Academia.eduAcademia.edu

PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN

2012, Yahyanto

Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan, merupakan cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan maka perlu adanya penegakan hukum lingkungan hidup. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimanakah penegakan hukum pidana lingkungan oleh kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?; 2). Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?. Penelitian ini adalah penelitian yuridis.Temuan dalam penelitian ini menunjukan tahap penegakan hukum, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goldstein, masih lemahnya pelaksanaan penegakan hukum. Penegak hukum full enforcement khususnya di tahap penyidik kepolisian masih lemah pelaksanaannya. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan belum secara maksimal, artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum untuk melanjutkan tindak pidana ke proses lebih lanjut. Kondisi seperti ini dijadikan peluang bagi korporasi untuk berbuat semaunya dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kepolisian dan kejaksaan harus melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten. Kendala-kendala utama yang terjadi dalam praktek penegakan hukum yang dihadapi oleh kepolisian dan kejaksaan apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup, paling tidak ada lima kendala yang mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan diantaranya: a).Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas; b).Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d).Kendala Profesionalisme penegak hukum; e).Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan hukum; f).Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Hukum Administratif; g). Hukum Pidana masih Bersifat Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum Lingkungan. Kendalakendala yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut, dikategorikan sebagai penegakan hukum tipe full enforcement, yaitu mengharapkan para penegak hukum melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai suatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penegakan hukum pidana. Penegakan hukum tipe actual enforcement penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum. Selama Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Ternyata satu kasus pun tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya Undang -Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani.

PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA) TESIS OLEH : YAHYANTO Nomor Mhs : 10912566 BKU : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Studi : Magister Ilmu Hukum PROGRAM MAGISTER (S2) ILMU HUKUM PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA 2011 HALAMAN PERSETUJUAN TESIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA) Telah diperiksa dan disetujui oleh Dosen Pembimbing untuk diajukan ke Dewan Penguji dalam Ujian Tesis Pada Hari/Tanggal: Sabtu, 14 Januari 2012 Nama NIM : YAHYANTO : 10912566 Bidang Kajian Khusus : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Studi : Magister Ilmu Hukum DISETUJUI PEMBIMBING Dr. AROMA ELMINA MARTHA, S.H., M.H MENGETAHUI KETUA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Dr. Hj. NI’MATUL HUDA, S.H., M. Hum. iii TESIS PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA) Telah dipertahankan dihadapan Tim Penguji dalam Ujian Pendadaran Pada Hari/Tanggal: Sabtu, 14 Januari 2012 dan dinyatakan L U L U S Nama NIM : YAHYANTO : 10912566 Bidang Kajian Khusus : Hukum dan Sistem Peradilan Pidana Program Studi : Magister Ilmu Hukum Tim Penguji Tanda Tangan 1. Ketua Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H. ................................................. 2. Anggota Dr. M. Arif Setiawan, S.H., M.H. .................................................. 3. Anggota Zairin Harahap, S.H., M.Si ................................................... MENGETAHUI KETUA PROGRAM PASCASARJANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA Dr. Hj. NI’MATUL HUDA, S.H., M. Hum. iii PERNYATAAN ORISINALITAS Tesis dengan Judul: PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA) Benar-benar karya dari penulis, kecuali bagian-bagian tertentu yang telah Diberikan keterangan pengutipan sebagaimana etika akademis yang berlaku. Jika terbukti bahwa karya ini bukan karya penulis sendiri, maka penulis siap Untuk menerima sanksi sebagaimana yang telah ditentukan oleh Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta,Sabtu, 14 Januari 2012 YAHYANTO MOTTO “ Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib seorang manusia kecuali Manusia itu sendiri mau berusaha untuk merubahnya” (Q.S Ar- Ra’du :11). PERSEMBAHAN Penelitian ini selain persembahan keilmuan, secara khusus ingin peneliti persembahkan kepada: 1. Kedua orang tuaku, yaitu Bapak Teto Mololo dan Ibu Piipa, sebagai tanda bakti. 2. Kepada Kakakku Djabir,S.Pi , Nurliati, Djurana, Ismail dan Adik Iqlimawati. 3. Istriku tercinta Munarti,S.P dan anakku tersayang Muhammad Rifqiy Ramadhan. v KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah Swt, yang telah menciptakan alam semesta dan segala kesempurnaan isinya. Sholawat dan salam semoga senantiasa terlimpahkan pada Nabi Muhammad Saw yang telah membimbing ummat manusia dari alam kegelapan menuju alam yang penuh dengan hidayat dan inayyahnya. Dengan mengucapkan Bismillahirahmanirrahim penulisan dapat menyelesaikan tugas tesis yang berjudul “PENEGAKAN HUKUM PIDANA LINGKUNGAN (STUDI TENTANG PENEGAKAN HUKUM KASUS PENCEMARAN LINGKUNGAN OLEH KORPORASI SETELAH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NO 32 TAHUN 2009 TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP DI KAB.KOLAKA PROPINSI SULAWESI TENGGARA)” ini merupakan salah satu syarat untuk mencapai derajat kesarjanaan Strata 2 (S2) pada Program Studi Ilmu Hukum Program Pasca Sarjana Hukum Universitas Islam Indonesia. Dalam penyusunan thesis ini, penulis banyak mendapat bimbingan atau bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Ibu Dr. Aroma Elmina Martha, S.H., M.H selaku Pembimbing yang dengan penuh kesabaran yang luar biasa telah membimbing penulis dan memberikan koreksi-koreksi dan arahan-arahan yang sangat berguna sehingga akhirnya tesis ini dapat terselesaikan. Semoga Allah SWT membalas segala amal ibadah dan kebaikan beliau dengan pahala yang berlimpah. Pada kesempatan yang baik ini, tidak lupa penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada yang terhormat: 1. Bapak Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, M.Ec. Sebagai Rektor Universitas Islam Indonesia Yogyakarta vii 2. Ibu Dr. Ni’matul Huda, S.H., M.H Sebagai Ketua Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 3. Bapak Dr. Arief Setiawan, S.H., M.H selaku Penguji yang telah memberikan masukan perbaikan thesis yang sangat berharga 4. Bapak Hazairin Harahap, S.H., M.Si selaku Penguji yang telah memberikan masukan perbaikan tesis yang sangat berharga 5. Ayahhanda, Ibunda beserta kakak-kakakku yang tiada hentinya memberikan semangat, mengorbankan segala kemampuan dan kasih sayangnya dalam menuntut ilmu. 6. Bapak Dr. Ashari, S.STP., M.Si Selaku Rektor Universitas 19 Nopember yang telah memberikan kesempatan untuk Melanjutkan studi. 7. Teman-teman BKU Hukum dan Sistem Peradilan Pidana serta rekan-rekan Pascasarjana Ilmu Hukum UII 8. Kemudian sebagai akhir penghaturan terimahkasih, keberhasilan studi dan penyelesaian thesis ini, secara khusus ingin penulis persembahkan kepada istriku tercinta Munarti,S.P dan anakku tersayang Muhammad Rifqiy Ramadhan, saya bersyukur atas kesetian dan dukungan yang begitu besar yang akan saya balas dengan menjadi suami dan ayah yang kalian syukuri dan banggakan. Penyusun sangat menyadari bahwa tesis ini jauh dari kesempurnaan sebagai sebuah karya ilmiah, oleh karena itu, penyusun mengharap kritik dan saran yang konstruktif dari pembaca yang budiman untuk perbaikan di masa mendatang. Akhirnya terhadap semua pihak yang telah membantu selama penulis kuliah di S-2 Pascasarjana UII sampai dengan selesai, penulis menghanturkan banyak terima kasih. Yogyakarta, 31 Januari 2012 PENULIS YAHYANTO vii DAFTAR ISI Halaman Judul........................................................................................................i Halaman Persetujuan............................................................................................ii Halaman Pengesahan...........................................................................................iii Halaman Pernyataan Orisinalitas.......................................................................iv Halaman Motto dan Persembahan.......................................................................v Kata Pengantar.....................................................................................................vi Daftar Isi...............................................................................................................vii Abstrak................................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 1 A. Latar Belakang.................................................................................1 B. Rumusan Masalah............................................................................7 C. Tujuan Penelitian.............................................................................8 D. Kerangka Konseptual.......................................................................8 E. Tinjauan Pustaka............................................................................10 F. Metode Penelitian...........................................................................25 BAB II KONSEP PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP.......................................................................29 A. Konsep Penegakan Hukum............................................................29 1. Definisi Penegakan Hukum...................................................... 29 2. Konsep Penegakan Hukum Joseph Goldstein...........................60 3. Politik Kriminal Merupakan Bagian dari Penegakan Hukum...62 B. Pengertian Hukum Lingkungan.....................................................72 C. Perkembangan Hukum Lingkungan..............................................76 D. Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia dan beberapa Negara Lain....................................................................................77 BAB III RUANG LINGKUP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM.................................101 A. Pengertian Korporasi...................................................................101 B. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana...........................................................................................106 C. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi..............................113 D. Pengaturan Kejahatan Korporasi dalam Perundang-undangan Lingkungan Hidup........................................................................116 1. Undang-Undang No.4 Tahun 1982 Tentang KetentuanKetentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup..........116 2. Undang-Undang No.23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup............................................................120 3. Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup................................126 E. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang N0. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup........................................................................144 F. Perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup........................................................................145 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN...............................151 A. Penegakan Hukum Terhadap Korporasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan Setelah Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Analisis Joseph Golstein.......................................151 B. Kendala-Kendala Hukum yang Timbul dalam Praktek Pidana yang Dihadapi oleh Kepolisian dan Kejaksaan apabila Korporasi Melakukan Pencemaran Lingkungan Hidup setelah Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup...................................................158 1. Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas.....................................................................................159 2. Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi Prioritas..............159 3. Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan..................................................................160 4. Kendala Profesionalisme penegak hukum...............................163 5. Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum.....................................................................................164 6. Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Hukum Administratif..........................164 7. Hukum Pidana Masih Bersifat Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum Lingkungan...............................................165 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN...........................................................171 A. Kesimpulan..................................................................................171 B. Saran............................................................................................172 DAFTAR PUSTAKA ABSTRAK Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan, merupakan cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan maka perlu adanya penegakan hukum lingkungan hidup. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1). Bagaimanakah penegakan hukum pidana lingkungan oleh kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?; 2). Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara?. Penelitian ini adalah penelitian yuridis.Temuan dalam penelitian ini menunjukan tahap penegakan hukum, seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goldstein, masih lemahnya pelaksanaan penegakan hukum. Penegak hukum full enforcement khususnya di tahap penyidik kepolisian masih lemah pelaksanaannya. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan belum secara maksimal, artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum untuk melanjutkan tindak pidana ke proses lebih lanjut. Kondisi seperti ini dijadikan peluang bagi korporasi untuk berbuat semaunya dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kepolisian dan kejaksaan harus melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten. Kendala-kendala utama yang terjadi dalam praktek penegakan hukum yang dihadapi oleh kepolisian dan kejaksaan apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup, paling tidak ada lima kendala yang mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan diantaranya: a).Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas; b).Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d).Kendala Profesionalisme penegak hukum; e).Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan hukum; f).Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Hukum Administratif; g). Hukum Pidana masih Bersifat Ultimum Remedium dalam Penegakan Hukum Lingkungan. Kendalakendala yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut, dikategorikan sebagai penegakan hukum tipe full enforcement, yaitu mengharapkan para penegak hukum melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai suatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penegakan hukum pidana. Penegakan hukum tipe actual enforcement penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum. Selama Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Ternyata satu kasus pun tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya Undang -Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani. 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di era globalisasi permasalahan lingkungan hidup bukan lagi menjadi permasalahan individu atau satu-dua negara saja, namun menjadi tanggungjawab bersama seluruh umat manusia di dunia. Kerusakan lingkungan akibat ulah tangan manusia dapat dikatakan hampir mencapai titik kulminasi tinggi.1 Sederet bencana lingkungan yang terjadi di hampir seluruh titik episentrum dunia, tidak terkecuali di Indonesia. Indonesia sebagai salah satu paru-paru dunia, kerap kali diharapkan untuk menjadi pelopor dan motor penggerak terciptanya kelestarian dan keberlangsungan lingkungan hidup. Untuk itu mutlak diperlukan adanya peningkatan budaya sadar berlingkungan di setiap sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, sehingga seluruh tindakan dan kebijakan yang ditempuh akan senantiasa memperhatikan segala aspek yang terkait dengan lingkungan hidup. UUD 1945 Pasal 28 H ayat (1) mengatakan: “Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Lingkungan hidup yang baik dan sehat merupakan hak asasi setiap warga Negara Indonesia sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945. 1 Jimly Asshidiqie.2009. Gree Constitution. Rajawali Pers. Jakarta: hal. ix 2 Indonesia merupakan negara yang sedang berkembang, hal ini dapat dilihat dengan meningkatnya perekonomian bangsa, banyaknya investasi asing khususnya di bidang Sumber Daya Alam (SDA) yang menanamkan sahamnya di Indonesia. Memang harus diakui, dengan tumbuh-suburnya korporasi di Indonesia tentu akan membantu dalam mengatasi masalah pengangguran, meningkatkan penerimaan pajak. Akan tetapi dibalik itu, akibat yang ditimbulkan dari kejahatan yang dilakukan juga cukup meningkat, yakni laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia berada pada tingkat paling tinggi didunia, pencemaran lingkungan di teluk buyat, pencemaran minyak mentah dari kapal MT Lucky Lady di perairan Cilacap yang mengakibatkan 222.305 orang nelayan tradisional tidak melaut selama 180 hari, pencemaran dan kerusakan alam akibat eksplorasi PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo.2 Potensi persoalan lingkungan hidup yang dapat berpengaruh besar terhadap kelestarian alam dan kesehatan manusia menimbulkan kesadaran perlunya pengaturan masalah lingkungan hidup dengan perangkat hukum.3 Pengaturan masalah Lingkungan Hidup di Indonesia dimulai dengan adanya Undang - undang Lingkungan Hidup yaitu No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuanketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara th. 1982 No. 12 tambahan Lembaran Negara No. 3215) yang dalam perkembangannya disempurnakan dan diganti dengan Undang - Undang No. 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan 2 Muhammad Topan. 2009. Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup. Nusa Media: Bandung. hal. 1 3 Buyung Dwikora. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undang-undang No 23 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis FH-UNDIP. Semarang. hal. 14 3 Hidup perubahan Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Akan tetapi dengan adanya undang-undang tersebut tidak membuat persoalan lingkungan di Indonesia selesai, kita melihat beberapa contoh, pencemaran lingkungan di teluk Buyat, pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat eksplorasi PT. Lapindo Brantas di Sidoarjo masih terjadi. Pengaturan tindak pidana lingkungan hidup menurut Undang-undang No.32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak lain karena timbulnya kerugian terhadap aspek lingkungan hidup. Pihak yang mengalami kerugian dari suatu tindak pidana disebut dengan korban tindak pidana yang membutuhkan perlindungan atas kerugian yang dideritanya.4 Ada beberapa pasal dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang membatasi korporasi untuk dapat dipertanggungjawabkan yaitu Pasal 69 ayat (1) yang menyatakan, setiap orang dilarang: 1. Melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup 2. Memasukkan B35 yang dilarang menurut peraturan perundang-undangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sedangkan kategori penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup dapat dilihat pada Pasal 20 ayat (1) menyatakan: 4 5 Muhammad Topan. op.cit. hal.114 Lihat Pasal 1 ayat (21) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 4 “Penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup” Pasal 20 ayat (2) menyatakan: Baku mutu lingkungan hidup meliputi: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Baku mutu air; Baku mutu air limbah; Baku mutu air laut; Baku mutu udara ambien; Baku mutu emisi; Baku mutu gangguan Baku mutu sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Persoalan yang sering dialami oleh aktivis lingkungan dalam menuntut pertanggungjawaban korporasi dalam bidang lingkungan hidup adalah terlalu kuatnya korporasi untuk dapat dituntut di muka pengadilan dengan kekuasaan yang begitu besar dan berdampak pada tidak dapatnya karyawan perusahaan tersebut bekerja, serta kurangnya pemahaman para penegak hukum terhadap kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup. Hal ini penulis rasakan ketika seorang penyidik 6 mendapatkan masalah ketika sebuah perusahaan pertambangan melakukan pencemaran lingkungan hidup, penyidik kebingungan menetapkan siapa yang dapat dipertanggungjawabkan apabila korporasi melakukan tindak pidana apa orang pribadi atau korporasi dan bagaimana barang bukti berupa mesin tersebut dihadirkan diruangan persidangan? Sempat terjadi diskusi antara penulis dengan penyidik yang panjang untuk menentukan hal tersebut, dan penyidik pada waktu itu sudah melakukan tindakan memberikan police line korporasi yang diduga melakukan pencemaran lindungan untuk ditutup melakukan aktivitas 6 Pra Survei. Hasil wawancara dengan penyidik Wayan Sukawirawan. tanggal 10 Juni 2010. jam. 13.10 Wita 5 korporasi tersebut. Apabila hal tersebut dilakukan untuk menutup usaha pertambangan maka akan berakibat kerugian yang sangat besar bagi negara. Lahirnya Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, kecenderungan permasalahan lingkungan hidup semakin bertambah kompleks, ada sementara dugaan bahwa kemerosotan lingkungan hidup terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah, di mana daerah ingin meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan melakukan eksploitasi sumber daya alam yang kurang memperhatikan aspek lingkungan hidup dengan semestinya.7 Pembangunan yang mempunyai tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tidak dapat terhindarkan dari penggunaan sumberdaya alam; namun eksploitasi sumberdaya alam yang tidak mengindahkan kemampuan dan daya dukung lingkungan mengakibatkan merosotnya kualitas lingkungan. “Kasus pencemaran lingkungan di teluk buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya yang selama 20 Tahun melakukan kegiatan eksplorasi pertambangan emas, membuang limbah (lumpur sisa penghancuran batu tambang), akibatnya masyarakat di sekitar perusahaan menjadi korba, yaitu berupa timbulnya berbagai macam penyakit aneh yang sebelumnya tidak pernah diderita oleh masyarakat setempat. Penyakit aneh itu diidentik dengan penyakit Minamata.”8 Pada tahun 2000 dunia pertambangan kita dikejutkan dengan longsornya overburden penambang PT. Freeport Indonesia di danau Wanagon, Irian Jaya (Papua) yang menyebabkan meluapnya material (sludge, overburden, dan air) ke 7 8 Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, http://geo.ugm.ac.id, 11 Januari 2011 Minamata sebuah kota kecil dipantai barat pulau Kyushu (jepang selatan), yang pada tahun 19456 kota itu mendadak terkenal keseluruh dunia, karena banyak penduduknya meninggal akibat makan ikan yang tercemar limbah merkuri atau air raksa dari pabrik pupuk Chisso. www. Kompas, 21 Juli 2004 6 sungai Wanagon dan Desa Banti yang letaknya berada di bawah danau.9 Tragedi lingkungan berikutnya di Indonesia, adalah pencemaran lingkungan dan kerusakan lingkungan di Sidoarjo oleh PT. Lapindo Brantas mulai tanggal 29 Mei 2006 sampai sekarang, yang menjadi korban tidak hanya penduduk sekitar, tetapi juga dunia usaha. Namun demikian, keberpihakan pemerintah bukannya kepada masyarakat yang menjadi korban, akan tetapi justru kepada PT. Lapindo Brantas, yaitu sehubungan dengan terbitnya Peraturan Presiden No. 14 Tahun 2007 tentang Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo. Terjadinya berbagai kasus pencemaran lingkungan tersebut, merupakan cerminan dari kurangnya rasa tanggung jawab korporasi terhadap lingkungan di sekitar. Kasus-kasus pencemaran lingkungan diatas adalah contoh betapa sulitnya penerapan hukum ketika berhadapan dengan korporasi. Kasus-kasus di bidang lingkungan hidup yang terjadi tidak boleh dianggap sepele karena dampaknya yang sangat luas dan bisa berdampak sistemik dan membutuhkan waktu yang sangat lama untuk memulihkannya. Kerusakan lingkungan tidak bisa dipulihkan seperti keadaan semula, Kerusakan yang tidak dapat dipulihkan tersebut, bukan saja menimbulkan situasi alam yang disharmoni, tetapi menuntut pihak korporasi untuk mengambil tanggungjawab akibat-akibat yang ditimbulkan oleh kerusakan alam.10 Pencemaran lingkungan diatas seolah-olah menjadi api dalam sekam, yang setiap saat dapat memicu konflik antara masyarakat sekitar dan NGO pemerhati lingkungan, pemerintah serta pelaku usaha. 9 Suharto. 2010. Hukum dan Lumpur Lapindo: Tanggungjawab Pemerintah dan PT.Lapindo Brantas. Ringkasan Disertasi FH-UII. Yogyakarta. hal. 3 10 Buyung Kritora.loc.cit 7 Dalam perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup terdapat kesulitan bagi aparat penyidik untuk menyediakan alat bukti yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 183 dan Pasal 184 KUHAP. Di samping itu, pembuktian unsur hubungan kausal menjadi kendala tersendiri. Pencemaran lingkungan hidup sering terjadi secara kumulatif, sehingga sulit untuk membuktikan sumber pencemaran, terutama yang bersifat kimiawi.11 Ciri khas aparat penegak hukum Indonesia ketika berhadapan dengan korporasi yang melakukan kejahatan. Di Indonesia, aparat penegak hukum cenderung untuk tidak mau repot dan bersusah payah mengelaborasi suatu permasalahan hukum menyangkut korporasi. Segala sesuatu dilihat dari kacamata kepasrahan , kalau sudah terjadi bencana, itu terjadi karena takdir dari yang Maha Kuasa. Sehingga tak perlu repot-repot untuk berpikir bagaimana cara untuk meminta pertanggungjawaban pidana korporasi.12 B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan uraian dalam latar belakang diatas, maka masalah yang dibahas dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimanakah penegakan hukum pidana lingkungan oleh kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara? 11 Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University Press. Surabaya. hal. 193 12 Lucky Raspati.2007. Jerat tidak pas lumpur panas. Rispati. blogspot.com. Diakses tanggal 6 Maret 2011 8 2. Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui bagaimana penegakan hukum pidana lingkungan oleh kepolisian dan kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara 2. Mengetahui kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila korporasi melakukan pencemaran lingkungan hidup setelah berlakunya UndangUndang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara D. Kerangka Konseptual 1. Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum hanya bersangkut dengan pidana saja, Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegakan hukum itu polisi, 9 jaksa, dan hakim. Tidak disebut penjabat administrasi yang sebenarnya juga menegakkan hukum.13 2. Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.14 3. Lingkungan Hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.15 4. Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya sistematis dan terpadu yang dilakukan untuk melestarikan fungsi lingkungan hidup dan mencegah terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang meliputi perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan, dan penegakan hukum.16 5. Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.17 Jadi yang dimaksud dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah penegakan hukum dalam arti Law Enforcement. 13 Andi Hamzah.2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.Jakarta. hal.48 Lihat Pasal 1ayat (32) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup 15 Lihat Pasal 1ayat ( 1 )Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 16 Lihat Pasal 1 ayat ( 2) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 17 Lihat Pasal 1 ayat ( 14) Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 14 dan dan dan dan 10 E. Tinjauan Pustaka Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, Bahasa Belanda rechtshandhaving.18 Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum hanya bersangkut dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegakan hukum itu itu polisi, jaksa, dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sebenarnya juga menegakkan hukum.19 Handhaving menurut Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan istrumen administrasif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individu. Di samping atau sebelum diadakannya penegakan hukum, sering pula diadakan negosiasi, persuasi dan supervisi agar peraturan hukum atau syaratsyarat izin ditaati. Ini biasa disebut compliance (pemenuhan). Sistem hukum Anglo saxon Amerika dan Kanada membedakan pengertian law enforcement yang berarti penegakan hukum secara represif, sedangkan compliance dalam arti preventif terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Adapun sistem eropa continental Belanda kedua fase tersebut termasuk handhaving. Sebelum dilakukan dilakukan tindakan represif maka dilakukan tindakan preventif yang meliputi penerangan dan nasihat. Misalnya mengenai izin, jika lewat waktu dapat diberikan 18 19 Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 48 Ibid 11 nasihat agar membuat permohonan perpanjangan. Dengan demikian, istilah handhaving meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dan penerapan sanksi administrasi dan pidana merupakan bagian penutup penegakan hukum (handhaving).20 Penegakan hukum yang artinya luas (meliputi segi preventif dan represif), cocok dengan kondisi Indonesia, yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum lingkungan sangat rumit, banyak seginya. Pelanggarannya pun beraneka ragam, mulai dari yang paling ringan seperti pembuangan sampah dapur sampai kepada yang paling berbahaya seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun serta radiasi atom. Oleh karena itu, penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi.21 Penegakan hukum lingkungan sebagaimana disebutkan sebelumnya sangat rumit, karena hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bidang hukum klasik. Ia dapat ditegakkan dengan salah satu innstrumen, yaitu instrumen administratif, perdata atau hukum pidana bahkan dapat ditegakkan dengan ketiga instrumen sekaligus.22 Pelaksanaan peraturan perundang-undangan pidana adalah merupakan salah satu upaya dalam menanggulangi kriminalitas termasuk juga pelaksanaan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup. Pelaksanaan peraturan peraturan perundang-undangan pidana oleh sistem peradilan pidana yang terdiri dari lembaga-lembaga seperti kepolisian, kejaksaan, kehakiman dan lembaga pemasyarakatan. 20 Andi Hamzah. op.cit. hal.49 Ibid 22 Ibid 21 12 Secara sosiologis dan filosofis dalam konteks penegakan hukum ini perlu dipertanyakan “apa yang akan ditegakkan”. Satjipto Raharjo berpandangan penegakan hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan hukum menjadi kenyataan. Yang dimaksud sebagai keinginan-keinginan hukum di sini tidak lain adalah pikiran-pikiran badan pembuat undang-undang yang dirumuskan dalam peraturan-peraturan hukum itu.23 Penegakan hukum selalu akan melibatkan manusia di dalamnya dan dengan demikian akan melibatkan tingkah laku manusia juga. Hukum tidak bisa tegak dengan sendirinya, artinya ia tidak mampu untuk mewujudkan sendiri janji-janji serta kehendak-kehendak yang tercantum dalam (peraturan-peraturan) hukum itu. Di lihat dari fase penegakan hukum, ada beberapa faktor yang mempengaruhinya yaitu: 1. Faktor hukumnya sendiri, yakni pihak-pihak yang akan dibatasi pada undang-undangnya saja. 2. Faktor penegakan hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.24 23 Satjipto Raharjo.1983.Masalah Penegakan hukum (suatu tinjauan sosiologis) . Sinar Baru.Bandung. hal.24 24 Soerjono Soekanto.1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta.hal. 8 13 Selanjutnya menurut I.S. Susanto, bahwa paling tidak ada empat dimensi yang dapat mempengaruhi kualitas penegakan hukum, yaitu disamping undangundangnya, maka penegakan hukum secara konkrit melibatkan pelanggar hukum, korban (masyarakat) dan aparat penegak hukum, di dalam suatu hubungan bersifat saling mempengaruhi dan berlangsung dalam wadah struktur, politik, sosial, ekonomi dan budaya pada suatu situasi tertentu.25 Dalam penegakan hukum pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi, maka diperlukan konsep penegakan hukum yang lain, yaitu penegakan hukum dalam arti Law Enforcement. Joseph Goldstein26 menurut Joseph Goldtein penegakan hukum pidana dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Meskipun keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara total, namun penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilaksanakan sehingga terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan hukum (Area of no enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaaan pendahuluan. Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum 25 Hery Lius. 1998. Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi. Thesis FHUNDIP. hal 22 26 Joseph Goldstein dalam Rusli Muhammad. Kemandirian Pengadilan Indonesia.FH-UII Press. Yogyakarta. Hal 148 14 pidana substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu penuntutan, misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan. Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total (total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuanya itu mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions). Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum itu. Untuk penegakan supremasi hukum, yang sangat mendasar adalah perbaikan struktur aparatur hukumnya, sementara peraturan perundangan bisa dilakukan sambil jalan, tetapi aparatur hukumnya adalah sangat mendesak yaitu perbaikan moralitas dan komitmen sebagai seorang penegak hukum sehingga bisa bertanggungjawab secara moral, para penegak hukum di Indonesia terkesan hanya menjadi perangkat ibarat sarang laba-laba yang hanya mampu menjerat orangorang kecil, pencuri kelas kecil dan kejahatan konvensional. Namun, kalau sudah 15 berhadapan dengan kejahatan yang berbau korupsi, lingkungan hidup yang pelakunya korporasi, hukumlah tidak berarti sebagai suatu perangkat menegakkan keadilan serta sangat jelas tidak ada komitmen moralitas untuk itu padahal undang-undangnya sudah mengatur dan juga mengakibatkan kesengsaraan bagi warga sekitar.27 Rumusan pertanggungjawaban pidana korporasi sebagai pelaku tindak pidana di bidang lingkungan hidup masih menjadi permasalahan, karena dalam ketentuan umum hukum pidana positif di Indonesia (KUH Pidana) sampai saat ini masih belum mengenal “korporasi” sebagai subjek tindak pidana. Subjek tindak pidana yang dikenal dalam KUH Pidana positif adalah orang dalam konotasi biologis yang alami (natuurlijke persoon).28 Terkait korporasi sebagai pelaku tindak pidana lingkungan hidup tidak hanya sebatas penetapan dan penempatan korporasi sebagai “subyek hukum pidana” saja, tetapi perlu adanya ketentuan khusus tentang “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi.29 Prinsip pertanggungjawaban korporasi (corporate liability) di Indonesia tidak diatur dalam hukum pidana umum (KUH Pidana positif di Indonesia), melainkan tersebar dalam hukum pidana khusus. Dengan demikian kebijakan formulasi yang menyangkut subyek tindak pidana korporasi 27 Sabian Utsman.2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif. Pustaka Pelajar. Jogjakarta. hal. 2324 28 Muhammad Topan. Op.cit. Hal. 75 29 Ibid 16 tidak berlaku secara umum, tetapi terbatas dan hanya berlaku terhadap beberapa perundang-undangan khusus diluar KUH Pidana.30 Penempatan korporasi sebagai subjek tindak pidana sampai sekarang masih menjadi masalah, sehingga timbul sikap pro dan kontra. Pihak yang tidak setuju mengemukakan alasan-alasan sebagai berikut:31 1. Menyangkut masalah kejahatan, sebenarnya kesengajaan dan kesalahan hanya terdapat pada persona alamiah. 2. Bahwa yang merupakan tingkah laku materiil, yang merupakan syarat dapat dipidananya beberapa macam tindak pidana, hanya dapat dilaksanakan oleh persona alamiah (mencuri barang, menganiaya orang, perkosa, dan sebagainya). 3. Bahwa pidana dan tindakan yang berupa merampas kebebasan orang, tidak dapat dikenakan pada korporasi. 4. Bahwa tuntutan dan pemidanaan terhadap korporasi dengan sendirinya mungkin menimpa pada orang yang tidak bersalah. 5. Bahwa di dalam praktik tidak mudah untuk menentukan norma-norma atas dasar apa yang dapat diputuskan, apakah pengurus saja atau korporasi itu sendiri atau kedua-duanya harus dituntut dan dipidana. Sedangkan yang setuju menempatkan korporasi sebagai subyek hukum pidana menyatakan hal-hal sebagai berikut:32 30 31 Ibid Setiyono.2009. Kejahatan Korporasi. (Analisis Viktimologi dan Pertanggungjawaban Korporasi dalam Hukum Pidana Indonesia).Banyumedia Publishing.Malang.hal. 10 17 1. Pemidanaan pengurus saja ternyata tidak cukup untuk mengadakan represi terhadap delik-delik yang dilakukan oleh atau dengan suatu korporasi. Karenanya perlu pula kemungkinan pemidanaan korporasi, korporasi dan pengurus, atau pengurus saja. 2. Dalam kehidupan sosial-ekonomi, korporasi semakin memainkan peranan yang penting pula. 3. Hukum pidana harus mempunyai fungsi di dalam masyarakat, yaitu melindungi masyarakat dan menegakkan norma-norma dan ketentuanketentuan yang ada dalam masyarakat. Kalau hukum pidana hanya ditentukan pada segi perorangan, yang hanya berlaku pada manusia, maka tujuan itu tidak efektif, oleh karena itu tidak ada alasan untuk selalu menekan dan menentang dapat dipidananya korporasi. Dalam terminologi hukum pidana konvensional, kelompok doktrin yang ada selalu berhubungan dengan adagium nullum crimen sine lege dan nulla poena sine lege. Tidak satu orang pun dapat didakwa atau dihukum terhadap sebuah tindak pidana kecuali perbuatan/ tindak pidana tersebut sebelumnya telah diatur dan diberlakukan oleh pihak yang mempunyai kewenangan untuk itu33 Prinsif tanggungjawab mutlak (no-fault liability or liability without fault) di dalam kepustakaan biasanya dikenal dengan ungkapan “absolute liability” atau “strict liability”. Dengan prinsip tanggungjawab tanpa keharusan untuk membuktikan adanya kesalahan. Atau dengan perkataan lain, suatu prinsip 32 33 Ibid Andi Zainal Abidin. 1987. Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung. hal. 167 18 tanggungjawab yang memandang “kesalahan” sebagai suatu yang tidak relevan untuk dipermasalahkan apakah pada kenyataan ada atau tidak.34 Menurut doktrin strict liability (pertanggungan yang ketat), seseorang sudah dapat dipertanggungjawaban untuk tindak pidana tertentu walaupun pada diri orang itu tidak ada kesalahan (mens rea). Secara singkat, strict liability di artikan sebagai liability without fault (pertanggungjawaban pidana tanpa kesalahan).35 Perkembangan subyek hukum pidana khususnya korporasi dalam sistem common law terutama di Inggris, Amerika serikat dan kanada membawa dampak bagi perkembangan subyek hukum pidana pada sistem civil law. Mula-mula terdapat keenganaan untuk menghukum korporasi, karena korporasi dianggap sebagai fiksi hukum (legal fiction), yang berdasarkan aturan ultra vires hanya dapat melakukan perbuatan-perbuatan yang secara specifik dimuat dalam anggaran dasar korporasi tersebut.36 Selanjutnya Mardjono Reksodiputro37 mengatakan bahwa dalam perkembangan hukum pidana di Indonesia ada tiga sistem pertanggungjawaban korporasi sebagai subjek tindak pidana yaitu pertama, pengurus korporasi sebagai pembuat, penguruslah yang bertanggungjawab, kedua korporasi sebagai pembuat, 34 Muladi. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi . Kencana Prenada Media Group. Jakarta. hal.107 35 Barda Nawawi Arief. 1988. Perbandingan Hukum Pidana.FH UNDIP: Semarang..hal.68 36 Muladi.et.ad. 0p.cit. hal.35 37 Mardjono Reksodiputro. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Dalam Tindak Pidana Korporasi. Makalah disampaikan pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi. FHUNDIP. Semarang 23-24 November 1989. hal 9 19 pengurus yang bertanggungjawab, dan ketiga korporasi sebagai pembuat dan yang bertanggungjawab, Sistem pertanggungjawaban pertama menjelaskan bahwa pertanggungjawabkan ditandai dengan usaha agar sifat tindak pidana yang dilakukan korporasi dibatasi pada perorangan (natuurlijk person). Sehingga apabila suatu tindak pidana terjadi dalam lingkungan korporasi, tindak pidana itu dianggap dilakukan pengurus korporasi itu. Pada sistem pertama ini penyusun kitab undang-undang hukum pidana masih menerima asas “universitas delinguere non potest” (badan hukum tidak dapat melakukan tindak pidana). Asas ini sebetulnya berlaku pada abad lalu pada seluruh Negara eropa continental. Hal ini sejalan dengan pendapat-pendapat hukum pidana individual dari aliran klasik yang berlaku pada waktu itu dan kemudian juga aliran modern dalam hukum pidana. Dalam Memori penjelasan kitab Undang-undang hukum pidana yang diberlakukan pada tanggal 1 September 1886, dapat dibaca: “suatu perbuatan pidana hanya dapat dilakukan oleh perorangan (natuurlijk persoon). Pemikiran fiksi (fictie) tentang sifat badan hukum (rechts persoon) tidak berlaku pada bidang hukum pidana.38 Pada sistem pertama ini pengurus-pengurus yang tidak memenuhi kewajiban yang sebenarnya merupakan kewajiban korporasi bisa dinyatakan bertanggungjawab. Sistem pertanggungjawaban yang kedua ditandai dengan pengakuan yang timbul dalam perumusan undang-undang bahwa suatu tindak pidana dapat dilakukan oleh perserikatan atau badan usaha (korporasi), tapi tanggungjawab untuk itu menjadi beban dari pengurus badan hukum (korporasi). Secara perlahan- 38 Muladi. et.al . Op. Cit.hal 53 20 lahan tanggungjawab pidana beralih dari anggota pengurus kepada yang memerintahkan, atau dengan larangan melakukan apabila melalaikan memimpin korporasi secara sesungguhnya. Dalam sistem pertanggungjawaban ini korporasi bisa menjadi pembuat tindak pidana, tapi yang bertanggungjawab adalah para anggota pengurus, asal saja dinyatakan dengan tegas dalam peraturan itu.39 Sistem pertanggungjawaban yang ketiga40 merupakan permulaan adanya tanggungjawab langsung dari korporasi. Dalam sistem ini dibuka kemungkinan menuntut korporasi dan meminta pertanggungjawabannya menurut hukum pidana. Hal-hal yang bisa dipakai dasar pembenar dan alasan bahwa korporasi sebagai pembuat dan sekaligus yang bertanggungjawab adalah karena dalam berbagai delik-delik ekonomi dan fiskal keuntungan yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diperoleh korporasi atau kerugian yang diderita masyarakat dapat demikian besarnya, sehingga tidak akan mungkin seimbang bilamana pidana hanya diajukan alasan bahwa dengan hanya memidana para pengurus tidak atau belum ada jaminan bahwa korporasi tidak akan mengulangi delik tersebut. Dengan memidana korporasi dengan jenis dan beratnya yang sesuai dengan sifat korporasi itu, diharapkan dapat dipaksa korporasi untuk mentaati peraturan yang bersangkutan. Menurut Muladi dalam sistem pertanggungjawaban yang ketiga ini telah terjadi pergeseran pandangan, bahwa korporasi dapat dipertanggungjawabkan sebagai pembuat, disamping manusia alamiah (natuurlijk persoon). Jadi penolakan pemidanaan korporasi berdasarkan doktrin universitas delinquere non 39 40 Ibid. Ibid. 21 potest sudah mengalami perubahan dengan menerima konsep pelaku fungsional (functioneel daaderschap).41 Menurut Barda Nawawi Arief, dalam perundang-undangan selama ini (undang-undang pidana khusus) terlihat hal-hal sebagai berikut.42 1. Banyak yang memasukkan “korporasi” sebagai subyek tindak pidana, namun dengan berbagai variasi istilah. 2. Korporasi yang dijadikan subyek tindak pidana, tetapi undang-undang yang bersangkutan tidak membuat ketentuan pidana atau “pertanggungjawaban pidana” untuk korporasi. 3. Dalam hal undang-undang membuat pertanggungjawaban korporasi, belum ada pola aturan pemidaan korporasi yang seragam dan konsisten. Undang-undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 1 alinea 14 mendefinisikan pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkanya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.43 Lebih lanjut alinea 15 UU No. 32 tahun 2009 kriteria baku kerusakan lingkungan hidup adalah ukuran batas perubahan sifat fisik, kimia, 41 Ibid B.N. Arief. Makalah. Prinsip-prinsip Dasar Atas Pedoman Perumusan/Formulasi ketentuan pidana dalam Perundang-undangan, hal. 4-6 43 Lihat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 alinea 14 42 22 dan/atau hayati lingkungan hidup yang dapat ditenggang oleh lingkungan hidup untuk dapat tetap melestarikan fungsinya.44 Dari sudut hukum, Danusaputro45 menggolongkan sistem pencemaran lingkungan menjadi: 1. Kerusakan yang melawan hukum (damnum injura); 2. Kerusakan yang tidak melawan hukum (damnum sine injura). Kerusakan yang tidak dapat dielakkan (damnum fatale), termasuk golongan pencemaran atau kerusakan yang tidak melawan hukum (damnum sine injura, damage as non an injury); karena timbulnya perbuatan alam/act of god demikian tidak melanggar hukum atau hak manusia, mengingat hak itu ada ditangan ilahi, misalnya gempa dan gunung meletus. Selanjutnya, hal itu juga akan menimbulkan perspektif tanggungjawab kepada manusia, yang berarti ada pengecualian tanggungjawab (exemption of liabiity). Kerusakan yang melawan hukum (damnum injura), adalah perbuatan hukum murni yang dilakukan oleh manusia yang tanpa kausalitas dengan timbulnya perbuatan alam/act of god yang melanggar hukum dan hak manusia yang dapat dipertanggungjawabkan.46 suatu peristiwa lingkungan hidup merupakan murni bencana alam (Act of God), sebenarnya merupakan akibat dari perbuatan manusia secara “tidak langsung” (indirect action). Kasus lumpur Lapindo, kasus Buyat, laju kerusakan hutan (deforestasi) di Indonesia, 44 Lihat UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 1 alinea 15 45 Siahaan.2009. Hukum Lingkungan.Pancuran Alam.Jakarta.Hal.133 46 Ibid 23 pencemaran minyak mentah dari kapal MT Lucky Lady di perairan Cilacap. Jika diidentifikasikan maka sifat pertanggungjawaban disini bukan lagi dalam bentuk responsibilitas. Karena aspeknya bukan sebagai Damnum Sine Injuri atau Damnum Fatale, melainkan harus bersifat liability, karena kegiatan yang dilaksanakan berdekatan dengan kausalitas aktivitas dan kebijakan manusia. Karena begitu dekatnya hubungan demikian, tentu pula dapat ditelusuri lebih jauh, apakah penyebab satu peristiwa atau bersumber dari aktivitas manusia, kebijakannya (policy atau act), atau kemampuan dari manusia? jika sudah dapat ditemukan adanya relasi kausalitas antara peristiwa/kasus demikian dengan manusia (aktivitas/perbuatan, kebijakan, posibilitas kemampuannya), selanjutnya siapa subyek yang berposisi untuk bertanggungjawab. Secara hukum beberapa doktrin yang dapat di terapkan kepada korporasi dapat dipertanggugjawabkan, secara umum konsep-konsep yang relevan seputar tanggungjawab korporasi misalnya “strict liability” dan “vicarious liability”. Mengenai pertanggungjawaban korporasi dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009, diatur dalam Pasal 116 sampai dengan 120 sebagai berikut:47 1. Pasal 116 (1) : Dalam hal Tindak Pidana Lingkungan Hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama “badan usaha”, tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhjan kepada a. Badan Usaha; dan/atau 47 Barda Nawawi Arief.2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan.Kencana Predana media Group. Jakarta. hal. 115 24 b. Orang yang member perintah atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut 2. Pasal 116 (2) : apabila Tindak Pidana Lingkungan Hidup dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkungan kerja badan usaha, saksi pidana dijatuhkan terhadap bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap: a. Pemberi perintah b. Pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memerhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. 3. Pasal 117: ancaman pidana kepada pemberi perintah ataupemimpin tindak pidana berupa pidana penjara dan denda yang diperberat sepertiga 4. Pasal 118: saksi pidana yang dijatuhkan kepada badan usaha diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional 5. Pasal 119: terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b. Penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha dan/atau kegiatan c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak dan/atau; 25 e. Penempatan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun 6. Pasal 120 menyatakan : 1. Dalam melaksanakan Pasal 119 huruf a samapai dengan huruf d jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanngungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi 2. Dalam melaksanakan Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhkan sanksi penempatan dibawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap Gagap aparat penegak hukum dalam mengambil tindakan tegas terhadap berbagai kejahatan yang dilakukan oleh korporasi ini sangat mengkwatirkan, karena dampak kejahatan yang ditimbulkan oleh korporasi sangat besar. Korbannya bisa berjumlah puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang. Selain itu, korporasi dengan kekuatan finansial serta para ahli yang dimiliki, dapat menghilangkan bukti-bukti kejahatan yang dilakukan. Bahkan, dengan dana yang dimiliki, korporasi dapat pula mempengaruhi opini serta wacana di masyarakat, sehingga seolah-olah mereka tidak melakukan suatu kejahatan. Misalnya, dengan memasang iklan di berbagai media (cetak maupun elektronik) untuk membersihkan namanya dari tuduhan melakukan suatu kejahatan.48 D. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian normatif empiris. Pemilihan jenis penelitian didasarkan pada pemikiran bahwa telaah terhadap penelitian bersumber pada data sekunder berupa peraturan perundang-undangan dan bahan-bahan lain 48 Elsam.2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 6 “Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP”. hal. 3 26 yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana lingkungan. Setelah itu akan dipadu dengan hasil penilitian empirik berupa data primer yang dapat di lapangan. 2. Objek Penelitian Objek penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: a. Penegakan hukum pidana lingkungan ditingkat kepolisian dan Kejaksaan terhadap korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara b. Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek pidana yang dihadapi oleh kepolisian dan Kejaksaan apabila melakukan pencemaran lingkungan hidup oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara 3. Subyek Penelitian a. Penyidik Kepolisian Negeri Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara b. Penyidik Kejaksaan Negeri Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara 4. Lokasi Penelitian a. Kab. Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara 5. Sumber Data a. Data primer; Yakni data berupa wawancara yang diperoleh dari lapangan secara langsung, guna memperkaya informasi penulis juga memasukkan opini akademisi yang memahami terhadap penegakan hukum lingkungan hidup 27 b. Data Sekunder, di kumpulkan dari berbagai bahan yang terdiri dari: 1. Bahan hukum yang mengikat langsung seperti Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945, Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah RI No. 29 Tahun 1986 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan, Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 2. Bahan-bahan yang pada dasarnya memberi penjelasan mengenai bahan hukum yang mengikat langsung seperti kepustakaan hukum, literatur, Jurnal, Koran, makalah dan lain-lain. 6. Tehnik Pengumpulan Data Untuk mendapatkan bahan-bahan dan data dalam penelitian ini maka dilakukan: a. Penelitian kepustakaan Kegiatan mengumpulkan dan memeriksa atau menelusuri dokumendokumen atau kepustakaan yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang dibutuhkan oleh penelitian ini. b. Wawancara Dalam penelitian ini penulis melakukan pengumpulan data primer melalui wawancara ditingkat kepolisian dan Kejaksaan terhadap korporasi setelah 28 berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara, Kendala-kendala hukum apa yang timbul dalam praktek yang dihadapi kepolisian dan Kejaksaan apabila melakukan pencemaran lingkungan hidup oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab.Kolaka Propinsi Sulawesi Tenggara 7. Metode Pendekatan Mendekati permasalahan dari aspek normatif empiris yang diimplementasikan dalam tataran empirik, selanjutnya dilihat fakta-fakta empirik tersebut yang merupakan fakta-fakta hukum. 8. Analisis Data Data yang diperoleh disajikan secara deskriptif kualitatif, yaitu menguraikan data-data yang diperoleh berdasarkan dari hasil studi lapangan dan kepustakaan dan selanjutnya data terkumpul dianalis dengan teori-teori, konsep-konsep yang ada. Kemudian setelah dilakukan analisis ditarik pada kesimpulan. 29 BAB II KONSEP PENEGAKAN HUKUM PIDANA PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP A. Konsep Penegakan Hukum 1. Definisi Penegakan Hukum Penegakan hukum disebut dalam bahasa Inggris law enforcement, Bahasa Belanda rechtshandhaving. Istilah penegakan hukum dalam bahasa Indonesia membawa kita kepada pemikiran bahwa penegakan hukum selalu dengan force sehingga ada yang berpendapat, bahwa penegakan hukum hanya bersangkut dengan hukum pidana saja. Pikiran seperti ini diperkuat dengan kebiasaan kita menyebut penegakan hukum itu itu polisi, jaksa, dan hakim. Tidak disebut pejabat administrasi yang sebenarnya juga menegakkan hukum.49 Handhaving menurut Notitie Handhaving Milieurecht, 1981 adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan istrumen administrasif, kepidanaan atau keperdataan dicapailah penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individu. Di samping atau sebelum diadakannya penegakan hukum, sering pula diadakan negosiasi, persuasi dan supervisi agar peraturan hukum atau syaratsyarat izin ditaati. Ini biasa disebut compliance (pemenuhan). Sistem hukum Anglo saxon Amerika dan Kanada membedakan pengertian law enforcement yang berarti penegakan hukum secara represif, sedangkan compliance dalam arti 49 Andi Hamzah. Op.cit.Hal. 48 30 preventif terjadinya pelanggaran hukum lingkungan. Adapun sistem eropa continental Belanda kedua fase tersebut termasuk handhaving. Sebelum dilakukan dilakukan tindakan represif maka dilakukan tindakan preventif yang meliputi penerangan dan nasihat. Misalnya mengenai izin, jika lewat waktu dapat diberikan nasihat agar membuat permohonan perpanjangan. Dengan demikian, istilah handhaving meliputi baik yang represif maupun preventif. Penyidikan dan penerapan sanksi administrasi dan pidana merupakan bagian penutup penegakan hukum (handhaving).50 Penegakan hukum yang artinya luas (meliputi segi preventif dan represif), cocok dengan kondisi Indonesia, yang unsur pemerintah turut aktif meningkatkan kesadaran hukum masyarakat. Hukum lingkungan sangat rumit, banyak seginya. Pelanggarannya pun beraneka ragam, mulai dari yang paling ringan seperti pembuangan sampah dapur sampai kepada yang paling berbahaya seperti pembuangan limbah berbahaya dan beracun serta radiasi atom. Oleh karena itu, penanggulangannya pun beraneka ragam, mulai dari penerangan hukum sampai pada penerapan sanksi.51 Pelaksanaan peraturan perundangundangan pidana adalah merupakan salah satu upaya dalam menanggulangi kriminalitas termasuk juga pelaksanaan undang-undang pengelolaan lingkungan hidup. Jadi yang dimaksud dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah penegakan hukum dalam arti Law enforcement. 50 51 Ibid Ibid 31 Secara konsepsional, maka inti dari arti penegakan hukum terletak pada kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidahkaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Konsepsi yang mempunyai dasar filosofis tersebut, memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga akan tampak lebih konkret.52 Manusia di dalam pergaulan hidup, pada dasarnya mempunyai pandangan-pandangan tertentu mengenai apa yang baik dan apa yang buruk. Pandangan-pandangan tersebut senantiasa terwujud di dalam pasangan-pasangan tertentu, misalnya, ada pasangan nilai ketertiban dengan nilai ketentraman, pasangan nilai kepentingan umum dengan nilai kepentingan pribadi, pasangan nilai kelestarian dengan nilai inovatisme, dan seterusnya. Di dalam penegakan hukum hukum, pasangan nilai-nilai tersebut perlu diserasikan; umpamanya, perlu penyerasian antara nilai ketertiban dengan nilai ketenteraman. Sebab, nilai ketertiban bertitik tolak pada keterikatan, sedangkan nilai ketentraman titik tolaknya adalah kebebasan. Di dalam kehidupannya, maka manusaia memerlukan keterikatan maupun kebebasan di dalam wujud yang serasi. Kaidah-kaidah tersebut kemudian menjadi pedoman atau patokan bagi perilaku atau sikap tindak yang dianggap pantas, atau yang seharusnya. Perilaku atau sikap tindak tersebut bertujuan untuk menciptakan, memelihara, dan 52 Soerjono Soekanto. op.cit. Hal. 5 32 mempertahankan kedamaian. Demikianlah konkretisasi daripada penegakan hukum secara konsepsional.53 Penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi. Gangguan terhadap penegakan hukum mungkin terjadi, apabila ada ketidakserasian antara “tritunggal nilai, kaidah dan pola prilaku. Gangguan tersebut terjadi apabila terjadi ketidakserasian antara nilai-nilai yang berpasangan, yang menjelma di dalam kaidah-kaidah yang bersimpang siur, dan pola perilaku tidak terarah yang mengganggu kedamaian pergaulan hidup. Oleh karena itu dapatlah dikatakan, bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-undangan, walaupun di dalam kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer. Selain itu, ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Pendapat-pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan atau keputusan-keputusan hakim tersebut malahan mengganggu kedamaian di dalam pergaulan hidup. Masalah pokok penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti yang 53 Ibid 33 netral, sehingga dampak positif atau negatif terletak pada isi faktor-faktor tersebut. Faktor-faktor tersebut, adalah sebagai berikut:54 1. Faktor hukumnya sendiri, dibatasi pada undang-undang saja. 2. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun menerapkan hukum. 3. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum. 4. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum ersebut berlaku atau diterapkan. 5. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Kelima faktor tersebut saling berkaitan dengan eratnya, oleh karena merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan tolak ukur daripada efektifitas penegakan hukum. Dalam membicarakan serta menginventarisasi unsur-unsur penegakan hukum, tidak dapat diabaikan faktor lingkungan sosial tempat penegakan hukum tersebut dijalankan. Peranan peraturan hukum cukup besar dalam hubungannya dengan pelaksanaan peraturan yang dilakukan oleh para penegak hukum. Penegakan hukum tanpa menyinggung segi manusia yang menjalankan penegakannya, merupakan pembahasan yang steril sifatnya. Apabila membahas penegakan hukum hanya berpegangan pada keharusan-keharusan sebagaimana tercantum dalam ketentuan-ketentuan hukum, maka hanya akan memperoleh 54 Ibid. 34 gambaran stereotipis yang kosong. Membahas penegakan hukum menjadi berisi apabila dikaitkan pada pelaksanaannya yang konkret oleh manusia.55 Van Doorn mengisyaratkan agar dalam pembahasan mengenai penegakan hukum memberikan perhatian yang sesama terhadap peranan dari faktor manusia. Faktor manusia menjadi penting karena hanya melalui faktor tersebut penegakan hukum itu dijalankan. Masalah kedua berhubungan dengan soal lingkungan dari proses penegakan hukum. Masalah lingkungan tersebut dapat dikaitkan kepada manusianya secara pribadi serta kepada penegakan hukum sebagai suatu lembaga. Kutipan pendapat dari Van doorn dimuka memberikan dasar untuk membicarakan masalah lingkungan pribadi dari sang penegak hukum. Dengan baik sekali Van Doorn mengatakan bahwa dalam kedudukannya sebagai pemegang fungsi di dalam rangka suatu organisasi, seorang penegak hukum cenderung untuk menjalankan fungsinya menurut tafsirannya sendiri yang dilatarbelakangi oleh berbagai faktor.56 Salah satu persoalan yang krusial di negeri ini, adalah persoalan “penegakan hukum” yang selama orde baru hingga sekarang ini dirasakan sangat lemah. Dengan bergulirnya era reformasi menimbulkan semangat baru untuk memunculkan kembali supremasi hukum di negeri ini, artinya muncul keinginan dan kesepakatan nasional untuk melihat kembali penegakan hukum di tanah air. 55 Satjipto Rahardjo. Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis). Genta Publishing. Yogyakarta. Hlm. 26 56 Ibid 35 Persoalannya adalah, apakah penegakan hukum dalam upaya mewujudkan agenda supremasi hukum akan dapat tercapai dengan baik? Jawabannya tentu tergantung berbagai faktor. Banyak faktor yang berhubungan dengan penegakan hukum itu.57 Sementara itu, menarik pula uraian yang diberikan oleh almarhum Soedarto yang menegaskan bahwa perhatian dan penggarapan terhadap perbuatan melawan hukum yang mungkin akan terjadi (onrech in potentie), itulah yang merupakan penegakan hukum.58 Penegakan hukum tidak lain sebagai suatu upaya untuk mewujudkan atau menerapkan ketentuan hukum ke dalam peristiwa-peristiwa yang nyata. Jika berhadapan dengan hukum pidana, maka penegakan hukum pidana berarti upaya untuk mewujudkan atau menerapkan hukum pidana itu ke dalam perbuatanperbuatan konkrit. Penegakan hukum pidana demikian dapat pula dilihat sebagai suatu upaya penaggulangan kejahatan.59 Proses penegakan hukum lingkungan ini pun jauh lebih rumit dari pada delik lain, karena seperti telah dikemukakan sebelumnya, hukum lingkungan menempati titik silang pelbagai bidang hukum lainnya. Proses penegakan hukum adminstratif akan lain daripada proses penegakan hukum perdata ataupun hukum pidana.60 57 Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia. FH UII Pres. Yogyakarta. Hlm. 146-147 58 Ibid 59 Ibid 60 Andi Hamzah. op.cit. Hal 51 36 Mas Achmad Santosa penegakan hukum lingkungan (environmental enforcement) harus dilihat sebagai sebuah alat (an end). Tujuan penegakan hukum lingkungan adalah penataan (compliance) terhadap nilai-nilai perlindungan daya dukung ekosistem dan fungsi lingkungan hidup yang pada umumnya diformalkan kedalam peraturan perundang-undangan, termasuk ketentuan yang mengatur baku mutu limbah atau emisi.61 Yahya Harahap menyebutkan penegakan hukum lingkungan ini berkaitan dengan salah satu hak asasi manusia, yaitu perlindungan setiap orang atas pencemaran lingkungan atau environmental protection. Hal ini di dasarkan pada munculnya berbagai tuntutan hak perlindungan atas lingkungan, antara lain:62 1. Perlindungan atas harmonisasi menyenangkan antara kegiatan produksi dengan lingkungan manusia. 2. Hak perlindungan atas upaya pencegahan (prevent) atau melenyapkan kerusakan (eliminate damage) terhadap lingkungan dan biosper serta mendorong (stimulate) kesehatan dan kesejahteraan manusia. 3. Hak perlindungan atas pencemaran udara (air polution) yang ditimbulkan pabrik dan kendaraan bermotor dari gas beracun karbon monoksida (carbon monoxide, nitrogen oxide dan hidro karbon, sehingga udara bebas untuk selamanya dari pencemaran. 61 Syahrul Machmud.2012. Yogyakarta.Hal.162 62 Ibid Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Graha Ilmu. 37 4. Menjamin perlindungan atas pencemaran limbah industri di darat, di sungai dan lautan, sehingga semua air terhindar dari segala bentuk pencemaran limbah apapun (clean water). a. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Administrasi Salah satu instrumen atur dan awasi yang sangat penting adalah penjatuhan sanksi administrasi. Saksi administrasi di sini harus dibedakan dengan putusan pengadilan tata usaha negara (administrative juducial decision). Sanksi administrasi didefinisikan sebagai suatu tindakan hukum (legal action) yang diambil penjabat tata usaha negara yang bertanggungjawab atas pengelolaan lingkungan hidup atas pelanggaran persyaratan. Di lain pihak penegakan hukum melalui instrumen administratif bertujuan agar perbuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula (sebelum adanya pelanggaran). Jadi, fokus sanksi administratif adalah perbuatan.63 Selain dari wewenang untuk menerapkan paksaan administratif (bestuurdwang), hukum lingkungan mengenal pula sanksi administratif yang lain yaitu penutupan perusahaan, larangan memakai peralatan tertentu, uang paksa (dwangsom), dan penarikan izin. Sanksi administratif kurang lengkap diatur di dalam UULH 1997, hanya dalam perundang-undangan lain. Paksaan administratif disebut dalam UndangUndang tentang Pemerintah Daerah, khususnya di dalam Pasal 42 dengan istilah “paksaan pemeliharaan hukum”. Tujuan paksaan administratif atau pemerintahan 63 Sukandi Husin. Op.cit. Hal.101 38 (bestuursdwang) adalah untuk memperbaiki hal-hal sebgai akibat dilanggarnya suatu peraturan. Dalam mempergunakan instrumen administratif, penguasa harus memperhatikan apa yang disebut oleh hukum tata usaha negara sebagai asas-asas pemerintahan yang baik. Penggunaan hukum administratif dalam penegakan lingkungan mempunyai dua fungsi, yaitu preventif dan represif. Misalnya Pasal 76 ayat (1) “Menteri, Gubernur atau Bupati/Walikota menerapkan sanksi administratif kepada penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan jika dalam pengawasan ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan”64 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Disamping paksaan pemerintah yang diatur dalam Pasal 80, pengenaan paksaan pemerintah dapat dijatuhkan tanpa didahului teguran apabila pelanggar yang dilakukan menimbulkan: 1. ancaman yang sangat serius bagi manusia dan lingkungan hidup 2. dampak yang lebih besar dan lebih luas jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya; dan/atau 3. kerugian yang lebih besar bagi lingkungan hidup jika tidak segera dihentikan pencemaran dan/atau perusakannya. b. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Perdata Sengketa perdata lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau diluar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersangkutan. 64 Ibid 39 Jika usaha diluar pengadilan yang dipilih itu tidak berhasil, oleh salah satu atau para pihak dapat ditempuh jalur pengadilan.65 Pasal 85 ayat (1) Undang-Undang No 32 Tahun 2009, menentukan bahwa penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan dilakukan untuk mencapai kesepakatan mengenai: a. bentuk dan besarnya ganti rugi; b. tindakan pemulihan akibat pencemaran dan/atau perusakan; c. tindakan tertentu untuk menjamin tidak akan terulangnya pencemaran dan/atau perusakan dan/atau; d. tindakan untuk mencegah timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. Ayat (2) Penyelesaian sengketa di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini. Penyelesaian sengketa lingkungan hidup melalui pengadilan melalui instrumen perdata diatur juga dalam Pasal 87 ayat (1) menyatakan: Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan perbuatan melanggar hukum berupa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang menimbulkan kerugian pada orang lain atau lingkungan hidup wajib membayar ganti rugi/atau melakukan tindakan tertentu. Ayat (2) menyatakan : Setiap orang yang melakukan pemindah tanganan, pengubahan sifat dan bentuk usaha, dan/atau kegiatan dari suatu badan usaha yang melanggar hukum tidak melepaskan tanggungjawab hukum dan/atau kewajiban badan usaha tersebut. 65 Ibid 40 Ayat (3) menyatakan: Pengadilan dapat menetapkan pembayaran uang paksa terhadap setiap hari keterlambatan atas pelaksanaan putusan pengadilan. Ayat (4) menyatakan: Besarnya uang paksa diputuskan berdasarkan peraturan perundang-udangan. Secara khusus (lex specialis) telah diatur tentang ganti kerugian dan pembebanan oleh hakim untuk melakukan tindakan hukum tertentu, misalnya menetapkan pembayaran uang paksa. Gugatan perdata dapat juga dilakukan berdasarkan Pasal 1365 KUH Perdata (BW) ketentuan Pasal 1365 KUH Perdata (BW) hanya dapat diambil hal-hal yang tidak diatur secara khusus, misalnya pengertian “melanggar hukum” (onrechmatige daad) sesuai dengan yurisprudensi. Juga masalah perhitungan ganti kerugian dan ajaran sebab akibat antara kesalahan dan kerugian.66 Syarat umum yang ditentukan di dalam Pasal 1365 KUHP Perdata (BW) untuk mengajukan gugatan tentu terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatigedaad). Suatu perbuatan dikatakan melanggar hukum, telah diartikan luas yurisprudensi (Belanda) terkenal dengan Arrest Lindenbaum-Cohen, 31 Januari 1919 (N.J. 1919). Indonesia pun mengikuti pengertian luas perbuatan melanggar hukum ini. Pengertian yang luas mengenai perbuatan yang langgar hukum sesuai dengan hukum adat yang umumnya tidak tertulis. Dalam arrest itu 66 Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 94 41 Hoge Raad menentukan, bahwa salah satu kriteria di bawah ini secara berdiri sendiri termasuk pengertian melanggar hukum (onrechtmatig):67 1. Pelanggaran suatu hak 2. Perbuatan atau kelalaian yang bertentangan dengan kewajiban yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan 3. Bertentangan dengan hukum tidak tertulis yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Korban pencemaran lingkungan dapat meminta berupa ganti rugi. Ada dua macam sistem tanggungjawab perdata (civil liability). Yaitu tanggungjawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) dan tanggungjawab seketika (strict liability). Tanggungjawab berdasarkan kesalahan diatur dalam Pasal 87. Pasal ini berakar pada Pasal 1365 KUH Perdata (BW), yang mengatur tentang tanggungjawab berdasarkan kesalahan. Artinya, ganti rugi hanya dapat diberikan sepanjang adanya kesalahan (fault). Secara lebih spesifik Pasal tersebut mensyaratkan bahwa permintaan ganti rugi baru dapat dikabulkan secara hukum apabila dapat dibuktikan empat hal berikut yaitu:68 1. Pencemaran atau perusakan lingkungan yang dipersoalkan itu merupakan perbuatan yang melawan hukum; 2. Pencemaran itu terjadi disebabkan oleh adanya kesalahan (Fault); 3. Pencemaran itu menimbulkan kerugian; 4. Adanya hubungan sebab akibat (kausalitas) antara perbuatan dan kerugian. 67 68 Ibid Sukanda Husin. op.cit. Hal.107 42 Penggugatan ganti rugi berdasarkan Undang-Undang No.32 Tahun 2009 Pasal 87 Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup atau Pasal 1365 KUH Perdata (BW) harus dikaitkan dengan Pasal 1865 KUH Perdata, yang mensyaratkan bahwa penggugat memikul beban pembuktian (bewijslast atau burden of proof). Artinya dalam setiap penggugatan ganti rugi, penggugat harus membuktikan empat elemen sebagaimana diuraikan diatas. Apabila gagal membuktikan salah satu dari empat elemen tersebut, gugatan penggugat akan ditolak oleh pengadilan.69 c. Penegakan Hukum Lingkungan Melalui Instrumen Hukum Pidana Penegakan hukum pidana merupakan ultimum remedium atau upaya hukum terakhir karena tujuannya adalah untuk menghukum pelaku dengan hukuman penjara dan denda. Penegakan hukum pidana tidak berfungsi untuk memperbaiki lingkungan yang tercemar. Akan tetapi, penegakan hukum pidana ini dapat menimbulkan faktor penjera (deterrant factor) yang sangat efektif. Oleh karena itu, dalam praktiknya penegakan hukum pidana selalu diterapkan secara selektif.70 Penjatuhan sanksi pidana terhadap pencemar dan perusak lingkungan hidup dari sisi hubungan antara negara dan masyarakat adalah sangat diperlukan karena tujuannya adalah untuk menyelamatkan masyarakat (social defence) dan lingkungan hidup dari perbuatan yang dilarang (verboden) dan perbuatan yang 69 70 Ibid Ibid 43 diharuskan atau kewajiban (geboden) yang dilakukan oleh para pelaku pembangunan. Secara khusus penghukuman dimaksud bertujuan untuk:71 1. Mencegah terjadinya kejahatan atau perbuatan yang tidak dikehendaki atau perbuatan yang salah 2. Mengenakan penderitaan atau pembalasan yang layak kepada si pelanggar Beberapa sarjana hukum, baik di Indonesia maupun di Belanda berpendapat bahwa penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran hukum lingkungan hendaklah dipandang sebagai ultimum remedium. Mr. De Bunt72 memandang pendapat yang didasarkan kepada hukum pidana klasik pidana modern tidaklah demikian. Bahwa hukum pidana (modern) tidak mesti berakhir dengan pidana penjara. Oleh karena itu, tidak dapat dikatakan khususnya dalam penegakan hukum lingkungan, bahwa instrumen hukum pidana merupakan obat terakhir. Menurut Mr. De Bunt, ultimum remedium mempunyai arti tiga macam yaitu sebagai berikut:73 1. Hukum pidana itu hanya diterapkan terhadap perbuatan-perbuatan yang sangat tidak benar secara etis (hoog ethische onwaarde). Pengertian ultimum remedium secara klasik hukum pidana itu adalah secara khusus merupakan instrumen penegakan hukum yang khusus. Jadi, penerapannya juga dalam hal-hal yang khusus. Harus dicegah bahwa obat jangan lebih berat daripada kejahatan. Hukum pidana itu merupakan alat yang sangat berat karena ciri 71 Ibid. Hal. 122 Andi Hamzah. Op.cit. 69 73 Ibid 72 44 khas pidana itu adalah nestapa yang dengan sengaja dikenakan. Oleh karena itu, hukum pidana harus dipandang sebagai ultimum remedium. Ultimum remedium didasarkan pada: a. hukum pidana bersifat retributif b. pelanggaran hukum lingkungan pada hakikatnya tidak penting secara etis Tidak ada penegakan hukum pidana dalam hukum lingkungan kecuali beberapa perbuatan melanggar hukum yang mencolok. Sebenarnya tidak dapat dipisahkan secara tajam antara sanksi administratif dan sanksi hukum pidana kecuali terhadap perbuatan yang mencolok melanggar hukum (onrechtmatig), menurut De Bunt dapat diperdebatkan karena tidak ada perbedaan yang mendasar antara sanksi hukum pidana dan sanksi hukum adminstratif. Menurut Mulder, keduanya mempunyai persamaan, yaitu alat paksa untuk menegakkan hukum publik, tidak ada perbedaan yang asasi antara kedua sanksi. 2. Pengertian yang kedua mengenai ultimum remedium menurut De Bunt adalah dalam arti harfiah, yaitu alat (obat) yang terakhir yang diterapkan terhadap delik lingkungan. Hal ini dikemukakan oleh Menteri Kehakiman Belanda De Ruiter yang mengatakan hukum pidana sebagai alat yang terakhir. Hukum pidana menjadi obat yang terakhir karena membawa dampak sampingan yang merugikan. Hukum pidana menyinggung sangat dalam terhadap kehidupan pribadi terpidana (perampasan kemerdekaan, proses acara dengan alat paksa, dan noda), jadi mesti dilakukan dengan hati-hati. De Ross74 mengatakan bahwa walaupun tidak ada perbedaan antara sanksi hukum pidana dan sanksi 74 Ibid 45 administratif, namun sanksi hukum pidana itu relatif lebih berat karena pidana perampasan kemerdekaan merupakan sanksi yang menonjol. Penerapan hukum pidana dalam ultimum remedium seperti ini selalu dalam pilihan yang mana yang menguntungkan dan merugikan dalam pelbagai alat penegak hukum. Pendapat yang demikian ini juga dibantah oleh De Bunt, karena katanya ada pelanggaran hukum lingkungan yang sanksi administratif dipandang terlalu berat dan tidak dapat diterapkan, misalnya perbuatan yang sekali saja terjadi, mungkin ringan, seperti tidak memenuhi kewajiban melapor, perusakan lingkungan yang tidak perlu dipertimbangkan sanksi adminstratif atau sanksi hukum pidana dalam penegakan hukum. 3. Pengertian ultimum remedium yang ketiga, yaitu pejabat administratif lah yang pertama-tama harus bertanggungjawab. Kalau pejabat adminstratif dipandang sebagai yang pertama-tama bertanggungjawab, dan oleh karena itu berarti bahwa kekuasaan yustisial ditempatkan sebagai ultimum remedium. Pejabat administrasi harus bereaksi terlebih dahulu. Yang memberi izin harus lebih dahulu memberi sanksi jika izin dilanggar. Akan tetapi bagaimana jika pejabat administratif itu enggan atau tidak mau bertindak? bahkan bagaimana jika pejabat administrasi itu terlibat dalam pelanggaran hukum lingkungan? . Dalam hal seperti ini instrumen hukum pidana perlu ditempatkan sebagai premium remedium. Tiada satu pun instrumen yang dapat dikatakan sebagai harus yang pertama diterapkan secara apriori. Masing-masing mempunyai dasar 46 pertimbangan sendiri untuk diterapkan yang hanya dapat dilihatkan secara kasus demi kasus.75 Dalam hal tingkat kesalahan pelaku relatif berat dan/atau akibat pelanggaran tersebut relatif besar, dan atau menimbulkan keresahan masyarakat tersangka pelanggaran hukum lingkungan dapat diajukan melalui prosedur pidana.76 Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup ketentuan pidana diatur dalam Bab XV Ketentuan Pidana Pasal 97 sampai dengan Pasal 120. a. Delik Materiel Delik materiel sesungguhnya ditujukan kepada akibat dari adanya perbuatan pencemaran dan/atau perusakan, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Pembuktian apakah benar terdakwa telah mencemari atau merusak lingkungan menjadi beban penuntut umum. Pembuktian ini sangat terkait dengan pembuktian ilmiah, dimana peran saksi ahli dan laboratorium sangat menentukan tercemar/rusaknya lingkungan.77 Uraian secara lengkap delik materiel menurut UUPPLH No.32 tahun 2009 sebagai berikut: Pasal 98 menyatakan: (2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan 75 Ibid Mudzakiir.2011.Hukum dan Lingkungan Hidup di Indonesia.Pascasarjana FH UI. Jakarta. Hal. 521 77 Ibid 76 47 denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) (3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 menyatakan: (2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 108 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). b. Delik Formil Delik formil sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009, dimana beban pembuktiannya tidak atau belum dipersyaratkan kepada apakah lingkungan telah tercemar atau telah rusak. Akan tetapi cukup dibuktikan apakah tersangka atau terdakwa telah melanggar ketentuan perundang-undangan tentang persyaratan izin yang merupakan hukum administrasi.78 Apabila persyaratan izin tersebut telah dilanggar. Oleh karena itu untuk memudahkan tugas penuntut umum dalam pembuktian diadakanlah delik formil, karena cukup 78 Ibid. Hal. 218 48 diambil sampel dari limbah yang dibuang oleh suatu kegiatan atau industri untuk diukur di laboratorium. Manakah limbah yang dibuang tersebut berada di atas ambang batas baku mutu yang ditentukan maka pelaku sudah dapat dijerat dengan hukuman pidana. Pasal-pasal pada delik formil ini sesungguhnya lebih menekankan pada upaya preventif agar pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dicegah lebih dini. Dengan demikian delik formil ini sesungguhnya merupakan suatu upaya pengawasan atau upaya kontrol yang diberikan oleh undang-undang ini agar lingkungan tidak terlanjur tercemar dan/atau rusak suatu usaha atau industri. Perumusan delik formil selengkapnya sebagai berikut: Pasal 98 menyatakan: (1) Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 99 ayat (1) perbuatan tersebut tidak disengaja atau lalai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) Pasal 100 ayat 1 menyatakan: Pasal 100 setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) Pasal 101 menyatakan: Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling 49 lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 menyatakan: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 menyatakan: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan 50 denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 109 menyatakan: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 menyatakan: Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 ayat 1 dan 2 menyatakan: (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 menyatakan: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 menyatakan: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). 51 Pasal 114 menyatakan: Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan: (1) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: 1. Badan usaha; dan/atau 2. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 menyatakan: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 menyatakan: Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional Pasal 119 menyatakan: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana b. Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan 52 c. Perbaikan akibat tindak pidana d. Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e. Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun Pasal 120 menyatakan: (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. c. Kejahatan Korporasi dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 Pengaturan kejahatan korporasi dalam UUPPLH di atur dalam Pasal 116 - 120 disebut badan usaha, kalau dalam UUPLH tidk saja mengenal badan hukum atau korporasi seperti perseroan dan yayasan, namun selain badan hukum tersebut mengenalkan pula bentuk yang lain seperti perserikatan atau organisasi lain yang dapat diberikan sanksi disamakan dengan badan hukum. Saksi pidana yang diberikan pada kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum ini diberikan saksi kepada pemberi perintah atau pimpinan diperberat ditambah dengan sepertiganya. Hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan yang dilakukan oleh korporasi dampaknya dirasakan lebih berat dan lebih parah dibandingkan dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perorangan.79 Pasal 116 menyatakan: (1) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, maka pertanggungjawabannya dapat dituntut pada badan usaha itu sendiri serta dapat digabungkan pula dengan pemberi perintah atau pemimpin badan usaha tersebut. 79 Syahrul Machmud. Op.cit. Hal.224 53 (2) Menegaskan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan pada pemberi perintah atau pimpinan dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 menyatakan: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 menyatakan: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional Pasal 119 menyatakan: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. b. c. d. e. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan Perbaikan akibat tindak pidana Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun Pasal 120 menyatakan: (1) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi (2) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup mengatur seperti, tanggungjawab perusahaan (corporate crime), delik formil (specific crime). seharusnya dengan berlakunya 54 Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, banyak pencemaran dan perusakan lingkungan hidup dapat dijatuhi hukuman pidana karena Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan kemudahan dalam penuntutan, terutama dengan menerapkan pasal-pasal tentang delik formil.80 Ada dua macam tindak pidana yang diperkenalkan dalam UndangUndang No 32 tahun 2009 tentang tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, yaitu delik materiil (generic crimes) dan delik formil (specific crimes). Delik materiil (generic crimes) merupakan perbuatan melawan hukum yang menyebabkan pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup. Perbuatan melawan hukum seperti itu tidak harus dihubungkan dengan pelanggaran aturanaturan hukum administratif.81 Generic crime yang dilakukan dengan sengaja diancam dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Untuk generic crime yang dilakukan karena kelalaian, ancaman hukumnya adalah dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 80 81 Sukanda Husin. op.cit. Hal.122 Ibid 55 Delik formil (specific crimes) diartikan sebagai perbuatan yang melanggar aturan-aturan hukum administrasi. Oleh karena itu, delik formil dikenal juga sebagai Administrasi Dependent Crimes. Dalam ruang lingkup asas pertanggungjawaban pidana, menurut Sudarto, bahwa di samping kemampuan bertanggungjawab, kesalahan (schuld) dan melawan hukum (wederechtelijk) sebagai syarat untuk pengenaan pidana, ialah pembahayaan masyarakat oleh pembuat. Dengan demikian, konsepsi pertanggungjawabab pidana, dalam artinya dipidanannya pembuat ada beberapa syarat yang harus dipenuhi, yaitu 1) ada suatu tindak pidana yang dilakukan oleh pembuat (adanya perbuatan pidana); 2) ada pembuat yang mampu bertanggungjawab; 3) ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan dan 4) tidak ada alasan pemaaf.82 a. Elemen “Perbuatan Pidana” Ada 5 (lima) elemen yang harus terpenuhi untuk menyatakan bahwa suatu perbuatan dapat dikatakan perbuatan pidana, yaitu: 1. Kelakuan dan akibat (perbuatan) Setiap perbuatan pidana harus terdiri atas elemen-elemen yang lahir dikarenakan perbuatan yang mengandung kelakuan dan akibat yang ditimbulkan oleh perbuatan dimaksud. Maksudnya adalah kejadian dalam alam lahir.83 82 Sudarto. 1981. Suatu Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia dalam Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan), Bandung: Alumni. hlm. 69 83 Moelyatno. op.cit. Hlm. 58-63 56 2. Hal ikhwal atau keadaan yang menyertai perbuatan Perbuatan pidana juga harus merupakan suatu hal ikhwal atau suatu keadaan tertentu yang menyertai perbuatan. Hal ikhwal dapat dibagi dua; pertama yang menyangkut diri oran yang melakukan perbuatan, dan kedua yang menyangkut diri orang lain yang bukan pelaku perbuatan, misalnya perilaku korban perbuatan pidana.84 3. Keadaan tambahan yang memberatkan pidana Elemen ketiga dari perbuatan pidana adalah keadaan tambahan. Keadaan tambahan ini merupakan suatu peristiwa yang terjadi setelah perbuatan pidananya terjadi. Dengan demikian, keadaan tambahan ini hanya dijadikan sebagai unsur yang memberatkan pidana.85 4. Unsur melawan hukum yang objektif Sifat perbuatan melawan hukumnya terletak pada keadaan objektif sebagaimna yang diatur dalam undang-undang.86 Jadi, suatu perbuatan diklasifikasikan sebagai perbuatan melawan hukum apabila perbuatan dimaksud merupakan suatu perbuatan yang dilarang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku (hukum positif). 5. Unsur melawan hukum yang subjektif Sifat perbuatan melawan hukumnya tidak saja terletak pada keadaan objektif sebagaimana yang diatur dalam undang-undang, tetapi juga sangat bergantung pada keadaan subjektif pelakunya.87 84 Ibid Ibid 86 Ibid 87 Ibid 85 57 Secara sederhana dapat disimpulkan bahwa elemen “perbuatan pidana” maksudnya semua perbuatan yang dilarang oleh undang-undang dan perbuatan pidana itu merupakan perbuatan jahat, yang apabila dilanggar akan mendapatkan ganjaran berupa sanksi pidana sebagaimana diatur dalam hukum pidana materil. Dalam konteks hukum lingkungan, hal yang sama juga berlaku, tetapi elemen perbuatan pidana harus berkaitan dengan suatu fakta apakah kejadian pencemaran lingkungan hidup merupakan sesuatu yang dapat dicegah atau tidak. Jika perbuatan itu dapat dicegah baik secara ekonomi maupun secara teknologi, perbuatan tidak mencegah terjadinya pencemaran dapat dikatakan perbuatan jahat. Oleh karena itu, perbuatan ini dapat dihukum.88 d. Ketergantungan Penerapan Hukum Pidana pada Hukum Administratif Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif atau hukum pemerintahan, terutama menyangkut perizinan. Yang mengeluarkan izin adalah pejabat administrasi, baik pemerintahan daerah maupun pemerintahan pusat. Dapat dilihat bahwa banyak rumusan delik di dalam perundangundangan lingkungan atau yang menyangkut izin yang bagian inti (bestandeel) “karena tanpa izin”, yang sudah jelas semuanya menyebabkan penerapan hukum pidana lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif.89 Inilah yang disebut oleh Faure sebagai ketergantungan administatif hukum pidana lingkungan, yang menjadi persoalan adalah bagaimana jika izin 88 89 Sukanda Husin. op.cit. Hlm. 128 Andi Hamzah. op.cit. Hlm. 75 58 yang dikeluarkan oleh pejabat administratif yang kemudian ternyata, bahwa dengan dipakainya izin, itu terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan.90 Penerapan asas ultimum remedium sangat berkaitan erat dengan penegakan hukum administrasi. Dalam Pasal 100 ayat (2) UUPPLH di tegaskan bahwa asas ultimum remedium berkaitan dengan delik formil, dan delik formil adalah delik yang berkaitan dengan hukum administrasi. Bukan di Indonesia saja terjadi hal-hal seperti itu, tetapi juga di negara lain. Faure selanjutnya menulis tentang ketergantungan administrasi itu; 1. Bagaimana ketergantungan itu terjadi. 2. Sampai berapa jauh titik taut ini dan apakah hakim pidana dapat menguji perbuatan hukum administratif. 3. Sampai berapa jauh jangkauan suatu izin. 4. Bagaimana pengaruh suatu toleransi oleh pejabat adminstratif terhadap dapatnya di pidana suatu perbuatan. Ada perbedaan persepsi hukum terhadap masalah ketergantungan administratif penerapan hukum pidana terhadap pelanggaran lingkunga, khususnya yang menganyangkut perizinan. Di Jerman hakim pidana tidak dibenarkan untuk menguji sah tidaknya suatu izin. Adapun di Belgia hakim wajib karena jabatan untuk menguji sah tidaknya suatu perbuatan hukum administratif yang dihadapi.91 90 91 Ibid Ibid 59 Bagaimana di Indonesia? Menurut Andi Hamzah92 tidak ada ketentuan hukum yang dapat menjawab persoalan ini. Yang dapat diuji oleh Mahkamah Agung adalah suatu peraturan yang lebih rendah dari undang-undang, tidak disebut mengenai pengujian atas suatu perbuatan hukum administratif oleh hakim pidana, terutama dalam pelanggaran lingkungan yang menyangkut perizinan. Oleh karena itu, jika terjadi hal semacam itu dalam penuntutan suatu delik lingkungan, mestinya penuntut umum yang juga berwenang mewakili negara atau pemerintah, dapat terlebih dahulu melalui hakim tata usaha agar izin yang dikeluarkan oleh pejabat yang bersangkutan (secara pribadi) karena dilakukan secara tidak benar atau melawan hukum dinyatakan tidak sah. Tentu penuntut umum tidak dapat menggugat negara menurut peradilan tata usaha karena ia hanya dapat mewakili negara secara tergugta. Pejabat administrasi, dapat digugat dalam peradilan tata usaha negara (oleh individu atau masyarakat) supaya izin tersebut dibatalkan. Bagaimana jika ada izin dan syarat dalam izin itu dipenuhi, tetapi pada akhirnya juga timbul pencemaran, apalagi misalnya terjadi akibat orang luka atau mati. Apa izin itu dapat dipakai sebagai dasar peniadaan pidana (dasar pembenar). Dalam praktik di Indonesia belum kelihatan adanya kasus demikian yang muncul ke permukaan, namun ada pemikiran tentang bagaimana jawaban yuridis terhadap masalah tersebut. Untuk itu perlu ditinjau pengalaman dan pemikiran di negara lain dalam memecahkan masalah seperti itu. Di Jerman misalnya, walaupun ada izin, tetapi jika telah menimbulkan luka yang mematikan atau luka berat, tidak dapat diterima izin sebagai dasar pembenar. Ini diputuskan oleh 92 Ibid 60 Bundesgerichshof tanggal 13 Maret 1975.93 Dasar pemikirannya adalah pengusaha administratif tidak pernah boleh mengeluarkan izin yang akan menimbulkan luka atau kematian. Belgia lebih jelas lagi tentang jangkauan berlakunya dasar pembenar suatu izin karena dengan yurisprudensi dan doktrin hakim bisa diberikan wewenang menguji suatu izin. Jika suatu izin ternyata bertentangan dengan norma yang lebih tinggi akan batal dalam hal-hal konkret dan tidak akan merupakan dasar pembenar. Pengalaman dan ajaran hukum lingkungan di negara-negara maju ini perlu diperhatikan, agar dapat mengantisifasi masalah-masalah baru yang rumit yang akan muncul seirama dengan kemajuan pembangunan pada umumnya dan perindustrian pada khususnya akan menimbulkan masalah serius di bidang hukum lingkungan yang memerlukan pemecahan yang tepat. 2. Konsep Penegakan Hukum Joseph Goldstein Penanggulangan kejahatan dengan target menurunkan tingkat kejahatan, memperlihatkan adanya jumlah kejahatan yang terjadi dan kejahatan yang dapat diproses melalui penegakan hukum. Dari pengalaman menunjukkan bahwa, selama upaya penanggulangan kejahatan dilakukan terdapat pula kejahatan yang tidak dapat dituntut yang disebut “undetected crimes” dan “release without prosecution”. Adanya realitas kejahatan demikian sehingga tercipta peta kriminal 93 Ibid 61 yang meliputi tiga daerah operasional dalam wilayah penegakan hukum yaitu,94 (1) penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara total (area of no enforcement), (2) diskresi dan syarat penuntutan dalam penegakan hukum (area dicisions not to enforce) dan (3) penuntutan secara nyata yang dapat dilaksanakan dalam penegakan hukum (area of actual enforcement). Gambaran wilayah penegakan hukum tersebut terungkap dari hasil konggres internasional yang mengembangkan95 (1) standar penegakan hukum di peradilan pidana, dan (2) perlindungan saksi untuk proses peradilan pidana, serta (3) public participation untuk proses peradilan pidana. Substansi yang penting dari standar penegakan hukum di peradilan pidana, memuat rekomendasi bahwa total crime pada dasarnya tidak mungkin sama dengan full enforcement, karena di dalam konsep ini terdapat tiga wilayah penegak hukum. Sesungguhnya wilayah penegakan hukum seperti tersebut di atas terlebih dahulu telah dijelaskan secara terperinci oleh Joseph Goldstein96 menurut Joseph Goldtein penegakan hukum pidana dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Meskipun keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara total, namun penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilaksanakan sehingga terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan hukum (Area of no enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum dibatasi secara 94 Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia FH UII Pres. Yogyakarta.Hlm.149 Ibid 96 Joseph Goldstein dalam .Rusli Muhammad. 2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia FH UII Pres. Yogyakarta.Hlm.149 95 62 ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaaan pendahuluan. Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum pidana substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu penuntutan, misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan. Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total (total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuannya itu mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions). Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum itu. 3. Politik Kriminal Merupakan Bagian dari Penegakan Hukum. Upaya penanggulangan kejahatan khususnya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup dalam usaha mengatasi dampak negatif dari perkembangan masyarakat atau modernisasi dengan penggunaan hukum pidana, maka Sudarto fungsionalisasi atau penggunaan hukum pidana tersebut harus 63 dilihat dalam konteks keseluruhan politik kriminal, yang lazim dikenal dengan istilah planning for social defence, yang dalam hal ini merupakan bagian integral dari perencanaan pembangunan nasional.97 Kebijakan atau upaya penanggulangan kejahatan pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahteraan masyarakat (social welfare). Politik hukum pidana (dalam tatanan mikro) yang merupakan bagian dari politik hukum (dalam tataran makro), maka dalam pembentukan undang-undang harus mengetahui sistem nilai yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan keadaan itu dengan cara-cara yang diusulkan dan dengan tujuan-tujuan yang hendak dicapai agar hal-hal tersebut dapat diperhitungkan dan agar dapat dihormati. Dalam bidang hukum pidana melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang.98 Sudarto99 mengatakan Pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas, karena ia akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang ini digunakan oleh penguasa untuk mencapai dan 97 Barda Nawawi.2008. Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. Hal. 2 Sudarto.1983. Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung. Hal. 16 99 Ibid 98 64 mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa undang-undang itu mempunyai dua fungsi, yaitu: 1. Fungsi untuk mengekpresikan nilai-nilai 2. Fungsi instrumental Bertitik dari kedua fungsi tersebut maka sebaiknya politik hukum pidana dijalankan tanpa mengingkari fungsi lainnya, misalnya sifat atau pengaruh simbolis dari undang-undang tertentu. Menurut Sahetapy,100 Peranan hukum dengan pendekatan fungsional tidak sama dengan hukum yang berperan sebagai suatu alat (istrumen) belaka. Pendekatan secara fungsional, hukum dalam penerapannya harus diarahkan untuk mencapai tujuan darimana hukum itu berasal, jika hukum di Indonesia bersumber pada Pancasila maka setiap produk perundang-undangan tidak mungkin terlepas dari sumbernya, yakni darimana hukum dijiwai, dipersepsikan dan dalam penjabarannya atau diwujudkan dalam bentuk manisfestasinya harus selalu bernafaskan Pancasila. Jika tidak, hukum itu tidak lagi berfungsi dalam arti sebenarnya sehingga lebih tepat disebut sebagai instrument. Hukum dalam pengertian ini hanya demi kepentingan tertentu yang sama sekali tidak dijiwai oleh semangat dan idealisme Pancasila. Sudarto,101merujuk pada hasil symposium tentang Kesadaran Hukum Masyarakat dalam Masa transisi,yang diselenggarakan di Semarang tanggal 20-23 Januari 1975 menulis, negara-negara yang sesudah Perang Dunia II telah 100 Sahetapy.1993“Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum,” Analisis CSIS (Januari-Pebruari,XXII), No. 1. Hal. 55-56 101 Sudarto.1983. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. Hal. 96 65 memperoleh kemerdekaan berusaha untuk melakukan langkah-langkah modernisasi di negaranya masing-masing. Dengan adanya langkah-langkah tersebut maka telah terjadi proses perkembangan masyarakat yang meliputi bidang ekonomi, sosial, politik dan kebudayaan. Modernisasi itu Menurut Sudarto, dapat diartikan sebagai proses penyesuaian diri dengan keadaan konstelasi dunia pada waktu ini, Apabila hukum pidana hendak dilibatkan maka harus dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal. Menurut Sudarto,102 Politik kriminal itu dapat diberi arti sempit, lebih luas dan paling luas. a. Dalam arti sempit, Politik kriminal digambarkan sebagai keseluruhan asas metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum berupa pidana; b. Dalam arti yang lebih Luas, ia merupakan keseluruhan fungsi dari aparatur penegakan hukum, termasuk didalamnya cara kerja pengadilan dan polisi; c. Dalam arti yang paling luas, ia merupakan keselururhan kebijakan yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral masyarakat. Penegakan norma-norma sentral itu menurut Sudarto dapat diartikan sebagai penanggulangan kejahatan. Melaksanakan politik kriminal berarti mengadakan pemilihan dari sekian banyak alternatif, mana yang paling efektif dalam usaha penanggulangan kejahatan. 102 Ibid 66 Pada bagian lain sudarto mengatakan, menjalankan politik hukum pidana, juga mengadakan pilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Untuk mencapai hasil yang berhasil guna dan dayaguna maka para pembuat kebijakan dapat memanfaatkan informasi yang telah disediakan oleh kriminologi. Apabila mengabaikan informasi tersebut akan mengakibatkan terbentuknya undangundang yang tidak fungsional.103 Pandangan sudarto diatas, sejalan dengan Marc Ancel. 104 Menurutnya, in modern science has primery three essencial componens: criminology,criminal law, dan penal policy. Criminology, mempelajari kejahatan dalam semua aspek. Selanjutnya, criminal law menjelaskan dan menerapkan peraturan-peraturan positif atas reaksi masyarakat terhadap fenomena kejahatan. Penal policy baik sebagai ilmu maupun seni mempunyai tujuan praktis, utamanya untuk memungkinkan peraturan-peraturan positif dirumuskan lebih baik dan menjadi petunjuk tidak hanya kepada legislator yang merancang peraturan perundangundangan pidana, tetapi juga pengadilan dimana peraturan-peraturan itu diterapkan dan penyelenggaraan pemasyarakat (prison administration) yang memberi pengaruh praktis terhadap putusan pengadilan.105 Politik kriminal atau kebijakan penanggulangan tindak pidana tersebut dapat mencakup ruang lingkup yang luas. Ini artinya, politik kriminal dapat 103 Ibid Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah.2005. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal. 16 105 Ibid 104 67 dirumuskan sebagai suatu usaha yang rasional dari masyarakat dalam penanggulangan tindak pidana. Kebijakan penanggulangan tindak pidana dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) macam, yaitu kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan saranan hukum pidana (penal policy) dan kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana di luar hukum pidana (non-penal policy). Pada dasarnya Penal policy lebih menitik beratkan pada tindakan represif setelah terjadinya suatu tindak pidana, sedangkan non-penal policy lebih menekankan pada tindakan preventif sebelum terjadinya suatu tindak pidana. Menurut pandangan dari sudut politik kriminal secara makro, non-penal policy merupakan kebijakan penanggulangan tindak pidana yang paling strategis. Hal itu dikarenakan, non penal policy lebih bersifat sebagai tindakan pencegahan terjadinya suatu tindak pidana. Sasaran utama non penal policy adalah menangani dan menghapus faktor-faktor kondusif yang menyebabkan terjadinya suatu tindak pidana.106 Kebijakan penanggulangan tindak pidana dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal policy) dikenal dengan istilah “kebijakan hukum pidana” atau “politik hukum pidana” Marc Ancel107 berpendapat, kebijakan hukum pidana (penal policy) merupakan suatu ilmu sekaligus seni yang mempunyai tujuan praktis untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih baik dan untuk memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang, pengadilan yang menetapkan undang-undang, dan kepada para pelaksana putusan pengadilan. Kebijakan hukum pidana (penal policy) tersebut merupakan salah satu 106 107 Ibid Ibid. Hal. 18 68 komponen dari modern criminal science di samping criminology dan criminal law. Dengan demikian, penal policy atau politik (kebijakan) hukum pidana pada intinya, bagaimana hukum pidana dapat dirumuskan dengan baik dan memberikan pedoman kepada pembuat undang-undang (kebijakan legislatif), kebijakan aplikasi (kebijakan yudikatif) dan pelaksana hukum pidana (kebijakan eksekutif). Kebijakan legislatif merupakan tahap yang sangat menentukan bagi tahap-tahap berikutnya, karena ketika peraturan perundang-undangan pidana dibuat maka sudah ditentukan arah yang hendak dituju atau dengan kata lain, perbuatan-perbuatan apa yang dipandang perlu untuk dijadikan sebagai suatu perbuatan yang dilarang oleh hukum pidana. Ini berarti, menyangkut proses kriminalisasi. Kriminalisasi, menurut Sudarto, merupakan proses penetapan suatu perbuatan seseorang sebagai perbuatan yang dapat dipidana. Tindakan itu diancam dengan terbentuknya undang-undang dengan suatu sanksi berupa pidana.108 Dalam kaitan ini, Barda Nawawi Arief menyatakan, 109 kebijakan untuk membuat peraturan perundang-undangan pidana yang baik tidak dapat dipisahkan dari tujuan penaggulangan kejahatan. Sedangkan, pengertian penanggulangan kejahatan, Menurut Mardjono Reksodiputro,110adalah usaha untuk mengendalikan 108 Ibid Barda Nawawi Arief.1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana.Citra Aditya Bakti. Bandung. Hal.. 29-30 110 Mardjono Reksodiputro.1994. Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan). dalam Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta.Hal.84 109 69 kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi masyarakat. Menurut Barda Nawawi Arief, kebijakan penanggulangan kejahatan dengan hukum pidana, pada hakikatnya merupakan bagian dari kebijakan penegakan hukum (khususnya hukum pidana). Oleh karena itu, politik hukum pidana merupakan bagian dari kebijakan penanggulangan kejahatan lewat pembuatan peraturan perundangundangan pidana yang merupakan bagian integral dari politik sosial. Politik sosial tersebut menurut Barda Nawawi Arief dapat diartikan sebagai segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat dan sekaligus mencakup perlindungan masyarakat. Jika politik kriminal menggunakan politik hukum pidana maka ia harus merupakan langkah-langkah yang dibuat dengan segaja dan sadar. Sudarto berpendapat, melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk mencapai hasil perundang-undangan yang paling baik dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Dalam kesempatan lain dikemukakan pula, bahwa melaksanakan politik hukum pidana mempunyai arti sebagai usaha mewujudkan peraturan perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu dan untuk masa-masa yang akan datang. Pada hakikatnya kebijakan hukum pidana (penal policy) dapat difungsionalisasikan dan dioperasionalisasikan melalui beberapa tahap, yaitu tahap formulasi atau kebijakan legislatif, tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif dan tahap eksekutif atau kebijakan administratif. Tahap formulasi atau kebijakan legislatif dapat dikatakan sebagai tahap perencanaan dan perumusan peraturan perundangundangan pidana. Tahap aplikasi atau kebijakan yudikatif merupakan tahap 70 penerapan dari ketentuan perundang-undangan pidana yang telah dilanggar. Tahap eksekusi atau kebijakan administratif adalah tahap pelaksanaan dari keputusan pengadilan atas perbuatan pidana yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.111 Bertolak dari pendekatan kebijakan itu, Sudarto berpendapat dalam menghadapi masalah sentral, yang sering disebut masalah kriminalisasi, harus diperhatikan hal-hal yang intinya sebagai berikut: 112 1. Penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil makmur yang merata materiil dan spiritual berdasarkan Pancasila; sehubungan dengan ini maka (penggunaan) hukum pidana bertujuan untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan peneguhan terhadap tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan pengayoman masyarakat; 2. Perbuatan yang diusahakan untuk dicegah atau ditanggulangi dengan hukum pidana harus merupakan “perbuatan yang tidak dikehendaki” yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian (materiil dan atau spiritual) atas warga masyarakat; 3. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya dan hasil (cos benefit principle) 111 112 Sudarto, op.cit. Hal. 32 Ibid 71 4. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, yaitu jangan sampai ada kelampuan beban tugas (overbelasting) Salah satu usaha penanggulangan kejahatan ialah menggunakan hukum pidana dengan sanksinya berupa pidana, Namun demikian usaha ini pun masih sering dipersoalkan. Perbedaaan peranan pidana dalam menghadapi masalah kejahatan, menurut Inkeri Anttila, telah berlangsung beratus-ratus tahun, 113 dan menurut Herbert L Packer,114 usaha pengendalian perbuatan anti sosial dengan mengenakan pidana pada seseorang yang bersalah melanggar peraturan pidana, merupakan suatu problem sosial yang mempunyai dimensi hukum yang penting. Penggunaan upaya hukum termasuk hukum pidana sebagai salah satu upaya untuk mengatasi masalah sosial termasuk dalam bidang kebijakan penegakan hukum. Di samping itu, karena tujuannya untuk mencapai kesejahteraan masyarakat pada umumnya maka kebijakan penegakan hukum termasuk dalam bidang kebijakan sosial, yaitu segala usaha yang rasional untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. 115 Oleh karena itu dapat dikatakan, bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal ialah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa politik kriminal pada hakikatnya juga merupakan bagian integral dari politik sosial (yaitu kebijakan atau upaya untuk mencapai kesejahteraan sosial.116 113 Teguh Prasetyo & Abdul Halim Barkatullah, Op.cit, hlm.25 Ibid 115 Sudarto, op.cit., hlm. 61 116 Barda Nawawi. Kebijakan Hukum Pidana.op.cit. Hal. 2 114 72 B. Pengertian Hukum Lingkungan Dalam literatur berbahasa Inggris hukum lingkungan disebut environmental law. Orang Belanda menyebutnya milieurecht, sedangkan Jerman menyebut umweltrecht, Prancis menamainya droit de environment. Malaysia dengan bahasa Melayu memberi nama hukum alam sekitar, suatu istilah berbau harfiah. Semua istilah pelbagai bahasa bermaksud untuk menunjukan bagian hukum yang berangkutan dengan lingkungan fisik dan dapat diterapkan untuk mengatasi pencemaran, pengurasan, dan perusakan lingkungan (fisik).117 Pengertian hukum lingkungan di sini hanya meliputi fisik saja dan tidak menyangkut lingkungan sosial. Hukum lingkungan pada umumnya bertujuan untuk menyelesaikan masalah lingkungan khususnya yang disebabkan oleh ulah manusia. Kerusakan lingkungan atau menurunnya mutu lingkungan disebabkan oleh ulah manusia. Masalah lingkungan bagi manusia dapat dilihat dari segi menurunnya kualitas lingkungan.118 Kualitas lingkungan menyangkut nilai lingkungan untuk kesehatan, kesejahteraan, dan ketenteraman manusia. Nilai lingkungan untuk berbagai bentuk pemanfaatan. Hilang dan berkurangnya nilai lingkungan karena pemanfaatan tertentu oleh umat manusia. Menurut Drupteen119, masalah lingkungan merupakan kemunduran kualitas lingkungan. Atau dengan kata lain, bahwa masalah lingkungan yang menyangkut gangguan terhadap lingkungan antara manusia dan lingkungan bentuknya berupa pencemaran, pengurasan, dan kerusakan lingkungan. 117 Andi Hamzah. Penegakan Hukum Lingkungan. Op.cit. hal. 7 Ibid 119 Ibid 118 73 Dilihat dari fungsinya, hukum lingkungan berisi kaidah-kaidah tentang perilaku masyarakat yang positif terhadap lingkungannya, langsung atau tidak langsung. Secara langsung kepada masyarakat hukum lingkungan menyatakan apa yang dilarang dan apa yang diperbolehkan. Secara tidak langsung kepada warga masyarakat adalah memberikan landasan bagi yang berwenang untuk memberikan kaidah kepada masyarakat.120 Hukum lingkungan mempunyai dua dimensi. Yang pertama adalah ketentuan tentang tingkah laku masyarakat, semuanya bertujuan supaya anggota masyarakat diimbau bahkan kalau perlu dipaksa memenuhi hukum lingkungan yang bertujuannya memecahkan masalah lingkungan. Yang kedua, adalah dimensi yang member hak, kewajiban, dan wewenang badan-badan pemerintah dalam mengelola lingkungan. Menurut Prof. Stephanus Munadjat Danusaputro121 hukum lingkungan adalah salah satu cabang hukum yang tergolong baru yang kehadirannya seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat atas lingkungan, agar perlindungan dan tata pengelolaan lingkungan serta eningkatan ketahanannya dapat terselenggara secara tertib pasti dan bersifat memaksa, maka penyelenggaraannya didasarkan atas hukum. Dengan demikian sifat hukum tersebut adalah sekumpulan peraturan yang berorientasi dan secara khusus diciptakan kepada kepentingan alam atau lingkungan (nature’s interest oriented law) , dan itulah yang disebut hukum lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan dapat diartikan sebagai hukum 120 121 Ibid N.H.T. Siahaan. 2009. Hukum Lingkungan. Pancuran Alam.Jakarta. hal. 59 74 yang mendasari penyelenggaraan perlindungan dan tata pengelolaan peningkatan ketahanan lingkungan hidup.122 Sistem hukum lingkungan mendapat bentuknya dengan pola kepentingan lingkungan, dan tidak semata-mata kepentingan manusia (use oriented). Munadjat Danusaputro123 menyebutkan dengan hukum lingkungan modern. Hukum lingkungan modern, merupakan ketentuan yang mengatur tindak perbuatan manusia, dengan tujuan terpenting melindungi lingkungan dan mencegah kerusakan dan kemerosotan kualitasnya, supaya bersifat lestari dan data secara terus menerus digunakan oleh, baik generasi sekarang maupun generasi mendatang. Jadi sifat hukum lingkungan modern ini adalah, bertujuan atau berorientasi perlindungan lingkungannya (environment oriented law). Drupsteen124 mengemukakan, bahwa hukum lingkungan (Milieurecht) adalah hukum yang berhubungan dengan lingkungan alam (natuurlijk milieu) dalam arti seluas-luasnya. Ruang lingkupnya berkaitan dengan dan ditentukan oleh ruang lingkung pengelolaan lingkungan. Dengan demikian hukum lingkungan merupakan instrumentarium yuridis bagi pengelolaan lingkungan. Mengingat pengelolaan lingkungan dilakukan terutama oleh pemerintah, maka hukum lingkungan sebagaian besar terdiri atas hukum pemerintahan (bestuurs recht). Di samping hukum lingkungan pemerintah (bestuurs rechtelijk milieurecht) yang dibentuk oleh pemerintah pusat, ada pula hukum lingkungan pemerintahan yang berasal dari pemerintah daerah dan sebagian lagi dibentuk 122 Ibid Ibid 124 Koesnadi Hardjasoemantri. 2009. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hlm. 42 123 75 oleh badan-badan internasional atau melalui perjanjian dengan negara-negara lain. Demikian pula terdapat hukum lingkungan keperdataan (privaatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan ketatanegaraan (staatrechtelijk milieurecht), hukum lingkungan kepidanaan (strafrechtelijk milieurecht), sepanjang bidangbidang hukum ini memuat ketentuan-ketentuan yang bertalian dengan pengelolaan lingkungan hidup.Prof.Koesnadi Harjasoemantri lebih cenderung mempergunakan Hukum Tata Lingkungan sebagaimana diterangkan hukum lingkungan merupakan salah satu aspek dari hukum lingkungan yang mengatur penataan lingkungan guna mencapai keselarasan hubungan antara manusia dan lingkungan hidup, baik lingkungan hidup fisik maupun lingkungan hidup sosial.125. Menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum lingkungan hendaknya memiliki aspek-aspek sebagai berikut:126 1.Peran hukum menstrukturkan kepada kepastian dan ketertiban dengan mendasarkan kepada pertimbangan para ahli masing-masing sehingga perencanaan ekonomi dan pembangunan akan memperhatikan efek lingkungaan secara keseluruhan; 2. Pola perundang-undangan lingkungan dapat bersifat preventif dan represif, sementara mekanismenya dapat digunakan dengan berbagai instrument antara lain perizinan, insentif, dengan dan hukuman; 3. pendekatannya bisa bersifat sektoral seperti ertambangan, industri, pertanian, planologi, kota, kesehatan dan sebagainya. Pengertian hukum lingkungan patut dikaitkan pula pada pengaturan kemampuan dan pengembangan tata lingkungan hidup itu sendiri beserta keragaman sumber dayanya. Tekanan pengaturannya, bukan saja menyangkut interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya saja beserta sumber-sumber daya lingkungan, tetapi harus pula menyangkut interaksi antar sesame dalam pergaulan 125 126 Ibid.Hal.45 Siahaan. op.cit.hal.62 76 mempengaruhi lingkungan, supaya tercapai lingkungan hidup yang baik serta berlanjutan. Dengan menekankan factor-faktor ini, pada tujuannya kelak, hukum lingkungan hendaknya pula mengarah kepada tercapainya kondisi keserasian dan keseimbangan tata lingkungan, demi terwujudnya kesejahteraan manusia, bukan hanya ada generasi kini tetapi juga pada generasi mendatang.127 C. Perkembangan Hukum Lingkungan Perkembangan hukum lingkungan tidak dapat dipisahkan dari gerakan sedunia untuk memberikan perhatian lebih besar kepada lingkungan hidup, mengingat kenyataan bahwa lingkungan hidup telah menjadi masalah yang perlu ditanggulangi bersama demi kelangsungan hidup di dunia ini.128 Perhatian terhadap masalah lingkungan hidup ini mulai di kalangan Sewan Ekonomi dan Sosial PBB pada waktu diadakan peninjauan terhadap hasilhasil gerakan “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-I (1960-1970)” guna merumuskan strategi “Dasawarsa Pembangunan Dunia ke-II (1970-1980)“. Pembicaraan tentang masalah lingkungab hidup ini diajukan oleh Wakil Swedia pada tanggal 28 Mei 1968, disertai saran untuk dijajaki kemungkinan guna menyelenggarakan suatu konferensi internasional mengenai lingkungan hidup manusia.129 Pada tahun 1972 diadakan konferensi internasional pertama dan bersejarah di Stockholm, Swedia. Sejak itu negara-negara mulai sadar dan bangkit dalam menaruh perhatian besar dalam mengelola lingkungan termasuk penciptaan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai pelestarian hidup manusia, 127 Ibid Keosnadi Hardjasoemantri.Hukum Tata Lingkungan. op.cit. hal. 6 129 Ibid 128 77 penyusunan program-program untuk menanggulangi pencemaran, perusakan, dan pengurasan lingkungan.130 D. Perkembangan Hukum Lingkungan di Indonesia dan Beberapa Negara Lain. Perlu dilihat bagaimana usaha negara-negara di dunia dalam mengimplementasikan prinsip-prinsip baru dan menciptakan perundang-undangan nasional, regional, dan internasional dalam menanggulangi menurunnya mutu lingkungan nasional dan global. 1. Jerman Pemerintahan Federal Jerman (Barat) pada tahun 1970 membuat program-program mengenai lingkungan dan menyeluruh pada tahun 1972, padahal masa itu mereka sibuk dalam penanggulangan masala ekonomi dan energi. Pada waktu itu parlemen mengeluarkan undang-undang baru dan memperbaiki undang-undang lama mengenai lingkungan. Yang terpenting di antara undang-undang tersebut adalah undang-undang tentang perlindungan emisi, yang disempurnakan pada tahun 1976.131 Walaupun telah tercipta peraturan perundang-undangan mengenai lingkungan, namun masyarakat belum puas mengenai penegakan hukum lingkungan. Akan tetapi, usaha keras untuk meningkatkan upaya penegakan hukum tetap dilakukan. Upaya pertama adalah yang disebut penegakan hukum secara tidak langsung, yaitu pengawasan terhadap pengelolaan lingkungan melalui 130 131 Andi Hamzah. hal. 14 Ibid 78 partipasi dalam tata cara administrasi dan siding-sidang pengadilan. Cara yang kedua adalah penegakan hukum secara langsung melalui tindakan terhadap pencemaran lingkungan. Akan tetapi, karena pada umumnya penanggulangan pencemaran tergantung kepada tindakan pemerintah seperti perencanaan, penentuan wilayah dan pemberian izin, cara pertama yang dipandang lebih baik dan dilaksanakan.132 Di Jerman telah berkembang suatu pendapat agar diberikan penekanan penggunaan istrumen hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan. Mereka bahkan mendesak sesama anggota masyarakat Eropa agar penggunaan hukum pidana dalam penegakan hukum lingkungan diberi perhatian. Pada Kongres ke - 8 PBB yang diadakan di Havana, Kuba dalam tahun 1988 tentang Pencegahan Kejahatan dan Pembinaan Pelanggaran, Jerman menyerukan negara anggota, antara lain member wujud yang efektif kepada pidana yang menyangkut delik lingkungan. Dalam tahun 1980 diciptakan suatu bab baru dalam KUHP Jerman (Barat) berjudul Kejahatan Terhadap Lingkungan dari Pasal 324 sampai dengan Pasal 330d. Pasal-Pasal itu berturut-turut mengatur tentang pencemaran Air (Pasal 324); Pencemaran Udara dan Kebisingan (Pasal 325); Pembuangan Limbah yang membahayakan Lingkungan (Pasal 326).133 Usaha Jerman untuk meningkatkan penanggulangan pencemaran lingkungan tidak terbatas di dalam negeri, bahkan telah mendesak negara-negara Eropa agar menerapkan hukum pidana dalam menanggulangi pencemaran 132 133 Ibid Ibid 79 lingkungan. Dan juga mendesak PBB supaya hukum pidana diperbaiki masingmasing negara anggota agar lebih efektif. Usulan Jerman itu sejalan dengan pendapat peserta seminar ke-71 di Tokyo tahun 1986 yang menyatakan bahwa delik lingkungan merupakan kejahatan berdimensi baru sebagaimana halnya dengan kejahatan ekonomi, kejahatan white collar, narkotika, computer, korupsi, dan terorisme internasional.134 2. Kanada Usaha-usaha maju dari pemerintah Kanada yang juga sangat menonjol dalam penanggulangan pencemaran, perusakan, dan pengurasan lingkungan termasuk penciptaan perundang-undangan, sitem penegakan hukum lingkungan, dan kebijaksanaan yang menyeluruh. Di dalam negeri sendiri, Kanada telah berusaha menyusun program pengurangan pembuangan sulfur dioksida dengan 50 % sebelum tahun 1994. Juga akan berusaha menurunkan pembuangan nitrogen dioksida dari sumber-sumber bergerak lebih dari 45 % antara tahun 1989 dan tahun 2000. Pada tahun 1988 Kanada dan 24 negara lain menandatangani protocol sofia dengan tujuan menurunkan pembuangan gas tersebut.135 Pada tahun 1988 Parlemen Kanada telah menyetujui Undang-Undang tentang Perlindungan Lingkungan.Undang-Undang ini merupakan ini merupakan Undang-Undang payung untuk melindungi penduduk dari pencemaran bahan beracun. Kanada berbatasan Amerika Serikat melalui kerja sama dengan Amerika Serikat, Kanada telah meningkatkan pengawasan ketat terhadap pembuangan limbah seperti ke sungai Niagara. Mereka berusaha untuk mengurangi 134 135 Ibid. Hal. 17 Ibid. Hal. 18 80 pembuangan limbah berbahaya ke sungai tersebut sampai tahun 1996, sehingga hanya setengah dari bahan berbahaya dan berancun yang dibuang dari dua tepi sungai tersebut. Ketentuan administrasi negara merupakan bagian terbesar isi Undangundang Lingkungan Kanada, sedangkan ketentuan hukum pidana hanya sebagian kecil. Sebagaimna halnya dengan negara-negara lain, isi Undang-undang tersebut adalah hukum administrasi atau pemerintah karena mengandung ketentuan hukum pidana maka merupakan hukum pidana khusus. Dalam KUHP Kanada, dapat ditemukan ketentuan yang berkaitan dengan lingkungan, yaitu Pasal 180 KUHP tahun 1989, yaitu perbuatan menggangu umum dan membahayakan nyawa, keselamatan, dan kesehatan umum.136 3. India India adalah negara salah satu contoh mereka baru tersentak setelah terjadi malapetaka di pabrik Union Carbide (Tragedi Bhopal) yang terjadi pada 3 Desember 1984 dunia menyaksikan bencana kimiawi yang paling dahsyat paling sedikit 8.000 pekerja dan enduduk meninggal dunia dalam tiga hari pertama setelah terjadinya bencana kebocoran gas pada pablik Union Cardibe India Limited.137 2.000 ekor ternak, ribuan burung/unggas, dan juga kerusakan tanaman yang sanagat luas.138 Mendadak mereka menyusun Undang-undang lingkungan yang disebutkan environmental (protection) act 1986. Di dalam Undang-undang yang 136 Ibid Sutan Remy Sjahdeni. op.cit. Hal. 5 138 Andi Hamzah. op.cit. Hal. 20 137 81 baru ini diatur masalah pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan termasuk pengawasan ketat terhadap bahaya berbahaya (dangerous substances). 4. Republik Rakyat Cina RRC memasukkan pengaturan lingkungan secara mendasar ke dalam konstitusi tahun 1978, kemudian tahun 1982. Setelah delegasi RRC kembali dari konferensi di Stockholm, segera mereka mengadakan konvensi nasional mengenai perlindungan lingkungan. Pada bulan November 1973 mereka telah menciptakan peraturan perlindungan dan perbaikan lingkungan (untuk peradilan pidana).139 Sejak tahun 1979 RRC telah mengeluarkan beberapa undang-undang mengenai lingkungan, seperti Undang-Undang perlindungan lingkungan (Environmental rotection Law), Undang-Undang Pencengahan dan Pengawasan Pencemaran Udara (Law of the Prevention and Control of Air Polution). Berdasarkan perangkat Undang-undang sektoral ini, kantor lingkungan hidup memainkan peranan yang sangat besar. Kebijakan dasar lingkungan RRC bertumpu pada dua prinsip pokok berikut:140 a. Berdasarkan atas Environmental Protection Law 1979, digariskan bahwa yang menjadi prioritas utama adalah usaha preventif. Prinsip ini didasarkan kepada pemikiran bahwa lingkungan itu mudah dicemari tetai sulit untuk dikontrol, sistem ekologis mudah untuk dikontrol, sistem ekologis mudah untuk dikontrol, sistem ekologi tidak dapat dipulihkan atau diperbaiki lagi (irreparable). Dengan mengambil tindakan-tindakan terlebih dahulu, akan 139 140 Ibid Ibid 82 diperoleh hasil berlipat ganda dengan usaha hanya setengah. Juga akan menguntungkan dari segi ekonomi, sosial, dan lingkungan. b. Langkah kedua yang diambil oleh RRC adalah pengawasan yang diperketat berjalan bersama dengan tindakan preventif, karena bagaimana pun juga RRC adalah negara berkembang, yang pasti akan terus terjadi pencemaran lingkungan dan perusakan ekosistem. Sistem pengawasan ini didasarkan keada adagium, siapa pun yang mencemari berkewajiban untuk menghilangkanya. c. Usaha yang ketiga adalah di samping menghilangkan dan mencegah pencemaran lingkungan, juga memperbaiki dan melindungi alam d. Usaha yang keempat adalah perbaikan sistem manajemen lingkungan, bahwa usaha RRC untuk menangguangi pencemaran lingkungan cukum baik dan maksimum sesuai dengan kondisi dan perkembangan zaman. 5. Belanda Belanda termasuk negara yang paling maju dalam hal pengelolaan, pencegahan pencemaran dan perusakan lingkungan, begitu pula sistem perundang-undangan yang baik dan lengkap. Organisasi yang mengelola masalah lingkungan juga baik disertai dengan penegak hukum terampil dan cakap. Hal ini semua dipermudah oleh kesadaran lingkungan dan kesadaran hukum rakyat yang tinggi.141 Sejak 13 Januari 1979 Belanda sudah memiliki undang-undang paying untuk lingkungan yang dinamai Wet Algemene Bepalingen Milieuhygiene (Undang-Undang Ketentuan Umum Kesehatan Lingkungan) stbl. 442, yang telah 141 Ibid. Hal. 24 83 berkali-kali diubah dan terakhir pada tanggal 18 Januari 1990 stbl. 45. Undangundang ini merupakan peraturan administrasi, terutama berisi perihal perizinan. Tidak ada ketentuan pidana di dalamnya, melainkan ada ketentuan laporan dampak lingkungan, yang dapat disejajarkan dengan ketentuan Amdal di Indonesia.142 Ketentuan pidana lingkungan tercantum di dalam undang-undang sektoral. Undang-undang ketentuan umum kesehatan lingkungan ini dikaitkan (juga) pada undang-undang Tindak pidana Ekonomi (Wet op de Economische Delicten) khususnya pasal-pasal yang menyangkut ketentuan administratif. Disamping ada undang-undang yang dikaitkan dengan undang-undang tindak pidana ekonomi akan tetapi juga mempunyai ketentuan pidana sendiri misalnya undang-undang mengenai pencemaran udara. Disamping umumnya undang-undang di Belanda dimasukkan kedalam Tindak pidana Ekonomi (Wet op de Economische Delicten) dengan sendirinya saksinya bervariasi, yang mengandung pidana tambahan lebih banyak, sanksi tata tertib, dan wewenang jaksa yang lebih luas sehingga penyelesaian perkara lingkungan di Belanda memalui instrumen hukum pidana jauh lebih mudah dan lebih lancar daripada Indonesia yang tidak memasukkan delik lingkungan kedalam Undang-undang Tindak Pidana Ekonomi. Bahkan tidak memiliki undang-undang sektoral yang lengkap mengenai lingkungan. Di samping itu, Belanda menciptakan kementerian lingkungan yang berdiri sendiri, yaitu Ministerie van Volkshuisverting Ruimtelijke Ordening en Milliieubeheer (VROM) atau Kementerian Perumahan Rakyat, Tata Ruang, dan 142 Ibid 84 Pengelolaan Lingkungan. Kemeterian ini luas organisasinya, memiliki inspekturinpektur dan berwenang menyidik delik lingkungan dan juga pengawas. Kementerian Kesehatan Rakyat berwenang menyidik sekadar mengenai undang-undang yang menyangkut kesehatan rakyat. Polisi juga mempunyai bagian khusus yang terus-menerus patroli mengawasi dan menyidik delik lingkungan. Begitu pula ada jaksa khusus lingkungan di setiap kantor kejaksaan yang khusus pula dan menguasai bidang lingkungan secara luas. Jaksa lingkungan ini umumnya lebih senior dari jaksa lain. Universitas juga memiliki guru besar yang ahli di bidang hukum lingkungan baik yang jurusan perdata maupun yang jurusan administrasi dan hukum pidana. Ada pula politeknik yang khusus mendidik tenaga-tenaga untuk mengelola dan menegakkan hukum lingkungan. Belanda menciptakan atau menambah yang sudah ada rumusan delik lingkungan didalam KUHP (hukum pidana umum) pada tahun 1989. Undangundang KUHP Belanda Pasal 173a dan Pasal 173 b yang masing-masing merupakan delik sengaja dan kelalaian mirip dengan rumusan Undang-undang Pencemaran air permukaan (Wet Verontreiniging Oppervlaktewateren), Undangundang Bahan Limbah Kimia (Wet Chemischeafvalsoffen), Undang-Undang Bahan Limbah (Afvalstoffenwet), dan Undang-undang Bahan Membahayakan Lingkungan (Wet Millieugevaarlijke Stoffen). Akan tetapi, di dalam penjelasan undang-undang yang menambahkan Pasal 173a dan Pasal 173b KUHP itu, dikatakan bahwa ini perlu untuk melengkapi delik lingkungan di dalam KUHP di samping undang-undang yang termasuk tindak pidana ekonomi (WED)143 143 Ibid 85 Negeri Belanda jaksa mempunyai banyak pilihan dalam menyusun surat dakwaan misalnya terjadi pencemaran atau pembuangan limbah ke air permukaan (sungai, danau, telaga, parit, dan sebagainya). Apakah perbuatan itu melanggar ketentuan di dalam Pasal 173a atau Pasal 173b KUHP (delik umum/komun) ataukah Undang-undang pencemaran air permukaan, ataukah Undang-undang bahan limbah kimia, ataukah yang lain yang telah disebutkan sebelumnya. Dalam praktek ini dapat disusun secara alternatif (dakwaan alternatif). Sebenarnya ada perbedaan antara delik lingkungan yang di dalam KUHP itu dengan yang diluar KUHP yang di dalam KUHP dimaksud melindungi manusia khususnya kesehatan dan nyawa secara khusus, sedangkan yang diluar KUHP itu untuk melindungi lingkungan pada umumnya. Ancaman pidananya pun jauh berbeda, yaitu yang di dalam KUHP (Pasal 173a), yaitu memasukkan suatu bahan yang berbahaya ke tanah, udara, atau air permukaan yang membahayakan kesehatan atau nyawa manusia, diancam dengan pidana sampai 12 tahun, sedangkan yang dalam WED itu ada yang diancam dengan pidana maksimum 6 bulan penjara atau denda.144 6. Amerika Serikat Amerika serikat pun memiliki peraturan perundang-undang lingkungan baik yang bersifat induk (payung) maupun yang bersifat sektoral. Mula-mula mereka hanya mengandalkan hukum kebiasaan (Common law) untuk menanggulangi masalah lingkungan. Kemudian para politis, ilmuwan, dan kalangan bisnis serta pencinta lingkungan bahwa perlu diciptakan perangkat peraturan yang lebih baik dan lengkap. Perlindungan kepada lingkungan 144 Ibid 86 dipandang sebagai tujuan nasional yang memerlukan ahli ilmu pengetahuan, orientasi preventif, dan badan administrasi yang independen.145 Perangkat peraturan perundang-undangan lingkungan dimulai pada tahun 1969. Pada tahun itu diciptakanlah National Environmental Policy Act (NEPA). Dari Pasal 2 NEPA dapat dibaca kebijaksanaan nasional yang dituju. Pasal itu berbunyi: “Untuk mendeklasikan kebijaksanaan nasional yang akan memajukan keselarasan produktif dan menyenangkan antara manusia dan lingkungannya untuk mendorong usaha-usaha yang akan mencegah atau meniadakan kerusakan terhadap lingkungan dan biosfer, serta mendorong kesehatan dan kesejahteraan manusia, untuk meningkatkatkan pengertian mengenai sistem ekologis dan sumber alam yang penting bagi bangsa dan mendirikan majelis mengenai mutu lingkungan”146 Peraturan NEPA banyak yang dikendalikan oleh pemerintah Federal karena 1/3 tanah Amerika Serikat dimiliki dan dikontrol oleh Pemerintah Federal. Untuk mengeksplotasi tambang atau melakukan aktivitas perniagaan diperlukan izin dan untuk itu kalangan bisnis harus menaati ketentuan NEPA termasuk bisnis swasta jika modal federal dalam usaha swasta. NEPA ini dibagi atas dua titel. Titel kedua mengatur tentang diadakannya majelis mutu lingkungan (Council on Environmental Quality yang disingkat dengan CEQ), yang bermaksud untuk menjalankan undang-undang ini. CEQ bertanggungjawab untuk analisis kebijaksanaan lingkungan, mengumpulkan informasi dan mengeluarkan nasihat mengenai dasar kebijaksanaan, rekomendasi 145 146 Ibid. Hal. 27 Ibid 87 tentang kebijaksanaan lingkungan kepada Presiden, dan mengeluarkan laporan tahunan mengenai keadaan lingkungan. 7. Perkembangan Hukum Lingkungan Di Indonesia Hukum lingkungan Indonesia telah mulai berkembang semenjak zaman penjajahan Pemerintahan Hindia Belanda, tetapi hukum lingkungan pada masa itu bersifat atau berorientasikan pemakaian (use-oriented law). Hukum lingkungan Indonesia kemudian berubah sifatnya menjadi hukum yang berorientasikan tidak saja pada pemakaian, tetapi juga perlindungan (environment-oriented law). Perubahan ini tidak terlepas dari pengaruh lahirnya hukum lingkungan internasional modern, yang ditandai dengan lahirnya Deklarasi Stockholm 1972 (the Stockholm Declaration of 1972). Perkembangan hukum lingkungan Indonesia sangat dipengaruhi oleh hukum lingkungan Internasional.147 Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagai peraturan payung untuk lingkungan baru tercipta setelah lewat sepuluh tahun yaitu tahun 1982. Sekarang telah berubah dengan Undang-undang No 23 Tahun 1997. Bertumpu pada undang-undang ini, seharusnya dilanjutkan dengan penciptaan beberapa undang-undang sektoral dan juga peraturan pelaksanaan berupa peraturan pemerintah. Undang-undang yang telah tercipta adalah Undangundang No 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini pun memerlukan belasan peraturan pelaksanaan yang yang belum tercipta. 147 Sukanda Husin. 2009.Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. Hal.1 88 Perlu ditentukan dengan tegas dalam peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (yang sektoral) tentang kegiatan yang bagaimana dan jenis sumber daya tertentu mana yang pembuaat bertanggungjawab mutlak (Strict Liability atau Absolute Liability). Kalau kita bandingkan dengan Amerika Serikat, disana perbuatan yang dapat diterapkan Strict Liability adalah yang Ultra hazardous activity (aktivitas yang dapat menimbulkan kerusakan yang hebat).148 Jika telah ada kepastian mengenai hal tanggungjawab mutlak ini barulah dapat dilakukan gugatan perdata berdasarkan Pasal 34 UULH tersebut. Sebelumnya adanya kepastian berdasarkan peraturan perundang-undangan mengenai hal itu, maka penggugat atau korban hanya dapat menggugat berdasarkan Pasal 1365 BW, yang mengsyaratkan unsur kesalahan (schuld) baik karena kesengajaan maupun karena kelalaian tergugat yang harus dibuktikan oleh penggugat. a. Dari Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 ke Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Deklarasi Stockholm 1972, merupakan pilar dari perkembangan lingkungan internasional. Indonesia sebagai negara yang ikut mendatangani deklarasi ini harus mengimplementasikan ketentuan deklarasi tersebut dalam yuridiksinya. Sebagai tanda kepatuhan Indonesia kepada norma hukum internasional. Pemerintah mengundangkan Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya 148 Andi Hamzah, op.cit. 31 89 disingkat dengan UULH).149 UULH ini merupakan undang-undang pertama yang bersifat integral untuk melindungi lingkungan hidup Indonesia. UULH diundangkan sepuluh tahun setelah dikeluarkannya Deklarasi Stockholm. UULH merupakan ketentuan payung (umbrella act) bagi semua peraturan perundang-undangan pengelolaan lingkungan hidup. Ini berarti semua peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya lahirlah UULH masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan umbrella act dan begitu pula halnya dengan penyusunan peraturan perundang-undangan baru tidak boleh bertentangan dengan UULH. Dalam kurun waktu 15 tahun masa berlakunya, UULH mengalami banyak kendala dalam penegakan hukum (law enforcement). Banyak pakar hukum lingkungan melakukan studi tentang kelemahan-kelemahan UULH, yang menjadi kendala dalam penegakan hukum. Diantara kendala tersebut adalah kendala regulatif, institusional dan politis. Kendala regulatif merupakan kendala yang krusial. UULH terdiri atas 24 Pasal. Dari 24 Pasal yang ada, 16 Pasal membutuhka peraturan pelaksana. Tanpa pengaturan lebih lanjut (implementing regulations), UULH tidak akan efektif mengatasi persoalan lingkungan hidup.150 Di samping kendala yang diuraikan di atas, beberapa pasal dalam UULH masih membutuhkan perombakan dan perbaikan. Atas dasar pertimbangan itu, pemerintah mengundangkan Undang-Undang No 23 Tahun 1997 tentang 149 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UKPPLH), Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1982 No. 1 150 Sukandi Husin. op.cit. Hal.5 90 Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat dengan UUPLH)151 untuk menggantikan ULH. UUPLH mulai berlaku pada saat diundangkan, yakni pada tanggal 19 september 1997. UUPLH terbukti juga memiliki kelemahan yang dapat berpengaruh pada penegakan dan penataan hukum (law enforcement and compliance). Penyempurnaan UUPLH merupakan suatu keharusan dengan dilandasi berbagai alasan. Alasan pertama, adalah bahwa UUPLH sangat menonjolkan pemberdayaan masyarakat. Kedua adalah bahwa UUPLH belum sejalan dengan Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Terakhir, adanya keinginan komunitas lingkungan hidup, DPR RI, Pemerintah, Perguruan tinggi dal Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), untuk mengundangkan Undang-undang tentang Pengelolaan Sumber Daya Alam.152 Penyempurnaan UUPLH telah menjadi keputusan politik antara Pemerintah dan DPR RI sebagaimana tertuang dalam program Pembangunan Nasional (PROPENAS) sebagai landasan dan pedoman bagi pemerintah dan penyelengara negara lainnya melaksanakan pembagunan lima tahun. b. Pengaturan Lingkungan pada masa UULH UULH diundangkan pada tanggal 11 Maret 1982. Undang-undang ini merupakan ketentuan payung (umbrella act) bagi perlindungan lingkungan. Konsekuensinya, UULH tidak memuat aturan-aturan detail tentang penanganan suatu persoalan hukum lingkungan. UULH hanya memuat aturan umum tentang pengelolaan lingkungan hidup, seperti terlihat pada sistematika UULH hanya 151 Undang-undang No 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Lembaran Negara Republik Indonesia, tahun 1997 No. 58 152 Sukandi Husin.op.cit. Hal 6 91 memuat aturan umum tentang pengelolaan lingkungan hidup, seperti terlihat pada sistematika UULH sebagai berikut: Bab I : Ketentuan Umum Bab II : Asas dan Tujuan Bab III : Hak, kewajiban, dan wewenang Bab IV : Perlindungan Lingkungan Hidup Bab V : Kelembagaan Bab VI : Ganti Kerugian dan Biaya Pemulihan Bab VII : Ketentuan Pidana Bab VIII : Ketentuan Peralihan Bab IX : Ketentuan Penutupan Setelah diberlakukan selama 15 tahun, UULH dianggap mempunyai beberapa kekurangan dan kelemahan yang elementer sehingga tidak menopang upaya penegakan hukum (law enforcement). Misalnya, beberapa pasal yang ada dalam undang-undang ini tidak dapat dilaksanakan atau digunakan sebagai alat hukum (legal tool) untuk menjaga kelestarian lingkungan hidup dan untuk mencegah terjadinya kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup. Konsekuensinya, upaya menciptakan pembagunan berkelanjutan (sustainable development) tidak bisa tercapai.153 Di antara kekurangan yang terdapat dalam UULH berkisar pada masalah kelembagaan, peran serta masyarakat, lembaga swadaya masyarakat (LSM), perizinan, sanksi administrasi, ganti kerugian dan ketentuan pidana. Di samping 153 Ibid 92 itu, perkembangan dan teknologi ikut melengkapi kekurangan dan kelemahan yang ada. Misalnya, pada waktu UULH dibuat, masalah audit lingkungan belum dibicarakan. Contoh lain adalah masalah bahan berbahaya beracun yang baru mulai dibicarakan setelah dikeluarkan Konvensi Basel 1993. c. Pengaturan Lingkungan Pada Masa UUPLH No. 23 tahun 1997 Pada tanggal 19 September 1997, secara resmi kita memiliki undangundang baru di bidang pengelolaan lingkungan hidup, yaitu undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup atau disingkat UUPLH. Seperti dinyatakan oleh wakil Pemerintah, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Ir. Sarwono Kusumaatmadja dalam Rapat Paripurna Terbuka DPR RI tertanggal 22 Agustus 1997, RUUPLH yang dihasilkan DPR RI (dibandingkan RUU yang diajukan Pemerintah) telah mengalami perubahan dan penyempurnaan yang cukup substansil. Tidak hanya dari jumlah pasal, yakni dari 45 pasal menjadi 52 pasal, namun juga beberapa hal prinsip mengalami perubahan seperti perubahan pada pasal kelembagaan, termasuk kewenangan Menteri Negara Lingkungan Hidup, impor limbah B3, hak-hak prosedural seperti hak gugat organisasi lingkungan (LSM), dan pencatuman dasar hukum bagi gugatan perwakilan (class action). Dibandingkan dengan UULH yang digantikanya yang hanya berjumlah 24 pasal, UUPLH memiliki 52 pasal dan 99 ayat. Jumlah pasal yang bertambah banyak dapat mengindikasikan bahwa undang-undang ini lebih rinci dan mengatur hal-hal baru yang sebelumnya tidak diatur.154 154 Ibid 93 Dengan pengundangan UUPLH, seberapa positif implikasi UUPLH terhadap pemberdayaan penegakan hukum lingkungan. Sangat relevan karena kunci kelemahan kita dalam upaya pengelolaan lingkungan sesungguhnya adalah penegakan hukum. Semenjak UULH diundangkan sampai akhirnya dicabut, penegakan hukum merupakan titik kelemahan kita dalam melakukan upaya pengelolaan lingkungan hidup. Berdasarkan pengalaman Indonesia selama lima belas tahun dalam melaksanakan UULH, ketidakberdayaan penegakan hukum lingkungan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh faktor yang bersifat struktural dibandingkan dengan persoalan teknis (misalnya teknis pembuktian dan kurang terampilnya penegak hukum). Walaupun kendala teknis merupakan masalah penting untuk diatasi, namun kehadiran kendala struktural yang dominal dapat menegasikan (negate) pembenahan kendala teknis yang telah dilakukan. Terdapat dua kendala struktural yang paling utama yang mengakibatkan tidak berfungsinya penegakan hukum lingkungan di Indonesia, yaitu:155 a. Masih dominanya pemikiran di kalangan penentu kebijaksanaan yang mempertentangkan antara pembagunan dan lingkungan b. Belum sepenuhnya tercipta good governance yang memustahilkan penegakan hukum lingkungan yang efektif 155 Ibid 94 Harmonisasi pembangunan dan lingkungan dalam format paradigma pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang tercermin dalam dokumen-dokumen internasional, kenegaraan, dan pemerintah seperti Deklararasi Rio, Agenda 21 Nasional, belum dipahaminya benar oleh mayoritas pengambilan keputusan, baik di tingkat pemerintah pusat maupun di daerah. Pemikiran yang mempertentangkan pembangunan dan lingkungan ini sangatberpengaruh terhadap pola tindak pemerintah yang berfungsi mengatur serta mengawasi seluruh kegiatan pembagunan yang berdampak terhadap lingkungan hidup.156 Permasalahan struktural kedua adalah belum terciptanya aparat birokrasi yang bersih dan berwibawa. Banyak contoh yang dapat dikemukakan bahwa tidak terciptanya pengawasan yang baik dan konsisten dikarenakan “kedekatan” antara yang mengawasi (regulator) dan yang diawasi (regulatee) yang melahirkan sikap membiarkan pelanggaran. Dalam memecahkan persoalan penegakan hukum lingkungan, sumber daya pemerintah selama ini lebih banyak diarahkan kepada upaya untuk mengatasi kendala tehnis. Pemecahan persoalan yang lebih terfokus pada kendala teknis menyebabkan masalah penegakan hukum lingkungan sampai dengan teknis terkesan berjalan ditempat karena masalah pokok yang sesungguhnya adalah pemecahan kendala struktural.157 Untuk mengatasi kendala struktural dalam penegakan hukum, masyarakat memiliki peranan yang sangat penting melalui pengaktualisasian 156 157 Ibid Ibid 95 peran serta aktif dan kritis sehingga mampu menciptakan pengawasan (control) dan tekanan (pressure). Pengajuan aksi hukum (legal action) melalui pengadilan adalah cara-cara yang sah sekaligus non-violence yang dapat terus dilakukan oleh masyarakat dalam mengatasi kendala struktural penegakan hukum lingkungan.158 Dibidang penyelesaian sengketa di pengadilan terdapat tiga hak prosedural yang sangat penting yang dapat didayagunakan masyarakat, yaitu:159 a. Pemberlakuan prinsip tanggung jawab mutlak (strict liability) b. Hak organisasi lingkungan (LSM lingkungan) untuk menggugat atas nama kepentingan perlindungan lingkungan hidup (standing right) c. Gugatan perwakilan (representative/class action) apabila terjadi massa accident sebagai suatu cara mengembangkan peradilan cepat, murah, dan praktis Ketiga hak prosedural di atas merupakan hak-hak dalam hukum lingkungan modern yang hanya diakui oleh negara-negara Amerika Utara dan Eropa. Di Asia, hanya sedikit negara yang mengakui ketiga hak prosedural ini, antara lain Filipina, India dan kini Indonesia. Ketiga hak prosedural ini pun memberikan kemudahan bagi pencari keadilan dan lembaga swadaya masyarkat untuk memperjuangkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan melalui jalur pengadilan. 158 159 Ibid Ibid 96 d. Pengaturan Lingkungan lahirnya UUPPLH No. 32 tahun 2009 Dalam UUPPLH pada poin menimbang huruf f, perubahan UUPLH No.23 tahun 1997 dirubah dalam UUPPLH yang baru agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem, perlu dilakukan pembaharuan terhadap UU No.23 tahun 1997. Untuk menjamin kepastian hukum tersebut, ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH lebih lengkap bila dibandingkan dengan UULH maupun UUPLH. Karena pada UULH tersebut hanya mengatur tentang delik materiel saja. Sementara dalam UUPLH selain mengatur tentang delik materiel mengatur pula delik formil. Sedangkan pada UUPPLH lebih terperinci delik yang dilakukan, serta kriminalisasi terhadap pejabat AMDAL tidak memiliki kualifikasi atau tanpa sertifikasi mengeluarkan izin AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL,UPL. Demikian pula pejabat pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu usaha melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya memberi informasi palsu, menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan dalam pengawas dan penegakan hukum juga dapat dipidana.160 Ketentuan pidana dalam UUPPLH yang baru sebagaimana telah diuraikan diatas tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic crimes) atau delik materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 98 160 Syahrul Machmud.op.cit. Hal.217 97 ayat (2,3), 99 ayat (2,3) dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1), 99 ayat (1) sampai 109. e. Hukum Lingkungan dalam Otonomi Daerah Pembangunan ekonomi, di samping menimbulkan manfaat berupa peningkatan taraf hidup masyarakat, dapat juga menimbulkan kerugian ekonomis melalui kemerosotan mutu lingkungan, melalui pencemaran dan perusakan lingkungan bila dilaksanakan tanpa memasukkan pertimbangan lingkungan dalam perencanaan kegiatan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan umumnya terjadi karena tidak dimasukkanya pertimbangan lingkungan (environmental Considerations) dalam perencanaan kegiatan.161 Dalam mengatasi pembangunan ekonomi yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan, masyarakat internasional melalui Deklarasi Rio 1992, sepakat melaksanakan pembangunan berkelanjutan (sustainable development). Prinsip ini hanya membolehkan pembangunan bila tidak menimbulkan kerusakan atau pencemaran lingkungan, yang dapat menimbulkan kerugian pada hak generasi yang akan datang. Undang-undang No 23 Tahun 1997 mengesahkan prinsip pembangunan berkelanjutan sebagai norma hukum yang harus dipatuhi oleh setiap orang termasuk pemerintah. Pelaksanaan pembangunan berkelanjutan di Indonesia 161 Ibid 98 dilaksanakan oleh pemerintah pusat, yaitu melalui Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Sekarang sudah dilikuidasi melalui Keppres No 2 Tahun 2002). Dengan berlakunya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, sebagian besar keenangan pengelolaan lingkungan dan pelaksanaan pembangunan berkelanjutan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah. Pengelolaan lingkungan di Indonesia bersifat Sentralistik. Namun, dengan berlakunya Undang-Undang No 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah terjadi pergeseran kewenangan pengelolaan lingkungan dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 7 ayat (1) UndangUndang No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah “ semua kewenangan dalam bidang pemerintahan adalah kewenangan daerah kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan di bidang lain” Berdasarkan Pasal 7 ayat (1), kewenangan pengelolaan lingkungan hidup menjadi kewenangan daerah. Adapun yang menjadi kewenangan pemerintah pusat dalam pengelolaan lingkungan hidup hanya berupa kewenangan yang bersifat universal. Kewenangan tersebut adalah:162 162 Peraturan Pemerintah RI No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom, Lembaran Negara R.I Tahun 2000 Nomor 54, Pasal 2 ayat (3) butir 18 99 1. Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan pelestarian lingkungan. 2. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumber daya laut di luar 12 mil laut. 3. Penilaian amdal bagi kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas dan/atau menyangkut pertahanan dan keamanan yang bersifat lintas batas provinsi dan negara. 4. Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan pedoman tentang pencemaran lingkungan. 5. Penetapan pedoman tentang konserbasi sumber daya alam. Dengan berpindahnya kewenangan pengelolaan lingkungan hidup dari pemerintah pusat ke daerah, ada kecemasan bahwa kemerosotan mutu lingkungan akan terjadi.163 Ini disebabkan oleh dua hal. pertama. karena adanya kecenderungan bahwa pemerintah daerah berusaha mengejar Pendapatan Asli Daerah (PAD), untuk itu penyelamatan lingkungan menjadi terabaikan. Kedua, Pemerintah daerah tidak siap dengan SDM untuk melakukan pengelolaan lingkungan guna menciptakan pembangunan berkelanjutan. Kecemasan di atas dapat ditangkal bila pemerintah daerah melakukan upaya peningkatan kapasitas SDM dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup yang proaktif, efektif dan efisien, dan menciptakan pemerintahan yang baik (good governance). Good governance hanya bisa dicapai apabila pemerintah 163 Ibid 100 dalam melaksanakan tugasnya berpedoman kepada konsep rule of law, yang mempunyai lima karakteristik sebagai berikut:164 1. Pemerintah melaksanakan kewenangannya berdasarkan supremasi hukum 2. Pemerintah menjamin kepastian hukum 3. Pemerintah harus menciptakan hukum yang rsponsif yang mampu menyerap aspirasi masyarakat 4. Pemerintah harus melaksanakan hukum secara konsisten dan nondiskrinatif melalui penciptaan mekanisme menjalankan sanksi 5. Pemerintah harus menciptakan dan menjamin terlaksananya independensi peradilan 164 Sukanda Husin. Op.cit. Hal. 101 101 BAB III RUANG LINGKUP PENCEMARAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK HUKUM A. Pengertian Korporasi Korporasi merupakan istilah yang biasa digunakan oleh para ahli hukum pidana dan kriminologi untuk menyebut apa yang dalam bidang lain, khususnya bidang hukum perdata sebagai badan hukum, atau dalam bahas Belanda disebut rechtspersoon atau dalam bahasa Inggris dengan istilah legal person atau legal body.165 Istilah “korporasi” selaku subjek atau pelaku tindak pidana di Indonesia secara resmi baru muncul atau dipakai dalam beberapa undang-undang tindak pidana khusus yang belakang dibuat, misalnya dalam Undang-undang No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika, Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimna telah diubah dengan Undangundang No 20 Tahun 2001, dan Undang-undang No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No 25 Tahun 2003.166 Secara etimologis, pengertian korporasi yang dalam istilah lain dikenal dengan corporatie (Belanda), corporation (Inggris), korporation (Jerman), berasal dari bahasa latin yaitu “corporatio”. “Corporatio” sebagai kata benda (subatantivum) berasal dari kata kerja“coporare” yang banyak dipakai orang pada jaman abad pertengahan atau 165 166 Setiono. op.cit. hal. 2 Sutan Remi Sjahdeini. 2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Grafiti Pers. Jakarta. Hal. 41 102 sesudah itu. “Corporare” sendiri berasal dari kata “corpus” (badan), yang berarti memberikan badan atau membadankan. Dengan demikian, maka akhirnya “corporatio” itu berarti hasil dari pekerjaan membadankan, dengan kata lain badan yang dijadikan orang, badan yang diperoleh dengan perbuatan manusia sebagai lawan terhadap badan manusia, yang terjadi menurut alam”.167 Sutan Remy Sjahdeini168 membagi korporasi menjadi 2 yaitu korporasi dalam artinya yang sempit, korporasi adalah badan hukum. Dalam artinya yang luas korporasi dapat berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam artinya yang sempit, yaitu sebagai badan hukum, korporasi merupakan figur hukum yang eksistensi dan kewenangannya untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum diakui oleh hukum perdata. Artinya, hukum perdatalah yang mengakui “eksistensi” korporasi dan memberikannya “hidup” untuk dapat atau berwenang melakukan perbuatan hukum sebagai suatu figur hukum. Demikian juga halnya dengan “matinya” suatu korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” secara hukum apabila “ matinya” korporasi itu diakui oleh hukum. Eksistensi suatu korporasi sebagai badan hukum bukan muncul begitu saja. Artinya, bukan muncul demi hukum. Korporasi sebagai badan hukum bukan ada dengan sendirinya, tetapi harus ada yang mendirikannya, yaitu oleh pendiri atau pendiri-pendirinya yang menurut hukum perdata diakui memiliki kewenangan secara hukum untuk dapat mendirikan koporasi. Menurut hukum perdata, yang diakui memiliki kewenangan hukum untuk dapat mendirikan 167 Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. PT. Pembagunan: Jakarta. hal. 83 168 Sutan Remy Sjahdeini. op.cit. 43 103 korporasi adalah orang (manusia) atau natural person dan badan hukum atau legal person. Demikian juga dalam hal “matinya” suatu korporasi. Suatu korporasi hanya “mati” apabila dinyatakan “mati oleh hukum perdata, yaitu tidak lagi “ada” (eksistensinya berakhir) sehingga karena “tidak ada” lagi, maka dengan demikian tidak dapat lagi melakukan perbuatan hukum. Dalam istilah hukum dikatakan bahwa korporasi yang mati itu “bubar” Matinya atau bubarnya suatu korporasi dapat terjadi demi hukum atau dibubarkan. Matinya atau bubarnya korporasi dapat terjadi karena:169 1. Jangka waktu pendirinya telah sampai, sedangkan para pendirinya tidak memperpanjang “usia” dari koporasi itu; bubarnya korporasi yang demikian ini disebut bubar demi hukum 2. Dibubarkan oleh para pendirinya atau oleh para pemegang saham (berdasarkan keputusan RUPS) 3. Dibubarkan oleh pengadilan berdasarkan putusan pengadilan atas pertimbangan-pertimbangan hukum yang diambil oleh hakim atau majelis hakim yang memeriksa perkara tersebut; atau 4. Dibubarkan oleh undang-undang Dilihat dari bentuk hukumnya, hukum pidana Indonesia memberikan pengertian korporasi dalam arti yang luas. Menurut hukum pidana Indonesia, pengertian korporasi tidak sama dengan pengertian korporasi dalam hukum 169 Ibid 104 perdata. Pengertian korporasi menurut hukum pidana lebih luas daripada pengertiannya menurut hukum perdata. Menurut hukum perdata, subjek hukum, yaitu yang dapat berwenang melakukan perbuatan hukum dalam bidang hukum perdata, misalnya membuat perjanjian, tediri atas dua jenis, yaitu orang perseorangan (manusia atau natural person) dan badan hukum (legal person).170 Namun dalam hukum pidana, pengertian korporasi tidak hanya badan hukum. Dalam hukum pidana, korporasi meliputi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum maupun bukan badan hukum. Bukan saja badan-badan hukum seperti perseroan terbatas, yayasan, koperasi, atau perkumpulan yang telah disahkan sebagai badan hukum yang digolongkan sebagai korporasi menurut hukum pidana, tetapi juga firma, perseroan komanditer atau CV, dan persekutuan atau maatschap, yaitu badan-badan usaha yang menurut hukum perdata bukan suatu badan hukum. Sekumpulan orang yang terorganisasi dam memiliki pimpinan dn melakukan perbuatan-perbuatan hukum, misalnya melakukan perjanjian dalam rangka kegiatan usaha atau kegiatan sosiaal yang dilakukan oleh pengurusnya untuk dan atas nama kumpulan orang tersebut, juga termasuk ke dalam apa yang dimaksudkan dengan korporasi. Dalam Rancangan KUHP tahun 1987/1988, korporasi dalam Buku I Pasal 120 diberi pengertian sebagai berikut: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi orang atau kekayaan baik merupakan badan hukum atau pun bukan”171 170 171 Ibid Lihat Direktorat Pembinaan Hukum Nasional, Rancangan KUHP Baru 1987/1988. Buku I. 1987. hal. 80 105 Sudah sejak 1987 korporasi di dalam pemikiran para ahli hukum pidana, tidak hanya diartikan badan hukum seperti pengertian korporasi dalam hukum perdata, tetapi juga yang bukan badan hukum. RUU KUHP172 memberikan pengertian korporasi sebagai mana dimaksud dalam Pasal 166 sebagai berikut: “Korporasi adalah kumpulan terorganisasi dari orang dan/atau kekayaan, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum”. Definisi mengenai apa yang dimaksud dengan korporasi adalah sehubungan dengan ketentuan pasal sebelumnya, yaitu Pasal 165, yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan “setiap orang” adalah “termasuk korporasi” Pendirian bahwa korporasi dalam pengertian hukum pidana bukan hanya terbatas pada badan hukum seperti halnya pendirian hukum perdata, tetapi juga non-badan hukum yang bukan orang perseorangan sebagaimana dianut dalam Rancangan Undang-undang KUHP 1987/1988, Rancangan Undang-undang KUHP 1999-2000, dan terakhir dalam Rancangan KUHP 2004 tampak pula dalam berbagai peraturan perundang-undangan pidana Indonesia yang dibuat belakangan. Artinya, menurut hukum pidana Indonesia, yang dimaksud dengan korporasi bukan badan hukum saja, tetapi juga bukan badan hukum. 173 Dalam Undang-undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup definisi korporasi terdapat dalam Pasal 1 ayat 32 menyatakan: 172 Lihat Badan Pembinaan Hukum Nasional. Rancangan Peraturan Perundang-undangan. Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia. 2004. 173 Sutan Remy Sjahdeini. op.cit.hal. 46 106 “Setiap orang adalah perseorangan atau badan usaha, baik yang berbadan hukum maupun yang tidak berbadan hukum”. Menurut Wirjono Projodikoro, pendapatnya mengenai pengertian korporasi dengan menyatakan pendapatnya bahwa : Korporasi adalah suatu perkumpulan orang, dalam mempunya kepentingan adalah orang-orang yang korporasi itu, anggota mana juga memiliki kekuasaan berupa rapat anggota sebagai alat kekuasaan yang korporasi.174 korporasi biasanya yang merupakan anggota dari dalam peraturan korporasi tertinggi dalam peraturan Perkembangan perundang-undangan khusus di luar KUHP Pidana, khususnya tentang subjek hukum pidana, yaitu korporasi, perumusanya lebih luas bila dibandingan dengan pengertian korporasi menurut hukum perdata, menurut hukum pidana pengertian korporasi bisa berbentuk badan hukum dan tidak berbadan hukum. B. Sejarah dan Latar Belakang Korporasi sebagai Subjek Hukum Pidana Asal mula korporasi sampai sekarang masih menjadi persoalan, akan tetapi pada masyarakat yang primitif dengan karakteristik hidup dalam suatu kelompok (group), sebenarnya sudah dikenal perbedaan individu yang terlepas dari suatu kelompok masyarakat. Pada zaman dahulu perkembangan korporasi berupa pembentukan kelompok yang terjadi seperti dalam masyarakat asia kecil, yunani, dan masyarakat Romawi. Dalam perkembangannya, kelompok-kelompok tersebut di romawi membentuk suatu organisasi yang banyak hal mirip fungsinya dengan korporasi seperti yang sudah kita kenal sekarang. Bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum, keagmaan, militer, dan perdagangan. 174 Chidir Ali.1991. Badan Hukum. Alumni.Bandung. hal.74 107 Organisasi ini memiliki kekayaan yang terpisah dari anggotanya. Pada masa ancient time ini mulai dikenal perbedaan kedudukan individu dalam organisasi dan kedudukan individu yang terlepas dari organisasi.175 Pada abad pertengahan dengan ditandai mulai menurunnya kekuasaan Romawi, dan perdagangan pun mulai suram karena pada masa itu orang tidak mungkin melakukan suatu usaha/perdagangan tanpa didukung oleh perlindunganan militer dan tertib sosial. Sehingga pada masa itu di Eropa perkembangan korporasi ditandai dengan adanya Dewan Gereja yang dipengaruhi oleh Romawi. Gereja ini memiliki kekayaan yang terpisah dengan kekayaan para anggotanya dan berbeda dengan subjek hukum manusia. Gereja sebagai suatu korporasi memberikan suatu sumbangan yang sangat besar terhadap the concept of corporate personality, yaitu dalam bentuk kota praja yang dapat menyelenggarakan pemerintahan secara umum. Pada abad ini (abad XIV) mulai dikenal apa yang disebut quasi corporate character dengan adanya kota praja.176 Perkembangan korporasi pada permulaan zaman modern dipengaruhi oleh bisnis perdagangan yang sifatnya makin kompleks. Misalnya, Inggris sejak abad XIV sudah menjadi pusat perdangan wol dan tekstil yang diekpor ke daratan Eropa. Pada tahun 1599 dibentuk The English East India Company dan diresmikan oleh Ratu Elisabeth I pada tahun 1600. Sebelumnya ditandai dengan didirikan beberapa usaha dagang di beberapa Negara seperti The Muscovy Company pada tahun 1555, merupakan wadah usaha dagang bangsa Rusia. Pada tahun 1581 dibentuk The Turkey or Levant Company sebagai usaha dagang 175 176 Muladi.et.ad.hal. hal.35 Ibid 108 bangsa Turki. Pembentukan beberapa usaha dagang/perusahaan ini merupakan embrio korporasi pada zaman sekarang ini.177 Pada zaman Raja James I (1566-1625) di Inggris mulai dikenal korporasi sebagai subjek hukum (legal person), yang berbeda dengan manusia.178 Akan tetapi, bentuk korporasi merupakan awal dari bentuk korporasi yang bersifat modern di Inggris dikenal dengan nama Hudson’s Bay Company yang diresmikan oleh Raja Inggris pada tahun 1670, yang beroperasi di Kanada, yang mempunyai hak monopoli di bidang perdagangan sebagai salah satu sumber dana pemerintah colonial Inggris. Dengan adanya perkembangan akibat Revolusi Inggris di Inggris, maka perkembangan di bidang teknologi industri pemintalan benang dan revolusi di bidang tenaga dengan ditemukannya mesin uap, maka diperlukan suatu modal yang besar dengan organisasi yang mapan serta perangkat hukum yang memadai, maka pada tahun 1855 mulai dikenal adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi. Pada tahun 1862, korporasi memakai nama untuk asosiasinya dan di belakang nama tersebut sebagai tanda adanya pembatasan terhadap pertanggungjawaban korporasi dicantumkan kata “limited”.179 Di Amerika tahun 1795, tepatnya di North Carolina, didirikan korporasi yang pendiriannya didasarkan kepada prinsip hukum yang berlaku pada waktu itu, yang bergerak di bidang penyelenggaraan kepentingan umum. Di Massachusetts pada tahun 1799 berbentuk korporasi di bidang penyediaan air bersih. Baru pada tahun 1811 di New York menjadi negara bagian yang pertama kali 177 Ibid Ibid 179 Ibid 178 109 memperkenalkan korporasi yang bersifat umum yang bergerak di bidang manufaktur. Perancis baru memasukkan korporasi dalam kodifikasi Code de Commerce pada tahun 1807. Bagaimanapun juga, karena Perancis pernah menjajah Belanda, maka jika kita hubungkan dengan pembuatan rancangan W.v.K. Nederland yang dibuat pada tahun 1809 atau tanggal 8 Juli 1809 dan kodifikasi Code de Commerce Perancis yang dibuat pada tahun 1808. Tampaknya waktunya sangat berdekatan dan dalam hubungan sebagai suatu Negara yang dikuasai Perancis akan tercermin di dalam W.v.K. Nederland tersebut, yang mana sistem dan isi W.v.K Nederland secara nyata mengacu pada Code de Commerce dan Code de La Marize.180 Dengan asas konkordasi maka setiap perkembangan W.v.K. Nederland memiliki pengaruh di Ned. Indie seperti halnya tentang ketentuan mengenai maatschap, dan kata maatschap sejenis pula dengan kata “societas” dari Romawi, yang terkenal dengan sejarah hukum Romawi Lama dengan Romainse Socientas. Pada abad XIII dan XIV pada kota-kota di bagian utara Italia terdapat dua bentuk kontrak kerja sama (samenwerkingscontracten), yang agak berbeda dengan hukum Romawi Lama dengan societas, yaitu disebut “Commanditaire Vennotschap” dan “Vennotschap onder Firma”, baik di Indonesia maupun di Belanda sampai sekarang ini (di Indonesia) dan diatur di dalam W.v.K (KUH Dagang) dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 KUH Dagang). 180 Ibid 110 Pada permulaan abad XVII terjadi perkembangan atas pengaruh semakin meluasnya perdagangan pelayanan ke Indonesia di mana banyak yang menanamkan modalnya pada perusahaan pelayanan dengan cara meminjam uang (geldschieters) dengan sistem kepercayaan (toevertrouwen). Dalam tahun 1602 termasuk VOC. Sesudah tahun 1838, bentuk badan usaha CV maupun Firma dan NV masing-masing diatur dalam Pasal 56 KUH Dagang secara berturut-turut karena perkembangan perekonomian mengalami banyak perubahan kecuali bentuk CV. Disamping itu, berkembang pula perusahaan pemerintah sejak tahun 1925 yang didirikan berdasarkan I.C.W Stb. 1925 Nomor 106 dan seterusnya dengan I.B.W. Stb. 1927 Nomor 419. Kedua peraturan ini setelah Indonesia merdeka mengalami perubahan dan diadakan pembaruan disesuaikan dengan situasi dan kondisi Indonesia merdeka, tetapi pada dasarnya tidak mengalami perubahan yang prinsipiil kecuali lebih disederhanakan prosedur kerjanya dengan Undang-undang No. 3 Tahun 1954, L.N. No. 6 tahun 1954 jo. Undang-undang Nomor 12 tahun 1955 L.N. 49 Tahun 1955.181 Perusahaan pemerintah yang modalnya sebagian ikut serta dalam suatu perusahaan terdapat pula dalam bentuk perseroan terbatas atau NV yang tunduk pada hukum perdata dan dagang. Sesudah perusahaan-perusahaan milik Belanda dikenakan nasionalisasi dengan UU Nasionalisasi No. 86 Tahun 1958, L.N. 162 Tahun 1985. Dewasa ini, sejalan dengan Undang-undang No. 19 Tahun 2003 bentuk BUMN (Badan Usaha Milik Negara) hanya ada dua macam, yaitu perusahaan perseroan (persero) dan perusahaan umum (Perum). 181 Ibid 111 Demikianlah sejarah korporasi yang akhirnya menjadi subjek hukum di samping subjek hukum manusia. Dalam perkembangannya korporasi ternyata tidak hanya bergerak di bidang kegiatan ekonomi saja, akan tetapi sekarang ini ruang lingkupnya sudah mulai luas karena dapat mencakup bidang pendidikan, kesehatan, riset, pemerintah, sosial, budaya, dan agama. Perkembangan itu sendiri tidak dapat lepas dari peranan perkembangan teknologi itu sendiri, dan perkembangan korporasi dimulai sejak pertengahan abad XVIII ditandai terjadinya perubahan di bidang ekonomi. Dengan demikian sejak Revolusi Industri di Inggris, peranan teknologi dalam sekarah perkembangan korporasi merupakan pengaruh yang sangat fundamental (fundamental influence) dalam rangka pertumbuhan korporasi itu sendiri. Atas dasar itu, ternyata peranan korporasi makin penting sebagaimana dalam kogres PBB VII dalam tahun 1985 telah dibicarakan jenis kejahatan dalam tema “dimensi baru kejahatan dalam konteks pembangunan”, dengan melihat gejala kriminalitas merupakan suatu kelanjutan dari kegiatan dan pertumbuhan ekonomi di mana korporasi banyak berperan di dalamnya, seperti terjadinya penipuan pajak, kerusakan lingkungan hidup, penipuan asuransi, pemalsuan invoice yang dampaknya dapat merusak sendi-sendi perekonomian suatu negara. Karena perkembangan dan pertumbuhan korporasi dampaknya dapat menimbulkan efek negatif, maka kedudukan korporasi mulai bergeser dari subjek hukum biasa menjadi subjek hukum pidana. Menurut J.E. Sahetapy dalam penelitiannya pada 1988 tentang permasalahan pidana denda dalam hukum adat kita menyatakan: “Soepomo… menulis bahwa di beberapa daerah di kepulauan Indonesia, sering kali terjadi bahwa kampung si penjahat atau kampung terjadinya suatu 112 pembunuhan atau pencurian terhadap orang asing, kewajiban membayar denda atau kerugian kepada golongan familinya orang yang dibunuh atau yang kecurian. Jadi, pidana terhadap kolektivitas atau untuk masa kini korporasi bukanlah suatu yang baru bagi kita Indonesia”.182 Penempatan korporasi sebagai subjek dalam hukum pidana tidak lepas dari modernisasi sosial, menurut Satjipto Rahardjo, modernisasi sosial dampaknya pertama harus diakui, bahwa semakin modern masyarakat itu semakin kompleks sistem sosial, ekonomi, dan politik yang terdapat di situ, maka kebutuhan akan sistem pengendalian kehidupan sosial tidak dapat lagi diserahkan kepada pola aturan yang santai, melainkan dikehendaki adanya pengaturan yang semakin rapi terorganisasi, jelas dan terperinci. Sekalipun cara-cara seperti ini mungkin memenuhi kebutuhan kehidupan masyarakat yang semakin berkembang namun persoalan-persoalan yang ditimbulkan tidak kurang pula banyaknya.183 Sedangkan Sudarto sehubungan dengan masalah dapat dipidananya korporasi menyatakan: “Saya tidak akan menyangkal kemungkinan peranan korporasi di kemudian hari, akan tetapi saya ingin mengetahui selama berlakunya Undang-undang Tindak pidana Ekonomi yang hampir 20 tahun itu (sekarang hampir 54 tahun). Berapa korporasi yang telah dijatuhi pidana. Sayang sekali tidak dapat dijumpai angkaangka yang bisa dijadikan dasar untuk mengadakan perkiraan untuk masa depan. Angka-angka ini dapat memberikan petunjuk sampai di mana kebutuhan akan perluasan pertanggungjawabab dari korporasi. Kalau pada detik-detik yang termasuk hukum pidana khusus itu kenyataannya tidak hanya pemidanaan yang dikenakan kepada korporasi, apakah perluasaan itu memang diperlukan? Kalau aturan itu nanti betul-betul diterima maka Indonesia akan tergolong Negara maju sangat maju di seluruh dunia di bidang ini”.184 182 J.E. Sahetapy. Kejahatan Korporasi Ditinjau dari Sudut Kriminologi. Makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi 23- 24 November 1989. FH-UNDIP: Semarang. hal. 7 183 Satjipto Raharjo. 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan.Alumni. Bandung. hlm. 3-4 184 Sudarto.1979.Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia. FH-UNDIP: Semarang. hal. 21-23 113 C. Teori Pertanggungjawaban Pidana Korporasi 1. Doctrine of Strict Liability Salah satu pemecahan praktis bagi masalah bagi masalah pembebanan pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang yang bekerja dilingkungan suatu korporasi kepada korporasi tempat ia bekerja adalah dengan menerapkan doctrin of strict liability. Menurut ajaran ini pertanggungjawaban pidana dibebankan kepada yang bersangkutan dengan tidak perlu dibuktikan adanya kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) pada pelakunya. Karena menurut ajaran strict liability ini pertanggungjawaban pidana bagi pelakunya tidak dipermasalahkan apakah perbuatan pidana itu dilakukan dengan terdapat pada pelakunya unsur pertanggungjawaban pidana yang berupa kesalahan (mean rea), maka strict liability disebut juga absolute liability atau dalam bahasa Indonesia di gunakan istilah “pertanggungjawaban mutlak”185 Menurut L.B. Curson,186 doktrin strict liability ini didasarkan pada alasanalasan sebagai berikut: a. Adalah sangat esensial untuk menjamin dipatuhinya peraturan penting tertentu yang diperlukan untuk kesejahteraan sosial. b. Pembuktian adanya mens rea akan menjadi sangat sulit untuk pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial itu. c. Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan yang bersangkutan. 185 Syahrul Machmud. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia.op.cit .Hal. 141 Muladi dan Dwidja Priyatno. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.op.cit. Hal.108 186 114 Dalam kaitanya dengan korporasi, korporasi dapat dibebani pertanggungjawaban pidana untuk tindak-tindak pidana yang tidak dipersyaratkan adanya mens rea bagi pertanggungjawaban tindak pidana itu berdasarkan doktrin strict liability. Ternyata tidak banyak tindak-tindak pidana yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelakunya tanpa adanya unsur mens rea, sementara banyak sekali tindak pidana yang dilakukan oleh pengurus korporasi untuk kepentingan korporasi yang dipimpinnya yang sangat merugikan masyarakat. Misalnya, tindak pidana yang menyangkut pencemaran lingkungan, perlindungan konsumen, dan keunangan perusahaan.187 2. Doctrine of Vicarious Liability Vicarious liability (ajaran pertanggungjawaban vikarius) adalah suatu pertanggungjawaban pidana yang dibebankan kepada seseorang atas perbuatan orang lain. Menurut ajaran ini pihak lain dapat dipertanggungjawabkan secara pidana atas perbuatan pihak lain. Seorang majikan (employer) bertanggungjawab secara vikarius atas perbuatan-perbuatan dari bawahannya yang telah menimbulkan gangguan publik (public nuisance) atau dalam hal membuat pernyataan yang dapat merusak nama baik orang lain (criminal libel).188 Berkaitan dengan korporasi, maka suatu korporasi dimungkinkan bertanggungjawab pegawainya, atas kuasanya, perbuatan-perbuatan atau mandatarisnya, bertanggungjawab kepada korporasi tersebut. 187 188 Sutan Remy Sjahdeni. Op.cit. Hal.83 Syahrul Mahmud. Op. Cit. Hal. 142 yang dilakukan atau siapa oleh para pun yang 115 Penerapan doktrin ini hanya dilakukan setelah dapat dibuktikan bahwa memang terdapat hubungan subordinasi antara majikan (employer) dan orang yang melakukan tindak pidana tersebut. Harus dapat dipastikan apakah pegawai atau kuasa dari korporasi yang bukan merupakan pengawai dalam arti yang sebenarnya, dalam melakukan tindak pidana itu telah bertindak dalam rangka tugasnya apabila korporasi itu memang harus memikul tanggungjawab atas perbuatannya.189 3. Doctrine of Delegation Menurut doktrin tersebut, alasan untuk dapat membebankan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi adalah adanya pendelegasian wewenang dari seseorang kepada orang lain untuk melaksanakan kewenangan yang dimilikinya. Contoh pendelegasian wewenang dari seorang pemberi kerja, yang wewenang itu diperolehnya karena ia memperoleh suatu izin usaha, kepada bawahannya. Pedelegasian wewenang oleh seorang pemberi kerja kepada bawahannya merupakan alasan pembenar bagi dapat dibebankanya pertanggungjawaban pidana kepada pemberi kerja itu atas perbuatan pidana yang dilakukan oleh bawahannya itu.190 4. Doctrine of Identification Doktrin ini mengajarkan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan pidana pada suatu korporasi harus mampu diidentifikasi siapa yang melakukan tindak pidana tersebut dan apabila tindak pidana itu dilakukan oleh mereka yang 189 190 Ibid. Sutan Remy Sjahdeini. Op.cit. Hal. 97 116 merupakan directing mind dari korporasi tersebut, maka baru pertanggungjawaban dari tindak pidana itu dapat dibebankan kepada korporasi.191 Doktrin ini memberikan alasan pembenar bagi pembebanan pertanggungjawaban pidana kepada korporasi yang notabene tidak dapat berbuat dan tidak mungkin memiliki mens rea karena tidak memiliki kalbu. Perbuatan yang dapat dianggap sebagai tindak pidana yang dilakukan oleh personil korporasi adalah hanya apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh personil korporasi yang memiliki kewenangan untuk dapat bertindak sebagai directing mind dari korporasi tersebut. Secara formal yuridis directing mind dari korporasi dapat diketahui dari anggaran dasar korporasi tersebut. Selain daripada itu dapat pula diketahui dari surat-surat keputusan pengurus yang berisi pengangkatan pejabat-pejabat atau para manager untuk mengisi jabatan-jabatan tertentu. D. Pengaturan Kejahatan Korporasi dalam Perundang-undangan Lingkungan Hidup. 1. Undang-undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup (UULH) Deklarasi Stockholm 1972, merupakan pilar dari perkembangan hukum lingkungan internasional, sebagai negara yang ikut menandatangani Deklarasi ini, harus mengimplementasikan ketentuan deklarasi tersebut dalam yuridiksinya. Sebagai tanda kepatuhan Indonesia kepada norma hukum internasional, 191 Syahrul Mahmud. Op.cit. Hal. 143 117 pemerintah mengundangkan Undang-undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup.192 Dalam Undang-undang No. 4 tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, Saksi pidana dalam UULH tidak terlepas dari kekurangan dan kelemahan, UULH No.4 tahun 1982 tidak mengatur satu Pasal pun tentang kejahatan korporasi. UULH hanya mengatur di antaranya adalah rumusan delik yang ada dalam Pasal 1 ayat (7) dan Pasal 22. Dalam kedua Pasal itu delik lingkungan adalah delik materil, hal tersebut untuk membuktikan terjadinya tindak pidana sangat susah, penggunaan delik formil dalam UULH ini belum diatur. Asas Strict Liability dalam UULH No.4 tahun 1982 diatur dalam Pasal 21 yang menyatakan: “Dalam beberapa kegiatan yang menyangkut jenis sumber daya tentang tanggungjawab timbul secara mutlak pada perusakan atau pencemar pada saat terjadinya perusakan dan atau pencemaran lingkungan hidup yang pengaturnya diatur dalam perundang-undangan yang bersangkutan.” . Ketentuan tentang Penyidik Lingkungan Hidup dalam UULH No.4 tahun 1982 juga tidak terdapat dalam Undang-undang tersebut. Dalam UULH No.4 Tahun 1982 hanya mengatur tentang kelembagaan Bab V Pasal 18 terdiri dari 3 ayat yang menyatakan bahwa: 1. Pengelolaan ligkungan hidup pada tingkat nasional dilaksanakan secaraterpadu oleh perangkat kelembagaan yang dipimpin seorang menteri danyang diatur dengan peraturan perundang-undangan. 2. Pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kaitannya dengan keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pengelolaan lingkungan 192 Sukanda Husin. Op.cit. Hal. 4 118 hidup,secara sektoral dilakukan oleh departemen/lembaga non-departemen sesuai dengan bidang tugas dan tanggung jawab masing-masing. 3. Pengelolaan lingkungan hidup, dalam kaitan dengan keterpaduan pelaksanaan kebijaksanaan nasional tentang pegelolaan lingkungan hidup, di daerah dilakukan oleh pemerintah Daerah sesuai dengan peraturanperundang-undangan yang berlaku. Ketentuan delik materiel dalam UULH No. 4 Tahun 1982 hanya terdiri satu Pasal, diatur dalam Bab VII Pasal 22 terdiri dari 3 ayat, yaitu sebagai berikut: 1. Barang siapa dengan sengaja melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur undang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana penjara selama-lamanya 10 (tahun) dan atau denda sebanyakbanyaknya Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah). 2. Barang siapa karena kelalaiannya melakukan perbuatan yang menyebabkan rusaknya lingkungan hidup atau tercemarnya lingkungan hidup yang diatur dalam perundang-undang ini atau undang-undang lain diancam pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya 1 (tahun) dan atau denda sebanyakbanyaknyaRp. 1000.000,- (satu juta rupiah). 3. Perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (1) pasal ini adalah kejahatan dan perbuatan sebagaimana tersebut dalam ayat (2) pasal ini adalah pelanggaran. Sesuai dengan Pasal tersebut, seseorang disebut telah melakukan delik lingkungan hidup, jika ternyata sudah memenuhi unsur-unsur sebagai berikut:193 1. Barang siapa melakukan perbuatan 2. Dengan sengaja atau lalai 3. Menyebabkan rusak atau tercemarnya lingkungan hidup 4. Menurut Undang-undang Inti pokok dari pasal ini adalah bahwa setiap perbuatan, yang menimbulkan kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup. Perbuatan demikian, telah dikategorikan sebagai perbuatan pidana, sepanjang telah memenuhi kesengajaan (opzet) atau kelalaian (culpa). Rumusan pidana tersebut di atas 193 Siahaan.op.cit. Hal. 364 119 adalah delik materil. Untuk dapat disebut sebagai delik materil, harus lebih dahulu dibuktikan adanya hubungan sebab akibat sesuai dengan prinsip kausalitas pidana, ada hubungan suatu perbuatan (action) dengan pencemaran/kerusakan lingkungan. Tentang kriteria kerusakan atau tercemarnya lingkungan hidup, ternyata dalam ketentuan pidana di atas tidak disebutkan sama sekali. Hal yang menjadi patokan yuridis dalam hal ini dapat dilihat pada Bab I UULH tentang Ketentuan Umum, yang didalamnya memuat pengertian tentang pencemaran lingkungan hidup. Pencemaran lingkungan diartikan sebagai masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup,zat,energi, dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan/atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas lingkungan turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan menjadi kurang atau tidak berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya.194Sedangkan tentang perusakan lingkungan, dirumuskan sebagai tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung sifat-sifat fisik dan/atau hayati lingkungan, yang mengakibatkan lingkungan itu kurang berfungsi lagi dalam menunjang pembangunan yang berkesinambungan. Suatu perbuatan dapat disebut sebagai perbuatan pidana lingkungan menurut UULH No.4 tahun 1982 apabila dapat dibuktikan telah terdapat suatu pencemaran atau kerusakan lingkungan dari akibat perbuatan tersebut. Tanpa 194 Ibid 120 adanya suatu pencemaran atau kerusakan lain tersebut, si pelaku tidak dapat disebut sebagai perbuatan pidana lingkungan.195 2. Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPLH) Ketentuan pidana dalam UU No. 23 tahun 1997 tercantum dalam Bab IX yang terdiri dari Pasal 41 sampai dengan Pasal 48. Dibandingkan dengan ketentuan pidana yang tercantum dalam Pasal 22 UULH No.4 tahun 1982. Ketentuan pidana dalam UUPLH No.23 tahun 1997 jauh lebih lengkap dan rinci.196 a. Delik materiel Dalam UUPLH No.23 tahun 1997 delik materiel diatur dalam Pasal 41 dan Pasal 42. Pasal 41 menyatakan: (1) Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 (tujuh ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 42 menyatakan: (1) Barangsiapa yang karena kealpaannya melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 195 196 Ibid Koesnadi Hardjasoemantri. Op.cit. Hal. 434 121 Ancaman pidana sebagaimana tercantum dalam pasal-pasal UUPLH No. 23 tahun 1997 adalah pidana penjara dan denda, berbeda dengan ancaman pidana UULH No. 4 tahun 1982 yang meliputi pidana penjara dan/atau denda. Perlu diperhatikan, bahwa ancaman pidana diperberat apabila tindak pidana mengakibatkan orang mati atau luka berat. Penetapan luka berat dilakukan oleh tenaga medis. Apabila Pasal 41 UUPLH adalah mengenai perbuatan dengan sengaja, maka Pasal 42 UUPLH adalah mengenai perbuatan karena kealpaan, yang ancaman pidananya lebih ringan.197 b. Delik formil Delik formil dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 diatur dalam Pasal 43 dan Pasal 44, Pasal 43 menyatakan: (1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, sengaja melepaskan atau membuang zat, energi, dan/atau komponen lain yang berbahaya atau beracun masuk di atas atau ke dalam tanah, ke dalam udara atau ke dalam air permukaan, melakukan impor, ekspor, memperdagangkan, mengangkut, menyimpan bahan tersebut, menjalankan instalasi yang berbahaya, padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) (2) Diancam dengan pidana yang sama dengan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1), barangsiapa yang dengan sengaja memberikan informasi palsu atau menghilangkan atau menyembunyikan atau merusak informasi yang diperlukan dalam kaitannya dengan perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), padahal mengetahui atau sangat beralasan untuk menduga bahwa perbuatan tersebut dapat menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain (3) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) mengakibatkan orang mati atau luka berat, pelaku tindak pidana diancam 197 Ibid 122 dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling banyak Rp. 450.000.000,00 (empat ratus lima puluh juta rupiah) Pasal 44 menyatakan : (1) Barangsiapa yang dengan melanggar ketentuan perundang-undangan yang berlaku, karena kealpaanya melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43, diancam dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah) (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang mati atau luka berat pelaku tindak pidana diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) Berbeda dengan Pasal 41 UUPLH yang mengandung delik materiel, Pasal 43 UUPLH memuat delik formil, yang lebih memudahkan pembuktian karena dikaitkan dengan deskripsi tindakan yang menimbulkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup atau membahayakan kesehatan umum atau nyawa orang lain. Delik materiel sukar untuk membuktikan perbuatan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan, misalnya untuk membuktikan sesuatu usaha dan/atau kegiatan yang mencemarkan, karena baku mutu ambien sungai telah dilampaui ambang batasnya padahal sumber pencemaran dapat berupa limbah industri, limbah domestik dan limbah pertanian (pestisida), yang berarti multi-source pollution, maka delik formil yang tercantum dalam Pasal 43 ayat (1) dikaitkan dengan melepaskan atau membuang zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun ke dalam air permukaan yang melanggar ketentuan perundang-undangan. Dengan demikian cukup dibuktikan bahwa usaha dan/atau kegiatan yang bersangkutan limbahnya melampaui ambang 123 batas yang ditetapkan oleh baku mutu ambien, yang pengukurannya dapat dilakukan di temapat penggelontoran limbah.198 Pasal 43 UUPLH mengatur tentang perbuatan dengan sengaja, maka Pasal 44 UUPLH dikaitkan dengan kealpaan, yang ancaman pidananya ringan. c. Asas Strict Liability Asas Strict Liability dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 terdapat dalam Paragraf 2 Tanggungjawab Mutlak Pasal 35 dalam Bagian ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan, dalam Pasal 35 menyatakan: (1) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang usaha dan kegiatannya menimbulkan dampak besar dan penting terhadap lingkungan hidup, yang menggunakan bahan berbahaya dan beracun, dan/atau menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun, bertanggungjawab secara mutlak atas kerugian yang ditimbulkan, dengan kewajiban membayar ganti rugi secara langsung dan seketika pada saat terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. (2) Penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan dapat dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika yang bersangkutan dapat membuktikan bahwa pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup disebabkan salah satu alasan di bawah ini: a. Adanya bencana alam atau peperangan b. Adanya keadaan terpaksa di luar kemampuan manusia c. Adanya tindakan pihak ketiga yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup (3) Dalam hal terjadinya kerugian yang disebabkan oleh pihak ketiga sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, pihak ketiga bertanggungjawab membayar ganti rugi. d. Kejahatan Korporasi dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 Dalam UUPLH diatur pula tentang tanggungjawab korporasi (corporate liability), yaitu dalam Pasal 45 dan Pasal 46. Pasal 45 UUPLH menyatakan bahwa jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas 198 Ibid. Hal. 436 124 nama suatu badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, ancaman pidana denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 46 UUPLH menyatakan: (1) Jika tindak pidana sebagaimna dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau atas nama badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntunan pidana dilakukan dan sanksi pidana serta tindakan tata tertib sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 dijatuhkan baik terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain tersebut maupun terhadap mereka yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau yang bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. (2) Jika tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Bab ini dilakukan oleh atau organisasi lain, dan dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, yang bertindak dalam lingkungan badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, tuntutan pidana dilakukan dan sanksi pidana dijatuhkan terhadap mereka yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin tanpa mengingat apakah orang-orang tersebut, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, melakukan tindak pidana secara sendiri atau bersama-sama. (3) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan atau organisasi lain, panggilan untuk menghadap dan penyerahan surat-surat panggilan itu ditujukan kepada pengurus di tempat tinggal mereka, atau di tempat pengurus melakukan pekerjaan yang tetap. (4) Jika tuntutan dilakukan terhadap badan hukum, perseroan, perserikatan, yayasan atau organisasi lain, yang pada saat penuntutan diwakili oleh bukan pengurus, hakim dapat memerintahkan supaya pengurus menghadap sendiri di pengadilan. Jika kita simak, ketentuan di atas mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut:199 1. Korporasi, yakni perseroan, yayasan dan organisasi lainya merupakan satu entitas, yang dipandang sama seperti subjek orang perorangan (person) 2. Korporasi mempunyai liabilitas kriminal dan delik lingkungan 199 Siahaan. Op.cit. 381 125 3. Di samping korporasi sebagai suatu entitas, juga pejabat yang mengambil keputusan melakukan dan atau yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan (sehingga timbul pencemaran) memilikki posisi liabilitas dalam delik lingkungan. Konsekuensi penerapan ketentuan tentang tanggungjawab korporasi ini perusahaan dapat dikenakan pidana penjara, disamping perusahaanya dapat dikenakan denda, karena telah terjadi pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh usaha dan/atau kegiatan tersebut.200 e. Penyidik dalam UUPLH Dalam UUPLH No 23 tahun 1997 ketentuan penyidik diatur dalam Pasal 40 Bab VIII tentang Penyidikan, Pasal 40 menyatakan: (1) Selain Penyidik Pejabat Polisis Negara Republik Indonesia, juga Pejabat Pengawai Negeri Sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan tanggungjawabnya di bidang pengelolaan lingkungan hidup, diberi wewenang khusus sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Hukum Acara Pidana yang berlaku. (2) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berwenang: a. Melakukan pemeriksaaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; b. Melakukan pemeriksaan terhadap orang atau badan hukum yang diduga melakukan tindak pidana di bidang lingkungan hidup; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari orang atau badan hukum sehubungan dengan peristiwa tindak pidana di bidang lingkungan hidup; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang lingkungan hidup e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain serta melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang lingkungan hidup; 200 Koesnadi Hardjasoemantri. Op.cit. Hal. 437 126 f. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang lingkungan hidup. (3) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memberitahukan dimulainya penyidikan dan hasil penyidikannya kepada penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (4) Penyidik Pejabat Pengawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyampaikan hasil penyidikan kepada Penuntut Umum melalui Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia. (5)Penyidik tindak pidana lingkungan hidup di perairan Indonesia dan Zona Ekonomi Eksklusif dilakukan oleh penyidik menurut peraturan perundangundangan yang berlaku. 3. Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 lebih lengkap bila dibandingkan dengan Undang-undang lingkungan hidup yang lama atau UULH No. 4 tahun 1982 maupun UUPLH No. 23 tahun 1997. Karena pada UULH No. 4 tahun 1982 tersebut hanya mengatur tentang delik materiel saja. Sementara dalam UUPLH No. 23 tahun 1997 selain mengatur tentang delik materiel mengatur pula delik formil.201 Sedangkan pada UUPPLH No. 32 tahun 2009 lebih terperinci delik yang dilakukan. Serta kriminalisasi terhadap pejabat AMDAL tidak memiliki kualifikasi atau tanpa sertifikasi mengeluarkan izin AMDAL. Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin tidak dilengkapi dengan AMDAL atau UKL,UPL. Demikian pula pejabat pengawas yang tidak melakukan pengawasan dengan baik sehingga suatu usaha melakukan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Selanjutnya memberi informasi palsu, 201 Syahrul Machmud. Op.cit. Hal. 217 127 menghilangkan atau merusak informasi yang diperlukan dalam pengawasan dan penegakan hukum juga dapat dipidana.202 Ketentuan hukum pidana dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009, tidak hanya mengatur perbuatan pidana pencemaran dan/atau perusakan (generic crimes) atau delik materiel sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (2,3), 99 ayat (2,3) dan 108, akan tetapi mengatur juga perbuatan pelepasan, pembuangan zat, energi dan/atau komponen lain yang berbahaya dan beracun, serta mengelola B3 tanpa izin (specific crimes) atau delik formil sebagaimana diatur dalam Pasal 98 ayat (1), 99 ayat (1) sampai 109.203 d. Delik Materiel Delik materiel sesungguhnya ditujukan kepada akibat dari adanya perbuatan pencemaran dan/atau perusakan, yaitu tercemarnya atau rusaknya lingkungan. Pembuktian apakah benar terdakwa telah mencemari atau merusak lingkungan menjadi beban penuntut umum. Pembuktian ini sangat terkait dengan pembuktian ilmiah, dimana peran saksi ahli dan laboratorium sangat menentukan tercemar/rusaknya lingkungan.204 Delik materiel merupakan jenis perbuatan pidana yang tidak tergantung kepada hukum administratif (bersifat mandiri)205 Uraian secara lengkap delik materiel menurut UUPPLH No.32 tahun 2009 sebagai berikut: 202 Ibid Ibid 204 Ibid 205 Ibid 203 128 Pasal 98 menyatakan: (2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah) (3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 menyatakan: (2) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 108 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). e. Delik Formil Delik formil sebagaimana yang diatur dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009, dimana beban pembuktiannya tidak atau belum dipersyaratkan kepada apakah lingkungan telah tercemar atau telah rusak. Akan tetapi cukup dibuktikan apakah tersangka atau terdakwa telah melanggar ketentuan perundang-undangan 129 tentang persyaratan izin yang merupakan hukum administrasi.206 Apabila persyaratan izin tersebut telah dilanggar. Oleh karena itu untuk memudahkan tugas penuntut umum dalam pembuktian diadakanlah delik formil, karena cukup diambil sampel dari limbah yang dibuang oleh suatu kegiatan atau industri untuk diukur di laboratorium. Manakah limbah yang dibuang tersebut berada di atas ambang batas baku mutu yang ditentukan maka pelaku sudah dapat dijerat dengan hukuman pidana. Pasal-pasal pada delik formil ini sesungguhnya lebih menekankan pada upaya preventif agar pencemaran dan/atau perusakan lingkungan dapat dicegah lebih dini. Dengan demikian delik formil ini sesungguhnya merupakan suatu upaya pengawasan atau upaya kontrol yang diberikan oleh undang-undang ini agar lingkungan tidak terlanjur tercemar dan/atau rusak suatu usaha atau industri. Perumusan delik formil selengkapnya sebagai berikut: Pasal 98 menyatakan: (2) Sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 99 ayat (1) perbuatan tersebut tidak disengaja atau lalai, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp. 1.000.000.000 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) Pasal 100 ayat 1 menyatakan: Pasal 100 setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) 206 Ibid. Hal. 218 130 Pasal 101 menyatakan: Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 menyatakan: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 menyatakan: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). 131 Pasal 107 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 109 menyatakan: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 menyatakan: Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 ayat 1 dan 2 menyatakan: (3) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) (4) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 112 menyatakan: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). 132 Pasal 113 menyatakan: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 menyatakan: Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan: (3) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: 3. Badan usaha; dan/atau 4. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (4) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 menyatakan: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 menyatakan: Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang 133 berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional Pasal 119 menyatakan: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: f. g. h. i. j. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan Perbaikan akibat tindak pidana Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun Pasal 120 menyatakan: (3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi (4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. f. Kejahatan Korporasi dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 Pengaturan kejahatan korporasi dalam UUPPLH di atur dalam Pasal 116 - 120 disebut badan usaha, kalau dalam UUPLH tidk saja mengenal badan hukum atau korporasi seperti perseroan dan yayasan, namun selain badan hukum tersebut mengenalkan pula bentuk yang lain seperti perserikatan atau organisasi lain yang dapat diberikan sanksi disamakan dengan badan hukum. Saksi pidana yang diberikan pada kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan hukum ini diberikan saksi kepada pemberi perintah atau pimpinan diperberat ditambah dengan sepertiganya. Hal ini dimaksudkan bahwa kejahatan 134 yang dilakukan oleh korporasi dampaknya dirasakan lebih berat dan lebih parah dibandingkan dengan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh perorangan.207 Pasal 116 menyatakan: (3) Siapa yang dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatan kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh badan usaha atau korporasi, maka pertanggungjawabannya dapat dituntut pada badan usaha itu sendiri serta dapat digabungkan pula dengan pemberi perintah atau pemimpin badan usaha tersebut. (4) Menegaskan bahwa yang dapat dipertanggungjawabkan atas kejahatan lingkungan yang dilakukan oleh orang yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan pada pemberi perintah atau pimpinan dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri-sendiri atau bersama-sama. Pasal 117 menyatakan: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 menyatakan: terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) huruf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional Pasal 119 menyatakan: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: f. g. h. i. j. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana Penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan Perbaikan akibat tindak pidana Pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau Penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun Pasal 120 menyatakan: (3) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d, jaksa berkoordinasi dengan instansi 207 Syahrul Machmud. Op.cit. Hal.224 135 yang bertanggungjawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup untuk melaksanakan eksekusi (4) Dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 119 huruf e, pemerintah berwenang untuk mengelola badan usaha yang dijatuhi sanksi penempatan di bawah pengampuan untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. d. Asas Strict Liability Asas Strict Liability dalam UUPPLH No. 32 tahun 2009 terdapat dalam Paragraf 2 Tanggungjawab Mutlak Pasal 88 dalam Bagian ketiga Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup melalui Pengadilan, dalam Pasal 88 menyatakan: Setiap orang yang tindakannya, usahanya, dan/atau kegiatannya menggunakan B3, menghasilkan dan/atau mengelola limbah B3, dan/atau yang menimbulkan ancaman serius terhadap lingkungan hidup bertanggungjawab mutlak atas kerugian yang terjadi tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan. Dalam penjelasan UUPPLH No.32 tahun 2009 Pasal 88 yang dimaksud dalam asas strict liability yaitu “bertanggungjawab mutlak” adalah unsur kesalahan tidak perlu dibuktikan oleh pihak penggugat sebagai dasar pembayaran ganti rugi. Ketentuan ayat ini merupakan lex specialis dalam gugatan tentang perbuatan melanggar hukum pada umumnya. Besarnya nilai ganti rugi yang dapat dibebankan terhadap pencemaran atau perusakan lingkungan hidup menurut Pasal ini dapat ditetapkan sampai batas tertentu. Jadi penerapan strict liability dalam UUPPLH No.32 tahun 2009 tersebut adalah pertanggungjawaban secara mutlak dalam sifat hukum perdata. e. Penyidik dalam UUPPLH Dalam UUPPLH Penyidik diatur dalam Bab XIV Pasal 94 dan Pasal 95, Pasal 94 menyatakan: (1) Selain penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia, pejabat pengawai negeri sipil tertentu di lingkungan instansi pemerintah yang lingkup tugas dan 136 tanggungjawabnya di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup diberi wewenang sebagai penyidik sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana untuk melakukan penyidikan tindak pidana lingkunganhidup. (2) Penyidik pejabat pengawai negeri sipil berwenang: a. Melakukan pemeriksaan atas kebenaran laporan atau keterangan berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; b. Melakukan pemeriksa terhadap setiap orang yang diduga melakukan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; c. Meminta keterangan dan bahan bukti dari setiap orang berkenaan dengan peristiwa tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; d. Melakukan pemeriksaan atas pembukuan, catatan, dan dokumen lain berkenaan dengan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; e. Melakukan pemeriksaan di tempat tertentu yang diduga terdapat bahan bukti, pembukuan, catatan, dan dokumen lain; f. Melakukan penyitaan terhadap bahan dan barang hasil pelanggaran yang dapat dijadikan bukti dalam perkara tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; g. Meminta bantuan ahli dalam rangka pelaksanaan tugas penyidikan tindak pidana di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup; h. Menghentikan penyidikan; i. Memasuki tempat tertentu, memotret, dan/atau membuat rekaman audio visual; j. Melakukan penggeledahan terhadap badan, pakaian, ruangan, dan/atau tempat lain yang diduga merupakan tempat dialkukaannya tindak pidana; dan/atau k. Menangkap dan menahan pelaku tindak pidana. (3) Dalam melakukan penangkapan dan penahanan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf k, penyidik pejabat pengawai negeri sipil berkoordinasi dengan penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (4) Dalam hal penyidik pejabat pengawai negeri sipil melakukan penyidikan, penyidik pejabat pengawai negeri sipil memberitahukan kepada penyidik pejabat polisis Negara Republik Indonesia memberikan bantuan guna kelancaran penyidikan. (5) Penyidik pejabat pengawai negeri sipil memberitahukan dimulainya penyidik kepada penuntut umum dengan tembusan kepada penyidik pejabat polisi Negara Republik Indonesia. (6) Hasil penyidikan yang telah dilakukan oleh penyidik pengawai negeri sipil disampaikan kepada penuntut umum. 137 Pasal 95 menyatakan: (1) Dalam rangka penegakan hukum terhadap pelaku tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pengawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. (2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan penegakan hukum terpadu diatur dengan peraturan perundang-undangan. f. Makna Asas Ultimum Remedium dalam UUPPLH No 32 tahun 2009 Kesulitan atau hambatan asas subsidiaritas pada praktik penegakan hukum pada UUPLH No. 23 tahun 1997 telah diperbaiki pada UUPPLH No 32 tahun 2009 dengan menghilangkan asas subsidiaritas tersebut dengan memunculkan asas ultimum remedium pada penjelasan umum angka 6 dan Pasal 100 ayat (2). Asas Ultimum remedium terdapat pada penjelasan umum UUPPLH angka 6 menyatakan: “Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas Ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas Ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggar baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan”. Asas ini lebih dipertegas pemaknaanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 100 ayat (2) menyatakan yaitu, setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru dapat dipidana, jika sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan pada penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti pada UUPLH yang lalu.208 208 Syahrul Machmud.op.cit. Hal. 236 138 Dalam UUPPLH semakin dipertegas bahwa penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. Dengan demikian dalam kerangka operasionalisasi hukum pidana dikaitkan dengan asas ultimum remedium jauh sangat membatasi dengan delik formil (yang berkaitan dengan hukum administrasi) tertentu saja. Ultimum mengandung makna paling akhir atau terakhir, sedangkan kata remedium ditemukan berasal dari kata remedy yang mengandung makna obat atau memperbaiki.209 Dengan demikian ultimum remedium dikaitkan dengan penegakan hukum pidana bidang lingkungan harus dimaknai bahwa hukum administrasi dinyatakan tidak berhasil barulah hukum pidana didayagunakan sebagai upaya terakhir dalam memperbaiki lingkungan. Penegakan hukum pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium yang mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil. Penerapan asas ultimum remedium ini hanya berlaku bagi tindak pidana formil tertentu, yaitu pemidanaan terhadap pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan. 209 Andi Hamzah. Op.cit. Hal. 68 139 Sepintas UUPPLH No. 32 tahun 2009 ini dapat mengatasi kesulitan penerapan asas subsidiaritas pada UUPLH No. 23 tahun 1997, lebih teknis dan jelas bila dibandingkan dengan asas subsidiaritas pada UUPLH. Dengan tegas menyebutkan asa ultimum remedium diterapkan pada delik formil. Namun bila dicermati penjelasan umum UUPPLH pada angka 6 tentang asas ultimum remedium ini tetap mengandung kelemahan mendasar. Karena penjelasan umum dalam UUPPLH sangat tidak memadai untuk dijadikan pedoman dalam tataran aplikatif. Karena dalam tataran aplikatif sangat siperlukan aturan pelaksana yang sangat jelas dan detail dan harus dihindarkan multi tafsir atau debattable dalam memaknai suatu ketentuan. Kelemahan dalam tataran formulatif tersebut jelas akan menimbulkan banyak masalah pada tataran aplikatif, seperti tidak adanya kepastian hukum dan akan banyak menimbulkan masalah pada bidang kordinasi antar institusi terkait dalam penanganan masalah pencemaran dan/atau perusakan lingkungan.210 Seperti tidak ada penjelasan apa yang dimaksud dengan penegakan hukum administrasi dianggap tidak berhasil, apa saja bentuk penegakan hukum administrasi sehingga dianggap tidak berhasil karena sanksi administrasi terdiri dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. Berapa kali dan berapa lama tindakan administrasi baru dapat dikatakan tidak berhasil. Apakah setelah mendapat teguran tertulis sebagai sanksi administrasi yang paling rendah dan tidak dipatuhi sudah dinyatakan dianggap tidak berhasil?. Bagaimana pula makna pelanggaran 210 Syahrul Machmud. Op.cit. Hal. 237 140 dilakukan lebih dari satu kali, apakah cukup dua kali saja ataukah tiga kali atau lebih, semuanya tidak ada kejelasan. UUPPLH mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana terhadap delik formil tertentu sebagai upaya terakhir, setelah hukum administrasi dianggap gagal atau pelanggaran telah dilakukan lebih dari satu kali. Konsekuensi yuridis dari kata wajib ini adalah batal demi hukum bila tidak ditaati. Bagaimana konkritisasi dari hukum adminstrasi dianggap gagal tersebut, tidak ada penjelasan lebih lanjut.211 Ketentuan pidana dalam UUPPLH diatur pada Pasal 98-120, terdapat 12 Pasal tentang delik formil. Asas ultimum remedium ini hanya dapat dikenakan pada Pasal 100 ayat (2), pada pasal selebihnya fungsi hukum pidana primum remedium. Ketentuan semacam ini sangat tidak logis, karena dalam penjelasan umum angka 6 disebutkan bahwa dalam rangka pengendalian dampak lingkungan hidup perlu dikedepankan upaya preventif, yaitu didayagunakan secara maksimal instrumen pengawasan dan perizinan. Apabila suatu usaha melakukan pelanggaran lebih dari satu kali, maka sesungguhnya hukum administrasi tidak didayagunakan atau tidak bekerja dengan baik. Penerapan hukum pidana secara primum remedium terhadap delik formil dengan alasan pelanggaran telah dilakukan lebih dari satu kali telah melanggar ketentuan wajib penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir. Membatasi penerapan asas ultimum remedium ini hanya pada delik formil tertentu yaitu kejahatan terhadap 211 Ibid 141 pelanggaran baku mutu air limbah, emisi, dan gangguan tidak ada penjelasan lebih lanjut. Ketergantungan penerapan hukum pidana disandarkan pada keadaan sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Hal ini mengandung pengertian bahwa pendayagunaan hukum pidana terhadap delik formil tertentu berlaku secara alternatif, boleh dipilih salah satu dari kedua hal tersebut. Artinya penegakan hukum pidana dapat langsung diterapkan jika pelanggaran telah dilakukan lebih dari satu kali. Dengan demikian hukum pidana difungsikan secara primum remedium.212 Persoalan yang muncul adalah kapan dan dalam hal apa sanksi pidana atau prosedur pidana dapat ditempuh dalam menyelesaikan pelanggaran lingkungan? pada kalimat”... berlakunya ketentuan hukum pidana tetap memperhatikan asas ultimum remedium...” mengandung maksud bahwa pemberlakuan hukum pidana terhadap pelanggaran lingkungan hidup berlaku asas ultimum remedium. Untuk diterapkan pada kasus pelanggaran hukum lingkungan hidup (hukum pidana di bidang hukum administrasi), asas ultimum remedium dapat ditafsirkan sebagai berikut:213 1. Prosedur Pidana sebagai Prosedur Pamungkas “Ultimum remedium” Prosedur pidana didayagunakan untuk pelanggaran lingkungan hidup hanya setelah prosedur hukum administrasi, hukum perdata, dan alternatif penyelesaian sengketa gagal atau tidak efektif untuk mencapai tujuan penegakan hukum hukum 212 213 Ibid.Hal. 240 Mudzakkir.2011. Aspek Hukum Pidana dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup.Pascasarjana UI. Jakarta. Hal. 521 142 lingkungan hidup. Hukum pidana ditempatkan murni sebagai senjata pamungkas atau ultimum remedium setelah hasil pemberlakuan sanksi-sanksi hukum lain tidak efektif untuk kasus yang bersangkutan. Jadi tidak dibenarkan menggunakan prosedur pidana tanpa didahului dengan prsedur lain (prosedur administrasi,, perdata atau alternatif penyelesaian sengketa lingkungan hidup). Di samping itu, masih ditambah lagi syarat-syarat lain yang bersifat alternatif/komulatif, yaitu tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. 2. Sanksi pidana sebagai saksi alternatif Prosedur pidana dipergunakan sebagai saksi alternatif apabila prosedur penyelesaian melalui alternatif penyelesaian sengketa gagal dan sanksi-sanksi lain dinilai tidak akan efektif dan/atau tingkat kesalahan pelaku relatif berat, akibat perbuatannya relatif berat dan/atau perbuatannya menimbulkan keresahan masyarakat. Jadi untuk menggunakan sanksi pidana tidak perlu terlebih dahulu menjatuhkan sanksi sanksi lain, cukup berdasarkan pengalaman pada penerapan pada penerapan sanksi pada kasus-kasus sebelumnya dinilai tidak efektif. Oleh karena itu, cukup beralasan kalau masih juga ada pelanggaran lingkungan hidup diperguanakan prosedur pidana. Mungkin akan dirasakan tidak adil bagi pelanggar yang dikenakan sanksi pidana sanksi pidana sebagai sanksi lebih berat dibandingkan dengan sanksi lain yang dikenakan kepada para pelanggar sebelumnya. 143 3. Sanksi pidana sebagai Sanksi Komulatif. Prosedur pidana dan penjatuhan sanksi pidana didayagunakan sebagai sanksi yang dikomulasikan dengan sanksi-sanksi lain. Komulasi sanksi pidana dengan sanksi lain dimungkinkan apabila sanksi-sanksi lain tidak efektif dan/atau 1). Tingkat kesalahan pelaku relatif berat; 2). Akibat perbuatannya relatif besar; dan/atau perbuatannya menimbilkan keresahan masyarakat. Asas subsidiaritas ditafsirkan secara sempit yakni sebagai syarat untuk mengkomulasikan prosedur pidana atau sanksi pidana dengan sanksi-saksi lain. 4. Saksi pidana sebagai saksi alternatif yang berdiri sendiri Berbeda dengan penafsiran sebelumnya, penafsiran yang keempat ini menempatkan prosedur pidana dan sanksi pidana sebagai saksi alternatif yang berdiri sendiri. Maksudnya, penggunaan prosedur dan saksi pidana tidak dihubungkan dengan sanksi cabang hukum lain. Prosedur pidana ditempuh apabila memenuhi syarat, baik alternatif maupun komulatif; 1). Tingkat kesalahan pelaku relatif berat; 2). Akibat perbuatan pelaku relatif besar; 3). Perbuatan pelaku menimbulkan keresahan masyarakat. Efektif atau tidaknya sanksi-sanksi lain tidak digabungkan sebagai prasyarat untuk menempuh prosedur pidana. Pertimbangan seperti ini dikenal dengan kebijakan/politik penegakan hukum pidana. Kapan prosedur pidana didayagunakan oleh polisi dan jaksa tergantung kepada situasi dan kondisi masyarakat atau dampak nyata perbuatan pelaku terhadap masyarakat dengan tetap mempertimbangkan keadaan-keadaan yang dijabarkan dalam penjelasanpenjelasan undang-undang lingkungan hidup. 144 E. Pengertian Pencemaran Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 Pengertian pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan.214 Baku mutu lingkungan hidup adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemaran yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup. Dalam Pasal 20 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Baku mutu lingkungan hidup meliputi: a. Baku mutu air b. Baku mutu air limbah c. Baku mutu air laut d. Baku mutu udara ambien e. Baku mutu emisi f. Baku mutu gangguan g. Baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. 214 Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup 145 Dalam penjelasan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pasal 20 ayat (2) Yang dimaksud : a. Baku mutu air adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada, dan/atau unsur pencemar yang diteggang keberadaannya di dalam air. b. Baku mutu air limbah adalah ukuran batas atau kadar polutan yang diteggang untuk dimaksudkan ke media air. c. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut d. Baku mutu udara ambien adalah ukuran batas atau kadar zat, energi, dan/atau unsur pencemar yang diteggang keberadaannya dalam udara ambien. e. Baku mutu emisi adalah ukuran batas atau kadar polutan yang ditenggang untuk dimasukkan ke media udara. f. Baku mutu gangguan adalah ukuran batas unsur pencemar yang diteggang keberadaannya yang meliputi unsur getaran, kebisingan, dan kebauan. F. Perumusan Tindak Pidana Lingkungan Hidup dalam Undang-Undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perumusan tindak pidana lingkungan hidup dalam UU No. 32 tahun 2009 diatur dalam Pasal 97 sampai dengan Pasal 119, yaitu sebagai berikut: Pasal 97 Tindak pidana dalam undang-undang ini merupakan kejahatan 146 Pasal 98 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan: (1) Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 99 ayat 1, 2 dan 3 menyatakan: (1) Setiap orang yang karena kelalaiannya mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling sedikit Rp 2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp 6.000.000.000,00 (enam miliar rupiah). (3) Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan orang luka berat atau mati, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 9 (sembilan) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 9.000.000.000,00 (sembilan miliar rupiah). Pasal 100 ayat 1 dan 2 menyatakan: (1) Setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan dipidana, dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 147 (2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Pasal 101 menyatakan: Setiap orang yang melepaskan dan/atau mengedarkan produk rekayasa genetik ke media lingkungan hidup yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan atau izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf g, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 102 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pengelolaan limbah B3 tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (4), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 103 menyatakan: Setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 104 menyatakan: Setiap orang yang melakukan dumping limbah dan/atau bahan ke media lingkungan hidup tanpa izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 105 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf c dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000,00 (dua belas miliar rupiah). Pasal 106 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan limbah B3 ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf d, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 148 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 107 menyatakan: Setiap orang yang memasukkan B3 yang dilarang menurut peraturan perundangundangan ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf b, dipidana dengan pidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah). Pasal 108 menyatakan: Setiap orang yang melakukan pembakaran lahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf h, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Pasal 109 menyatakan: Setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan tanpa memiliki izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga tahun dan denda paling sedikit Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 110 menyatakan: Setiap orang yang menyusun amdal tanpa memiliki kompetensi penyusunan amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf I, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Pasal 111 menyatakan: (1) Pejabat pemberi izin lingkungan yang menerbitkan izin lingkungan tanpa dilengkapi dengan amdal atau UKL-UPL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1) dipidana dengan dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). (2) Pejabat pemberi izin usaha dan/atau kegiatan yang menerbitkan izin usaha dan/atau kegiatan tanpa dilengkapi dengan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). 149 Pasal 112 menyatakan: Setiap pejabat berwenang yang dengan sengaja tidak melakukan pengawasan terhadap ketaatan penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan terhadap peraturan perundang-undangan dan izin lingkungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 dan Pasal 72, yang mengakibatkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, dipidana dengan pidna penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 113 menyatakan: Setiap orang yang memberikan informasi palsu, menyesatkan, menghilangkan informasi, merusak informasi, atau memberikan keterangan yang tidak benar yang diperlukan dalam kaitannya dengan pengawasan dan penegakan hukum yang berkaitan dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (1) huruf j dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 114 menyatakan: Setiap penanggungjawab usaha dan/atau kegiatan yang tidak melaksanakan paksaan pemerintah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 115 menyatakan: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah menghalang-halangi, atau menggagalkan pelaksanaan tugas pejabat pengawas lingkungan hidup dan/atau pejabat penyidik pengawai negeri sipil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Pasal 116 ayat 1 dan 2 menyatakan: (1) Apabila tindak pidana lingkungan dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha tuntutan pidana dan sanksi pidana dijatuhkan kepada: a. Badan usaha; dan/atau b. Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertinddak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut (2) Apabila tindak pidana lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh orang, yang berdasarkan hubungan kerja atau berdasarkan hubungan lain yang bertindak dalam lingkup kerja badan usaha, sanksi pidana dijatuhkan terhadap pemberi perintah atau pemimpin dalam tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan tindak pidana tersebut dilakukan secara sendiri atau bersama-sama. 150 Pasal 117 menyatakan: Jika tuntutan pidana diajukan kepada pemberi perintah atau pemimpin tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 116 ayat (1) huruf b, ancaman pidana yang dijatuhkan berupa pidana penjara dan denda diperberat dengan sepertiga. Pasal 118 menyatakan: Terhadap tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 116 ayat (1) hueuf a, sanksi pidana dijatuhkan kepada badan usaha yang diwakili oleh pengurus yang berwenang mewakili di dalam dan diluar pengadilan sesuai dengan peraturan perundang-undangan selaku pelaku fungsional Pasal 119 menyatakan: Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang ini, terhadap badan usaha dapat dikenakan pidana tambahan atau tindakan tata tertib berupa: a. b. c. d. e. perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; penutupan seluruh atau sebagaian tempat usaha dan/atau kegiatan; perbaikan akibat tindak pidana; pewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau; penempatan perusahaan dibawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. 151 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Penegak Hukum Terhadap Korporasi oleh Kepolisian dan Kejaksaan Setelah Berlakunya UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dengan Menggunakan Analisis Joseph Golstein. Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan dua tahun lalu belum efektif diterapkan. Penangganan kasus pelanggaran lingkungan hidup masih menggunakan Undang-Undang No 23 tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, yang penegakan hukum pidana lingkungannya dinilai belum mengembirakan. Dari Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup Periode tahun 2009 hingga september 2011, dari 33 kasus pidana lingkungan yang diputus pengadilan, 21 kasus diantaranya diputus bebas, 4 diputus penjara, dan 8 dihukum percobaan215. Banyak kasus bebas bisa jadi karena temuan faktanya lemah atau kelemahan penafsiran kerugian lingkungan. Namun, bisa juga karena hakim tak berlatar belakang lingkungan.216 Kini tepat 2 tahun masa transisi Undang-Undang No 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Seluruh ketentuan dalam Undang-Undang tersebut berlaku efektif dan instrumen penegakan hukum lingkungan 215 216 hidup, baik administratif, perdata, dan pidananya Kompas, Kasus Lingkungan Banyak di Putus Bebas. Selasa 4 Oktober 2011 Ibid saatnya 152 dilaksanakan. Kesiapan penanganan kasus penegakan hukum lingkungan hidup Mahkamah Agung mengeluarkan Surat keputusan MA No. 134/KMA/SK/IX/2011. Isinya perkara lingkungan hidup harus ditangani hakim lingkungan yang bersertifikat yang diangkat ketua MA. Masa transisi peraturan tersebut selama 2 tahun. Penanggulangan kejahatan dengan target menurunkan tingkat kejahatan, memperlihatkan adanya jumlah kejahatan yang terjadi dan kejahatan yang dapat diproses melalui penegakan hukum. Dari pengalaman menunjukkan bahwa, selama upaya penanggulangan kejahatan dilakukan terdapat pula kejahatan yang tidak dapat dituntut yang disebut “undetected crimes” dan “release without prosecution”. Adanya realitas kejahatan demikian sehingga tercipta peta kriminal yang meliputi tiga daerah operasional dalam wilayah penegakan hukum yaitu,217 (1) penegakan hukum tidak dapat dilaksanakan secara total (area of no enforcement), (2) diskresi dan syarat penuntutan dalam penegakan hukum (area dicisions not to enforce) dan (3) penuntutan secara nyata yang dapat dilaksanakan dalam penegakan hukum (area of actual enforcement). Penegakan hukum dalam negara kita dilakukan secara preventif dan refresif. Penegakan hukum secara preventif diadakan untuk mencegah agar tidak dilakukan pelanggaran hukum oleh warga masyarakat dan tugas ini pada umumnya diberikan pada badan-badan eksekutif dan kepolisian. Penegakan hukum represif dilakukan apabila usaha preventif telah dilakukan ternyata masih 217 Rusli Muhammad. Op.cit. Hal. 147 153 juga terdapat pelanggaran hukum, maka hukum harus ditegakkan secara represif oleh alat-alat negara penegakan hukum yang diberi tugas yustisionil.218 Secara terperinci oleh Joseph Goldstein219 penegakan hukum pidana dibedakan menjadi tiga, yaitu: Pertama, Total Enforcement, yakni ruang lingkup penegakan hukum pidana sebagaimana yang dirumuskan oleh hukum pidana substantif (substantive law of crime). Meskipun keinginan untuk melakukan penegakan hukum pidana secara total, namun penegakan hukum pidana secara total ini tidak mungkin dilaksanakan sehingga terdapat wilayah yang tidak dapat dilaksanakan penegakan hukum (Area of no enforcement). Hal ini dapat terjadi sebab para penegak hukum dibatasi secara ketat oleh hukum acara pidana antara lain mencakup aturan-aturan penagkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, dan pemeriksaaan pendahuluan. Disamping itu adanya batasan-batasan yang ditentukan oleh hukum pidana substantif yang menghendaki syarat-syarat tertentu untuk suatu penuntutan, misalnya adanya pengaduan di dalam hal delik aduan. Penegakan hukum yang kedua adalah full enforcement. Penegak hukum jenis kedua ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total (total ennforcement) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk 218 219 Ibid, 150 Ibid 154 waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya, yang kesemuannya itu mengharuskan dilakukannya decisions not to enforce (discretions). Penegakan hukum yang ketiga adalah actual enforcement. Penegakan hukum ini adalah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum. Penegakan hukum yang secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum itu. Memperhatikan beberapa pendapat di atas, penegakan hukum dapat dibedakan atas dua macam, yaitu penegakan hukum dalam preventif dan represif, penegakan hukum dalam arti refresif yang lebih ditujukan pada penegakan peraturan perundang-undangan atau yang lebih dikenal dengan Law Enforcement. Penanganan perkara lingkungan hidup memiliki banyak dimensi, mulai tingkat penyidikan menemui hambatan dalam penentuan tersangka, kejaksaan kurangnya Sumber Daya Manusia (SDM), sampai tingkat Pengadilan yang belum memiliki hakim khusus lingkungan hidup. Penegakan hukum lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi khususnya di propinsi Sulawesi Tenggara Kab. Kolaka secara umum masih kurang efektif walaupun sudah dua tahun berjalan Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan lingkungan Hidup, perusahaan pertambangan masih beroperasi dan mengakibatkan pencemaran melampaui baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, baku mutu air laut, baku mutu air, karena berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 Perlindungan 155 dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup. Berdasarkan wawancara penulis dengan Musnajam, pencemaran lingkungan hidup di kab.kolaka Sulawesi tenggara indikator kategori sebagai tindak pidana lingkungan hidup karena sudah melampaui baku mutu udara ambien, baku mutu emisi, baku mutu gangguan, baku mutu air laut, baku mutu air, karena berdasarkan pasal 20 ayat (1) Undang-Undang No. 32 tahun 2009 Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menyatakan: penentuan terjadinya pencemaran lingkungan hidup diukur melalui baku mutu lingkungan hidup.220 Dampak aktifitas pertambangan di Kab. Kolaka menyebabkan pencemaran secara besar-besaran.221 Ada dua kemungkinan penyebab pencemaran lumpur merah tersebut, pertama lumpur melalui aliran sungai dan kedua, kondisi topografi wilayah penambangan yang berada di bukit menyebabkan limpahan aliran lumpur merah masuk ke laut saat hujan. Faktor lain yang mempengaruhi rusaknya kawasan di dua wilayah pertambangan ditemukan pada sejumlah perusahaan tidak ditemukan atau, tidak terurusnya DAM pengatur sistem baku mutu air. Sejumlah aliran anak sungai tertutup oleh tanah galian tambang yang dijumpai dibeberapa perusahaan pertambangan yang ada. Bahkan banjir yang 220 Wawancara Musnajam, ST., M,Eng (Peneliti AMDAL Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LPPM Univ. 19 Nopember Kolaka. Hari Sabtu.tanggal 30 Juli 2011 221 www. berita.yahoo.com/pertambangan-sebabkan-pencemaran-laut-kolaka. Diakses tanggal 23 oktober 2011 156 setiap saat hujan turun mengancam masyarakat sekitar tambang, diakibatkan rusaknya daerah aliran sungai (DAS) di sepanjang kawasan hutan Kec.Pomalaa Kab. Kolaka.222 Badan Lingkungan Hidup Kab. Kolaka kesulitan mendeteksi potensi pencemaran, disebabkan peralatan penunjang penelitian masih sangat minim dan juga penyidik pengawai negeri sipil juga belum ada. Hal ini berdampak pada penegakan hukum lingkungan dengan sistem Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System (Sistem segi tiga terpadu penegakan hukum pidana lingkungan hidup) yaitu sistem penegakan hukum terpadu yang terdiri penyidik kepolisian, kejaksaan dan saksi ahli. Berdasarkan hasil penelitian penulis selama Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan. Kini tepat 2 tahun masa transisi Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seluruh ketentuan dalam Undang-Undang tersebut berlaku efektif dan instrumen penegakan hukum lingkungan hidup baik administratif, perdata, dan pidananya dapat dilaksanakan. Dalam penelitian penulis ternyata satu kasus pun tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani.223. Kendala utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) penyidik kepolisian dan 222 223 Ibid Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 157 kejaksaan.224 Pemahaman doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi tidak di kuasai oleh aparatur penegak hukum. Khususnya pemahaman bahwa korporasi dapat di jadikan subyek hukum atau pelaku tindak pidana lingkungan hidup, sehingga korporasi juga dapat dimintakan pertanggungjawaban. Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah mengatur tentang korporasi dapat dipertanggungjawabkan. Dalam Pasal 116 Undang-Undang No. 32 tahun 2009 ayat (1) menyakatan: Apabila tindak pidana lingkungan hidup dilakukan oleh, untuk, atau atas nama badan usaha, tuntutan pidana dan sanksi pidana diajtuhkan kepada: a). Badan usaha; b). Orang yang memberi perintah untuk melakukan tindak pidana tersebut atau orang yang bertindak sebagai pemimpin kegiatan dalam tindak pidana tersebut. Berdasarkan hal tersebut diatas, jika di analisis wilayah penegakan hukum menggunakan pendekatan teori Joseph Golstein dengan kondisi dan permasalahan yang dihadapi penegakan hukum kepolisian dan kejaksaan yang dilakukan oleh korporasi menurut Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup di Kab. Kolaka Provinsi Sulawesi Tenggara. Maka menurut penulis dari ketiga tipe penegakan hukum pidana yaitu Joseph Golstein Total Enforcement, Full enforcement, Actual enforcement. Full enforcement dapat menggambarkan kondisi dari penegakan hukum tersebut, yang mana penyidik Polres Kab. Kolaka ingin secara maksimal menindak tindak pidana lingkungan hidup, namun demikian hal itu dianggap 224 Wawancara Bu Evi,S.H., M.H. (Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka). Tanggal 27 Juli 2011 158 sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk Sumber Daya Manusia (SDM) penyidik Polres Kab.Kolaka masih terbatas, pemahaman doktrin mengenai pertanggungjawaban pidana korporasi kurang di kuasai oleh aparatur penegak hukum,225 alat-alat investigasi berupa laboratorium tindak pidana lingkungan hidup dan dana untuk menangani tindak pidana lingkungan hidup cukup besar, yang hal ini mengharuskan dilakukan diskresi.226 Artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum dalam menjalankan tugas untuk melanjutkan tindak pidana keproses lebih lanjut. Karena lingkup aturan tidak menjangkau secara komprehensif dan detail bagaimana setiap penegak hukum dapat menjalankan tugas, wewenang dan tanggungjawabnya di lapangan. B. Kendala-Kendala Hukum yang Timbul dalam Praktek Pidana yang Dihadapi oleh Kepolisian dan Kejaksaan apabila Korporasi Melakukan Pencemaran Lingkungan Hidup setelah Berlakunya Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Salah satu persolan yang krusial di negeri ini, adalah persoalan penegakan hukum. Persoalan yang muncul adalah apakah penegakan hukum dalam upaya mewujudkan agenda supremasi hukum akan dapat tercapai dengan baik. Hal tersebut tergantung berbagai kendala. Banyak kendala yang 225 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 226 http://www.kantorhukum-lhs.com/details_artikel_hukum. M. Sofyan Lubis. “Diskresi adalah, kebijakan dari pejabat negara dari pusat sampai daerah yang intinya membolehkan pejabat publik melakukan sebuah kebijakan yang melanggar dengan UU, dengan tiga syarat. Yakni, demi kepentingan umum, masih dalam batas wilayah kewenangannya, dan tidak melanggar Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik”. Di akses tanggal, 18 Oktober 2011 159 berhubungan dengan penegakan hukum. Kendala yang dihadapi penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh penyidik kepolisian dan kejaksaan yang pelakunya korporasi adalah: 1. Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas Tidak bisa di pungkiri kendala Sumber Daya Manusia (SDM) penegak hukum adalah faktor tidak efektifnya penegakan hukum pidana lingkungan.227 Khususnya di daerah-daerah, belum dapat dikatakan para penegak hukum sudah menguasai seluk beluk hukum lingkungan, bahkan pengenalan hukum lingkungan pun masih kurang. Hal ini hanya dapat diatasi dengan pendidikan dan pelatihan di samping orangnya harus belajar sendiri dengan membaca buku, mengikuti pertemuan ilmiah, seperti seminar dan lain-lain. Di samping itu, belum ada penyidik dan penuntut umum khusus tindak pidana lingkungan hidup. 2. Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi Prioritas. Tindak lingkungan hidup belum menjadi proiritas di bandingkan kasus -kasus lain, misalnya pencurian, pembunuhan, korupsi dan lain-lain. Disebabkan pembuktian, penentuan hubungan kausalitas antara perbuatan pencemaran dan korban tindak pidana lingkungan hidup terjadi pencemaran memerlukan ahli dan laboratorium khusus. Walaupun dalam Pasal 96 UU No 32 tahun 2009 sudah mengatur tentang Pasal Pembuktian yang menyatakan: Alat bukti yang sah dalam tuntutan tindak pidana lingkungan hidup terdiri atas: a. Keterangan saksi b. Keterangan ahli 227 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 160 c. Surat d. Petunjuk e. Keterangan terdakwa; dan/atau f. Alat bukti lain, termasuk alat bukti yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 183 KUHAP menentukan dengan tegas fungsi dari alat bukti sebagai salah satu syarat bagi hakim untuk menjatuhkan pidana. Karena fungsinya tersebut dalam mengumpulkan alat bukti yang kuat dan sah penyidik perlu berhati-hati karena tehnik pengambilan dan penentuan alat bukti dalam tindak pidana lingkungan hidup sangat sulit dan kompleks.228 Kendala utama dalam pembuktian tindak pidana lingkungan hidup di Kab. Kolaka, Propinsi Sulawesi Tenggara susahnya untuk mendapatkan keterangan ahli. 3. Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan. Koordinasi antar instansi penyidik kepolisian, kejaksaan dan Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) dalam tindak pidana lingkungan hidup belum berjalan dengan baik. Tindak pidana di bidang lingkungan hidup biasanya banyak yang terkait dengan pengaturan atau berkenan dengan perbuatan pelanggaran atas kebijakan penguasa administratif yang biasanya bersifat preventif, dan terkait dengan larangan bertindak tanpa izin. Hal ini menjadikan muncul pendapat bahwa kewenangan hukum pidana untuk melakukan penyidikan dan pemeriksaan 228 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 161 selebihnya hanya akan dimungkinkan jika sarana lain penegakan hukum lainnya telah diupayakan dan gagal daya kerja subsidiaritas hukum pidana. terdapat perbedaan psikologis antara pengawasan yang dilakukan pejabat pengawas (penanganan di bidang administratif) dengan penanganan melalui sarana hukum pidana, diantaranya:229 1. pejabat pemerintah administratif tidak banyak yang paham tentang hukum pidana 2. pejabat pemerintah administratif bekerja dengan tujuan meningkatkan kerjasama pihak pemerintah dengan dunia usaha, sehingga penanganan melalui sarana hukum pidana dianggap sebagai hal yang mengganggu dan patut dihidari sebab mereka perlu waktu untuk untuk membina hubungan dengan dunia usaha tersebut, serta mereka takut kehilangan prestise atau kepercayaan dari kalangan dunia usaha, sehingga ada “keengganan” untuk kesediaan melaporkan terjadinya atau adanya tindak pidana lingkungan. 3. adanya pandangan yang menganggap kejahatan lingkungan hidup bukanlah suatu pelanggaran hukum yang serius, kasus ini cukup diselesaikan secara administrasi saja, apalagi jika kejahatan tersebut dilakukan oleh korporasi. Pelaku kejahatan korporasi, selalu “dianggap” warga yang baik dan terpandang di mata masyarakat. 4. Keterbatasan pengetahuan dan pengalaman penyidik dalam menangani kasus yang berkaitan dengan korporasi, menjadikan penyidik merasa pekerjaan tersebut “berat” dan menjemukan (karena memerlukan pemikiran 229 www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09 diakses tanggal 4 oktober 2011 162 dan perhatian serta kemauan yang lebih), sehingga semangat untuk menangani perkara tersebut semakin lama semakin menurun, apalagi mendapatkan hambatan dalam membuktikan atau mencari alat-alat buktinya. 5. Adanya “kebijakan” untuk membiarkan pelaku tetap melakukan pelanggaran hukum lingkungan untuk jangka waktu yang lama, karena penguasa pemerintah sedang masih melakukan “perundingan” dengan pelaku untuk mencarikan solusinya dan atau mencari biaya-biaya yang diperlukan untuk menanggulangi hal tersebut. 6. Adanya kecenderungan pihak penguasa (administratif) untuk melihat pelanggaran hukum lingkungan sebagai pelanggaran administratif, serta memandang penanganan secara hukum pidana tidak dapat mengambil suatu keputusan yang cepat. Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup telah mengatur penegakan hukum terpadu dalam Pasal 95 ayat (1) menyatakan: dalam rangka penegakan hukum terhadap tindak pidana lingkungan hidup, dapat dilakukan penegakan hukum terpadu antara penyidik pengawai negeri sipil, kepolisian, dan kejaksaan di bawah koordinasi Menteri. Triangle Integrated Environmental Criminal Justice System (sistem segi tiga terpadu penegakan hukum pidana lingkungan hidup) melibatkan penyidik, penuntut umum dan saksi ahli. Sistem segi tiga terpadu ini berpangkal pada adanya sifat-sifat tertentu dalam tindak pidana lingkungan hidup. Sistem ini juga 163 merupakan jawaban kritik atas terkotak-kotaknya fungsi tugas penegak hukum kita sebagai akibat implementasi prinsip differensiensi fungsional di lapangan yang kaku, dan menimbulkan celah tidak berfungsinya sistem check and balanced.230 4. Kendala Profesionalisme penegak hukum Merupakan unsur kemampuan dan keterampilan secara person dari sosok-sosok penegak hukum. Kendala yang di hadapi lambannya penanganan tindak pidana lingkungan hidup, disebabkan kurangnya profesionalisme penegak hukum. Tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi, penyidik kepolisian beranggapan bahwa kasus lingkungan hidup dapat disidik apabila adanya laporan atau pengaduan. Dalam UU No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan lingkungan Hidup tidak ada satu pun pasal yang mengatakan bahwa tindak pidana lingkungan hidup merupakan tindak pidana aduan. Kepolisian menunggu adanya pengaduan masyarakat walaupun fakta dilapangan tindak pidana lingkungan hidup terjadi. Penyidik kepolisian juga akan menangani tindak pidana lingkungan hidup apabila ada akibat yang dilakukan oleh korporasi, sementara menurut penulis bagaimana penyidik akan mendapatkan akibat terjadinya tindak pidana lingkungan hidup sementara mereka tidak memfokuskan tindak pidana lingkungan hidup. 230 Erni Mustikasari. kabar_insan_adhyaksa.php.htm. www.kejaksaan.go.id. Jangan kesampingkan masalah lingkungan hidup. Diakses tanggal 4 oktober 2011 164 5. Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum Sarana atau fasilitas pendukung penegakan hukum dalam tindak pidana lingkungan hidup merupakan faktor kendala terutama sarana laboratorium. Kasus lingkungan hidup termasuk dalam penyelesaian perkara biaya tinggi sehubungan dengan keterlibatan saksi ahli dan laboratorium yang sangat tidak murah, sedangkan penangganan anggaran operasional penanganan perkara cukup terbatas. 6. Ketergantungan Penerapan Penegakan Hukum Pidana Lingkungan Terhadap Hukum Adminstratif. Penerapan hukum pidana atau pelanggaran hukum lingkungan banyak tergantung pada hukum administratif, terutama menyangkut perizinan. Yang menjadi masalah izin yang dikeluarkan oleh pejabat administratif yang kemudian ternyata izin yang dipakai itu terjadi pencemaran atau kerusakan lingkungan. Penegakan hukum pidana lingkungan menurut Undang-undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan ultimum remedium jalan terakhir diterapkan setelah instrumen hukum lain tidak bisa menyelesaikan persoalan lingkungan. Sehingga hukum penegakan hukum pidana lingkungan harus menunggu setelah penerapan hukum yang lain sudah dilaksanakan . 165 7. Hukum Pidana Masih Bersifat ultimum remedium dalam Penegakan Hukum Lingkungan. Kesulitan atau hambatan asas subsidiaritas pada praktik penegakan hukum pada UUPLH No. 23 tahun 1997 telah diperbaiki pada UUPPLH No 32 tahun 2009 dengan menghilangkan asas subsidiaritas tersebut dengan memunculkan asas ultimum remedium pada penjelasan umum angka 6 dan Pasal 100 ayat (2). Asas ini lebih dipertegas pemaknaanya sebagaimana tercantum dalam Pasal 100 ayat (2) menyatakan yaitu, setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi, atau baku mutu gangguan baru dapat dipidana, jika sanksi administrasi yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Dalam prakteknya, pejabat administrasi mengatakan belum tiba saatnya pengunaan instrumen hukum pidana, sedangkan penuntut umum mengatakan sudah saatnya menggunakan hukum pidana. Hal ini menimbulkan perdebatan antara pejabat administrasi dan penuntut umum tentang kapan tiba saatnya pengunaan obat terakhir (hukum pidana). Dengan dimuatnya asas subsidiritas yang diganti dengan asas ultimum remedium dengan syarat tertentu tersebut, menunjukan sikap pembentuk hukum yang tidak ingin menggunakan prosedur pidana dan sanksi pidana yang biasanya memiliki kekuatan pemaksa agar ditaatinya hukum lingkungan hidup. Adanya penggunaan asas subsidiaritas/ultimum remedium dengan syarat tertentu dan 166 tertulis tersebut dapat mengurangi sifat pemaksa sebagai salah satu ciri dari ketentuan pidana lingkungan.231 Adanya syarat-syarat penggunaan prosedur pidana dan ancaman sanksi pidana dalam UUPPLH tersebut memberi kesan, paling tidak dalam benak pembentuk hukum, seolah-olah para penegak hukum lebih sering atau sangat berlebihan dalam menggunakan prosedur hukum pidana dan sanksi pidana daripada prosedur administrasi atau perdata sehingga memerlukan kebijakan legislatif untuk membatasi ruang gerak penegak hukum dalam menggunakan prosedur pidana dan sanksi pidana.232 Kelemahan mendasar ini dapat dipastikan pada penegakan hukum pidana pada UUPPLH akan mengalami hambatan seperti pada UUPLH yang lalu. Kegagalan penegak hukum dalam menegakkan tindak pidana lingkungan yang dilakukan oleh korporasi setelah berlakunya Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yaitu masih menggunakan paradigma lama tentang pertanggungjawaban pidana lingkungan hidup. Penyidik akan melakukan penyidikan apabila ada masyarakat yang mengadu bahwa di wilayahnya terjadi pencemaran lingkungan hidup. Penyidik akan melakukan penyidikan apabila ada akibat yang dilakukan oleh korporasi,233 Penyidik tidak memahami dasar filosofi mengapa Undang-Undang yang lama diganti. Dasar filosofi Undang-Undang No 23 tahun 1997 diganti ke Undang- 231 Mudzakkir.op.cit. Hal. 546 Ibid 233 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 232 167 Undang No 32 tahun 2009 berdasarkan pertimbangan Undang-Undang No 32 tahun 2009 agar lebih menjamin kepastian hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak setiap orang untuk mendapatkann lingkungan hidup yang baik dan sehat sebagai bagian dari perlindungan terhadap keseluruhan ekosistem. Penegakan hukum pidana dalam Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sudah memperkenalkan ancaman hukuman minimum di samping maksimum, perluasan alat bukti, pemidanaan bagi pelanggaran baku mutu, keterpaduan penegak hukum pidana, dan pengaturan tindak pidana korporasi. Akan tetapi, hal ini tidak banyak berdampak banyak apabila penyidik masih menggunakan paradigma lama. Berdasarkan gambaran kendala-kendala penegakan hukum pidana lingkungan hidup tersebut di atas dapat dibagi kriteria penegakan hukum pidana dengan pendekatan menurut Joseph Goldstein, pendekatan hukum yang kedua Full enforcement dapat menggambarkan penegakan hukum lingkungan hidup tersebut. Kelemahan dari penegakan hukum lingkungan hidup terletak dari Full enforcement tersebut. Yaitu penegakan ini muncul setelah ruang lingkup penegakan hukum yang bersifat total (total ennforcemen) dikurangi dengan area of no enforcement. Sekalipun penegakan hukum yang kedua diharapkan para penegak hukumnya melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal ini dianggap sebagai sesuatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam bentuk waktu, personil, alat-alat investigasi, dana dan sebagainya. 168 Paling tidak dalam penelitian penulis, ada lima kendala yang mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan diantaranya: a). Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas; b). Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d). Kendala Profesionalisme penegak hukum; e). Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan Hukum; f). Adanya ketergantungan penerapan penegakan hukum pidana lingkungan terhadap hukum adminstratif; g). Hukum pidana masih bersifat ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan. Penegakan hukum yang ketiga dari Joseph Goldstein actual enforcement penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata di dalam keseluruhan wilayah penegakan hukum tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegakan hukum itu. Berdasarkan hasil penelitian penulis, menganalisis konsep teori Joseph Goldstein dengan penegakan hukum actual enforcement selama Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Walaupun kini tepat dua tahun masa transisi Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup seluruh ketentuan dalam Undang-Undang tersebut berlaku efektif dan instrumen penegakan hukum lingkungan hidup baik administratif, perdata, dan pidananya dapat dilaksanakan. Akan tetapi dalam penelitian penulis mendapatkan data ternyata satu kasus pun 169 tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup belum ada yang di tangani. Penegakan hukum melalui sanksi pidana juga tidak bisa diharapkan. Masalahnya, polisi dan jaksa lebih memprioritaskan kasus pencurian, pembunuhan ketimbang kasus lingkungan.234. Kendala utama adalah Sumber Daya Manusia (SDM) penyidik kepolisian dan kejaksaan.235 Pemahaman penegak hukum tentang hukum lingkungan yang dilakukan oleh korporasi dan pertanggungjawaban korporasi kurang memahami.236 Penyidik juga beranggapan bahwa tindak pidana lingkungan hidup bisa mereka tangani apabila ada masyarakat yang mengadu bahwa wilayahnya terjadi pencemaran lingkungan hidup. Menurut hemat penulis hal ini juga yang menjadikan penegakan hukum lingkungan hidup tidak bisa diharapkan dengan sifat penengak hukum yang apatis, padahal tindak pidana lingkungan hidup merupakan delik biasa. Hal ini dapat juga terlihat secara nasional dari Data Kementerian Negara Lingkungan Hidup Periode tahun 2009 hingga september 2011, dari 33 kasus pidana lingkungan yang diputus pengadilan, 21 kasus diantaranya diputus bebas, 4 diputus penjara, dan 8 dihukum percobaan237. Data Lembaga Pengembangan Hukum Lingkungan Indonesia, hingga Oktober 2011, tercatat 171 pengaduan masyarakat. Sebanyak 42 pengaduan diverifikasi kementerian 234 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 235 Wawancara Bu Evi., S.H., M.H . (Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka). Tanggal 27 Juli 2011 236 Wawancara Ajun Komisaris Polisi Kasman (Kasatreskrim Polres Kolaka), Pada tanggal 27 Juli 2011 237 Kompas, Kasus Lingkungan Banyak di Putus Bebas. Selasa 4 Oktober 2011 170 Lingkungan Hidup, sedangkan 42 pengaduan diserahkan kepada institusi Lingkungan Hidup didaerah, sementara jumlah laporan pidana lingkungan 92 kasus, 21 diantaranya masuk tahap penyidikan dan 1 kasus berkas dinyatakan lengkap oleh jaksa. Dari jumlah itu, 47 laporan tidak diketahui kasusnya.238 Hal ini dapat menggambarkan tindak pidana lingkungan hidup secara nasional ternyata penegakan hukum tindak pidana lingkungan hidup tidak cukup baik, Derajat kerusakan akibat kejahatan korporasi di bidang lingkungan hidup lebih serius ketimbang kejahatan konvensional seperti pencurian, perampokan, bahkan pembunuhan. Apa lagi di daerah-daerah yang jauh dari kontrol dari pengawasan media dan penegak hukum. 238 http://www.icel.or.id/catatan-akhir-tahun-icel-2011karpet-merah-investor-perusak-lingkungan. Diakses Tanggal, 21 Desember 2011 171 BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan Berdasarkan seluruh uraian sebagaimana yang telah dipaparkan kiranya dapat ditegaskan beberapa pokok pemikiran sebagai kesimpulan seperti berikut ini: 1. Seperti yang dikemukakan oleh Joseph Goldstein Penegak hukum full enforcement khususnya di tahap penyidik kepolisian masih lemah pelaksanaannya. Penegakan hukum yang dilaksanakan oleh kepolisian dan kejaksaan belum secara maksimal, artinya kebijakan subyektif dari penegak hukum untuk melanjutkan tindak pidana ke proses lebih lanjut. Kondisi seperti ini dijadikan peluang bagi korporasi untuk berbuat semaunya dan mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Oleh karena itu, kepolisian dan kejaksaan harus melaksanakan penegakan hukum secara tegas dan konsisten. 2. Kendala-kendala utama yang terjadi dalam praktek penegakan hukum yang dihadapi oleh kepolisian dan kejaksaan apabila korporasi melakukan tindak pidana lingkungan hidup, paling tidak ada lima kendala yang mempengaruhi penegakan hukum, termasuk penegakan hukum pidana lingkungan diantaranya: a). Kendala Sumber Daya Manusia Penegak Hukum masih terbatas; b). Tindak Lingkungan Hidup belum Menjadi prioritas; c). Kendala Koordinasi antar Instansi dalam Penanganan Tindak Pidana Lingkungan; d). Kendala Profesionalisme penegak hukum; e). Kendala Sarana atau Fasilitas yang Mendukung Penegakan hukum; f). Ketergantungan penerapan 172 hukum pidana lingkungan terhadap hukum administratif; g). Hukum pidana masih bersifat ultimum remedium dalam penegakan hukum lingkungan. Kendala-kendala yang mempengaruhi penegakan hukum tersebut, dikategorikan sebagai penegakan hukum tipe full enforcement, yaitu mengharapkan para penegak hukum melakukan penegakan hukum secara maksimal, namun demikian hal itu dianggap sebagai suatu yang tidak realistis sebab adanya keterbatasan-keterbatasan dalam penegakan hukum pidana. Penegakan hukum tipe actual enforcement penegakan hukum pidana yang dapat dilakukan secara nyata dapat dilaksanakan tidak lebih dari separuh dari keseluruhan wilayah penegak hukum. Selama Undang-Undang No 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup diberlakukan yang disahkan 2 tahun lalu belum efektif diterapkan secara keseluruhan. Ternyata (0) kasus tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi yang ditangani oleh Polres Kab. Kolaka dengan lahirnya Undang -Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup kasus belum ada yang di tangani. B. Saran Berkaitan dengan hasil penelitian dan pembahasan, maka penulis menyarankan: 1. Perlu dikembangkan sistem triangle Integrated Environmental Criminal Justice System (sistem segi tiga terpadu penegakan hukum pidana lingkungan hidup) yaitu adanya koordinasi terpadu antara penyidik kepolisian, kejaksaan dan saksi ahli untuk memecah kebuntuan dalam 173 penegakan hukum supremasi hukum khususnya penegakan hukum lingkungan hidup. 2. Perlu adanya penyidik kepolisian dan kejaksaan khusus menangani lingkungan hidup, khususnya di daerah industri dan pertambangan. 3. Diperlukan sikap tegas penegak hukum bersifat preventif dan represif tidak berjalan sendiri akan lebih baik berjalan sebagai satu kesatuan sistem yang disebut sistem peradilan pidana. 174 DAFTAR PUSTAKA Buku-Buku Andi Hamzah.2008. Penegakan Hukum Lingkungan. Sinar Grafika.Jakarta. Andi Zainal Abidin. 1987. Asas-asas Hukum Pidana Bagian Pertama. Alumni. Bandung Barda Nawawi Arief. 2007. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Kencana Prenada Media Group: Jakarta. ………………..1988. Perbandingan Hukum Pidana.FH UNDIP: Semarang. ...........................2008.Kebijakan Hukum Pidana. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. ...........................1996. Bunga Rampai Kebijakan Pidana. Citra Aditya Bakti. Bandung. Chidir Ali.1991. Badan Hukum. Alumni.Bandung Dwidja Priyatno. 2009. Kebijakan Legislasi Tentang Sistem Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Di Indonesia. CV. Utomo. Bandung Jimly Asshidiqie.2009. Gree Constitution. Rajawali Pers. Jakarta Koesnadi Hardjasoemantri. 2009. Hukum Tata Lingkungan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta Muhammad Topan. 2009. Kejahatan Korporasi di bidang Lingkungan Hidup. Nusa Media: Yogyakarta. Muladi, et.al. 2010. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi. Prenada Media Group: Jakarta. Muladi.1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang. Badan Penerbit Universitas Diponegoro Muladi dan Barda Nawawi Arief. 2005. Teori-teori dan Kebijakan Pidana. Cetakan ketiga.Alumni. Bandung 175 Moeljatno. KUHP. 1999. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bumi Aksara: Jakarta Mardjono Reksodiputro.1994. Sistem Peradilan Pidana (Peran Penegak Hukum Melawan Kejahatan). dalam Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia dalam Sistem Peradilan Pidana. Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (d/h Lembaga Kriminologi), Universitas Indonesia, Jakarta Mudzakkir.2011.Aspek Hukum Pidana dalam Pelanggaran Lingkungan Hidup.Pascasarjana UI.Jakarta. Rusli Muhammad.2010.Kemandirian Pengadilan Indonesia. FH UII Press. Yogjakarta Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional. Airlangga University Press. Surabaya. Satjipto Raharjo.1983.Masalah Penegakan hukum (suatu tinjauan sosiologis) . Sinar Baru.Bandung. .......................... 1980. Hukum Masyarakat dan Pembangunan.Alumni. Bandung .......................... Penegakan Hukum (suatu tinjauan sosiologis). Genta Publishing. Yogyakarta Sudarto. 1979.Suatu Dilema dalam Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia. FHUNDIP: Semarang ....................1983.Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat: Kajian terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. Sinar Baru, Bandung ....................1983. Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung. ....................1981.Suatu Pembaharuan Sistem Pidana Indonesia dalam Beberapa Guru Besar Berbicara tentang Hukum dan Pendidikan Hukum (Kumpulan Pidato-Pidato Pengukuhan). Alumni:Bandung Soerjono Soekanto.1983. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. Siahaan.2009. Hukum Lingkungan. Pancuran Alam: Jakarta. 176 Setiyono.2009.Kejahatan Korporasi. Pertanggungjawaban (Analisis Korporasi dalam Viktimologi Hukum dan Pidana Indonesia) Banyumedia Publishing: Malang. Sabian Utsman.2008. Menuju Penegakan Hukum Responsif.Pustaka Pelajar. Yogjakarta. Sutan Remi Sjahdeini.2007. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi.Grafiti Pers. Jakarta Sukanda Husin.2009. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta Soetan K. Malikoel Adil, Pembaharuan Hukum Perdata Kita. PT. Pembagunan: Jakarta. Syahrul Machmud.2012. Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia. Graha Ilmu. Yogyakarta. Teguh Prasetyo. 2010. Kriminalisasi dalam Hukum Pidana.Nusamedia. Bandung ...................................& Abdul Halim Barkatullah.2005. Politik Hukum Pidana : Kajian Kebijakan Kriminalisasi dan Dekriminalisasi, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Yusuf Shofie.2002. Pelaku Usaha, Konsumen, dan Tindak Pidana Korporasi. Ghalia Indonesia. Jakarta. Perundang-undangan: Rancangan Undang-Undang KUHP 2008 Undang-undang No. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Undang-undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang perlindungan dan pengeloaan lingkungan Hidup.2010.Citra Umbara: Bandung. 177 Makalah: Barda.Nawawi. Arief, Prinsip-prinsip Dasar Atas Pedoman Perumusan/Formulasi ketentuan pidana dalam Perundang-undangan …………., Masalah Pemidanaan Sehubungan dengan Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat Modern, Kertas Kerja Pada Seminar Perkembangan Delik-delik Khusus dalam Masyarakat yang Mengalami Modernisasi BPHN-FH UNAIR Surabaya, Tanggal 25-27 Februari 1980. Elsam.2005. Position Paper Advokasi RUU KUHP Seri 6 “Tanggungjawab Pidana Korporasi dalam RUU KUHP”. J.E. Sahetapy.1989. Kejahatan Korporasi Ditinjau dari Sudut Kriminologi. Makalah pada Seminar Nasional Kejahatan Korporasi 23- 24 November. FH-UNDIP: Semarang. ......................1993“Hukum dalam Konteks Politik dan Budaya, dalam Kebijakan Pembangunan Sistem Hukum,” Analisis CSIS (Januari- Pebruari,XXII), No. 1. Hasil Wawancara Wawancara dengan Ajun Komisaris Polisi (AKP) Kasman. Kasatreskrim Polres Kolaka. Hari Rabu, tanggal 27 Juli 2011. Di Kab. Kolaka. Provinsi Sulawesi Tenggara Wawancara dengan Bu Evi., S.H., M.H. Kasipidum Kejaksaan Negeri Kolaka. Hari Kamis, tanggal 28 Juli 2011. Di Kab. Kolaka. Provinsi Sulawesi Tenggara 178 Wawancara Musnajam, Peneliti AMDAL Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat LPPM Univ. 19 Nopember Kolaka. Hari Sabtu.tanggal 30 Juli 2011. Di Kab. Kolaka. Provinsi Sulawesi Tenggara. Thesis dan Disertasi Buyung Dwikora. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi dalam Undangundang No 23 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. Tesis FH-UNDIP. Semarang. Hery Lius. Penegakan Hukum Lingkungan dalam rangka Perlindungan Terhadap Korban Pencemaran Kabut Asap Akibat Kebakaran Hutan dan Lahan di Propinsi Jambi. Thesis FH-UNDIP. Semarang. Suharto. 2010. Hukum dan Lumpur Lapindo: Tanggungjawab Pemerintah dan PT.Lapindo Brantas. Ringkasan Disertasi FH-UII. Yogyakarta. Koran dan Data Elektronik http://www.kompas.com.Diakses Pada tanggal. 21 Juli 2004 Kompas, Diakses, Pada tanggal.Selasa 4 Oktober 2011 http://geo.ugm.ac.id, Pembangunan Berkelanjutan, Lingkungan Hidup dan Otonomi Daerah, Diakses Pada tanggal, 11 Januari 2011 Lucky Raspati.2007. Jerat tidak pas lumpur panas. Rispati. blogspot.com. Diakses pada tanggal 6 Maret 2011 Erni Mustikasari. kabar_insan_adhyaksa.php.htm. www.kejaksaan.go.id. Jangan kesampingkan masalah lingkungan hidup. Diakses pada tanggal 4 oktober 2011 www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09. Penegakan hukum lingkungan hidup terpadu dalam perspektif hukum pidana. diakses pada tanggal 4 oktober 2011 www. alvisyahrin.blog.usu.ac.id/2011/05/09. Pertanggungjawaban Pidana Pada Perseroan Terbatas (PT) Berdasarkan Pasal 116 UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Diakses pada tanggal 4 oktober 2011 www. Legalitas.org, RUU KUHP. Diakses pada tanggal 6 juli 2010 179 www. berita.yahoo.com/pertambangan-sebabkan-pencemaran-laut-kolaka. Diakses tanggal 23 oktober 2011 www.icel.or.id/catatan-akhir-tahun-icel-2011karpet-merah-investor perusaklingkungan. Diakses Tanggal, 21 Desember 2011 180