Academia.eduAcademia.edu

ANTIBIOTIK : PENYEBAB RESISTENSI BAKTERI

Antibiotik merupakan suatu substansi yang diproduksi oleh mikroorganisme yang secara selektif dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotik pertama, penisilin, ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1939, Edward Chain dan Howard Florey melakukan studi terkait penemuan Alexander Flemming yaitu penggunaan penisilin pada manusia dalam mengatasi infeksi akibat mikroba khususnya bakteri. Hasil yang diperoleh mengacu terhadap keefektifan penisilin dalam mengatasi penyakit infeksi akibat mikroba. Seiring dengan perjalanan waktu, antibiotik bekerja dengan sempurna dalam mengatasi penyakit infeksi hingga muncul pendeklarasian oleh bagian bedah US pada tahun 1969, " It's time to close the book on infectious disease (Inilah waktunya untuk tutup buku terhadap penyakit infeksi) ". Namun benarkah demikian ? Pada tahun 1941, semua strain (jenis) bakteri Staphylococcus (penyebab umum luka dan infeksi pascaoperasi) peka terhadap penisilin. Namun, tiga tahun kemudian, strain ini tidak lagi peka terhadap penisilin atau dengan kata lain resistensi terhadap penisilin. Hingga saat ini, khususnya di rumah sakit, tidak hanya strain bakteri Staphylococcus yang diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik namun juga termasuk salah satunya adalah Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis. Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi secara alami untuk menjadi " resisten " dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan hidup meski dengan kehadiran antibiotik. Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme. Pertama, terjadi mutasi pada porin (lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif menghentikan pertumbuhan bakteri. Akibat mutasi yang terjadi pada porin, antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri. Kedua, adanya inaktivasi antibiotik. Mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan antibiotik tersebut. Ketiga, terjadi pengubahan tempat ikatan antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotik tidak mampu lagi untuk berikatan dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut. Populasi bakteri dapat mengalami evolusi untuk resistensi terhadap antibiotik secara cepat. Peningkatan yang signifikan terhadap prevalensi resistensi terhadap antibiotik telah dilaporkan di US selama sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini berlaku sama di Indonesia. Sebagai contoh, dalam survei di empat pusat kesehatan US, 85% dari 424 tenaga kesehatan melaporkan resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah utama nasional di sana. Selain itu, sekitar 5% strain bakteri Staphylococcus resistensi terhadap antibiotik ciprofloxacin. Bahkan dalam satu tahun, 80% strain bakteri ini mengalami resistensi. Dari 5% menjadi 80% dalam satu tahun ! Terdapat dua hal mendasar terkait dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional. Konteks irrasional bermakna luas. Pertama, penggunaan antibiotik

ANTIBIOTIK : PENYEBAB RESISTENSI BAKTERI Antibiotik merupakan suatu substansi yang diproduksi oleh mikroorganisme yang secara selektif dapat menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain. Antibiotik pertama, penisilin, ditemukan oleh Alexander Flemming pada tahun 1927. Kemudian, pada tahun 1939, Edward Chain dan Howard Florey melakukan studi terkait penemuan Alexander Flemming yaitu penggunaan penisilin pada manusia dalam mengatasi infeksi akibat mikroba khususnya bakteri. Hasil yang diperoleh mengacu terhadap keefektifan penisilin dalam mengatasi penyakit infeksi akibat mikroba. Seiring dengan perjalanan waktu, antibiotik bekerja dengan sempurna dalam mengatasi penyakit infeksi hingga muncul pendeklarasian oleh bagian bedah US pada tahun 1969, “It’s time to close the book on infectious disease (Inilah waktunya untuk tutup buku terhadap penyakit infeksi)”. Namun benarkah demikian ? Pada tahun 1941, semua strain (jenis) bakteri Staphylococcus (penyebab umum luka dan infeksi pascaoperasi) peka terhadap penisilin. Namun, tiga tahun kemudian, strain ini tidak lagi peka terhadap penisilin atau dengan kata lain resistensi terhadap penisilin. Hingga saat ini, khususnya di rumah sakit, tidak hanya strain bakteri Staphylococcus yang diketahui mengalami resistensi terhadap antibiotik namun juga termasuk salah satunya adalah Pseudomonas, Enterococcus, dan Mycobacterium tuberculosis. Resistensi bakteri terhadap antibiotik adalah kemampuan alamiah bakteri untuk mempertahankan diri terhadap efek antibiotik. Antibiotik menjadi kurang efektif dalam mengontrol atau menghentikan pertumbuhan bakteri. Bakteri yang menjadi target operasi antibiotik beradaptasi secara alami untuk menjadi “resisten” dan tetap melanjutkan pertumbuhan demi kelangsungan hidup meski dengan kehadiran antibiotik. Secara garis besar resistensi bakteri terhadap antibiotik melalui tiga mekanisme. Pertama, terjadi mutasi pada porin (lubang-lubang kecil) yang terdapat pada dinding luar bakteri. Porin ini merupakan suatu jalur bagi antibiotik untuk masuk dan secara efektif menghentikan pertumbuhan bakteri. Akibat mutasi yang terjadi pada porin, antibiotik tidak lagi dapat mencapai tempat kerjanya di dalam sel bakteri. Kedua, adanya inaktivasi antibiotik. Mekanisme ini mengakibatkan terjadinya resistensi terhadap antibiotik golongan aminoglikosida dan beta laktam karena bakteri mampu membuat enzim yang merusak kedua golongan antibiotik tersebut. Ketiga, terjadi pengubahan tempat ikatan antibiotik oleh bakteri sehingga antibiotik tidak mampu lagi untuk berikatan dengan bakteri sebagai upaya menghentikan pertumbuhan bakteri tersebut. Populasi bakteri dapat mengalami evolusi untuk resistensi terhadap antibiotik secara cepat. Peningkatan yang signifikan terhadap prevalensi resistensi terhadap antibiotik telah dilaporkan di US selama sepuluh tahun belakangan ini. Hal ini berlaku sama di Indonesia. Sebagai contoh, dalam survei di empat pusat kesehatan US, 85% dari 424 tenaga kesehatan melaporkan resistensi terhadap antibiotik merupakan masalah utama nasional di sana. Selain itu, sekitar 5% strain bakteri Staphylococcus resistensi terhadap antibiotik ciprofloxacin. Bahkan dalam satu tahun, 80% strain bakteri ini mengalami resistensi. Dari 5% menjadi 80% dalam satu tahun ! Terdapat dua hal mendasar terkait dengan terjadinya resistensi bakteri terhadap antibiotik yaitu kemampuan bakteri untuk berevolusi membentuk pertahanan diri terhadap antibiotik secara cepat dan kontribusi manusia dalam membantu bakteri tersebut untuk berevolusi lebih cepat. Kontribusi manusia menjadi faktor risiko penting dalam resistensi bakteri yaitu penggunaan antibiotik yang tidak tepat. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat terkait dengan penggunaan antibiotik yang irrasional. Konteks irrasional bermakna luas. Pertama, penggunaan antibiotik yang sering dalam pengobatan sehingga dapat mengurangi keefektifan dari antibiotik tersebut. Kedua, penggunaan antibiotik yang berlebihan. Beberapa contoh antibiotik yang relatif cepat kehilangan efektivitasnya setelah dipasarkan karena masalah resistensi adalah ciprofloxacin dan cotrimoxazole. Banyak dokter yang secara irrasional meresepkan antibiotik terhadap pasien bahkan ketika pasien itu sama sekali tidak membutuhkan antibiotik, misalnya saat terserang infeksi virus. Ketiga, penggunaan antibiotik dalam jangka waktu lama sehingga memberi kesempatan untuk tumbuhnya bakteri yang lebih resisten (first step mutant). Penggunaan antibiotik yang tidak tepat serta irrasional menjadi masalah utama dalam resistensi bakteri terhadap antibiotik. Penyebab dari hal tersebut adalah peresepan antibiotik yang salah dengan dosis yang tidak tepat untuk infeksi tertentu. Selain itu, terdapatnya beberapa kalangan medis yang meresepkan antibiotik berspektrum luas untuk membunuh bakteri yang menyebabkan infeksi sehingga bakteri target lebih tahan terhadap antibiotik tersebut yang tidak spesifik untuk dirinya. Permasalahan utama lain terkait penggunaan antibiotik yang tidak tepat adalah tersedianya antibiotik secara bebas di pasaran bahkan tanpa resep dokter. Penggunaan antibiotik yang tidak dipahami pasien juga dapat menjadi salah satu penyebab resistensi bakteri. Sebagian besar pasien yang mendapatkan terapi antibiotik sering menghentikan pengobatan saat dirinya merasa secara subjektif lebih baik dari sebelumnya atau anggapan bahwa dirinya telah sembuh padahal dokter telah memberi dosis antibiotik yang sesuai untuk dikonsumsi hingga bakteri yang menjadi penyebab infeksi dapat dibasmi secara tuntas. Hal ini mengakibatkan bakteri yang ada pada tubuh pasien tersebut tidak secara tuntas dibasmi dan timbul pertahanan diri yang baru terhadap antibiotik yang sama yang akan menyerang kelak. Penggunaan antibiotik yang tidak tepat telah disadari sebagai sebuah kontribusi utama pada resistensi bakteri. Hal penting yang harus digarisbawahi dalam hal ini adalah adanya strategi kontrol terhadap penggunaan antibiotik dalam meningkatkan efektivitasnya terhadap penghambatan atau pembunuhan bakteri sehingga resistensi bakteri terhadap antibiotik pun dapat diatasi. Sebelum manusia menemukan antibiotik, ada beberapa pilihan untuk menangani masalah infeksi. Pertama : kita bisa menunggu saja dan melihat apakah infeksi semakin bertambah atau tidak, atau Kedua : kita bisa menghentikan dan melenyapkan infeksi dari tubuh kita. Tentu saja tidak sampai pada tahun 1928 ketika antibiotik yg pertama kali berhasil ditemukan, secara tidak sengaja, pada saat itu ketika Alexander Fleming kembali bekerja setelah libur selama 1 minggu tidak berada di laboratoriumnya dan kemudian menemukan jenis tertentu dari spesies jamur, yakni “Penicilium notatum” yg menghentikan pertumbuhan dari bakteri Staphyloccocus (bakteri yg bisa menyebabkan infeksi kulit, pneumonia dan beberapa infeksi lain) di cawan petri miliknya. Dan tak hanya berhasil membunuh bakteri tersebut, ketika dia mencoba pada bakteri lain hasilnya sama, spesies jamur tersebut bisa membunuh beberapa bakteri dalam eksperimennya, diantaranya : Sreptococcus, Meningococcus dan Diphtheria.     streptococcus   Antibiotik bekerja melawan infeksi bakteri, manusia sering menggunakannya untuk melawan bermacam infeksi mulai dari radang tenggorokan, hingga infeksi kandung kemih dan bermacam infeksi kulit. Tetapi antibiotik tidak akan berfungsi sama sekali jika melawan infeksi virus, termasuk influenza dan gastroenteritis atau yg biasa disebut “flu perut”. Ketika semua antibiotik akan membunuh atau menghentikan pertumbuhan bakteri, namun tidak semua antibiotik efektif melawan bakteri yg sama, dan tidak semua antibiotik melawan bakteri dengan mekanisme yg sama pula.   Jenis antibiotik yg diberikan dokter pada resep yg kita terima untuk mengobati infeksi tergantung pada jenis dari bakteri patogen yg menyebabkan infeksi tersebut. Kebanyakan bakteri digolongkan menjadi 2 jenis, yakni : Bakteri Gram-positif dan Gram-negatif. Penggolongan ini pada berdasarkan pada jenis sel yg dimiliki oleh bakteri itu. Bakteri Gram-positif : contohnya Streptococcus, memiliki ciri khas dinding sel nya yg tipis dan mudah ditembus (permeable) dan hanya memiliki satu lapisan dinding sel. Bakteri Gram-negatif : contohnya E.coli, memiliki dinding sel yg lebih tebal dan susah ditembus, serta terdiri atas 2 lapis dinding sel.     Agar sebuah antibiotik berhasil menghentikan infeksi bakteri, tentu saja harus bisa melakukan penetrasi pada dinding sel salah satu atau kedua golongan bakteri tersebut kan ? ANTIBIOTIK VS BAKTERI Antibiotik bekerja dengan beberapa cara tertentu : dengan menghambat kemampuan bakteri untuk memperbaiki DNA nya yg rusak, dengan menghentikan kemampuan regenerasi bakteri dalam menghasilkan sel-sel baru atau dengan memperlemah dinding sel bakteri sampai dinding sel tersebut pecah. Kebanyakan antibiotik yg ada di pasaran adalah termasuk golongan “Broad Spectrum” atau spektrum luas, yg artinya antibiotik golongan ini efektif untuk melawan infeksi yg disebabkan oleh banyak spesies bakteri, termasuk Gram-positif atau Gram-negatif. Misal, Fluoroquinolon (digunakan untuk infeksi saluran kencing sampai pneumonia / infeksi saluran napas dan antraks) dan Tetrasiklin (digunakan untuk mengobati berbagai macam infeksi mulai dari jerawat / bisul sampai gonore), keduanya adalah contoh dari antibiotik spektrum luas, antibiotik golongan ini bisa mengobati infeksi yg disebabkan dari berbagai macam jenis bakteri. Selanjutnya adalah antibiotik “Narrow Spectrum” atau antibiotik spektrum sempit, di sisi lain antibiotik golongan ini hanya efektif melawan bakteri jenis tertentu saja, kelompok bakteri tertentu, dari golongan Gram-positif atau negatif namun tidak mencakup keduanya.   Quinolon, adalah tipe antibiotik spektrum luas yg membunuh bakteri dengan “Hidroxyl radicals”, atau dengan menggunakan molekul yg menghancurkan lapisan lipid dan protein yang menyusun dinding sel pada bakteri dan merusak DNA sel nya sehingga menghentikan replikasi bakteri. Sementara itu, Penisilin adalah contoh antibiotik spektrum sempit, yg bekerja dengan cara menghancurkan struktur dinding sel, lapisan yg menyangga sel bakteri itu, glikopeptida yg ada pada antibiotik juga bekerja pada dinding sel tersebut, secara spesifik mencegah bakteri Gram-positif agar tidak membentuk dinding sel baru, dan tentu saja sel tidak dapat bertahan hidup tanpa dinding sel yg menopang dan melindungi isi sel itu sendiri. Alih-alih menghancurkan sebuah sel dari luar seperti penisilin, beberapa antibiotik mem-blok / menghentikan kemampuan sel untuk berkembang biak dari dalam . Contoh, Antibiotik golongan makrolid adalah semacam protein penghambat sintetis, Antibiotik makrolid yg umum adalah Eritromisin yg bekerja dengan cara mengikat molekul spesifik dalam ribosom sel, menghancurkan kemampuan sel untuk membentuk protein yg dibutuhkan untuk tumbuh. Sementara itu, antibiotik golongan Sulfa, misal Sulfonamide telah digunakan untuk melawan infeksi bakteri sejak 1930. Sasarannya adalah reaksi kimia spesifik dalam sel, dengan cara mengikat enzim yg disebut “dihydropteroate synthase” (DHPS) yg kemudian menghentikan kemampuan bakteri untuk membentuk asam dihydriofolic. Ketika sel bakteri jenis ini berhenti melakukan metabolisme folat, maka bakteri itu sudah tak bisa lagi tumbuh atau berkembang biak. Pasti pernah liat film-film perang semacam Saving Private Ryan atau Band of Brothers kan ?, pernah liat waktu adegan ada salah satu prajurit yg tertembak atau kena mortar dan kemudian temennya teriak2 “Medic!!!” trus dateng petugas medisnya dan memberikan pertolongan ngasi serbuk putih ditaburin di lukanya itu, biasanya juga diiringi temen2 nya bilang “Sulfa” “Sulfa”, itu yg dimaksud adalah Sulfonamide ini   KETIKA ANTIBIOTIK BERHENTI BEKERJA Antibiotik dulunya dianggap sebagai sebuah keajaiban, dan sementara antibiotik itu masih memberikan pengobatan layaknya keberuntungan dan keajaiban, menggunakannya juga mendatangkan beberapa resiko. Beberapa antibiotik bisa memiliki beberapa efek samping yg juga berbahaya, ketika mereka juga digunakan untuk membunuh infeksi bakteri dalam tubuh kita, antibiotik juga menyebabkan masalah ketika zat ini juga membunuh bakteri baik dalam tubuh kita. Antibiotik dapat menyebabkan infeksi pada miss V (yg mana biasa kita sebut infeksi jamur), perut mual, diare dan gangguan lain. Ketika kita menggunakan antibiotik dengan berlebihan, masalah serius akan datang pada kita. Contoh, sebanyak 68% penderita infeksi pernapasan akut (misal infeksi rongga sinus) yg mendapatkan resep antibiotik dari dokter, hanya 20% dari mereka yg membutuhkan resep tersebut. Meminum antibiotik ketika kita tidak membutuhkannya tidak akan hanya menyebabkan efek samping, tapi juga menimbulkan masalah yg lebih besar lagi yakni : Resistensi bakteri terhadap antibiotik. Ketika kita tidak meminum antibiotik seperti yg dianjurkan pada resep yg kita terima, tidak menyelesaikan pengobatan kita atau meminum antibiotik ketika kita tidak membutuhkannya maka kita akan mengarah pada resistensi bakteri terhadap antibiotik. Artinya bahwa atibiotik yg didesain untuk membunuh bakteri jenis tertentu menjadi tidak efektif lagi melawan mikro organisme tersebut karena organisme itu sudah beradaptasi dan berevolusi selama waktu terpapar antibiotik, menjadi lebih kuat melawan pengobatan yg kita gunakan. Methicillin Resistant Staphylococcus (MRSA)adalah sebuah contoh nyata dari apa yg disebut dengan “Superbug”, dan juga Vancomycin Resistant Enterococci (VRE). Beberapa jenis gonorea telah berkembang menjadi kebal terhadap beberapa jenis obat, dan beberapa jenis TBC juga menjadi kebal terhadap beberapa terapi antibiotik (isoniazid dan rifampicin). Infeksi dari bakteri yg kebal terhadap antibiotik memerlukan waktu yg relatif lama untuk diobati dan bisa menyebabkan perawatan yg lama pula. CDC memperkirakan bahwa secara berkala lebih dari 2 juta penduduk amerika menderita Antibiotic Resistant Infection dan lebih dari 23.000 orang meninggal disebabkan karena infeksi ini dan juga komplikasi tiap tahunnya. Akhir kata, hendaknya kita jangan menganggap enteng dengan dikit-dikit minum antibiotik, sakit dikit antibiotik atau biasanya beberapa pasien jika berobat ke dokter dan tidak mendapatkan antibiotik / dokter tidak memberinya antibiotik malah komplain, padahal misalnya jelas-jelas dia tidak membutuhkan antibiotik. Juga sebaiknya tidak sembarangan membeli antibiotik tanpa resep dan diagnosa dari dokter, karena bisa jadi gejala / sakit yg kita derita sama sekali tidak memerlukan antibiotik untuk sembuh. Karena jika tidak, nantinya antibiotik yg merupakan senjata utama kita untuk melawan para “Micro Invaders” itu bisa menjadi bumerang dan mendatangkan masalah besar bagi kita sendiri. Sumber : Kaskus