Di era sekarang ini, era yang oleh Zygmunt Bauman disebut sebagai liquid modernity yaitu sebuah konsep yang fokus pada transformasi yang memengaruhi hidup manusia mengenai general policy determinations of life. Era ini menghadapkan...
moreDi era sekarang ini, era yang oleh Zygmunt Bauman disebut sebagai liquid modernity yaitu sebuah konsep yang fokus pada transformasi yang memengaruhi hidup manusia mengenai general policy determinations of life. Era ini menghadapkan manusia pada persimpangan jalan yang seringkali dibuat oleh para saintis melalui otoritas yang seolah mengatur tentang justifikasi kebenaran dalam kehidupan manusia. Persimpangan jalan itu adalah pilihan antara tunduk pada hegemoni rasionalitas ataukah pada jalan sunyi spiritualitas. Namun, bukankah masih ada jalan tengah yang dapat mendamaikan dua jalan tersebut? Pertanyaan ini saya rasa penting karena semakin gencar suatu peradaban mengarah pada modernitas-kemajuan teknologi dan sains-maka ia akan cenderung mendekonstruksi nilai-nilai ataupun pengetahuan yang dianggap sebagai opposite kebenaran ilmiah. Salah satu contoh yang paling populer yakni kepercayaan masyarakat lokal yang bisa disebut masih kental dengan animisme maupun dinamisme. Bahkan, agama sebagai institusi yang kompleks, juga seringkali dibenturkan dengan arus perkembangan sains. Uniknya, meskipun dinamika ilmu pengetahuan dan sosial, menyajikan kita berbagai persetueruan dramatis, sampai saat ini banyak manusia yang menjalankan peran ganda, yakni sebagai saintis sekaligus agamawan. Dengan kata lain, terdapat upaya untuk mengultivasikan dan mengajegkan suatu bangunan kepercayaan-sebut saja iman-di tengah gemerlapnya proses kemajuan ilmu pengetahuan, terutama sains. Oleh karena itu, muncul pertanyaan kedua tentang bagaimana mungkin manusia bisa mempertahankan kepercayaannya yang irasional di dalam pemikiran rasional-ilmiah? Untuk menjawab pertanyaan itu, tulisan ini mencoba mengkaji secara garis besar dan ringkas, sebuah upaya seorang pakar psikologi perkembangan (developmental psychology) asal Universitas Lancaster, Eugene Subbotsky, melalui makalahnya yang berjudul The Ghost in the Machine: Why and How the Belief in Magic Survives in the Rational Mind. B. Sains, Manusia dan Magic Sejak era Galileo (1564-1642), peradaban Barat secara signifikan jatuh terbuai oleh sihir sains. Sampai saat ini, berdasarkan penelitian antropologis dan psikologis, kepercayaan atas magic masih dapat dijumpai pada anak-anak maupun orang dewasa di dalam kultur industrial.