Academia.eduAcademia.edu

ANALISIS KONFLIK ANTAR SERIKAT PEKERJA

2024, M. Naoval Afandi

https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31

Konflik antara serikat pekerja dalam suatu perusahaan merupakan fenomena yang cukup kompleks dan berpotensi memengaruhi stabilitas hubungan industrial, kesejahteraan karyawan, dan produktivitas perusahaan. Konflik antar serikat pekerja sering dipicu oleh persaingan dalam representasi anggota, perbedaan pandangan terhadap kebijakan perusahaan, dan kurangnya komunikasi yang efektif antara serikat pekerja dan manajemen. Konflik ini berpengaruh negatif pada iklim kerja, menciptakan ketidakpuasan, serta berpotensi menurunkan loyalitas dan produktivitas karyawan. Penyelesaian melalui mediasi dan negosiasi dengan melibatkan pihak ketiga dapat mengurangi ketegangan dan menghasilkan kesepakatan yang saling menguntungkan. Hal ini disarankan perusahaan untuk mengembangkan mekanisme komunikasi yang transparan dan inklusif agar dapat meminimalisir potensi konflik di masa depan. Dengan demikian, pemahaman yang lebih mendalam tentang konflik serikat pekerja ini dapat membantu perusahaan dalam membangun hubungan kerja yang lebih harmonis dan kondusif bagi perkembangan organisasi.

Nama : M. Naoval Afandi NIM : (220201057) Prodi : Hukum Ekonomi Syariah Kelas : HES V B Matkul : Hukum Ketenagakerjaan Materi : Perselisihan Antar Serikat Dalam Satu Perusahaan ANALISIS KONFLIK SERIKAT PEKERJA DALAM PERUSAHAAN PENDAHULUAN Serikat artinya perkumpulan, perhimpunan dan gabungan. Sedangkan Pekerja artinya orang yang bekerja atau orang yang menerima upah atas hasil kerjanya. Pengertian Serikat Pekerja atau Serikat Buruh adalah suatu organisasi yang didirikan oleh dan untuk para pekerja/buruh, baik di dalam maupun di luar perusahaan, yang bersifat bebas, terbuka, mandiri, demokratis, dan bertanggung jawab memperjuangkan serta melindungi hak dan kepentingan para pekerja/buruh dan meningkatkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya.1 Keberadaan serikat perkerja/serikat buruh bertujuan untuk menghubungkan aspirasi para pekerja yang mengalami kesulitan atau ketidakadilan dalam pekerjaaan di dalam atau di luar perusahaan. Dapat disimpulkan bahwa serikat pekerja/serikat buruh merupakan forum yang terorganisasi dengan baik untuk memperjuangkan, membela dan melindungi hak dan kepentingan pekerja. Di sinilah muncul peran serikat pekerja yang membangkitkan aspirasi para anggotanya ketika menghadapi permasalahan atau ketidakadilan dalam pekerjaan di dalam maupun di luar perusahaan.2 Pasal 1 Nomor 17 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 dan Pasal 1 Nomor 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh 2 Luluk Tri Harinie, dkk, HUBUNGAN INDUSTRIAL (Bali: INFES MEDIA, 2024) h. 100 & 101 1 Pekerja atau buruh merupakan warga negara yang selaras dalam hukum, memiliki akses terhadap pekerjaan, dan kondisi hidup yang layak, serta memiliki hak untuk menyampaikan aspirasi mereka. Pekerja berpartisipasi dalam suatu perusahaan dan menjadi anggota Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Sebagai mitra kerja, pekerja memiliki peran yang penting dalam proses produksi perusahaan untuk menjaga kelangsungan perusahaan, meningkatkan kesejahteraan pekerja atau buruh dan keluarga mereka, serta berkontribusi pada peningkatan masyarakat Indonesia secara menyeluruh. Dalam situasi seperti ini, serikat pekerja mewakili kepentingan pekerja dan memiliki tanggung jawab untuk menjaga kelangsungan perusahaan serta memastikan bahwa perusahaan memperlakukan pekerja dengan adil. Serikat pekerja didirikan secara terbuka, bebas, mandiri, demokratis, dan juga bertanggung jawab untuk melindungi dan memperjuangkan kepentingan pekerja beserta keluarganya. Dalam multi union system, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 memberikan kebebasan kepada pekerja untuk membentuk serikat pekerja atau serikat buruh. Menurut Undang-Undang ini, setiap 10 orang pekerja atau buruh diizinkan untuk membentuk serikat pekerja atau serikat buruh. Ketentuan ini berarti bahwa dalam satu perusahaan ada lebih dari satu serikat pekerja atau serikat buruh.3 Dinamika kehidupan masyarakat sering melahirkan persoalan-persoalan baru di era disrupsi ini.4 Menurut Sudikno Mertokusumo di dalam kehidupan masyarakat, pada hakekatnya hukum baru dipersoalkan apabila terjadi konflik kepentingan. Konflik kepentingan yang dimaksud adalah ketika dalam melaksanakan kepentingan, manusia merugikan orang lain atau dengan kata lain manusia mengancam kepentingan orang lain. Kalau segala sesuatu berjalan dengan lancar, tidak terjadi konflik kepentingan maka hukum tidak akan dipersoalkan. Hubungan yang menimbulkan perselisihan atau konflik harus dicegah, maka perlu aturan hukum untuk mengembalikan konflik tersebut agar kembali pada kondisi yang normal. Kalau kita amati di dalam dinamika kehidupan social masyarakat, dimana kehidupan berubah dan berkembang sangat dinamis, bentuk-bentuk perselisihan dan hubungan hukum yang tercipta di 3 Wahyu Wiguna, “Peran Serikat Pekerja dan Manajemen dalam Meningkatkan Produktivitas Hubungan Industrial”, Jurnal Ilmiah Ekonomi Dan Manajemen Vol.2, No.2 Februari 2024, h. 645 4 Masnun Tahir & Apipuddin, “REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA “KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE”, ADHKI: Journal of Islamic Family Law Volume 2, Nomor 1, Juni 2020, h. 2, https://doi.org/10.37876/adhki.v2i1.31 antara individu sebagai anggota masyarakat juga terseret berkembang sangat dinamis. Sementara hukum di belakang mengikuti arah dan perkembangan kehidupan masyarakat dalam berbagai segmentasinya. Hukum dalam eksistensinya yang statis di belakang perubahan social, seringkali belum mampu memberikan solusi karena belum dirubah bahkan tidak jelas sehingga mengakibatkan terjadinya.5 PEMBAHASAN Dalam mukaddimah Undang – Undang Dasar 1945 dan termaktup di dalam pada pasal 28 D ayat 2 ditegaskan, bahwa setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja. Hubungan kerja dimaksud, lebih dikenal dengan Hubungan kerja yang secara dogmatig dan normatif diatur lebih lanjut dalam UndangUndang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Tentunya antara perusahaan dan pekerja mempunyai kepentingan yang berbeda sehingga terkadang terjadi Perselisihan Hak dan Kepentingan maupun Pemutusan Hubungan Kerja sebagai akibat telah terjadi pelanggaran terhadap norma hukum materil ketenagakerjaan, maka secara yuridis formal para pihak tidak diperkenankan melakukan tindakan main hakim sendiri (eigenrichting) yang bernuansa kesewenang-wenangan, melainkan harus ditindak lanjuti melalui penerapan atau penegakan hukum (law enforcement) terhadap norma hukum formil biasa juga disebut hukum acara sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan kerja antara perusahaan dengan pekerja.6 Penyebab konflik antara serikat pekerja dengan perusahaan adalah komitmen perusahaan terhadap serikat pekerja yang sering tidak ditepati. Kurangnya komitmen perusahaan terhadap serikat pekerja ini, pada umumnya diungkapkan oleh semua serikat pekerja yang ada. Pendapat para serikat pekerja tersebut bisa dikatakan adanya perbedaan persepsi dan interpretasi dalam melihat sejauh mana komitmen dan tanggung jawab perusahaan. 5 Apipuddinn, “METODE RECHTSVINDING HAKIM DALAM MENGISI KEKOSONGAN HUKUM “KAJIAN PENDEKATAN DALAM PENEMUAN HUKUM”, Al-Ihkam : Jurnal Hukum Keluarga, Des 2019. Vol. 11, No. 2, h. 138, https://doi.org/10.20414/alihkam.v15i1 6 Ashar Sinilele, “PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA PIHAK PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA DI KOTA MAKASSAR”, al-daulah, - Vol. 7 / No. 1 / Juni 2018, h. 83 Salah satu penyebab konflik yang lain antara serikat pekerja dengan perusahaan adalah kurang terjalinnya komunikasi yang harmonis antara perusahaan dan serikat pekerja. Yang mendasari kurangnya komunikasi yang harmonis antara serikat pekerja dan perusahaan adalah adanya perbedaan hubungan komunikasi perusahaan yang dirasakan oleh masing-masing serikat pekerja. Perbedaan persepsi dari masing-masing serikat pekerja akan berpotensi memunculkan konflik antara sesama pekerja yang dapat meresahkan dan menganggu ketenangan bekerja dan kenyamanan berproduksi yang bermuara terganggunya kinerja perusahaan. Lebih menggenaskan kalau para pekerja merasa terkotak-kotakan dan dikhawatirkan timbul konflik kepentingan. Untuk mereduksi kekhawatiran tersebut, perlunya membangun komunikasi yang harmonis antara perusahaan dengan seluruh serikat pekerja yang ada diperusahaan, tanpa memandang sedikitpun dari masing-masing organisasi tersebut. Karena dengan adanya komunikasi yang efektif antara perusahaan dan pekerja dapat menciptakan saling pengertian dalam membangun hubungan yang tulus antara kedua belah pihak.7 Prinsip maqashid syari'ah menekankan perlindungan terhadap hak-hak dasar manusia, seperti perlindungan jiwa, akal, keturunan, dan harta. Dalam konteks konflik serikat pekerja, konsep ini dapat diterapkan untuk mencapai tujuan yang berlandaskan pada keadilan, perlindungan hak, dan kesejahteraan anggota serikat serta perusahaan. Restoratif justice, yang diterapkan untuk mengatasi konflik interpersonal, juga dapat berfungsi untuk mengatasi konflik antara pihak perusahaan dan serikat pekerja.8 Tanpa serikat pekerja, perusahaan bebas untuk membuat keputusan unilateral (unilateral decisions) menyangkut gaji, jam kerja, dan kondisi-kondisi kerja. Keputusan ini dapat dilakukan oleh perusahaan tanpa masukan atau persetujuan dari para karyawan. Karyawan yang tidak menjadi anggota serikat pekerja mestilah menerima persyaratan manajemen, menegosiasikannya sendirian jika ingin mengubahnya, atau keluar dari perusahaan. Bagaimanapun, pada saat karyawan memilih untuk mewakili serikat pekerja sebagai wakil mereka, perusahaan diwajibkan untuk menegosiasikan dengan serikat pekerja dalaan mengambil keputusan 7 Sunarto, “Faktor Penyebab dan Cara Penyelesaian Konflik Antara Manajemen dan Serikat Pekerja”, Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 16 No.1 2021, h. 97 & 98 8 Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi, “PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI’AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram)”, Al-Ihkam Jurnal Hukum Keluarga, Des 2022. Vol. 14, No. 2, https://doi.org/10.20414/alihkam.v14i2.6929 bilateral (bilateral decision making) mengenai level gaji, jam kerja, kondisi kerja, dan masalah lain dari keamanan pekerjaan.9 Dengan bersatu dalam serikat pekerja/serikat buruh, pekerja dapat membuat perjanjian atau persetujuan kerja dengan pengusaha dan mengawasi agar pengusaha menepati perjanjian itu. Perjanjian atau persetujuan kerja ini juga dapat mencakup hal-hal yang berhubungan dengan harihari libur, uang lembur, tunjangan kesehatan, pensiun dan lain-lain. Dewasa ini kondisi ekonomi tidak mengijinkan terjadinya kemajuan. Banyak pekerja yang harus bersiap-siap kehilangan pekerjaan atau merelakan taraf hidupnya turun. Meskipun demikian, pekerja akan mendapatkan jauh lebih banyak kesulitan kalau mereka tidak mempunyai serikat pekerja/serikat buruh untuk menyuarakan kepentingan mereka. Seorang pekerja tidak akan sanggup berjuang sendirian melawan ketidakadilan di tempat kerja, misalnya, seandainya mereka dipecat secara semena-mena, atau diperlakukan seenaknya oleh atasan. Tetapi bila pekerja itu menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh, serikat pekerja/serikat buruh akan bertindak mewakili kepentingannya dan membantunya pada saat ia dikenai tindakan disiplin atau dipecat, serta memastikan agar pekerja itu mendapatkan perlakukan yang adil. Serikat pekerja/serikat buruh dapat saja menyetujui tindakan pihak manajemen dalam menjalankan prosedur yang harus diikuti untuk mendisiplinkan pekerja. Namun, serikat pekerja/serikat buruh juga dapat menekan manajemen guna memastikan bahwa semua pekerja mendapat kesempatan untuk mendapatkan pembelaan yang layak sebagaimana seharusnya dan didengar keterangannya secara adil. Serikat pekerja/serikat buruh juga bertugas mengupayakan kesempatan yang sama bagi pekerja wanita dan mengupayakan penghapusan diskriminasi terhadap kaum pekerja minoritas. Pekerja menghadapi banyak resiko kesehatan dan keselamatan kerja. Karena itu, serikat pekerja/serikat buruh bertanggung jawab menekan pengusaha agar memperbaiki kondisi kerja yang ada. Serikat pekerja juga bertanggung jawab menekan pemerintah agar memperketat standar hukum yang ada serta mengupayakan agar standar-standar dan hukum-hukum yang erat kaitannya 9 234 Priyono dan Marnis, Manajemen Sumber Daya Manusia (Surabaya: ZIFATAMA PUBLISHER, 2008) h. 233- dengan lingkungan, kesehatan dan keselamatan kerja benarbenar diterapkan sebagaimana seharusnya.10 Dalam menghadapi konflik serikat pekerja di perusahaan, diharapkan adanya peningkatan pemahaman antara pihak manajemen dan serikat pekerja untuk menciptakan lingkungan kerja yang lebih harmonis dan produktif. Perusahaan perlu menyadari pentingnya keterbukaan komunikasi dan pengakuan terhadap hak-hak karyawan, terutama dalam hal kebebasan berserikat. Konflik yang berlarut-larut sering kali berpotensi merusak iklim kerja dan menurunkan produktivitas, sehingga langkah-langkah preventif sangat penting untuk diterapkan. Menurut Kartasasmita, dialog dan mediasi antara pihak manajemen dan perwakilan serikat pekerja menjadi fondasi yang kuat dalam menyelesaikan konflik dengan baik.11 Langkah-langkah yang dapat diambil meliputi pembentukan mekanisme komunikasi yang efektif antara pihak perusahaan dan serikat pekerja untuk memastikan bahwa setiap permasalahan dapat didiskusikan dan diselesaikan secara bersama. Selain itu, penting pula adanya pelatihan khusus bagi manajemen tentang manajemen konflik dan pendekatan humanis dalam menangani ketidaksepakatan dengan serikat pekerja. Widiastuti menyatakan bahwa pelatihan mengenai manajemen konflik ini memberikan pemahaman lebih mendalam kepada manajemen dalam membangun hubungan kerja yang sehat dengan serikat pekerja, sehingga mampu mencegah konflik sebelum menjadi lebih kompleks.12 Harapannya, dengan adopsi strategi ini, perusahaan tidak hanya dapat meminimalisir konflik serikat pekerja tetapi juga menciptakan budaya organisasi yang inklusif dan suportif. Integrasi pemahaman tentang hak-hak pekerja dan pembentukan budaya komunikasi yang transparan antara serikat pekerja dan manajemen dapat meningkatkan kepercayaan serta memperkuat kerjasama dalam mencapai tujuan bersama. 10 ILO, BUKU PEGANGAN UNTUK SERIKAT PEKERJA (JAKARTA: ILO OFFICE JAKARTA, 2019), 11 Ginandjar Kartasasmita, Manajemen Sumber Daya Manusia (Jakarta: Pustaka Ilmu, 2015) h. 148. Arini Widiastuti, Manajemen Konflik di Perusahaan (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2018) h. 102. h. 7-9 12 DAFTAR PUSTAKA Apipuddin. (2019). METODE RECHTSVINDING HAKIM DALAM MENGISI KEKOSONGAN HUKUM " KAJIAN PENDEKATAN DALAM PENEMUAN HUKUM". Al-Ihkam: Jurnal Hukum Keluarga, Vol. 11, No. 2. Fahrurrozi, Apipuddin, & Heru Sunardi. (2022). PENYELESAIAN KASUS KDRT MENGGUNAKAN RESTORATIF JUSTICE PERSPEKTIF MAQASHID SYARI'AH (Studi Kasus di Kepolisian Resort Kota Mataram). Al-Ihkam Jurnal Hukum Keluarga, Vol. 14, No. 2. Harinie, L. T., & dkk. (2024). HUBUNGAN INDUSTRIAL. Bali: INFES MEDIA. ILO. (2019). BUKU PEGANGAN UNTUK SERIKAT PEKERJA. Jakarta: ILO OFFICE JAKARTA. Kartasasmita, G. (2015). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Pustaka Ilmu. Priyono, & Marnis. (2008). Manajemen Sumber Daya Manusian. Surabaya: ZILFATAMA PUBLISHER. Sinilele, A. (2018). PENYELESAIAN KONFLIK ANTARA PIHAK PERUSAHAAN DENGAN TENAGA KERJA DI KOTA MAKASSAR. al-daulah, Vol. 7, No. 1. Sunarto. (2021). Faktor Penyebab dan Cara Penyelesaian Konflik Antara Manajemen dan Serikat Pekerja. Jurnal Ekonomi dan Bisnis, Vol. 16, No. 1. Tahir, M., & Apipuddin. (2020). REKOGNISI FATWA DALAM PLURALISME HUKUM KELUARGA ISLAM INDONESIA "KAJIAN HUKUM ISLAM SUSTAINABLE". ADHKI: Journal os Islamic Family Law, Volume 2, Nomor 1. Widiastuti, A. (2018). Manajemen Konflik di Perusahaan. Bandung: Citra Aditya Bakti. Wiguna, W. (2024). Peran Serikat Pekerja dan Manajemen dalam Meningkatkan Produktivitas Hubungan Industrial. Jurnal Ilmiah Ekonomi dan Manajemen, Vol. 2, No. 2.