Pengertian Manusia Dan Perkembangannya
Pengertian Manusia
Manusia merupakan makhluk hidup yang paling sempurna jika dibandingkan dengan makhluk-makhluk hidup lainnya. Disamping dianugrahi kata hati yang dapat membimbing manusia untuk dapat menghubungkan dirinya dengan Tuhan selaku pencipta dan penguasa alam semesta ini, kesempurnaan manusia ini juga terlihat dari kemampuan manusia untuk berpikir dan berkemauan yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, sehingga manusia juga dikenal sebagai makhluk yang dapat tumbuh dan berkembang berdasarkan kemampuan yang ada dalam diri manusia itu sendiri.
Pengertian Perkembangan
adalah suatu proses untuk menuju kedewasaan pada makhluk hidup yang bersifat kualitatif artinya tidak dapat dinyatakan dengan suatu bilangan tatpi dapat di amati dengan mata tanpa alat bantu.
Pengertian Perkembangan Manusia
Perubahan dalam kemampuan manusia yang terjadi dalam kehidupannya dan berpola kontinuitas.
Teori-Teori Perkembangan
Sebagaimana telah dijelaskan diatas, sebagai makhluk yang paling sempurna dan dinamis manusia berkembang dan mengalami perubahan-perubahan, baik perubahan-perubahan dalam bentuk fisiologis maupun perubahan dalam segi psikologis. Sekarang kita lihat, beberapa teori dasar tentang perkembangan manusia.
Teori Nativisme (pembawaan)
Teori ini dikemukakan oleh Schopenhouer. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan manusia itu ditentukan oleh factor-faktor natives, yaitu factor-faktor keturunan yang dibawa oleh individu sejak dilahirkan. Menurut teori ini, sewaktu individu dilahirkan sudah membawa sifat-sifat tertentu, dan sifat-sifat inilah yang akan menentukan keadaan individu yang bersangkutan. Sedangkan factor lain seperti lingkungan (termasuk didalamnya adalah pendidikan) dapat dikatakan tidak berpengaruh terhadap perkembangan individu tersebut.
Teori ini menimbulkan pandangan bahwa seakan-akan manusia telah ditentukan oleh sifat-sifat pembawaannya yang tidak dapat dirubah, sehingga manusia tersebut akan sangat tergantung dengan sifat-sifat yang diturunkan oleh kedua orang tuanya. Artinya bahwa dalam perkembangan seseorang hanya dipengaruhi oleh faktor keturunan saja sedangkan faktor pengalaman dan pendidikan tidak berpengaruh dalam perkembangan tersebut. Misalnya apabila seorang anak yang kedua orang tuanya memiliki potensi kecerdasan di sekolahnya maka anak tersebutpun juga akan mempunyai potensi kecerdasan seperti yang di miliki oleh orang tuanya juga. Sebagai contoh apabila di sekolah sewaktu di beri pelajaran oleh gurunya, anak tersebut akan lebih cepat menangkap pelajaran tersebut. Jadi faktor ini sangat berpengaruh dalam perkembangan anak. Ibarat buah kelapa jatuh tak jauh dari pohonnya artinya bahwa apabila pembawaannya baik, maka akan baik pula anak itu akan tetapi apabila pembawaan dari orang tuanya buruk maka akan buruk pula anak tersebut.
Teori Empirisme (Lingkungan)
Teori empirisme ini dikemukakan oleh John Locke. Teori ini menyatakan bahwa perkembangan seorang individu akan ditentukan oleh empirisnya atau pengalaman-pengalamannya yang diperoleh selama perkembangan individu tersebut. Dalam pengertian pengalaman termasuk juga pendidikan yang diterima individu yang bersangkutan. Menurut teori ini, setiap individu yang dilahirkan itu ibarat kertas putih yang belum ada tulisan-tulisannya. Maka akan menjadi apa individu itu kemudian tergantung pada apa yang akan dituliskan diatasnya. Karena itu peranan lingkungan termasuk didalamnya pendidikan dalam hal ini sangat besar. Artinya, lingkungan dan pendidiklah yang akan menentukan keadaan individu itu dikemudian hari. Oleh karena itulah teori ini juga sering dikenal dengan teori tabularasa, yang memandang keturunan atau pembawaan tidak mempunyai peranan dalam perkembangan individu.
Kehadiran teori ini juga memberikan harapan yang optimis bagi lingkungan termasuk didalamnya dunia pendidikan, karena lingkungan dan pendidikan dapat dijadikan usaha ataupun kegiatan yang dapat membentuk dan membantu perkembangan individu. Teori ini bertentangan dengan teori sebelumnya yaitu teori nativisme yang lebih menekankan pada factor keturunan atau pembawaan. Untuk menengahi kedua perbedaan pandangan ini, maka lahirlah teori konvergensi yang mencoba mengakomodir kedua pandangan tersebut.
Teori Konvergensi
Teori konvergensi ini dikemukakan oleh William Stern. Teori ini merupakan teori gabungan (konvergensi) dari kedua teori sebelumnya. Teori ini menyatakan bahwa factor keturunan (pembawaan) dan factor lingkungan (pengalaman dan juga pendidikan) kedua-duanya mempunyai peran yang penting dalam perkembangan individu.
Terdapat dua pandangan dalam teori konvergensi, yaitu teori konvergensi yang lebih menekankan kepada pengaruh pembawaan dari pada lingkungan, dan sebaliknya yakni pandangan yang lebih menekankan pada factor lingkungan dari pada pembawaan. Teori ini juga menjelaskan bahwa proses perkembangan manusia tidak hanya ditentukan oleh faktor pembawaan yang ada pada orang itu dan faktor lingkungannya yang mempengaruhi orang itu. Aktivitas manusia itu sendiri dalam perkembangannya turut menentukan atau memainkan peranan juga. Lebih jauh, teori konvergensi ini mencoba menjelaskan bahwa perkembangan manusia bukan hanya karena pembawaannya dan lingkungannya, karena manusia atau individu tidak hanya diperkembangkan tetapi juga memperkembangkan dirinya sendiri. Manusia adalah mahluk yang dapat dan sanggup memilih dan menentukan dirinya dengan bebas. Karena itu manusia atau individu seharusnya bertanggung jawab terhadap segala perbuatan dan keputusan yang diambilnya. Kesimpulannya adalah faktor pembawaan dan lingkungan menjadi sumber timbulnya setiap perkembangan individu dan kedua factor ini tidak berfungsi secara terpisah melainkan saling berhubungan.
Tahap-Tahap Perkembangan
Perkembangan pada manusia pada dasarnya melalui fase-fase atau tahap demi tahap namun perkembangan ini tidak selamanya teratur, dapat maju maupun mundur akan tetapi pada dasarnya perkembangan tidak terjadi secara meloncat-loncat. Dalam perkembangan seseorang harus menguasai dulu perkembangan sebelum menginjak tahap ke berikutnya karena setiap keberhasilan tahap perkembangan dibangun atas dasar penyelesaian tahap perkembangan sebelumnya kemudian diikuti oleh tahap perkembangan yang lain. Berikut adalah beberapa tahap dalam perkembangan manusia :
1. Prenatal (Pralahir)
Masa ini merupakan periode masa pertumbuhan yang luar dari satu sel tunggal hingga menjadi organisme yang sempurna dengan kemampuan otak dan perilaku yang dihasilkan kira-kira 9 bulan di dalam kandungan. Masa ini dimulai dengan konsepsi. Konsepsi terjadi ketika suatu sel sperma dari pria bersatu dengan sel telur wanita untuk menghasilkan zigot, sel tunggal yang mengandung 23 kromosom dari ibu dan 23 kromosom dari ayah.
2. Masa Bayi (infacy)
Masa ini merupakan periode perkembangan yang merentang dari kelahiran 18 atau 24 bulan. Pada fase ini dimana bayi dalam masa menghayati obyek di luar sendiri dan mulai melatih fungsi motoriknya seperti gerakan-gerakan yang yang berhubungan dengan anggota badan. Masa bayi adalah masa ketergantungan, ketidakberdayaan, dan masa yang sangat bergantung pada orang dewasa terutama orang tunya karena pada masa ini, bayi belum bisa apa-apa. Perhatian dan kasih sayang orang tua pada masa ini sangat di perlukan bagi perkembangan bayi. Pada fase ini banyak kegiatan psikologis yang terjadi hanya sebagai permulaan seperti bahasa, pemikiran simbolis, koordinasi sensorimotor, dan belajar sosial. Pada masa ini bayi mempunyai tugas perkembangan seperti berbaring, tengkurap, duduk, berdiri, berjalan dan seterusnya.
3. Masa awal anak anak (early childhood)
Pada masa ini periode pekembangan yang merentang dari masa bayi hingga usia lima atau enam tahun, periode ini biasanya disebut dengan periode prasekolah. Selama masa ini, anak anak kecil belajar semakin mandiri dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah, mengidentifikasi huruf), dan meluangkan waktu berjam jam untuk bermain dengan teman teman sebaya. Jika telah memasuki kelas satu sekolah dasar, maka secara umum mengakhiri masa awal anak anak. Dalam masa ini tugas perkembangannya seperti mempelajari ketrampilan fisik yang di perlukan dalam permainan tertentu, belajar bergaul secara rukun dengan teman sebaya dan sebagainya.,
4. Masa pertengahan dan akhir anak anak (middle and late childhood)
Pada fase ini periode perkembangan yang merentang dari usia kira kira enam hingga sebelas tahun, yang kira-kira setara dengan tahun-tahun sekolah dasar, periode ini biasanya disebut dengan tahun-tahun sekolah dasar. Keterampilan-keterampilan fundamental seperti membaca, menulis, dan berhitung telah dikuasai. Anak secara formal berhubungan dengan dunia yang lebih luas dan kebudayaan. Prestasi menjadi tema yang lebih sentral dari dunia anak dan pengendalian diri mulai meningkat. Anak juga sudah mengenal lingkungan di sekitarnya dan saling berinteraksi dengan teman-temannya. Dalam tahap ini anak mulai tidak bergantung pada orang tuanya dan biasanya anak juga mulai menguasai diri,lingkungan,dan ketrampilan dasar untuk hidup. Dalam perkembangan anak-anak, orang tua memiki fungsi untuk membimbing, mengarahkan dan mengawasi anak. Di samping mengalami fase perkembangan anak juga mempunyai tugas perkembangan seperti membina ketrampilan dasar dalam membaca, menulis dan berhitung, memperoleh kebebasan diri,membentuk kata hati,moralitas dan nilai-nilai serta mengembangkan konsep-konsep yang di perlukan dalam kehidupan sehari-hari.
5. Masa pubertas
Pada masa pubertas merupakan masa yang pendek dan kurang lebih hanya satu tahun yaitu untuk perempuan antara umur 11/12 tahun sampai 12/13 tahun sedangkan untuk laki-laki antara 12/13 tahun sampai 13/14 tahun. Fase ini mempunyai banyak pengaruh dalam perkembangan seseorang karena masa ini cenderung banyak pengaruh negatifnya. Misalnya perkembangan fungsi-fungsi tubuh terutama faktor seks. Jadi dalam masa praremaja ini orang tua sangat di butuhkan agar dapat mengarahkan,membimbing,serta mengawasi perkembangan anak. Pada masa ini seseorang mempunyai tugas perkembangan seperti memperoleh hubungan-hubungan baru dan lebih matang dengan yang sebaya dari kedua jenis kelamin, memperoleh peranan sosial,menerima fisik diri dan menggunakan badan secara efektif.
6. Masa remaja (adolescence)
Pada masa remaja terdapat masa remaja awal dan masa remaja lanjut. Pada masa remaja awal biasanya terjadi pada umur 13/14 tahun sampai 17 tahun. Dalam fase ini perubahan-perubahan fisik terjadi sangat pesat dan mencapai puncaknya. Seseorang banyak menemui ketidakstabilan dan ketidakseimbangan emosional dan seseorang cenderung mempunyai status yang tidak jelas karena masih dalam proses mencari identitas dirinya. Setelah seseorang melalui masa remaja awal maka selanjutnya menginjak masa remaja lanjut dimana pada masa ini seseorang lebih mempunyai semangat dan cita-cita serta berusaha memantapkan identitas atau jati dirinya. Pada masa ini seseorang juga lebih dapat mengendalikan emosinya. Masa remaja bermula pada perubahan fisik yang cepat, pertambahan berat dan tinggi badan yang drastis, perubahan bentuk tubuh, dan perkembangan karakteristik seksual seperti pembesaran buah dada, perkembangan pinggang dan kumis, dan beratnya suara. Pada perkembangan ini, pencapaian kemandirian dan identitas sangat menonjol (pemikiran semakin logis, abstrak, dan idealistis) dan semakin banyak menghabiskan waktu di luar keluarga. Pada masa ini mempunyai tugas perkembangan seperti mengembangkan kemampuan intelektual dan konsep-konsep yang diperlukan sebagai warga negara yang baik, memupuk dan memperoleh perilaku yang dapat dipertanggungjawabkan secara sosial, serta memperoleh seperangkat nilai dan sistem etika sebagai pedoman berperilaku.
7. Masa dewasa awal (early adulthood)
Pada masa awal dewasa ini merupakan periode perkembangan yang bermula pada akhir usia belasan tahun atau awal usia duapuluhan tahun dan yang berakhir pada usia tigapuluhan tahun. Masa ini adalah masa pembentukan kemandirian pribadi dan ekonomi, masa perkembangan karir, dan bagi banyak orang, masa pemilihan pasangan, belajar hidup dengan seseorang secara akrab, memulai keluarga, dan mengasuh anak-anak. Pada masa ini seseorang mempunyai tugas perkembangan seperti memilih pasangan hidup belajar hidup dengan suami dan istri, memulai kehidupan berkeluarga, membimbing dan merawat anak, mengolah rumah tangga, menerima tanggung jawab sebagai warga negara, serta menemukan kelompok social yang cocok dan menarik.
8. Masa pertengahan dewasa (middle adulthood)
Pada masa pertengahan dewasa ini merupakan periode perkembangan yang bermula pada usia kira kira 35 hingga 45 tahun dan merentang hingga usia enampuluhan tahun. Masa ini adalah masa serseorang untuk memperluas keterlibatan dan tanggung jawab pribadi dan sosial seperti membantu generasi berikutnya menjadi individu yang berkompeten, dewasa dan mencapai serta mempertahankan kepuasan dalam berkarir. Pada masa pertengahan dewasa seseorang mempunyai tugas perkembangan seperti memperoleh tanggung jawab social, membangun dan mempertahankan standar ekonomi, membantu anak remaja untuk menjadi orang dewasa yang bertanggung jawab, membina hubungan dengan pasangan hidup dan sebagainya.
9. Masa akhir dewasa/usia lanjut (late adulthood)
Pada masa akhir dewasa merupakan periode perkembangan yang bermula pada usia enam puluhan atau tujuh puluh tahun dan berakhir pada kematian. Pada masa ini adalah masa penyesuaian diri atas berkurangnya kekuatan dan kesehatan, menatap kembali kehidupannya, pensiun, dan penyesuaian diri dengan peran peran sosial baru serta masa transisi yaitu masa menyesuaikan kembali. Pada masa ini seseorang mempunyai tugas perkembangan seperti menyesuaikan diri dengan menurunnya kesehatan dan kekuatan fisik, menjalin hubungan dengan perkumpulan manusia usia lanjut serta memenuhi kewajiban sosial dan sebagai warga negara.
Selanjutnya perubahan-perubahan perkembangan manusia terjadi dalam tingkat yang berbeda, antara lain :
Perkembangan emosi
Perkembangan emosi meliputi perubahan dalam hubungan individu dengan orang lain,dalam emosi, dan dalam kepribadian. Contohnya senyum bayi yang merespon sentuhan ibunya, perkembangan ketegasan dan kemauan yang keras dari seorang remaja putri, perasaan gembira dari remaja ketika akan mengikuti pesta dansa sekolah, dan kasih sayang pasangan dewasa terhadap pasangannya,semuanya mencerminkan peran dari perkembangan emosi
Perkembangan kognitif
Perkembangan kognitif meliputi perubahan pada pikiran, kecerdasan, dan bahasa. Pada bagian ini kita membahas salah satu teori terpenting dalam psikologi yang dikemukakan oleh Jean Piaget (1896-1980), psikolog perkembangan berkebangsaan Swiss yang terkenal.
Teori Jean Piaget
Tujuan teori Piaget adalah untuk menjelaskan mekanisme dan proses perkembangan intelektual sejak masa bayi dan kemudian masa kanak-kanak yang berkembang menjadi seorang individu yang dapat bernalar dan berpikir menggunakan hipotesis-hipotesis. Piaget meyakini bahwa anak-anak mebangun dunia kognitifnya melalui beberapa tahap. Yang pertama mereka menggunakan :
Skema (struktur kognitif )
Adalah proses atau cara mengorganisir dan merespons berbagai pengalaman. Atau suatu pola sistematis dari tindakan, perilaku, pikiran, dan strategi pemecahan masalah yang memberikan suatu kerangka pemikiran dalam menghadapi berbagai tantangan dan jenis situasi.
Contoh: gerakan refleks menghisap pada bayi, ada gerakan otot pada pipi dan bibir yang menimbulkan gerakan menghisap.
Piaget menjelaskan dua proses yang berperan dalam perkembangan skema :
Asimilasi
Integrasi antara elemen-elemen eksternal terhadap struktur yang sudah lengkap pada organisme. Asimilasi terjadi ketika individu menggunakan informasi baru ke dalam pengetahuan mendalam yang sudah ada.
Contoh : seorang bayi yang menghisap puting susu ibunya atau dot botol susu akan melakukan tindakan yang sama yaitu menghisap terhadap objek yang baru.
Akomodasi
Menciptakan langkah baru atau memperbarui atau menggabung-gabungkan istilah lama untuk menghadapi tantangan baru. Akomodasi kognitif berarti mengubah struktur kognitif yang telah dimiliki sebelumnya untuk disesuaikan dengan objek stimulus eksternal.
Contoh : bayi melakukan tindakan yang sama terhadap ibu jarinya, yaitu menghisap. Ini berarti bahwa bayi telah mengubah puting susu ibu menjadi ibu jari
Menurut Piaget, kita menjalani empat tahap dalam memahami dunia. Masing-masing tahap melibatkan cara yang berbeda untuk memahami dunia.
Tahap sensoris-motorik
Tahap ini berlangsung sejak bayi dilahirkan hingga berusia 2 tahun. Pada tahap ini, bayi membangun pemahaman mengenai dunia dengan mengkoordinasikan pengalaman-pengalam sensoris (seperti melihat dan mendengar) dengan pengalaman motorik (fisik) sehingga diistilahkan sebagai sesoris-motorik. Bayi masih memiliki sedikit pola refleks yang bisa digunakan. Pada akhir tahap ini, anak berusia 2 tahun memperlihatkan pola sensoris-motorik kompleks dan mulai menggunakan berbagai simbol atau kata-kata dalam pemikiran mereka. Selanjutnya pada tahap ini piaget juga percaya adanya permanensi objek.
Permanensi objek adalah istilah piaget untuk pencapaian penting mengenai pemahaman bahwa manusiadan kejadia terus ada/berlanjut bahkan ketika orang atau kejadian tersebut tidak dapat dilihat, didengar, atau disentuh secara langsung. Piaget meyakini bahwa “menghilang dari pandangan” benar-benar diartikan “menghilang dari pikiran” bagi bayi yang berusia masih sangat muda. Permanensi objek adalah suatu pencapaian perkembangan yang luar biasa. Setelah bayi mengetahui bahwa sebuah objek akan tetap ada meskipun mereka tidak dapat melihat objek tersebut maka dia memikirkan kejadian-kejadian di masa depan. Piaget mempelajari permanensi objek dengan menunjukkan sebuah mainan yang menarik, kemudian menutupi mainan tersebut dengan selembar kain. Piaget berpendapat jika bayi tersebut memahami bahwa mainan yang tadi dilihat masih ada maka bayi tersebut akan berusaha membuka kain yang menutupinya.
Tahap praoperasional
Tahap ini terjadi pada usia 2-7 tahun atau usia prasekolah. Pikiran praoperasional ini cenderung lebih simbolis dibandingkan pikiran sensoris-motorik. Pada usia prasekolah, anak-anak mulai mempresentasikan dunianya dengan kata-kata,gambar,dan lukisan. Jenis pemikiran simbolis yang bisa dicapai oleh anak-anak pada tahap ini masih terbatas. Mereka belum bisa menampilkan operasi, seperti yang disebutkan oleh piaget, yaitu representasi mental yang dapat dikembalikan. Anak-anak praoperasional memiliki kesulitan untuk memahami bahwa membalik suatu perilaku dapat mengembalikan suatu kondisi asli ketika perilaku tersebut mulai muncul.
Salah satu tes yang terkenal mengenai apakah anak bisa berfikir secara operasional adalah dengan menunjukkan dua gelas kimia yang sama, yaitu A dan B kepada anak. Kedua gelas tersebut berisi cairan dengan tinggi yang sama. Didekatnya terdapat gelas ketiga, dinamai gelas C yang berbentuk tinggi dan ramping, sementara gelas A dan B lebih pendek dan lebar. Cairan dituangkan dari B ke C, dan kepada anak tersebut ditanyakan apakah air dalam gelas A dan C sama atau tidak ? anak pada tahap praoperasinal atau usia prasekolah kemungkinan besar akan mengatakan bahwa cairan dalam gelas C lebih banyak dibandingkan cairan dalam gelas A. Anak pada usia ini seorang pemikir praoperasional, secara mental tidak dapat membalik kegiatan penuangan cairan tersebut. Dalam hal ini anak tidak dapat membayangkan ketika caian itu kembali dituangkan ke dalam gelas B. Piaget berkata bahwa anak-anak pada usia ini belum dapat menangkap konsep konservasi yaitu suatu keyakinan terhadap ketetapan sifat-sifat tertentu dari sebuah objek terlepas dari perubahan pada bagian luarnya.
Pada tahap ini anak-anak bersifat egosentris karena mereka tidak dapat menpatkan dirinya pada posisi orang lain. Pikiran mereka juga bersifat inuitif, yang berarti anak-anak praoperasional membuat penilaian berdasarkan kata hati dan bukan logika.
Tahap konkret operasional
Tahap ini terjadi pada usia 7-11 tahun. Pada tahap ini anak-anak sudah dapat mengganti pemikiran inuitif dengan penalaran logis. Pada tahap ini juga anak-anak sudah dapat menjawab pertanyaan mengenai uji coba gelas kimia di atas. Mereka dapat membayangkan operasi pembalikan penuangan cairan kembali ke gelas yang lebih lebar. Banyak operasi konkret yang diidentifikasikan oleh piaget terkait dengan ciri drai objek tersebut. Misalnya, ketika bermain plastisin anak-anak pada tahap ini menyadari bahwa perubahan bentuk plastisin tidak mengubah banyaknya plastisin. Salah satu hal penting pada tahap ini adalah kemampuan untuk mengklasifikasikan sesuatu ke dalam subset yang berbeda dan melihat korelasi di antara subset-subset tersebut. Anak-anak pada tahap ini sudah dapat bermain permainan yang melibatkan pengelompokan benda berdasarkan bentuk dan mengidentifikasikan benda yang tidak sesuai dengan kelompoknya. Menurut piaget pikiran konkret operasional melibatkan penalaran logis dalam konteks konkret namun hipotesis.
Tahap formal operasional
Tahap ini terjadi pada anak-anak usia 11-15 tahun atau biasanya disebut remaja. Pikiran formal operasional lebih abstrak dan logis dibandingkan pikiran konkret operasional. Hal terpenting adalah pikiran formal operasional meliputi pemikiran tentang hal-hal yang tidak konkret, membuat prediksi, dan menggunakan logika untuk membuat hipotesis mengenai masa depan. Tidak seperti anak-anak pada sekolah dasar, remaja dapat membayangkan kemungkinan hipotesis yang sepenuhnya abstrak. Jenis pemikiran ini disebut idealistis karena melibatkan perbandingan mengenai suatu hal dan cara berjalannya seharusnya. Remaja dapat berfikir lebih logis. Mereka mulai berpikir layaknya ilmuwan berpikir, memunculkan rencana untuk mengatasi permasalahan dan menguji solusi yang ada secara sistematis. Piaget menyebut jenis pemecahan masalah ini sebagai penalaran hipotesis-deduktif. Istilah ini menunjukkan kemampuan remaja untuk mengembangkan hipotesis atau dugaan terbaik mengenai cara mengatasi permasalahan, seperti penjumlahan aljabar. Hal ini juga menunjukkan kemampuan remaja untuk menyimpulkan secara deduktif, atau mengambil kesimpulan mengenai cara terbaik mengatasi masalah. Sebaliknya sebelum masa remaja anak-anak lebih cenderung mengatasi masalah melalui trial dan error.
Selanjutnya dalam teori perkembangan juga ada teori pemprosesan informasi (information processing). Berikut penjelasannya :
Teori Pemrosesan Informasi
Teori pemrosesan informasi dalam perkembangan berfokus pada cara individu mengodekan informasi, memanipulasi, memonitor, dan menciptakan strategi untuk menghadapi situasi-situasi tersebut. Teori pemrosesan informasi berfokus pada proses-proses khusus dalam kognitif, seperti memori.
Perkembangan moral
Pengertian perkembangan moral
secara luas menunjukan pada keseluruhan proses perubahan dari potensi yang dimiliki individu dan tampil dalam kualitas kemampuan, sifat dan ciri-ciri baru (rani,2001). Kohlberg (dalam Glover, 1997), mendefinisikan penalaran moral sebagai penilaian nilai, penilaian sosial, dan juga penilaian terhadap kewajiban yang mengikat individu dalam melakukan suatu tindakan. Penalaran moral dapat dijadikan prediktor terhadap dilakukannya tindakan tertentu pada situasi yang melibatkan moral. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Rest (1979) bahwa penalaran moral adalah konsep dasar yang dimiliki individu untuk menganalisa masalah sosial-moral dan menilai terlebih dahulu tindakan apa yang akan dilakukannya. Pada bagian ini kita membahas salah satu teori terpenting dalam psikologi yang dikemukakan oleh Kohlberg (1981) seorang psikolong yang terkenal pada bidang perkembangan moral.
Teori Kolberg
Teori perkembangan yang dikemukakan oleh Kohlberg menunjukan bahwa sikap moral bukan hasil sosialisasi atau pelajaran yang diperoleh dari kebiasaan dan hal-hal lain yang berhubungan dengan nilai kebudayaan (Sunarto,2013:176). Selain itu Kohlberg juga menyelidiki struktur proses berpikir yang mendasari perilaku moral ( Moral Bahavior). Dalam perkembangannya Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan. Tahapan perkembangan moral adalah ukuran dari tinggi rendahnya moral seseorang dari segi proses penalaran yang mendasarinya bukan dari sikap moral. Teori ini berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan dasar dari perilaku etis, mempunyai enam stadium perkembangan dengan tiga tahapan yang teridentifikasi.
Kohlberg memberikan berbagai kasus dilema moral dengan tingkat kompleksitas yang berbeda. Anak-anak yang menjadi subjeknya memberikan pengertian, mulai dari yang sederhana sampai yang kompleks, atas beberapa kasus perilaku. Dari hasil penelitiannya ini, Kohlberg membagi perkembangan moral dalam 6 tahap. Berikut ini adalah tiga level perkembangan moral menurut Kohlberg (Cahyono dan Suparyo, 1985:37-45), di mana masing-masing tingkat memuat dua tahap perkembangan moral:
1. Tahap Moral Pre-konvesional
Pada tingkat pertama ini, anak sangat tanggap terhadap norma-norma budaya, misalnya norma-norma baik atau buruk, salah atau benar, dan sebagainya. Anak akan mengaitkan norma-norma tersebut sesuai dengan akibat yang akan dihadapi atas tindakan yang dilakukan. Anak juga menilai norma-norma tersebut berdasarkan kekuatan fisik dari yang menerapkan norma-norma tersebut.
Pada tingkat prekonvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap Punishment and Obedience Orientation
Pada tahap ini, secara umum anak menganggap bahwa konsekuensi yang ditimbulkan dari suatu tindakan sangat menentukan baik-buruknya suatu tindakan yang dilakukan, tanpa melihat sisi manusianya. Tindakan-tindakan yang tidak diikuti dengan konsekuensi dari tindakan tersebut, tidak dianggap sesuatu hal yang buruk.
b. Tahap Instrumental-Relativist Orientation atau Hedonistic Orientation
Pada tahap ini, suatu tindakan dikatakan benar apabila tindakan tersebut mampu memenuhi kebutuhan untuk diri sendiri maupun orang lain, serta tindakan tersebut tidak merugikan. Pada tahap ini hubungan antar manusia digambarkan sebagaimana hubungan timbal balik dan sikap terus terang yang menempati kedudukan yang cukup penting.
2. Tahap Tingkat Konvensional
Pada tingkat perkembangan moral konvensional, memenuhi harapan keluarga, kelompok, masyarakat, maupun bangsanya merupakan suatu tindakan yang terpuji. Tindakan tersebut dilakukan tanpa harus mengaitkan dengan konsekuensi yang muncul, namun dibutuhkan sikap dan loyalitas yang sesuai dengan harapan-harapan pribadi dan tertib sosial yang berlaku.
Pada tingkat ini, usaha seseorang untuk memperoleh, mendukung, dan mengakui keabsahan tertib sosial sangat ditekankan, serta usaha aktif untuk menjalin hubungan positif antara diri dengan orang lain maupun dengan kelompok di sekitarnya. Pada tingkat konvensional ini dibagi menjadi dua tahap yaitu:
a. Tahap Interpersonal Concordance atau Good-Boy/Good-Girl Orientation
Pandangan anak pada tahap ini, tindakan yang bermoral adalah tindakan yang menyenangkan, membantu, atau tindakan yang diakui dan diterima oleh orang lain. Jadi, setiap anak akan berusaha untuk dapat menyenangkan orang lain untuk dapat dianggap bermoral.
b. Tahap Law and Order Orientation
Pada tahap ini, pandangan anak selalu mengarah pada otoritas, pemenuhan aturan-aturan, dan juga upaya untuk memelihara tertib sosial. Tindakan bermoral dianggap sebagai tindakan yang mengarah pada pemenuhan kewajiban, penghormatan terhadap suatu otoritas, dan pemeliharaan tertib sosial yang diakui sebagai satu-satunya tertib sosial yang ada.
3. Tahap Tingkat Postkonvensional
Pada tingkat ketiga ini, terdapat usaha dalam diri anak untuk menentukan nilai-nilai dan prinsip-prinsip moral yang memiliki validitas yang diwujudkan tanpa harus mengaitkan dengan otoritas kelompok maupun individu dan terlepas dari hubungan seseorang dengan kelompok. Pada tingkat ketiga ini, di dalamnya mencakup dua tahap perkembangan moral, yaitu:
a. Tahap Social-Contract, Legalistic Orientation
Tahap ini merupakan tahap kematangan moral yang cukup tinggi. Pada tahap ini tindakan yang dianggap bermoral merupakan tindakan-tindakan yang mampu merefleksikan hak-hak individu dan memenuhi ukuran-ukuran yang telah diuji secara kritis dan telah disepakati oleh masyarakat luas. Seseorang yang berada pada tahap ini menyadari perbedaan individu dan pendapat. Oleh karena itu, tahap ini dianggap tahap yang memungkinkan tercapainya musyawarah mufakat. Tahap ini sangat memungkinkan seseorang melihat benar dan salah sebagai suatu hal yang berkaitan dengan nilai-nilai dan pendapat pribadi seseorang. Pada tahap ini, hukum atau aturan juga dapat dirubah jika dipandang hal tersebut lebih baik bagi masyarakat.
b. Tahap Orientation of Universal Ethical Principles
Pada tahap yang tertinggi ini, moral dipandang benar tidak harus dibatasi oleh hukum atau aturan dari kelompok sosial atau masyarakat. Namun, hal tersebut lebih dibatasi oleh kesadaran manusia dengan dilandasi prinsip-prinsip etis. Prinsip-prinsip tersebut dianggap jauh lebih baik, lebih luas dan abstrak dan bisa mencakup prinsip-prinsip umum seperti keadilan, persamaan HAM, dan sebagainya.
Dalam teorinya, Kohlberg menolak konsep pendidikan nilai/karakter tradisional yang berdasarkan pada pemikiran bahwa ada seperangkat kebajikan seperti kejujuran, kesabaran, dan sebagainya yang menjadi landasan perilaku moral. Konsep tersebut dinilai tidak membimbing siswa untuk memahami kebajikan mana yang sungguh baik untuk diikuti. Oleh karena itu, Kohlberg mengajukan pendekatan pendidikan nilai dengan menggunakan pendekatan klasifikasi nilai yang bertolak dari asumsi bahwa tidak ada satu-satunya jawaban yang benar terhadap suatu persoalan moral, tetapi di dalamnya ada nilai yang penting sebagai dasar berpikir dan bertindak.
Kohlberg mengklaim bahwa teorinya (tentang perkembangan moral) tidak hanya menjadi psikologi tetapi juga "filsafat moral". Teorinya menyatakan tidak hanya bertindak dalam fakta "melebihkan tahap tertinggi dari pertimbangan (moral) mereka secar keseluruhan", tetapi juga bahwa tahap ini adalah "secara objektif dapat lebih baik atau lebih memadai" daripada tahap sebelumnya "dengan kriteria moral yang pasti". Apakah kirteria-kriteria itu? Kohlberg mengatakan bahwa kriteria tersebut mencakup kroteria diferensiasi dan integrasi "formal". Di dalam tiap-tiap tahap hak dan kewajiban menjadi lebih terdiferensiasi dan terintegrasi. Contohnya, pada "Tahap 5" orang dipertimbangkan untuk mempunyai hak-hak alaminya bahwa masyarakat seharusnya (ought to) menghormatinya. Sementara itu, hak-hak alami menjadi terdiferensiasi dari pemberian hak-hak secara sosial. Kembali pada "Tahap 6", hak-hak yang orang miliki dengan sendirinya menciptakan kewajiban dalam berhubungan dengan orang lain. Di sini hak dan kewajiban menjadi "korelatif secara lengkap" (completely correlative) dan menjadi "terintegrasi lebih baik" daripada tahap-tahap sebelumnya, di mana kewajiban-kewajiban adalah "apa yang orang terikat perjanjian/kontrak untuk memenuhi ketertiban supaya menghormati hak-hak yang orang lain miliki" (Kneller, 1984: 111-112). Tetapi ketika sampai pada "Tahap 6" muncul pertanyaan "Mengapa menjadi moral?" atau "Mengapa menjadi adil dalam suatu jagat yang secara luas tidak adil?", "Tahap 6" Kohlberg ini tidak punya jawaban riil. Hingga beberapa dekade Kohlberg hanya puas pada "Tahap 6" sebagai tahap tertinggi pertimbangan moral. Tetapi dalam beberapa dekade setelah mengalami serangan kritik hebat, sebelum Kohlberg meninggal dunia, akhirnya Kohlberg menemukan dimensi religius dalam teori perkembangan moralnya. Kohlberg berupaya untuk menggunakan pertimbangan religius untuk postulat bersifat metaforis "Tahap 7" sebagai jawaban untuk masalah-masalah tak terpecahkan yang ditinggalkan oleh "Tahap 6 Kohlberg Orientasi religius tidak merubah definisi prinsip-prinsip universal keadilan moral "Tahap 6" tetapi mengintegrasikan prinsip-prinsip ini dengan suatu perspektif di atas puncak makna kehidupan (life's ultimate meaning).
Menurut Kohlberg, "Tahap 7" bisa jadi "berisikan 'berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar', yaitu keadilan sosial, dan memusatkan kepada masalah etika 'berikanlah kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah', yaknitindakan pengorbanan cinta serta persaudaraan umat manusia". Dengan begitu, menurut Kohlberg, "Tahap 7" akan menjadi orientasi etika yang muncul dari perkembangan dalam eksistensi atau pengalaman religius dan pemikiran daripada pengalaman moral semata. (Lihat diskusi lebih mendalam tentang "Tahap 7" ini di dalam Mathias, 1987: 47-48). Dari aspek ini, maka sudah tidak diragukan lagi bahwa orientasi agama dalam perkembangan moral perlu menjadi kajian intensif dalam pengembangan Pendidikan Moral di Indonesia di masa depan.
Faktor-Faktor Yang mempengaruhi perkembangan moral menurut kohlberg
Menurut Kohlberg (dalam Janssens, 1992), ada 3 faktor umum yang memberikan kontribusi pada perkembangan penalaran moral yaitu:
a. Kesempatan pengambilan peran
Perkembangan penalaran moral meningkat ketika seseorang terlibat dalam situasi yang memungkinkan seseorang mengambil perspektif sosial seperti situasi dimana seseorang sulit untuk menerima ide, perasaan, opini, keinginan, kebutuhan, hak, kewajiban, nilai dan standar orang lain.
b. Situasi moral
Setiap lingkungan sosial dikarakteristikkan sebagai hak dan kewajiban yang fundamental yang didistribusiakan dan melibatkan keputusan. Dalam beberapa lingkungan, keputusan diambil sesuai dengan aturan, tradisi, hukum, atau figur otoritas (tahap 1). Dalam lingkungan yang lain, keputusan didasarkan pada pertimbangan pada system yang tersedia (tahap 4 atau lebih tinggi). Tahap penalaran moral ditunjukkan oleh situasi yang menstimulasi orang untuk menunjukkan nilai moral dan norma moral.
c. Konflik moral kognitif
Konflik moral kognitif merupakan pertentangan penalaran moral seseorang dengan penalaran orang lain. Dalam beberapa studi, subjek bertentangan dengan orang lain yang mempunyai penalaran moral lebih tinggi maupun lebih rendah. Anak yang mengalami pertentangan dengan orang lain yang memiliki penalaran moral yang lebih tinggi menunjukkan tahap perkembangan moral yang lebih tinggi dari pada anak yang berkonfrontasi dengan orang lain yang memiliki tahap penalaran moral yang sama dengannya.
Interaksi antara orangtua dan anak dalam berbagai situasi menunjukkan 3 faktor umum di atas. Faktor-faktor tersebut dapat mempengaruhi penalaran moral anak (Jansens, 1992). Kohlberg (dalam Janssens, 1992) memandang bahwa pengaruh utama dari keluarga adalah pada diskusi antara orangtua dengan anak mengenai nilai-nilai dan norma, dari pada pengalaman anak sendiri akan disiplin, hukuman, dan hadiah dari orangtua. Kohlberg juga menyatakan bahwa penalaran moral dipengaruhi oleh tahap perkembangan kognitif yang tinggi (seperti pendidikan) dan pengalaman sosiomoral (Glover, 1997). Hal tersebut dapat ditemui di lingkungan sekolah atau ranah pendidikan.
Berdasarkan uraian di atas maka ada 5 faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan penalaran moral seseorang, yaitu kesempatan alih peran, situasi moral, konflik moral kognitif, keluarga, dan pendidikan. Dalam perkembangannya Kohlberg juga menyatakan adanya tahapan-tahapan yang berlangsung sama pada setiap kebudayaan, diantaranya
Perkembangan psikoseksual
Teori perkembangan psikoseksual Freud adalah salah satu teori yang paling terkenal sekaligus menjadi kontroversi. Dalam teorinya tersebut, Freud mengemukakan bahwa kepribadian seseorang berkembang melalui serangkaian tahapan pada masa anak-anak. Menurut Freud, kepribadian sebagian besar dibentuk ketika anak berusia lima tahun. Awal perkembangan berpengaruh besar dalam pembentukan kepribadian dan akan mempengaruhi perilaku di kemudian hari. Jika tahap-tahap psikoseksual selesai dengan sukses maka akan menghasilkan bentuk kepribadian yang sehat. Namun sebaliknya, jika tahapan pada perkembangan tersebut tidak terselesaikan atau mengalami hambatan, maka dapat menghasilkan fiksasi.
Fiksasi adalah perilaku menetap yang dibawa dari kecil hingga perjalanannya menuju dewasa. Sampai konflik tersebut diselesaikan, individu akan tetap “terjebak” dalam tahap ini. Contoh dalam hal ini misalnya, seseorang yang tidak menyelesaikan tahap oralnya dengan baik maka ketika ia dewasa ia akan terpaku pada tahap oral. Untuk lebih lengkapnya, berikut fase perkembangan psikoseksual berdasarkan teori freud:
Fase Oral
Fase ini dimulai dari saat bayi dilahirkan sampai dengan usia 1-2 tahun. Pada fase ini bayi merasa dipuaskan melalui makanan, ASI, dan kelekatan hubungan emosional antara anak dan ibu. Tahap ini memfokuskan interaksi yang terjadi melalui mulut bayi, sehingga perakaran dan refleks mengisap adalah sangat penting. Pada tahap ini bayi dipuaskan melalui kesenangan dari rangsangan oral yaitu melalui kegiatan mencicipi dan mengisap. Karena bayi sepenuhnya tergantung pada ibu jadi saat itulah bayi juga mengembangkan rasa kepercayaan dan kenyamanan melalui stimulasi oral.
Konflik utama pada tahap ini adalah proses penyapihan, anak harus menjadi kurang bergantung pada ibu. Jika terjadi hambatan pada tahap ini, Freud mengemukakan bahwa individu nantinya akan memiliki masalah dengan ketergantungan dan juga agresi. Fiksasi oral dapat mengakibatkan masalah berupa kesulitan mempercayai orang lain, peminum, perokok, makan terlalu banyak, suka menggigiti kuku.
Fase Anal
Fase ini berkembang pada saat balita menginjak usia 15 bulan sampai dengan usia 3 tahun. Pada fase ini balita merasa puas dapat melakukan aktivitas buang air besar dan buang air kecil. Fase ini dikenal pula sebagai periode “toilet training”. Pada tahap anal, Freud mengemukakan bahwa fokus utama dari libido adalah pada pengendalian kandung kemih dan buang air besar. Konflik utama pada tahap ini adalah pelatihan toilet yaitu dimana anak harus belajar untuk mengendalikan kebutuhan tubuhnya.
Menurut Freud, keberhasilan pada tahap ini tergantung pada bagaimana cara orang tua mengajarakan pendekatan pelatihan toilet. Seharusnya, orang tua memanfaatkan pujian dan penghargaan untuk menggunakan toilet pada saat yang tepat, dengan hal tersebut orang tua akan mendorong hasil positif dan membantu anak-anak merasa mampu dan produktif. Freud percaya bahwa pengalaman positif selama tahap ini dapat menjadi dasar individu untuk menjadi orang dewasa yang kompeten, produktif dan kreatif.
Belum semua orang tua memahami, memberikan dukungan, dan dorongan yang anak perlukan selama tahap ini. Pada fase ini seringkali orang tua merasa direpotkan dengan perilaku balita yang suka buang air sembarangan tanpa memperhatikan waktu dan tempat (ngompol istilah kerennya :D), sehingga seringkali orang tua menjadi keras kepada anaknya dan yang kebanyakan terjadi adalah beberapa orang tua justru memberikan respon berupa mengejek, menghukum anak. Hal tersebut akan membuat anak menjadi gagal melewati fase ini. Menurut Freud, respon orangtua yang tidak tepat dapat mengakibatkan dampak negatif, yaitu kurangnya rasa percaya diri pada anak.Kegagalan pada masa ini akan menciptakan individu dengan kepribadian agresif dan kompulsif, beberapa mengatakan kelainan sado-masokis salah satunya disebabkan oleh kegagalan pada fase ini.Jika orangtua mengambil pendekatan yang terlalu longgar maka individu nantinya akan berkembang menjadi anak yang memiliki sifat boros atau berantakan. Jika orang tua memulai pendekatan toilet training terlalu dini, maka kepribadian anak akan lebih ketat, tertib, kaku dan obsesif.
Fase Phalic
Fase ini berkembang pada anak usia 3 sampai 6 tahun. Pada tahap phallic atau yang biasa disebut sebagai fase erotik, fokus utama adalah pada alat kelamin. Anak-anak juga sudah bisa menemukan perbedaan antara pria dan wanita. Yang paling menonjol adalah pada anak laki-laki dimana anak suka memegangi penisnya, dan pada kenyataannya hal tersebut seringkali membuat marah orangtuanya. Freud juga mengemukakan masalah tentang Oediphus dan Electra complex yaitu tentang kelekatan anak laki-laki kepada ibunya dan juga tentang teori “penis envy” yaitu dimana anak perempuan akan dekat kepada ayahnya. Kegagalan pada fase ini akan menciptakan kepribadian yang imoral dan tidak tahu aturan.
Freud mengemukakan pada fase ini tentang masalah Oediphus dan Electra complex tentang kelekatan anak laki-laki kepada ibunya dan juga teori tentang “penis envy” yang terjadi pada anak perempuan dimana anak perempuan ini akan dekat kepada ayahnya. Pada tahap ini anak laki-laki mulai melihat ayah mereka sebagai saingan mereka terhadap kasih sayang yang diberikan ibu. Kompleks Oedipus menggambarkan perasaan yang ingin sepenuhnya memiliki ibu dan keinginan untuk menggantikan ayah. Namun, pada fase ini anak juga merasakan kekhawatiran bahwa ia akan dihukum oleh ayah. Hambatan pada tahap ini dapat menyebabkan kesulitan dalam indentitas seksual dan bermasalah dengan otoritas, ekspresi malu, dan takut. Kegagalan pada fase ini akan menciptakan kepribadian yang imoral dan tidak tahu aturan.
Fase Latent
Fase ini adalah fase yang terpanjang, berlangsung pada saat usia 6 tahun sampai usia 12 tahun atau usia pubertas. Pada saat ini seorang anak dipengaruhi oleh aktivitas sekolah, teman-teman dan hobinya. Kegagalan pada fase ini akan menyebabkan kepribadian yang kurang bersosialisasi dengan lingkungannya.Periode laten adalah saat eksplorasi di mana energi seksual tetap ada, tetapi diarahkan ke daerah lain seperti pengejaran intelektual dan interaksi sosial. Tahap ini sangat penting dalam pengembangan keterampilan sosial dan komunikasi dan kepercayaan diri.
Freud menggambarkan fase latens sebagai salah satu yang relatif stabil. Tidak ada organisasi baru seksualitas berkembang, dan dia tidak membayar banyak perhatian untuk itu. Untuk alasan ini, fase ini tidak selalu disebutkan dalam deskripsi teori sebagai salah satu tahap, tetapi sebagai suatu periode terpisah.
Fase Genital
Fase ini berlangsung pada usia 12 tahun atau usia dimulainya pubertas sampai dengan umur 18 tahun, dimana anak mulai menyukai lawan jenis dan melakukan hubungan percintaan lewat berpacaran. Dan pada masa ini pula seorang anak akan mulai melepas diri dari orangtuanya dan belajar bertanggung jawab akan dirinya.
Pada tahap akhir perkembangan psikoseksual, individu mengembangkan minat seksual yang kuat pada lawan jenis. Dimana dalam tahap-tahap awal fokus hanya pada kebutuhan individu, kepentingan kesejahteraan orang lain tumbuh selama tahap ini. Jika tahap lainnya telah selesai dengan sukses, individu sekarang harus seimbang, hangat dan peduli. Tujuan dari tahap ini adalah untuk menetapkan keseimbangan antara berbagai bidang kehidupan.
Perkembangan psikososial
Teori Erik Erikson membahas tentang perkembangan manusia dikenal dengan teori perkembangan psiko-sosial. Teori perkembangan psikososial ini adalah salah satu teori kepribadian terbaik dalam psikologi. Seperti Sigmund Freud, Erikson percaya bahwa kepribadian berkembang dalam beberapa tingkatan. Salah satu elemen penting dari teori tingkatan psikososial Erikson adalah perkembangan persamaan ego. Persamaan ego adalah perasaan sadar yang kita kembangkan melalui interaksi sosial. Menurut Erikson, perkembangan ego selalu berubah berdasarkan pengalaman dan informasi baru yang kita dapatkan dalam berinteraksi dengan orang lain. Erikson juga percaya bahwa kemampuan memotivasi sikap dan perbuatan dapat membantu perkembangan menjadi positif, inilah alasan mengapa teori Erikson disebut sebagai teori perkembangan psikososial.
Menurut Erikson perkembangan psikologis dihasilkan dari interaksi antara proses-proses maturasional atau kebutuhan biologis dengan tuntutan masyarakat dan kekuatan-kekuatan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Dari sudut pandang seperti ini, teori Erikson menempatkan titik tekan yang lebih besar pada dimensi sosialisasi dibandingkan teori Freud. Selain perbedaan ini, teori Erikson membahas perkembangan psikologis di sepanjang usia manusia, dan bukan hanya tahun-tahun antara masa bayi dan masa remaja. Seperti Freud, Erikson juga meneliti akibat yang dihasilkan oleh pengalaman-pengalaman usia dini terhadap masa-masa berikutnya, akan tetapi ia melangkah lebih jauh lagi dengan menyelidiki perubahan kualitatif yang terjadi selama pertengahan umur dan tahun-tahun akhir kehiduaan.
Teori perkembangan kepribadian yang dikemukakan Erikson merupakan salah satu teori yang memiliki pengaruh kuat dalam psikologi. Bersama dengan Sigmund Freud, Erikson mendapat posisi penting dalam psikologi. Hal ini dikarenakan ia menjelaskan tahap perkembangan manusia mulai dari lahir hingga lanjut usia, satu hal yang tidak dilakukan oleh Freud. Selain itu karena Freud lebih banyak berbicara dalam wilayah ketidaksadaran manusia, teori Erikson yang membawa aspek kehidupan sosial dan fungsi budaya dianggap lebih realistis.
Erikson dalam membentuk teorinya secara baik, sangat berkaitan erat dengan kehidupan pribadinya dalam hal ini mengenai pertumbuhan egonya. Erikson berpendapat bahwa pandangan-pandangannya sesuai dengan ajaran dasar psikoanalisis yang diletakkan oleh Freud. Jadi dapat dikatakan bahwa Erikson adalah seorang post-freudian atau neofreudian. Akan tetapi, teori Erikson lebih tertuju pada masyarakat dan kebudayaan. Hal ini terjadi karena dia adalah seorang ilmuwan yang punya ketertarikan terhadap antropologis yang sangat besar, bahkan dia sering meminggirkan masalah insting dan alam bawah sadar. Oleh sebab itu, maka di satu pihak ia menerima konsep struktur mental Freud, dan di lain pihak menambahkan dimensi sosial-psikologis pada konsep dinamika dan perkembangan kepribadian yang diajukan oleh Freud.
Bagi Erikson, dinamika kepribadian selalu diwujudkan sebagai hasil interaksi antara kebutuhan dasar biologis dan pengungkapannya sebagai tindakan-tindakan sosial. Pusat dari teori Erikson mengenai perkembangan ego ialah sebuah asumsi mengenai perkembangan setiap manusia yang merupakan suatu tahap yang telah ditetapkan secara universal dalam kehidupan setiap manusia.
Erikson memberi jiwa baru ke dalam teori psikoanalisis, dengan memberi perhatian yang lebih kepada ego dari pada id dan superego. Dia masih tetap menghargai teori Freud, namun mengembangkan ide-ide khususnya dalam hubungannya dengan tahap perkembangan dan peran sosial terhadap pembentukan ego. Ego berkembang melalui respon terhadap kekuatan dalam dan kekuatan lingkungan sosial. Ego bersifat adaptif dan kreatif, berjuang aktif (otonomi) membantu diri menangani dunianya. Erikson masih mengakui adanya kualitas dan inisiatif sebagai bentuk dasar pada tahap awal, namun hal itu hanya bisa berkembang dan masak melalui pengalaman sosial dan lingkungan. Dia juga mengakui sifat rentan ego, defense yang irasional, efek trauma-anxieO-guilt yang langgeng, dan dampak lingkungan yang membatasi dan tidak peduli terhadap individu. Namun menurutnya ego memiliki sifat adaptif, kreatif, dan otonom (adaptable, creative, dan autonomy). Dia memandang lingkungan bukan semata-mata menghambat dan menghukum (Freud), tetapi juga mendorong dan membantu individu. Ego menjadi mampu – terkadang dengan sedikit bantuan dari terapis – menangani masalah secara efektif.
Erikson menggambarkan adanya sejumlah kualitas yang dimiliki ego, yang tidak ada pada psikoanalisis Freud, yakni kepercayaan dan penghargaan, otonomi dan kemauan, kerajinan dan kompetensi, identitas dan kesetiaan, keakraban dan cinta, generativitas dan pemeliharaan, serta integritas. Ego semacam itu disebut juga ego-kreatif, ego yang dapat menemukan pemecahan kreatif atas masalah baru pada setiap tahap kehidupan. Apabila menemui hambatan atau konflik, ego tidak menyerah tetapi bereaksi dengan menggunakan kombinasi antara kesiapan batin dan kesempatan yang disediakan lingkungan. Ego bukan budak tetapi justru menjadi tuan/pengatur id, superego dan dunia luar. Jadi, ego di samping basil proses faktor-faktor genetik, fisiologik, dan anatomis, juga dibentuk oleh konteks kultural dan historik. Ego yang sempurna, digambarkan Erikson memiliki tiga dimensi, faktualitas, universalitas, dan aktualitas:
Faktualitas adalah kumpulan fakta, data, dan metoda yang dapat diverifikasi dengan metoda kerja yang sedang berlaku. Ego berisi kumpulan fakta dan data basil interaksi dengan lingkungan.
Universalitas berkaitan dengan kesadaran akan kenyataan (sells of reality) yang menggabungkan hal yang praktis dan kongkrit dengan pandangan semesta, mirip dengan prinsip realita dari Freud.
Aktualitas adalah cara baru dalam berhubungan satu dengan yang lain, memperkuat hubungan untuk mencapai tujuan bersama. Ego adalah realitas kekinian, terus mengembangkan cara baru dalam memecahkan masalah kehidupan, yang lebih efektif, prospektif, dan progresif.
Menurut Erikson, ego sebagian bersifat taksadar, mengorganisir dan mensintesa pengalaman sekarang dengan pengalaman diri masa lalu dan dengan diri masa yang akan datang. Dia menemukan tiga aspek ego yang saling behubungan, yakni body ego (mengacu ke pangalaman orang dengan tubuh/fisiknya sendiri), ego ideal (gambaran mengenai bagaimana seharusnya diri, sesuatu yang bersifat ideal), dan ego identity (gambaran mengenai diri dalam berbagai peran sosial). Ketiga aspek itu umumnya berkembang sangat cepat pada masa dewasa, namun sesungguhnya perubahan ketiga elemen itu terjadi pada semua tahap kehidupan.
Teori Ego dari Erikson yang dapat dipandang sebagai pengembangan dari teori perkembangan seksual-infantil dari Freud, mendapat pengakuan yang luas sebagai teori yang khas, berkat pandangannya bahwa perkembangan kepribadian mengikuti prinsip epigenetik. Bagi organisme, untuk mencapai perkembangan penuh dari struktur biologis potensialnya, lingkungan harus memberi stimulasi yang khusus. Menurut Erikson, fungsi psikoseksual dari Freud yang bersifat biologis juga bersifat epigenesis, artinya psikoseksual untuk berkembang membutuhkan stimulasi khusus dari lingkungan, dalam hal ini yang terpenting adalah lingkungan sosial.
Sama seperti Freud, Erikson menganggap hubungan ibu-anak menjadi bagian penting dari perkembangan kepribadian. Tetapi Erikson tidak membatasi teori hubungan id-ego dalam bentuk usaha memuaskan kebutuhan id oleh ego. Menurutnya, situasi memberi makan merupakan model interaksi sosial antara bayi dengan dunia luar. Lapar jelas manifestasi biologis, tetapi konsekuensi dari pemuasan id (oleh ibu) itu akan menimbulkan kesan bagi bayi tentang dunia luar. Dari pengalaman makannya, bayi belajar untuk mengantisipasi interaksinya dalam bentuk kepercayaan dasar (basic trust), yakni mereka memandang kontak dengan manusia sangat menyenangkan karena pada masa lalu hubungan semacam itu menimbulkan rasa aman dan menyenangkan. Sebaliknya, tanpa basic trust bayi akan mengantisipasi interaksi interpersonal dengan kecemasan, karena masa lalu hubungan interpersonalnya menimbulkan frustrasi dan rasa sakit
Kepercaayaan dasar berkembang menjadi karakteristik ego yang mandiri, bebas dari dorongan drives darimana dia berasal. Hal yang sama terjadi pada fungsi ego seperti persepsi, pemecahan masalah, dan identias ego, beroperasi independen dari drive yang melahirkan mereka. Ciri khas psikologi ego dari Erikson dapat diringkas sebagai berikut:
-Erikson menekankan kesadaran individu untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sosial. Pusat perhatian psikologi ego adalah kemasakan ego yang sehat, alih-alih konflik salah suai yang neurotik.
-Erikson berusaha mengembangkan teori insting dari Freud dengan menambahkan konsep epigenetik kepribadian.
-Erikson secara eksplisit mengemukakan bahwa motif mungkin berasal dari impuls id yang taksadar, namun motif itu bisa membebaskan diri dari id seperti individu meninggalkan peran sosial di masa lalunya. Fungsi ego dalam pemecahan masalah, persepsi, identitas ego, dan dasar kepercayaan bebas dari Id, membangun sistem kerja sendiri yang terlepas dari sitem kerja id.
-Erikson menganggap ego sebagai sumber kesadaran diri seseorang. Selama menyesuaikan diri dengan realita, ego mengembangkan perasaan keberlanjutan diri dengan masa lalu dan masa yang akan datang.
Perkembangan berlangsung melalui penyelesaian krisis-krisis yang ada pada tahapan perkembangan yang terjadi berurutan. Erikson pertama kali memaparkan kedelapan tahapan ini dalam bukunya yang termasyhur, Childhood and Society (1950a). Tabel Delapan Tahapan Perkembangan Psikososial menyajikan daftar tahapan dan menunjukkan krisis atau tugas psikososial apa yang terkait dengan masing-masing tahapan tersebut, kondisi-kondisi sosial yang mungkin membantu atau mengganggu penyelesaian tahapan itu, dan hasil-hasil perilaku yang muncul dari penyelesaian tahapan tersebut entah itu berhasil maupun gagal.
alam bukunya “Childhood and Society” (1963), Erikson membuat sebuah bagan untuk mengurutkan delapan tahap secara terpisah mengenai perkembangan ego dalam psikososial, yang biasa dikenal dengan istilah “Delapan Tahap Perkembangan Manusia”.
Terdapat 8 jenis tahap-tahap perkembangan psikososial Erickson.
Psikososial Tahap 1
Trust vs Mistrust (kepercayaan vs kecurigaan)
Tahap ini berlangsung pada masa oral, pada umur 0-1 tahun atau 1,5 tahun (infancy).
Bayi pada usia 0-1 tahun sepenuhnya bergantung pada orang lain, perkembangan rasa percaya yang dibentuk oleh bayi tersebut berdasarkan kesungguhan & kualitas penjaga (yang merawat) bayi tersebut. Apabila bayi telah berhasil membangun rasa percaya terhadap si penjaga, dia akan merasa nyaman & terlindungi di dalam kehidupannya. Akan tetapi, jika penjagaannya tidak stabil & emosi terganggu dapat menyebabkan bayi tersebut merasa tidak nyaman dan tidak percaya pada lingkungan sekitar.
Kegagalan mengembangkan rasa percaya menyababkan bayi akan merasa takut dan yakin bahwa lingkungan tidak akan memberikan kenyamanan bagi bayi tersebut, sehingga bayi tersebut akan selalu curiga pada orang lain.
Psikososial Tahap 2
Otonomi vs perasaan malu dan ragu-ragu.
Tahap ini merupakan tahap anus-otot (anal/mascular stages), masa ini disebut masa balita yang berlangsung mulai usia 1-3 tahun (early childhood).
Pada masa ini anak cenderung aktif dalam segala hal, sehingga orang tua dianjurkan untuk tidak terlalu membatasi ruang gerak serta kemandirian anak. Namun tidak pula terlalu memberikan kebebasan melakukan apapun yang dia mau.
Pembatasan ruang gerak pada anak dapat menyebabkan anak akan mudah menyerah dan tidak dapat melakukan segala sesuatu tanpa bantuan orang lain. Begitu pun sebalikny, jika anak terlalu diberi kebebasan mereka akan cenderung bertindak sesuai yang dia inginkan tanpa memperhatikan baik buruk tindakan tersebut. Sehingga orang tua dalam mendidik anak pada usia ini harus seimbang antara pemberian kebebasan dan pembatasan ruang gerak anak. Karena dengan cara itulah anak akan bisa mengembangkan sikap kontrol diri dan harga diri.
Psikososial Tahap 3
Inisiatif vs kesalahan
Tahap ini dialami pada anak saat usia 4-5 tahun (preschool age)
Anak-anak pada usia ini mulai berinteraksi dengan lingkungak sekitarnya sehingga menimbulkan rasa ingin tahu terhadap segala hal yang dilihatnya.
Mereka mencoba mengambil banyak inisiatif dari rasa ingin tahu yang mereka alami. Akan tetapi bila anak-anak pada masa ini mendapatkan pola asuh yang salah, mereka cenderung merasa bersalah dan akhirnya hanya berdiam diri. Sikap berdiam diri yang mereka lakukan bertujuan untuk menghindari suatu kesalahan-kesalahan dalam sikap maupun perbuatan.
Psikososial Tahap 4
Kerajinan vs inferioritas
Tahap ini merupakan tahp laten usia 6-12 tahun (school age) ditingkat ini anak mulai keluar dari lingkungan keluarga ke lingkungan sekolah sehingga semua aspek memiliki peran misal orang tua harus selalu mendorong, guru harus memberi perhatian, teman harus menerima kehadirannya. Pada usia ini anak dituntut untuk dapat merasakan bagaimana rasanya berhasil melalui tuntutan tersebut. Anak dapat mengembangkan sikap rajin, jika anak tidak dapat meraih sukses karena mereka merasa tidak mampu (infieoritas), anak dapat mengembangkan sikap rendah diri. Sebab itu, peranan orang tua maupun guru sangat penting untuk memperhatikan apa yang menjadi kebutuhan anak pada usia ini usaha yang sangat baik pada tahap ini adalah dengan mengembangkan kedua karakteristik yang ada. Dengan begitu ada nilai positif yang dapat dipetik dan dikembangkan dalam diri setiap pribadi yakni kompetensi.
Psikososial Tahap 5
Identitas vs kekacauan identitas
Tahap ini merupakan tahap adolense (remaja), dimulai pada saat masa puber dan berakhir pada usia 12-18 tahun/anak. Di dalam tahap ini lingkup lingkungan semakin luas, tidak hanya di lingkungan keluarga atau sekolah, namun juga di masyarakat. Pencarian jati diri mulai berlangsung dalam tahap ini. Apabila seorang remaja dalam mencari jati dirinya bergaul dengan lingkungan yang baik maka akan tercipta identitas yang baik pula. Namun sebaliknya, jika remaja bergaul dalam lingkungan yang kurang baik maka akan timbul kekacauan identitas pada diri remaja tersebut.
Psikososial Tahap 6
Keintiman vs isolasi
Tahap ini terjadi pada masa dewasa awal (young adult), usia sekitar 18/20-30 tahun. Dalam tahap ini keintiman dan isolasi harus seimbang untuk memunculkan nilai positif yaitu cinta. Cinta yang dimaksud tidak hanya dengan kekasih melainkan cinta secara luas dan universal (misal pada keluarga, teman, sodara, binatang, dll).
Psikososial Tahap 7
Generatifitas vs stagnasi
Masa dewasa (dewasa tengah) ditempati oleh orang-orang yang berusia yang berusia sekitar 20 tahunan sampai 55 tahun (middle adult). Dalam tahap ini juga terdapat salah satu tugas yang harus dicapai yaitu dapat mengabdikan diri guna mencapai keseimbangan antara sifat melahirkan sesuatu (generatifitas) dengan tidak melakukan apa-apa (stagnasi). Harapan yang ingin dicapai dalam masa ini adalah terjadinya keseimbangan antara generatifitas dan stagnasi guna mendapatkan nilai positif yaitu kepedulian. Ritualisasi dalam tahap ini meliputi generational dan otoritisme. Generational merupakan interaksi yang terjalin baik antara orang-orang dewasa dengan para penerusnya. Sedangkan otoritisme merupakan interaksi yang terjalin kurang baik antara orang dewasa dengan para penerusnya karena adanya aturan-aturan atau batasan-batasan yang diterapkan dengan paksaan.
Psikososial Tahap 8
Integritas vs keputus asaan
Tahap ini merupakan tahap usia senja (usia lanjut). Ini merupakan tahap yang sulit dilewati karena orang pada masa ini cenderung melakukan introspeksi diri. Mereka akan memikirkan kembali hal-hal yang telah terjadi pada masa sebelumnya, baik itu keberhasilan maupun kegagalan. Jika dalam masa sebelumnya orang tersebut memiliki integritas yang tinggi dalam segala hal dan banyak mencapai keberhasilan maka akan menimbulkan kepuasan di masa senja nya. Namun sebaliknya, jika orang tersebut banyak mengalami kegagalan maka akan timbul keputus asaan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
http://psi-umum.blogspot.co.id/2011/10/manusia-dan-perkembangannya.html
https://ilmuwanmuda.wordpress.com/piaget-dan-teorinya/