BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Masyarakat Aceh merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa
suku besar yang telah mendiami wilayah dari Sabang hingga Aceh Tamiang, Aceh
pada dahulunya merupakan suatu kerajaan Islam yang besar yang yang mencapai
puncak keemasan dipimpin oleh Iskandar Muda sampai bisa menaklukan wilayah
sampai Pahang Malaysia, kemunduran Aceh yang diawali dengan masuknya
kolonial Belanda dan dengan adanya perjanjian traktat Sumatera yang didalamnya
berisi perjanjian diantara Inggris dan Belanda yaitu perjanjian pertukaran kekuasan
yang ditanda tangani pada tahun 1871,1 membuat daftar panjang perlawanan rakyat
Aceh dalam mengembalikan kemerdekaannya.
Dalam mempertahankan hak kemerdekaanya, rakyat Aceh sangat terkenal
gigih, hal ini dibuktikan dengan selalu ada gejolak perlawanan dan peperangan dari
kalangan tua dan muda untuk melawan penjajahan dibumi Seuramoe Mekkah,
nama-nama pahlawan bangsa Aceh dicatat dengan tinta emas dalam buku sejarah
Indonesia seperti mana-nama berikut ini Cut Nyak Dien Bin Banta Setia, Teungku
Umar, Cut Meutia, Teungku Muhammad Saman (Teungku Chik Ditiro), dan
Teungku Panglima Polem, setelah mereka meninggal ada regenerasi setelahnya
dengan semangat untuk berperang melawan penjajahan, seperti Teungku
Muhammad Daod Beureueh, Syehk Muhammad Muda Wali dari Aceh Selatan, dan
Teungku Nyak Markam yang merupakan salah seorang penyumbangkan emas yang
ada di puncak Monas (monumen nasional), hal inilah yang menciptakan wilayah
Aceh satu-satunya wilayah yang tidak dapat dijajah/ditaklukkan oleh Kolianalisme
Barat hingga Aceh di juluki sebagai daerah modal oleh Presiden yang pertama
Indonesia.2
1
H. M. Thamrin Z dan Edy Mulia, Perang Kemerdekaan Aceh, (Banda Aceh: Badan
Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darusaalam, 2007), hal 12.
2
Syamsuddin Haris, Indonesia Diambang Perpecahan? Khasus Aceh, Riau, Irian Jaya, Dan
Timor Timur, (Jakarta: Pt. Gelora Aksara Pratama, Erlangga, 1999), hal. 33.
1
Babak baru dimulai setelah Indonesia merdeka dan melepaskan cengkraman
kolinialisme, dalam perjalanan kemerdekaanya munculah beberapa perlawananperlawanan bersifat kedaerahan, yang berkeinginan untuk memisahkan diri dari
Negara Kesatuan Indonesia yang disebabkan oleh karena adanya pengambilan
keputusan yang tidak berimbang diantara kebijakan pusat dan daerah, misalnya
pemberian hak status pemberlakuan syariat Islam di Aceh dan juga ketidak setujuan
wilayah Aceh digabungkan menjadi satu wilayah dibawah keresidenan Sumatera
Utara atau Medan, Timor-Timur dan papua yang juga ingin memisahkan diri NKRI.
Pada akhir tahun 1949 pemerintahan Keresidenan Aceh dipisahkan dari
Propinsi Sumatera Utara dan statusnya ditingkatkan sebagai Propinsi Aceh.
Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer
yang memegang kekuasaan di daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat
menjadi Gubernur Propinsi Aceh. Beberapa ketika kemudian, berdasarkan
Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 Propinsi
Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan.
Hal tersebut sebagai keliru satu hal yang menjadig sebagai pemicu protes
berdasarkan Aceh yg dipimpin sang Teungku Muhammad Daod Beureueh dalam
tahun 1952. Tujuan berdasarkan pemberontakan yaitu pemisahan diri dari Negara
Kesatuan Indonesia (NKRI) dan ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII),
yang di pelopori oleh Kartosoewirjo pada Jawa Barat.
Ada perbedaan yang sangat mendasar apa yang dicita-citakan Kartosoewirjo
yang berada di Tanah Sunda (Jawa Barat), Teungku Muhammad Daud Beureueh
mengiginkan Aceh di berlakukannya syariat secara menyeluruh bagi warga Aceh
tetapi masih dalam ikatan Indonesia sedangkan Kartosoewirjo murni ingin
memisahkan diri dari Indonesia,3 pemberontakan DI/TII di Aceh bisa diredam
setelah proses negosiasi yang panjang4.
3
A. Windy Dkk, 100 Tokoh Yang i Mengubah Indonesia, Biografi Singkat Seratus Tokoh
Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Narasi,
2005), hal 64.
4
Arsip dari Dinas Sejarah Tni Bandung dalam bentuk salinan foto copy dengan judul SebabSebab Tgk. Daud Beurueh Memberontak Terhadap Pemerintahan R.I.
2
Jadi pemberontakan yang dilakukan oleh Teungku Muhammad Daud
Beureueh pada tahun 1953, atas dasar rasa kekecewaan masyarakat Aceh terhadap
pemerintah pusat karena tidak dapat memenuhi janji yang telah dijanjikan Presiden
Soekarno terhadap kebijakan untuk Provinsi Aceh bisa menetapkan berlakunya
hukum Syariat Islam di Aceh serta rasa kecewa bahwa Aceh digabungkan Kembali
dibawah pemerintahan Sumatera Utara.
Kekecewaan ini muncul kembali dalam suatu bentuk pemberontakan Gerakan
Aceh Merdeka. Gerakan ini diproklamasikan pada tanggal 4 Desember 1976 oleh
Teungku Muhammad Hasan di Tiro, gerakan ini sedikit berbeda dengan Gerakan
sebelumnya yang dipimpin Teungku Daud Beureueh, Teungku Hasan di Tiro lebih
menempatkan pemberontakan dalam bentuk Nasionalisme dan Patriotisme Aceh
dalam melawan pemerintahan pusat yang ada di Jakarta tidak dipungkiri nafasnafas untuk memperjuangkan Syariat Islam tetap ada, perjuangan (politik dan
budaya) untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia yang dilakukan secara
bergenerasi kenegerasi.5
Pada pemerintahan Presiden Soeharto, Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
dipandang sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL), Sikap politik yang diambil oleh
Presiden Soeharto dan TNI dinilai cukup keras terhadap perlawanan gerakan ini
sehingga dirasionalisasi dengan semboyan “NKRI Harga Mati” sehingga segala
bentuk dari ideologi lain yang berkembang di Indonesia dilarang selain ideologi
selain Pancasila, sehingga GAM dan organisasi terlarang yang lainnya, seperti PKI,
harus dipadamkam,6 karena itu tidak ada referensi pada masa pemerintah Presiden
Soeharto untuk melakukan upaya integrasi diplomasi politik bagi kelompok ini
yang kemudian menempuh pendekatan militeristik. Pada masa ini ketenganan
semakin meruncing setelah Presiden Soeharto memberlakukan status DOM
(Daerah Operasi Militer) yang diawali dengan pemberlakuan Operasi Jaring Merah
5
Indra Jaya Pilingan, Burak Singga Kontra Garuda Pengaruh Sistem Lambang Separatisme
Gam Terhadap Ri, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hal 73.
6
Djumala, Soft Power Untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. (Jakarta: Pt
Gramedia Pustaka Utama, 2013) hal 37.
3
diwilayah Aceh sejak Tahun 1989 hingga 19987 yang membuat banyaknya pihak
baik kalangan GAM dan TNI bahkan rakyat sipil yang meninggal dunia.
Kekecewaan yang timbul pada tahun 1970an dimana kebijakan dan
sentralisme pada masa Presiden Soeharto tidak dapat memenuhi harapan
masyarakat Aceh, selanjutnya kekecewaan rakyat Aceh diperkuat dengan
ditemukannya sumber cadangan minyak di PT. Arun Lhoksemawe yang merupakan
cadangan minyak paling besar pada tahun 1971, semenjak penemuan gas alam
namun belum bisa mensejaterahkan masyarakat sekitar.8
Konflik ini juga berdampak kepada etnis pendatang khususnya etnis suku
Jawa yang bertranmigrasi ke Aceh pada tahun 1990an yang akhirnya banyak
transmigrasi yang memilih pulang kampung walaupun diantara mereka ada juga
yang mencoba bertahan di Aceh. Hal ini terjadi karena beberapa oknum GAM
(Gerakan Aceh Merdeka) menganggap bahwa transmigrasi (masyarakat
Jawa/pendatang) adalah anak emasnya Tin Soeharto,9 akan tetapi ada beberapa
kasus yang terjadi di Aceh malah etnis pendatang juga dilindungi oleh gerakan ini,10
karena mereka menggangap bahwa Aceh bukan berperangan melawan etnis
pendatang akan tetapi murni atas dasar keinginan kemerdekaan Aceh, Tueng
Bala,11 dan Patriostisme Aceh.
Setelah Presiden Soeharto jatuh pada tahun 1998 pendekatan politik yang
diambil lebih halus dengan mengambil pandangan bahwa Aceh adalah saudara
kandung dan tidak dianggap lagi sebagai musuh negara, sehingga segala bentuk
Operasi Jaring Merah atau DOM ditarik dan dihentikan di Aceh.
7
Aceh Kita.Com, Hari Ini, Status Dom Aceh Dicabut Https://Acehkita.Com/Hari-Ini-StatusDom-Aceh-Dicabut/ Diakses Pada Tangal 12/06/2020.
8
Muhammad Madya Akbar, Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan, (Jakarta:
Lentera Demokrasi bekerjasama dengan Jyesta Publishing, 2009), hal. 47.
9
Dokumen Anri (Tromopob) bertanggal 29 Juni 1990 yang dikirmkan oleh bapak Budianto
kepada Bapak Wakil Presiden RI di Jakarta dalam surat ini berisi laporan kejadian daerah
ex.transmigrasi Bukit Hagu Kec. Lhokseukon Kab. Aceh Utara, Daerah Istemewa Aceh.
10
Pengamatan penulis terhadap salah seorang transmingrasi yang bernama Sanen.
11
Tueng Bala merupakan bahasa Aceh yang mempunyai arti berarti menuntut balas atas
kematian orang tua/ menuntut balasan terhadap sesuatu, hal ini dilakukan disebabkan oleh pihakpihat yang merasa tidak mendapatkan keadilan atau dilandasi dari rasa dendam dan kecewa terhadap
sesorang, dan hal ini dilakukan supaya maksud dan tujuan tercapai.
4
Konflik yang terjadi antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat
memang sudah berlangsung sejak awal terbentuknya Indonesia, dalam hal ini
pemerintah pusat telah mengupayakan berbagai cara untuk mencari solusi dalam
menyelesaikan konflik, baik dengan cara militer maupun dengan cara berunding
atau diplomasi. Dalam perkembangannya, terutama sejak 1970an hingga 1990an,
wilayah Aceh terus mengalami pergolakan dengan berbagai permasalah yang
dihadapi oleh keduanya.12
Setelah itu pada masa Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur, Megawati
Soekarnoputri hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf
Kalla, Gejolak perlawanan yang terjadi sehingga terjadinya Tsunami Aceh 2004
dan pendatanganan kesepakatan damai Mou Helsinki pada tahun 2005 yang
diwakili oleh kedua belah pihak yang bertikai yaitu yang pertama mengirim
delegasi Indonesia pada perundingan tersebut terdiri dari Farid Husain, Hamid
Awaluddin, Usman Basyah, Sofyan Djalil, dan I Gusti Wesaka Pudja.
Sedangkan tim perunding GAM terdiri dari Malik Mahmud, Zaini Abdullah,
Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bachtiar Abdullah. Dengan fasilitator
perundingan adalah Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, sebagai Ketua
Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative (CMI), dibantu oleh Juha
Christensen.13 Didalamnya bertujuan untuk mendamaikan Aceh dan Indonesia,
sehingga penelitian ini sangat penting untuk dikaji karena belum banyak orang mau
meneliti tentang resolusi konflik padahal dengan mengaji konflik kita bisa
membaca dan belajar supaya konflik yang terjadi harus diselesaikan dengan
menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia.
Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan mendeskripsikan perjalanan konflik
Aceh dan Indonesia sehingga tercapainya perdamaiaan yang hakiki di Aceh dengan
judul
“KONFLIK
DI
ACEH
DAN
LANGKAH-LANGKAH
PENYELESAIANNYA (1976-2005).
12
Eka Auliana Pratiwi, Campur Tangan Asing Di Indonesia: Crisis Management Initiative
Dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005-2012) (Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah, Vol.
Ii No. 2 April 2019), hal 83.
13
Edward Aspinall, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis Forpeace in Aceh,
(Washington Policy Studies 20 East-West Center 2005), hal 22.
5
B. Rumusan Masalah
Sejalan dengan uraian diatas yang telah di kemukakan dalam latar belakang
masalah, maka terlihatlah masalah bagaimana Aceh ingin memisahkan diri dari
Indonesia, disisi lain muncullah masalah baru dan beragam cara dilakukan oleh
pemerintahan pusat untuk meredam pemberontakan dengan mencari jalan
penyelesaiannya.
Fokus kajian ini akan dibatasi pembahasannya dengan rentang waktu dari
tahun 1976 sampai 2005 adapun pembatasan tahun tersebut dikarenakan pada tahun
1976 adalah pertamanya deklarasi Aceh merdeka yang di prakasai oleh Teungku
Muhammad Hasan di Tiro. Sementara tahun 2005 adalah tahun dimana MoU
Helsinki disepakati bersama di Finlandia, maka dari batasan tahun tersebut, peneliti
ingin mencermati dan melihat lebih lanjut, sejauh mana penyelesaian konflik yang
dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Aceh. Adapun yang menjadi
rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Bagaimanakah sebab-sebab terjadi konflik di Aceh?
2. Bagaimanakah kronologi konflik yang terjadi di Aceh?
3. Bagaimanakah solusi yang dilakukan kedua belahipihak?
C. Tujuan Penelitian
1. Tujuan umum
Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui
sejauh mana konflik yang terjadi antara pemerintahan Indonesia dan GAM serta
proses penyelesaian yang dilakukan keduanya secara damai pada MOU Helsinki.
2. Tujuan khusus
Tujuan khusus penelitian ini adalah (a) Mengetahui sebab-sebab yang
mendorong pecahnya konflik di Aceh, (b) Untuk mengetahui apa yang menjadi
kronologis terjadinya konflik Aceh, (c) Mengetahui dan menganalisis sosusi yang
di lakukan kedua belah pihak.
6
D. Manfaat Penelitian.
1. Manfaat teoritis
Hasil yang diinginkan oleh penulis dari kajian tesis yang berjudul:
“KONFLIK DI ACEH DAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIANNYA
(1976-2005)” adalah untuk memberikan informasi sejarah yang terjadi di masa lalu
yang direkonstruksi dalam sebagai kisah nyata yang terjadi di masyarakat Aceh,
sehingga masyarakat Aceh mengetahui akan sejarahnya. Dalam hal ini penulis
memiliki harapan yang besar guna bermanfaat bagi segenap pembaca, dan
membuka jalan baru bagi sejarawan muda untuk menulis sejarah Aceh. Manfaat
yang pertama yang diperoleh oleh pembaca adalah bertambahnya informasi dan
khazanah keilmuan serta penelitian ini juga diharapkan untuk kita belajar dari masa
dahulu, dan mampu untuk melihat lebih objektif dari sudut pandang yang berbeda,14
sehingga sejarawan-sejarawan muda bisa belajar dari masa dahulu apa yang telah
terjadi di Indonesia, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi
besar terhadap ilmu pengetahuan lainnya yaitu dalam bidang resolusi konflik.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan bisa menjadi mamfaat bagi segenap kalangan,
masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat di Aceh, dan kegunaan lainnya dari
penelitian ini adalah untuk merekonstuksi kembali apa yang telah terjadi di wilayah
Aceh pada tahun 1990an dan memberi rangsangan bagi generasi muda untuk
melihat konflik secara positif, yang menjadi pola gerak sosial masyarakat,
terkhususnya masyarakat Aceh dan umumnya masyarakat Indonesia, dan bagi
pemerintah, penelitian ini diharapkan agar dapat dijadikan suatu rujukan dalam
kajian resolusi konflik dan sudah semestinya mengambil pelajaran (ibroh)15 dari
konflik yang terjadi.
14
Walaupun mengunakan fakta bahwa sejarah yang sama (pohon-pohon yang sama namun
dengan banyak pohon dalam satu hutan) namun tema yang akan di pilih tentu dapat berbeda
informasi yang di sajikan pun bisa berbeda sehingga mempunyai alur cerita tersendiri.
15
H. M. Thamrin Z. dan Edy Mulia, Perang Kemerdekaan ..., hal. 10.
7
E. Kerangka Pemikiran.
Untuk menerangkan permasalahan secara jelas dan terarah penelitian ini
menggunakan teori yang bisa mendukung proses penelitian yaitu teori Konflik.
Teori ini dinilai sangat relevan apa yang yang terjadi dalam konflik yang bersifat
kedaerahan yang terjadi karena bentuk ketidakpuasan dari apa yang menjadi
keputusan pemerintahan pusat sehingga terjadinya perpecahan dan keretakan
diantara keduanya, Konflik adalah perselisihan, percekcokan, dan pertentangan.
Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan/perselisahan antara anggota atau
masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupannya. Konflik disebut juga
sebagai proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa
memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.16
Secara teori, konflik diartikan sebagai suatu hubungan yang ada diantara dua
pihak atau lebih yang memiliki sasaran tujuan yang berbeda atau pemikiran yang
tidak sejalan. Dalam sudut pandang ilmu sosiologi, konflik dibagi menjadi dua yaitu
konflik terbuka dan konflik tertutup (latent).17
Kata “konflik” berasalidari bahasa Inggrisi“conflict, dan dalam bahasa
latinnya “configere” yang berartii benturan. Dalam kamus TheiCollins Concice
disebutkan bahwa arti dari konflik adalah “a struggle between opposing force,
opposition betwean ideas and interst” yang artinya (perjuangan antara kekuatan
lawan, pertentangan antara ide dan kepentingan)18 kemudian, The Macqure
Dictionary memberikan pengertian konflik sebagai “to come into collision, dash,
or be in opposition or at variance (bentrokan atau bertentangan ataupun berbeda).19
Sedangkan menurut pengertian dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang
di susun Poerwadarminta, definisi konflik adalah pertentangan atau disebut
percecokan, pertentangan itu sendiri baik muncul dalam bentuk hal pertentangan
ide maupun fisik diantara kedua belah pihak yang berseberangan.
16
Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1993), hal 99.
Chris Mittchel (1981) Seperti Dikutip Simon Fisher Dkk. Mengelola Konflik: Ketrampilan
& Strategi Untuk Bertindak. Edisi Terjemahan. (Indonesia.: The British Council. 2001), hal. 4.
18
M. Tafsir, Resolusi Konflik, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, Cet. Ke I, 2015), hal. 5.
19
Lihat Oxford Dictionary, hal 241.
17
8
Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah
suatu keadaan dari adanya pertentangan baik nilai, fisik maupun pikiran, yang
sehingga membuat adanya gesekan tertentu yang terjadi baik secara individu
ataupun kelompok. Konflik merupakan hal lumrah terjadi karena setiap manusia
akan ada timbul gejala konflik minimal pada dirinya sendiri.
Konflik umumnya terjadi karena disebabkan karena adanya disparitas,
disparitas sendiri merupakan suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari realitas
kehidupan manusia, perbedaan bisa saja menjadi potensi dan bisa menjadi
persoalan selanjutnya jika kemudianiberkembang menjadi bentuk penyelesaian
dengan cara-cara kekerasan.
Dalam pandangan Simmel sendiri melihat bahwa pertikaian merupakan
gejala yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat sehingga
menurutnya konflik tunduk akan perubahan sehingga dalam masyarakat dimana ada
gejala-gejala konflik pasti dengan sendirinya akan ada perubahan tertentu.20
Dalam pandangan Lewis A. Coser mengemukakan teori konflik dengan
membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang yang
saling berkaitan, menurutnya fungsionalitas konflik dan kondisi-kondisi yang
mempengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial adalah
sebagai berikut:
1. Permusuhan dengan kelompok sosial yang intim, bila konflik berkembang
dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antar konflik
realistis dan tidak realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat
suatu hubungan, maka semakin besar rasa kasih sayang yang tertanamkan
semakin besar juga kecenderungan untuk memperkecil rasa permusuhan.
2. Fungsionalitas konflik, Coser berpendapat bahwa yang penting dalam
menentukan apakah suatu itu konflik fungsional atau tidak ialah tipe isu yang
merupakan subjek konflik itu. Konflik fungsional positif bila mana tidak
mempertanyakan dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang
suatu nilai inti.
20
Zulkifli Razak, M. P, Perkembangan Teori Sosial (Menyongsong Era Posymoderinisme )
(Makasar: Sah Media, 2017), hal 92.
9
3. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi konflik dengan kelompok luar dan
struktur kelompok menurut Coser, konflik dengan kelompok luar akan
membantu memantapkan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan
kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi didalam kelompok,
Menurut Coser sendiri konflik sendiri di bagi menjadi 2 yaitu:
a. konflik realistis, yaitu bermula dari kekecawaan terhadapituntutan khusus
yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraani kemungkinan
keuntungan para partisipasinya yang ditunjukkan terhadap objek yang di
anggap mengecewakan.
b. Konflik non ralistis, yaitu konflik yang terjadi bukan berasal dari tujuantujuan dari pihak antagonis, tetapi kebutuhan untuk meredakan
ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak.
Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang itu bisa terlibat
didalam konflik realistis tampa ada sikap permusuhan atau pun agensi tertentu.21
Konflik juga dapat bernilai positif, jika konflik bisa dikelola secara arif dan
bijaksana, disini konflik bisa mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif
bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan, sehingga
konflik bisa dikonotasikan sebagai sumber perubahan.22
Neil. J. Smelser menjelaskan bahwa suatu perilaku ikolektif dapat timbul
melalui dua syarat yaitu ketenganan struktural (stuctural strain)23 dan keyakinan
yang tersebar (generalaizer belief). Dengan adanya ketegangan diantara pusat dan
daerah Aceh sehinggai menghasilkan konflik yang berkepanjangan. Neil juga
mengungkapkan bahwa teori konflikidengan membuat asumsi sebagai berikut: a)
yang paling utama pada masyarakat yang akan datang adalah adanya perubahan,
konflik dan kekerasan, b) struktur masyarakat didasarkan pada dominasi oleh
beberapa kelompok terhadap kelompok yang lain, c) masing-masing kelompok
dalam masyarakat memiliki kecenderungan perhatian umum, sehingga mereka
Lewis Coser, The Function of SocialiConflict (New York: Free Press 1956), hal 32-70.
Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisisi Latar Belakang Konflik
Keagamaan Aktual, (Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014), hal. 6.
23
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Jogjakarta: Pt. Bentang Pustaka), hal. 117.
21
22
10
membentuk kelas sosial, dan d) intensitas konflik tergantung pada adanya kepastian
politik dan kondisiisosialnya.24
Ada perbedaan pemikiran diantara Coser dani Simmel, Coser beliau tidak
terlalu banyak menaruh perhatian pada hubungan timbal balik yang komplek dan
tidak sentara antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi selainnya, tetapi lebih
menyoroti pada konsekuensi yang timbul dalam sistem sosial yang lebih besar
dimana konflik itu terjadi.25
Konflik padai dasarnya merupakan suatu pertemuan antara dua hal berbeda
dan berseberangan, yang dapat menghasilkan sesuatu hal yang positif atau negatif.
Konflik belum tentu merupakan suatu masalah. Apabila konflik itu menghasilkan
sesuatu yang negatif, maka inilah yang sering disebut masalah.26 Menurut Soetrisno
terdapat dua jenis konflik, yaitu yang pertama konflik yang bersifat destruktif dan
konflik yang fungsional. Dan yang Kedua konflik tersebut memiliki latar belakang
kemunculan dan akibat yang berbeda. Konflik destruktif muncul karena adanya rasa
benci antara satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lain, yang disebabkan
oleh berbagai aspek, Konflik fungsional muncul karena adanya perbedaan
pandangan antara dua orang/kelompok atau lebih tentang suatu masalah yang
mereka hadapi.27 Hal ini hampir senada yang terjadi di Aceh tidak selarasan yang
muncul dan banyaknya perbedaaan pendapat yang terjadi dengan pemerintahan
pusat dalam pengambilan kebijakan, sehingga sebagian masyarakat Aceh sulit
untuk mempercayai pemerintahan pusat akibat konflik yang berkepanjangan di
Aceh.
Seperti yang di kemukakan Wijono, konflik itu tersendiri memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
24
Sunyoto Usman Dan Lambang Trijon, Konflik Dalam Transportasi Kota di Kota Malang,
(Yogyakarta: Fisipol UGM, 2001), hal. 41.
25
I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada
Media Group, 2013), hal. 82.
26
Thamrin Amal Tomagola, Dkk, Mengelola Konflik Buku Saku Bagi Staff Bp Proyek
Tangguh, Bintuni-Papua, Indonesia (Draft). (Jakarta: Center for Research On Inter-Group Relations
And Conflict Resolution Ceric Fisip UI, 2003), hal 11-15.
27
Irfanuddin W. Marzuki Amerta, Konflik Dan Penyelesaian Dalam Penelitian Arkeologi Di
Wilayah Kerja Balai Arkeologi Manado (Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi Vol. 33
No. 2, Desember 2015), hal 26.
11
1. Setidaknya ada dua belah pihak secara perseorangan maupun kelompok
yang terlihat dalam suati interaksi dan saling bertentangan.
2.
Paling tidaknya muncul pertentangan antara dua pihak secara
perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, melainkan
memainkan peran dan ambisius atau adanya nilai-niai atau normanya
yang saling berlawanan.
3.
Munculnyai interaksi yang seringkali terjadi ditandai dengan gejalagejala
perilaku
yang
direncanakan
untuk
saling
meniadakan,
mengurangi, dan menekan pihak lainnya agar dapat memperoleh
keuntungan seperti; status, jabatan, tangung jawab, pemenuhan berbagai
macam kebutuhan fisik seperti: sandang, pangan, materi dan
kesejahteraan, atau tunjangan tertentu seperti mobil, bonus, rumah, atau
yang lainnya seperti rasa nyaman, aman, kepercayaan diri, dan lainlainnya.
4.
Munculnya tindakan yang saling berhadap hadapan sebagai akibat
pertentangani yang berlarut-larut.
5.
Munculnya tidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak
terkait
dengan
kedudukan
status
sosial,
pangakat,
golongan,
kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan sebagainya.28
Setiadi dan Kolip mengemukakan pendapat para sosiolog terkait proses
terjadinya konflik, sebagai berikut:
Bahwa akar dari timbulnya konflik karena adanya hubungan sosial, ekonomi,
politik, yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status
sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan
pembagian yang tidak merata di masyarakat.29
Sedangkan menurut Capobianco, Davis dan Kraus, dinamika konflik terjadi
dikarenakan ada instrumental penilaian 3600 derajat atas perilaku suatu individu
28
Wijono, Konflik Dalam Organisasi, (Semarang: Satya Wacana,1993), hal 37.
Setiadi, Elly M. Kolip, Usman, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta Dan Gejala
Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup,
2011), hal 361.
29
12
dan suatu kelompok sehingga dimana setiap situasinya memiliki suatu kepentingan,
tujuan, prinsip atau perasaan yang tidak sesuai terhadap kelompok yang lainnya.30
Dalam kamus Bahasa Indonesia negosiasi diartikan sebagai proses tawarmenawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai
suatu kesepakatan bersama.31
Selain mediasi dan dialoq negosiasi juga merupakan dalah satu manajemen
dalam konflik. Akan tetapi Negosiasi akan lebih menekankan adanya pertukaran
usulan yang ditujukan untuk mengurangi perbedaan akibat adanya tidak sesuaian
tujuan dan kepentingan antara para anggota dengan cara ini mereka menciptakan
sebuah kesepakatan. Umumnya, negosiasi dapat kita jumpai dalam berbagai bidang
kehidupan seperti dalam proses transaksi antara penjual dan pembeli, perjanjian
bisnis, interaksi antara pihak manajemen dan buruh dalam sebuah perusahaan,
hubungan pernikahan, situasi penyanderaan, kerusakan lingkungan, dan lain-lain.
Hal itu juga yang terjadi pada kasus konflik Aceh dan Indonesia dengan
dialoglah yang harus diutamakan oleh ke dua belah pihak yang bertikai hal ini
senada dengan yang di katakan Malik Mahmud,32 pemerintahan Indonesia dan
Aceh harus ada tawar menawar dalam menyelesaikan konflik hal ini biasa ditiru
oleh Thailand Selatan.
F. Tinjauan Pustaka
Kajian Pustaka ini dilakukan untuk menghindari terjadinya duplikasi atas
karya orang lain yang telah ada. Rencana penelitian yang berjudul konflik di Aceh
dan langkah-langkah penyelesaiannya (1976-2005). Penelitian ini tidak sematamata dibuat begitu saja tanpa melihat karya-karya orang lain sebagai pembanding,
dan peneliti telah melakukan penelusuran dan mengali informasi seputar masalah
yang akan diteliti dari data yang telah ada untuk kemudian dikembangkan.
30
Jossey Bass, Becoming A Conflict Competent Leader,(United States Of America: Center
For Creative Leadership, 2007), hal 4.
31
Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 100.
32
Serambinews.Com Wali Nanggroe Cerita Penyelesaian Konflik Aceh Di Depan Panglima
Ad Thailand Dan Kasad, Https://Aceh.Tribunnews.Com/2020/01/14/Wali-Nanggroe-CeritaPenyelesaian-Konflik-Aceh-Di-Depan-Panglima-Ad-Thailand-Dan-Kasad?Page= Di Akses Pada
Tanggal 11/06/2020.
13
Peneliti pun menemukan beberapa karya yang memiliki tema sama dengan
yang akan peneliti kaji, di antaranya sebagai berikut:
1. Dalam Buku Sejarah Dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka Solusi Harapan
dan Impian karya Neta S Pane yang di terbitkan oleh Grasindo pada tahun
2002, buku ini menjelaskan bagaimana Gerakan Aceh Merdeka itu terbentuk
dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap Gerakan Aceh Merdeka,
akan tetapi di dalam buku ini tidak menjelaskan bagaimana pandangan TNI
terhadap GAM itu sendiri.
2. Dalam Buku Buraq – Singa Kontra Garuda karya Indra Jaya Piliang, yang
diterbitkan olehi Penerbit Ombak, menurutnya bahwa kontra yang terjadi
antara Aceh dan RI itu sangatlah beragam, dari masalah bendera, ideologi
bahkan sampai lambang dari Aceh. Gerakan Aceh Merdeka adalah
perjuangan (politik dan budaya untuk melepaskan Aceh dari Indonesia dan
dilakukan secara generasi kegenerasi, dan dibuku ini menjelaskan
mengambarkan bagaimana GAM terbentuk di Indonesia dan secara explisit
menyebutkan gerakan ini mendapat perhatian secara luas dari dunia Nasional
dan Internasional dan kelompok ini sudah berdiri hampir 3 (tiga) dekade dari
tanggal 1976 sampai berdamainya RI dan GAM padai tanggal 15 Agustus
2005. Sehingga saya biasa mengkomparasikan apa yang menjadi dampak
besar bagi dunia Internasional sehingga apa solusi yang diberikan oleh dunia
luar untuk Aceh dan Indonesia
3. Buku yang berjudul, Kalla dan Perdamaian Aceh. Buku ini ditulis bersama
Oleh Fachry Aly, Suharso Moniarfa dan Bahtiar Effendy dan diterbitkan oleh
LSPEU Indonesia pada tahun 2008, buku ini merupakan hasil kajian dari
LSPEU terhadap perundingan yang terjadiidalam perjanjian damai di
Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM yang berlangsung semenjak
Januari hingga Juni 2005 sampai mencapai kesepakatan bersama pada tanggal
15 Agustus 2005, dalam buku ini membahas tentang bagaimana keterlibatan
Jusuf Kalla dalam pencapaian kesepakatan damai Aceh.
4. Dalam buku yang berjudul, Resolusi Konflik Dalam Islam: Kajian Normatif
dan Historis Perspektif Ulama Dayah, buku ini ditulis oleh Teungku Haji
14
Ibrahim Bardan atau yang lebih disapa dengan nama Abu Panton, buku ini di
terbitkan oleh Aceh Institute Press, tahun 2008. Dalam buku ini menjelaskan
bagaimana pandangan seorang Abu Panton terhadap pencapaian damai yang
di fasilitasi oleh HDC dan CMI terhadap pemerintahan Indonesia dan GAM.
5. Buku, Soft Power Untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi.
Buku ini ditulis oleh Darmansyah Djumala yang diterbitkan oleh PT.
Gramedia Pustaka utama Indonesia pada tahun 2013. Buku ini merupakan
hasil dari disertasi doktoralnya didalam bidang ilmu pemerintahan pada Pasca
Sarjana Universitas Padjajaran Bandung, dalam buku ini Darmansyah
menitik beratkan pembahasannya kepada 3 (Tiga) fokus yaitu; 1) peran
kebijakan desentralisasi dalam penyelesaian konflik Aceh; 2) pesan soft
power dalam upaya penyelesaian konflik Aceh; dan 3) kesinambungan
perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki.
6. To see the unseen: Kisah Dibalik Damai Aceh. Buku ini dituliskan oleh Farid
Husen sendiri dan di terbitkan oleh Healty dan Hospital Indonesia, pada tahun
2007, buku ini membahas bagaimana kisah hidupnya Husen sebagai dokter
bedah dan perjalanannya dalam menjajaki perdamaian di Poso, Aceh dan
Ambon, pada karya ini dia menceritakan sendiri bagaimana dia bisa terlibat
dalam proses perjalanan damai Aceh, namun hanya saja buku ini cenderung
objektif karena di tulis oleh dirinya sendiri.
Berdasarkan dari berbagai tulisan para peneliti diatas, maka penulis dapat
disimpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti angkat berbeda dengan penelitianpenelitian yang telah ada sebelumnya. Karena dalam penelitian ini, peneliti lebih
memaparkan secara jelas mengenai dinamika penyelesaian Konflik setiap masa per
presiden yang ada di Indonesia dari masa presiden Soekarno sampai kemasa Susilo
Bambang Yudhoyono, dan penulis mencoba untuk meliat dari 3 perpektif
masyarakat Aceh yang pernah terlibat dalam konflik yang pertama adalah
cendikiawan yang didalamnya ada ulama dan akademisi, yang kedua adalah pihak
mantan kombatan GAM dan yang ketiga adalah militer. Maka dari itu, peneliti
berharap bahwa penelitian ini kedepannya dapat melengkapi studi-studi yang telah
15
diadakan oleh para peneliti sebelumnya, yang pada hakikatnya bersifat melengkapi
atau informasi baru yang akan menambah sumber kepustakaan sejarah.
G. Metode Penelitian
Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
sejarah. Metode sejarah merupakan penelaahan dokumen-dokumen yang ada serta
sumber-sumber lainnya yang dilakukan secara sistematis dengan cara memaparkan
permasalah dan pemecahan masalah penelitian dengan cara mengumpulkan,
menyusun dan mengklarifikasi data yang ada hubungannya dengan konflik Aceh
dan Indonesia. Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka dalam
penelitian ini menggunakan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka
dilakukani untuk memperbanyak data secara akurat
dan teknik studi
lapangan/wawancara dilakukan sebagai pelengkap dari studi pustaka. Oleh karena
ini penelitian yang mengunakan metode penelitian sejarah, dalam pelaksanaannya
dilakukan melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi.
1. Heuristik.
Dalam proses pencarian berbagai sumber yang berhubungan dengan tema
yang diambil ini, penulis berusaha semaksimalnya melakukan pencarian
kebeberapa tempat, di antaranya Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung,
Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Perpustakaan Batu
Api, Perpustakan Dinas Sejarah TNI Bandung, Perpustakaan Unpad, Perpustakan
Ajib, Perpustakan Aceh, Perpustakkan Uin Ar-Raniry Banda Aceh, Perpustakaan
Pasca Uin Ar-Raniry Banda Aceh, Perpustakan Pidie, ANRI, Perpustakan Aly
Hasyimi, Perpustakan PDIA, Perpustakan DPRA Aceh dan Perpusnas. Selain itu,
penulispun mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji,
seperti membeli berbagai macam buku yang berkaitan dengan tema yang diambil
oleh peneliti di toko-toko online seperti Shopee, Bukalapak dan mengumpulkan
koran-koran yang pernah terbit pada pada tahun 1976-2005. Lebih jauh lagi,
peneliti melakukan pencarian berbagai sumber yang berhubungan melalui internet
dan buku-buku yang bentuk PDF, serta melakukan wawancara kepada beberapa
narasumber yang dinilai mempunyai hubungan langsung atau tidak, mempunyai
16
pandangan dan informasi dengan konflik Aceh dan pendapatnya tentang
penyelesaiaan konflik yang ada di Aceh. Adapun data-data yang diperoleh oleh
peneliti adalah:
a.
Sumber Primer
Sumber primer adalah referensi iyang imenyediakan data awal untuk
melakukan suatu obserfasi, dan ia harus diinterpresetasikan, dan data seperti inilah
yang digunakan dalam sumber-sumber sekunder selanjutnya sumber primer
termasuk didalamnya dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan dan berkaitan
tentang sejarah konflik dan perdamaian di Aceh, dan termasuk didalamnya sumber
benda contohnya adalah video, foto-foto, dan bangunan-bangunannya.
Menurut Louis Gottchalk, sumber primer adalah kesaksian dari seorang
saksi dengan panca indera yang lain atau alat mekanis seperti diktafon, yaitu orang
atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan yang selanjutnya disebut
sebagai saksi mata.33
1) Arsip
Arsip adalah suatu catatan rekaman suatu kejadian atau sumber informasi
dengan berbagai macami bentuk yang dibuat oleh pribadi, lembaga, dan organisasi
dalam rangka pelaksanakan kegiatan. Arsip dapat berupa buku, wasiat dalam
bentuk surat, warkar, akta kelahiran, piagam dan sebagainya, yang dapat dijadikan
pembuktian yang sahih untuk suatu tindakan keputusan. Diantara arsip yang
peneliti peneliti temukan sebagai berikut:
a) Trompob, laporan kejadian daerah ex transmigrasi (1990) Arsip Nasional
RI.
b) Naskah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1956 yang
berisi tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh dan perubahan
peraturan pembentukan Propinsi Sumatera Utara.
c) Naskah Darul Habb-Ke Darusaalam 1 dan 2 kumpulan tulisan dan suratsurat yang dihimpun oleh Aly Hasyimy
33
Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia, UI-Press,1985, Cetakan
Keempat), hal. 35.
17
2) Majalah/ Koran
Majalah dan koran menjadi salah satu arsip dan menjadi penyedia informasi
selama ini sehingga di dalam koran dan majalah memberikan informasi yang
kongrit terhadap suatu peristiwa.
a)
Tempo, Fachry Aly, Aceh Seusai Perang, 20 Desember 1986.
b)
Tempo, Liputan Khusus, Yang Gelisah Dipelukan Pertiwi, 21 November
1999.
c)
Kompas, Maruli Tobing, Teungku Hasan Di Tiro Dan Pemikirannya, 19
Oktober 2008.
3)
d)
Forum Keadilan, No 18, 8 Agustus 1999
e)
Tempo, Mengapa Aceh Berontak, edisi 18-24 Agustus 2003.
f)
Kompas, edisi 17 Maret 2005.
Wawancara
Wawancara merupakan suatu tanya jawab, tatap muka langsung dengan
informan yang akan dilakukan di Aceh dengan mengunakan teknik sampling bola
salju (Snowball) adalah suatu metode sampling dimana sampel diperoleh melalui
proses bergulir dari satu responden ke responden yang lain sehingga membentuk
satu informasi yang utuh terhadap gambaran suatu peristiwa yang terjadi
b. Sumber sekunder.
Berlawanan dengan pengertian Sumber Primer, Sumber Sekunder
menurut Gottschalk adalah sumber yang didapatkan dari kesaksian seseorang
yang seseorang tersebut tidak melihat langsung peristiwa sejarah, ataupun
tidak hidup sezaman dengan peristiwa sejarah.34
1) Buku
a) Susilo Bambang Yudhohoyono, 2001, Aceh Perlu Keadilan
Kesejahteraan dan Keamanan, Kantor Menko Polsoskam.
b) Syamsyuddin Haris, 1999, Indonesia Diambang Perpecahan? Kasus
Aceh, Riau, Irian Jaya, Dan Timor Timur, Penerbit Erlangga.
34
Gottschalk, Mengerti…hal 35.
18
c) Oto Iskandar Ishak, 2008, Perang Dan Perdamaian Di Aceh
(Kumpulan Wawancara 1998-2005). Lembaga Studi Pres Dan
Pembagunan (LSPP).
d) Muna Sungkar, 2015, Jelajah Ujung Barat Indonesia, Banda Aceh
Sabang, Pt Elex Media Komputindo.
e) Rusdi Sufi Dan Agus Budi Wibowo, 2007, Perlawanann-Perlawanan
Rakyat Aceh Terhadap Kependudukan Jepang. Badan Perpustakaan
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
f) H. M. Thamrin Z dan Edy Muliana, 2007, Perang Kemerdekaan Aceh.
Badan Perputakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
g) Fakta Bicara Mengungkap Pelanggaran Ham di Aceh 1989 – 2005.
h) Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh
i) Abdullah Hussain, 1990, Peristiwa Kemerdekaan Di Aceh, Balai
Pustaka.
j) Ti Aisyah, Subhani, dan Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis
Sosial-Politik Pemberontakan Regional di Indonesia, 1953-1964.
Unimal Press Lhokseumawe NAD.
k) Hasan di Tiro, The Price of Freedoms: The Unfinished Diary of
Tengku Hasan Di Tiro. National Liberation Front of Acheh Sumatra,
1984.
l) Dr. Darmansyah Djumala, MA. Soft Power Untuk Aceh Resolusi
Konflik Dan Politik Sesentralikasi, 2013.
2) Jurnal.
a) M. Hasbi Amiruddin, Isu Terorisme Dan Respons Aktivis Muda Aceh
Uin Ar-Raniry iDarussalam Banda Aceh, Walisongo, Volume 22,
Nomor 1, Mei 2014.
b) Monica Elizabeth Dina, Relevansi Hukum Humaniter Internasional
dan Hukum HAM dengan Operasi Militer Aceh Periode 2003-2004,
Fakultas Hukum UI 2009.
19
c) Aceh Pasca-Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki
(Meninjaui Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan
Publik).
d) Acehi Under Martial Law: Conflict, Violence and Displacement A
collection of papers developed in conjunction with a one-day
workshop held on the 20th May 2004, at St. iAntony’s College, Oxford
Queeni Elizabethi Housei Department of International Development
University of Oxford. RSC Working Paper No. 24
3) Majalah/ Koran.
a) KontraS, Aceh, Damai Dengan Keadilan.
b) Tempoe Edisi Khusus, Soeharto
c) Serambi Indonesia
d) Media Indonesia
e) Kontras Aceh
2. Kritik
Semua sumber primer akan dilakukan pengujian kritik intern dan esktern.
Pada tahap ini penulis berusaha untuk menilai kembali semua sumber-sumber
sejarah yang diperlukan untuk melakukan penulisan sejarah. karena penelitian ini
mengunakan literature sebagai rujukan utama maka dari itu penulis mengunakan
kritik intern dan ekstern. Hal ini dijugakan untuk menetapkan kredibilitas sumber.35
Uji kredibilitas dilakukan supaya untuk menyakinkan bahwa data yang
dirujuk benar-benar kredibel dan valid, sehingga tidak diragukan dari hasil
kebenaran itu sendiri, langkah ini yang penulis lakukan pertama sekali adalah
membandingan hasil dari wawancara dengan sumber yang ada baik dari sumber
dokumenter, arsip bahkan video sekalipun yang akhirnya mempunyai satu
kesimpulan yang utuh.
c. Kritik ekstern
Kritrik eksternal digunakan Terhadap semua sumber yang berbentuk
baik itu tulisan, video, dan foto, peneliti mengunakan kritik ekstern, hal ini
35
Dudung Abdurrahman, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: UGM Pres,1999), hal 62.
20
dilakukan untuk menganalisa keaslian atau kemurnian dari sebuah sumber
baik itu yang asli ataupun turunannya masih utuh atau telah berubah dari
sebuah sumber, dalam hal ini peneliti membutuhkan ilmu bantu lainnya yaitu
filologi dan fotografi.
d. Kritik intern
Untuk sumber tertulis juga, peneliti juga mengunakan kritik interen,
proses dalam pencarian sumber supaya tidak mengalami jalan buntu, sudah
semestinya sumber-sumber yang ada harus diuji secara komprehensif,
maksud dan tujuan dari kritik ini adalah untuk mengoreksi kredibilitas yang
didapatkan, kritek interni digunakani jugai untuk melakukan pencarian
terhadapi detail khusus akan timbulnya informasi palsu, karena fakta sejarah
harus mengandung empat aspek yaitu aspek biografis, aspek geografis, aspek
kronologis dan aspek fungsional
3. Interpretasi
Interpretasi adalah suatu upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam
kerangka rekonstruksi masa lampau untuk memberikan kembali relasi antara faktafakta.36 Interpretasi atau penafsiran sering juga disebut juga dengan analisis sejarah.
Analisis sejarah itu sendiri bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta
yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori
disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh.37
Interpretasi terdiri dibagi menjadi dua macam, yaitu analisis dan sintesis.
Analisis yaitu menguraikan, jadi data-data yang sudah didapatkan tersebut
diuraikan atau dipisahkan kembali menurut informasi yang sudah didapatkan.
Sedangkan sintesis adalah menyatukan, data-data yang sudah dikumpulkan itu
disatukan satu sumber dengan sumber yang laini agar mengetahui perpaduan
diantara sumber-sumber tersebut.38
Pada tahapan interpretasi ini, peneliti berusaha untuk bersikap netral. Hal itu
bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan atau
36
37
A. Daliman, Metode Penulisan..., hal. 83.
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penulisan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011),
hal. 114.
38
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hal. 78.
21
didasarkan pada metode sejarah yang bersifat objektif. Sehingga dari proses itu,
maka peneliti akan dapat mengetahui seberapa jauh peranan dan kontribusinya
Aceh dan Indonesia dalam menjapai kesepakatan damai dan apa yang menjadi
factor-faktornya.
4. Historiografi
Sudah selayaknya sebuah laporan penelitian, yang merupakan sebuah
penulisan sejarah merupakan suatu istilah yang dipakai didalam proses laporan atas
hasil penelitian sejarah. Dalam hal ini kerangka penulisan haruslah dipersiapkan
untuk menjadi suatu patokan, dan pola penulisan hal ini dimaksutkan agar penulis,
apakah penyusunan pola yang dikembangkan secara berurut waktu atau
preodenisasi ataukah didasarkan tema-tema yang unik, ataupun yang telah
disepakati dan sesuai dengan peristiwa sejarah.
Historiografi merupakan fase penentu/terakhir dalam suatu metode sejarah
yang merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan sejarah yang telah
dilakukan. Dalam penulisan sejarah (Historiografi) diperlukan aspek kronologi
yang sesuai. Penyajian penulisan dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian:
pengantar, penulisan, dan kesimpulan.39 Setiap bagian biasanya terjabarkan dalam
bab-bab atau sub bab yang jumlahnya tidak ditentukan secara mengikat, yang
penting antara satu bab dengan bab yang lain harus ada pertalian yang jelas.40
H. Sistematika Pembahasan
Dalam tahapan ini, penulis mencoba memaparkan pembahasan yang menjadi
pokok-pokok persoalan dan menjadi pokok-pokok permasalahan yaitu mengenai
penelitian Konflik Di Aceh dan Langkah-Langkah Penyelesaiannya (1976-2005)
Adapun sismatika penulisan dari penelitian ini dibagi kedalam 5 (lima) bagian
yaitu:
39
40
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hal. l78.
Dudung Abdurrahman, Metodologi Penulisan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011),
hal. 118.
22
BAB I pendahuluan, didalamnya berisikan mengenai latar belakang,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan atau
kerangka pemikiran, kajian pustaka dan metode penelitian.
BAB II membahas sebab-sebab yang mendorong pecahnya konflik di Aceh,
di dalam bab ini menguraikan tentang peran Aceh dalam kemerdekaan RI dari mulai
sejarah peperangan Aceh, stuktur masyarakat Aceh, kondisi masyarakat Aceh, latar
belakang berdirinya Gam.
Bab III membahas tentang berbagai kronologi konflik yang terjadi di Aceh
dan mengungkapkan apa-apa runtutan dan faktornya.
Bab IV membahas langkah-langkah yang di lakukan dalam menyelesaikan
konflik di Aceh.
Bab V merupakan menjadi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran.
23
24