REFORMA AGRARIA : KONFLIK DAN KESEJAHTERAAN PETANI1
Oleh : Zainal Muttaqin, S.P2
Abstrak
Reforma agraria merupakan restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan,
penguasaan dan penggunaan sumber-sumber agrarian. Reforma agraria dapat tercapai
maksimal apabila dilakukan dengan kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain,
seperti infrastruktur, bentuk-bentuk usaha yang akan dikembangkan oleh masyarakat,
dukungan permodalan untuk usaha tani, serta teknologi dan pasar.
Pelaksanaan reforma agraria merupakan sebuah upaya yang mudah diucapkan, namun
sulit untuk dilakukan, hal ini dikarenakan reforma agraria berbenturan dengan tatanan
masyarakat saat ini, sistem pemerintah yang desentralisasi, serta benturan kebijakankebijakan lain pada sektor yang berbeda. Hal tersebut memicu terjadinya konflik.
Penyelesaian konflik agraria dapat dilakukan dengan berbagai hal, yaitu adanya
kerlibatan masyarakat untuk menyelesaikan konflik yang mendahulukan kepentingan
masyarakat, adanya koordinasi antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat untuk
melahirkan regulasi yang berpihak kepada masyarakat dan adanya pembatasan penguasaan
perusahaan-perusahaan / pemodal besar untuk menguasai tanah masyarakat dan adanya
pemetaan wailayah sesuai potensinya.
Penguasaan tanah bagi petani merupakan hal yang sangat penting, sehingga akan
meningkatkan produktifitas hasil pangan dan kesejahteraan masyarakat. Ketersediaan lahan
berbanding lurus dengan peningkatan hasil pangan. Nilai tukar petani akan meningkat apabila
produktifitas hasil pertaniannya tinggi. Untuk itu ketersediaan lahan pertanian bagi petani
akan berpengaruh secara nyata terhadap kesejahteraan petani.
Kata Kunci : Reforma Agraria, Konflik Agraria, Masyarakat, Pemerintah, Regulasi,
Kesejahteraan, Petani.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Latar Belakang
Reforma Agraria dapat dipahami secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan
Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan
penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Dalam pasal 2 TAP MPR RI Nomor
IX/MPR/2001 dijelaskan bahwa "Pembaruan agraria mencakup suatu proses yang
berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan
dan pemanfaatan sumberdaya agraria, dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan
perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia" (Badan
Pertanahan Nasional Dalam http://www.bpn.go.id/Program/Reforma-Agraria).
Maksud dilakukannya reforma agraria menurut Badan Pertanahan Nasional (BPN)
adalah menciptakan sumber kesejahteraan dalam bidang agraria, menata kehidupan
masyarakat
yang berkeadilan, meningkatkan
berkelanjutan
sistem
kemasyarakatan
kebangsaan dan kenegaraan Indonesia dan meningkatkan harmoni kemasyarakatan, tujuan
dirancangnya reforma agraria adalah mengurangi kemiskinan, menciptakan lapangan kerja,
memperbaiki akses masyarakat kepada sumber-sumber ekonomi (terutama tanah), menata
ulang ketimpangan penguasaan pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dan sumbersumber agraria, mengurangi sengketa dan konflik pertanahan dan keagrariaan, memperbaiki
dan menjaga kualitas lingkungan hidup, meningkatkan ketanahan pangan dan energi
masyarakat. Adapun dasar dilakukannya land reform (reforma agragia) adalah (1) Penataan
kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, Undang-Undang Dasar
1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria ( UUPA ), (2) Proses Penyelenggaraan Land
Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan Penataan akses masyarakat
terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang memungkinkan masyarakat untuk
memanfaatkan tanahnya secara baik.
Dalam sumber lain disebutkan bahwa reforma agraria merupakan sebuah produk
politik di bidang agraria, menurut Soetiknyo (1990) politik agraria sebagai bidang kebijakan
yang berfokus pada tiga hal: (1) hubungan antara manusia dengan tanah, (2) manusia dari
sudut politik, sosial, ekonomis, kulural dan mental, (3) alam dan khususnya tanah. Sedangkan
Reforma Agraria sendiri menurut Sutarto dalam Mulya (2013) adalah sebuah pembaruan
agraria yang tidak boleh dipahami sebagai proyek bagi – bagi tanah semata, tapi harus
diorientasikan pada upaya peningkatan kesejahteraan petani serta revitalisasi pertanian dan
pedesaan secara menyeluruh.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Berdasarkan konsepsi reforma agraria yang begitu ideal dan sosialis, kenyataan
lapangannya tidak selalu lurus. Dari permasalahan di bidang agraria, yang paling terlihat
yaitu konflik agraria dan kesejahteraan petani. Data statistik seperti yang dilansir Konsorsium
Petani Indonesia (2013) menunjukkan angka yang begitu fantastis dalam urusan konflik
agraria, terdapat 987 kasus sepanjang tahun 2004-2014. Tahun 2014-2015 tercatat sebanyak
374 kasus konflik agraria di Indonesia, atau meningkat sebanyak 60% dari tahun-tahun
sebelumnya (Serikat Petani Indonesia, 2015).
Kementerian Pertanian mencatat dalam Analisis Kesejahteraan Petani (2014) sesuai
dengan Sensus Pertanian yang dilakukan Badan Pusat Statistik pada tahun 2013 bahwa nilai
tukar petani masih rendah sebesar 56%, ini sama dengan kemampuan nilai tukar petani
berdasarkan usaha murni pertanian masih dibawah garis kemiskinan (petani miskin).
Rumusan Masalah
Berdasarkan data tersebut tentu sangat timpang antara konflik agraria dan
kesejahteraan petani dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian. Untuk itu dalam
kajian ini menimbulkan pertanyaan :
1. Adakah kebijakan politik berpengaruh terhadap agraria (ketersediaan lahan) dalam
perspektif pembangunan pertanian?
2. Apakah terdapat keterkaitan antara konflik agraria dengan kesejahteraan petani?
3. Bagaimanakah ketersediaan lahan mempengaruhi produksi pertanian?
4. Seperti apa indeks nilai tukar mempengaruhi kesejahteraan petani?
Tujuan Kajian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk :
1. Mengurai permasalahan konflik agraria, terutama di perdesaan yang berkaitan dengan
lahan pertanian
2. Mencari tahu penyelesaian konflik agraria secara periodik
3. Mencari tahu hubungan konflik agraria dengan ketersediaan alat produksi pertanian
4. Menggali pengaruh konflik agraria terhadap kesejahteraan petani
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Reforma Agrarian Untuk Pembangunan
Reforma Agraria (land reform) yang dalam arti sempit berupa penataan ulang struktur
penguasaan dan pemilikan tanah, merupakan bagian pokok dalam konsep reforma agraria.
Semenjak reformasi, semakin banyak orang yang menyoroti masalah ini, banyak pihak yang
peduli akan permasalahan agraria di tanah air. Namun demikian, sampai sekarang belum
berhasil disepakati bagaimana land reform dan Agrarian reform sebaiknya untuk kondisi di
Indonesia. Beberapa pihak menginginkan pembaruan agraria secara revolusioner, namun
pihak lain menginginkan pola yang lebih lunak secara gradual (Shahyuti, 2004).
Menurut Badan Petanahan Nasional RI (2007) makna reforma agraria adalah
restrukturisasi penggunaan, pemanfaatan, penguasaan, dan pemilikan sumber-sumber agraria,
terutama tanah yang mampu menjamin keadilan dan keberlanjutan peningkatan kesejahteraan
rakyat. Apabila makna ini didekomposisikan, terdapat lima komponen mendasar di
dalamnya, yaitu:
1. Restrukturisasi penguasaan aset tanah ke arah penciptaan struktur sosial-ekonomi dan
politik yang lebih berkeadilan (equity);
2. Sumber peningkatan kesejahteraan yang berbasis keagrariaan (welfare);
3. Penggunaan atau pemanfaatan tanah dan faktor-faktor produksi lainnya secara optimal
(efficiency);
4. Keberlanjutan (sustainability); dan
5. Penyelesaian sengketa tanah (harmony).
Berdasarkan makna reforma agraria di atas, maka dapat dirumuskan tujuan reforma
agraria sebagai berikut:
1. Menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah ke arah yang
lebih adil;
2. Mengurangi kemiskinan;
3. Menciptakan lapangan kerja;
4. Memperbaiki akses rakyat kepada sumber-sumber ekonomi, terutama tanah;
5. Mengurangi sengketa dan konflik pertanahan;
6. Memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan
7. Meningkatkan ketahanan pangan.
Sebagai negara agraris, yang sebagian besar perekonomiannya ditopang oleh
perekonomian perkebunan besar, corak masyarakatnya dan corak produktifnya tentu berbedabeda, walaupun demikian secara historis dapat dilacak sekalipun di sana-sini terjadi
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
perubahan sesuai dengan perkembangan jaman, tetapi sistem “ plantation estate economy”
mempunyai citra umum yang dicerminkan oleh sejumlah ciri, antara lain : a) sistem ekonomi
perkebunan besar ditopang oleh dominasi pemikiran bahwa ekspor komoditi hasil
perkebunan harus diprioritaskan demi pertumbuhan ekonomi nasional, b) perkebunan besar
menguasai tanah-tanah yang luas tak terbatas dan tak dibatasi, c) kebutuhan tenaga kerja
sangat besar, d) Perkebunan besar dikelola dengan cara yang ketat, e) birokrasi perkebunan
besar tidak terjangkau oleh kontrak sosial (Yuwinanto, 2003).
Ketimpangan struktur kepemilikan dan penguasaan tanah yang ada pada masa kolonial
menjadi salah satu pemicu dikeluarkan kebijakan penataan agraria pada masa orde lama
(1945 – 1965). Selama pemerintahan Soekarno, rakyat mulai merasakan adanya kebebasan
(Fauzi, 1999). Hal ini ditandai dengan terbukanya ruang yang cukup lapang bagi petani untuk
membentuk organisasi ditingkat akar rumput sehingga partisipasi politik ormas petani terbuka
luas. Dikeluarkannya Undang – Undang Pokok Agraria (UUPA 1960) sebagai salah satu
kebijakan pemerintah Soekarno, diakui secara legal sebagai landasan hukum pertanahan yang
sah. Meskipun pada tahap pelaksanaannya pelaksanaan UU tersebut terhambat baik karena
masalah administratif, korupsi, maupun oposisi dari tuan tanah.
Yuwinanto (2003) mengatakan kekeliruan yang paling mendasar dari praktek-praktek
orde baru yaitu tidak ditempatkannya pemerataan penguasaan, penggunaan, pemanfaatan dan
pemeliharaan tanah dan kekayaan alam sebagai prakondisi dari pembangunan sosial.
Shanin (1966) berpendapat bahwa, apabila komoditas atau hasil produksi pertanian
dapat dipertemukan dengan pemenuhan kebutuhan dasar dari rumah tangga petani akan
mencipkan kemerdekaan relatif pada diri petani terhadap produsen pertanian lain dan pasar.
Hal tersebut akan berujung pada terciptanya stabilitas relatif dalam rumah tangga petani,
yang apabila terjadi krisis, mereka dapat mempertahankan keberadaannya dengan cara
meningkatakan usaha kerja, menekan konsumsi mereka sendiri, ataupun mengatur kembali
hubungan mereka dengan pasar.
Di dalam konteks reforma agraria, tanah menempati posisi yang teramat penting.
Meskipun apabila kita merujuk pada Undang Undang Pokok Agraria, kata agraria tidak
semata – mata dalam artian tanah semata tetapi juga air, udara, dan ruang angkasa serta
segala sesuatu yang terkandung di dalamnya. Kata tanah mendapatkan penekanan lebih
karena dianggap menaungi kesemua hal tersebut (Fajrin, 2011).
Sesuai dengan tujuan reforma agraria yang telah ditetapkan, maka subjek reforma
agraria pada dasarnya adalah penduduk miskin di pedesaan baik petani, nelayan maupun non1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
petani/nelayan. Penduduk miskin dalam kategori ini dapat dimulai dari yang di dalam lokasi
ataupun yang terdekat dengan lokasi, dan dibuka kemungkinan untuk melibatkan kaum
miskin dari daerah lain (pedesaan dan perkotaan). Mekanisme penentuan subjek reforma
agraria harus dilakukan dengan sebaik-baiknya, hal ini untuk memastikan bahwa subjek
reforma agraria memenuhi ketentuan yang telah ditetapkan. Penentuan subjek didasarkan
hasil identifikasi subjek secara teliti, partisipatif, dan dapat dipertanggungjawabkan serta
memenuhi kriteria yang ditetapkan (Alfirqon, 2009).
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka reforma agraria harus dilaksanakan dengan
kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain. Redistribusi lahan di suatu wilayah hanya
akan meningkatkan kesejahteraan, jika disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur,
bentuk-bentuk usaha yang akan dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan untuk
usaha tani, serta teknologi dan pasar. Pelaksanaan landreform yang terlepas dari konteks
pembaharuan agraria hanya akan menghasilkan anarki, konflik, penelantaran tanah dan
maraknya jual beli lahan yang bisa saja memperparah ketimpangan. Karena itu, jika suatu
wilayah akan menjalankan landreform maka seluruh pihak harus mendukung dan siap dengan
kebijakan dan perannya masing-masing (Syahyuti, 2004).
Reforma Agraria dapat dipahami secara legal formal disebut juga dengan Pembaruan
Agraria adalah proses restrukturisasi (penataan ulang susunan) kepemilikan, penguasaan, dan
penggunaan sumber-sumber agrarian (khususnya tanah). Adapun dasar dilakukannya land
reform (reforma agragia) adalah :
1. Penataan kembali sistem politik dan hukum pertanahan berdsarkan Pancasila, UndangUndang Dasar 1945 dan Undang-Undsang Pokok Agraria ( UUPA )
2. Proses Penyelenggaraan Land Reform Plus, yaitu penataan aset tanah bagi masyarakat dan
Penataan akses masyarakat terhadap sumber-sumber ekonomi dan politik yang
memungkinkan masyarakat untuk memanfaatkan tanahnya secara baik.
Agar diperoleh hasil yang optimal, maka reforma agraria harus dilaksanakan dengan
kesiapan unsur-unsur pembaruan agraria yang lain. Redistribusi lahan di suatu wilayah hanya
akan meningkatkan kesejahteraan, jika disiapkan unsur-unsur lain seperti infrastruktur,
bentuk-bentuk usaha yang akan dikembangkan oleh masyarakat, dukungan permodalan untuk
usaha tani, serta teknologi dan pasar.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Konflik agraria
Konflik berasal dari kata kerja Latin configere yang berarti saling memukul (Davis,
1977). Secara Sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara 2 orang atau
lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain
dengan menghancurkannya atau membuatnya tidak berdaya. Konflik dilatarbelakangi oleh
perbedaan ciri-ciri yang dibawa individu dalam suatu interaksi. Perbedaan-perbedaan tersebut
diantaranya adalah menyangkut ciri fisik, kepandaian, pengetahuan, adat istiadat, keyakinan
dan lain sebagainya. Konflik bertentangan dengan integrasi. Konflik dan integrasi berjalan
sebagai sebuah sirkus di masyarakat. Konflik yang terkontrol akan menghasilkan integrasi.
Sebaliknya integrasi yang tidak sempurna dapat menciptakan konflik.
Kata agraria mempunyai arti yang berbeda-beda antara bahasa yang satu dengan bahasa
yang lainnya. Dalam bahasa Latin kata agraria berasal dari kata ager dan agrarius. Kata ager
berarti tanah atau sebidang tanah, sedangkan kata agrarius mempunyai arti sama dengan
perladangan, persawahan, pertanian. Dalam terminologi bahasa Indonesia, agraria berarti
urusan tanah pertanian, perkebunan. Sedangkan bahasa Inggris kata agraria diartikan
agrarian yang selalu diartikan tanah dan dihubungkan dengan usaha pertanahan. Dalam
bahasa Belanda yaitu akker, dalam bahasa Yunani Agros yang berarti tanah pertanian (Davis,
1977).
Konflik agraria sering terjadi antara masyarakat dengan pemerintah, masyarakat dengan
swasta, maupun masyarakat dengan masyarakat lainnya. Banyak faktor terjadi pemicunya
konflik pada sektor agraria, antara lain ialah kebijakan pemerintah daerah tentang wilayah
industri (akibat desentralisasi politik) membuat masyarakat harus tersingkir dari pemukiman
mereka ke daerah yang lebih luar kemudian muncul sebuah konflik yang cukup besar.
Perluasan lahan perkebunan juga dapat memicu konflik, sebagaimana pada kasus-kasus yang
banyak terjadi saat ini antara masyarakat dengan PTPN maupun perkebunan swasta
diakibatkan oleh penyerobotan lahan yang dilakukan perkebunan tanpa mengganti rugi,
kemudian masyarakat tidak diberikan kesempatan untuk bertani (Astawa, 2015).
Menurut Nasikun (1995) terdapat empat hal ciri pendekatan konflik, yaitu: 1) Setiap
masyarakat senantiasa berada di dalam proses perubahan yang tidak pernah berakhir, atau
dengan perkatan lain, perubahan sosial merupakan gejala yang melekat di dalam setiap
masyarakat. 2) Setiap masyarakat mengandung konflik-konflik di dalam dirinya, atau dengan
kata lain, adalah merupakan gejala yang melekat di dalam setiap masyarakat. 3) Setiap unsur
di dalam suatu masyarakat memberikan sumbangan bagi terjadinya disintegrasi dan
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
perubahan-perubahan sosial. 4) Setiap masyarakat terintegrasi di atas penguasaan atau
dominasi oleh sejumlah orang atas sejumlah orang-orang lain
Konflik agraria pada perkebunan di samping merupakan warisan Orde Baru juga
banyak muncul disebabkan oleh kebijaksanaan pembangunan yang “ lapar tanah” , baik
untuk fasilitas pemerintahan, proyek besar, proyek konsumtif, maupun pengembangan
perkebunan. Dalam proses ambilalih tanah yang “ dikuasai” rakyat inilah terjadi konflik
kepentingan dan perbedaan persepsi antara petani sebagai pemilik tanah dengan Perusahaan
Perkebunan atau pemerintah. Konflik kepentingan ini muncul dalam bentuk perlawanan dan
gerakan protes, karena kepentingan petani seringkali dikalahkan (Astawa, 2015).
Fuad dan Maskahan (2000) serta Hae, et al (2001) menyatakan bahwa menurut
wujudnya, konflik dapat berwujud tertutup (laten), mencuat (emerging) dan terbuka
(manifest), juga dapat meningkat (eskalasi). Sedangkan menurut level permasalahannnya,
terdapat dua jenis konflik yakni konfilk vertikal dan konflik horizontal. Berdasarkan
pernyataan tersebut, wujud konflik yang terjadi mulanya cenderung tertutup (laten) dalam
jangka waktu yang cukup lama.
Sarjita dalam bukunya Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan Edisi
Revisi, mengelompokkan jenis sengketa/konflik pertanahan menjadi 5 (lima) yaitu berkaitan
dengan:
1. Penggarapan oleh rakyat di atas tanah perkebunan, kehutanan, negara dan lain-lain yang
dikenal dengan istilah pendudukan/penyerobotan.
2. Masalah penguasaan tanah landreform
3. Pelaksanaan pendaftaran tanah
4. Pelaksanaan pembebasan tanah, pengadaan tanah untuk kepentingan umum bagi
pelaksanaan pembangunan.
5. Kepemilikan tanah/hak keperdataan melalui peradilan umum dan masalah sengketa
keputusan administrasi/TUN di Pengadilan Tata Usaha Negara
Gejala konflik pemilikan tanah pertanian dalam hubungan-hubungan agraria menurut
Ton Dietz sebagaimana dikutip oleh Endriatmo Soetarto (2004) berakar pada pertentangan
klaim menyangkut:
1. Siapa yang berhak menguasai sumber-sumber agraria dan kekayaan alam yang
menyertainya;
2. Siapa yang berhak memanfaatkan sumber-sumber agraria dan kekayaan alam itu;
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
3. Siapa yang berhak mengambil keputusan atas penguasaan dan pemanfaatan sumbersumber agraria dan kekayaan alam tersebut.
Selanjutnya Endriatmo Soetarto (2004) menyebutkan “ gejala konflik sebenarnya
mencerminkan pertentangan klaim mengenai siapa yang dapat memiliki, menggunakan dan
mengelola serta siapa yang mengontrol akses atas sumber-sumber agraria dan kekayaan alam
dan siapa yang memperoleh manfaat darinya” .
Secara umum, penyebab sengketa tanah menurut Sakai (2002) adalah sebagai berikut :
1. penyalahgunaan perizinan: perusahaan yang telah memperoleh izin memaksa penduduk
setempat untuk meninggalkan tanah mereka;
2. asumsi bahwa tanah adalah milik negara: perusahaan tidak meneliti pemakai tanah yang
sudah ada;
3. pendekatan yang dipakai pemerintah setempat terlalu berpihak kepada perusahaan yang
memegang izin tanpa menangani akar permasalahan;
4. pemerintah setempat membentuk komite untuk mencari tanah, yang berpihak ke
perusahaan investasi;
5. sistem peradilan bekerja untuk menekan komunitas lokal bila konflik antara aparat
keamanan dan masyarakat setempat terjadi; dan
6. dengan hapusnya Sistem Pemerintahan Adat (marga) yang digantikan dengan UU
No.5/1979, keberadaaan tanah ulayat yang dimiliki oleh masyarakat adat, termasuk
marga, menjadi tidak jelas. Sistem marga adalah unit teritorial tradisional yang dikepalai
seorang pasirah dan terdiri dari beberapa dusun. Teritori marga sering mencakup tanah
marga atau hak ulayat.
Dari pengamatan dan kajian yang dilakukan, sengketa yang terjadi dalam masyarakat
mengalami proses atau tahapan-tahapan sebagai berikut :
1. Tahap pertama, konflik berawal dari keluhan-keluhan (grievance) dari salah satu pihak
terhadap pihak lain (individu atau kelompok) karena pihak yang mengeluh merasa hakhaknya dilanggar, diperlakukan secara tidak wajar, kasar dipersalahkan, diinjak harga
dirinya, dirusak nama baiknya, dilukai hatinya, dan lain-lain. Kondisi awal ini disebut
sebagai tahapan pra konflik (pre conflict stage) yang cenderung mengarah kepada
konfrontasi yang bersifat monodik.
2. Tahap kedua, apabila kemudian pihak yang lain menunjukkan reaksi negatif berupa sikap
yang bermusuhan atas munculnya keluhan dari pihak pertama, maka kondisi ini
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
meningkat eskalasinya menjadi situasi konflik (conflict stage) sehingga konfrontasi
berlangsung secara diadik.
3. Tahap ketiga, apabila konflik atau pihak-pihak tersebut ditunjukkan dan dibawa ke arena
publik (masyarakat) dan kemudian proses menjadi kasus perselisihan dalam institusi
penyelesaian sengketa, maka situasinya telah meningkat menjadi sengketa (dispute
stage) dan kondisi konfrontasi antar pihak-pihak yang berselisihan menjadi triadik yang
bersengketa.
Dari maslah-masalah diatas maka perlu langkah yang dilakukan untuk meredam konflik
agar tidak meluas, yaitu :
1. meneliti bukti-bukti keabsahan surat-surat dasar tuntutan;
2. mengadakan pendekatan sosial pada masyarakat yang mengajukan tuntutan, maupun
kepada pihak pemerintah;
3. menginventarisasi subyek hukum maupun obyek yang dipermasalahkan;
4. mencegah campur tangan pihak ketiga;
5. menyaksikan kesepakatan memecahkan masalah; dan
6. membuat laporan setiap pelaksanaan tugas kepada pemerintah daerah.
Adapun hal-hal yang perlu diperhatikan atas hak penggunaan dan kepemilikan tanah
oleh masyarakat adalah :
1. Turut campurnya pemerintah daerah dalam menangani kepemilikan tanah melalui
regulasi yang pro rakyat
2. Perlunya ada koordinasi yang intens antara pemerintah daerah dengan pemerintah pusat
akan produktifitas petani dalam mengelola tanahnya, sehingga pemenuhan kebutuhan
masyarakat dapat tercapai.
3. Membatasi perusahaan-perusahaan industri maupun properti dalam menguasai tanahtanah masyarakat
4. Melakukan ploting area untuk wilayah-wailayah produktif pertanian, kawasan industri,
pemukiman dan perkebunan, sehingga tidak terjadi benturan keras dari berbagai pihak.
Alih fungsi lahan pertanian
Alih fungsi lahan berarti berubahnya fungsi dari penggunaan lahan, seperti berubahnya
lahan yang awalnya dikelola sebagai lahan pertanian berubah menjadi perumahan, industri,
perkebunan, pertambangan, dan lain sebagainya. Alih fungsi lahan ini kecenderungan
dilakukannya perpindahan hak milik tanah (dijual) oleh masyarakat kepada pemodal besar,
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
penyerobotan secara paksa oleh pemodal-pemodal besar, maupun kurangnya kepedulian
pemerintah daerah terhadap masalah pertanahan ini. Peralihan fungsi lahan yang dominan di
Indonesia ialah peralihan dari lahan pertanian ke perkebunan, dan peralihan fungsi lahan
permukiman ke industri. Dampak yang dihasilkan dapat signifikan, mulai dari budaya sosial
dan ekonomi masyarakat yang mulanya mengandalkan lahan yang dimiliki menjadi
ketergantungan dengan sektor-sektor yang merampas hak penguasaan tanah mereka.
Suatu kecenderungan umum bisa dilihat di negara-negara industri, yaitu pertanian telah
menjadi aktivitas industri dan para petani kecil cenderung menjadi marjinal. Kecenderungan
seperti ini bukanlah baru. Di Amerika Serikat, sejak berdirinya negara itu, jutaan petani kecil
meninggalkan pertanian karena mereka menghadapi keadaan yang semakin sulit, dimana
pendapatan mereka tidak lagi cukup untuk menutup biaya produksi yang semakin besar.
Namun demikian, para petani kecil itu kemudian diserap oleh semakin besarnya
perkembangan sektor industri dan jasa. Perpindahan besar-besaran tenaga kerja dari pertanian
ke beberapa sektor lain juga bisa dilihat di Eropa Barat dan Jepang, terutama karena
berlangsungnya industrialisasi di beberapa dekade yang lalu. Kecenderungan itu semakin
cepat meningkat sejak awal tahun 1970-an karena adanya kenaikan harga minyak secara
kontinyu seiring dengan kenaikan biaya input yang diakibatkannya (White & Wiradi, 2009).
Bila dirunut, sejarah panjang politik pertanahan di Indonesia sebenarnya dimulai dari
sejak terbit UUPA 1960 yang mengakui hak individu atas tanah, tetapi hak atas tanah tersebut
memiliki fungsi sosial. Memiliki prinsip hak menguasai dari negara, pemerintah mengatur
agar tanah dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Namun dalam suasana
romantika negara dipersonifikasi sebagai suatu penjelmaan dari kekuasaan rakyat. Sama
sekali tidak terbayangkan oleh pembuat UUPA bahwa negara bisa menjadi struktur otonom
maupun alat dari kepentingan pemodal dan melepaskan diri dari keharusan yang etis. Bahkan
melalui UUPA ini pula demi menjamin kepastian hukum, hak atas tanah adat dan ulayat
dihilangkan menuju unifikasi hukum nasional (Yuwinanto, 2003).
Akibat adanya pengakuan individu dalam penguasaan tanah, dapat terlihat jelas setelah
runtuhnya orde lama ke orde baru, strategi pembangunan yang dilakukan pemerintah melalui
sektor industri mengakibatkan tingginya angka kehilangan tanah pertanian. Selanjutnya pasca
orde baru beralih reformasi, setelah selesainya krisis moneter 1997-1999, industri yang
sebelumnya hampir gulung tikar, kembali menguat bahkan penguasaan lahan semakin
menggila, sehingga sektor industri menjadi sektor yang sangat kuat. Seiring tumbuhnya
sektor industri yang pesat, secara besar-besaran masyarakat Indonesia beralih profesi dari
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
petani menjadi buruh, dari desa mengepung kota. BPS tahun 2012 mencatat alih fungsi lahan
pertanian ke industri sebesar 30% sepanjang tahun 2001-2011 secara nasional.
Kesejahteraan petani
Tingkat kesejahteraan merupakan konsep yang digunakan untuk menyatakan kualitas
hidup suatu masyarakat atau individu di suatu wilayah pada kurun waktu tertentu. Konsep
kesejahteraan atau rasa sejahtera yang dimiliki bersifat relatif, tergantung bagaimana
penilaian masing-masing individu terhadap kesejahteraan itu sendiri. Sejahtera bagi
seseorang dengan tingkat pendapatan tertentu belum dapat juga dikatakan sejahtera bagi
orang lain.
Suharto (2006) mengartikan kesejahteraan sebagai kondisi sejahtera (well-being).
Pengertian ini biasanya merujuk pada istilah kesejahteraan sosial (social welfare) sebagai
kondisi terpenuhinya kebutuhan material dan non-material. Midgley, et al (2000) seperti
dikutip oleh Suharto (2006) mendefinisikan kesejahteraan sosial sebagai “ …a condition or
state of human well-being.” Kondisi sejahtera terjadi manakala kehidupan manusia aman dan
bahagia karena kebutuhan dasar akan gizi, kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, dan
pendapatan dapat dipenuhi; serta manakala manusia memperoleh perlindungan dari resikoresiko utama yang mengancam kehidupannya.
Menurut Agusniar (2006) masyarakat yang sejahtera mengandung arti bahwa setiap
angota masyarakat dapat memperoleh kebahagiaan, tetapi kesejahteraan salah satu individu
belum menjamin adanya kesejahteraan seluruh masyarakat. Usaha mensejahterakan
masyarakat berarti usaha untuk menjadikan semua anggota masyarakat dapat hidup bahagia
(Su’ ud dalam Agusniar, 2006). Menurut Su’ ud seperti dikutip Agusniar (2006) terdapat
dua hal penting mengenai kesejahteraan, yaitu: (1) Kesejahteraan menuntut adanya kekayaan
yang meningkat yaitu mengukur kesejahteraan dengan keluaran fisik dan (2) Kesejahteraan
tercapai bila ada distribusi pendapatan yang dirasa adil oleh masyarakat.
Indikator kesejahteraan rakyat menyajikan gambaran mengenai taraf kesejahteraan
rakyat Indonesia antar waktu, perkembangannya antar waktu serta perbandingannya antar
populasi dan daerah tempat tinggal (perkotaan dan pedesaan). Dimensi kesejahteraan rakyat
disadari sangat luas dan kompleks, sehingga suatu taraf kesejahteraan rakyat hanya dapat
terlihat jika dilihat dari suatu aspek tertentu.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
BPS tahun 1995 seperti dikutip oleh Munir (2008) kemudian memberikan gambaran
tentang cara yang lebih baik untuk mengukur kesejahteraan dalam sebuah rumah tangga
mengingat sulitnya memperoleh data yang akurat. Cara yang dimaksud adalah dengan
mengukur pola konsumsi rumah tangga. Pola konsumsi rumah tangga merupakan salah satu
indikator kesejahteraan rumah tangga/keluarga. Selama ini berkembang pengertian bahwa
besar kecilnya proporsi pengeluaran untuk konsumsi makanan terhadap seluruh pengeluaran
rumah tangga dapat memberikan gambaran kesejahteraan rumah tangga tersebut.
Rumah tangga dengan proporsi pengeluaran yang lebih besar untuk konsumsi makanan
mengindikasikan rumah tangga yang berpenghasilan rendah. Semakin tinggi tingkat
penghasilan rumah tangga, semakin kecil proporsi pengeluaran untuk makanan terhadap
seluruh pengeluaran rumah tangga. Sehingga dapat dikatakan bahwa rumah tangga/keluarga
akan semakin sejahtera bila persentase pengeluaran untuk makanan jauh lebih kecil
dibandingkan persentase untuk non makanan.
Menetapkan kesejahteraan keluarga serta cara pengukurannya merupakan hal yang sulit
untuk dirumuskan secara tuntas. Hal ni disebabkan permasalahan keluarga sejahtera bukan
hanya menyangkut permasalahan perbidang saja, tetapi menyangkut berbagai bidang
kehidupan yang sangat kompleks. Untuk itu diperlukan pengetahuan di berbagai bidang
disiplin ilmu di samping melakukan penelitian atau melalui pengamatan empirik berbagai
kasus untuk dapat menemukan indikator keluarga sejahtera yang berlaku secara umum dan
spesifik (Badan Pusat Statistik tahun 1995 dalam Munir, 2008).
Berbagai aspek mengenai indikator kesejahteraan dibahas oleh BPS tahun 1995 seperti
dikutip oleh Munir (2008), antara lain :
1. Kependudukan
Masalah kependudukan yang meliputi jumlah, komposisi dan distribusi penduduk
merupakan masalah yang perlu diperhatikan dalam proses pembangunan. Oleh sebab itu,
untuk menunjang keberhasilan pembangunan nasional dalam penanganan masalah
kependudukan, pemerintah tidak saja mengarahkan pada upaya pengendalian jumlah
penduduk, tetapi juga menitikberatkan pada peningkatan kualitas sumber daya manusia.
Selain itu itu, program perencanaan pembangunan sosial disegala bidang harus mendapat
prioritas utama yang berguna untuk peningkatan kesejahteraan penduduk.
2. Kesehatan dan gizi
Salah satu aspek penting kesejahteraan adalah kualitas fisik penduduk yang dapat
dilihat dari derajat kesehatan penduduk dengan menggunakan indikator utama angka
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
kematian bayi dan angka harapan hidup. Selain itu, aspek penting lainnya yang turut
mempengaruhi kualitas fisik penduduk adalah status kesehatan yang antara lain diukur
melalui angka kesakitan dan status gizi.
3. Pendidikan
Pendidikan merupakan proses pemberdayaan peserta didik sebagai subjek sekaligus
objek dalam membangun kehidupan yang lebih baik. Faktor kemiskinan merupakan salah
satu faktor yang menyebabkan belum semua anak Indonesia dapat menikmati kesempatan
pendidikan dasar. Berdasarkan hal tersebut dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi
pendidikan yang dicapai suatu masyarakat, maka dapat dikatakan masyarakat tersebut
semakin sejahtera.
4. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan merupakan salah satu aspek penting yang tidak hanya untuk
mencapai kepuasan tetapi juga untuk memenuhi perekonomian rumah tangga dan
kesejahteraan seluruh masyarakat.
5. Taraf dan pola konsumsi
Jumlah penduduk miskin merupakan indikator yang cukup baik untuk mengukur
tingkat kesejahteraan rakyat. Aspek lain yang perlu dipantau berkenaan dengan
peningkatan pendapatan penduduk tersebut adalah bagaimana pendapatan tersebut
terdistribusi diantara kelompok penduduk. Indikator distribusi pendapatan, walaupun
didekati dengan pengeluaran akan memberikan petunjuk aspek pemerataan yang telah
tercapai. Dari data pengeluaran dapat juga diungkapakan tentang pola konsumsi rumah
tangga secara umum dengan menggunakan indikator proporsi pengeluaran untuk makanan
dan bukan makanan.
6. Perumahan dan lingkungan
Rumah tangga dijadikan sebagai salah satu indikator kesejahteraan bagi pemiliknya.
Semakin baik fasilitas yang dimiliki, dapat diasumsikan semakin sejahtera rumah tangga
yang menempati rumah tersebut. Berbagai fasilitas yang dapat mencerminkan tingkat
kesejahteraan tersebut antara lain dapat dilihat dari luas lantai rumah, sumber air minum,
fasilitas buang air besar rumah tangga, dan tempat penampungan kotoran akhir (jamban).
7. Sosial dan budaya
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Secara umum semakin banyak seseorang memanfaatkan waktu luang untuk
melakukan kegiatan sosial budaya maka dapat dikatakan bahwa orang tersebut memiliki
tingkat kesejahteraan yang semakin meningkat. Pembahasan mengenai sosial budaya lebih
difokuskan pada kegiatan sosial budaya yang mencerminkan aspek kesejahteraan, seperti
melakukan perjalanan wisata dan akses pada informasi dan hiburan, yang mencakup
menonton televisi, mendengarkan radio dan membaca surat kabar.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Daftar Pustaka
Agusniar, Ami. 2006. Analisis Dampak Pemekaran Wilayah Terhadap Perekonomian
Wilayah dan Kesejahteraan Masyarakat (Kasus Kabupaten Aceh Singkil,
Provinsi Nangroe Aceh Darussalam). Tesis. Program Pasca Sarjana IPB : Bogor.
Alfurqon, Andi. 2009. Program Reforma Agraria dan Kesejahteraan Petani. Institut
Pertanian Bogor : Bogor.
Astawa, Diara Ktut. 2015. Strategi penyelasaian konflik tanah perkebunan. Jurnal
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (Vol. 28 No.1). Universitas Negeri
Malang : Malang, Jawa Timur.
Badan Pertanahan Nasional. 2007. Reforma Agraria: Mandat Politik, Konstitusi, dan
Hukum dalam Rangka Mewujudkan “ Tanah untuk Keadilan dan Kesejahteraan
Rakyat” . Badan Pertanahan Nasional RI : Jakarta.
Davis. 1977. Konflik Pertanahan. Galia Indonesia : Jakata.
Easton David. 1988. Kerangka Kerja Analisa Sistem Politik. Bina Aksara : Jakarta.
Endriatmo, Soetarto dan Shohibuddin, Mohammad. 2004. Jurnal Pembaharuan Desa
dan Agraria, Pusat Kajian Agraria IPB (Volume 01/Tahun I/2004).
Fajrin,
Mochammad. 2011. Dinamika Gerakan
Kelangsungannya. IPB Press : Bogor.
Petani
:
Kemunculan
dan
Febrina, Mulya. 2013. Reformasi Agraria : Analisis Sistem Politik Pertanian (Studi
Perbandingan Kuba dan Indonesia). Pascasarjana Universitas Indonesia : Jakarta.
Fuad, H.F. dan S.Maskanah. 2000. Inovasi Penyelesaian Sengketa Pengelolaan Sumber
Daya Hutan. Pustaka Latin. Bogor.
Kuswana, Dadang. 2011. Metode Penelitian Sosial. Pustaka Setia : Bandung.
Munir, Misbahul. 2008. Pengaruh Konversi Lahan Terhadap Tingkat Kesejahteraan
Rumah Tangga Petani. Institut Pertanian Bogor : Bogor.
Nasikun. 1995. Sistem Sosial di Indonesia. Rajawali Pers : Jakarta.
Putong, Iskandar. 2010. Pengantar Ekonomi Makro. Mitra Wacana Media : Jakarta.
Rasahan, Anwar Chairil. 1999. Refleksi Pertanian : Tanaman pangan dan Hortikultura
Nusantara. Pustaka Sinar Harapan : Jakarta.
Sakai, Minako. 2002. Solusi Sengketa di Era Reformasi Politik dan Desentralisasi
Indonesia. The University of New South Wales.
Sarjita, 2005, Teknik dan Strategi Penyelesaian Sengketa Pertanahan, Tugu Jogja
Pustaka : Yogyakarta.
Shanin, Teodor. 1966. dalam Teode Shanin (ed), Peasantry as a Political Factor,
Middlesex : Penguin Books.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute
Sitorus, M. T. Felix. 1998. Penelitian Kualitatif suatu Perkenalan. Kelompok
Dokumentasi Ilmu Sosial : Bogor.
Soetiknyo, Iman. 1990. Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia Dengan Tanah
yang Berdasarkan Pancasila. Gadjah Mada University Press : Yogyakarta.
Syahyuti. 2004. Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia : Analisa terhadap
Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma
Agraria. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi pertanian : Bogor.
White, Benjamin dan Wiradi, Gunawan. 2009. Reforma Agraria Dalam Tinjauan
Komparatif : Hasil Lokakarya Kebijakan Reforma Agraria di Selabintana.
Brighten Press : Bogor.
Yuwinanto, Prasetyo Helmi. 2003. Resensi buku Beraksi untuk Pembaruan Agraria :
Dari Tuntutan Lokal hingga Kecenderungan Global. Jurnal Masyarakat,
kebudayaan dan Politik, Universitas Airlangga : Surabaya.
1. Artikel dipublikasikan pada kegiatan akademik di Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta
2. Penulis adalah pengurus YS Institute