PENGGUNAAN ANTIBIOTIK: PENTINGNYA RASIONALITAS DAN EDUKASI
DALAM MENCEGAH RESISTENSI
Nurhakimah1Sarifah Harahap2Sri Hera Wati Dlm3
123
D3 Farmasi, Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Medan
Email : ,
[email protected],
[email protected],
[email protected]
Abstract
The irrational use of antibiotics has become a major contributor to the increasing bacterial
resistance, threatening the effectiveness of infection treatment worldwide. This article
highlights the importance of rational antibiotic use and the role of education in preventing
resistance. Through a literature review, it was found that appropriate antibiotic use can
minimize resistance risks, while educational programs are effective in enhancing public
knowledge about antibiotic use. Collaboration between governments, healthcare
professionals, and the community is necessary to implement policies that support prudent
antibiotic practices. With these measures, it is hoped that antibiotic resistance can be
controlled, maintaining therapeutic effectiveness in the future.
Keywords: Antibiotics, Rationality, Resistance
Abstrak
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional telah menjadi salah satu penyebab utama
meningkatnya resistensi bakteri, yang mengancam efektivitas pengobatan infeksi di seluruh
dunia. Artikel ini menyoroti pentingnya penggunaan antibiotik secara rasional dan peran
edukasi dalam mencegah resistensi. Melalui studi pustaka, ditemukan bahwa penggunaan
antibiotik yang tepat dapat meminimalkan risiko resistensi, sementara program edukasi
efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang penggunaan antibiotik.
Kolaborasi antara pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat diperlukan untuk
mengimplementasikan kebijakan yang mendukung praktik penggunaan antibiotik yang bijak.
Dengan langkah-langkah ini, diharapkan resistensi antibiotik dapat dikendalikan, menjaga
efektivitas terapi di masa depan.
Kata Kunci: Antibiotik, Rasionalitas, Resistensi
PENDAHULUAN
Penggunaan antibiotik yang tidak rasional telah menjadi salah satu isu kesehatan global
yang mendesak. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya resistensi bakteri, yang menimbulkan
ancaman serius bagi efektivitas antibiotik dalam mengobati berbagai infeksi. Resistensi
bakteri terhadap antibiotik mengakibatkan obat yang sebelumnya efektif dalam membunuh
atau menghambat pertumbuhan bakteri kini tidak lagi mampu bekerja secara optimal.
Menurut penelitian Anggita et al. (2022), antibiotik bekerja dengan mengganggu mekanisme
pertumbuhan bakteri atau langsung membunuh bakteri penyebab infeksi. Namun, ketika
antibiotik digunakan secara tidak tepat, seperti dosis yang tidak sesuai atau jangka waktu
pengobatan yang terlalu singkat, bakteri memiliki kesempatan untuk beradaptasi dan
mengembangkan resistensi terhadap obat tersebut. Ini menimbulkan masalah besar karena
dapat memperpanjang masa sakit, meningkatkan risiko komplikasi, bahkan menyebabkan
kematian.
Masalah resistensi antibiotik semakin memperburuk keadaan di dunia kesehatan,
khususnya dalam penanganan infeksi yang sebelumnya dianggap mudah diobati. Ilmi et al.
(2020) menegaskan pentingnya evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit dan fasilitas
kesehatan lainnya. Evaluasi ini bertujuan untuk memastikan bahwa antibiotik hanya
diberikan ketika benar-benar diperlukan, sesuai dengan indikasi klinis yang jelas, serta dosis
dan durasi pengobatan yang tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak rasional, seperti
pemberian antibiotik untuk infeksi virus atau pemberian dosis yang tidak memadai, dapat
mempercepat perkembangan resistensi. Hal ini juga memperbesar kemungkinan munculnya
superbug, yaitu bakteri yang kebal terhadap berbagai jenis antibiotik, yang pada akhirnya
membuat pilihan terapi semakin terbatas dan meningkatkan risiko morbiditas dan mortalitas
pada pasien.
Salah satu penyebab utama penggunaan antibiotik yang tidak rasional adalah rendahnya
pemahaman masyarakat tentang bagaimana antibiotik bekerja dan kapan penggunaannya
benar-benar diperlukan. Banyak orang yang secara keliru menganggap antibiotik sebagai
solusi untuk berbagai jenis penyakit, termasuk infeksi yang disebabkan oleh virus seperti flu
dan pilek, yang sebenarnya tidak membutuhkan antibiotik. Edukasi menjadi faktor kunci
dalam mengatasi masalah ini. Pratiwi dan Anggiani (2020) menunjukkan bahwa edukasi yang
tepat dan efektif dapat meningkatkan pemahaman masyarakat tentang penggunaan antibiotik.
Dengan edukasi yang baik, masyarakat dapat lebih memahami kapan antibiotik diperlukan
dan kapan tidak. Edukasi juga membantu masyarakat untuk tidak meminta resep antibiotik
secara sembarangan dan memahami risiko dari menghentikan penggunaan antibiotik sebelum
waktunya, yang sering kali menyebabkan bakteri tidak sepenuhnya tereliminasi dan
mempercepat proses resistensi.
Selain edukasi kepada pasien dan masyarakat umum, penting juga untuk memberikan
pelatihan dan pembaruan pengetahuan bagi tenaga kesehatan, terutama dokter dan apoteker,
mengenai praktik penggunaan antibiotik yang bijak. Banyak studi telah menunjukkan bahwa
tenaga kesehatan sering kali meresepkan antibiotik karena tekanan dari pasien atau karena
kurangnya akses terhadap diagnosis yang akurat dalam waktu singkat. Ini menunjukkan
adanya kebutuhan akan penguatan kebijakan serta pedoman yang lebih ketat mengenai kapan
dan bagaimana antibiotik harus digunakan di fasilitas kesehatan. Amarullah et al. (2022)
menyoroti pentingnya program-program edukasi yang mencakup seluruh lapisan masyarakat,
mulai dari tingkat komunitas hingga tenaga kesehatan, untuk meningkatkan kesadaran
tentang bahaya resistensi antibiotik. Program semacam ini akan memastikan bahwa informasi
yang akurat mengenai penggunaan antibiotik tersampaikan dengan cara yang mudah
dipahami oleh semua pihak yang terlibat.
Penelitian juga menunjukkan bahwa negara-negara dengan tingkat resistensi antibiotik
yang tinggi sering kali memiliki sistem pengawasan dan regulasi penggunaan antibiotik yang
lemah. Oleh karena itu, upaya untuk memperbaiki kebijakan nasional mengenai pengendalian
penggunaan antibiotik sangat penting. Pemerintah dapat memainkan peran penting dalam
memastikan bahwa antibiotik digunakan dengan benar melalui pengawasan yang lebih ketat
dan pengendalian distribusi antibiotik. Misalnya, antibiotik hanya dapat dibeli dengan resep
dari dokter, dan pemantauan penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan dapat dilakukan
secara berkala untuk mengidentifikasi pola-pola penggunaan yang tidak tepat. Dalam hal ini,
keterlibatan pemerintah dan organisasi kesehatan global seperti WHO sangat diperlukan
untuk memastikan bahwa praktik penggunaan antibiotik di seluruh dunia memenuhi standar
yang aman dan efektif.
Makkasau et al. (2022) menegaskan bahwa tanpa langkah-langkah pencegahan yang
tepat, pilihan terapi antibiotik di masa depan akan semakin terbatas. Jika resistensi terus
meningkat, kita akan dihadapkan pada era pasca-antibiotik, di mana infeksi-infeksi yang
dulunya mudah diobati akan menjadi sangat sulit, bahkan tidak mungkin diatasi dengan terapi
yang ada. Ini akan berdampak langsung pada peningkatan angka kematian akibat infeksi, baik
di negara maju maupun berkembang. Risiko ini juga berdampak pada ekonomi kesehatan, di
mana biaya pengobatan akan meningkat seiring dengan kebutuhan penggunaan antibiotik
yang lebih baru dan lebih mahal, serta perawatan intensif yang lebih lama bagi pasien yang
tidak merespons pengobatan standar.
Solusi untuk mengatasi resistensi antibiotik tidak dapat diselesaikan oleh satu pihak
saja, melainkan memerlukan upaya kolaboratif dari berbagai sektor. Kerjasama antara tenaga
kesehatan, pemerintah, industri farmasi, dan masyarakat menjadi krusial dalam menekan laju
perkembangan
resistensi.
Pemerintah
perlu
mengimplementasikan
kebijakan
yang
mendukung penggunaan antibiotik yang bijak, sementara tenaga kesehatan harus terus
meningkatkan keterampilan dan pengetahuan mereka dalam meresepkan antibiotik.
Masyarakat, di sisi lain, perlu terus diedukasi agar tidak menuntut antibiotik untuk setiap
kondisi medis, dan lebih mengutamakan pencegahan penyakit melalui vaksinasi dan
kebersihan yang baik.
Dengan adanya upaya-upaya ini, resistensi antibiotik dapat ditekan sehingga kita dapat
melindungi efektivitas antibiotik untuk generasi mendatang. Antibiotik adalah salah satu
inovasi terbesar dalam sejarah kedokteran, dan sangat penting untuk menjaga keefektifannya
melalui rasionalitas penggunaan dan edukasi yang komprehensif kepada semua lapisan
masyarakat.
METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam artikel ini adalah studi pustaka, yang
melibatkan pengumpulan dan analisis data dari berbagai sumber literatur terkait penggunaan
antibiotik dan upaya pencegahan resistensi. Studi pustaka dipilih karena memungkinkan
peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang topik berdasarkan penelitian
dan publikasi yang telah ada sebelumnya.
Proses pengumpulan data dimulai dengan pencarian literatur dari berbagai jurnal
ilmiah, buku, dan artikel yang relevan dengan topik. Sumber-sumber ini dipilih berdasarkan
kredibilitas dan relevansinya terhadap isu penggunaan antibiotik dan resistensi. Beberapa
kriteria yang digunakan dalam pemilihan literatur meliputi tahun publikasi, reputasi penulis,
serta keterkaitan langsung dengan tema rasionalitas penggunaan antibiotik dan edukasi
masyarakat.
Setelah
literatur
terkumpul,
langkah
berikutnya
adalah
analisis
isi
untuk
mengidentifikasi tema-tema utama yang muncul dalam penelitian sebelumnya. Analisis ini
mencakup evaluasi terhadap mekanisme kerja antibiotik, faktor-faktor yang mempengaruhi
resistensi, serta strategi edukasi yang efektif dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat
tentang penggunaan antibiotik. Penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Anggita et al.
(2022) dan Ilmi et al. (2020) memberikan wawasan penting tentang mekanisme resistensi dan
evaluasi penggunaan antibiotik di fasilitas kesehatan.
Selain itu, studi pustaka ini juga mempertimbangkan berbagai pendekatan edukasi yang
telah diterapkan untuk mengurangi resistensi antibiotik. Penelitian oleh Pratiwi dan Anggiani
(2020) serta Amarullah et al. (2022) menjadi acuan dalam mengevaluasi efektivitas program
edukasi di masyarakat. Dengan menganalisis berbagai sumber ini, artikel ini bertujuan untuk
menyusun rekomendasi berbasis bukti mengenai praktik penggunaan antibiotik yang rasional
dan strategi edukasi yang dapat diterapkan secara luas untuk mencegah resistensi di masa
depan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Penggunaan Antibiotik yang Rasional
Penggunaan antibiotik yang tepat dan rasional telah terbukti menjadi salah satu cara
paling efektif dalam mengurangi risiko resistensi bakteri. Antibiotik bekerja dengan
menghambat pertumbuhan bakteri atau membunuh bakteri penyebab infeksi. Namun, ketika
penggunaannya tidak sesuai dengan dosis, durasi, atau indikasi klinis, efektivitas antibiotik
dapat menurun secara signifikan, dan bakteri justru bisa berkembang menjadi lebih resisten
terhadap obat tersebut (Anggita et al., 2022). Evaluasi penggunaan antibiotik di fasilitas
kesehatan sangat penting untuk memastikan bahwa pemberian obat sesuai dengan kebutuhan
klinis pasien. Penelitian Ilmi et al. (2020) yang mengevaluasi penggunaan antibiotik pada
pasien pneumonia di rumah sakit menunjukkan bahwa pemantauan dan pengaturan
penggunaan antibiotik dapat mengurangi insidensi resistensi bakteri.
Antibiotik yang digunakan secara tidak tepat di fasilitas kesehatan, termasuk
penggunaan antibiotik yang terlalu berlebihan atau tidak sesuai dengan pedoman klinis, juga
berpotensi mempercepat munculnya resistensi. Oleh karena itu, evaluasi secara berkala
sangat penting dalam menjaga rasionalitas pemberian antibiotik dan mencegah resistensi
(Sadli et al., 2022). Hal ini mencakup evaluasi tidak hanya pada pasien, tetapi juga pada
kebijakan yang diterapkan di rumah sakit, yang mengarahkan pada pembatasan atau restriksi
penggunaan antibiotik tertentu seperti karbapenem untuk kasus-kasus yang sangat terbatas
(Isnaasar et al., 2022).
Dampak Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik merupakan ancaman serius terhadap kesehatan global yang tidak
hanya mempengaruhi individu yang terinfeksi, tetapi juga mengancam keseluruhan sistem
perawatan kesehatan. Resistensi ini menyebabkan meningkatnya angka kematian dan
morbiditas yang diakibatkan oleh infeksi yang tidak dapat diobati dengan antibiotik standar.
Sebagai contoh, Makkasau et al. (2022) menyoroti bahwa meningkatnya resistensi antibiotik
memaksa tenaga medis untuk menggunakan obat-obatan yang lebih mahal dan dengan efek
samping yang lebih besar. Akibatnya, perawatan medis menjadi lebih kompleks dan biayanya
pun meningkat.
Penelitian oleh Kurnianto dan Syahbanu (2022) juga mengungkapkan bahwa resistensi
antibiotik berdampak tidak hanya pada sektor kesehatan tetapi juga pada sektor pangan. Di
beberapa rantai pasokan pangan, penggunaan antibiotik untuk meningkatkan pertumbuhan
hewan ternak secara tidak langsung telah meningkatkan penyebaran bakteri yang resisten
terhadap antibiotik di antara konsumen pangan. Tren ini semakin memperburuk kondisi
resistensi secara global, menciptakan siklus yang sulit dihentikan tanpa adanya kebijakan dan
tindakan yang tegas.
Resistensi juga mempengaruhi efektivitas vaksin. Penelitian oleh Hayati dan Ikhsani
(2021) menegaskan bahwa resistensi bakteri terhadap antibiotik mengurangi efektivitas
vaksin dalam melindungi individu dari infeksi bakteri seperti Salmonella typhi, yang
merupakan penyebab utama demam tifoid. Resistensi ini menambah kompleksitas
penanganan infeksi dan memperburuk kondisi klinis pasien.
Peran Edukasi dalam Mencegah Resistensi
Edukasi menjadi salah satu komponen paling penting dalam mencegah resistensi
antibiotik, baik di tingkat individu maupun komunitas. Penggunaan antibiotik yang tidak
bijak di masyarakat sering kali terjadi karena kurangnya pemahaman tentang cara kerja dan
potensi bahaya dari penggunaan antibiotik yang berlebihan atau tidak tepat. Pratiwi dan
Anggiani (2020) menyatakan bahwa edukasi yang diberikan kepada masyarakat dapat
meningkatkan pengetahuan mereka mengenai penggunaan antibiotik yang tepat dan
membantu mengurangi risiko resistensi. Edukasi ini dapat mencakup penyebaran informasi
tentang kapan sebaiknya antibiotik digunakan, berapa lama harus dikonsumsi, dan pentingnya
menyelesaikan seluruh siklus pengobatan meskipun gejala sudah hilang.
Di tingkat komunitas, program-program edukasi berbasis masyarakat juga terbukti
efektif dalam meningkatkan kesadaran tentang bahaya resistensi antibiotik. Amarullah et al.
(2022) melakukan program edukasi di Desa Sedenganmijen Krian Sidoarjo, dan hasilnya
menunjukkan peningkatan pengetahuan masyarakat
mengenai
resistensi
antibiotik.
Keterlibatan masyarakat dalam program semacam ini sangat penting, karena pemahaman
yang lebih baik mengenai resistensi dapat membantu mereka membuat keputusan yang lebih
bijak dalam penggunaan obat-obatan.
Yunita dan Sukmawati (2021) juga mendukung pendekatan edukasi ini dengan
menggarisbawahi pentingnya melibatkan semua elemen masyarakat, termasuk keluarga,
dalam kampanye pencegahan resistensi. Edukasi yang berkelanjutan dan komprehensif
terbukti dapat menurunkan tingkat resistensi di komunitas melalui pengurangan penggunaan
antibiotik yang tidak perlu.
Implementasi Kebijakan dan Tantangan
Meskipun banyak bukti yang mendukung pentingnya rasionalitas penggunaan
antibiotik dan edukasi masyarakat, implementasi kebijakan untuk mengurangi penggunaan
yang tidak tepat menghadapi berbagai tantangan. Sadli et al. (2022) menyebutkan bahwa di
banyak rumah sakit di Indonesia, masih terdapat kesenjangan antara teori dan praktik
rasionalitas penggunaan antibiotik. Meskipun kebijakan tentang penggunaan antibiotik sudah
ada, implementasinya seringkali terhambat oleh kurangnya pemahaman dan kepatuhan dari
tenaga kesehatan. Faktor lain yang berperan adalah tekanan dari pasien yang sering kali
meminta antibiotik bahkan ketika tidak diperlukan, sehingga memaksa dokter untuk
meresepkan antibiotik meskipun indikasi klinisnya tidak kuat.
Isnaasar et al. (2022) menyoroti pentingnya kebijakan restriksi antibiotik yang
diterapkan di rumah sakit sebagai langkah penting dalam mengendalikan resistensi.
Kebijakan ini, khususnya pada penggunaan antibiotik golongan karbapenem, bertujuan untuk
membatasi penggunaan antibiotik yang paling kuat hanya untuk kasus-kasus tertentu yang
sangat membutuhkan. Namun, kebijakan semacam ini seringkali sulit diterapkan tanpa
dukungan dan pemahaman yang cukup dari tenaga medis serta pelatihan yang berkelanjutan.
Tantangan lain dalam implementasi kebijakan adalah koordinasi antara berbagai pihak,
termasuk pemerintah, tenaga kesehatan, dan masyarakat. Kurnianto dan Syahbanu (2022)
menegaskan bahwa kolaborasi lintas sektor, termasuk sektor pertanian dan pangan, sangat
penting dalam mengatasi masalah resistensi yang sering kali muncul dari penggunaan
antibiotik di luar sektor kesehatan.
Langkah-Langkah Pencegahan
Untuk mengatasi resistensi antibiotik, beberapa langkah strategis perlu diambil, baik di
tingkat individu, komunitas, maupun nasional. Edukasi tetap menjadi pilar utama dalam
upaya pencegahan. Seperti yang diungkapkan oleh Yunita dan Sukmawati (2021), masyarakat
perlu diberi pemahaman yang lebih baik tentang kapan dan bagaimana antibiotik digunakan
secara tepat. Selain itu, tenaga medis harus diberi pelatihan berkelanjutan tentang pedoman
penggunaan antibiotik yang rasional dan kebijakan restriksi, seperti yang telah disarankan
oleh Isnaasar et al. (2022).
Di sisi lain, kebijakan yang mendukung penggunaan antibiotik secara rasional juga
perlu diperkuat. Pemerintah harus memainkan peran penting dalam pengawasan distribusi
dan penggunaan antibiotik, termasuk di sektor non-medis seperti peternakan dan pertanian
(Kurnianto & Syahbanu, 2022). Upaya ini perlu diimbangi dengan tindakan tegas terhadap
pelanggaran dan peningkatan akses terhadap antibiotik yang lebih terkontrol di masyarakat.
Hasil dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa penggunaan antibiotik yang tidak
rasional merupakan penyebab utama resistensi bakteri, yang menjadi ancaman serius bagi
kesehatan masyarakat. Resistensi antibiotik tidak hanya menambah beban biaya perawatan
kesehatan, tetapi juga mengancam keberhasilan terapi infeksi di masa depan. Edukasi
masyarakat, evaluasi penggunaan antibiotik di rumah sakit, serta implementasi kebijakan
restriksi yang tepat merupakan langkah-langkah yang sangat penting dalam mengatasi
masalah ini.
Kolaborasi antara tenaga kesehatan, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci utama
dalam upaya mencegah resistensi antibiotik. Dengan langkah-langkah yang tepat, resistensi
antibiotik dapat dikendalikan, sehingga efektivitas pengobatan infeksi dapat dipertahankan
dan kesehatan masyarakat dapat terlindungi dalam jangka panjang.
KESIMPULAN
Dalam menghadapi tantangan resistensi antibiotik yang semakin meningkat, penting
bagi kita untuk mengadopsi pendekatan yang holistik dan berkelanjutan. Penggunaan
antibiotik yang rasional harus menjadi prioritas utama dalam praktik medis sehari-hari. Ini
tidak hanya melibatkan pemilihan obat yang tepat berdasarkan diagnosis yang akurat, tetapi
juga mencakup pemberian dosis yang sesuai dan durasi pengobatan yang tepat. Dengan cara
ini, kita dapat memaksimalkan efektivitas terapi sambil meminimalkan risiko resistensi.
Edukasi masyarakat juga memegang peranan penting dalam upaya pencegahan
resistensi antibiotik. Masyarakat perlu diberikan pemahaman yang lebih baik tentang kapan
dan bagaimana antibiotik seharusnya digunakan. Program edukasi yang efektif dapat
meningkatkan kesadaran akan bahaya penggunaan antibiotik yang sembarangan dan
mendorong perilaku yang lebih bertanggung jawab dalam penggunaannya. Ini tidak hanya
berlaku untuk pasien, tetapi juga untuk tenaga kesehatan yang harus terus memperbarui
pengetahuan mereka tentang pedoman terbaru dalam penggunaan antibiotik.
Kolaborasi antara berbagai pihak, termasuk pemerintah, institusi kesehatan, dan
masyarakat luas, sangat diperlukan untuk mengatasi masalah resistensi ini. Kebijakan yang
mendukung penggunaan antibiotik secara rasional harus diimplementasikan secara konsisten,
didukung oleh pengawasan dan evaluasi yang ketat. Selain itu, penelitian dan inovasi terus
diperlukan untuk menemukan solusi baru dalam mengatasi resistensi antibiotik.
Dengan langkah-langkah ini, kita berharap dapat menjaga efektivitas antibiotik sebagai
salah satu pilar utama dalam pengobatan infeksi. Melalui upaya bersama dan komitmen
berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa generasi mendatang masih memiliki akses ke
pengobatan yang efektif dan aman terhadap penyakit infeksi..
DAFTAR PUSTAKA
Anggita, D., Nurisyah, S., & Wiriansya, E. P. (2022). Mekanisme kerja antibiotik. UMI
Medical Journal, 7(1), 46-58.
https://jurnal.fk.umi.ac.id/index.php/umimedicaljournal/article/view/149
Ilmi, T., Yulia, R., & Herawati, F. (2020). Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien
Pneumonia Di Rumah Sakit Umum Daerah Tulungagung. Jurnal Inovasi Farmasi
Indonesia, 1(2), 102-112. http://repository.ubaya.ac.id/38217/
Makkasau, N., Fernandez, S., Apt, S. F., & Apt, T. M. W. S. P. (2022). Antibiotik dan
Resistensi Antibiotik. Rizmedia Pustaka Indonesia.
https://books.google.com/books?hl=id&lr=&id=cCFsEAAAQBAJ&oi=fnd&pg=PT
2&dq=Resistensi+antibiotik&ots=HuLOglViYL&sig=Skggv2iF8bcEG5L49AXGax
kt1yI
Amarullah, A., Adzani, F., Sampurno, B., & Sa'adah, A. (2022). Edukasi Resistensi Antibiotik
Kepada Masyarakat Di Desa Sedenganmijen Krian Sidoarjo. Journal of Community
Service (JCS), 1(2), 7-9.
http://jurnal.stikesrsanwarmedika.ac.id/index.php/ejcs/article/view/87
Pratiwi, Y., & Anggiani, F. (2020). Hubungan Edukasi terhadap Peningkatan Pengetahuan
Masyarakat pada Penggunaan Antibiotik di Kecamatan Jekulo Kabupaten
Kudus. Cendekia Journal of Pharmacy, 4(2), 149-155.
http://cjp.jurnal.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/cjp/article/view/108
Yunita, M., & Sukmawati, S. (2021). Edukasi bahaya resistensi bakteri akibat penggunaan
antibiotik yang tidak rasional kepada masyarakat Desa Air Salobar. Indonesia
Berdaya, 2(1), 1-6. https://ukinstitute.org/journals/ib/article/view/73
Sadli, N. K., Halimah, E., Winarni, R., & Widyatmoko, L. (2022). Implementasi Rasionalitas
Penggunaan Antibiotik pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia: Kajian Literatur
Mengenai Kualitas dan Tantangannya. Jurnal Sains Farmasi & Klinis, 9(3), 227236. http://jsfk.ffarmasi.unand.ac.id/index.php/jsfk/article/view/1244
Isnaasar, A., Utami, H., & Kumala, S. (2022). Evaluasi Pengaruh Kebijakan Restriksi
Antibiotik Terhadap Penggunaan Antibiotik Karbapenem. Poltekita: Jurnal Ilmu
Kesehatan, 16(3), 368-375.
https://jurnal.poltekkespalu.ac.id/index.php/JIK/article/view/1482
Hayati, S. J., & Ikhsani, A. (2021). Vaksinasi sebagai pencegahan resistensi antimikroba
terhadap bakteri salmonella typhi. Jurnal Kesehatan Tambusai, 2(3), 276-283.
https://pdfs.semanticscholar.org/43da/18208e718728a3d7624bb11abe146616a332.p
df
Kurnianto, M. A., & Syahbanu, F. (2022). Resistensi antibiotik pada rantai pasok pangan:
tren, mekanisme resistensi, dan langkah pencegahan.
https://www.researchgate.net/profile/Muhammad-AlfidKurnianto/publication/373215934_Resistensi_antibiotik_pada_rantai_pasok_pangan
_tren_mekanisme_resistensi_dan_langkah_pencegahan/links/64e0637a14f8d173380
a8a42/Resistensi-antibiotik-pada-rantai-pasok-pangan-tren-mekanisme-resistensidan-langkah-pencegahan.pdf