Academia.eduAcademia.edu

Kendala Sosiologis Penerapapan UU PKDRT

KENDALA SOSIOLOGIS DAN FILOSOFIS PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA (Telaah Penegakan Hukum pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT) Oleh: Yazwardi A. Pendahuluan Hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan, keduanya senyawa dalam tubuh yang berbeda. Teori ubi Societas ibi ius menunjukkan bahwa hukum memang ada dan diperuntukan karena ada masyarakat. Sebagai individu yang memiliki aneka kebutuhan, manusia memerlukan sebuah sistem kehidupan dalam masyarakat yang lazim disebut "sistem sosial". 1 Pemenuhan kebutuhan itu hanya dapat dicapai jika terdapat rasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. Hukum sebagai salah satu pranata sosial yang sangat urgen memegang peranan dalam menciptakan situasi yang sedemikian. Untuk itu, Setiap hukum dan peraturan perundangan yang ditetapkan haruslah memenuhi kriteria dan karakter yang ditawarkan ilmu hukum. Dari berbagai teori, hukum dan peraturan yang ditetapkan haruslah memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan universal hukum, yaitu: ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangannya pada masyarakat, fungsi hukum berkembang menjadi alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, dan sebagai sarana penggerak pembangunan, dan sebagai fungsi kritis. 2

KENDALA SOSIOLOGIS DAN FILOSOFIS PEMBANGUNAN HUKUM DI INDONESIA (Telaah Penegakan Hukum pada UU No. 23 Tahun 2004 tentang PKDRT) Oleh: Yazwardi Pendahuluan Hukum dan masyarakat adalah satu kesatuan yang sulit dipisahkan, keduanya senyawa dalam tubuh yang berbeda. Teori ubi Societas ibi ius menunjukkan bahwa hukum memang ada dan diperuntukan karena ada masyarakat. Sebagai individu yang memiliki aneka kebutuhan, manusia memerlukan sebuah sistem kehidupan dalam masyarakat yang lazim disebut “sistem sosial”. Ada beberapa hal yang membuat manusia menciptakan "sistem sosial", antara lain karena : Manusia mempunyai kebutuhan dasar biologi tertentu seperti pangan, papan, sandang dan seks; Untuk memuaskan kebutuhan ini, manusia tergantung pada organisasi-organisasi kemasyarakatan; Kenyataan di atas menciptakan kebutuhan-kebutuhan lain, yaitu kebutuhan sistem pada diri individu; dan pada akhirnya manusia berusaha untuk memaksimumkan kepuasan dari kebutuhan dirinya. Pemenuhan kebutuhan itu hanya dapat dicapai jika terdapat rasa aman dan nyaman dalam kehidupannya. Hukum sebagai salah satu pranata sosial yang sangat urgen memegang peranan dalam menciptakan situasi yang sedemikian. Untuk itu, Setiap hukum dan peraturan perundangan yang ditetapkan haruslah memenuhi kriteria dan karakter yang ditawarkan ilmu hukum. Dari berbagai teori, hukum dan peraturan yang ditetapkan haruslah memiliki tujuan yang sejalan dengan tujuan universal hukum, yaitu: ketertiban, ketenteraman, kedamaian, kesejahteraan dan kebahagiaan dalam tata kehidupan bermasyarakat. Dalam perkembangannya pada masyarakat, fungsi hukum berkembang menjadi alat pengatur tata tertib hubungan masyarakat, sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan batin, dan sebagai sarana penggerak pembangunan, dan sebagai fungsi kritis. Prof. Mr. Dr. L.J. Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlanse Recht, 1983, Wej Tjeenk Willink-Zowle. Apeldoorn menyatakan bahwa tujuan Hukum adalah mengatur tata tertib dalam masyarakat secara damai dan adil. Untuk mencapai kedamaian Hukum harus diciptakan masyarakat yang adil dengan mengadakan perimbangan antara kepentingan yang saling bertentangan satu sama lain dan setiap orang harus memperoleh (sedapat mungkin) apa yang menjadi haknya. Politik pembangunan hukum yang dimaknai bagaimna merumuskan suatu produk hukum dan perundangan untuk diterapkan (ditegakan) di dalam masyarakat adalah masalah tersendiri di dalam ilmu hukum. Dalam sosiologi hukum menurut Satjipto Rahardjo, Satjipto Rahardho, 2002, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Yogjakarta: Genta Publishing. P. 190 penegakan hukum (law enforcement, Rechtostoepassing, rechtshandhving) bukan merupakan tindakan hukum yang pasti, yaitu menerapkan hukum terhadap suatu kejadian, yang diibaratkan menarik benang lurus antara dua titik. Dalam kenyataan, bahwa enegakan hukum itu mengandung pilihan dan kemungkinan karena dihadapkan pada permasalahan yang kompleks. Dalam ilmu hukum normatif kompleksitas tersebut diabaikan, sedangkan sosiologi hukum sebagai ilmu empiriksama sekali tak dapat mengabaikannya. Proses penegakan hukum, dalam pandangan Soerjono Soekanto, Baca naskah Pidato pengukuhan Guru Besar Soerjono Soekanto, 1983, Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan hukum, Cet. I, Jakarta: CV. Rajawali P. 2-44. dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Sementara itu, Lawrence M. Friedman Lebih lengkap baca: Lawrence M. Friedmen, 2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan M. Jhozin, Bandung: Penerbit Nusa Media, P. 6-29 melihat bahwa keberhasilan penegakan hukum selalu menyaratkan berfungsinya semua komponen system hukum. Sistem hukum dalam pandangan Friedman terdiri dari tiga komponen, yakni ; komponen struktur hukum (legal structure), komponen substansi hukum (legal substance) dan komponen budaya hukum (legal culture) serta dalam perkembangannya kemudian ditambahkan dengan komponen struktur hukum (Legal Structure). Dalam tulisan ini akan dicoba memahami kendala sosiologis dan filosofis penegakan hukum pada salah satu produk perundangan di Indonesia yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat zaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras. Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, masalah yang ingin dibahas adalah “ Bagaimana prospek penegakan hukum Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) dan kendala penegakannya ditinjau dari persepktif Filsafat dan Sosiologi Hukum ?”. Fokus kajiannya tentang hambatan sosiologis yang dalam sejarahnya kerap merugikan kaum perempuan karena munculnya hegemoni kaum laki-laki pada masyarakat Indonesia yang mayoritas menganut faham patrilineal atau patriarki Secara umum budaya patriarki didefinisikan sebagai suatu sistem yang bercirikan laki-laki. Pada sistem ini laki-laki yang memiliki kekuasaan untuk menentukan, kondisi ini dianggap wajar karena dikaitkan dengan pembagian kerja berdasarkan seks. Keberadaan budaya ini telah memberikan keistimewaan pada jenis kelamin laki-laki. Oleh karena itu budaya ini tidak mengakomodasi kesetaraan dan keseimbangan, dimana dalam budaya ini jenis kelamin perempuan tidak diperhitungkan. Budaya inilah yang kemudian yang mewujudkan garis keturunan berdasarkan garis lak-laki. Budaya patriarki ini mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada umumnya memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan dominasi laki-laki.. B. Teori Tentang Kedudukan Perempuan Dalam konteks tertentu, masalah feminisme (kesetaraan gender) selalu hadir dalam wacana-wacana sosial, politik, dan hukum di mana kaum perempuan merasakan ”ketidakadilan” dan tersubordinasi dalam lingkup sosial yang lebih luas. Dalam kurun waktu dua sampai tiga ratus tahun terakhir, “kegelisahan” ini telah menumbuhkan kesadaran yang nyata dalam bentuk tersebar luasnya gerakan dan perlawanan yang terorganisir menentang penindasan terhadap perempuan. Pada era modern pun masih ada pihak atau pun perlakuan yang menempatkan kaum perempuan hanya sekadar sebagai pelengkap kalau enggan disebut sebagai masyarakat kelas dua. Sesungguhnya pernyataan awal di atas merupakan potret yang mewakili realitas bagaimana kaum perempuan pernah ditindas, dibatasi hak-haknya dalam ranah apapun. Juga merupakan cuatan nurani yang keluar dari hegemoni kekuasaan yang melegalkan diskriminasi gender terhadap perempuan. Berabad-abad lamanya perempuan hidup tatanan patriarki yang sungguh tidak berpihak pada asas egaliter sehingga aktivitas yang dilakukan lebih bernuasa pelayan dalam segala aspek; memenuhi kewajiban sebagai ibu rumah tangga, mengasuh anak, dan melayani suami sedangkan perkara-perkara yang ada di luar rumah tangga merupakan wilayah tabu. Realitas penindasan yang dipraktekan secara sistemik tersebut mengilhami beberapa tokoh perempuan untuk mewujudkan gerakan pembebasan yang kemudian diistilahkan dengan feminisme. Feminisme merupakan suatu gerakan emansipasi wanita dan gerakan ini bukanlah sesuatu hal baru di dunia. Gerakan yang dimunculkan oleh Marry Wallstonecraff, seorang wanita yang telah berhasil mendobrak dunia lewat bukunya The Right of Woman pada tahun 1972 dengan lantang menyuarakan tentang perbaikan kedudukan wanita dan menolak perbedaan derajat antara laki-laki dan wanita. Gaung feminisme inipun disambut hangat di beberapa kalangan di dunia Barat. Secara historis, hampir setiap peradaban besar dunia cenderung bersifat androcentrism. Oleh karena itu, dunia epistemologi sudah dipengaruhi kosmologi, mitologi dan peradaban kuno yang cenderung missoginis. Missoginis diartikan sebagai suatu paham teologi yang mencitrakan perempuan sebagai penggoda (temptator) dan dianggap sebagai pangkal segala kejahatan kemanusiaan. Perempuan dianggap harus bertanggung jawab atas terjadinya drama kosmik, yang menyebabkan nenek moyang manusia jatuh dari surga ke bumi dan menyebabkan terjadinya dosa warisan. Uraian selengkapnya, lihat Nasaruddin Umar, “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik)”, dalam Ruhaini Dzuhayatin, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender. Yogyakarta: PSW-IAIN Suka, McGill-ICIHEP, Pustaka Pelajar, 2001.. Kosmologi Mesir Kuno di Selatan, mitologi Yunani Kuno di Barat, tradisi Yahudi-Kristen di sepanjang Laut Merah, peradaban Sasania-Zoroaster di Timur yang berpusat di Ctesipon, Mesopotamia, pada umumnya berkecenderungan tersebut. Seiring dengan perkembangan zaman, perempuan menyadari akan posisinya yang tertindas. Hal ini mendorong mereka untuk melakukan gerakan-gerakan “pembebasan” dari dominasi dan hegemoni kaum laki-laki. Perkembangan kajian feminis sejak tahun 1960-an, bersamaan dengan gelombang kedua aktivisme feminis di Barat, telah menyebar secara tidak merata ke dalam disiplin ilmu-ilmu sosial dan dalam lokasi geografis yang berbeda. Menurut Deniz Kandiyoti, ada tiga fase utama gerakan feminis yang didasarkan pada moment-moment teorisasi feminis yang berbeda. Kandiyoti. Deniz (editor), 2001, Gendering the Middle East: Emerging Perspective, (New York: Syracuse Press. P. 2. Fase pertama, perjuangan melawan bias androsentris. Fase ini ditandai dengan usaha untuk membentuk bidang kajian perempuan dan memberikan suatu dokumentasi yang ekstensif serta mengkritik bias androsentris dalam ilmu-ilmu sosial. Para sarjana feminis telah menghasilkan catatan bagaimana ketidakhadiran perempuan sebagai aktor sosial dan fakta bahwa teori sosial dan sejarah yang ditulis dari perspektif laki-laki merupakan kelemahan utama dalam analisis dan kerangka kerja mereka. Pada fase ini telah muncul kajian-kajian perempuan dalam berbagai ilmu sosial. Di antara kajian-kajian itu adalah Hidden from History yang ditulis oleh Sheila Rowbotham dan Becoming Visible, yang ditulis oleh Renata Bridental dan Claudia Koontz dalam bidang sejarah. Tulisan Michelle Rosaldo dan Louise Lamphere, Women, Culture and Society serta tulisan Reyna Rapp Reiters, Toward’s an Anthropology of Women, dalam bidang antropologi. Fase kedua, menjelaskan tentang subordinasi perempuan. Walaupun tidak ada garis pemisah antara masa ini dan masa sebelumnya, pada masa ini telah diperdebatkan tentang usaha-usaha untuk menjelaskan tentang asimetrik jender yang semakin mengkristal seputar orientasi-orientasi dalam teori dan praktik feminis yang berbeda merefleksikan pengaruh-pengaruh dari aliran liberal, Marxis/sosialis, psikoanalitis dan –yang paling baru– pos-strukturalis. Kaum feminis liberal telah menemukan sebab-sebab subordinasi perempuan dalam adat istiadat dan pemaksaan hukum telah menghalangi akses perempuan untuk layanan publik dan menyebabkan prasangka-prasangka dan streotipe-streotipe yang berhubungan dengan kecakapan-kecakapan perempuan. Pendekatan ini membangkitkan kajian-kajian empiris yang berharga tentang kehidupan rumah tangga dan pekerjaan perempuan dan segi-segi perbedaan diskriminasi dan perbedaan kelamin. Namun, paham ini melakukan kritik untuk menjatuhkan apresiasi sistemik dan budaya yang membedakan jender yang cukup dalam mengakar bukan untuk memberi sebuah kerangka kerja untuk menjelaskannya. Ibid., p. 4. Fase ketiga, dari istilah feminis ke jender. Pada pertengahan 1980-an, bidang kajian ini secara substansial berubah dari kajian feminis ke kajian jender, yaitu menganalisis dari pandangan-pandangan dalam semua aspek masyarakat manusia, kultur dan yang berhubungan dijenderkan. Menurut Nicholson, seperti yang dikutip oleh Kandiyoti, dalam hubungannya dengan feminisme, istilah jender memuat dua hal dan, bahkan, saling bertentangan. Pada satu sisi, jender digunakan untuk menggambarkan konstruksi secara sosial, yang berbeda dengan istilah seks yang diasumsikan atau diberikan secara biologis. Pada sisi lain, jender merujuk pada konstruksi sosial untuk melakukan pembedaan laki-laki atau perempuan, termasuk bentuk-bentuk yang membedakan tubuh “perempuan” dari “tubuh” laki-laki. Ibid., p. 6. Menurut definisi` ini, seks adalah penggolongan dalam jender dan tidak memisahkan atau membedakannya karena susunan tubuh kita yang merupakan subjek interpretasi dan redefinisi sosial. Dengan demikian, jender telah ditransformasikan kedalam kategori yang semakin inklusif yang merupakan suatu ekspresi dari perbedaan dalam bidang hubungan-hubungan kekuasaan. Jadi, jender adalah suatu konsep yang digunakan untuk mengidentifikasi perbedaan-perbedaan laki-laki dan perempuan dilihat dari segi sosial-budaya. Jender dalam pengertian ini mendefinisikan laki-laki dan perempuan dari sudut non-biologis. Nasaruddin Umar, 2001, Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Alqur’an, Jakarta: Paramadina, , p. 35. Dengan demikian, istilah seks mengacu kepada sifat terberi secara biologis dan jender adalah persepsi dan harapan-harapan kultural tentang apa yang seharusnya bagi laki-laki dan perempuan. Smith. Jane I.,2002, “Islam”, dalam Arvind Sharma (ed.), Permpuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun al-Mirzanah, dkk., Jakarta: Ditperta Depag. RI, CIDA, McGill-Project. P. 65. Dalam perspektif teori (ilmu) hukum, diskursus feminisme juga mendapatkan perhatian yang tak kalah pentingnya dengan teori-teori hukum pada bidang lainnya. Menurut Bernard L. Tanya Bernard L. Tanya dkk.2010, Teori Hukum, Strategi Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogjakarta: Genta Publishing. P. 179, bahwa secara faktual, hukum dibangun dan dikonstruksi dalam logika laki-laki. Implikasinya, ia memperkokoh hubungan-hubungan sosi-yuriridis yang patriarkis. Hubungan yang didasarkan pada norma, pengalaman, serta kekuasaan laki-laki dan mengabaikan kaum perempuan. Dengan demikian, sampai derajat tertentu, hukum telah menyumbang kepada penindasan-penindasan terhadap perempuan. Teori hukum sebagai sebuah proses merupakan rangkaian kegiatan ilmiah yang dilakukan secara sistematis, metodis, obyektif, dan kritis. Sedangkan sebagai produk, merupakan hasil penelitian dalam bidang hukum yang mengikuti karakteristik penelitian. Teori hukum dalam ilmu hukum sebagai suatu sistem pernyataan (klaim), pandangan dan pengertian yang saling berkaitan secara logikal berkenaan dengan sistem hukum tertentu atau suatu bagian dari sistem hukum itu, yang dirumuskan sedemikian rupa sehingga berdasarkannya dimungkinkan untuk menjabarkan interpretasi aturan hukum atau pengertian dalam hukum (konsep hukum) yang terbuka bagi pengujian. Ilmu atau disiplin hukum dalam perspektif interdisipliner dan eksternal secara kritis menganalisis berbagai aspek gejala hukum, baik tersendiri maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam kaitan keseluruhan, baik dalam konsepsi teoritisnya maupun dalam pengejawantahan praktisnya. Bertujuan untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik dan memberikan penjelasan sejernih mungkin tentang bahan hukum yang tersaji dan kegiatan yuridis dalam kenyataan kemasyarakatan. Dalam ilmu hukum dikenal suatu teori yang mendiskreditkan kaum perempuan yaitu, teori nature Teori nature merupakan teori yang berkembang dari mitologi Yunani kuno, misalnya kata Hesiodus bahwa hanya ada laki-laki. Perempuan adalah hasil kutukan Zeus yang marah pada titan (yang laki-laki) karena mencuri api milik para dewa. Lewat tokoh simbolik Pandora (perempuan pertama di dunia), kaum hawa digambarkan sebagai sebuah “kejahatan”, “kutukan terburuk”. Bernard, Ibid, lihat juga Anthony Sinnott, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, (Yogjakarta: Jalansutra, 1993).. teori ini dianggap merupakan versi lain tentang mitos sub-ordinasi perempuan. Teori ini beranggapan bahwa sudah menjadi kodrat perempuan untuk menjadi lebih lemah dan karena itu banyak bergantung pada laki-laki dalam banyak hal untuk hidupnya. Teori ini sudah muncul sejak lahirnya filsafat di Yunani. Maka tidak heran jika Aristoteles mendalilkan perempuan sebagai laki-laki yang tidak lengkap. Teori ini masih dirasakan sampai pada zaman sekarang sehingga kedudukan perempuan dan laki-laki adalah tidak setara (sederajat) pada banyak bagian kehidupan sosial, politik, ekonomi, hukum, dan lain-lainnya. Walaupun pada sebagian kecil proses politik di negara-negara berkembang dan negara-negara maju telah menunjukkan perkembangan. Menghadapi mitologi yang telah mengakar dalam kebudayaan masyarakat, munculah perlawanan kaum perempuan dalam bentuk teori yang dikenal teori hukum feminis (Feminist Legal Theory) yang bertitik tolak dari sebuah pemahaman bahwa hukum cenderung tidak berpihak pada perempuan karena hukum besifat phallocentris. Oleh karena itu, teori nature sebagai akar penyebab terpinggirkannya kaum perempuan mendapatkan tantangan sangat kuat dari kelompok feminis. Menurut Teori Hukum Feminis (Feminist Legal Theory) bahwa mayoritas tatanan hukum dibangun atas pandangan dunia yang bias dan untuk itu diperlukan perlawanan dengan peningkatan kesadaran ideologi. Penolakan (rejection) kaum feminis terhadap teori nature merupakan bagian dari bentuk Teori Kritik Hukum (Critical Legal Theory). Beberapa tema umum Teori Hukum Feminis menurut Mukthie Fajar Mukthie Fadjar, Teori-teori Hukum Kontemporer, (Malang: In-Trans Publishing, 2008), p. 88 yaitu: Kritik terhadap Sejarah, Kritik terhadap Patriarchal, Kritik mengenai determinasi Biologis, Adopsi dialektis seks/gender, dan komitmen-komitmen yang umum. Teori Hukum Feminis juga telah mengalami perkembangan dengan lahirnya aliran-aliran yang meliputi: aliran-aliran liberal atau kesamaan formal, feminisme asimilisionis, feminis bivalent, feminis inkorporasionis, feminis relasional atau kultural, feminis kultural, feminis radikal atau dominasi, dan feminis post modern. Sedangkan menurut Otje Salman dan Anthon F Otje Salman dan Anthon F. Susanto, Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali.(Bandung: Refika Aditama, 2010) p. 135, feminis yang berhubungan dengan hukum paling tidak memfokuskan pada tiga faktor: bertanya pada perempuan, mencakup aspek logika deduktif, dan munculnya kesadaran individu dan kolektif Teori nature yang mengawali perbedaan gender dan dianggap memarjinalkan perempuan secara sistemik sejak ribuan tahun lalu, telah mendapatkan perlawanan yang ”sengit” dari kelompok pejuang hak-hak perempuan (gender). Dalam perkembangan modern, teori nature telah melahirkan teori-teori baru baik yang antitesis maupun sintetis. Teori nature (alam/ kodrati) yang secara tegas membedakan kedudukan laki-laki dan perempuan telah memenuhi karakteristik teori hukum secara umum. Munculnya kesadaran kolektif dari gerakan-gerakan kaum feminis mulai dari perumusan teori-teori hukum, pengajaran dan praktek yang berperspektif perempuan mulai menggeser teori nature yang selama ini dianggap sebagai wujud hegemoni laki-laki dan memarjinalkan kaum perempuan. Disahkannya UU PKDRT tersebut, merupakan suatu pemikiran yang komprehensif dari negara dengan political will untuk memperhatikan dan memberikan perlindungan bagi korban kekerasan dalam rumah tangga. Namun yang menjadi kendala adalah upaya untuk mengungkap bentuk kekerasan ini tidaklah mudah, selain karena pemahaman/kesadaran masyarakat tentang kekerasan dalam rumah tangga belum sepenuhnya dipahami sebagai bentuk pelanggaran HAM, juga kekerasan dalam bentuk ini masih dilihat dalam ranah privat. Kekerasan yang dimaksudkan oleh Undang-undang ini diartikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. C. Faktor Budaya Dalam Hukum di Indonesia Kebudayaan Indonesia dapat didefinisikan sebagai seluruh kebudayaan lokal yang telah ada sebelum terbentuknya Indonesia pada tahun 1945. Seluruh kebudayaan lokal yang berasal dari kebudayaan beraneka ragam suku-suku di Indonesia merupakan bagian integral kebudayaan Indonesia. Walaupun kebudayaan Indonesia beraneka ragam, namun pada dasarnya terbentuk dan dipengaruhi oleh kebudayaan besar lainnya seperti kebudayaan Tionghoa, kebudayaan India, dan kebudayaan Arab. Kebudayaan India terutama masuk dari penyebaran agama Hindu dan Buddha di Nusantara jauh sebelum Indonesia terbentuk. Kerajaan-kerajaan yang bernafaskan agama Hindu dan Budha sempat mendominasi Nusantara pada abad ke-5 Masehi ditandai dengan berdirinya kerajaan tertua di Nusantara, yaitu Kutai sampai pada penghujung abad ke-15 Masehi. Kebudayaan Tionghoa masuk dan memengaruhi kebudayaan Indonesia karena interaksi perdagangan yang intensif antara pedagang-pedagang Tionghoa dan Nusantara (Sriwijaya). Selain itu, banyak pula yang masuk bersama perantau-perantau Tionghoa yang datang dari daerah selatan Tiongkok dan menetap di Nusantara. Mereka menetap dan menikahi penduduk lokal dan menghasilkan perpaduan kebudayaan Tionghoa dan lokal yang unik. Kebudayaan seperti inilah yang kemudian menjadi salah satu akar daripada kebudayaan lokal modern di Indonesia seperti kebudayaan Jawa dan Betawi. Dalam hal hukum keluarga yang melekat pada hukum adat di Indonesia pada dasarnya terdapat tiga sistem kekeluargaan atau kekerabatan yakni : Sistem kekerabatan patrilinial yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ), sistem ini dianut di Tapanuli, Lampung, Bali dan lalin-lain. Sistem kekerabatan matrilinial yaitu sitem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis perempuan ( ibu ), sistem ini dianut di Sumatra Barat ( daerah terpencil ). Sistem kekerabatan parental yaitu sistem kekerabatan yang menarik garis keturunan dari garis laki-laki ( ayah ) dan perempuan ( ibu ), sistem ini dianut Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya Sri Widoyatiwiratmo Soekito, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES , Jakarta, P. 58-59. Walaupun di Indonesia terdapat tiga sistem kekerabatan atau kekeluargaan yaitu sistem kekerabatan matrilinial, patrilinial dan parental namun kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki hal ini sebagai akibat dari pengaruh idiologi patriarki. Sistem kekerabatan matrilinial yang dianut pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat, merupakan sistem kekerabatan yang tertua. Sistem kekerabatan ini menempatkan status kaum perempuan yang tinggi dan disertai dengan sistem perkawinan semendonya, dan sebagai penerus keturunan serta dalam hukum waris juga sebagai ahli waris. Pada masyarakat Minangkabau di Sumatra Barat di mana pada sistem kekeluargaan ini garis keturunan ditarik dari garis perempuan ( ibu ) akan tetapi kekuasaan bukan berada di tangan perempuan namun tetap berada di tangan laki-laki, hal ini dapat dilihat bahwa yang menjadi mamak kepala waris adalah dijabat oleh laki-laki yakni laki-laki tertua. Oleh karenanya dalam sistem kekerabatan matrilinial kekuasaan tetap berada di tangan laki-laki maka jelas terdapat isu gender di dalamnya. Dalam sistem kekerabatan patrilinial yang dianut oleh masyarakat Tapanuli, Lampung, Bali dan lain-lainnya sangat jelas menempatkan kaum laki-laki pada kedudukan yang lebih tinggi. Laki-laki berkedudukan sebagai ahli waris, sebagai pelanjut nama keluarga, sebagai penerus keturunan, sebagai anggota masyarakat adat dan juga mempunyai peranan dalam pengambilan keputusan keluarga maupun masyarakat luas. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan partilinial kaum perempuan justru sebaliknya yaitu mempunyai kedudukan yang sangat rendah, tidak sebagai ahli waris, tidak sebagai pelanjut keturunan, tidak sebagai penerus nama kelaurga karena dalam perkawinan jujur (pada umumnya) perempuan mengikuti suami dan juga tidak menjadi anggota masyarakat adat. Pada masyarakat patrilinial di Bali dikenal lembaga “sentana rajeg” di mana anak perempuan dirubah statusnya melalui perkawinan nyeburin (nyentana) sehingga menjadi sama statusnya dengan status anak laki-laki. Perlu diketahui bahwa tidak setiap anak perempuan dapat dirubah statusnya karena ada persyaratan-persyaratan tertentu yang harus dipenuhi. Contoh dalam sebuah keluarga tidak dikaruniai anak laki-laki. Dan yang lebih patal adalah apabila dalam suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki dapat dipakai alasan bagi suami untuk melakukan poligami. Dalam kaitan dengan hal itu hukum adat memang membolehkan adanya poligami sedang jumlah wanita yang boleh dikawin tidak terbatas Nani Soewondo, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta, h. 47., sehingga untuk menghindari adanya poligami maka ditempuh upaya merubah kedudukan anak perempuan melalui perkawinan nyeburin. Anak perempuan yang diubah statusnya dengan perkawinan nyeburin, status dan kedudukannya sama dengan anak laki-laki tetapi terbatas hanya dalam kaitan dengan harta kekayaan orang tuannya saja sedangkan dalam hal yang lainnya yakni sebagai kepala keluarga, anggota masyarakat adat (ayah laki) tetap dilakukan oleh laki-laki yang kawin nyeburin dan perempuan yang keceburin melakukan kewajibannya sebagai perempuan pada umumnya. Anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg sudah tentu berbeda dengan kedudukan anak perempuan pada umumnya, oleh karena demikian justru dengan adanya lembaga sentana rajeg ini malahan memperlihatkan adanya diskriminasi terhadap anak perempuan. Disamping itu dengan adanya proses perkawinan nyeburin untuk memberikan status yang sama terhadap anak perempuan dengan status anak laki-laki malah justru memperkuat dan mengajegkan sistem kekerabatan patrilinial yang menempatkan laki-laki pada posisi dan kedudukan yang sangat tinggi dan pada akhirnya tetap terjadi diskriminasi terhadap perempuan. Dalam masyarakat Bali yang mengenal lembaga sentana rajeg, perlu dipertanyakan apakah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan yang berkedudukan sebagai sentana rajeg ?. kenyataannya belum tentu bahwa kekuasaan sepenuhnya berada di tangan anak perempuan tersebut. Hal ini seperti telah diuraikan diatas di mana dalam sebuah keluarga yang mempunyai anak perempuan yang berstatus sentana rajeg, di mana yang mewakili keluarga sebagai anggota banjar, anggota desa adat, rapat-rapat keluarga, adalah tetap laki-laki yang kawin dengan anak perempuan yang berstatus sentana rajeg tersebut bukan perempuan yang berstatus sentana rajeg. Karena laki-laki yang mewakili sebagai anggota keluarga dalam segala urusan keluarga maka laki-lakilah yang ikut dalam segala pengambilan keputusan, maka laki-lakilah kembali yang memegang peranan atau tetaplah kekuasaan berada di tangan laki-laki. Jadi tetap terjadi sub-ordinasi terhadap perempuan dan terdapat isu gender di dalamnya. Dalam masyarakat yang menganut sistem kekerabatan parental seperti yang dianut oleh masyarakat Jawa, Madura, Sumatra Selatan dan lain-lainnya pada prinsipnya menempatkan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan adalah sama dalam hal mewaris. Semua anak-anaknya baik laki-laki maupun perempuan mempunyai kedudukan yang sama yaitu sama-sama sebagai ahli waris. Apabila diperhatikan lebih jauh dalam pembagian harta warisan justru terdapat sub-ordinasi dan dikriminasi terhadap anak perempuan. Hal ini dapat dilihat dari besarnya bagian yang diterima oleh anak laki-laki dan perempuan berbanding 2 : 1 yang dalam istilah adat dikenal dengan isilah “sepikul segendong”. Kalau dilihat dalam hal pengambilan keputusan dalam keluarga dan masyarakat tetap berada di tangan laki-laki oleh karena demikian idiologi patriarki tetap nampak pada masyarakat yang parental. Oleh karena demikian dalam masyarakat yang parental tetap terdapat bias gender. D. Faktor Sosiologis Dalam UU PKDRT Keprihatianan warga masyarakat terutama kaum perempuan dan relawan Lembaga Swadaya Masyarakat terhadap banyaknya kasus-kasus kekerasan dalam rumah tangga merupakan salah satu faktor pendorong dibentuknya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT). Kelahiran undang-undang ini memang tidak dapat dilepaskan dari semangat jaman yang bersifat menglobal tentang tuntutan perlunya penghapusan kekerasan terhadap kaum perempuan dan anak, yang dipandang sebagai kelompok yang paling rentan terhadap perlakuan keras. Pembentukan UU PKDRT, yang memuat kriminalisasi terhadap perbuatan kekerasan pada perempuan dan anak, merupakan upaya yang telah dirintis sejak lama untuk mewujudkan lingkungan sosial yang nyaman dan membahagikan bebas dari kekerasan. Idealisme ini tentulah bukan sesuatu yang berlebihan, di tengah kehidupan abad ke-21 yang telah serba sangat maju, terasakan sebagai suatu kejanggalan, manakala lingkungan hidup yang seyogyanya dapat memberikan suasana yang memberikan perasaan termanusiakan sepenuhnya ternyata sebaliknya menjadi lingkungan yang dipenuhi kekerasan atau perilaku barbar. Dengan demikian keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini menjadi dambaan banyak pihak yang merindukan suasana kehidupan damai di dalam rumah tangga. Secara sosiologis, kekerasan merupakan sikap atau tindakan yang dipandang sangat tercela. Oleh karena penegakan norma-norma etika atau moral secara umum bersumber pada kesadaran dalam diri setiap orang, maka dalam situasi seperti sekarang ini tampaknya sangat sulit diharapkan penghapusan kekerasan (dalam rumah tangga) dilakukan diluar kerangka pendekatan yang sifatnya sistematis. Oleh karenanya kemudian dilakukan pendekatan yang sistematis dengan diaplikasikan melalui sarana hukum pidana yakni dengan mengkriminalisasikan perbuatan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Penegakan hukum merupakan pusat dari seluruh “aktivitas kehidupan” hukum yang dimulai dari perencanaan hukum, pembentukan hukum, penegakan hukum dan evaluasi hukum. Penegakan hukum pada hakekatnya merupakan interaksi antara berbagai perilaku manusia mewakili kepentingan-kepentingan yang berbeda dalam bingkai aturan yang telah disepakati bersama. Oleh karena itu, penegakan hukum tidak dapat semata-mata dianggap sebagai proses menerapkan hukum sebagaimana pendapat kaum legalistic. Namun proses penegakan hukum mempunyai dimensi yang lebih luas daripada pendapat tersebut, karena dalam penegakan hukum akan melibatkan dimensi perilaku manusia. Dengan pemahaman tersebut maka kita dapat mengetahui bahwa problem-problem hukum yang akan selalu menonjol adalah problema “law in action” bukan pada “law in the books” Perumusan norma atau kaidah di dalam undang-undang ini, dituangkan di dalam Pasal-pasal 5 s/d 9. Di dalam Pasal 5 dinyatakan, setiap orang dilarang melakukan kekerasan dalam rumah tangga terhadap orang lingkup rumah tangganya dengan cara: a. kekerasan fisik; b. Kekerasan psikis; c. kekerasan seksual; atau d. penelantaran rumah tangga. Di dalam Pasal 6 dinyatakan bahwa, kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perubahan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat. Selanjutnya Pasal 7 memuat pernyataan bahwa, kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan /atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sementara itu, dalam Pasal 8 dinyatakan, kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf c meliputi: (a) pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang menetapkan dalam lingkup rumah tangga tersebut; (b) pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertantu. Kemudian di dalam Pasal 9 dinyatakan, (1) Setiap orang dilarang menelantarkan orang dalam lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut; (2) Penelantaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Di dalam Undang-undang ini juga dinyatakan bahwa, tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan (Pasal 51). Demikian juga, tindak pidana kekerasan psikis sebagaimanadimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan (Pasal 52). Demikian juga halnya, tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya merupakandelik aduan (Pasal 53). Sosiologi Hukum menggambarkan bahwa mengenalkan hukum ke dalam arena-arena sosial dalam masyarakat, sama dengan mengantarkan sebuah Undang-undang ke dalam ruang kosong dan hampa udara. Ketika sebuah Undang-undang diantarkan ke suatu arena sosial, maka di dalam arena sosial tersebut sudah penuh dengan berbagai pengaturan sendiri yang dibuat oleh masyarakat, yang disebut sebagai Self Regulation. Ini membuat pembicaraan tentang masuknya suatu instrumen hukum yang bertujuan memajukan hak asasi perempuan dan keadilan gender, harus dilakukan secara hati-hati. Arena sosial itu sendiri memiliki hakekat adanya kapasitas untuk menciptakan aturan-aturan sendiri beserta sanksinya. Dalam hal ini aturan aturan tersebut tidak hanya bersumber dari adat, agama dan kebiasaan kebiasaan lain, tetapi juga mendapatkan pengaruh dari perkembangan dunia global saat ini. Berbagai Self Regulation dalam arena-arena sosial tersebut sangatlah rumit, karena terjadinya saling pengaruh dan adopsi di antara berbagai aturan tersebut satu sama lain. Suatu aturan tidak pernah tidak setelah ditetapkan karena aturan tersebut akan terus dimodifikasi oleh masyarakat. Itu sebabnya arena sosial tersebut disebut sebagai Semi- Autonomous Social Field. Dalam Socio-Legal Perspectives, sangat disadari bahwa aturan-aturan yang hidup dalam masyarakat, sangat terkait erat dengan budayanya. Aturan-aturan yang ada dalam masyarakat yang “memberi celah (loop holes)” kepada terjadinya banyak kasus tentang kekerasan terhadap perempuan, secara khusus di dalam kehidupan rumah tangga, dikarenakan himpitan hukum negara dengan kentalnya budaya patriarkhi. Budaya hukum yang patriarkhis ini juga bersemai dalam institusi penegakan hukum sebagai bagian dari masyarakat. Hukum sangat erat kaitannya dengan budaya di mana hukum itu berada. Di sini Penulis ingin menyatakan bahwa hukum dan budaya bagaikan dua sisi dari satu keping mata uang yang sama, dalam arti hukum itu merumuskan substansi budaya yang dianut oleh suatu masyarakat. Bila budaya yang diakomodasi dalam rumusan-rumusan hukum itu adalah budaya patriarkhis, maka tidak mengherankan apabila hukum yang dimunculkan adalah hukum yang tidak memberi keadilan terhadap perempuan. Dalam hal ini, budaya menempatkan perempuan dan laki-laki dalam hubungan kekuasaan yang timpang dan hukum melegitimasinya. Sebagian Sarjana Hukum percaya, bahwa bila hukum sudah dibuat, maka berbagai persoalan dalam masyarakat berkenaan dengan apa yang diatur dalam hukum tersebut, sudah dapat diatasi atau bahkan dianggap selesai. Mereka sangat menjunjung tinggi nilai-nilai objektivitas dan netralitas dalam hukum, dengan mempercayai bahwa hukum yang objektif dan netral akan memberikan keadilan bagi setiap warga masyarakat. Dalam hal ini mereka mengartikan hukum sebatas Undang-undang yang dibuat oleh negara. Hukum negara merupakan entitas yang jelas batas-batasnya, berkedudukan superior dan terpisah dari hukum-hukum yang lain. Pendekatan Sosiologi Hukum menunjukkan bahwa hukum negara bukanlah satu-satunya acuan berperilaku dalam masyarakat. Dalam kenyataannya, “hukum-hukum” lain yang menjadi acuan berperilaku tersebut justru diikuti secara efektif oleh masyarakat, dikarenakan hukum itulah yang mereka kenal, hidup dalam wilayah sendiri, diwariskan secara turun-temurun dan mudah diikuti dalam praktik sehari-hari. Sukar untuk mereka bayangkan bahwa ada hukum lain yang lebih dapat diandalkan daripada hukum yang mereka miliki sendiri, terlebih bila hukum itu datang dari domain yang “asing”, yang mengklaim diri sebagai otoritas tertinggi yaitu negara. Frederich von Savigny tidak dapat menerima kebenaran anggapan tentang berlakunya hukum positif yang sekali dibentuk diberlakukan sepanjang waktu dan tempat. Menurut Savigny, masyarakat merupakan kesatuan organis yang memiliki kestuan keyakinan umum, yang disebutnya jiwa masyarakat atau jiwa bangsa atau volksgeist yaitu kesamaan pengertian dan keyakinan terhadap sesuatu. Maka menurut aliran ini, sumber hukum adalah jiwa masyarakat, dan isinya adalah aturan tentang kebiasaan hidup masyarakat. Hukum tidak dapat dibentuk melainkan tumbuh dan berkembang bersama dengan kehidupan masyarakat. Undang-undang dibentuk hanya untuk mengatur hubungan masyarakat atas kehendak masyarakat itu melalui negara. Bahwa dengan ditetapkannya berbagai perbuatan sebagai tindak pidana (dikategorikan sebagai delik aduan ) di dalam UU PKDRT, secara konseptual, delik aduan merupakan delik atau tindak pidana penuntutannya di pengadilan digantungkan pada adanya inisiatif dari pihak sikorban. Dalam hal suatu tindak pidana dikualifikasikan sebagai delik atau tindak pidana aduan, maka pihak korban atau keluarganyalah yang harus bersikap proaktif untuk mempertimbangkan apakah peristiwa yang baru dialaminya akan diadukan kepada pihak berwajib untuk dimintakan penyelesaian menurut ketentuan hukum pidana. Pengkualifikasian suatu perbuatan yang dilarang dan diancam pidana sebagai delik aduan, menunjukkan pendirian pembentuk undang-undang Indonesia bahwa kepentingan yang dilindungi oleh ketentuan ini lebih bersifat pribadi dari pada publik. Konsekuensi logis dari perumusan perbuatan kekerasan dalam rumah tangga sebagai delik aduan di dalam UU PKDRT ini ialah, pihak aparat penegak hukum hanya dapat bersifat pasif, dan tidak memiliki kewenangan untuk melakukan intervensi atau campur tangan dalam suatu urusan warga masyarakat yang secara yuridis dinyatakan sebagai masalah domestik, dan penegakan ketentuan di dalam undang undang ini lebih banyak bergantung pada kemandirian dari setiap orang yang menjadi sasaran perlindungan hukum undang-undang ini. Oleh karena itu, kembali kepada ide dasar penggunaan hukum pidana sebagai sarana terakhir dalam upaya penanggulangan kejahatan (ultimum remedium), maka keberadaan UU PKDRT harus lebih ditekankan pada upaya optimalisasi fungsi hukum administrasi negara dalam masyarakat. Upaya mengoptimalkan fungsi hukum administrasi negara, dalam kaitan ini yang dimaksudkan adalah upaya untuk mendidik moralitas seluruh lapisan warga masyarakat ke arah yang lebih positif berupa terwujudnya masyarakat yang bermoral anti kekerasan dalam rumah tangga. E. Kendala Filosofis dan Sosiologis Penerapan UU PKRDT Pandangan secara filofosis dipahami sebagai cara pandang yang mendalam radikal dalam melihat sesuatu. filsafat adalah hasil usaha manusia dengan kekuatan akal budinya untuk memahani secara radikal, integral dan universal tentang hakikat yang ada. (hakekat Tuhan, alam dan hakekat manusia), serta sikap manusia termasuk sebagai konsekwensinya dari pemahamannya tersebut. UU PKRDT sebagai hukum tertulis di Indonesia dihadapkan pada kenyataan bahwa masyarakat Indonesia memiliki cara pandang yang berbeda secara filosofis karena adanya budaya turun temurun tentang tata aturan hubungan laki-laki dan perempuan. Para ahli pikir dan ahli filsafat memberikan sebuten kepada manusia sesuai dengan kemampuan yang dapat dilakukan manusia di bumi ini: a.       Manusia adalah Homo Sapiens, artinya makhluk yang mempunyai budi. b.      Manusia adalah Animal Rational, artinya binatang yang berpikir. c.       Manusia adalah Homo Laquen, artinya makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran manusia dan perasaan dalam kata-kata yang tersusun. d.      Manusia adalah Homo Faber, artinya makhluk yang terampil. Dia pandai membuat perkakas atau disebut juga Toolmaking Animal yaitu binatang yang pandai membuat alat. e.       Manusia adalah Zoon Politicon, yaitu makhluk yang pandai bekerjasama, bergaul dengan orang lain dan mengorganisasi diri untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. f.       Manusia adalah Homo Economicus, artinya makhluk yang tunduk pada prinsip-prinsip ekonomi dan bersifat ekonomis. g.      Manusia adalah Homo Religious, yaitu makhluk yang beragama. Mohammad Noor Syam, “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”, (Surabaya: Usaha Nasional, 1988 cet.4), hal. 165 Perspektif manusia secara filosofis tersebut menegaskan tentang besarnya potensi manusia untuk mengembangkan kebudayaan termasuk dalam hal penegakan hukum. Sebagai produk budaya, hukum merupakan bagian dari masyarakat (ius ubi, ubi societas) yang berarti melibatkan manusia terutama tingkah lakunya dalam kehidupan sosial. Menurut Notonogoro, hakikat manusia itu monopluralis, yakni memiliki berbagai dimensi yang berbeda dalam dan menjadi satu pribadi yang merupakan kodrati manusia dan penciptanya. Notonegoro, 1996, Manusia dan Hukum, Yogjakarta: Universitas Gajah Mada. P. 16 Sebagai sub sistem dari suatu sistem masyarakat, hukum mencakup struktur, substansi dan kebudayaan. Penegakan hukum berkaitan erat dengan aspek-aspek kehidupan sosial di mana hukum menjalankan peran pelaksanaan hukum bervariasi menurut tempat, ruang, dan waktu. Penegakan hukum pada UU PKRDT juga dihadapkan pada persoalan pandangan filosofis masyarakat Indonesia yang terdapat pada nilai-nilai budaya lokal setempat. Sistem kekerabatan yang melahirkan budaya patriarki, ajaran agama yang “disalahafsirkan”, legenda dan mitologi yang kerap mendiskreditkan kaum perempuan. Nilai-nilai tersebut masih sangat erat dipegang oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Permasalahan yang muncul dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 adalah bahwa keengganan seorang istri yang menjadi korban kekerasan melaporkan kepada pihak yang berwajib, dalam hal ini polisi, karena beberapa akibat yang muncul dari laporan tersebut adalah perceraian, kehilangan nafkah hidup karena suami masuk penjara, masa depan anak-anak terancam dan lain-lain. Dengan kondisi seperti tersebut maka dilihat dari segi sosiologi hukum, peluang keberhasilan penegakan hukum UU PKDRT ini sangat sulit untuk mencapai keberhasilan maksimal. Merujuk pada teori sistem Friedman, sebagaimana disebutkan di bagian depan, faktor kesulitan penegakan hukum itu justru bersumber pada komponen substansi hukumnya sendiri, nilai nilai kultural yang terdapat di dalam masyarakat berkaitan dengan kehidupan rumah tangga itu. Dengan Perumusan tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga dengan segala kompleksitas permasalahannya sebagai tindak pidana aduan, menjadikan tindakan-tindakan yang mengarah pada upaya pemidanaan pelakunya justru akan mengarah pada timbulnya dampak-dampak kontra produktif terhadap tujuan dasar pembentukan UU PKDRT itu sendiri. Budaya Indonesia cenderung tumbuh dalam lingkungan yang menganut paham patriarkhi. Keyakinan itu didasari oleh adanya nilai superiotas laki-laki berada di atas derajat perempuan. Sementara konsepsi terhadap gerakan keterwakilan perempuan terkesan terjun bebas dan terpinggirkan. Pandangan akan superioritas laki-laki tersebut tertanam kuat di masyarakat, menjadi dasar berpikir dan bertindak setiap orang. Membentuk paham atau konstruksi sosial dengan relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Secara kultural gerakan politik terkesan mengeksploitasi perempuan dibandingkan memberdayakannya. Menempatkan perempuan hanya terlibat dalam urusan domestik semata, tidak dalam urusan publik. Hal tersebut terlihat dari akivitas keseharian masyarakat misalnya, di keluarga, seorang istri hanya mengikuti keputusan yang diambil oleh suaminya. Pada tatanan luas, perempuan sering tidak dilibatkan dalam pertemuan-pertemuan yang membicarakan konsep perencanaan strategis kebutuhan dan masa depan komunitas atau organisasinya. Perempuan tidak memiliki kebebasan untuk mengekspresikan kecerdasan pemikirannya guna mengabdi kepada masyarakatnya. Lebih dari itu, Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama. Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku. Satjipto Raharjo, Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas. dalam bukunya secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan. Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu. Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat. Kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama) . Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dan lain-lainnya Masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum. Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum. Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa. UU PKDRT sejatinya menghadapi problem yang sama dari segi penegakannya, terutama karena faktor sosiologis dan budaya yang menjadi padangan hidup sebagian masyarakat sehingga benar apa yang dirumuskan oleh Soerjono Soekanto pada bagian awal bahwa penegakan hukum di Indonesia dipengaruhi oleh lima faktor. Pertama, faktor hukum atau peraturan perundang-udangan. Kedua, faktor, aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, berhubungan dengan kesadaran dan kepatuhan hukum yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup. Hambatan filosofis dan sosiologis dalam penegakan UU PKDRT terdapat pada faktor keempat dan kelima di mana sebagian besar masyarakat Indonesia masih berpegang kuat norma-norma sosial dan nilai-nilai budaya loka yang “menomorduakan” kau perempuan dalam kehidupan rumah tangga. Negara sepatutnya kembali melihat pada kenyataan dalam masyarakat Indonesia yang sangat patriarkhis untuk selanjutnya dapat menilai dengan lebih bijak mengenai langkah lain yang patut diambil untuk dapat membuat keberlakuan UU PKDRT menjadi efektif di dalam prakteknya dan pada akhirnya dapat berujung pada tujuan pengundangan UU PKDRT, yaitu menghapuskan atau setidaknya meminimalisir kasus-kasus KDRT terhadap perempuan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia. F. Penutup Dilihat dari segi sosiologi hukum, penegakan hukum UU PKDRT akan sulit ditegakkan karena terdapat banyak kendala dalam pelaksanaannya, terutama faktor budaya masyarakat Indonesia yang secara filosofis berpegang teguh pada budaya patriakhi yakni mendudukan laki-laki sebagai makhluk superior/kuat dan perempuan sebagai makhluk inferior/lemah. DAFTAR PUSTAKA Anthony Sinnott. 1993. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat, Yogjakarta: Jalansutra. Bernard L. Tanya dkk.2010, Teori Hukum, Strategi Manusia Lintas Ruang dan Waktu, Yogjakarta: Genta Publishing. Esmi Warassih. 1998. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang, Suryandaru utama. Fakih, Mansour. 1998. Diskriminasi dan Beban Kerja Perempuan: Perspektif Gender, Yogyakarta: Cidesindo. Hartono, C.F.G. Sunaryati. 1991. Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional , Bandung: Alumni. Kandiyoti. Deniz (editor), 2001, Gendering the Middle East: Emerging Perspective, New York: Syracuse Press. L.J. Apeldoorn dalam bukunya Inleiding tot de studie van het Nederlanse Recht, 1983, Wej Tjeenk Willink-Zowle. Lawrence M. Friedmen, 2011, Sistem Hukum Perspektif Ilmu Sosial, terjemahan M. Khozin, Bandung: Penerbit Nusa Media. Mohammad Noor Syam. 1998. “Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila”. Surabaya: Usaha Nasional. Mukthie Fadjar. 2008. Teori-teori Hukum Kontemporer, Malang: In-Trans Publishing. Nani Soewondo, 1984; Kedudukan Wanita Indonesia Dalam Hukum Dan Masyarakat, Ghalia Indonesia, Jakarta. Notonegoro, 1996, Manusia dan Hukum, Yogjakarta: Universitas Gajah Mada. Nasaruddin Umar. 2001. “Kajian Kritis terhadap Ayat-ayat Gender (Pendekatan Hermeneutik)”, dalam Ruhaini Dzuhayatin, dkk. Rekonstruksi Metodologis Wacana Kesetaraan Gender. Yogyakarta: PSW-IAIN Suka, McGill-ICIHEP, Pustaka Pelajar. --------- 2001,. Argumen Kesetaraan Jender: Perspektif Alqur’an, Jakarta: Paramadina, Otje Salman. dan Anton F. Susanto. 2002. Beberapa Asoek Sosiologi Hukum, Bandung, Alumni. --------.2010. Teori Hukum, mengingat, mengumpulkan, dan membuka kembali. Bandung: Refika Aditama. Satjipto Rahardho, 2002, Sosiologi Hukum Perkembangan Metode dan Masalah, Yogjakarta: Genta Publishing. ---------. 2003, Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Penerbit Kompas. Soerjono Soekanto, 1982. Mengenal Antropologi Hukum. Jakarta: CV. Rajawali.1983, --------.Faktor-Faktor Yang mempengaruhi Penegakan hukum, Cet. I, Jakarta: CV. Rajawali. Smith. Jane I.,2002, “Islam”, dalam Arvind Sharma (ed.), Perempuan dalam Agama-agama Dunia, terj. Syafa’atun al-Mirzanah, dkk., Jakarta: Ditperta Depag. RI, CIDA, McGill-Project. Sri Widoyatiwiratmo Soekito, 1989; Anak Dan Wanita Dalam Hukum, LP3ES , Jakarta. PAGE \* MERGEFORMAT 1