tidak benar
atau melawan hukum dinyatakan tidak sah. Tentu penuntut umum tidak dapat
menggugat negara menurut peradilan tata usaha karena ia hanya dapat mewakili
negara secara tergugta. Pejabat administrasi, dapat digugat dalam peradilan tata
usaha negara (oleh individu atau masyarakat) supaya izin tersebut dibatalkan.
Bagaimana jika ada izin dan syarat dalam izin itu dipenuhi, tetapi pada
akhirnya juga timbul pencemaran, apalagi misalnya terjadi akibat orang luka atau
mati. Apa izin itu dapat dipakai sebagai dasar peniadaan pidana (dasar pembenar).
Dalam praktik di Indonesia belum kelihatan adanya kasus demikian yang
muncul ke permukaan, namun ada pemikiran tentang bagaimana jawaban yuridis
terhadap masalah tersebut. Untuk itu perlu ditinjau pengalaman dan pemikiran di
negara lain dalam memecahkan masalah seperti itu. Di Jerman misalnya,
walaupun ada izin, tetapi jika telah menimbulkan luka yang mematikan atau luka
berat, tidak dapat diterima izin sebagai dasar pembenar. Ini diputuskan oleh
92
Ibid
60
Bundesgerichshof tanggal 13 Maret 1975.93 Dasar pemikirannya adalah
pengusaha administratif tidak pernah boleh mengeluarkan izin yang akan
menimbulkan luka atau kematian.
Belgia lebih jelas lagi tentang jangkauan berlakunya dasar pembenar
suatu izin karena dengan yurisprudensi dan doktrin hakim bisa diberikan
wewenang menguji suatu izin. Jika suatu izin ternyata bertentangan dengan norma
yang lebih tinggi akan batal dalam hal-hal konkret dan tidak akan merupakan
dasar pembenar.
Pengalaman dan ajaran hukum lingkungan di negara-negara maju ini
perlu diperhatikan, agar dapat mengantisifasi masalah-masalah baru yang rumit
yang akan muncul seirama dengan kemajuan pembangunan pada umumnya dan
perindustrian pada khususnya akan menimbulkan masalah serius di bidang hukum
lingkungan yang memerlukan pemecahan yang tepat.
2. Konsep Penegakan Hukum Joseph Goldstein
Penanggulangan kejahatan dengan target menurunkan tingkat kejahatan,
memperlihatkan adanya jumlah kejahatan yang terjadi dan kejahatan yang dapat
diproses melalui penegakan hukum. Dari pengalaman menunjukkan bahwa,
selama upaya penanggulangan kejahatan dilakukan terdapat pula kejahatan yang
tidak dapat dituntut yang disebut “undetected crimes” dan “release without
prosecution”. Adanya realitas kejahatan demikian sehingga tercipta peta kriminal
93
Ibid
61
yang meliputi tiga daerah operasional dalam wilayah penegakan hukum yaitu,94
(1) penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara total (area of no
enforcement), (2) diskresi dan syarat penuntutan dalam penegakan hukum (area
dicisions not to enforce) dan (3) penuntutan secara nyata yang dapat dilaksanakan
dalam penegakan hukum (area of actual enforcement).
Gambaran wilayah penegakan hukum tersebut terungkap dari hasil
konggres internasional yang mengembangkan95 (1) standar penegakan hukum di
peradilan pidana, dan (2) perlindungan saksi untuk proses peradilan pidana, serta
(3) public participation untuk proses peradilan pidana. Substansi yang penting
dari standar penegakan hukum di peradilan pidana, memuat rekomendasi bahwa
total crime pada dasarnya tidak mungkin sama dengan full enforcement, karena di
dalam konsep ini terdapat tiga wilayah penegak hukum.
Sesungguhnya wilayah penegakan hukum seperti tersebut di atas terlebih
dahulu telah dijelaskan secara terperinci oleh Joseph Goldstein96 menurut Joseph
Goldtein penegakan hukum pidana dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Total
Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang
dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Meskipun
keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara total, namun
penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilaksanakan sehingga
terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan hukum (Area of no
enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum dibatasi secara
94
Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia FH UII Pres. Yogyakarta.Hlm.149
Ibid
96
Joseph Goldstein dalam .Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia FH UII
Pres. Yogyakarta.Hlm.149
95
62
ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan penagkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
dan
pemeriksaaan
pendahuluan.
Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum pidana
substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu penuntutan,
misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan.
Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum
jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total
(total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun
penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan
penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuannya itu
mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions).
Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan
hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di
dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara
nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah
penegak hukum itu.
3. Politik Kriminal Merupakan Bagian dari Penegakan Hukum.
Upaya penanggulangan kejahatan khususnya pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup dalam usaha mengatasi dampak negatif dari
perkembangan masyarakat atau modernisasi dengan penggunaan hukum pidana,
maka Sudarto fungsionalisasi atau penggunaan hukum pidana tersebut harus
63
dilihat dalam konteks keseluruhan politik kriminal, yang lazim dikenal dengan
istilah planning for social defence, yang dalam hal ini merupakan bagian integral
dari perencanaan pembangunan nasional.97
Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya
merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence)
dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare).
Politik hukum pidana (dalam tatanan mikro) yang merupakan bagian dari
politik hukum (dalam tataran makro), maka dalam pembentukan undang-undang
harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan
dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan
yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat
dihormati. Dalam bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana
berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai
dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan
datang.98
Sudarto99 mengatakan Pembentukan undang-undang merupakan proses
sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh
luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan
masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan
97
Barda Nawawi.2008. Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Hal. 2
Sudarto.1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan
Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung. Hal. 16
99
Ibid
98
64
mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa
undang-undang itu mempunyai dua fungsi, yaitu:
1. Fungsi untuk mengekpresikan nilai-nilai
2. Fungsi instrumental
Bertitik dari kedua fungsi tersebut maka sebaiknya politik hukum pidana
dijalankan tanpa mengingkari fungsi lainnya, misalnya sifat atau pengaruh
simbolis dari undang-undang tertentu. Menurut Sahetapy,100 Peranan hukum
dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai
suatu alat (istrumen) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam
penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu
berasal, jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk
perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni darimana
hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam
bentuk manisfestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu
tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai
instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang
sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan idealisme Pancasila.
Sudarto,101merujuk pada hasil symposium tentang Kesadaran Hukum
Masyarakat dalam Masa transisi,yang diselenggarakan di Semarang tanggal 20-23
Januari 1975 menulis, negara-negara yang sesudah Perang Dunia II telah
100
Sahetapy.1993“Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan
Sistem Hukum,” Analisis CSIS (Januari-Pebruari,XXII), No. 1. Hal. 55-56
101
Sudarto.1983. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Hal. 96
65
memperoleh
kemerdekaan
berusaha
untuk
melakukan
langkah-langkah
modernisasi di negaranya masing-masing. Dengan adanya langkah-langkah
tersebut maka telah terjadi proses perkembangan masyarakat yang meliputi
bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi itu Menurut
Sudarto, dapat diartikan sebagai proses penyesuaian diri dengan keadaan
konstelasi dunia pada waktu ini, Apabila hukum pidana hendak dilibatkan maka
harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. Menurut Sudarto,102
Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas.
a. Dalam arti sempit, Politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas
metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum
berupa pidana;
b. Dalam arti yang lebih Luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur
penegakan hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi;
c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keselururhan kebijakan yang
dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang
bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat.
Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan
sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti
mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif
dalam usaha penanggulangan kejahatan.
102
Ibid
66
Pada bagian lain sudarto mengatakan, menjalankan politik hukum pidana,
juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang
paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai
hasil yang berhasil guna dan dayaguna maka para pembuat kebijakan dapat
memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Apabila
mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undangundang yang tidak fungsional.103
Pandangan sudarto diatas, sejalan dengan Marc Ancel. 104 Menurutnya, in
modern science has primery three essencial componens: criminology,criminal
law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek.
Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan
positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik
sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk
memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi
petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundangundangan pidana, tetapi juga pengadilan dimana peraturan-peraturan itu
diterapkan dan penyelenggaraan pemasyarakat (prison administration) yang
memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.105
Politik kriminal atau kebijakan penanggulangan tindak pidana tersebut
dapat mencakup ruang lingkup yang luas. Ini artinya, politik kriminal dapat
103
Ibid
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah.2005. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan
Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 16
105
Ibid
104
67
dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam
penanggulangan tindak pidana. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat
dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak
pidana dengan menggunakan saranan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan
penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana
(non-penal policy). Pada dasarnya Penal policy lebih menitik beratkan pada
tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal
policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak
pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non-penal
policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis.
Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan
terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah menangani
dan menghapus faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak
pidana.106
Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana
hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana”
atau “politik hukum pidana” Marc Ancel107 berpendapat, kebijakan hukum pidana
(penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan
praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik dan untuk memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang,
pengadilan yang menetapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan
pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu
106
107
Ibid
Ibid. Hal. 18
68
komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal
law.
Dengan demikian, penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana
pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan
memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif),
kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan
eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi
tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana
dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain,
perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu
perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti, menyangkut proses
kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto, merupakan proses penetapan suatu
perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu
diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa
pidana.108
Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan,
109
kebijakan untuk
membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan
dari tujuan penaggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian penanggulangan
kejahatan, Menurut Mardjono Reksodiputro,110adalah usaha untuk mengendalikan
108
Ibid
Barda Nawawi Arief.1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana.Citra Aditya Bakti. Bandung.
Hal.. 29-30
110
Mardjono Reksodiputro.1994. Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan
Kejahatan). dalam Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan
Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi),
Universitas Indonesia, Jakarta.Hal.84
109
69
kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Menurut Barda
Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada
hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya
hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari
kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundangundangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial
tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang
rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup
perlindungan masyarakat.
Jika politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka ia harus
merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan segaja dan sadar. Sudarto
berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan
untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi
syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi
pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada hakikatnya
kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan
dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau
kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif
atau kebijakan administratif. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat
dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundangundangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap
70
penerapan dari ketentuan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap
eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari keputusan
pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap.111
Bertolak dari pendekatan kebijakan itu, Sudarto berpendapat dalam
menghadapi masalah sentral, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus
diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 112
1.
Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan
nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil
dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka
(penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan
mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi
kesejahteraan dan pengayoman masyarakat;
2.
Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum
pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan
yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga
masyarakat;
3.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan
hasil (cos benefit principle)
111
112
Sudarto, op.cit. Hal. 32
Ibid
71
4.
Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan
sampai ada kelampuan beban tugas (overbelasting)
Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum
pidana dengan sanksinya berupa pidana, Namun demikian usaha ini pun masih
sering dipersoalkan. Perbedaaan peranan pidana dalam menghadapi masalah
kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun, 113 dan
menurut Herbert L Packer,114 usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan
mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana,
merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting.
Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu
upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan
penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum
termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk
mencapai kesejahteraan masyarakat.
115
Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa
tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat
untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan,
bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari
politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.116
113
Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.cit, hlm.25
Ibid
115
Sudarto, op.cit., hlm. 61
116
Barda Nawawi. Kebijakan Hukum Pidana.op.cit. Hal. 2
114
72
B. Pengertian Hukum Lingkungan
Dalam
literatur
berbahasa
Inggris
hukum
lingkungan
disebut
environmental law. Orang Belanda menyebutnya milieurecht, sedangkan Jerman
menyebut umweltrecht, Prancis menamainya droit de environment. Malaysia
dengan bahasa Melayu memberi nama hukum alam sekitar, suatu istilah berbau
harfiah. Semua istilah pelbagai bahasa bermaksud untuk menunjukan bagian
hukum yang berangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk
mengatasi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan (fisik).117
Pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi fisik saja dan tidak
menyangkut lingkungan sosial. Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan
untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh ulah
manusia. Kerusakan lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan
oleh ulah manusia. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi
menurunnya kualitas lingkungan.118 Kualitas lingkungan menyangkut nilai
lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan ketenteraman manusia. Nilai
lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai
lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia. Menurut Drupteen119,
masalah lingkungan merupakan kemunduran kualitas lingkungan. Atau dengan
kata lain, bahwa masalah lingkungan yang menyangkut gangguan terhadap
lingkungan antara manusia dan lingkungan bentuknya berupa pencemaran,
pengurasan, dan kerusakan lingkungan.
117
Andi Hamzah. Penegakan Hukum Lingkungan. Op.cit. hal. 7
Ibid
119
Ibid
118
73
Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang
perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak
langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa
yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga
masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan
kaidah kepada masyarakat.120
Hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama adalah
ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota
masyarakat diimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan
yang bertujuannya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua, adalah dimensi
yang member hak, kewajiban, dan wewenang badan-badan pemerintah dalam
mengelola lingkungan.
Menurut Prof. Stephanus Munadjat Danusaputro121 hukum lingkungan
adalah salah satu cabang hukum yang tergolong baru yang kehadirannya seiring
dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat atas lingkungan, agar perlindungan dan
tata pengelolaan lingkungan serta eningkatan ketahanannya dapat terselenggara
secara tertib pasti dan bersifat memaksa, maka penyelenggaraannya didasarkan
atas hukum. Dengan demikian sifat hukum tersebut adalah sekumpulan peraturan
yang berorientasi dan secara khusus diciptakan kepada kepentingan alam atau
lingkungan (nature’s interest oriented law) , dan itulah yang disebut hukum
lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan dapat diartikan sebagai hukum
120
121
Ibid
N.H.T. Siahaan. 2009. Hukum Lingkungan. Pancuran Alam.Jakarta. hal. 59
74
yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan peningkatan
ketahanan lingkungan hidup.122
Sistem hukum lingkungan mendapat bentuknya dengan pola kepentingan
lingkungan, dan tidak semata-mata kepentingan manusia (use oriented). Munadjat
Danusaputro123 menyebutkan dengan hukum lingkungan modern. Hukum
lingkungan modern, merupakan ketentuan yang mengatur tindak perbuatan
manusia, dengan tujuan terpenting melindungi lingkungan dan mencegah
kerusakan dan kemerosotan kualitasnya, supaya bersifat lestari dan data secara
terus menerus digunakan oleh, baik generasi sekarang maupun generasi
mendatang. Jadi sifat hukum lingkungan modern ini adalah, bertujuan atau
berorientasi perlindungan lingkungannya (environment oriented law).
Drupsteen124 mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (Milieurecht)
adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu)
dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan
oleh ruang lingkung pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum
lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan.
Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka
hukum lingkungan sebagaian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurs
recht). Di samping hukum lingkungan pemerintah (bestuurs rechtelijk
milieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan
pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk
122
Ibid
Ibid
124
Koesnadi Hardjasoemantri. 2009. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. Hlm. 42
123
75
oleh badan-badan internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain.
Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk
milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan (staatrechtelijk milieurecht),
hukum lingkungan kepidanaan (strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidangbidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan pengelolaan
lingkungan hidup.Prof.Koesnadi Harjasoemantri lebih cenderung mempergunakan
Hukum Tata Lingkungan sebagaimana diterangkan hukum lingkungan merupakan
salah satu aspek dari hukum lingkungan yang mengatur penataan lingkungan guna
mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, baik
lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial.125.
Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum lingkungan hendaknya memiliki
aspek-aspek sebagai berikut:126
1.Peran hukum menstrukturkan kepada kepastian dan ketertiban dengan
mendasarkan kepada pertimbangan para ahli masing-masing sehingga
perencanaan ekonomi dan pembangunan akan memperhatikan efek
lingkungaan secara keseluruhan; 2. Pola perundang-undangan lingkungan
dapat bersifat preventif dan represif, sementara mekanismenya dapat
digunakan dengan berbagai instrument antara lain perizinan, insentif,
dengan dan hukuman; 3. pendekatannya bisa bersifat sektoral seperti
ertambangan, industri, pertanian, planologi, kota, kesehatan dan
sebagainya.
Pengertian hukum lingkungan patut dikaitkan pula pada pengaturan
kemampuan dan pengembangan tata lingkungan hidup itu sendiri beserta
keragaman sumber dayanya. Tekanan pengaturannya, bukan saja menyangkut
interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya saja beserta sumber-sumber daya
lingkungan, tetapi harus pula menyangkut interaksi antar sesame dalam pergaulan
125
126
Ibid.Hal.45
Siahaan. op.cit.hal.62
76
mempengaruhi lingkungan, supaya tercapai lingkungan hidup yang baik serta
berlanjutan. Dengan menekankan factor-faktor ini, pada tujuannya kelak, hukum
lingkungan hendaknya pula mengarah kepada tercapainya kondisi keserasian dan
keseimbangan tata lingkungan, demi terwujudnya kesejahteraan manusia, bukan
hanya ada generasi kini tetapi juga pada generasi mendatang.127
C. Perkembangan Hukum Lingkungan
Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan
sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup,
mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu
ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.128
Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini mulai di kalangan
Sewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasilhasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-I
(1960-1970)” guna
merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-II (1970-1980)“.
Pembicaraan tentang masalah lingkungab hidup ini diajukan oleh Wakil Swedia
pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk
dijajaki kemungkinan guna
menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup
manusia.129 Pada tahun 1972 diadakan konferensi internasional pertama dan
bersejarah di Stockholm, Swedia. Sejak itu negara-negara mulai sadar dan bangkit
dalam menaruh perhatian besar dalam mengelola lingkungan termasuk penciptaan
perangkat peraturan perundang-undangan mengenai pelestarian hidup manusia,
127
Ibid
Keosnadi Hardjasoemantri.Hukum Tata Lingkungan. op.cit. hal. 6
129
Ibid
128
77
penyusunan program-program untuk menanggulangi pencemaran, perusakan, dan
pengurasan lingkungan.130
D. Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Beberapa Negara
Lain.
Perlu
dilihat
bagaimana
usaha
negara-negara
di
dunia
dalam
mengimplementasikan prinsip-prinsip baru dan menciptakan perundang-undangan
nasional, regional, dan internasional dalam menanggulangi menurunnya mutu
lingkungan nasional dan global.
1.
Jerman
Pemerintahan Federal Jerman (Barat) pada tahun 1970 membuat
program-program mengenai lingkungan dan menyeluruh pada tahun 1972,
padahal masa itu mereka sibuk dalam penanggulangan masala ekonomi dan
energi. Pada waktu itu parlemen mengeluarkan undang-undang baru dan
memperbaiki undang-undang lama mengenai lingkungan. Yang terpenting di
antara undang-undang tersebut adalah undang-undang tentang perlindungan emisi,
yang disempurnakan pada tahun 1976.131
Walaupun telah tercipta peraturan perundang-undangan mengenai
lingkungan, namun masyarakat belum puas mengenai penegakan hukum
lingkungan. Akan tetapi, usaha keras untuk meningkatkan upaya penegakan
hukum tetap dilakukan. Upaya pertama adalah yang disebut penegakan hukum
secara tidak langsung, yaitu pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan melalui
130
131
Andi Hamzah. hal. 14
Ibid
78
partipasi dalam tata cara administrasi dan siding-sidang pengadilan. Cara yang
kedua adalah penegakan hukum secara langsung melalui tindakan terhadap
pencemaran lingkungan. Akan tetapi, karena pada umumnya penanggulangan
pencemaran tergantung kepada tindakan pemerintah seperti perencanaan,
penentuan wilayah dan pemberian izin, cara pertama yang dipandang lebih baik
dan dilaksanakan.132
Di Jerman telah berkembang suatu pendapat agar diberikan penekanan
penggunaan istrumen hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan.
Mereka bahkan mendesak sesama anggota masyarakat Eropa agar penggunaan
hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan diberi perhatian. Pada
Kongres ke - 8 PBB yang diadakan di Havana, Kuba dalam tahun 1988 tentang
Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran, Jerman menyerukan negara
anggota, antara lain member wujud yang efektif kepada pidana yang menyangkut
delik lingkungan.
Dalam tahun 1980 diciptakan suatu bab baru dalam KUHP Jerman
(Barat) berjudul Kejahatan Terhadap Lingkungan dari Pasal 324 sampai dengan
Pasal 330d. Pasal-Pasal itu berturut-turut mengatur tentang pencemaran Air (Pasal
324); Pencemaran Udara dan Kebisingan (Pasal 325); Pembuangan Limbah yang
membahayakan Lingkungan (Pasal 326).133
Usaha Jerman untuk meningkatkan penanggulangan pencemaran
lingkungan tidak terbatas di dalam negeri, bahkan telah mendesak negara-negara
Eropa agar menerapkan hukum pidana dalam menanggulangi pencemaran
132
133
Ibid
Ibid
79
lingkungan. Dan juga mendesak PBB supaya hukum pidana diperbaiki masingmasing negara anggota agar lebih efektif. Usulan Jerman itu sejalan dengan
pendapat peserta seminar ke-71 di Tokyo tahun 1986 yang menyatakan bahwa
delik lingkungan merupakan kejahatan berdimensi baru sebagaimana halnya
dengan kejahatan ekonomi, kejahatan white collar, narkotika, computer, korupsi,
dan terorisme internasional.134
2. Kanada
Usaha-usaha maju dari pemerintah Kanada yang juga sangat menonjol
dalam penanggulangan pencemaran, perusakan, dan pengurasan lingkungan
termasuk penciptaan perundang-undangan, sitem penegakan hukum lingkungan,
dan kebijaksanaan yang menyeluruh. Di dalam negeri sendiri, Kanada telah
berusaha menyusun program pengurangan pembuangan sulfur dioksida dengan 50
% sebelum tahun 1994. Juga akan berusaha menurunkan pembuangan nitrogen
dioksida dari sumber-sumber bergerak lebih dari 45 % antara tahun 1989 dan
tahun 2000. Pada tahun 1988 Kanada dan 24 negara lain menandatangani protocol
sofia dengan tujuan menurunkan pembuangan gas tersebut.135
Pada tahun 1988 Parlemen Kanada telah menyetujui Undang-Undang
tentang Perlindungan Lingkungan.Undang-Undang ini merupakan ini merupakan
Undang-Undang payung untuk melindungi penduduk dari pencemaran bahan
beracun. Kanada berbatasan Amerika Serikat melalui kerja sama dengan Amerika
Serikat, Kanada telah meningkatkan pengawasan ketat terhadap pembuangan
limbah seperti ke sungai Niagara. Mereka berusaha untuk mengurangi
134
135
Ibid. Hal. 17
Ibid. Hal. 18
80
pembuangan limbah berbahaya ke sungai tersebut sampai tahun 1996, sehingga
hanya setengah dari bahan berbahaya dan berancun yang dibuang dari dua tepi
sungai tersebut.
Ketentuan administrasi negara merupakan bagian terbesar isi Undangundang Lingkungan Kanada, sedangkan ketentuan hukum pidana hanya sebagian
kecil. Sebagaimna halnya dengan negara-negara lain, isi Undang-undang tersebut
adalah hukum administrasi atau pemerintah karena mengandung ketentuan hukum
pidana maka merupakan hukum pidana khusus.
Dalam KUHP Kanada, dapat ditemukan ketentuan yang berkaitan dengan
lingkungan, yaitu Pasal 180 KUHP tahun 1989, yaitu perbuatan menggangu
umum dan membahayakan nyawa, keselamatan, dan kesehatan umum.136
3. India
India adalah negara salah satu contoh mereka baru tersentak setelah
terjadi malapetaka di pabrik Union Carbide (Tragedi Bhopal) yang terjadi pada 3
Desember 1984 dunia menyaksikan bencana kimiawi yang paling dahsyat paling
sedikit 8.000 pekerja dan enduduk meninggal dunia dalam tiga hari pertama
setelah terjadinya bencana kebocoran gas pada pablik Union Cardibe India
Limited.137 2.000 ekor ternak, ribuan burung/unggas, dan juga kerusakan tanaman
yang sanagat luas.138
Mendadak
mereka
menyusun
Undang-undang
lingkungan
yang
disebutkan environmental (protection) act 1986. Di dalam Undang-undang yang
136
Ibid
Sutan Remy Sjahdeni. op.cit. Hal. 5
138
Andi Hamzah. op.cit. Hal. 20
137
81
baru ini diatur masalah pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan
termasuk pengawasan ketat terhadap bahaya berbahaya (dangerous substances).
4. Republik Rakyat Cina
RRC memasukkan pengaturan lingkungan secara mendasar ke dalam
konstitusi tahun 1978, kemudian tahun 1982. Setelah delegasi RRC kembali dari
konferensi di Stockholm, segera mereka mengadakan konvensi nasional mengenai
perlindungan lingkungan. Pada bulan November 1973 mereka telah menciptakan
peraturan perlindungan dan perbaikan lingkungan (untuk peradilan pidana).139
Sejak tahun 1979 RRC telah mengeluarkan beberapa undang-undang
mengenai
lingkungan,
seperti
Undang-Undang
perlindungan
lingkungan
(Environmental rotection Law), Undang-Undang Pencengahan dan Pengawasan
Pencemaran Udara (Law of the Prevention and Control of Air Polution).
Berdasarkan perangkat Undang-undang sektoral ini, kantor lingkungan hidup
memainkan peranan yang sangat besar. Kebijakan dasar lingkungan RRC
bertumpu pada dua prinsip pokok berikut:140
a. Berdasarkan atas Environmental Protection Law 1979, digariskan bahwa yang
menjadi prioritas utama adalah usaha preventif. Prinsip ini didasarkan kepada
pemikiran bahwa lingkungan itu mudah dicemari tetai sulit untuk dikontrol,
sistem ekologis mudah untuk dikontrol, sistem ekologis mudah untuk
dikontrol, sistem ekologi tidak dapat dipulihkan atau diperbaiki lagi
(irreparable). Dengan mengambil tindakan-tindakan terlebih dahulu, akan
139
140
Ibid
Ibid
82
diperoleh hasil berlipat ganda dengan usaha hanya setengah. Juga akan
menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan.
b. Langkah kedua yang diambil oleh RRC adalah pengawasan yang diperketat
berjalan bersama dengan tindakan preventif, karena bagaimana pun juga RRC
adalah negara berkembang, yang pasti akan terus terjadi pencemaran
lingkungan dan perusakan ekosistem. Sistem pengawasan ini didasarkan keada
adagium, siapa pun yang mencemari berkewajiban untuk menghilangkanya.
c. Usaha yang ketiga adalah di samping menghilangkan dan mencegah
pencemaran lingkungan, juga memperbaiki dan melindungi alam
d. Usaha yang keempat adalah perbaikan sistem manajemen lingkungan, bahwa
usaha RRC untuk menangguangi pencemaran lingkungan cukum baik dan
maksimum sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman.
5. Belanda
Belanda termasuk negara yang paling maju dalam hal pengelolaan,
pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan, begitu pula sistem
perundang-undangan yang baik dan lengkap. Organisasi yang mengelola masalah
lingkungan juga baik disertai dengan penegak hukum terampil dan cakap. Hal ini
semua dipermudah oleh kesadaran lingkungan dan kesadaran hukum rakyat yang
tinggi.141
Sejak 13 Januari 1979 Belanda sudah memiliki undang-undang paying
untuk lingkungan yang dinamai Wet Algemene Bepalingen Milieuhygiene
(Undang-Undang Ketentuan Umum Kesehatan Lingkungan) stbl. 442, yang telah
141
Ibid. Hal. 24
83
berkali-kali diubah dan terakhir pada tanggal 18 Januari 1990 stbl. 45. Undangundang ini merupakan peraturan administrasi, terutama berisi perihal perizinan.
Tidak ada ketentuan pidana di dalamnya, melainkan ada ketentuan laporan
dampak lingkungan, yang dapat disejajarkan dengan ketentuan Amdal di
Indonesia.142 Ketentuan pidana lingkungan tercantum di dalam undang-undang
sektoral. Undang-undang ketentuan umum kesehatan lingkungan ini dikaitkan
(juga) pada undang-undang Tindak pidana Ekonomi (Wet op de Economische
Delicten) khususnya pasal-pasal yang menyangkut ketentuan administratif.
Disamping ada undang-undang yang dikaitkan dengan undang-undang tindak
pidana ekonomi akan tetapi juga mempunyai ketentuan pidana sendiri misalnya
undang-undang mengenai pencemaran udara.
Disamping umumnya undang-undang di Belanda dimasukkan kedalam
Tindak pidana Ekonomi (Wet op de Economische Delicten) dengan sendirinya
saksinya bervariasi, yang mengandung pidana tambahan lebih banyak, sanksi tata
tertib, dan wewenang jaksa yang lebih luas sehingga penyelesaian perkara
lingkungan di Belanda memalui instrumen hukum pidana jauh lebih mudah dan
lebih lancar daripada Indonesia yang tidak memasukkan delik lingkungan
kedalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi. Bahkan tidak memiliki
undang-undang sektoral yang lengkap mengenai lingkungan.
Di samping itu, Belanda menciptakan kementerian lingkungan yang berdiri
sendiri, yaitu Ministerie van Volkshuisverting Ruimtelijke Ordening en
Milliieubeheer (VROM) atau Kementerian Perumahan Rakyat, Tata Ruang, dan
142
Ibid
84
Pengelolaan Lingkungan. Kemeterian ini luas organisasinya, memiliki inspekturinpektur dan berwenang menyidik delik lingkungan dan juga pengawas.
Kementerian Kesehatan Rakyat berwenang menyidik sekadar mengenai
undang-undang yang menyangkut kesehatan rakyat. Polisi juga mempunyai
bagian khusus yang terus-menerus patroli mengawasi dan menyidik delik
lingkungan. Begitu pula ada jaksa khusus lingkungan di setiap kantor kejaksaan
yang khusus pula dan menguasai bidang lingkungan secara luas. Jaksa lingkungan
ini umumnya lebih senior dari jaksa lain. Universitas juga memiliki guru besar
yang ahli di bidang hukum lingkungan baik yang jurusan perdata maupun yang
jurusan administrasi dan hukum pidana. Ada pula politeknik yang khusus
mendidik tenaga-tenaga untuk mengelola dan menegakkan hukum lingkungan.
Belanda menciptakan atau menambah yang sudah ada rumusan delik
lingkungan didalam KUHP (hukum pidana umum) pada tahun 1989. Undangundang KUHP Belanda Pasal 173a dan Pasal 173 b yang masing-masing
merupakan delik sengaja dan kelalaian mirip dengan rumusan Undang-undang
Pencemaran air permukaan (Wet Verontreiniging Oppervlaktewateren), Undangundang Bahan Limbah Kimia (Wet Chemischeafvalsoffen), Undang-Undang
Bahan Limbah (Afvalstoffenwet), dan Undang-undang Bahan Membahayakan
Lingkungan (Wet Millieugevaarlijke Stoffen). Akan tetapi, di dalam penjelasan
undang-undang yang menambahkan Pasal 173a dan Pasal 173b KUHP itu,
dikatakan bahwa ini perlu untuk melengkapi delik lingkungan di dalam KUHP di
samping undang-undang yang termasuk tindak pidana ekonomi (WED)143
143
Ibid
85
Negeri Belanda jaksa mempunyai banyak pilihan dalam menyusun surat
dakwaan misalnya terjadi pencemaran atau pembuangan limbah ke air permukaan
(sungai, danau, telaga, parit, dan sebagainya). Apakah perbuatan itu melanggar
ketentuan di dalam Pasal 173a atau Pasal 173b KUHP (delik umum/komun)
ataukah Undang-undang pencemaran air permukaan, ataukah Undang-undang
bahan limbah kimia, ataukah yang lain yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam
praktek ini dapat disusun secara alternatif (dakwaan alternatif). Sebenarnya ada
perbedaan antara delik lingkungan yang di dalam KUHP itu dengan yang diluar
KUHP yang di dalam KUHP dimaksud melindungi manusia khususnya kesehatan
dan nyawa secara khusus, sedangkan yang diluar KUHP itu untuk melindungi
lingkungan pada umumnya. Ancaman pidananya pun jauh berbeda, yaitu yang di
dalam KUHP (Pasal 173a), yaitu memasukkan suatu bahan yang berbahaya ke
tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan kesehatan atau nyawa
manusia, diancam dengan pidana sampai 12 tahun, sedangkan yang dalam WED
itu ada yang diancam dengan pidana maksimum 6 bulan penjara atau denda.144
6. Amerika Serikat
Amerika serikat pun memiliki peraturan perundang-undang lingkungan
baik yang bersifat induk (payung) maupun yang bersifat sektoral. Mula-mula
mereka
hanya
mengandalkan
hukum
kebiasaan
(Common
law)
untuk
menanggulangi masalah lingkungan. Kemudian para politis, ilmuwan, dan
kalangan bisnis serta pencinta lingkungan bahwa perlu diciptakan perangkat
peraturan yang lebih baik dan lengkap. Perlindungan kepada lingkungan
144
Ibid
86
dipandang sebagai tujuan nasional yang memerlukan ahli ilmu pengetahuan,
orientasi preventif, dan badan administrasi yang independen.145
Perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan dimulai pada tahun
1969. Pada tahun itu diciptakanlah National Environmental Policy Act (NEPA).
Dari Pasal 2 NEPA dapat dibaca kebijaksanaan nasional yang dituju. Pasal itu
berbunyi:
“Untuk mendeklasikan kebijaksanaan nasional yang akan memajukan keselarasan
produktif dan menyenangkan antara manusia dan lingkungannya untuk
mendorong usaha-usaha yang akan mencegah atau meniadakan kerusakan
terhadap lingkungan dan biosfer, serta mendorong kesehatan dan kesejahteraan
manusia, untuk meningkatkatkan pengertian mengenai sistem ekologis dan
sumber alam yang penting bagi bangsa dan mendirikan majelis mengenai mutu
lingkungan”146
Peraturan NEPA banyak yang dikendalikan oleh pemerintah Federal
karena 1/3 tanah Amerika Serikat dimiliki dan dikontrol oleh Pemerintah Federal.
Untuk mengeksplotasi tambang atau melakukan aktivitas perniagaan diperlukan
izin dan untuk itu kalangan bisnis harus menaati ketentuan NEPA termasuk bisnis
swasta jika modal federal dalam usaha swasta.
NEPA ini dibagi atas dua titel. Titel kedua mengatur tentang diadakannya
majelis mutu lingkungan (Council on Environmental Quality yang disingkat
dengan CEQ), yang bermaksud untuk menjalankan undang-undang ini. CEQ
bertanggungjawab untuk analisis kebijaksanaan lingkungan, mengumpulkan
informasi dan mengeluarkan nasihat mengenai dasar kebijaksanaan, rekomendasi
145
146
Ibid. Hal. 27
Ibid
87
tentang kebijaksanaan lingkungan kepada Presiden, dan mengeluarkan laporan
tahunan mengenai keadaan lingkungan.
7. Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia
Hukum lingkungan Indonesia telah mulai berkembang semenjak zaman
penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi hukum lingkungan pada masa itu
bersifat atau berorientasikan pemakaian (use-oriented law). Hukum lingkungan
Indonesia kemudian berubah sifatnya menjadi hukum yang berorientasikan tidak
saja pada pemakaian, tetapi juga perlindungan (environment-oriented law).
Perubahan ini tidak terlepas dari pengaruh lahirnya hukum lingkungan
internasional modern, yang ditandai dengan lahirnya Deklarasi Stockholm 1972
(the Stockholm Declaration of 1972). Perkembangan hukum lingkungan Indonesia
sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan Internasional.147
Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai peraturan payung
untuk lingkungan baru tercipta setelah lewat sepuluh tahun yaitu tahun 1982.
Sekarang telah berubah dengan Undang-undang No 23 Tahun 1997.
Bertumpu pada undang-undang ini, seharusnya dilanjutkan dengan
penciptaan beberapa undang-undang sektoral dan juga peraturan pelaksanaan
berupa peraturan pemerintah. Undang-undang yang telah tercipta adalah Undangundang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya.
Undang-undang
ini
pun
memerlukan
belasan
peraturan
pelaksanaan yang yang belum tercipta.
147
Sukanda Husin. 2009.Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hal.1
88
Perlu ditentukan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan (yang sektoral) tentang kegiatan yang bagaimana dan jenis
sumber daya tertentu mana yang pembuaat bertanggungjawab mutlak (Strict
Liability atau Absolute Liability). Kalau kita bandingkan dengan Amerika Serikat,
disana perbuatan yang dapat diterapkan Strict Liability adalah yang Ultra
hazardous activity (aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan yang hebat).148
Jika telah ada kepastian mengenai hal tanggungjawab mutlak ini barulah
dapat dilakukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 34 UULH tersebut.
Sebelumnya adanya kepastian berdasarkan peraturan perundang-undangan
mengenai hal itu, maka penggugat atau korban hanya dapat menggugat
berdasarkan Pasal 1365 BW, yang mengsyaratkan unsur kesalahan (schuld) baik
karena kesengajaan maupun karena kelalaian tergugat yang harus dibuktikan oleh
penggugat.
a. Dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang No. 23 Tahun
1997
Deklarasi Stockholm 1972, merupakan pilar dari perkembangan
lingkungan internasional. Indonesia sebagai negara yang ikut mendatangani
deklarasi ini harus mengimplementasikan ketentuan deklarasi tersebut dalam
yuridiksinya. Sebagai tanda kepatuhan Indonesia kepada norma hukum
internasional. Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1982
tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya
148
Andi Hamzah, op.cit. 31
89
disingkat dengan UULH).149 UULH ini merupakan undang-undang pertama yang
bersifat integral untuk melindungi lingkungan hidup Indonesia. UULH
diundangkan sepuluh tahun setelah dikeluarkannya Deklarasi Stockholm.
UULH merupakan ketentuan payung (umbrella act) bagi semua
peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti semua
peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya lahirlah UULH masih
tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan umbrella act dan begitu pula
halnya dengan penyusunan peraturan perundang-undangan baru tidak boleh
bertentangan dengan UULH.
Dalam kurun waktu 15 tahun masa berlakunya, UULH mengalami
banyak kendala dalam penegakan hukum (law enforcement). Banyak pakar
hukum lingkungan melakukan studi tentang kelemahan-kelemahan UULH, yang
menjadi kendala dalam penegakan hukum. Diantara kendala tersebut adalah
kendala regulatif, institusional dan politis. Kendala regulatif merupakan kendala
yang krusial. UULH terdiri atas 24 Pasal. Dari 24 Pasal yang ada, 16 Pasal
membutuhka peraturan pelaksana. Tanpa pengaturan lebih lanjut (implementing
regulations), UULH tidak akan efektif mengatasi persoalan lingkungan hidup.150
Di samping kendala yang diuraikan di atas, beberapa pasal dalam UULH
masih membutuhkan perombakan dan perbaikan. Atas dasar pertimbangan itu,
pemerintah mengundangkan Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang
149
Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup (UKPPLH), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 No. 1
150
Sukandi Husin. op.cit. Hal.5
90
Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPLH)151 untuk
menggantikan ULH. UUPLH mulai berlaku pada saat diundangkan, yakni pada
tanggal 19 september 1997.
UUPLH terbukti juga memiliki kelemahan yang dapat berpengaruh pada
penegakan
dan
penataan
hukum
(law
enforcement
and
compliance).
Penyempurnaan UUPLH merupakan suatu keharusan dengan dilandasi berbagai
alasan.
Alasan
pertama,
adalah
bahwa
UUPLH
sangat
menonjolkan
pemberdayaan masyarakat. Kedua adalah bahwa UUPLH belum sejalan dengan
Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Terakhir, adanya
keinginan komunitas lingkungan hidup, DPR RI, Pemerintah, Perguruan tinggi dal
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), untuk mengundangkan Undang-undang
tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.152
Penyempurnaan UUPLH telah menjadi keputusan politik antara Pemerintah
dan DPR RI sebagaimana tertuang dalam program Pembangunan Nasional
(PROPENAS) sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah dan penyelengara
negara lainnya melaksanakan pembagunan lima tahun.
b. Pengaturan Lingkungan pada masa UULH
UULH diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Undang-undang ini
merupakan ketentuan payung (umbrella act) bagi perlindungan lingkungan.
Konsekuensinya, UULH tidak memuat aturan-aturan detail tentang penanganan
suatu persoalan hukum lingkungan. UULH hanya memuat aturan umum tentang
pengelolaan lingkungan hidup, seperti terlihat pada sistematika UULH hanya
151
Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara
Republik Indonesia, tahun 1997 No. 58
152
Sukandi Husin.op.cit. Hal 6
91
memuat aturan umum tentang pengelolaan lingkungan hidup, seperti terlihat pada
sistematika UULH sebagai berikut:
Bab I
: Ketentuan Umum
Bab II
: Asas dan Tujuan
Bab III
: Hak, kewajiban, dan wewenang
Bab IV
: Perlindungan Lingkungan Hidup
Bab V
: Kelembagaan
Bab VI
: Ganti Kerugian dan Biaya Pemulihan
Bab VII
: Ketentuan Pidana
Bab VIII
: Ketentuan Peralihan
Bab IX
: Ketentuan Penutupan
Setelah diberlakukan selama 15 tahun, UULH dianggap mempunyai
beberapa kekurangan dan kelemahan yang elementer sehingga tidak menopang
upaya penegakan hukum (law enforcement). Misalnya, beberapa pasal yang ada
dalam undang-undang ini tidak dapat dilaksanakan atau digunakan sebagai alat
hukum (legal tool) untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan untuk
mencegah
terjadinya
kerusakan
dan
pencemaran
lingkungan
hidup.
Konsekuensinya, upaya menciptakan pembagunan berkelanjutan (sustainable
development) tidak bisa tercapai.153
Di antara kekurangan yang terdapat dalam UULH berkisar pada masalah
kelembagaan, peran serta masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM),
perizinan, sanksi administrasi, ganti kerugian dan ketentuan pidana. Di samping
153
Ibid
92
itu, perkembangan dan teknologi ikut melengkapi kekurangan dan kelemahan
yang ada. Misalnya, pada waktu UULH dibuat, masalah audit lingkungan belum
dibicarakan. Contoh lain adalah masalah bahan berbahaya beracun yang baru
mulai dibicarakan setelah dikeluarkan Konvensi Basel 1993.
c. Pengaturan Lingkungan Pada Masa UUPLH No. 23 tahun 1997
Pada tanggal 19 September 1997, secara resmi kita memiliki undangundang baru di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yaitu undang-undang No.
23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPLH.
Seperti dinyatakan oleh wakil Pemerintah, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir.
Sarwono Kusumaatmadja dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI tertanggal 22
Agustus 1997, RUUPLH yang dihasilkan DPR RI (dibandingkan RUU yang
diajukan Pemerintah) telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang
cukup substansil. Tidak hanya dari jumlah pasal, yakni dari 45 pasal menjadi 52
pasal, namun juga beberapa hal prinsip mengalami perubahan seperti perubahan
pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Negara Lingkungan
Hidup, impor limbah B3, hak-hak prosedural seperti hak gugat organisasi
lingkungan (LSM), dan pencatuman dasar hukum bagi gugatan perwakilan (class
action). Dibandingkan dengan UULH yang digantikanya yang hanya berjumlah
24 pasal, UUPLH memiliki 52 pasal dan 99 ayat. Jumlah pasal yang bertambah
banyak dapat mengindikasikan bahwa undang-undang ini lebih rinci dan
mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur.154
154
Ibid
93
Dengan pengundangan UUPLH, seberapa positif implikasi UUPLH
terhadap pemberdayaan penegakan hukum lingkungan. Sangat relevan karena
kunci kelemahan kita dalam upaya pengelolaan lingkungan sesungguhnya adalah
penegakan hukum.
Semenjak UULH diundangkan sampai akhirnya dicabut, penegakan hukum
merupakan titik kelemahan kita dalam melakukan upaya pengelolaan lingkungan
hidup.
Berdasarkan pengalaman Indonesia selama lima belas tahun dalam
melaksanakan UULH, ketidakberdayaan penegakan hukum lingkungan di
Indonesia sebagian besar disebabkan oleh faktor yang bersifat struktural
dibandingkan dengan persoalan teknis (misalnya teknis pembuktian dan kurang
terampilnya penegak hukum). Walaupun kendala teknis merupakan masalah
penting untuk diatasi, namun kehadiran kendala struktural yang dominal dapat
menegasikan (negate) pembenahan kendala teknis yang telah dilakukan.
Terdapat dua kendala struktural yang paling utama yang mengakibatkan
tidak berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu:155
a.
Masih dominanya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang
mempertentangkan antara pembagunan dan lingkungan
b.
Belum sepenuhnya tercipta good governance yang memustahilkan
penegakan hukum lingkungan yang efektif
155
Ibid
94
Harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang tercermin dalam
dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah seperti Deklararasi
Rio, Agenda 21 Nasional, belum dipahaminya benar oleh mayoritas pengambilan
keputusan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah. Pemikiran yang
mempertentangkan pembangunan dan lingkungan ini sangatberpengaruh terhadap
pola tindak pemerintah yang berfungsi mengatur serta mengawasi seluruh
kegiatan pembagunan yang berdampak terhadap lingkungan hidup.156
Permasalahan struktural kedua adalah belum terciptanya aparat birokrasi
yang bersih dan berwibawa. Banyak contoh yang dapat dikemukakan bahwa tidak
terciptanya pengawasan yang baik dan konsisten dikarenakan “kedekatan” antara
yang mengawasi (regulator) dan yang diawasi (regulatee) yang melahirkan sikap
membiarkan pelanggaran.
Dalam memecahkan persoalan penegakan hukum lingkungan, sumber
daya pemerintah selama ini lebih banyak diarahkan kepada upaya untuk
mengatasi kendala tehnis. Pemecahan persoalan yang lebih terfokus pada kendala
teknis menyebabkan masalah penegakan hukum lingkungan sampai dengan teknis
terkesan berjalan ditempat karena masalah pokok yang sesungguhnya adalah
pemecahan kendala struktural.157
Untuk
mengatasi
kendala
struktural
dalam
penegakan
hukum,
masyarakat memiliki peranan yang sangat penting melalui pengaktualisasian
156
157
Ibid
Ibid
95
peran serta aktif dan kritis sehingga mampu menciptakan pengawasan (control)
dan tekanan (pressure). Pengajuan aksi hukum (legal action) melalui pengadilan
adalah cara-cara yang sah sekaligus non-violence yang dapat terus dilakukan oleh
masyarakat dalam mengatasi kendala struktural penegakan hukum lingkungan.158
Dibidang penyelesaian sengketa di pengadilan terdapat tiga hak
prosedural yang sangat penting yang dapat didayagunakan masyarakat, yaitu:159
a.
Pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability)
b.
Hak organisasi lingkungan (LSM lingkungan) untuk menggugat atas nama
kepentingan perlindungan lingkungan hidup (standing right)
c.
Gugatan perwakilan (representative/class action) apabila terjadi massa
accident sebagai suatu cara mengembangkan peradilan cepat, murah, dan
praktis
Ketiga hak prosedural di atas merupakan hak-hak dalam hukum
lingkungan modern yang hanya diakui oleh negara-negara Amerika Utara dan
Eropa. Di Asia, hanya sedikit negara yang mengakui ketiga hak prosedural ini,
antara lain Filipina, India dan kini Indonesia. Ketiga hak prosedural ini pun
memberikan kemudahan bagi pencari keadilan dan lembaga swadaya masyarkat
untuk memperjuangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan melalui jalur
pengadilan.
158
159
Ibid
Ibid
96
d. Pengaturan Lingkungan lahirnya UUPPLH No. 32 tahun 2009
Dalam UUPPLH pada poin menimbang huruf f, perubahan UUPLH
No.23 tahun 1997 dirubah dalam UUPPLH yang baru agar lebih menjamin
kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari
perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaharuan
terhadap UU No.23 tahun 1997.
Untuk menjamin kepastian hukum tersebut, ketentuan hukum pidana
dalam UUPPLH lebih lengkap bila dibandingkan dengan UULH maupun
UUPLH. Karena pada UULH tersebut hanya mengatur tentang delik materiel saja.
Sementara dalam UUPLH selain mengatur tentang delik materiel mengatur pula
delik formil. Sedangkan pada UUPPLH lebih terperinci delik yang dilakukan,
serta kriminalisasi terhadap pejabat AMDAL tidak memiliki kualifikasi atau tanpa
sertifikasi mengeluarkan izin AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang
menerbitkan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL,UPL. Demikian
pula pejabat pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga
suatu usaha melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.
Selanjutnya memberi informasi palsu, menghilangkan atau merusak informasi
yang diperlukan dalam pengawas dan penegakan hukum juga dapat dipidana.160
Ketentuan pidana dalam UUPPLH yang baru sebagaimana telah
diuraikan diatas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau
perusakan (generic crimes) atau delik materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 98
160
Syahrul Machmud.op.cit. Hal.217
97
ayat (2,3), 99 ayat (2,3) dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan,
pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun,
serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana
diatur dalam Pasal 98 ayat (1), 99 ayat (1) sampai 109.
e. Hukum Lingkungan dalam Otonomi Daerah
Pembangunan ekonomi, di samping menimbulkan manfaat berupa
peningkatan taraf hidup masyarakat, dapat juga menimbulkan kerugian ekonomis
melalui kemerosotan mutu lingkungan, melalui pencemaran dan perusakan
lingkungan bila dilaksanakan tanpa memasukkan pertimbangan lingkungan dalam
perencanaan kegiatan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan umumnya terjadi
karena
tidak
dimasukkanya
pertimbangan
lingkungan
(environmental
Considerations) dalam perencanaan kegiatan.161
Dalam mengatasi pembangunan ekonomi yang menimbulkan kerusakan
pada lingkungan, masyarakat internasional melalui Deklarasi Rio 1992, sepakat
melaksanakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip ini
hanya membolehkan pembangunan bila tidak menimbulkan kerusakan atau
pencemaran lingkungan, yang dapat menimbulkan kerugian pada hak generasi
yang akan datang.
Undang-undang No 23 Tahun 1997 mengesahkan prinsip pembangunan
berkelanjutan sebagai norma hukum yang harus dipatuhi oleh setiap orang
termasuk pemerintah. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia
161
Ibid
98
dilaksanakan oleh pemerintah pusat, yaitu melalui Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Sekarang
sudah dilikuidasi melalui Keppres No 2 Tahun 2002).
Dengan berlakunya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah, sebagian besar keenangan pengelolaan lingkungan dan
pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menjadi kewenangan Pemerintah
Daerah.
Pengelolaan lingkungan di Indonesia bersifat Sentralistik. Namun,
dengan berlakunya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan lingkungan dari Pemerintah Pusat ke
Pemerintah Daerah, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah
“ semua kewenangan dalam bidang pemerintahan adalah kewenangan daerah
kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain”
Berdasarkan Pasal 7 ayat (1), kewenangan pengelolaan lingkungan hidup
menjadi kewenangan daerah. Adapun yang menjadi kewenangan pemerintah pusat
dalam pengelolaan lingkungan hidup hanya berupa kewenangan yang bersifat
universal. Kewenangan tersebut adalah:162
162
Peraturan Pemerintah RI No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan
Provinsi sebagai Daerah Otonom, Lembaran Negara R.I Tahun 2000 Nomor 54, Pasal 2 ayat
(3) butir 18
99
1.
Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian
lingkungan.
2.
Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut di
luar 12 mil laut.
3.
Penilaian amdal bagi kegiatan yang potensial berdampak negatif pada
masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan yang
bersifat lintas batas provinsi dan negara.
4.
Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan pedoman tentang pencemaran
lingkungan.
5.
Penetapan pedoman tentang konserbasi sumber daya alam.
Dengan berpindahnya kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dari
pemerintah pusat ke daerah, ada kecemasan bahwa kemerosotan mutu lingkungan
akan terjadi.163 Ini disebabkan oleh dua hal. pertama. karena adanya
kecenderungan bahwa pemerintah daerah berusaha mengejar Pendapatan Asli
Daerah (PAD), untuk itu penyelamatan lingkungan menjadi terabaikan. Kedua,
Pemerintah daerah tidak siap dengan SDM untuk melakukan pengelolaan
lingkungan guna menciptakan pembangunan berkelanjutan.
Kecemasan di atas dapat ditangkal bila pemerintah daerah melakukan
upaya peningkatan kapasitas SDM dalam melakukan pengelolaan lingkungan
hidup yang proaktif, efektif dan efisien, dan menciptakan pemerintahan yang baik
(good governance). Good governance hanya bisa dicapai apabila pemerintah
163
Ibid
100
dalam melaksanakan tugasnya berpedoman kepada konsep rule of law, yang
mempunyai lima karakteristik sebagai berikut:164
1.
Pemerintah melaksanakan kewenangannya berdasarkan supremasi hukum
2.
Pemerintah menjamin kepastian hukum
3.
Pemerintah harus menciptakan hukum yang rsponsif yang mampu menyerap
aspirasi masyarakat
4.
Pemerintah harus melaksanakan hukum secara konsisten dan nondiskrinatif
melalui penciptaan mekanisme menjalankan sanksi
5.
Pemerintah harus menciptakan dan menjamin terlaksananya independensi
peradilan
164
Sukanda Husin. Op.cit. Hal. 101
101
BAB III
RUANG LINGKUP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DAN
KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM
A.
Pengertian Korporasi
Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum
pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya
bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahas Belanda disebut
rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal
body.165
Istilah “korporasi” selaku subjek atau pelaku tindak pidana di Indonesia
secara resmi baru muncul atau dipakai dalam beberapa undang-undang tindak
pidana khusus yang belakang dibuat, misalnya dalam Undang-undang No. 5
Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimna telah diubah dengan Undangundang No 20 Tahun 2001, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang
Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
No 25 Tahun 2003.166
Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal
dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal
dari bahasa latin yaitu “corporatio”.
“Corporatio”
sebagai kata benda
(subatantivum)
berasal dari kata
kerja“coporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau
165
166
Setiono. op.cit. hal. 2
Sutan Remi Sjahdeini. 2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Grafiti Pers. Jakarta. Hal.
41
102
sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti
memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya
“corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain
badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia
sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam”.167
Sutan Remy Sjahdeini168 membagi korporasi menjadi 2 yaitu korporasi
dalam artinya yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam artinya yang
luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum.
Dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi
merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau
berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya,
hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya
“hidup” untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu
figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” suatu korporasi. Suatu
korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “ matinya” korporasi itu diakui oleh
hukum.
Eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu
saja. Artinya, bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan
ada dengan sendirinya, tetapi harus ada yang mendirikannya, yaitu oleh pendiri
atau pendiri-pendirinya
yang menurut hukum perdata diakui memiliki
kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan koporasi. Menurut hukum
perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan
167
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. PT. Pembagunan: Jakarta. hal.
83
168
Sutan Remy Sjahdeini. op.cit. 43
103
korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal
person.
Demikian juga dalam hal “matinya” suatu korporasi. Suatu korporasi
hanya “mati” apabila dinyatakan “mati oleh hukum perdata, yaitu tidak lagi “ada”
(eksistensinya berakhir) sehingga karena “tidak ada” lagi, maka dengan demikian
tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum. Dalam istilah hukum dikatakan
bahwa korporasi yang mati itu “bubar”
Matinya atau bubarnya suatu korporasi dapat terjadi demi hukum atau
dibubarkan. Matinya atau bubarnya korporasi dapat terjadi karena:169
1.
Jangka waktu pendirinya telah sampai, sedangkan para pendirinya tidak
memperpanjang “usia” dari koporasi itu; bubarnya korporasi yang demikian
ini disebut bubar demi hukum
2.
Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham
(berdasarkan keputusan RUPS)
3.
Dibubarkan
oleh
pengadilan
berdasarkan
putusan
pengadilan
atas
pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim atau majelis
hakim yang memeriksa perkara tersebut; atau
4.
Dibubarkan oleh undang-undang
Dilihat dari bentuk hukumnya, hukum pidana Indonesia memberikan
pengertian korporasi dalam arti yang luas. Menurut hukum pidana Indonesia,
pengertian korporasi tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum
169
Ibid
104
perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada
pengertiannya menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum,
yaitu yang dapat berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum
perdata, misalnya membuat perjanjian, tediri atas dua jenis, yaitu orang
perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).170
Namun dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum.
Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan
hukum. Bukan saja badan-badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja
badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau
perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan
sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer
atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut
hukum perdata bukan suatu badan hukum. Sekumpulan orang yang terorganisasi
dam memiliki pimpinan dn melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya
melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosiaal yang
dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga
termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi. Dalam Rancangan
KUHP tahun 1987/1988, korporasi dalam Buku I Pasal 120 diberi pengertian
sebagai berikut:
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi orang atau kekayaan baik merupakan
badan hukum atau pun bukan”171
170
171
Ibid
Lihat Direktorat Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan KUHP Baru 1987/1988. Buku I.
1987. hal. 80
105
Sudah sejak 1987 korporasi di dalam pemikiran para ahli hukum pidana,
tidak hanya diartikan badan hukum seperti pengertian korporasi dalam hukum
perdata, tetapi juga yang bukan badan hukum. RUU KUHP172 memberikan
pengertian korporasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 166 sebagai berikut:
“Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik
merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”.
Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi adalah
sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 165, yang
menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “termasuk
korporasi”
Pendirian bahwa korporasi dalam pengertian hukum pidana bukan hanya
terbatas pada badan hukum seperti halnya pendirian hukum perdata, tetapi juga
non-badan hukum yang bukan orang perseorangan sebagaimana dianut dalam
Rancangan Undang-undang KUHP 1987/1988, Rancangan Undang-undang
KUHP 1999-2000, dan terakhir dalam Rancangan KUHP 2004 tampak pula
dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana Indonesia yang dibuat
belakangan. Artinya, menurut hukum pidana Indonesia, yang dimaksud dengan
korporasi bukan badan hukum saja, tetapi juga bukan badan hukum. 173
Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup definisi korporasi terdapat dalam Pasal 1 ayat 32
menyatakan:
172
Lihat Badan Pembinaan Hukum Nasional. Rancangan Peraturan Perundang-undangan.
Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2004.
173
Sutan Remy Sjahdeini. op.cit.hal. 46
106
“Setiap orang adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum
maupun yang tidak berbadan hukum”.
Menurut Wirjono Projodikoro,
pendapatnya mengenai pengertian
korporasi dengan menyatakan pendapatnya bahwa :
Korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam
mempunya kepentingan adalah orang-orang yang
korporasi itu, anggota mana juga memiliki kekuasaan
berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang
korporasi.174
korporasi biasanya yang
merupakan anggota dari
dalam peraturan korporasi
tertinggi dalam peraturan
Perkembangan perundang-undangan khusus di luar KUHP Pidana,
khususnya tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi, perumusanya lebih luas
bila dibandingan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut
hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum dan tidak
berbadan hukum.
B. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana
Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan
tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu
kelompok (group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas
dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi
berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat asia kecil,
yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok
tersebut di romawi membentuk suatu organisasi yang banyak hal mirip fungsinya
dengan korporasi seperti yang sudah kita kenal sekarang. Bergerak di bidang
penyelenggaraan kepentingan umum, keagmaan, militer, dan perdagangan.
174
Chidir Ali.1991. Badan Hukum. Alumni.Bandung. hal.74
107
Organisasi ini memiliki kekayaan yang terpisah dari anggotanya. Pada masa
ancient time ini mulai dikenal perbedaan kedudukan individu dalam organisasi
dan kedudukan individu yang terlepas dari organisasi.175
Pada abad pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan
Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak
mungkin
melakukan
suatu
usaha/perdagangan
tanpa
didukung
oleh
perlindunganan militer dan tertib sosial. Sehingga pada masa itu di Eropa
perkembangan korporasi ditandai dengan adanya Dewan Gereja yang dipengaruhi
oleh Romawi. Gereja ini memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para
anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum manusia. Gereja sebagai suatu
korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap the concept
of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang dapat
menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (abad XIV) mulai
dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya kota praja.176
Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi
oleh bisnis perdagangan yang sifatnya makin kompleks. Misalnya, Inggris sejak
abad XIV sudah menjadi pusat perdangan wol dan tekstil yang diekpor ke daratan
Eropa. Pada tahun 1599 dibentuk The English East India Company dan
diresmikan oleh Ratu Elisabeth I pada tahun 1600. Sebelumnya ditandai dengan
didirikan beberapa usaha dagang di beberapa Negara seperti The Muscovy
Company pada tahun 1555, merupakan wadah usaha dagang bangsa Rusia. Pada
tahun 1581 dibentuk The Turkey or Levant Company sebagai usaha dagang
175
176
Muladi.et.ad.hal. hal.35
Ibid
108
bangsa Turki. Pembentukan beberapa usaha dagang/perusahaan ini merupakan
embrio korporasi pada zaman sekarang ini.177
Pada zaman Raja James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi
sebagai subjek hukum (legal person), yang berbeda dengan manusia.178 Akan
tetapi, bentuk korporasi merupakan awal dari bentuk korporasi yang bersifat
modern di Inggris dikenal dengan nama Hudson’s Bay Company yang diresmikan
oleh Raja Inggris pada tahun 1670, yang beroperasi di Kanada, yang mempunyai
hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana pemerintah
colonial Inggris. Dengan adanya perkembangan akibat Revolusi Inggris di
Inggris, maka perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan
revolusi di bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, maka diperlukan suatu
modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang
memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap
pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk
asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan
terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.179
Di Amerika tahun 1795, tepatnya di North Carolina, didirikan korporasi
yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu,
yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum. Di Massachusetts
pada tahun 1799 berbentuk korporasi di bidang penyediaan air bersih. Baru pada
tahun 1811 di New York menjadi negara bagian yang pertama kali
177
Ibid
Ibid
179
Ibid
178
109
memperkenalkan korporasi yang bersifat umum yang bergerak di bidang
manufaktur.
Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de
Commerce pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis pernah
menjajah Belanda, maka jika kita hubungkan dengan pembuatan rancangan
W.v.K. Nederland yang dibuat pada tahun 1809 atau tanggal 8 Juli 1809 dan
kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaknya
waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu Negara yang
dikuasai Perancis akan tercermin di dalam W.v.K. Nederland tersebut, yang mana
sistem dan isi W.v.K Nederland secara nyata mengacu pada Code de Commerce
dan Code de La Marize.180
Dengan asas konkordasi maka setiap perkembangan W.v.K. Nederland
memiliki pengaruh di Ned. Indie seperti halnya tentang ketentuan mengenai
maatschap, dan kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi,
yang terkenal dengan sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Socientas.
Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk
kontrak kerja sama (samenwerkingscontracten), yang agak berbeda dengan
hukum Romawi Lama dengan societas, yaitu disebut “Commanditaire
Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”, baik di Indonesia maupun di
Belanda sampai sekarang ini (di Indonesia) dan diatur di dalam W.v.K (KUH
Dagang) dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang).
180
Ibid
110
Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin
meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang
menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjam uang
(geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Dalam tahun 1602
termasuk VOC. Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan
NV masing-masing diatur dalam Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut
karena perkembangan perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali
bentuk CV. Disamping itu, berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun
1925 yang didirikan berdasarkan I.C.W Stb. 1925 Nomor 106 dan seterusnya
dengan I.B.W. Stb. 1927 Nomor 419. Kedua peraturan ini setelah Indonesia
merdeka mengalami perubahan dan diadakan pembaruan disesuaikan dengan
situasi dan kondisi Indonesia merdeka, tetapi pada dasarnya tidak mengalami
perubahan yang prinsipiil kecuali lebih disederhanakan prosedur kerjanya dengan
Undang-undang No. 3 Tahun 1954, L.N. No. 6 tahun 1954 jo. Undang-undang
Nomor 12 tahun 1955 L.N. 49 Tahun 1955.181
Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu
perusahaan terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang tunduk
pada hukum perdata dan dagang. Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda
dikenakan nasionalisasi dengan UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, L.N. 162
Tahun 1985. Dewasa ini, sejalan dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2003
bentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) hanya ada dua macam, yaitu
perusahaan perseroan (persero) dan perusahaan umum (Perum).
181
Ibid
111
Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di
samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata
tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini
ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan,
kesehatan, riset, pemerintah, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu sendiri
tidak dapat lepas dari peranan perkembangan teknologi itu sendiri, dan
perkembangan korporasi dimulai sejak pertengahan abad XVIII ditandai
terjadinya perubahan di bidang ekonomi. Dengan demikian sejak Revolusi
Industri di Inggris, peranan teknologi dalam sekarah perkembangan korporasi
merupakan pengaruh yang sangat fundamental (fundamental influence) dalam
rangka pertumbuhan korporasi itu sendiri. Atas dasar itu, ternyata peranan
korporasi makin penting sebagaimana dalam kogres PBB VII dalam tahun 1985
telah dibicarakan jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan dalam
konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu
kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di mana korporasi banyak
berperan di dalamnya, seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan
hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak
sendi-sendi perekonomian suatu negara. Karena perkembangan dan pertumbuhan
korporasi dampaknya dapat menimbulkan efek negatif, maka kedudukan
korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana.
Menurut J.E. Sahetapy dalam penelitiannya pada 1988 tentang
permasalahan pidana denda dalam hukum adat kita menyatakan:
“Soepomo… menulis bahwa di beberapa daerah di kepulauan Indonesia,
sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu
112
pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, kewajiban membayar denda
atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau yang kecurian.
Jadi, pidana terhadap kolektivitas atau untuk masa kini korporasi bukanlah suatu
yang baru bagi kita Indonesia”.182
Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas
dari modernisasi sosial, menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya
pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks
sistem sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat di situ, maka kebutuhan akan
sistem pengendalian kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola
aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi
terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin
memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang namun
persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak kurang pula banyaknya.183
Sedangkan Sudarto sehubungan dengan masalah dapat dipidananya
korporasi menyatakan:
“Saya tidak akan menyangkal kemungkinan peranan korporasi di kemudian hari,
akan tetapi saya ingin mengetahui selama berlakunya Undang-undang Tindak
pidana Ekonomi yang hampir 20 tahun itu (sekarang hampir 54 tahun). Berapa
korporasi yang telah dijatuhi pidana. Sayang sekali tidak dapat dijumpai angkaangka yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan perkiraan untuk masa depan.
Angka-angka ini dapat memberikan petunjuk sampai di mana kebutuhan akan
perluasan pertanggungjawabab dari korporasi. Kalau pada detik-detik yang
termasuk hukum pidana khusus itu kenyataannya tidak hanya pemidanaan yang
dikenakan kepada korporasi, apakah perluasaan itu memang diperlukan? Kalau
aturan itu nanti betul-betul diterima maka Indonesia akan tergolong Negara maju
sangat maju di seluruh dunia di bidang ini”.184
182
J.E. Sahetapy. Kejahatan Korporasi Ditinjau dari Sudut Kriminologi. Makalah pada Seminar
Nasional Kejahatan Korporasi 23- 24 November 1989. FH-UNDIP: Semarang. hal. 7
183
Satjipto Raharjo. 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan.Alumni. Bandung. hlm. 3-4
184
Sudarto.1979.Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia. FH-UNDIP:
Semarang. hal. 21-23
113
C. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi
1. Doctrine of Strict Liability
Salah satu pemecahan praktis bagi masalah bagi masalah pembebanan
pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang
bekerja dilingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah
dengan
menerapkan
doctrin
of
strict
liability.
Menurut
ajaran
ini
pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak
perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya.
Karena menurut ajaran strict liability ini pertanggungjawaban pidana bagi
pelakunya tidak dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan dengan
terdapat pada pelakunya unsur pertanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan
(mean rea), maka strict liability disebut juga absolute liability atau dalam bahasa
Indonesia di gunakan istilah “pertanggungjawaban mutlak”185
Menurut L.B. Curson,186 doktrin strict liability ini didasarkan pada alasanalasan sebagai berikut:
a.
Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting
tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial.
b.
Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk
pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu.
c.
Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan
yang bersangkutan.
185
Syahrul Machmud. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.op.cit .Hal. 141
Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.op.cit. Hal.108
186
114
Dalam
kaitanya
dengan
korporasi,
korporasi
dapat
dibebani
pertanggungjawaban pidana untuk tindak-tindak pidana yang tidak dipersyaratkan
adanya mens rea bagi pertanggungjawaban tindak pidana itu berdasarkan doktrin
strict liability. Ternyata tidak banyak tindak-tindak pidana yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa adanya unsur mens rea,
sementara banyak sekali tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi
untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya yang sangat merugikan
masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang menyangkut pencemaran lingkungan,
perlindungan konsumen, dan keunangan perusahaan.187
2.
Doctrine of Vicarious Liability
Vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius) adalah suatu
pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan
orang lain. Menurut ajaran ini pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara
pidana atas perbuatan pihak lain. Seorang majikan (employer) bertanggungjawab
secara
vikarius
atas
perbuatan-perbuatan
dari
bawahannya
yang
telah
menimbulkan gangguan publik (public nuisance) atau dalam hal membuat
pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain (criminal libel).188
Berkaitan dengan korporasi, maka suatu korporasi dimungkinkan
bertanggungjawab
pegawainya,
atas
kuasanya,
perbuatan-perbuatan
atau
mandatarisnya,
bertanggungjawab kepada korporasi tersebut.
187
188
Sutan Remy Sjahdeni. Op.cit. Hal.83
Syahrul Mahmud. Op. Cit. Hal. 142
yang
dilakukan
atau
siapa
oleh
para
pun
yang
115
Penerapan doktrin ini hanya dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa
memang terdapat hubungan subordinasi antara majikan (employer) dan orang
yang melakukan tindak pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah pegawai
atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pengawai dalam arti yang
sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka
tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggungjawab atas
perbuatannya.189
3. Doctrine of Delegation
Menurut
doktrin
tersebut,
alasan
untuk
dapat
membebankan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian
wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan
yang dimilikinya. Contoh pendelegasian wewenang dari seorang pemberi kerja,
yang wewenang itu diperolehnya karena ia memperoleh suatu izin usaha, kepada
bawahannya. Pedelegasian wewenang oleh seorang pemberi kerja kepada
bawahannya
merupakan
alasan
pembenar
bagi
dapat
dibebankanya
pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatan pidana yang
dilakukan oleh bawahannya itu.190
4.
Doctrine of Identification
Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan
pidana pada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan
tindak pidana tersebut dan apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang
189
190
Ibid.
Sutan Remy Sjahdeini. Op.cit. Hal. 97
116
merupakan
directing
mind
dari
korporasi
tersebut,
maka
baru
pertanggungjawaban dari tindak pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi.191
Doktrin
ini
memberikan
alasan
pembenar
bagi
pembebanan
pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang notabene tidak dapat berbuat
dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu.
Perbuatan yang dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh
personil korporasi adalah hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh
personil korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai
directing mind dari korporasi tersebut.
Secara formal yuridis directing mind dari korporasi dapat diketahui dari
anggaran dasar korporasi tersebut. Selain daripada itu dapat pula diketahui dari
surat-surat keputusan pengurus yang berisi pengangkatan pejabat-pejabat atau
para manager untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu.
D. Pengaturan
Kejahatan
Korporasi
dalam
Perundang-undangan
Lingkungan Hidup.
1. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH)
Deklarasi Stockholm 1972, merupakan pilar dari perkembangan hukum
lingkungan internasional, sebagai negara yang ikut menandatangani Deklarasi ini,
harus mengimplementasikan ketentuan deklarasi tersebut dalam yuridiksinya.
Sebagai tanda kepatuhan Indonesia kepada norma hukum internasional,
191
Syahrul Mahmud. Op.cit. Hal. 143
117
pemerintah
mengundangkan
Undang-undang
No.4
Tahun
1982
tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.192
Dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Saksi pidana dalam UULH tidak terlepas
dari kekurangan dan kelemahan, UULH No.4 tahun 1982 tidak mengatur satu
Pasal pun tentang kejahatan korporasi. UULH hanya mengatur di antaranya
adalah rumusan delik yang ada dalam Pasal 1 ayat (7) dan Pasal 22. Dalam kedua
Pasal itu delik lingkungan adalah delik materil, hal tersebut untuk membuktikan
terjadinya tindak pidana sangat susah, penggunaan delik formil dalam UULH ini
belum diatur.
Asas Strict Liability dalam UULH No.4 tahun 1982 diatur dalam Pasal 21
yang menyatakan: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya
tentang tanggungjawab timbul secara mutlak pada perusakan atau pencemar pada
saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang
pengaturnya diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.”
. Ketentuan tentang Penyidik Lingkungan Hidup dalam UULH No.4 tahun
1982 juga tidak terdapat dalam Undang-undang tersebut. Dalam UULH No.4
Tahun 1982 hanya mengatur tentang kelembagaan Bab V Pasal 18 terdiri dari 3
ayat yang menyatakan bahwa:
1. Pengelolaan ligkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan
secaraterpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin seorang menteri
danyang diatur dengan peraturan perundang-undangan.
2. Pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan keterpaduan
pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan
192
Sukanda Husin. Op.cit. Hal. 4
118
hidup,secara sektoral dilakukan oleh departemen/lembaga non-departemen
sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing.
3. Pengelolaan lingkungan hidup, dalam kaitan dengan keterpaduan
pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pegelolaan lingkungan hidup,
di daerah dilakukan oleh pemerintah Daerah sesuai dengan
peraturanperundang-undangan yang berlaku.
Ketentuan delik materiel dalam UULH No. 4 Tahun 1982 hanya terdiri satu
Pasal, diatur dalam Bab VII Pasal 22 terdiri dari 3 ayat, yaitu sebagai berikut:
1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan
rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur
undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan
pidana penjara selama-lamanya 10 (tahun) dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah).
2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang
menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan
hidup yang diatur dalam perundang-undang ini atau undang-undang lain
diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (tahun) dan
atau denda sebanyakbanyaknyaRp. 1000.000,- (satu juta rupiah).
3. Perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan
dan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah
pelanggaran.
Sesuai dengan Pasal tersebut, seseorang disebut telah melakukan delik
lingkungan hidup, jika ternyata sudah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:193
1. Barang siapa melakukan perbuatan
2. Dengan sengaja atau lalai
3. Menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup
4. Menurut Undang-undang
Inti pokok dari pasal ini adalah bahwa setiap perbuatan, yang
menimbulkan kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Perbuatan demikian,
telah dikategorikan sebagai perbuatan pidana, sepanjang telah memenuhi
kesengajaan (opzet) atau kelalaian (culpa). Rumusan pidana tersebut di atas
193
Siahaan.op.cit. Hal. 364
119
adalah delik materil. Untuk dapat disebut sebagai delik materil, harus lebih dahulu
dibuktikan adanya hubungan sebab akibat sesuai dengan prinsip kausalitas pidana,
ada
hubungan
suatu
perbuatan
(action)
dengan
pencemaran/kerusakan
lingkungan.
Tentang kriteria kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup, ternyata
dalam ketentuan pidana di atas tidak disebutkan sama sekali. Hal yang menjadi
patokan yuridis dalam hal ini dapat dilihat pada Bab I UULH tentang Ketentuan
Umum, yang didalamnya memuat pengertian tentang pencemaran lingkungan
hidup. Pencemaran lingkungan diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup,zat,energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan/atau
berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga
kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan
lingkungan
menjadi
kurang
atau
tidak
berfungsi
lagi
sesuai
dengan
peruntukannya.194Sedangkan tentang perusakan lingkungan, dirumuskan sebagai
tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat-sifat
fisik dan/atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang
berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan.
Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana lingkungan
menurut UULH No.4 tahun 1982 apabila dapat dibuktikan telah terdapat suatu
pencemaran atau kerusakan lingkungan dari akibat perbuatan tersebut. Tanpa
194
Ibid
120
adanya suatu pencemaran atau kerusakan lain tersebut, si pelaku tidak dapat
disebut sebagai perbuatan pidana lingkungan.195
2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan
Hidup (UUPLH)
Ketentuan pidana dalam UU No. 23 tahun 1997 tercantum dalam Bab IX
yang terdiri dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dibandingkan dengan
ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 22 UULH No.4 tahun 1982.
Ketentuan pidana dalam UUPLH No.23 tahun 1997 jauh lebih lengkap dan
rinci.196
a.
Delik materiel
Dalam UUPLH No.23 tahun 1997 delik materiel diatur dalam Pasal 41 dan
Pasal 42. Pasal 41 menyatakan:
(1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan
perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp.
750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah).
Pasal 42 menyatakan:
(1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak
Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah).
195
196
Ibid
Koesnadi Hardjasoemantri. Op.cit. Hal. 434
121
Ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal UUPLH No.
23 tahun 1997 adalah pidana penjara dan denda, berbeda dengan ancaman pidana
UULH No. 4 tahun 1982 yang meliputi pidana penjara dan/atau denda.
Perlu diperhatikan, bahwa ancaman pidana diperberat apabila tindak
pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat. Penetapan luka berat dilakukan
oleh tenaga medis. Apabila Pasal 41 UUPLH adalah mengenai perbuatan dengan
sengaja, maka Pasal 42 UUPLH adalah mengenai perbuatan karena kealpaan,
yang ancaman pidananya lebih ringan.197
b. Delik formil
Delik formil dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 diatur dalam Pasal 43 dan
Pasal 44, Pasal 43 menyatakan:
(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen
lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke
dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor,
memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan
instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk
menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau
perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau
nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun
dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah)
(2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu
atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang
diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa
perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang
lain
(3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam
197
Ibid
122
dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling
banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah)
Pasal 44 menyatakan :
(1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang
berlaku, karena kealpaanya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
mati atau luka berat pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00
(seratus lima puluh juta rupiah)
Berbeda dengan Pasal 41 UUPLH yang mengandung delik materiel,
Pasal 43 UUPLH memuat delik formil, yang lebih memudahkan pembuktian
karena dikaitkan dengan deskripsi tindakan yang menimbulkan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau
nyawa orang lain. Delik materiel sukar untuk membuktikan perbuatan
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, misalnya untuk membuktikan
sesuatu usaha dan/atau kegiatan yang mencemarkan, karena baku mutu ambien
sungai telah dilampaui ambang batasnya padahal sumber pencemaran dapat
berupa limbah industri, limbah domestik dan limbah pertanian (pestisida), yang
berarti multi-source pollution, maka delik formil yang tercantum dalam Pasal 43
ayat (1) dikaitkan dengan melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau
komponen lain yang berbahaya dan beracun ke dalam air permukaan yang
melanggar ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cukup dibuktikan
bahwa usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan limbahnya melampaui ambang
123
batas yang ditetapkan oleh baku mutu ambien, yang pengukurannya dapat
dilakukan di temapat penggelontoran limbah.198
Pasal 43 UUPLH mengatur tentang perbuatan dengan sengaja, maka
Pasal 44 UUPLH dikaitkan dengan kealpaan, yang ancaman pidananya ringan.
c. Asas Strict Liability
Asas Strict Liability dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 terdapat dalam
Paragraf 2 Tanggungjawab Mutlak Pasal 35 dalam Bagian ketiga Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan, dalam Pasal 35 menyatakan:
(1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya
menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang
menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah
bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian
yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung
dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup.
(2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban
membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang
bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini:
a. Adanya bencana alam atau peperangan
b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia
c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya
pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup
(3) Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab
membayar ganti rugi.
d. Kejahatan Korporasi dalam UUPLH No. 23 tahun 1997
Dalam UUPLH diatur pula tentang tanggungjawab korporasi (corporate
liability), yaitu dalam Pasal 45 dan Pasal 46. Pasal 45 UUPLH menyatakan bahwa
jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas
198
Ibid. Hal. 436
124
nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain,
ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 46 UUPLH menyatakan:
(1) Jika tindak pidana sebagaimna dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi
lain, tuntunan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan
hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun
terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana
tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau
terhadap kedua-duanya.
(2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau
organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan
kerja maupun berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan
badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan
pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang
memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat
apakah orang-orang tersebut, baik berdasarkan hubungan kerja maupun
berdasarkan hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau
bersama-sama.
(3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau
organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat
panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di
tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap.
(4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan,
yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan
pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri
di pengadilan.
Jika kita simak, ketentuan di atas mengandung prinsip-prinsip sebagai
berikut:199
1. Korporasi, yakni perseroan, yayasan dan organisasi lainya merupakan satu
entitas, yang dipandang sama seperti subjek orang perorangan (person)
2. Korporasi mempunyai liabilitas kriminal dan delik lingkungan
199
Siahaan. Op.cit. 381
125
3. Di samping korporasi sebagai suatu entitas, juga pejabat yang mengambil
keputusan melakukan dan atau yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
(sehingga timbul pencemaran) memilikki posisi liabilitas dalam delik
lingkungan.
Konsekuensi penerapan ketentuan tentang tanggungjawab korporasi ini
perusahaan dapat dikenakan pidana penjara, disamping perusahaanya dapat
dikenakan denda, karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan
hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut.200
e. Penyidik dalam UUPLH
Dalam UUPLH No 23 tahun 1997 ketentuan penyidik diatur dalam Pasal 40
Bab VIII tentang Penyidikan, Pasal 40 menyatakan:
(1) Selain Penyidik Pejabat Polisis Negara Republik Indonesia, juga Pejabat
Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang
lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pengelolaan lingkungan
hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud
dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku.
(2) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
berwenang:
a. Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang
diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum
sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan
hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan
penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat
dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan
hidup;
200
Koesnadi Hardjasoemantri. Op.cit. Hal. 437
126
f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang lingkungan hidup.
(3) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada
penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik
Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia.
(5)Penyidik tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona
Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundangundangan yang berlaku.
3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH)
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 lebih
lengkap bila dibandingkan dengan Undang-undang lingkungan hidup yang lama
atau UULH No. 4 tahun 1982 maupun UUPLH No. 23 tahun 1997. Karena pada
UULH No. 4 tahun 1982 tersebut hanya mengatur tentang delik materiel saja.
Sementara dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 selain mengatur tentang delik
materiel mengatur pula delik formil.201 Sedangkan pada UUPPLH No. 32 tahun
2009 lebih terperinci delik yang dilakukan. Serta kriminalisasi terhadap pejabat
AMDAL tidak memiliki kualifikasi atau tanpa sertifikasi mengeluarkan izin
AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin tidak dilengkapi
dengan AMDAL atau UKL,UPL. Demikian pula pejabat pengawas yang tidak
melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu usaha melakukan pencemaran
dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya memberi informasi palsu,
201
Syahrul Machmud. Op.cit. Hal. 217
127
menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan dalam pengawasan dan
penegakan hukum juga dapat dipidana.202
Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009, tidak
hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic
crimes) atau delik materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2,3), 99 ayat
(2,3) dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat,
energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3
tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 98
ayat (1), 99 ayat (1) sampai 109.203
d. Delik Materiel
Delik materiel sesungguhnya ditujukan kepada akibat dari adanya perbuatan
pencemaran dan/atau perusakan, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan.
Pembuktian apakah benar terdakwa telah mencemari atau merusak lingkungan
menjadi beban penuntut umum. Pembuktian ini sangat terkait dengan pembuktian
ilmiah, dimana peran saksi ahli dan laboratorium sangat menentukan
tercemar/rusaknya lingkungan.204
Delik materiel merupakan jenis perbuatan pidana yang tidak tergantung
kepada hukum administratif (bersifat mandiri)205
Uraian secara lengkap delik materiel menurut UUPPLH No.32 tahun
2009 sebagai berikut:
202
Ibid
Ibid
204
Ibid
205
Ibid
203
128
Pasal 98 menyatakan:
(2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah)
(3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 menyatakan:
(2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
Pasal 108 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
e. Delik Formil
Delik formil sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH No. 32 tahun
2009, dimana beban pembuktiannya tidak atau belum dipersyaratkan kepada
apakah lingkungan telah tercemar atau telah rusak. Akan tetapi cukup dibuktikan
apakah tersangka atau terdakwa telah melanggar ketentuan perundang-undangan
129
tentang persyaratan izin yang merupakan hukum administrasi.206 Apabila
persyaratan izin tersebut telah dilanggar. Oleh karena itu untuk memudahkan
tugas penuntut umum dalam pembuktian diadakanlah delik formil, karena cukup
diambil sampel dari limbah yang dibuang oleh suatu kegiatan atau industri untuk
diukur di laboratorium. Manakah limbah yang dibuang tersebut berada di atas
ambang batas baku mutu yang ditentukan maka pelaku sudah dapat dijerat dengan
hukuman pidana.
Pasal-pasal pada delik formil ini sesungguhnya lebih menekankan pada
upaya preventif agar pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dicegah
lebih dini. Dengan demikian delik formil ini sesungguhnya merupakan suatu
upaya pengawasan atau upaya kontrol yang diberikan oleh undang-undang ini
agar lingkungan tidak terlanjur tercemar dan/atau rusak suatu usaha atau industri.
Perumusan delik formil selengkapnya sebagai berikut:
Pasal 98 menyatakan:
(2) Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu
udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan
lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp.
3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000
(sepuluh miliar rupiah). Pasal 99 ayat (1) perbuatan tersebut tidak disengaja
atau lalai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan
paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu
miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah)
Pasal 100 ayat 1 menyatakan:
Pasal 100 setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi,
atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
206
Ibid. Hal. 218
130
Pasal 101 menyatakan:
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 103 menyatakan:
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 104 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 106 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
131
Pasal 107 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 109 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110 menyatakan:
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(3) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah)
(4) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
Pasal 112 menyatakan:
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan
pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
132
Pasal 113 menyatakan:
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 114 menyatakan:
Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115 menyatakan:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(3) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
3. Badan usaha; dan/atau
4. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut
(4) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri
atau bersama-sama.
Pasal 117 menyatakan:
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118 menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
133
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional
Pasal 119 menyatakan:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
f.
g.
h.
i.
j.
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan
Perbaikan akibat tindak pidana
Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 120 menyatakan:
(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi
yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup untuk melaksanakan eksekusi
(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
f.
Kejahatan Korporasi dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009
Pengaturan kejahatan korporasi dalam UUPPLH di atur dalam Pasal 116
- 120 disebut badan usaha, kalau dalam UUPLH tidk saja mengenal badan hukum
atau korporasi seperti perseroan dan yayasan, namun selain badan hukum tersebut
mengenalkan pula bentuk yang lain seperti perserikatan atau organisasi lain yang
dapat diberikan sanksi disamakan dengan badan hukum.
Saksi pidana yang diberikan pada kejahatan lingkungan yang dilakukan
oleh badan hukum ini diberikan saksi kepada pemberi perintah atau pimpinan
diperberat ditambah dengan sepertiganya. Hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan
134
yang dilakukan oleh korporasi dampaknya dirasakan lebih berat dan lebih parah
dibandingkan dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perorangan.207
Pasal 116 menyatakan:
(3) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kejahatan
lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, maka
pertanggungjawabannya dapat dituntut pada badan usaha itu sendiri serta
dapat digabungkan pula dengan pemberi perintah atau pemimpin badan usaha
tersebut.
(4) Menegaskan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan
lingkungan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau
berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha,
sanksi pidana dijatuhkan pada pemberi perintah atau pimpinan dalam tindak
pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara
sendiri-sendiri atau bersama-sama.
Pasal 117 menyatakan:
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118 menyatakan:
terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf
a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang
berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan selaku pelaku fungsional
Pasal 119 menyatakan:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
f.
g.
h.
i.
j.
Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana
Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan
Perbaikan akibat tindak pidana
Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau
Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun
Pasal 120 menyatakan:
(3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi
207
Syahrul Machmud. Op.cit. Hal.224
135
yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup untuk melaksanakan eksekusi
(4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119
huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi
sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan
pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
d. Asas Strict Liability
Asas Strict Liability dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 terdapat dalam
Paragraf 2 Tanggungjawab Mutlak Pasal 88 dalam Bagian ketiga Penyelesaian
Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan, dalam Pasal 88 menyatakan:
Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan
B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan
ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas
kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan.
Dalam penjelasan UUPPLH No.32 tahun 2009 Pasal 88 yang dimaksud dalam
asas strict liability yaitu “bertanggungjawab mutlak” adalah unsur kesalahan tidak
perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi.
Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan
melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat
dibebankan terhadap pencemaran atau perusakan lingkungan hidup menurut Pasal
ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Jadi penerapan strict liability dalam
UUPPLH No.32 tahun 2009 tersebut adalah pertanggungjawaban secara mutlak
dalam sifat hukum perdata.
e. Penyidik dalam UUPPLH
Dalam UUPPLH Penyidik diatur dalam Bab XIV Pasal 94 dan Pasal 95,
Pasal 94 menyatakan:
(1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pengawai
negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan
136
tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup
diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum
Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkunganhidup.
(2) Penyidik pejabat pengawai negeri sipil berwenang:
a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
b. Melakukan pemeriksa terhadap setiap orang yang diduga melakukan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan
dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain
berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat
bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain;
f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran
yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang
perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan
tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup;
h. Menghentikan penyidikan;
i. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman
audio visual;
j. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau
tempat lain yang diduga merupakan tempat dialkukaannya tindak
pidana; dan/atau
k. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana.
(3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pengawai negeri sipil berkoordinasi dengan
penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia.
(4) Dalam hal penyidik pejabat pengawai negeri sipil melakukan penyidikan,
penyidik pejabat pengawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik
pejabat polisis Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna
kelancaran penyidikan.
(5) Penyidik pejabat pengawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidik
kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi
Negara Republik Indonesia.
(6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pengawai negeri sipil
disampaikan kepada penuntut umum.
137
Pasal 95 menyatakan:
(1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan
hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pengawai
negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu
diatur dengan peraturan perundang-undangan.
f.
Makna Asas Ultimum Remedium dalam UUPPLH No 32 tahun 2009
Kesulitan atau hambatan asas subsidiaritas pada praktik penegakan hukum
pada UUPLH No. 23 tahun 1997 telah diperbaiki pada UUPPLH No 32 tahun
2009 dengan menghilangkan asas subsidiaritas tersebut dengan memunculkan
asas ultimum remedium pada penjelasan umum angka 6 dan Pasal 100 ayat (2).
Asas Ultimum remedium terdapat pada penjelasan umum UUPPLH angka 6
menyatakan:
“Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas Ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas Ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggar baku mutu air limbah, emisi, dan
gangguan”.
Asas ini lebih dipertegas pemaknaanya sebagaimana tercantum dalam
Pasal 100 ayat (2) menyatakan yaitu, setiap orang yang melanggar baku mutu air
limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru dapat dipidana, jika
sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali. Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan pada
penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti pada
UUPLH yang lalu.208
208
Syahrul Machmud.op.cit. Hal. 236
138
Dalam UUPPLH semakin dipertegas bahwa penegakan hukum pidana
lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan
penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan
penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum
remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan
terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Dengan
demikian dalam kerangka operasionalisasi hukum pidana dikaitkan dengan asas
ultimum remedium jauh sangat membatasi dengan delik formil (yang berkaitan
dengan hukum administrasi) tertentu saja.
Ultimum mengandung makna paling akhir atau terakhir, sedangkan kata
remedium ditemukan berasal dari kata remedy yang mengandung makna obat atau
memperbaiki.209 Dengan demikian ultimum remedium dikaitkan dengan
penegakan hukum pidana bidang lingkungan harus dimaknai bahwa hukum
administrasi dinyatakan tidak berhasil barulah hukum pidana didayagunakan
sebagai upaya terakhir dalam memperbaiki lingkungan.
Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum
remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya
terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil.
Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil
tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan
gangguan.
209
Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 68
139
Sepintas UUPPLH No. 32 tahun 2009 ini dapat mengatasi kesulitan
penerapan asas subsidiaritas pada UUPLH No. 23 tahun 1997, lebih teknis dan
jelas bila dibandingkan dengan asas subsidiaritas pada UUPLH. Dengan tegas
menyebutkan asa ultimum remedium diterapkan pada delik formil. Namun bila
dicermati penjelasan umum UUPPLH pada angka 6 tentang asas ultimum
remedium ini tetap mengandung kelemahan mendasar. Karena penjelasan umum
dalam UUPPLH sangat tidak memadai untuk dijadikan pedoman dalam tataran
aplikatif. Karena dalam tataran aplikatif sangat siperlukan aturan pelaksana yang
sangat jelas dan detail dan harus dihindarkan multi tafsir atau debattable dalam
memaknai suatu ketentuan. Kelemahan dalam tataran formulatif tersebut jelas
akan menimbulkan banyak masalah pada tataran aplikatif, seperti tidak adanya
kepastian hukum dan akan banyak menimbulkan masalah pada bidang kordinasi
antar institusi terkait dalam penanganan masalah pencemaran dan/atau perusakan
lingkungan.210 Seperti tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan penegakan
hukum administrasi dianggap tidak berhasil, apa saja bentuk penegakan hukum
administrasi sehingga dianggap tidak berhasil karena sanksi administrasi terdiri
dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau
pencabutan izin lingkungan. Berapa kali dan berapa lama tindakan administrasi
baru dapat dikatakan tidak berhasil. Apakah setelah mendapat teguran tertulis
sebagai sanksi administrasi yang paling rendah dan tidak dipatuhi sudah
dinyatakan dianggap tidak berhasil?. Bagaimana pula makna pelanggaran
210
Syahrul Machmud. Op.cit. Hal. 237
140
dilakukan lebih dari satu kali, apakah cukup dua kali saja ataukah tiga kali atau
lebih, semuanya tidak ada kejelasan.
UUPPLH mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana terhadap
delik formil tertentu sebagai upaya terakhir, setelah hukum administrasi dianggap
gagal atau pelanggaran telah dilakukan lebih dari satu kali. Konsekuensi yuridis
dari kata wajib ini adalah batal demi hukum bila tidak ditaati. Bagaimana
konkritisasi dari hukum adminstrasi dianggap gagal tersebut, tidak ada penjelasan
lebih lanjut.211
Ketentuan pidana dalam UUPPLH diatur pada Pasal 98-120, terdapat 12
Pasal tentang delik formil. Asas ultimum remedium ini hanya dapat dikenakan
pada Pasal 100 ayat (2), pada pasal selebihnya fungsi hukum pidana primum
remedium. Ketentuan semacam ini sangat tidak logis, karena dalam penjelasan
umum angka 6 disebutkan bahwa dalam rangka pengendalian dampak lingkungan
hidup perlu dikedepankan upaya preventif, yaitu didayagunakan secara maksimal
instrumen pengawasan dan perizinan. Apabila suatu usaha melakukan
pelanggaran lebih dari satu kali, maka sesungguhnya hukum administrasi tidak
didayagunakan atau tidak bekerja dengan baik. Penerapan hukum pidana secara
primum remedium terhadap delik formil dengan alasan pelanggaran telah
dilakukan lebih dari satu kali telah melanggar ketentuan wajib penerapan
penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Membatasi penerapan asas
ultimum remedium ini hanya pada delik formil tertentu yaitu kejahatan terhadap
211
Ibid
141
pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan tidak ada penjelasan
lebih lanjut.
Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan
sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini mengandung pengertian bahwa
pendayagunaan hukum pidana terhadap delik formil tertentu berlaku secara
alternatif, boleh dipilih salah satu dari kedua hal tersebut. Artinya penegakan
hukum pidana dapat langsung diterapkan jika pelanggaran telah dilakukan lebih
dari satu kali. Dengan demikian hukum pidana difungsikan secara primum
remedium.212
Persoalan yang muncul adalah kapan dan dalam hal apa sanksi pidana atau
prosedur pidana dapat ditempuh dalam menyelesaikan pelanggaran lingkungan?
pada kalimat”... berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas
ultimum remedium...” mengandung maksud bahwa pemberlakuan hukum pidana
terhadap pelanggaran lingkungan hidup berlaku asas ultimum remedium. Untuk
diterapkan pada kasus pelanggaran hukum lingkungan hidup (hukum pidana di
bidang hukum administrasi), asas ultimum remedium dapat ditafsirkan sebagai
berikut:213
1.
Prosedur Pidana sebagai Prosedur Pamungkas “Ultimum remedium”
Prosedur pidana didayagunakan untuk pelanggaran lingkungan hidup hanya
setelah prosedur hukum administrasi, hukum perdata, dan alternatif penyelesaian
sengketa gagal atau tidak efektif untuk mencapai tujuan penegakan hukum hukum
212
213
Ibid.Hal. 240
Mudzakkir.2011. Aspek Hukum Pidana dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup.Pascasarjana
UI. Jakarta. Hal. 521
142
lingkungan hidup. Hukum pidana ditempatkan murni sebagai senjata pamungkas
atau ultimum remedium setelah hasil pemberlakuan sanksi-sanksi hukum lain
tidak efektif untuk kasus yang bersangkutan. Jadi tidak dibenarkan menggunakan
prosedur pidana tanpa didahului dengan prsedur lain (prosedur administrasi,,
perdata atau alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup). Di samping itu,
masih ditambah lagi syarat-syarat lain yang bersifat alternatif/komulatif, yaitu
tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif berat dan/atau
perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat.
2. Sanksi pidana sebagai saksi alternatif
Prosedur pidana dipergunakan sebagai saksi alternatif apabila prosedur
penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa gagal dan sanksi-sanksi lain
dinilai tidak akan efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat
perbuatannya relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan
masyarakat. Jadi untuk menggunakan sanksi pidana tidak perlu terlebih dahulu
menjatuhkan sanksi sanksi lain, cukup berdasarkan pengalaman pada penerapan
pada penerapan sanksi pada kasus-kasus sebelumnya dinilai tidak efektif. Oleh
karena itu, cukup beralasan kalau masih juga ada pelanggaran lingkungan hidup
diperguanakan prosedur pidana. Mungkin akan dirasakan tidak adil bagi
pelanggar yang dikenakan sanksi pidana sanksi pidana sebagai sanksi lebih berat
dibandingkan dengan sanksi lain yang dikenakan kepada para pelanggar
sebelumnya.
143
3. Sanksi pidana sebagai Sanksi Komulatif.
Prosedur pidana dan penjatuhan sanksi pidana didayagunakan sebagai
sanksi yang dikomulasikan dengan sanksi-sanksi lain. Komulasi sanksi pidana
dengan sanksi lain dimungkinkan apabila sanksi-sanksi lain tidak efektif dan/atau
1). Tingkat kesalahan pelaku relatif berat; 2). Akibat perbuatannya relatif besar;
dan/atau perbuatannya menimbilkan keresahan masyarakat. Asas subsidiaritas
ditafsirkan secara sempit yakni sebagai syarat untuk mengkomulasikan prosedur
pidana atau sanksi pidana dengan sanksi-saksi lain.
4. Saksi pidana sebagai saksi alternatif yang berdiri sendiri
Berbeda dengan penafsiran sebelumnya, penafsiran yang keempat ini
menempatkan prosedur pidana dan sanksi pidana sebagai saksi alternatif yang
berdiri sendiri. Maksudnya, penggunaan prosedur dan saksi pidana tidak
dihubungkan dengan sanksi cabang hukum lain. Prosedur pidana ditempuh
apabila memenuhi syarat, baik alternatif maupun komulatif; 1). Tingkat kesalahan
pelaku relatif berat; 2). Akibat perbuatan pelaku relatif besar; 3). Perbuatan pelaku
menimbulkan keresahan masyarakat.
Efektif atau tidaknya sanksi-sanksi lain tidak digabungkan sebagai prasyarat untuk menempuh prosedur pidana. Pertimbangan seperti ini dikenal dengan
kebijakan/politik
penegakan
hukum
pidana.
Kapan
prosedur
pidana
didayagunakan oleh polisi dan jaksa tergantung kepada situasi dan kondisi
masyarakat atau dampak nyata perbuatan pelaku terhadap masyarakat dengan
tetap mempertimbangkan keadaan-keadaan yang dijabarkan dalam penjelasanpenjelasan undang-undang lingkungan hidup.
144
E. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang No.
32 Tahun 2009
Pengertian
pencemaran
lingkungan
hidup
adalah
masuk
atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu
lingkungan hidup yang telah ditetapkan.214
Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk
hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur
pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu
sebagai unsur lingkungan hidup. Dalam Pasal 20 Undang-Undang No 32 Tahun
2009 penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku
mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi:
a. Baku mutu air
b. Baku mutu air limbah
c. Baku mutu air laut
d. Baku mutu udara ambien
e. Baku mutu emisi
f. Baku mutu gangguan
g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi.
214
Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
145
Dalam penjelasan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
Pasal 20 ayat (2) Yang
dimaksud :
a.
Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi,
atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang
diteggang keberadaannya di dalam air.
b.
Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar polutan yang diteggang
untuk dimaksudkan ke media air.
c.
Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar
yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut
d.
Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau
unsur pencemar yang diteggang keberadaannya dalam udara ambien.
e.
Baku mutu emisi adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang
untuk dimasukkan ke media udara.
f.
Baku mutu gangguan adalah ukuran batas unsur pencemar yang diteggang
keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan.
F. Perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang No
32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Perumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam UU No. 32 tahun 2009
diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 119, yaitu sebagai berikut:
Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan
146
Pasal 98 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan:
(1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan
dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut,
atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana
penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan
denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling
banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima)
tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp
5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp
15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 99 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan:
(1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku
mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku
kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu)
tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling
banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling
sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp
6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah).
(3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang
luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00
(sembilan miliar rupiah).
Pasal 100 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau
baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)
tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
147
(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan
apabila sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau
pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali.
Pasal 101 menyatakan:
Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke
media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1)
huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 102 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat
1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 103 menyatakan:
Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp
1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00
(tiga miliar rupiah).
Pasal 104 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media
lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 105 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12
(dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar
rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah).
Pasal 106 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d,
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15
148
(lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar
rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 107 menyatakan:
Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana
penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan
denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).
Pasal 108 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga)
tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00
(sepuluh miliar rupiah).
Pasal 109 menyatakan:
Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin
lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan
denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak
Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 110 menyatakan:
Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan
amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp
3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Pasal 111 menyatakan:
(1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa
dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal
37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun
dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha
dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar
rupiah).
149
Pasal 112 menyatakan:
Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan
terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan
perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71
dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan
pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp
500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Pasal 113 menyatakan:
Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan
informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang
diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang
berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah).
Pasal 114 menyatakan:
Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan
paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun
dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 115 menyatakan:
Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau
menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau
pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling
lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah).
Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan:
(1) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama
badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada:
a. Badan usaha; dan/atau
b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut
atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak
pidana tersebut
(2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan
hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana
dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana
tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri
atau bersama-sama.
150
Pasal 117 menyatakan:
Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak
pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana
yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga.
Pasal 118 menyatakan:
Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1)
hueuf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh
pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan
peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional
Pasal 119 menyatakan:
Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan
usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa:
a.
b.
c.
d.
e.
perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan;
perbaikan akibat tindak pidana;
pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau;
penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun.
151
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Penegak Hukum Terhadap Korporasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan
Setelah Berlakunya UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Analisis Joseph
Golstein.
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan dua tahun lalu belum efektif
diterapkan. Penangganan kasus
pelanggaran
lingkungan hidup
masih
menggunakan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup, yang penegakan hukum pidana lingkungannya dinilai belum
mengembirakan. Dari Data Kementerian
Negara Lingkungan Hidup Periode
tahun 2009 hingga september 2011, dari 33 kasus pidana lingkungan
yang
diputus pengadilan, 21 kasus diantaranya diputus bebas, 4 diputus penjara, dan 8
dihukum percobaan215. Banyak kasus bebas bisa jadi karena temuan faktanya
lemah atau kelemahan penafsiran kerugian lingkungan. Namun, bisa juga karena
hakim tak berlatar belakang lingkungan.216
Kini tepat 2 tahun masa transisi Undang-Undang No 32/2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seluruh ketentuan dalam
Undang-Undang tersebut berlaku efektif dan instrumen penegakan hukum
lingkungan
215
216
hidup,
baik
administratif,
perdata,
dan
pidananya
Kompas, Kasus Lingkungan Banyak di Putus Bebas. Selasa 4 Oktober 2011
Ibid
saatnya
152
dilaksanakan. Kesiapan penanganan kasus penegakan hukum lingkungan hidup
Mahkamah
Agung
mengeluarkan
Surat
keputusan
MA
No. 134/KMA/SK/IX/2011. Isinya perkara lingkungan hidup harus ditangani
hakim lingkungan yang bersertifikat yang diangkat ketua MA. Masa transisi
peraturan tersebut selama 2 tahun.
Penanggulangan kejahatan dengan target menurunkan tingkat kejahatan,
memperlihatkan adanya jumlah kejahatan yang terjadi dan kejahatan yang dapat
diproses melalui penegakan hukum. Dari pengalaman menunjukkan bahwa,
selama upaya penanggulangan kejahatan dilakukan terdapat pula kejahatan yang
tidak dapat dituntut yang disebut “undetected crimes” dan “release without
prosecution”. Adanya realitas kejahatan demikian sehingga tercipta peta kriminal
yang meliputi tiga daerah operasional dalam wilayah penegakan hukum yaitu,217
(1) penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara total (area of no
enforcement), (2) diskresi dan syarat penuntutan dalam penegakan hukum (area
dicisions not to enforce) dan (3) penuntutan secara nyata yang dapat dilaksanakan
dalam penegakan hukum (area of actual enforcement).
Penegakan hukum dalam negara kita dilakukan secara preventif dan
refresif. Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak
dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada
umumnya diberikan pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Penegakan
hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan ternyata masih
217
Rusli Muhammad. Op.cit. Hal. 147
153
juga terdapat pelanggaran hukum, maka hukum harus ditegakkan secara represif
oleh alat-alat negara penegakan hukum yang diberi tugas yustisionil.218
Secara terperinci oleh Joseph Goldstein219 penegakan hukum pidana
dibedakan menjadi tiga, yaitu:
Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum
pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive
law of crime). Meskipun keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana
secara total, namun penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin
dilaksanakan sehingga terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan
hukum (Area of no enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum
dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan
penagkapan,
penahanan,
penggeledahan,
penyitaan,
dan
pemeriksaaan
pendahuluan. Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum
pidana substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu
penuntutan, misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan.
Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum
jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total
(total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun
penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan
penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai
sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
218
219
Ibid, 150
Ibid
154
waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuannya itu
mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions).
Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan
hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di
dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara
nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah
penegak hukum itu.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum dapat
dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam preventif dan represif,
penegakan hukum dalam arti refresif yang lebih ditujukan pada penegakan
peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement.
Penanganan perkara lingkungan hidup memiliki banyak dimensi, mulai
tingkat penyidikan menemui hambatan dalam penentuan tersangka, kejaksaan
kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM), sampai tingkat Pengadilan yang belum
memiliki hakim khusus lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan hidup
yang dilakukan oleh korporasi khususnya di propinsi Sulawesi Tenggara Kab.
Kolaka secara umum masih kurang efektif walaupun sudah dua tahun berjalan
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan
lingkungan
Hidup,
perusahaan
pertambangan
masih
beroperasi
dan
mengakibatkan pencemaran melampaui baku mutu udara ambien, baku mutu
emisi, baku mutu gangguan, baku mutu air laut, baku mutu air, karena
berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 Perlindungan
155
dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan penentuan terjadinya pencemaran
lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.
Berdasarkan
wawancara
penulis
dengan
Musnajam,
pencemaran
lingkungan hidup di kab.kolaka Sulawesi tenggara indikator kategori sebagai
tindak pidana lingkungan hidup karena sudah melampaui baku mutu udara
ambien, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, baku mutu air laut, baku mutu
air, karena berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009
Perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan: penentuan
terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan
hidup.220
Dampak
aktifitas
pertambangan
di
Kab.
Kolaka
menyebabkan
pencemaran secara besar-besaran.221 Ada dua kemungkinan penyebab pencemaran
lumpur merah tersebut, pertama lumpur melalui aliran sungai dan kedua, kondisi
topografi wilayah penambangan yang berada di bukit menyebabkan limpahan
aliran lumpur merah masuk ke laut saat hujan. Faktor lain yang mempengaruhi
rusaknya kawasan di dua wilayah pertambangan ditemukan pada sejumlah
perusahaan tidak ditemukan atau, tidak terurusnya DAM pengatur sistem baku
mutu air.
Sejumlah aliran anak sungai tertutup oleh tanah galian tambang yang
dijumpai dibeberapa perusahaan pertambangan yang ada. Bahkan banjir yang
220
Wawancara Musnajam, ST., M,Eng (Peneliti AMDAL Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat LPPM Univ. 19 Nopember Kolaka. Hari Sabtu.tanggal 30 Juli 2011
221
www. berita.yahoo.com/pertambangan-sebabkan-pencemaran-laut-kolaka. Diakses tanggal 23
oktober 2011
156
setiap saat hujan turun mengancam masyarakat sekitar tambang, diakibatkan
rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di sepanjang kawasan hutan Kec.Pomalaa
Kab. Kolaka.222 Badan Lingkungan Hidup Kab. Kolaka kesulitan mendeteksi
potensi pencemaran, disebabkan peralatan penunjang penelitian masih sangat
minim dan juga penyidik pengawai negeri sipil juga belum ada. Hal ini
berdampak pada penegakan hukum lingkungan dengan sistem Triangle Integrated
Environmental Criminal Justice System (Sistem segi tiga terpadu penegakan
hukum pidana lingkungan hidup) yaitu sistem penegakan hukum terpadu yang
terdiri penyidik kepolisian, kejaksaan dan saksi ahli.
Berdasarkan hasil penelitian penulis selama Undang-Undang No 32
tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan. Kini tepat 2 tahun masa transisi
Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup seluruh ketentuan dalam Undang-Undang tersebut berlaku
efektif dan instrumen penegakan hukum lingkungan hidup baik administratif,
perdata, dan pidananya dapat dilaksanakan. Dalam penelitian penulis ternyata satu
kasus pun tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang
ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani.223.
Kendala utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) penyidik kepolisian dan
222
223
Ibid
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
157
kejaksaan.224
Pemahaman
doktrin
mengenai
pertanggungjawaban
pidana
korporasi tidak di kuasai oleh aparatur penegak hukum. Khususnya pemahaman
bahwa korporasi dapat di jadikan subyek hukum atau pelaku tindak pidana
lingkungan
hidup,
sehingga
korporasi
juga
dapat
dimintakan
pertanggungjawaban. Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur tentang korporasi dapat
dipertanggungjawabkan. Dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 32 tahun 2009
ayat (1) menyakatan: Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh,
untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana diajtuhkan
kepada: a). Badan usaha; b). Orang yang memberi perintah untuk melakukan
tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan
dalam tindak pidana tersebut.
Berdasarkan hal tersebut diatas, jika di analisis wilayah penegakan
hukum menggunakan pendekatan teori Joseph Golstein dengan kondisi dan
permasalahan yang dihadapi penegakan hukum kepolisian dan kejaksaan yang
dilakukan oleh korporasi menurut Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab. Kolaka Provinsi
Sulawesi Tenggara. Maka menurut penulis dari ketiga tipe penegakan hukum
pidana yaitu Joseph Golstein Total Enforcement, Full enforcement, Actual
enforcement. Full enforcement dapat menggambarkan kondisi dari penegakan
hukum tersebut, yang mana penyidik Polres Kab. Kolaka ingin secara maksimal
menindak tindak pidana lingkungan hidup, namun demikian hal itu dianggap
224
Wawancara Bu Evi,S.H., M.H. (Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka). Tanggal 27 Juli 2011
158
sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk
Sumber Daya Manusia (SDM) penyidik Polres Kab.Kolaka masih terbatas,
pemahaman doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi kurang di
kuasai oleh aparatur penegak hukum,225 alat-alat investigasi berupa laboratorium
tindak pidana lingkungan hidup dan dana untuk menangani tindak pidana
lingkungan hidup cukup besar, yang hal ini mengharuskan dilakukan diskresi.226
Artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum dalam menjalankan tugas untuk
melanjutkan tindak pidana keproses lebih lanjut. Karena lingkup aturan tidak
menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap penegak hukum
dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan.
B. Kendala-Kendala Hukum yang Timbul dalam Praktek
Pidana yang
Dihadapi oleh Kepolisian dan Kejaksaan apabila Korporasi Melakukan
Pencemaran Lingkungan Hidup setelah Berlakunya Undang-Undang
No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup.
Salah satu persolan yang krusial di negeri ini, adalah persoalan
penegakan hukum. Persoalan yang muncul adalah apakah penegakan hukum
dalam upaya mewujudkan agenda supremasi hukum akan dapat tercapai dengan
baik. Hal tersebut tergantung berbagai kendala. Banyak kendala yang
225
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
226
http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum. M. Sofyan Lubis. “Diskresi adalah,
kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat
publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni,
demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar
Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik”. Di akses tanggal, 18 Oktober 2011
159
berhubungan dengan penegakan hukum. Kendala yang dihadapi penegakan
hukum tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh penyidik kepolisian
dan kejaksaan yang pelakunya korporasi adalah:
1. Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas
Tidak bisa di pungkiri kendala Sumber Daya Manusia (SDM) penegak
hukum adalah faktor tidak efektifnya penegakan hukum pidana lingkungan.227
Khususnya di daerah-daerah, belum dapat dikatakan para penegak hukum sudah
menguasai seluk beluk hukum lingkungan, bahkan pengenalan hukum lingkungan
pun masih kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan pelatihan di
samping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti
pertemuan ilmiah, seperti seminar dan lain-lain. Di samping itu, belum ada
penyidik dan penuntut umum khusus tindak pidana lingkungan hidup.
2. Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi Prioritas.
Tindak lingkungan hidup belum menjadi proiritas di bandingkan kasus
-kasus lain, misalnya pencurian, pembunuhan, korupsi dan lain-lain. Disebabkan
pembuktian, penentuan hubungan kausalitas antara perbuatan pencemaran dan
korban tindak pidana lingkungan hidup terjadi pencemaran memerlukan ahli dan
laboratorium khusus. Walaupun dalam Pasal 96 UU No 32 tahun 2009 sudah
mengatur tentang Pasal Pembuktian yang menyatakan: Alat bukti yang sah dalam
tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas:
a. Keterangan saksi
b. Keterangan ahli
227
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
160
c. Surat
d. Petunjuk
e. Keterangan terdakwa; dan/atau
f. Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Dalam Pasal 183 KUHAP menentukan dengan tegas fungsi dari alat bukti
sebagai salah satu syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana. Karena fungsinya
tersebut dalam mengumpulkan alat bukti yang kuat dan sah penyidik perlu
berhati-hati karena tehnik pengambilan dan penentuan alat bukti dalam tindak
pidana lingkungan hidup sangat sulit dan kompleks.228 Kendala utama dalam
pembuktian tindak pidana lingkungan hidup di Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi
Tenggara susahnya untuk mendapatkan keterangan ahli.
3. Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana
Lingkungan.
Koordinasi antar instansi penyidik kepolisian, kejaksaan dan Penyidik
Pengawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana lingkungan hidup belum
berjalan dengan baik. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup biasanya banyak
yang terkait dengan pengaturan atau berkenan dengan perbuatan pelanggaran atas
kebijakan penguasa administratif yang biasanya bersifat preventif, dan terkait
dengan larangan bertindak tanpa izin. Hal ini menjadikan muncul pendapat bahwa
kewenangan hukum pidana untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan
228
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
161
selebihnya hanya akan dimungkinkan jika sarana lain penegakan hukum lainnya
telah diupayakan dan gagal daya kerja subsidiaritas hukum pidana.
terdapat perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan pejabat
pengawas (penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui
sarana hukum pidana, diantaranya:229
1.
pejabat pemerintah administratif tidak banyak yang paham tentang hukum
pidana
2.
pejabat pemerintah administratif bekerja dengan tujuan meningkatkan
kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan
melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan
patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan
dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau
kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk
kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan.
3.
adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah
suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara
administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi.
Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan
terpandang di mata masyarakat.
4.
Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani
kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa
pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran
229
www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09 diakses tanggal 4 oktober 2011
162
dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk
menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi
mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat
buktinya.
5.
Adanya
“kebijakan”
untuk
membiarkan
pelaku
tetap
melakukan
pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena
penguasa pemerintah sedang masih melakukan “perundingan” dengan
pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang
diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut.
6.
Adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat
pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta
memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu
keputusan yang cepat.
Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan
Perlindungan Lingkungan Hidup telah mengatur penegakan hukum terpadu dalam
Pasal 95 ayat (1) menyatakan: dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak
pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara
penyidik pengawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi
Menteri.
Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System (sistem segi
tiga terpadu penegakan hukum pidana lingkungan hidup) melibatkan penyidik,
penuntut umum dan saksi ahli. Sistem segi tiga terpadu ini berpangkal pada
adanya sifat-sifat tertentu dalam tindak pidana lingkungan hidup. Sistem ini juga
163
merupakan jawaban kritik atas terkotak-kotaknya fungsi tugas penegak hukum
kita sebagai akibat implementasi prinsip differensiensi fungsional di lapangan
yang kaku, dan menimbulkan celah tidak berfungsinya sistem check and
balanced.230
4.
Kendala Profesionalisme penegak hukum
Merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari
sosok-sosok penegak hukum. Kendala yang di hadapi lambannya penanganan
tindak pidana lingkungan hidup, disebabkan kurangnya profesionalisme penegak
hukum. Tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, penyidik
kepolisian beranggapan bahwa kasus lingkungan hidup dapat disidik apabila
adanya laporan atau pengaduan. Dalam UU No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup tidak ada satu pun pasal yang
mengatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan tindak pidana
aduan. Kepolisian menunggu adanya pengaduan masyarakat walaupun fakta
dilapangan tindak pidana lingkungan hidup terjadi. Penyidik kepolisian juga akan
menangani tindak pidana lingkungan hidup apabila ada akibat yang dilakukan
oleh
korporasi,
sementara
menurut
penulis
bagaimana
penyidik
akan
mendapatkan akibat terjadinya tindak pidana lingkungan hidup sementara mereka
tidak memfokuskan tindak pidana lingkungan hidup.
230
Erni Mustikasari. kabar_insan_adhyaksa.php.htm. www.kejaksaan.go.id. Jangan kesampingkan
masalah lingkungan hidup. Diakses tanggal 4 oktober 2011
164
5.
Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum
Sarana atau fasilitas pendukung penegakan hukum dalam tindak pidana
lingkungan hidup merupakan faktor kendala terutama sarana laboratorium. Kasus
lingkungan hidup termasuk dalam penyelesaian perkara biaya tinggi sehubungan
dengan keterlibatan saksi ahli dan laboratorium yang sangat tidak murah,
sedangkan penangganan anggaran operasional penanganan perkara cukup
terbatas.
6. Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan
Terhadap Hukum Adminstratif.
Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak
tergantung pada hukum administratif, terutama menyangkut perizinan. Yang
menjadi masalah izin yang dikeluarkan oleh pejabat administratif yang kemudian
ternyata izin yang dipakai itu terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.
Penegakan hukum pidana lingkungan menurut Undang-undang No. 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan ultimum
remedium jalan terakhir diterapkan setelah instrumen hukum lain tidak bisa
menyelesaikan persoalan lingkungan. Sehingga hukum penegakan hukum pidana
lingkungan harus menunggu setelah penerapan hukum yang lain sudah
dilaksanakan .
165
7. Hukum Pidana Masih Bersifat ultimum remedium dalam Penegakan
Hukum Lingkungan.
Kesulitan atau hambatan asas subsidiaritas pada praktik penegakan
hukum pada UUPLH No. 23 tahun 1997 telah diperbaiki pada UUPPLH No 32
tahun 2009 dengan menghilangkan asas
subsidiaritas tersebut dengan
memunculkan asas ultimum remedium pada penjelasan umum angka 6 dan Pasal
100 ayat (2). Asas ini lebih dipertegas pemaknaanya sebagaimana tercantum
dalam Pasal 100 ayat (2) menyatakan yaitu, setiap orang yang melanggar baku
mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru dapat dipidana,
jika sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran
dilakukan lebih dari satu kali.
Dalam prakteknya, pejabat administrasi mengatakan belum tiba saatnya
pengunaan instrumen hukum pidana, sedangkan penuntut umum mengatakan
sudah saatnya menggunakan hukum pidana. Hal ini menimbulkan perdebatan
antara pejabat administrasi dan penuntut umum tentang kapan tiba saatnya
pengunaan obat terakhir (hukum pidana).
Dengan dimuatnya asas subsidiritas yang diganti dengan asas ultimum
remedium dengan syarat tertentu tersebut, menunjukan sikap pembentuk hukum
yang tidak ingin menggunakan prosedur pidana dan sanksi pidana yang biasanya
memiliki kekuatan pemaksa agar ditaatinya hukum lingkungan hidup. Adanya
penggunaan asas subsidiaritas/ultimum remedium dengan syarat tertentu dan
166
tertulis tersebut dapat mengurangi sifat pemaksa sebagai salah satu ciri dari
ketentuan pidana lingkungan.231
Adanya syarat-syarat penggunaan prosedur pidana dan ancaman sanksi
pidana dalam UUPPLH tersebut memberi kesan, paling tidak dalam benak
pembentuk hukum, seolah-olah para penegak hukum lebih sering atau sangat
berlebihan dalam menggunakan prosedur hukum pidana dan sanksi pidana
daripada prosedur administrasi atau perdata sehingga memerlukan kebijakan
legislatif untuk membatasi ruang gerak penegak hukum dalam menggunakan
prosedur pidana dan sanksi pidana.232 Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan
pada penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti
pada UUPLH yang lalu.
Kegagalan penegak hukum dalam menegakkan tindak pidana lingkungan
yang dilakukan oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No.32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yaitu masih
menggunakan paradigma lama tentang pertanggungjawaban pidana lingkungan
hidup. Penyidik akan melakukan penyidikan apabila ada masyarakat yang
mengadu bahwa di wilayahnya terjadi pencemaran lingkungan hidup. Penyidik
akan melakukan penyidikan apabila ada akibat yang dilakukan oleh korporasi,233
Penyidik tidak memahami dasar filosofi mengapa Undang-Undang yang lama
diganti. Dasar filosofi Undang-Undang No 23 tahun 1997 diganti ke Undang-
231
Mudzakkir.op.cit. Hal. 546
Ibid
233
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
232
167
Undang No 32 tahun 2009 berdasarkan pertimbangan Undang-Undang No 32
tahun 2009 agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan
terhadap hak setiap orang untuk mendapatkann lingkungan hidup yang baik dan
sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem.
Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memperkenalkan
ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti,
pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegak hukum pidana,
dan pengaturan tindak pidana korporasi. Akan tetapi, hal ini tidak banyak
berdampak banyak apabila penyidik masih menggunakan paradigma lama.
Berdasarkan gambaran kendala-kendala penegakan hukum pidana
lingkungan hidup tersebut di atas dapat dibagi kriteria penegakan hukum pidana
dengan pendekatan menurut Joseph Goldstein, pendekatan hukum yang kedua
Full enforcement dapat menggambarkan penegakan hukum lingkungan hidup
tersebut. Kelemahan dari penegakan hukum lingkungan hidup terletak dari Full
enforcement tersebut. Yaitu penegakan ini muncul setelah ruang lingkup
penegakan hukum yang bersifat total (total ennforcemen) dikurangi dengan area
of no enforcement. Sekalipun penegakan hukum yang kedua diharapkan para
penegak hukumnya melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun
demikian hal ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis sebab adanya
keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana
dan sebagainya.
168
Paling tidak dalam penelitian penulis, ada lima kendala yang
mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan
diantaranya: a). Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas;
b). Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi
antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d). Kendala
Profesionalisme penegak hukum; e). Kendala Sarana atau Fasilitas yang
Mendukung Penegakan Hukum; f). Adanya ketergantungan penerapan penegakan
hukum pidana lingkungan terhadap hukum adminstratif; g). Hukum pidana masih
bersifat ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan.
Penegakan hukum yang ketiga dari Joseph Goldstein actual enforcement
penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan
wilayah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam
keseluruhan wilayah penegakan hukum tidak lebih dari separuh dari keseluruhan
wilayah penegakan hukum itu.
Berdasarkan hasil penelitian penulis, menganalisis konsep teori Joseph
Goldstein dengan penegakan hukum actual enforcement selama Undang-Undang
No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang
disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Walaupun kini
tepat dua tahun masa transisi Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seluruh ketentuan dalam
Undang-Undang tersebut berlaku efektif dan instrumen penegakan hukum
lingkungan hidup baik administratif, perdata, dan pidananya dapat dilaksanakan.
Akan tetapi dalam penelitian penulis mendapatkan data ternyata satu kasus pun
169
tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani
oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani.
Penegakan hukum melalui sanksi pidana juga tidak bisa diharapkan. Masalahnya,
polisi dan jaksa lebih memprioritaskan kasus pencurian, pembunuhan ketimbang
kasus lingkungan.234. Kendala utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM)
penyidik kepolisian dan kejaksaan.235 Pemahaman penegak hukum tentang hukum
lingkungan yang dilakukan oleh korporasi dan pertanggungjawaban korporasi
kurang memahami.236 Penyidik juga beranggapan bahwa tindak pidana
lingkungan hidup bisa mereka tangani apabila ada masyarakat yang mengadu
bahwa wilayahnya terjadi pencemaran lingkungan hidup. Menurut hemat penulis
hal ini juga yang menjadikan penegakan hukum lingkungan hidup tidak bisa
diharapkan dengan sifat penengak hukum yang apatis, padahal tindak pidana
lingkungan hidup merupakan delik biasa.
Hal ini dapat juga terlihat secara nasional dari Data Kementerian
Negara Lingkungan Hidup Periode tahun 2009 hingga september 2011, dari 33
kasus pidana lingkungan yang diputus pengadilan, 21 kasus diantaranya diputus
bebas, 4 diputus penjara, dan 8 dihukum percobaan237. Data Lembaga
Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, hingga Oktober 2011, tercatat 171
pengaduan masyarakat. Sebanyak 42 pengaduan diverifikasi kementerian
234
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
235
Wawancara Bu Evi., S.H., M.H . (Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka). Tanggal 27 Juli 2011
236
Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli
2011
237
Kompas, Kasus Lingkungan Banyak di Putus Bebas. Selasa 4 Oktober 2011
170
Lingkungan Hidup, sedangkan 42 pengaduan diserahkan kepada institusi
Lingkungan Hidup didaerah, sementara jumlah laporan pidana lingkungan 92
kasus, 21 diantaranya masuk tahap penyidikan dan 1 kasus berkas dinyatakan
lengkap oleh jaksa. Dari jumlah itu, 47 laporan tidak diketahui kasusnya.238
Hal ini dapat menggambarkan tindak pidana lingkungan hidup secara
nasional ternyata penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup tidak cukup
baik, Derajat kerusakan akibat kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup
lebih serius ketimbang kejahatan konvensional seperti pencurian, perampokan,
bahkan pembunuhan. Apa lagi di daerah-daerah yang jauh dari kontrol dari
pengawasan media dan penegak hukum.
238
http://www.icel.or.id/catatan-akhir-tahun-icel-2011karpet-merah-investor-perusak-lingkungan.
Diakses Tanggal, 21 Desember 2011
171
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana yang telah dipaparkan kiranya dapat
ditegaskan beberapa pokok pemikiran sebagai kesimpulan seperti berikut ini:
1.
Seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goldstein Penegak hukum full
enforcement khususnya di tahap penyidik kepolisian masih lemah
pelaksanaannya. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian dan
kejaksaan belum secara maksimal, artinya kebijakan subyektif dari penegak
hukum untuk melanjutkan tindak pidana ke proses lebih lanjut. Kondisi
seperti ini dijadikan peluang bagi korporasi untuk berbuat semaunya dan
mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kepolisian dan
kejaksaan harus melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten.
2.
Kendala-kendala utama yang terjadi dalam praktek penegakan hukum yang
dihadapi oleh kepolisian dan kejaksaan apabila korporasi melakukan tindak
pidana lingkungan hidup, paling tidak ada lima kendala yang mempengaruhi
penegakan
hukum,
termasuk
penegakan
hukum
pidana
lingkungan
diantaranya: a). Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih
terbatas; b). Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala
Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan;
d). Kendala Profesionalisme penegak hukum; e). Kendala Sarana atau
Fasilitas yang Mendukung Penegakan hukum; f). Ketergantungan penerapan
172
hukum pidana lingkungan terhadap hukum administratif; g). Hukum pidana
masih bersifat ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan.
Kendala-kendala yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut,
dikategorikan
sebagai
penegakan
hukum
tipe
full
enforcement,
yaitu
mengharapkan para penegak hukum melakukan penegakan hukum secara
maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai suatu yang tidak realistis
sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penegakan hukum pidana.
Penegakan hukum tipe actual enforcement penegakan hukum pidana
yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari
keseluruhan wilayah penegak hukum. Selama Undang-Undang No 32 tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan yang
disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Ternyata (0)
kasus tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang
ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya Undang -Undang No. 32 tahun
2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kasus belum ada
yang di tangani.
B. Saran
Berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menyarankan:
1.
Perlu dikembangkan sistem triangle Integrated Environmental Criminal
Justice System (sistem segi tiga terpadu penegakan hukum pidana
lingkungan hidup) yaitu adanya koordinasi terpadu antara penyidik
kepolisian, kejaksaan dan saksi ahli untuk memecah kebuntuan dalam
173
penegakan hukum supremasi hukum khususnya penegakan hukum
lingkungan hidup.
2.
Perlu adanya penyidik kepolisian dan kejaksaan khusus menangani
lingkungan hidup, khususnya di daerah industri dan pertambangan.
3.
Diperlukan sikap tegas penegak hukum bersifat preventif dan represif
tidak berjalan sendiri akan lebih baik berjalan sebagai satu kesatuan
sistem yang disebut sistem peradilan pidana.
174
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Andi Hamzah.2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.Jakarta.
Andi Zainal Abidin. 1987. Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni.
Bandung
Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum
Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada
Media Group: Jakarta.
………………..1988. Perbandingan Hukum Pidana.FH UNDIP: Semarang.
...........................2008.Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta.
...........................1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana. Citra Aditya Bakti.
Bandung.
Chidir Ali.1991. Badan Hukum. Alumni.Bandung
Dwidja Priyatno. 2009. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana
Korporasi Di Indonesia. CV. Utomo. Bandung
Jimly Asshidiqie.2009. Gree Constitution. Rajawali Pers. Jakarta
Koesnadi Hardjasoemantri. 2009. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta
Muhammad Topan. 2009. Kejahatan Korporasi di bidang Lingkungan Hidup.
Nusa Media: Yogyakarta.
Muladi, et.al. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Prenada Media
Group: Jakarta.
Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Badan Penerbit
Universitas Diponegoro
Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana.
Cetakan ketiga.Alumni. Bandung
175
Moeljatno. KUHP. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara:
Jakarta
Mardjono Reksodiputro.1994. Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum
Melawan Kejahatan). dalam Mardjono Reksodiputro, Hak
Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat
Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga
Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta
Mudzakkir.2011.Aspek
Hukum
Pidana
dalam
Pelanggaran
Lingkungan
Hidup.Pascasarjana UI.Jakarta.
Rusli Muhammad.2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia. FH UII Press.
Yogjakarta
Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan
Nasional. Airlangga University Press. Surabaya.
Satjipto Raharjo.1983.Masalah Penegakan hukum (suatu tinjauan sosiologis) .
Sinar Baru.Bandung.
.......................... 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan.Alumni. Bandung
.......................... Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis). Genta Publishing.
Yogyakarta
Sudarto. 1979.Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia. FHUNDIP: Semarang
....................1983.Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian
terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung
....................1983. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung.
....................1981.Suatu Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia dalam Beberapa
Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum
(Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan). Alumni:Bandung
Soerjono Soekanto.1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum.
Rajawali Pers. Jakarta.
Siahaan.2009. Hukum Lingkungan. Pancuran Alam: Jakarta.
176
Setiyono.2009.Kejahatan
Korporasi.
Pertanggungjawaban
(Analisis
Korporasi
dalam
Viktimologi
Hukum
dan
Pidana
Indonesia) Banyumedia Publishing: Malang.
Sabian Utsman.2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif.Pustaka Pelajar.
Yogjakarta.
Sutan Remi Sjahdeini.2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Grafiti Pers.
Jakarta
Sukanda Husin.2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika.
Jakarta
Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. PT. Pembagunan:
Jakarta.
Syahrul Machmud.2012. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Graha Ilmu.
Yogyakarta.
Teguh Prasetyo. 2010. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusamedia. Bandung
...................................& Abdul Halim Barkatullah.2005. Politik Hukum Pidana :
Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Yusuf Shofie.2002. Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi.
Ghalia Indonesia. Jakarta.
Perundang-undangan:
Rancangan Undang-Undang KUHP 2008
Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan
Lingkungan Hidup.
Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup
Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengeloaan
lingkungan Hidup.2010.Citra Umbara: Bandung.
177
Makalah:
Barda.Nawawi.
Arief,
Prinsip-prinsip
Dasar
Atas
Pedoman
Perumusan/Formulasi ketentuan pidana dalam Perundang-undangan
…………., Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik
Khusus dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja Pada Seminar
Perkembangan
Delik-delik
Khusus
dalam
Masyarakat
yang
Mengalami Modernisasi BPHN-FH UNAIR Surabaya, Tanggal 25-27
Februari 1980.
Elsam.2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 6 “Tanggungjawab
Pidana Korporasi dalam RUU KUHP”.
J.E. Sahetapy.1989. Kejahatan Korporasi Ditinjau dari Sudut Kriminologi.
Makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi
23- 24
November. FH-UNDIP: Semarang.
......................1993“Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan
Pembangunan
Sistem
Hukum,”
Analisis
CSIS
(Januari-
Pebruari,XXII), No. 1.
Hasil Wawancara
Wawancara dengan Ajun Komisaris Polisi (AKP) Kasman. Kasatreskrim Polres
Kolaka. Hari Rabu, tanggal 27 Juli 2011. Di Kab. Kolaka.
Provinsi Sulawesi Tenggara
Wawancara dengan Bu Evi., S.H., M.H. Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka.
Hari Kamis, tanggal 28 Juli 2011. Di Kab. Kolaka. Provinsi
Sulawesi Tenggara
178
Wawancara Musnajam, Peneliti AMDAL Lembaga Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat LPPM Univ. 19 Nopember Kolaka. Hari
Sabtu.tanggal 30 Juli 2011. Di Kab. Kolaka. Provinsi
Sulawesi Tenggara.
Thesis dan Disertasi
Buyung Dwikora. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undangundang No 23 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Tesis FH-UNDIP. Semarang.
Hery Lius. Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap
Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat
Kebakaran Hutan dan
Lahan di Propinsi Jambi. Thesis FH-UNDIP. Semarang.
Suharto. 2010. Hukum dan Lumpur Lapindo: Tanggungjawab Pemerintah dan
PT.Lapindo Brantas. Ringkasan Disertasi FH-UII. Yogyakarta.
Koran dan Data Elektronik
http://www.kompas.com.Diakses Pada tanggal. 21 Juli 2004
Kompas, Diakses, Pada tanggal.Selasa 4 Oktober 2011
http://geo.ugm.ac.id, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan
Otonomi Daerah, Diakses Pada tanggal, 11 Januari 2011
Lucky Raspati.2007. Jerat tidak pas lumpur panas. Rispati. blogspot.com.
Diakses
pada
tanggal
6
Maret
2011
Erni Mustikasari. kabar_insan_adhyaksa.php.htm. www.kejaksaan.go.id. Jangan
kesampingkan masalah lingkungan hidup. Diakses pada tanggal 4 oktober 2011
www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09. Penegakan hukum lingkungan
hidup terpadu dalam perspektif hukum pidana. diakses pada
tanggal 4 oktober 2011
www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09. Pertanggungjawaban Pidana Pada
Perseroan Terbatas (PT) Berdasarkan Pasal 116 UU No. 32
tahun 2009 tentang Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan Hidup. Diakses pada tanggal 4 oktober 2011
www. Legalitas.org, RUU KUHP. Diakses pada tanggal 6 juli 2010
179
www. berita.yahoo.com/pertambangan-sebabkan-pencemaran-laut-kolaka.
Diakses tanggal 23 oktober 2011
www.icel.or.id/catatan-akhir-tahun-icel-2011karpet-merah-investor
perusaklingkungan. Diakses Tanggal, 21 Desember 2011
180