Academia.eduAcademia.edu

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN

PENEGAKAN HUKUM PIDANA TERHADAP PELANGGARAN IZIN LINGKUNGAN DALAM PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN LINGKUNGAN HIDUP M. TAUFIK A.21211027 1 Abstrak Lemahnya penegakan hukum lingkungan menyebabkan terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Untuk mengatasi hal tersebut, langkahlangkah yang harus dilakukan adalah dengan menerapkan norma dan kaidah hukum yang berlaku. Salah satunya adalah dengan ancaman sanksi baik pidana, perdata, maupun sanksi administratif. Dalam penelitian ini penulis mengangkat permasalahan, hambatan dan kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana terhadap pelanggaran pelaksanaan izin lingkungan berdasarkan pasal 76 jo pasal 100 ayat 2 Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis. Yuridis sosiologis adalah jenis penelitian yang meninjau hukum secara normanya dan peraturan perundang – undangan di masyarakat dalam implementasi atau peraturan perundang-undangan di masyarakat. Hasil penelitiannya membuktikan bahwa walaupun upaya hukum telah dilakukan tetapi tidak ada orang maupun badan usaha yang diadili di pengadilan terkait kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan. Permasalahan dan kendala yang dihadapi dalam penegakan hukum pidana lingkungan ini adalah ego kedaerahan, keterbatasan dana dan sumber daya yang dimanfaatkan. Kasus lingkungan hidup yang ditindak lanjuti dengan proses penyidikan hanya mampu menerapkan sanksi adminsitratif dan tidak sampai ke pengadilan. Oleh karena itu diperlukan penguatan lembaga lingkungan hidup melalui kerja sama yang terpadu oleh berbagai instansi terkait untuk penegakan hukum lingkungan hidup. Kata Kunci : Hukum Pidana, Izin Lingkungan, Pencemaran, Sanksi Administratif 2 Abstract Weak enforcement of environmental law causes of pollution and environmental damage. To overcome this, the steps that must be done is to apply the norms and rules of applicable law. One of them is a penalty of either criminal, civil, or administrative sanctions. In this study the authors raised concerns, barriers and obstacles encountered in the enforcement of criminal law on the implementation of an environmental permit violation under Article 76 in conjunction with Article 100 paragraph 2 of Act - Act No. 32 of 2009 on the Protection and Management of the Environment. The method used in this study is a socio-juridical approach. Sociological judicial review is a type of research that legal norms and regulations - regulations in the community in the implementation of laws and regulations or in the community. Research results prove that despite legal efforts have been made but no person or business entity who is on trial in the court cases related to pollution and environmental damage. Problems and constraints faced in the enforcement of environmental criminal law is ego regionalism, lack of funding and resources used. Environmental cases are followed up with the process of investigation is only able to apply administrative sanctions and not up to the court. Therefore a need to strengthen environmental agencies through integrated cooperation by various agencies for enforcement of environmental laws. Keywords: Criminal Law, Environmental Permits, Pollution, Administrative Sanctions 3 I. PENDAHULUAN Pembangunan industri di Provinsi Kalimantan Barat, selain telah berperan dalam meningkatkan perekonomian daerah, juga dihadapkan pada masalah pencemaran lingkungan hidup yang disebabkan oleh limbah industri. Akibat adanya limbah industri yang dihasilkan oleh suatu perusahaan, sudah barang tentu akan menimbulkan kerugian bagi masyarakat yang terkena dampaknya. Hal ini terutama bagi masyarakat yang pada umumnya mengkonsumsi air sungai sebagai kebutuhan pokok hidupnya sehari-hari, sehingga tidak dapat mempergunakan air sungai tersebut karena sudah tercemar oleh limbah industri. Disisi lain limbah yang dihasilkan oleh suatu perusahaan dapat menimbulkan berbagai macam penyakit, diantaranya seperti penyakit kulit, sampai pada penyakit yang berbahaya yaitu penyakit kolera atau penyakit desentri. Pencemaran dan perusakan lingkungan yang ditimbulkan oleh usaha kegiatan perusahaan industri adalah sebagai suatu bahaya yang senantiasa mengancam kelestarian lingkungan dan kehidupan makhluk hidup. Bahaya tersebut wajib untuk dilakukan pencegahan dan penanggulangan oleh berbagai pihak agar masyarakat dapat hidup bersama dengan lingkungan yang baik dan sehat. Salah satu instrumen untuk mengendalikan pencemaran dan atau perusakan lingkungan hidup ini adalah dengan penegakan hukum lingkungan. Penegakan hukum adalah pengawasan dan penerapan (atau dengan ancaman) penggunaan instrumen administratif, kepidanaan atau keperdataan untuk mencapai penataan ketentuan hukum dan peraturan yang berlaku umum dan individu”1. Sedangkan penegakan tersebut dalam bidang lingkungan dapat dilakukan dengan pengamatan melalui pengawasan dan pemeriksaan serta melalui deteksi pelanggaran hukum, pemulihan kerusakan lingkungan dan tindakan kepada pembuat2. 1 A. Hamzah, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, hlm. 61 Supriadi, 2010, Hukum Lingkungan di Indonesia:Sebuah Pengantar, Sinar Grafika, Jakarta, hlm.269 2 4 Penegakan hukum lingkungan terbagi menjadi 3 (tiga) aspek yaitu3: pertama penegakan hukum lingkungan administrasi. Sanksi administratif adalah sanksi yang dapat diberlakukan kepada setiap orang yang melanggar baku mutu air limbah, baku mutu emisi atau baku mutu gangguan. Terhadap penerima sanksi ini dapat di tindak pidana jika sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali. Penegakan sanksi administratif merupakan salah satu bentuk penyelesaian masalah lingkungan yang bertujuan agar pembuatan atau pengabaian yang melanggar hukum atau tidak memenuhi persyaratan, berhenti atau mengembalikan kepada keadaan semula sebelum terjadi pelanggaran 4. Sanksi ini sangat penting untuk mencegah para pengusaha melakukan kegiatan illegal yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan. Upaya penegakan hukum lingkungan yang kedua adalah dengan cara perdata. Upaya penegakan hukum ini dapat dilakukan melalui pengadilan atau di luar pengadilan. Bentuk dari penegakan hukum ini adalah sanksi perdata berupa pembayaran ganti rugi bagi masyarakat dan pemulihan terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, Upaya penegakan hukum lingkungan yang terakhir adalah dengan cara pidana. Penerapan sanksi pidana lingkungan tetap memperhatikan asas ultimum remedium, yaitu mewajibkan penerapan penegakan hukum pidana sebagai upaya terakhir setelah penerapan penegakan hukum administratif, sanksi perdata dan penyelesaian sengketa di luar pengadilan. Dalam upaya penegakan hukum lingkungan yang diterapkan kepada kegiatan dan / atau usaha yang berdampak terhadap lingkungan, ditemukan pelanggaran terhadap izin lingkungan. Penegakan hukum tersebut diterapkan melalui sanksi administratif seperti yang termuat dalam Pasal 76 ayat (2) UUPPLH, yang terdiri dari teguran tertulis, paksaan pemerintah, pembekuan izin lingkungan, atau pencabutan izin lingkungan. 3 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UUPPLH) 4 Mukhlish, 2010, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara press, Malang, hlm 139 5 Izin lingkungan adalah izin yang diberikan kepada setiap orang yang melakukan usaha dan/atau kegiatan yang wajib Amdal atau UKL-UPL dalam rangka perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sebagai prasyarat untuk memperoleh izin usaha dan/atau kegiatan. Izin usaha dan/atau kegiatan adalah izin yang diterbitkan oleh instansi teknis untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan 5. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 mengatur hubungan (interface) antara izin lingkungan dengan proses pengawasan dan penegakan hukum. Pasal 71 dalam PP 27 Tahun 2012 memberikan ruang yang jelas mengenai pengenaan sanksi atas pemegang izin lingkungan yang melanggar kewajibannya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 53. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup memberikan mandat kepada aparat penegak hukum yaitu instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, Penyidik (PPNS LH dan POLRI), Jaksa dan Hakim untuk mendayagunakan instrumen penegakan hukum lingkungan, baik melalui penerapan sanksi administratif, penegakan hukum perdata (penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar dan melalui pengadilan) dan penegakan hukum pidana. Terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup cenderung disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum lingkungan di wilayah Provinsi Kalimantan Barat yang dilakukan oleh aparat penegak hukum selama ini, sehingga aktivitas pencemaran dan kerusakan lingkungan hidup tetap marak dan kian mengkhawatirkan. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalimantan Barat tahun 2010, jumlah kasus lingkungan hidup yang telah dilaporkan sebanyak 11 kasus, tahun 2011 sebanyak 19 kasus dan tahun 2012 sebanyak 17 kasus. Dengan demikian jumlah kasus lingkungan hidup yang dilaporkan setiap tahunnya terjadi peningkatan dan diterapkan sanksi administrasi. 5 Hardjasoemantri, Koesnadi, Hukum Tata Lingkungan, Cet. 14. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999 6 Dari latar belakang yang diuraikan di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang hal tersebut dan menuliskan hasilnya dalam sebuah tesis berjudul “Penegakkan Hukum Pidana terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Ijin Lingkungan berdasarkan Pasal 76 jo Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup”. II. MASALAH Berdasarkan latar belakang sebagaimana diuraikan di atas dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Ijin Lingkungan berdasarkan Pasal 76 jo Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? 2. Apa saja kendala atau hambatan yang dihadapi dalam Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Ijin Lingkungan berdasarkan Pasal 76 jo Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup? Adapun yang menjadi sampel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalimantan Barat. 2. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. 3. Polda Kalimantan Barat pada Direktorat Reskrim Khusus Kasi Korwas PPNS Kalimantan Barat. Pengumpulan data dilakukan dengan data primer yang dikumpulkan melalui wawancara dan observasi kepada instansi terkait di lingkungan Pemerintah Provinsi Kalimantan Barat, yaitu Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) Provinsi Kalimantan Barat, dan Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. Selain itu data sekunder diperoleh melalui kepustakaan terhadap peraturan perundang-undangan, dokumen atau catatan yang berkaitan dengan penelitian ini. 7 III. PEMBAHASAN Sebagai negara yang sedang berkembang, Indonesia sedang menggalakkan pembangunan pada berbagai sektor. Pembangunan ini memberikan efek negatif pada lingkungan berupa timbulnya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Oleh karena itu Pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan yang menjadi dasar untuk melakukan pengelolaan lingkungan hidup dan sebagai upaya meminimalisasi dampak negatif pembangunan terhadap lingkungan. Kebijakan tersebut tidak hanya di tingkat pusat tetapi juga di daerah. Kebijakan daerah dalam mengatasi permasalahan lingkungan meliputi :6 a. Regulasi Perda tentang Lingkungan. b. Penguatan Kelembagaan Lingkungan Hidup. c. Penerapan dokumen pengelolaan lingkungan hidup dalam proses perijinan d. Sosialisasi/pendidikan tentang peraturan perundangan dan pengetahuan lingkungan hidup. e. Meningkatkan kualitas dan kuantitas koordinasi dengan instansi terkait dan stakeholders f. Pengawasan terpadu tentang penegakan hukum lingkungan. g. Memformulasikan bentuk dan macam sanksi pelanggaran lingkungan hidup. Peningkatan kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia. h. Peningkatan pendanaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Dalam kebijakan daerah untuk mengatasi permasalahan lingkungan, dilakukan pengawasan secara terpadu oleh instansi yang terkait. Instansi yang ditugasi mengendalikan dampak lingkungan melakukan : a. Pengawasan dan pengevaluasian penerapan peraturan perundang- undangan dibidang analisis mengenai dampak lingkungan hidup; b. Pengujian laporan yang disampaikan oleh pemrakarsa usaha dan/atau kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1); 6 Rencana Strategis Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimnatan Barat 8 c. Penyampaian laporan pengawasan dan evaluasi hasilnya kepada Menteri secara berkala, sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalam 1 (satu) tahun, dengan tembusan kepada instansi yang berwenang menerbitkan izin dan Gubernur. Sebagai salah satu instansi yang bertugas dan berwenang dalam melakukan pengelolaan lingkungan hidup, Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Barat juga melakukan pengawasan secara berkala terhadap kegiatan dan usaha yang memiliki potensi dampak negatif terhadap lingkungan. Oleh karena itu, salah satu responden dalam penelitian ini adalah instansi dari Badan Lingkungan Hidup Daeah Provinsi Kalimnatan Barat selain Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat dan Polda Kalimantan Barat pada Direktorat Reskrim Khusus Kasi Korwas PPNS Kalimantan Barat. Berikut ini disajikan data hasil penelitian terhadap responden : a. Kepala Badan Lingkungan Hidup Daerah Provinsi Kalimantan Barat. 1. Penyidik Pegawai Negeri Sipil Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan Kepolisian Daerah Kalbar dalam rangka penyelidikan dan penyidikan perusahaan yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan. 2. Upaya hukum telah dilakukan oleh PPNS Lingkungan Hidup, akan tetapi belum ada satu orang atau badan usaha yang di adili kaitannya dengan kasus pengrusakan lingkungan. b. Kepala Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan Barat. 1. Pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Barat masih bertumpu pada prioritas ekonomi sebagai sumber devisa dan modal pembangunan. Sementara aspek ekologi, sosial, dan kelestariannya seringkali diabaikan. Akibatnya, eksploitasi berlebih mengakibatkan semakin kritisnya potensi sumber daya alam. 9 2. Untuk mengatasi masalah tersebut, arah kebijakan yang akan ditempuh meliputi perbaikan manajemen dan sistem pengelolaan sumber daya alam, optimalisasi manfaat ekonomi dari sumber daya alam termasuk jasa lingkungannya, penegakan hukum, rehabilitasi dan pemulihan cadangan sumber daya alam, dan pengendalian pencemaran lingkungan hidup. 3. Sasaran pembangunan dibuat agar sumber daya alam dapat tetap mendukung perekonomian Kalimantan Barat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa mengorbankan daya dukung dan fungsi lingkungan hidupnya, agar kelak tetap dapat dinikmati oleh generasi mendatang. 4. Pembangunan lingkungan hidup diarahkan untuk:    Mengarusutamakan   prinsip pembangunan berkelanjutan ke seluruh bidang pembangunan. Koordinasi pengelolaan lingkungan hidup di tingkat kabupaten. Pelestarian dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan  (mainstreaming) sesuai dengan pedoman IBSAP 2003-2020 (Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan). Meningkatkan upaya penegakan hukum secara konsisten kepada pencemar lingkungan. Meningkatkan kapasitas lembaga pengelola lingkungan hidup. Membangun kesadaran masyarakat agar peduli pada isu lingkungan hidup dan berperan aktif sebagai kontrol-sosial dalam memantau kualitas lingkungan hidup. c. Polda Kalimantan Barat pada Direktorat Reskrim Khusus Kasi Korwas PPNS Kalimantan Barat 1. Hubungan tata cara kerja antara penyidik Polri dan PPNS telah diatur dalam pasal 7 ayat (2) KUHAP yang berbunyi : 10 “Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yng menjadi dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a” 2. Koordinasi dan pengawasan (Korwas) Penyidik Polri terhadap PPNS dimaksudkan untuk mengawasi PPNS tersebut dalam melakukan penyidikan dengan harapan berkas hasil penyidikan memenuhi syarat formil dan materil. Bentuk pengawalan tersebut diimplementasikan dalam bentuk bantuan penyidikan, yaitu bantuan teknis, taktis, upaya paksa ataupun konsultasi. 3. Kendala dalam pelaksanaan Korwas PPNS adalah sebagai berikut :  Tugas penyidikan seringkali dianggap sebgai tugas tambahan  kerena PPNS belum memahami wewenang yang dimiliki.  penyidikan. Pimpinan PPNS belum memiliki kesamaan persepsi tentang  Ego sektoral karena kekuasaan.  menyidik.  instansinya Pindah tugas, tugas rangkap, SKEP belum turun dan berani PPNS belum sepenuhnya mendapat dukungan anggaran dari Adanya otonomi daerah yang mempengaruhi penataa PPNS dan pelaksanaan tugasnya (sebenarnya penegakan hukum termasuk urusan pemerintah yang tidak diotonomikan). Mengingat kompleksnya pengelolaan lingkungan hidup dan permasalahan yang bersifat lintas sektor dan wilayah, maka dalam pelaksanaan pembangunan diperlukan perencanaan dan pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup yang sejalan dengan prinsip pembangunan berkelanjutan yaitu pembangunan ekonomi, sosial budaya, lingkungan hidup yang berimbang sebagai pilar-pilar yang saling tergantung dan saling memperkuat satu sama lain. 11 Hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan lingkungan hidup di daerah dalam era otonomi daerah antara lain sebagai berikut. a. Ego sektoral dan daerah. Otonomi daerah yang diharapkan dapat melimpahkan sebagian kewenangan mengelola lingkungan hidup di daerah belum mampu dilaksanakan dengan baik. Ego kedaerahan masih sering nampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup. b. Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Program dan kegiatan mesti didukung dengan dana yang memadai apabila mengharapkan keberhasilan dengan baik. Walaupun semua orang mengakui bahwa lingkungan hidup merupakan bidang yang penting dan sangat diperlukan, namun pada kenyataannya PAD masih terlalu rendah yang dialokasikan untuk program pengelolaan lingkungan hidup. Sebaik apapun program yang ingin dicapai sulit untuk di realisasikan tanpa didukung oleh anggaran yang memadai. Dengan anggaran yang memadai akan ada keleluasaan pihak penyelenggara kegiatan untuk merealisasian tujuan yang ingin dicapainya. Untuk mengetahui alokasi anggaran institusi lingkungan hidup serta alokasi anggarannya untuk penegakan hukum dari tahun 2010 sampai dengan 2012 dapat dilihat pada tabel berikut ini : Tabel 3.3 Alokasi Anggaran Institusi Lingkungan Hidup Provinsi Dan Kabupaten Kota Di Kalimantan Barat Tahun 2010 -2012 No Provinsi Kab/ Kota 1 Prov. Kalimantan Barat 2 Kota Pontianak Tahun 2010 2011 2012 2010 2011 2012 Total Anngaran (Rp) 6.125.379.400 6.756.591.850 7.165.903.300 719.940.000 12 Alokasi Untuk Ket. penegakan Hukum 100.000.000 Ada kenaikan 110.000.000 namun tidak 127.000.000 signifikan - 3 Kab. Pontianak 4 Kab. Sambas 5 Kab. Bengkayang 7 Kota Singkawang 9 Ka. Sekadau 10 Kab. Sintang 11 Kab. Melawi 12 Kab. Kapuas Hulu 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 2010 2011 2012 838.450.000 4.650.993.880 4.549.345.985 3.90,015.000 362.920,500 30.250.000 400.000.0000 1.106.434.000 1.037.942.000 1.230.390.090 1.164.987.500 687.070.000 728.708.750 653.897.500 411.000.000 806.858.700 829.462.800 193.325.000 362.381.250 193.842.000 - Sumber data : BLHD Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2012. Dari tabel tersebut diatas diketahui bahwa alokasi anggaran untuk institusi lingkungan hidup ditiap Kabupaten/Kota tidak sama. Setidaknya anggaran tersebut diatas menggambarkan kepedulian eksekutif dan legeslatif dalam menanggapi permasalah lingkungan yang terjadi diwilayahnya. Kabupaten Kapuas Hulu dengan luas wilayahnya yang terbesar kedua setelah Kabupaten Ketapang dengan berbagai macam permasalahan lingkungannya justru anggarannya sangat minim. Anggaran yang disediakan pada tabel tersebut diatas banyak yang hanya untuk menjalankan kegiatan yang bersifat rutinas seperti penyuluhan, pemantauan, rapat, koordinasi, perjalanan dinas untuk menghadiri acara-acara yang hanya bersifat seremonial. Belum ada satupun institusi lingkungan hidup yang memiliki anggaran khusus untuk penegakan hukum lingkungan. 13 c. Keterbatasan sumberdaya manusia. Harus diakui bahwa didalam pengelolaan lingkungan hidup selain dana yang memadai juga harus didukung oleh sumber daya yang memadai. Konsekuensi lain dari lemahnya institusi lingkungan hidup adalah sumber daya manusianya yang minim baik dari segi kuantitas maupun kualitas. Hal ini dapat kita lihat pada tabel berikut ini : Tabel 3.4 Jumlah Pegawai Yang Bertugas Di Institusi Lingkungan Hidup Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 - 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 Provinsi Kab/ Kota Prov.Kalimantan Barat Kota Pontianak Kab. Pontianak Kab. Bengkayang Kab. Sambas Kab. Landak Kab. Sanggau Kab. Sekadau Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Melawi Kab. Ketapang Jumlah Pegawai Ket. 2010 2011 2012 65 62 59 Berkurang 17 16 16 Berkurang 10 12 12 Bertambah 6 6 2 Berkurang 6 7 12 Bertambah 8 7 8 Stabil 5 6 5 Stabil 5 4 3 Berkurang 8 6 7 Berkurang 6 7 8 Stabil 5 4 4 Berkurang 7 8 3 Berkurang Sumber data : BLHD Provinsi Kalimantan Barat 2012. Jika melihat tabel 3.10 tersebut diatas sumber daya manusia yang bertugas pada institusi lingkungan hidup di Kabupaten/Kota dari segi kuantitas sangat minim. Untuk mengurusi urusan lingkungan yang sedemikian kompleksnya dengan wilayah yang luas seerti di Kabupaten Ketapang hanya ditangani oleh 3 orang. Sementara dari kualitas sumber daya manusianya para pejabat struktural banyak yang bukan berlatar belakang pendidikan lingkungan hidup. Selain itu personil institusi lingkungan hidup banyak mengalami penurunan dari jumlah pegawai. Penurunan jumlah pegawai terjadi dihampir seluruh institusi lingkungan hidup Kabupaten/Kota. 14 baik ditingkat Provinsi maupun d. Eksploitasi sumber daya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. Sumber daya alam seharusnya digunakan untuk pembangunan untuk mencapai kesejahteraan masyarakat. Tetapi kenyataannya tidak demikian, eksploitasi bahan tambang, logging hanya menguntungkan sebagian masyarakat, e. Lemahnya penegakan hukum lingkungan khususnya dalam pengawasan. Tugas untuk pelaksanaan pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) dan tugas untuk penegakan hukum dilakukan oleh Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Untuk mengetahui jumlah PPNS-LH baik yang berada di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/ Kota dapat di lihat pada tabel berikut ini : Tabel 3.5 Jumlah PPNS-LH di Kalimantan Barat Tahun 2012 No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Provinsi Kab/ Kota Prov.Kalimantan Barat Kota Pontianak Kab. Pontianak Kab. Bengkayang Kab. Sambas Kab. Landak Kab. Sanggau Kab. Sekadau Kab. Sintang Kab. Kapuas Hulu Kab. Melawi Kab. Ketapang Kota Singkawang Jumlah Jumlah PPNS-LH 6 1 2 1 1 2 13 Keterangan 1 pindah, 1 dipindahkan dipindahkan dipindahkan Sumber data : BLHD Provinsi Kalimantan Barat 2012. Berdasarkan tabel tersebut, diketahui bahwa jumlah PPNS-LH di Kalimantan Barat hanya berjumlah 13 orang. Dari 13 orang tersebut, 4 orang dipindahkan ke instansi lain yang tidak ada hubungannya dengan urusan lingkungan hidup dan 1 orang mengajukan pindah. 15 Dengan demikian jumlah PPNS-LH yang ada saat ini hanya tersisa tinggal sebanyak 8 orang. 4 orang berkedudukan di BLHD Provinsi Kalimantan Barat dan 4 lainnya berkedudukan di institusi lingkungan hidup Kabupaten/ Kota. Selanjutnya untuk mengetahui tingkat kepedulian dan partisipasi masyarakat melaporkan kasus lingkungan hidup yang terjadi didaerahnya ke Pos Pengaduan BLHD Daerah Provinsi Kalimantan Barat yang terjadi sejak tahun 2010 sampai dengan 2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini. Tabel 3.6 Kasus Lingkungan Hidup yang Dilaporkan dan Dindaklanjuti BLHD Provinsi Kalimantan Barat Tahun 2010 - 2012 No 1 Jenis Pencemaran Pencemaran Sungai Pencemaran udara Kebisingan Semburan belerang Pembakaran lahan Pembalakan liar 2 3 4 5 6 7 Sengketa lahan Jumlah Tahun 2010 L 1 1 - Tahun 2011 Lm Adm Sdk 1 - L 5 Tahun 2012 Lm Adm Sdk 5 - L 1 - - - - - - - - - - - - - - - - - - - 9 - 14 - 14 - 16 - 16 - - - - - - - - - - - 9 Sdk - 1 - - - - - - - - - - - - - 11 - 11 - 19 - 19 - 17 - 17 - Sumber data : Pos Pengaduan Lingkungan Hidup, BLHD Provinsi Kalimantan Barat Keterangan : L = Kasus pencemaran dan atau kerusakan yang dilaporkan Lm = Kasus pencemaran/kerusakan yang dilimpahkan ke instansi teknis Adm = Kasus Pencemaran/ kerusakan yang ditangani dengan tindakan administrasi Sdk Lm Adm 1 = Kasus Pencemaran/kerusakan yang diproses dengan penyidikan 16 Dari data tersebut diatas diketahui bahwa partisipasi masyarakat dalam melaporkan kasus-kasus lingkungan hidup sangat minim. Hal ini dapat dilihat pada minimnya laporan yang masuk jika dibandingkan dengan jumlah kasus yang terjadi di lapangan. Hal ini dikarenakan ketidaktahuan masyarakat tentang keberadaan Pos Pengaduan lingkungan hidup di BLHD Provinsi Kalimantan Barat. IV. PENUTUP Berdasarkan uraian dan pembahasan diatas, didapat kesimpulan sebagai berikut : 1. PPNS Lingkungan Hidup berkoordinasi dengan POLDA dalam rangka penyelidikan dan penyidikan perusahaan yang melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan. 2. Upaya hukum telah dilakukan oleh PPNS Lingkungan Hidup, akan tetapi belum ada satu orang atau badan usaha yang di adili kaitannya dengan kasus pencemaran sungai. 3. Pengelolaan sumber daya alam di Kalimantan Barat masih bertumpu pada prioritas ekonomi sebagai sumber devisa dan modal pembangunan. Sementara aspek ekologi, sosial, dan kelestariannya seringkali diabaikan. 4. Sesuai kewenangan yang diberikan dalam penegakan hokum, Polri berpedoman pada visi yang telah ditentukan, yaitu mewujudkan postur personal Bareskrim Polri yang profesional, bermoral dan modern yang mampu bersinergis dengan instansi terkait dalam rangka penegakan hukum dan ketertiban masyarakat. 5. Kendala atau hambatan yang dihadapi dalam Penegakkan Hukum Pidana terhadap Pelanggaran Pelaksanaan Ijin Lingkungan berdasarkan Pasal 76 jo Pasal 100 ayat 2 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup adalah: 17 a. Ego kedaerahan masih sering tampak dalam pelaksanaan pengelolaan lingkungan, hidup, demikian juga ego sektor. Pengendalian kualitas lingkungan dalam pelaksanaan kegiatannya tidak terpadu atau kurang koordinasi antar sektor yang satu dengan sektor yang lain. b. Pandanaan yang masih sangat kurang untuk bidang lingkungan hidup. Konsekwensi dari minimnya anggaran tersebut menjadikan institusi lingkungan hidup tidak memiliki program-program yang ril dan strategis dalam mencegah dan mengendalikan kerusakan lingkungan. c. Keterbatasan sumber daya manusia yang bertugas pada institusi lingkungan hidup di baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. d. Eksploitasi sumber daya alam masih terlalu mengedepankan profit dari sisi ekonomi. e. Keterbatasan jumlah PPNS-LH pada institusi lingkungan hidup baik di Provinsi maupun di Kabupaten/Kota. f. Belum adanya sanksi (efek jera) bagi yang melanggar hukum. 18 V. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, 1986, Pengantar Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung. A. Hamzah, 1995, Penegakan Hukum Lingkungan, Arikha Media Cipta, Jakarta, hlm. 61 Barda Nawawi, Arief, 2001, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, hal. 33 -----------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-1, hal. 8 Fuad Amsyari, 1982. Prinsip-Prinsip Masalah Pencemaran Lingkungan. Ghalia. Jakarta. Fachmi, A.U. 2004. Peranan Air Dalam Peningkatan Kesehatan Masyarakat. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Faisal Sanapiah, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi, Malang, YA3. Hadi Sutrisno, Metodologi Research, Jilid I, Yogyakarta, Andi Offset, 1990 Hardjasoemantri, Koesnadi 1994. Hukum Lingkungan. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, hal 52. -----------, 1999, Hukum Tata Lingkungan, Cet 14, Gajah Mada University Press. Yogyakarta Hadi Anwar, 2005, Prinsip Pengelolaan Lingkungan, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Hamzah Jur Andi, 2005. Penegakan Hukum Lingkungan, Sinar Grafika, Jakarta Heseil Nogi S, Tangkilisan, 2004, Kebijakan dan Manajemen Lingkungan Hidup, Bina Grafika, Yogyakarta. Iman Santoso, Taufik, 2008, AMDAL, Setara Press, Malang, hal 35 Mukhlish, 2010, Hukum Administrasi Lingkungan Kontemporer, Setara press, Malang, hlm 139. Moeljatno, 1985, Azas-azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta M. Hadjon, Philipus, 1995, Aspek-aspek Hukum Administrasi, Bandung 19 Rangkuti, Siti Sundari, 2005. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional, Airlangga University Press, Surabaya, hal 111. -----------, 1998, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan Dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, Cetakan ke-1, , hal. 8 -----------, 1996, Hukum Lingkungan dan Kebijakan Publik, Airlangga University Press, Surabaya, hal 3 St. Munadjat Danusaputro, 1980. Hukum Lingkungan, Buku I: Umum, Bina Cipta, Bandung, hal. 35 Satjipto Rahardjo, 1993. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru, Bandung, hal. 15. Soedarto, 1986. Kapita Selekta Hukum Pidana, Cetakan Ke-2, Alumni, Bandung hal. 111 Soerjono Soekanto, 1993 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, Cetakan ke-3. Salim, Emil, 1986, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Mutiara, Jakarta. Siahaan, N.H.T., 1988, Ekologi Pembangunan dan Hukum Tata Lingkungan, Erlangga, Jakarta. Soedrajad, R. 1999. Lingkungan Hidup Suatu Pengantar. Jakarta: UI Press Sugiharto. 1987. Dasar-Dasar Pengelolaan Air Limbah. Jakarta: UI Press Supriadi, 2005 . Hukum Lingkungan Di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta. Waluyo Endro, 2002, Administrasi Lingkungan Hidup, Global Pustaka Utama, Yogyakarta hlm. 5 Wibowo, Eddi, dkk. 2004. Hukum Dan Kebijakan Publik, Penerbit YPAPI. Yogyakarta. 20 21