Academia.eduAcademia.edu

Konflik di Aceh dan langkah-langkah penyelesaiannya (1976-2005)

2021

INDONESIA : Sejak Indonesia merdeka tahun 1945, wilayah Aceh telah menjadi “modal awal” bagi kemerdekaan Indonesia. Setelah Aceh bergabung dengan Indonesia, Soekarno pernah menjanjikan kepada rakyat Aceh bila nanti Indonesia merdeka khusus untuk wilayah Aceh akan diberikan kewenanggan khusus untuk mengatur suatu hukum syariat Islam bagi pemeluk Islam di wilayahnya. Namun semua itu seperti angin berlalu, sehingga muncul suatu gerakan untuk memisahkan diri, dari Indonesia yang dipelopori oleh Teungku Daod Beureueh. Gerakan ini dikenal dengan DI/TII/NBA/NII, dan setelah itu dilanjutkan oleh Teungku Muhammad Hasan di Tiro yang dikenal dengan GAM/ASLNF yang diproklamirkan tahun 1976. Sejalan dengan uraian tersebut, maka diperoleh rumusan masalah dengan pertanyaan sebagai berikut: Pertama, mengapa muncul konflik konflik di wilayah Aceh? Kedua, bagaimanakah kronologi konflik yang terjadi di Aceh? Ketiga, bagaimanakah solusi yang dilakukan kedua belah pihak di dalam menyelesaikan konflik te...

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masyarakat Aceh merupakan masyarakat majemuk yang terdiri dari beberapa suku besar yang telah mendiami wilayah dari Sabang hingga Aceh Tamiang, Aceh pada dahulunya merupakan suatu kerajaan Islam yang besar yang yang mencapai puncak keemasan dipimpin oleh Iskandar Muda sampai bisa menaklukan wilayah sampai Pahang Malaysia, kemunduran Aceh yang diawali dengan masuknya kolonial Belanda dan dengan adanya perjanjian traktat Sumatera yang didalamnya berisi perjanjian diantara Inggris dan Belanda yaitu perjanjian pertukaran kekuasan yang ditanda tangani pada tahun 1871,1 membuat daftar panjang perlawanan rakyat Aceh dalam mengembalikan kemerdekaannya. Dalam mempertahankan hak kemerdekaanya, rakyat Aceh sangat terkenal gigih, hal ini dibuktikan dengan selalu ada gejolak perlawanan dan peperangan dari kalangan tua dan muda untuk melawan penjajahan dibumi Seuramoe Mekkah, nama-nama pahlawan bangsa Aceh dicatat dengan tinta emas dalam buku sejarah Indonesia seperti mana-nama berikut ini Cut Nyak Dien Bin Banta Setia, Teungku Umar, Cut Meutia, Teungku Muhammad Saman (Teungku Chik Ditiro), dan Teungku Panglima Polem, setelah mereka meninggal ada regenerasi setelahnya dengan semangat untuk berperang melawan penjajahan, seperti Teungku Muhammad Daod Beureueh, Syehk Muhammad Muda Wali dari Aceh Selatan, dan Teungku Nyak Markam yang merupakan salah seorang penyumbangkan emas yang ada di puncak Monas (monumen nasional), hal inilah yang menciptakan wilayah Aceh satu-satunya wilayah yang tidak dapat dijajah/ditaklukkan oleh Kolianalisme Barat hingga Aceh di juluki sebagai daerah modal oleh Presiden yang pertama Indonesia.2 1 H. M. Thamrin Z dan Edy Mulia, Perang Kemerdekaan Aceh, (Banda Aceh: Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darusaalam, 2007), hal 12. 2 Syamsuddin Haris, Indonesia Diambang Perpecahan? Khasus Aceh, Riau, Irian Jaya, Dan Timor Timur, (Jakarta: Pt. Gelora Aksara Pratama, Erlangga, 1999), hal. 33. 1 Babak baru dimulai setelah Indonesia merdeka dan melepaskan cengkraman kolinialisme, dalam perjalanan kemerdekaanya munculah beberapa perlawananperlawanan bersifat kedaerahan, yang berkeinginan untuk memisahkan diri dari Negara Kesatuan Indonesia yang disebabkan oleh karena adanya pengambilan keputusan yang tidak berimbang diantara kebijakan pusat dan daerah, misalnya pemberian hak status pemberlakuan syariat Islam di Aceh dan juga ketidak setujuan wilayah Aceh digabungkan menjadi satu wilayah dibawah keresidenan Sumatera Utara atau Medan, Timor-Timur dan papua yang juga ingin memisahkan diri NKRI. Pada akhir tahun 1949 pemerintahan Keresidenan Aceh dipisahkan dari Propinsi Sumatera Utara dan statusnya ditingkatkan sebagai Propinsi Aceh. Teungku Muhammad Daud Beureueh yang sebelumnya sebagai Gubernur Militer yang memegang kekuasaan di daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo diangkat menjadi Gubernur Propinsi Aceh. Beberapa ketika kemudian, berdasarkan Peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1950 Propinsi Aceh kembali menjadi Keresidenan sebagaimana halnya pada awal kemerdekaan. Hal tersebut sebagai keliru satu hal yang menjadig sebagai pemicu protes berdasarkan Aceh yg dipimpin sang Teungku Muhammad Daod Beureueh dalam tahun 1952. Tujuan berdasarkan pemberontakan yaitu pemisahan diri dari Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) dan ingin mendirikan Negara Islam Indonesia (NII), yang di pelopori oleh Kartosoewirjo pada Jawa Barat. Ada perbedaan yang sangat mendasar apa yang dicita-citakan Kartosoewirjo yang berada di Tanah Sunda (Jawa Barat), Teungku Muhammad Daud Beureueh mengiginkan Aceh di berlakukannya syariat secara menyeluruh bagi warga Aceh tetapi masih dalam ikatan Indonesia sedangkan Kartosoewirjo murni ingin memisahkan diri dari Indonesia,3 pemberontakan DI/TII di Aceh bisa diredam setelah proses negosiasi yang panjang4. 3 A. Windy Dkk, 100 Tokoh Yang i Mengubah Indonesia, Biografi Singkat Seratus Tokoh Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Indonesia di Abad 20, Cetakan Pertama (Yogyakarta: Narasi, 2005), hal 64. 4 Arsip dari Dinas Sejarah Tni Bandung dalam bentuk salinan foto copy dengan judul SebabSebab Tgk. Daud Beurueh Memberontak Terhadap Pemerintahan R.I. 2 Jadi pemberontakan yang dilakukan oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh pada tahun 1953, atas dasar rasa kekecewaan masyarakat Aceh terhadap pemerintah pusat karena tidak dapat memenuhi janji yang telah dijanjikan Presiden Soekarno terhadap kebijakan untuk Provinsi Aceh bisa menetapkan berlakunya hukum Syariat Islam di Aceh serta rasa kecewa bahwa Aceh digabungkan Kembali dibawah pemerintahan Sumatera Utara. Kekecewaan ini muncul kembali dalam suatu bentuk pemberontakan Gerakan Aceh Merdeka. Gerakan ini diproklamasikan pada tanggal 4 Desember 1976 oleh Teungku Muhammad Hasan di Tiro, gerakan ini sedikit berbeda dengan Gerakan sebelumnya yang dipimpin Teungku Daud Beureueh, Teungku Hasan di Tiro lebih menempatkan pemberontakan dalam bentuk Nasionalisme dan Patriotisme Aceh dalam melawan pemerintahan pusat yang ada di Jakarta tidak dipungkiri nafasnafas untuk memperjuangkan Syariat Islam tetap ada, perjuangan (politik dan budaya) untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia yang dilakukan secara bergenerasi kenegerasi.5 Pada pemerintahan Presiden Soeharto, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dipandang sebagai Gerakan Pengacau Liar (GPL), Sikap politik yang diambil oleh Presiden Soeharto dan TNI dinilai cukup keras terhadap perlawanan gerakan ini sehingga dirasionalisasi dengan semboyan “NKRI Harga Mati” sehingga segala bentuk dari ideologi lain yang berkembang di Indonesia dilarang selain ideologi selain Pancasila, sehingga GAM dan organisasi terlarang yang lainnya, seperti PKI, harus dipadamkam,6 karena itu tidak ada referensi pada masa pemerintah Presiden Soeharto untuk melakukan upaya integrasi diplomasi politik bagi kelompok ini yang kemudian menempuh pendekatan militeristik. Pada masa ini ketenganan semakin meruncing setelah Presiden Soeharto memberlakukan status DOM (Daerah Operasi Militer) yang diawali dengan pemberlakuan Operasi Jaring Merah 5 Indra Jaya Pilingan, Burak Singga Kontra Garuda Pengaruh Sistem Lambang Separatisme Gam Terhadap Ri, (Yogyakarta: Ombak, 2010), hal 73. 6 Djumala, Soft Power Untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. (Jakarta: Pt Gramedia Pustaka Utama, 2013) hal 37. 3 diwilayah Aceh sejak Tahun 1989 hingga 19987 yang membuat banyaknya pihak baik kalangan GAM dan TNI bahkan rakyat sipil yang meninggal dunia. Kekecewaan yang timbul pada tahun 1970an dimana kebijakan dan sentralisme pada masa Presiden Soeharto tidak dapat memenuhi harapan masyarakat Aceh, selanjutnya kekecewaan rakyat Aceh diperkuat dengan ditemukannya sumber cadangan minyak di PT. Arun Lhoksemawe yang merupakan cadangan minyak paling besar pada tahun 1971, semenjak penemuan gas alam namun belum bisa mensejaterahkan masyarakat sekitar.8 Konflik ini juga berdampak kepada etnis pendatang khususnya etnis suku Jawa yang bertranmigrasi ke Aceh pada tahun 1990an yang akhirnya banyak transmigrasi yang memilih pulang kampung walaupun diantara mereka ada juga yang mencoba bertahan di Aceh. Hal ini terjadi karena beberapa oknum GAM (Gerakan Aceh Merdeka) menganggap bahwa transmigrasi (masyarakat Jawa/pendatang) adalah anak emasnya Tin Soeharto,9 akan tetapi ada beberapa kasus yang terjadi di Aceh malah etnis pendatang juga dilindungi oleh gerakan ini,10 karena mereka menggangap bahwa Aceh bukan berperangan melawan etnis pendatang akan tetapi murni atas dasar keinginan kemerdekaan Aceh, Tueng Bala,11 dan Patriostisme Aceh. Setelah Presiden Soeharto jatuh pada tahun 1998 pendekatan politik yang diambil lebih halus dengan mengambil pandangan bahwa Aceh adalah saudara kandung dan tidak dianggap lagi sebagai musuh negara, sehingga segala bentuk Operasi Jaring Merah atau DOM ditarik dan dihentikan di Aceh. 7 Aceh Kita.Com, Hari Ini, Status Dom Aceh Dicabut Https://Acehkita.Com/Hari-Ini-StatusDom-Aceh-Dicabut/ Diakses Pada Tangal 12/06/2020. 8 Muhammad Madya Akbar, Aceh: Meretas Jalan Damai Menuju Masa Depan, (Jakarta: Lentera Demokrasi bekerjasama dengan Jyesta Publishing, 2009), hal. 47. 9 Dokumen Anri (Tromopob) bertanggal 29 Juni 1990 yang dikirmkan oleh bapak Budianto kepada Bapak Wakil Presiden RI di Jakarta dalam surat ini berisi laporan kejadian daerah ex.transmigrasi Bukit Hagu Kec. Lhokseukon Kab. Aceh Utara, Daerah Istemewa Aceh. 10 Pengamatan penulis terhadap salah seorang transmingrasi yang bernama Sanen. 11 Tueng Bala merupakan bahasa Aceh yang mempunyai arti berarti menuntut balas atas kematian orang tua/ menuntut balasan terhadap sesuatu, hal ini dilakukan disebabkan oleh pihakpihat yang merasa tidak mendapatkan keadilan atau dilandasi dari rasa dendam dan kecewa terhadap sesorang, dan hal ini dilakukan supaya maksud dan tujuan tercapai. 4 Konflik yang terjadi antara masyarakat Aceh dengan pemerintah pusat memang sudah berlangsung sejak awal terbentuknya Indonesia, dalam hal ini pemerintah pusat telah mengupayakan berbagai cara untuk mencari solusi dalam menyelesaikan konflik, baik dengan cara militer maupun dengan cara berunding atau diplomasi. Dalam perkembangannya, terutama sejak 1970an hingga 1990an, wilayah Aceh terus mengalami pergolakan dengan berbagai permasalah yang dihadapi oleh keduanya.12 Setelah itu pada masa Presiden Abdurrahman Wahid/Gus Dur, Megawati Soekarnoputri hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Muhammad Jusuf Kalla, Gejolak perlawanan yang terjadi sehingga terjadinya Tsunami Aceh 2004 dan pendatanganan kesepakatan damai Mou Helsinki pada tahun 2005 yang diwakili oleh kedua belah pihak yang bertikai yaitu yang pertama mengirim delegasi Indonesia pada perundingan tersebut terdiri dari Farid Husain, Hamid Awaluddin, Usman Basyah, Sofyan Djalil, dan I Gusti Wesaka Pudja. Sedangkan tim perunding GAM terdiri dari Malik Mahmud, Zaini Abdullah, Nur Djuli, Nurdin Abdul Rahman dan Bachtiar Abdullah. Dengan fasilitator perundingan adalah Martti Ahtisaari, Mantan Presiden Finlandia, sebagai Ketua Dewan Direktur Crisis Managemet Initiative (CMI), dibantu oleh Juha Christensen.13 Didalamnya bertujuan untuk mendamaikan Aceh dan Indonesia, sehingga penelitian ini sangat penting untuk dikaji karena belum banyak orang mau meneliti tentang resolusi konflik padahal dengan mengaji konflik kita bisa membaca dan belajar supaya konflik yang terjadi harus diselesaikan dengan menjungjung tinggi harkat dan martabat manusia. Berdasarkan uraian diatas, peneliti akan mendeskripsikan perjalanan konflik Aceh dan Indonesia sehingga tercapainya perdamaiaan yang hakiki di Aceh dengan judul “KONFLIK DI ACEH DAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIANNYA (1976-2005). 12 Eka Auliana Pratiwi, Campur Tangan Asing Di Indonesia: Crisis Management Initiative Dalam Penyelesaian Konflik Aceh (2005-2012) (Historia: Jurnal Pendidik Dan Peneliti Sejarah, Vol. Ii No. 2 April 2019), hal 83. 13 Edward Aspinall, The Helsinki Agreement: A More Promising Basis Forpeace in Aceh, (Washington Policy Studies 20 East-West Center 2005), hal 22. 5 B. Rumusan Masalah Sejalan dengan uraian diatas yang telah di kemukakan dalam latar belakang masalah, maka terlihatlah masalah bagaimana Aceh ingin memisahkan diri dari Indonesia, disisi lain muncullah masalah baru dan beragam cara dilakukan oleh pemerintahan pusat untuk meredam pemberontakan dengan mencari jalan penyelesaiannya. Fokus kajian ini akan dibatasi pembahasannya dengan rentang waktu dari tahun 1976 sampai 2005 adapun pembatasan tahun tersebut dikarenakan pada tahun 1976 adalah pertamanya deklarasi Aceh merdeka yang di prakasai oleh Teungku Muhammad Hasan di Tiro. Sementara tahun 2005 adalah tahun dimana MoU Helsinki disepakati bersama di Finlandia, maka dari batasan tahun tersebut, peneliti ingin mencermati dan melihat lebih lanjut, sejauh mana penyelesaian konflik yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia terhadap Aceh. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini sebagai berikut: 1. Bagaimanakah sebab-sebab terjadi konflik di Aceh? 2. Bagaimanakah kronologi konflik yang terjadi di Aceh? 3. Bagaimanakah solusi yang dilakukan kedua belahipihak? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Secara umum tujuan penelitian ini bertujuan untuk mengkaji dan mengetahui sejauh mana konflik yang terjadi antara pemerintahan Indonesia dan GAM serta proses penyelesaian yang dilakukan keduanya secara damai pada MOU Helsinki. 2. Tujuan khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah (a) Mengetahui sebab-sebab yang mendorong pecahnya konflik di Aceh, (b) Untuk mengetahui apa yang menjadi kronologis terjadinya konflik Aceh, (c) Mengetahui dan menganalisis sosusi yang di lakukan kedua belah pihak. 6 D. Manfaat Penelitian. 1. Manfaat teoritis Hasil yang diinginkan oleh penulis dari kajian tesis yang berjudul: “KONFLIK DI ACEH DAN LANGKAH-LANGKAH PENYELESAIANNYA (1976-2005)” adalah untuk memberikan informasi sejarah yang terjadi di masa lalu yang direkonstruksi dalam sebagai kisah nyata yang terjadi di masyarakat Aceh, sehingga masyarakat Aceh mengetahui akan sejarahnya. Dalam hal ini penulis memiliki harapan yang besar guna bermanfaat bagi segenap pembaca, dan membuka jalan baru bagi sejarawan muda untuk menulis sejarah Aceh. Manfaat yang pertama yang diperoleh oleh pembaca adalah bertambahnya informasi dan khazanah keilmuan serta penelitian ini juga diharapkan untuk kita belajar dari masa dahulu, dan mampu untuk melihat lebih objektif dari sudut pandang yang berbeda,14 sehingga sejarawan-sejarawan muda bisa belajar dari masa dahulu apa yang telah terjadi di Indonesia, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi besar terhadap ilmu pengetahuan lainnya yaitu dalam bidang resolusi konflik. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan bisa menjadi mamfaat bagi segenap kalangan, masyarakat di Indonesia khususnya masyarakat di Aceh, dan kegunaan lainnya dari penelitian ini adalah untuk merekonstuksi kembali apa yang telah terjadi di wilayah Aceh pada tahun 1990an dan memberi rangsangan bagi generasi muda untuk melihat konflik secara positif, yang menjadi pola gerak sosial masyarakat, terkhususnya masyarakat Aceh dan umumnya masyarakat Indonesia, dan bagi pemerintah, penelitian ini diharapkan agar dapat dijadikan suatu rujukan dalam kajian resolusi konflik dan sudah semestinya mengambil pelajaran (ibroh)15 dari konflik yang terjadi. 14 Walaupun mengunakan fakta bahwa sejarah yang sama (pohon-pohon yang sama namun dengan banyak pohon dalam satu hutan) namun tema yang akan di pilih tentu dapat berbeda informasi yang di sajikan pun bisa berbeda sehingga mempunyai alur cerita tersendiri. 15 H. M. Thamrin Z. dan Edy Mulia, Perang Kemerdekaan ..., hal. 10. 7 E. Kerangka Pemikiran. Untuk menerangkan permasalahan secara jelas dan terarah penelitian ini menggunakan teori yang bisa mendukung proses penelitian yaitu teori Konflik. Teori ini dinilai sangat relevan apa yang yang terjadi dalam konflik yang bersifat kedaerahan yang terjadi karena bentuk ketidakpuasan dari apa yang menjadi keputusan pemerintahan pusat sehingga terjadinya perpecahan dan keretakan diantara keduanya, Konflik adalah perselisihan, percekcokan, dan pertentangan. Sedangkan konflik sosial yaitu pertentangan/perselisahan antara anggota atau masyarakat yang bersifat menyeluruh dikehidupannya. Konflik disebut juga sebagai proses pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan, tanpa memperhatikan norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku didalam masyarakat.16 Secara teori, konflik diartikan sebagai suatu hubungan yang ada diantara dua pihak atau lebih yang memiliki sasaran tujuan yang berbeda atau pemikiran yang tidak sejalan. Dalam sudut pandang ilmu sosiologi, konflik dibagi menjadi dua yaitu konflik terbuka dan konflik tertutup (latent).17 Kata “konflik” berasalidari bahasa Inggrisi“conflict, dan dalam bahasa latinnya “configere” yang berartii benturan. Dalam kamus TheiCollins Concice disebutkan bahwa arti dari konflik adalah “a struggle between opposing force, opposition betwean ideas and interst” yang artinya (perjuangan antara kekuatan lawan, pertentangan antara ide dan kepentingan)18 kemudian, The Macqure Dictionary memberikan pengertian konflik sebagai “to come into collision, dash, or be in opposition or at variance (bentrokan atau bertentangan ataupun berbeda).19 Sedangkan menurut pengertian dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) yang di susun Poerwadarminta, definisi konflik adalah pertentangan atau disebut percecokan, pertentangan itu sendiri baik muncul dalam bentuk hal pertentangan ide maupun fisik diantara kedua belah pihak yang berseberangan. 16 Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi (Jakarta: Pt. Raja Grafindo Persada, 1993), hal 99. Chris Mittchel (1981) Seperti Dikutip Simon Fisher Dkk. Mengelola Konflik: Ketrampilan & Strategi Untuk Bertindak. Edisi Terjemahan. (Indonesia.: The British Council. 2001), hal. 4. 18 M. Tafsir, Resolusi Konflik, (Semarang: CV. Karya Abadi Jaya, Cet. Ke I, 2015), hal. 5. 19 Lihat Oxford Dictionary, hal 241. 17 8 Dari beberapa pendapat diatas maka dapat disimpulkan bahwa konflik adalah suatu keadaan dari adanya pertentangan baik nilai, fisik maupun pikiran, yang sehingga membuat adanya gesekan tertentu yang terjadi baik secara individu ataupun kelompok. Konflik merupakan hal lumrah terjadi karena setiap manusia akan ada timbul gejala konflik minimal pada dirinya sendiri. Konflik umumnya terjadi karena disebabkan karena adanya disparitas, disparitas sendiri merupakan suatu bagian yang tidak dapat terpisahkan dari realitas kehidupan manusia, perbedaan bisa saja menjadi potensi dan bisa menjadi persoalan selanjutnya jika kemudianiberkembang menjadi bentuk penyelesaian dengan cara-cara kekerasan. Dalam pandangan Simmel sendiri melihat bahwa pertikaian merupakan gejala yang tidak dapat dihindari dalam kehidupan bermasyarakat sehingga menurutnya konflik tunduk akan perubahan sehingga dalam masyarakat dimana ada gejala-gejala konflik pasti dengan sendirinya akan ada perubahan tertentu.20 Dalam pandangan Lewis A. Coser mengemukakan teori konflik dengan membahas tentang, permusuhan dalam hubungan-hubungan sosial yang yang saling berkaitan, menurutnya fungsionalitas konflik dan kondisi-kondisi yang mempengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok sosial adalah sebagai berikut: 1. Permusuhan dengan kelompok sosial yang intim, bila konflik berkembang dalam hubungan-hubungan sosial yang intim, maka pemisahan antar konflik realistis dan tidak realistis lebih sulit untuk dipertahankan. Semakin dekat suatu hubungan, maka semakin besar rasa kasih sayang yang tertanamkan semakin besar juga kecenderungan untuk memperkecil rasa permusuhan. 2. Fungsionalitas konflik, Coser berpendapat bahwa yang penting dalam menentukan apakah suatu itu konflik fungsional atau tidak ialah tipe isu yang merupakan subjek konflik itu. Konflik fungsional positif bila mana tidak mempertanyakan dasar hubungan dan fungsional negatif jika menyerang suatu nilai inti. 20 Zulkifli Razak, M. P, Perkembangan Teori Sosial (Menyongsong Era Posymoderinisme ) (Makasar: Sah Media, 2017), hal 92. 9 3. Kondisi-kondisi yang mempengaruhi konflik dengan kelompok luar dan struktur kelompok menurut Coser, konflik dengan kelompok luar akan membantu memantapkan batas-batas struktural. Sebaliknya konflik dengan kelompok luar juga dapat mempertinggi integrasi didalam kelompok, Menurut Coser sendiri konflik sendiri di bagi menjadi 2 yaitu: a. konflik realistis, yaitu bermula dari kekecawaan terhadapituntutan khusus yang terjadi dalam hubungan dan dari perkiraani kemungkinan keuntungan para partisipasinya yang ditunjukkan terhadap objek yang di anggap mengecewakan. b. Konflik non ralistis, yaitu konflik yang terjadi bukan berasal dari tujuantujuan dari pihak antagonis, tetapi kebutuhan untuk meredakan ketegangan, paling tidak dari salah satu pihak. Menurut Coser terdapat suatu kemungkinan seseorang itu bisa terlibat didalam konflik realistis tampa ada sikap permusuhan atau pun agensi tertentu.21 Konflik juga dapat bernilai positif, jika konflik bisa dikelola secara arif dan bijaksana, disini konflik bisa mendinamisasi proses sosial dan bersifat konstruktif bagi perubahan sosial masyarakat dan tidak menghadirkan kekerasan, sehingga konflik bisa dikonotasikan sebagai sumber perubahan.22 Neil. J. Smelser menjelaskan bahwa suatu perilaku ikolektif dapat timbul melalui dua syarat yaitu ketenganan struktural (stuctural strain)23 dan keyakinan yang tersebar (generalaizer belief). Dengan adanya ketegangan diantara pusat dan daerah Aceh sehinggai menghasilkan konflik yang berkepanjangan. Neil juga mengungkapkan bahwa teori konflikidengan membuat asumsi sebagai berikut: a) yang paling utama pada masyarakat yang akan datang adalah adanya perubahan, konflik dan kekerasan, b) struktur masyarakat didasarkan pada dominasi oleh beberapa kelompok terhadap kelompok yang lain, c) masing-masing kelompok dalam masyarakat memiliki kecenderungan perhatian umum, sehingga mereka Lewis Coser, The Function of SocialiConflict (New York: Free Press 1956), hal 32-70. Abdul Jamil Wahab, Manajemen Konflik Keagamaan Analisisi Latar Belakang Konflik Keagamaan Aktual, (Jakarta: Elex Media Komputindo Kompas-Gramedia, 2014), hal. 6. 23 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Jogjakarta: Pt. Bentang Pustaka), hal. 117. 21 22 10 membentuk kelas sosial, dan d) intensitas konflik tergantung pada adanya kepastian politik dan kondisiisosialnya.24 Ada perbedaan pemikiran diantara Coser dani Simmel, Coser beliau tidak terlalu banyak menaruh perhatian pada hubungan timbal balik yang komplek dan tidak sentara antara bentuk-bentuk konflik dan interaksi selainnya, tetapi lebih menyoroti pada konsekuensi yang timbul dalam sistem sosial yang lebih besar dimana konflik itu terjadi.25 Konflik padai dasarnya merupakan suatu pertemuan antara dua hal berbeda dan berseberangan, yang dapat menghasilkan sesuatu hal yang positif atau negatif. Konflik belum tentu merupakan suatu masalah. Apabila konflik itu menghasilkan sesuatu yang negatif, maka inilah yang sering disebut masalah.26 Menurut Soetrisno terdapat dua jenis konflik, yaitu yang pertama konflik yang bersifat destruktif dan konflik yang fungsional. Dan yang Kedua konflik tersebut memiliki latar belakang kemunculan dan akibat yang berbeda. Konflik destruktif muncul karena adanya rasa benci antara satu orang/kelompok dengan orang/kelompok lain, yang disebabkan oleh berbagai aspek, Konflik fungsional muncul karena adanya perbedaan pandangan antara dua orang/kelompok atau lebih tentang suatu masalah yang mereka hadapi.27 Hal ini hampir senada yang terjadi di Aceh tidak selarasan yang muncul dan banyaknya perbedaaan pendapat yang terjadi dengan pemerintahan pusat dalam pengambilan kebijakan, sehingga sebagian masyarakat Aceh sulit untuk mempercayai pemerintahan pusat akibat konflik yang berkepanjangan di Aceh. Seperti yang di kemukakan Wijono, konflik itu tersendiri memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 24 Sunyoto Usman Dan Lambang Trijon, Konflik Dalam Transportasi Kota di Kota Malang, (Yogyakarta: Fisipol UGM, 2001), hal. 41. 25 I. B. Wirawan, Teori-Teori Sosial Dalam Tiga Paradigma, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2013), hal. 82. 26 Thamrin Amal Tomagola, Dkk, Mengelola Konflik Buku Saku Bagi Staff Bp Proyek Tangguh, Bintuni-Papua, Indonesia (Draft). (Jakarta: Center for Research On Inter-Group Relations And Conflict Resolution Ceric Fisip UI, 2003), hal 11-15. 27 Irfanuddin W. Marzuki Amerta, Konflik Dan Penyelesaian Dalam Penelitian Arkeologi Di Wilayah Kerja Balai Arkeologi Manado (Jurnal Penelitian Dan Pengembangan Arkeologi Vol. 33 No. 2, Desember 2015), hal 26. 11 1. Setidaknya ada dua belah pihak secara perseorangan maupun kelompok yang terlihat dalam suati interaksi dan saling bertentangan. 2. Paling tidaknya muncul pertentangan antara dua pihak secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan, melainkan memainkan peran dan ambisius atau adanya nilai-niai atau normanya yang saling berlawanan. 3. Munculnyai interaksi yang seringkali terjadi ditandai dengan gejalagejala perilaku yang direncanakan untuk saling meniadakan, mengurangi, dan menekan pihak lainnya agar dapat memperoleh keuntungan seperti; status, jabatan, tangung jawab, pemenuhan berbagai macam kebutuhan fisik seperti: sandang, pangan, materi dan kesejahteraan, atau tunjangan tertentu seperti mobil, bonus, rumah, atau yang lainnya seperti rasa nyaman, aman, kepercayaan diri, dan lainlainnya. 4. Munculnya tindakan yang saling berhadap hadapan sebagai akibat pertentangani yang berlarut-larut. 5. Munculnya tidak seimbangan akibat dari usaha masing-masing pihak terkait dengan kedudukan status sosial, pangakat, golongan, kewibawaan, kekuasaan, harga diri, dan sebagainya.28 Setiadi dan Kolip mengemukakan pendapat para sosiolog terkait proses terjadinya konflik, sebagai berikut: Bahwa akar dari timbulnya konflik karena adanya hubungan sosial, ekonomi, politik, yang akarnya adalah perebutan atas sumber-sumber kepemilikan, status sosial dan kekuasaan yang jumlah ketersediaanya sangat terbatas dengan pembagian yang tidak merata di masyarakat.29 Sedangkan menurut Capobianco, Davis dan Kraus, dinamika konflik terjadi dikarenakan ada instrumental penilaian 3600 derajat atas perilaku suatu individu 28 Wijono, Konflik Dalam Organisasi, (Semarang: Satya Wacana,1993), hal 37. Setiadi, Elly M. Kolip, Usman, Pengantar Sosiologi Pemahaman Fakta Dan Gejala Permasalahan Sosial, Teori, Aplikasi Dan Pemecahannya, (Jakarta: Kencana Prenada Media Grup, 2011), hal 361. 29 12 dan suatu kelompok sehingga dimana setiap situasinya memiliki suatu kepentingan, tujuan, prinsip atau perasaan yang tidak sesuai terhadap kelompok yang lainnya.30 Dalam kamus Bahasa Indonesia negosiasi diartikan sebagai proses tawarmenawar dengan jalan berunding untuk memberi atau menerima guna mencapai suatu kesepakatan bersama.31 Selain mediasi dan dialoq negosiasi juga merupakan dalah satu manajemen dalam konflik. Akan tetapi Negosiasi akan lebih menekankan adanya pertukaran usulan yang ditujukan untuk mengurangi perbedaan akibat adanya tidak sesuaian tujuan dan kepentingan antara para anggota dengan cara ini mereka menciptakan sebuah kesepakatan. Umumnya, negosiasi dapat kita jumpai dalam berbagai bidang kehidupan seperti dalam proses transaksi antara penjual dan pembeli, perjanjian bisnis, interaksi antara pihak manajemen dan buruh dalam sebuah perusahaan, hubungan pernikahan, situasi penyanderaan, kerusakan lingkungan, dan lain-lain. Hal itu juga yang terjadi pada kasus konflik Aceh dan Indonesia dengan dialoglah yang harus diutamakan oleh ke dua belah pihak yang bertikai hal ini senada dengan yang di katakan Malik Mahmud,32 pemerintahan Indonesia dan Aceh harus ada tawar menawar dalam menyelesaikan konflik hal ini biasa ditiru oleh Thailand Selatan. F. Tinjauan Pustaka Kajian Pustaka ini dilakukan untuk menghindari terjadinya duplikasi atas karya orang lain yang telah ada. Rencana penelitian yang berjudul konflik di Aceh dan langkah-langkah penyelesaiannya (1976-2005). Penelitian ini tidak sematamata dibuat begitu saja tanpa melihat karya-karya orang lain sebagai pembanding, dan peneliti telah melakukan penelusuran dan mengali informasi seputar masalah yang akan diteliti dari data yang telah ada untuk kemudian dikembangkan. 30 Jossey Bass, Becoming A Conflict Competent Leader,(United States Of America: Center For Creative Leadership, 2007), hal 4. 31 Tim Penyusun, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hal 100. 32 Serambinews.Com Wali Nanggroe Cerita Penyelesaian Konflik Aceh Di Depan Panglima Ad Thailand Dan Kasad, Https://Aceh.Tribunnews.Com/2020/01/14/Wali-Nanggroe-CeritaPenyelesaian-Konflik-Aceh-Di-Depan-Panglima-Ad-Thailand-Dan-Kasad?Page= Di Akses Pada Tanggal 11/06/2020. 13 Peneliti pun menemukan beberapa karya yang memiliki tema sama dengan yang akan peneliti kaji, di antaranya sebagai berikut: 1. Dalam Buku Sejarah Dan Kekuatan Gerakan Aceh Merdeka Solusi Harapan dan Impian karya Neta S Pane yang di terbitkan oleh Grasindo pada tahun 2002, buku ini menjelaskan bagaimana Gerakan Aceh Merdeka itu terbentuk dan bagaimana pandangan masyarakat terhadap Gerakan Aceh Merdeka, akan tetapi di dalam buku ini tidak menjelaskan bagaimana pandangan TNI terhadap GAM itu sendiri. 2. Dalam Buku Buraq – Singa Kontra Garuda karya Indra Jaya Piliang, yang diterbitkan olehi Penerbit Ombak, menurutnya bahwa kontra yang terjadi antara Aceh dan RI itu sangatlah beragam, dari masalah bendera, ideologi bahkan sampai lambang dari Aceh. Gerakan Aceh Merdeka adalah perjuangan (politik dan budaya untuk melepaskan Aceh dari Indonesia dan dilakukan secara generasi kegenerasi, dan dibuku ini menjelaskan mengambarkan bagaimana GAM terbentuk di Indonesia dan secara explisit menyebutkan gerakan ini mendapat perhatian secara luas dari dunia Nasional dan Internasional dan kelompok ini sudah berdiri hampir 3 (tiga) dekade dari tanggal 1976 sampai berdamainya RI dan GAM padai tanggal 15 Agustus 2005. Sehingga saya biasa mengkomparasikan apa yang menjadi dampak besar bagi dunia Internasional sehingga apa solusi yang diberikan oleh dunia luar untuk Aceh dan Indonesia 3. Buku yang berjudul, Kalla dan Perdamaian Aceh. Buku ini ditulis bersama Oleh Fachry Aly, Suharso Moniarfa dan Bahtiar Effendy dan diterbitkan oleh LSPEU Indonesia pada tahun 2008, buku ini merupakan hasil kajian dari LSPEU terhadap perundingan yang terjadiidalam perjanjian damai di Helsinki antara pemerintah Indonesia dan GAM yang berlangsung semenjak Januari hingga Juni 2005 sampai mencapai kesepakatan bersama pada tanggal 15 Agustus 2005, dalam buku ini membahas tentang bagaimana keterlibatan Jusuf Kalla dalam pencapaian kesepakatan damai Aceh. 4. Dalam buku yang berjudul, Resolusi Konflik Dalam Islam: Kajian Normatif dan Historis Perspektif Ulama Dayah, buku ini ditulis oleh Teungku Haji 14 Ibrahim Bardan atau yang lebih disapa dengan nama Abu Panton, buku ini di terbitkan oleh Aceh Institute Press, tahun 2008. Dalam buku ini menjelaskan bagaimana pandangan seorang Abu Panton terhadap pencapaian damai yang di fasilitasi oleh HDC dan CMI terhadap pemerintahan Indonesia dan GAM. 5. Buku, Soft Power Untuk Aceh: Resolusi Konflik dan Politik Desentralisasi. Buku ini ditulis oleh Darmansyah Djumala yang diterbitkan oleh PT. Gramedia Pustaka utama Indonesia pada tahun 2013. Buku ini merupakan hasil dari disertasi doktoralnya didalam bidang ilmu pemerintahan pada Pasca Sarjana Universitas Padjajaran Bandung, dalam buku ini Darmansyah menitik beratkan pembahasannya kepada 3 (Tiga) fokus yaitu; 1) peran kebijakan desentralisasi dalam penyelesaian konflik Aceh; 2) pesan soft power dalam upaya penyelesaian konflik Aceh; dan 3) kesinambungan perdamaian di Aceh pasca MoU Helsinki. 6. To see the unseen: Kisah Dibalik Damai Aceh. Buku ini dituliskan oleh Farid Husen sendiri dan di terbitkan oleh Healty dan Hospital Indonesia, pada tahun 2007, buku ini membahas bagaimana kisah hidupnya Husen sebagai dokter bedah dan perjalanannya dalam menjajaki perdamaian di Poso, Aceh dan Ambon, pada karya ini dia menceritakan sendiri bagaimana dia bisa terlibat dalam proses perjalanan damai Aceh, namun hanya saja buku ini cenderung objektif karena di tulis oleh dirinya sendiri. Berdasarkan dari berbagai tulisan para peneliti diatas, maka penulis dapat disimpulkan bahwa penelitian yang akan peneliti angkat berbeda dengan penelitianpenelitian yang telah ada sebelumnya. Karena dalam penelitian ini, peneliti lebih memaparkan secara jelas mengenai dinamika penyelesaian Konflik setiap masa per presiden yang ada di Indonesia dari masa presiden Soekarno sampai kemasa Susilo Bambang Yudhoyono, dan penulis mencoba untuk meliat dari 3 perpektif masyarakat Aceh yang pernah terlibat dalam konflik yang pertama adalah cendikiawan yang didalamnya ada ulama dan akademisi, yang kedua adalah pihak mantan kombatan GAM dan yang ketiga adalah militer. Maka dari itu, peneliti berharap bahwa penelitian ini kedepannya dapat melengkapi studi-studi yang telah 15 diadakan oleh para peneliti sebelumnya, yang pada hakikatnya bersifat melengkapi atau informasi baru yang akan menambah sumber kepustakaan sejarah. G. Metode Penelitian Metode yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian sejarah. Metode sejarah merupakan penelaahan dokumen-dokumen yang ada serta sumber-sumber lainnya yang dilakukan secara sistematis dengan cara memaparkan permasalah dan pemecahan masalah penelitian dengan cara mengumpulkan, menyusun dan mengklarifikasi data yang ada hubungannya dengan konflik Aceh dan Indonesia. Untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan, maka dalam penelitian ini menggunakan studi pustaka dan studi lapangan. Studi pustaka dilakukani untuk memperbanyak data secara akurat dan teknik studi lapangan/wawancara dilakukan sebagai pelengkap dari studi pustaka. Oleh karena ini penelitian yang mengunakan metode penelitian sejarah, dalam pelaksanaannya dilakukan melalui tahapan heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi. 1. Heuristik. Dalam proses pencarian berbagai sumber yang berhubungan dengan tema yang diambil ini, penulis berusaha semaksimalnya melakukan pencarian kebeberapa tempat, di antaranya Perpustakaan UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Perpustakaan Pascasarjana UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Perpustakaan Batu Api, Perpustakan Dinas Sejarah TNI Bandung, Perpustakaan Unpad, Perpustakan Ajib, Perpustakan Aceh, Perpustakkan Uin Ar-Raniry Banda Aceh, Perpustakaan Pasca Uin Ar-Raniry Banda Aceh, Perpustakan Pidie, ANRI, Perpustakan Aly Hasyimi, Perpustakan PDIA, Perpustakan DPRA Aceh dan Perpusnas. Selain itu, penulispun mencari buku-buku yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji, seperti membeli berbagai macam buku yang berkaitan dengan tema yang diambil oleh peneliti di toko-toko online seperti Shopee, Bukalapak dan mengumpulkan koran-koran yang pernah terbit pada pada tahun 1976-2005. Lebih jauh lagi, peneliti melakukan pencarian berbagai sumber yang berhubungan melalui internet dan buku-buku yang bentuk PDF, serta melakukan wawancara kepada beberapa narasumber yang dinilai mempunyai hubungan langsung atau tidak, mempunyai 16 pandangan dan informasi dengan konflik Aceh dan pendapatnya tentang penyelesaiaan konflik yang ada di Aceh. Adapun data-data yang diperoleh oleh peneliti adalah: a. Sumber Primer Sumber primer adalah referensi iyang imenyediakan data awal untuk melakukan suatu obserfasi, dan ia harus diinterpresetasikan, dan data seperti inilah yang digunakan dalam sumber-sumber sekunder selanjutnya sumber primer termasuk didalamnya dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan dan berkaitan tentang sejarah konflik dan perdamaian di Aceh, dan termasuk didalamnya sumber benda contohnya adalah video, foto-foto, dan bangunan-bangunannya. Menurut Louis Gottchalk, sumber primer adalah kesaksian dari seorang saksi dengan panca indera yang lain atau alat mekanis seperti diktafon, yaitu orang atau alat yang hadir pada peristiwa yang diceritakan yang selanjutnya disebut sebagai saksi mata.33 1) Arsip Arsip adalah suatu catatan rekaman suatu kejadian atau sumber informasi dengan berbagai macami bentuk yang dibuat oleh pribadi, lembaga, dan organisasi dalam rangka pelaksanakan kegiatan. Arsip dapat berupa buku, wasiat dalam bentuk surat, warkar, akta kelahiran, piagam dan sebagainya, yang dapat dijadikan pembuktian yang sahih untuk suatu tindakan keputusan. Diantara arsip yang peneliti peneliti temukan sebagai berikut: a) Trompob, laporan kejadian daerah ex transmigrasi (1990) Arsip Nasional RI. b) Naskah Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1956 yang berisi tentang pembentukan daerah otonomi propinsi Aceh dan perubahan peraturan pembentukan Propinsi Sumatera Utara. c) Naskah Darul Habb-Ke Darusaalam 1 dan 2 kumpulan tulisan dan suratsurat yang dihimpun oleh Aly Hasyimy 33 Gottschalk, Mengerti Sejarah, (Jakarta: Universitas Indonesia, UI-Press,1985, Cetakan Keempat), hal. 35. 17 2) Majalah/ Koran Majalah dan koran menjadi salah satu arsip dan menjadi penyedia informasi selama ini sehingga di dalam koran dan majalah memberikan informasi yang kongrit terhadap suatu peristiwa. a) Tempo, Fachry Aly, Aceh Seusai Perang, 20 Desember 1986. b) Tempo, Liputan Khusus, Yang Gelisah Dipelukan Pertiwi, 21 November 1999. c) Kompas, Maruli Tobing, Teungku Hasan Di Tiro Dan Pemikirannya, 19 Oktober 2008. 3) d) Forum Keadilan, No 18, 8 Agustus 1999 e) Tempo, Mengapa Aceh Berontak, edisi 18-24 Agustus 2003. f) Kompas, edisi 17 Maret 2005. Wawancara Wawancara merupakan suatu tanya jawab, tatap muka langsung dengan informan yang akan dilakukan di Aceh dengan mengunakan teknik sampling bola salju (Snowball) adalah suatu metode sampling dimana sampel diperoleh melalui proses bergulir dari satu responden ke responden yang lain sehingga membentuk satu informasi yang utuh terhadap gambaran suatu peristiwa yang terjadi b. Sumber sekunder. Berlawanan dengan pengertian Sumber Primer, Sumber Sekunder menurut Gottschalk adalah sumber yang didapatkan dari kesaksian seseorang yang seseorang tersebut tidak melihat langsung peristiwa sejarah, ataupun tidak hidup sezaman dengan peristiwa sejarah.34 1) Buku a) Susilo Bambang Yudhohoyono, 2001, Aceh Perlu Keadilan Kesejahteraan dan Keamanan, Kantor Menko Polsoskam. b) Syamsyuddin Haris, 1999, Indonesia Diambang Perpecahan? Kasus Aceh, Riau, Irian Jaya, Dan Timor Timur, Penerbit Erlangga. 34 Gottschalk, Mengerti…hal 35. 18 c) Oto Iskandar Ishak, 2008, Perang Dan Perdamaian Di Aceh (Kumpulan Wawancara 1998-2005). Lembaga Studi Pres Dan Pembagunan (LSPP). d) Muna Sungkar, 2015, Jelajah Ujung Barat Indonesia, Banda Aceh Sabang, Pt Elex Media Komputindo. e) Rusdi Sufi Dan Agus Budi Wibowo, 2007, Perlawanann-Perlawanan Rakyat Aceh Terhadap Kependudukan Jepang. Badan Perpustakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. f) H. M. Thamrin Z dan Edy Muliana, 2007, Perang Kemerdekaan Aceh. Badan Perputakaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. g) Fakta Bicara Mengungkap Pelanggaran Ham di Aceh 1989 – 2005. h) Rekonfigurasi Politik: Proses Perdamaian Aceh i) Abdullah Hussain, 1990, Peristiwa Kemerdekaan Di Aceh, Balai Pustaka. j) Ti Aisyah, Subhani, dan Al Chaidar, Darul Islam Di Aceh: Analisis Sosial-Politik Pemberontakan Regional di Indonesia, 1953-1964. Unimal Press Lhokseumawe NAD. k) Hasan di Tiro, The Price of Freedoms: The Unfinished Diary of Tengku Hasan Di Tiro. National Liberation Front of Acheh Sumatra, 1984. l) Dr. Darmansyah Djumala, MA. Soft Power Untuk Aceh Resolusi Konflik Dan Politik Sesentralikasi, 2013. 2) Jurnal. a) M. Hasbi Amiruddin, Isu Terorisme Dan Respons Aktivis Muda Aceh Uin Ar-Raniry iDarussalam Banda Aceh, Walisongo, Volume 22, Nomor 1, Mei 2014. b) Monica Elizabeth Dina, Relevansi Hukum Humaniter Internasional dan Hukum HAM dengan Operasi Militer Aceh Periode 2003-2004, Fakultas Hukum UI 2009. 19 c) Aceh Pasca-Memorandum Of Understanding (MoU) Helsinki (Meninjaui Kembali Qanun Aceh Dalam Perspektif Kebijakan Publik). d) Acehi Under Martial Law: Conflict, Violence and Displacement A collection of papers developed in conjunction with a one-day workshop held on the 20th May 2004, at St. iAntony’s College, Oxford Queeni Elizabethi Housei Department of International Development University of Oxford. RSC Working Paper No. 24 3) Majalah/ Koran. a) KontraS, Aceh, Damai Dengan Keadilan. b) Tempoe Edisi Khusus, Soeharto c) Serambi Indonesia d) Media Indonesia e) Kontras Aceh 2. Kritik Semua sumber primer akan dilakukan pengujian kritik intern dan esktern. Pada tahap ini penulis berusaha untuk menilai kembali semua sumber-sumber sejarah yang diperlukan untuk melakukan penulisan sejarah. karena penelitian ini mengunakan literature sebagai rujukan utama maka dari itu penulis mengunakan kritik intern dan ekstern. Hal ini dijugakan untuk menetapkan kredibilitas sumber.35 Uji kredibilitas dilakukan supaya untuk menyakinkan bahwa data yang dirujuk benar-benar kredibel dan valid, sehingga tidak diragukan dari hasil kebenaran itu sendiri, langkah ini yang penulis lakukan pertama sekali adalah membandingan hasil dari wawancara dengan sumber yang ada baik dari sumber dokumenter, arsip bahkan video sekalipun yang akhirnya mempunyai satu kesimpulan yang utuh. c. Kritik ekstern Kritrik eksternal digunakan Terhadap semua sumber yang berbentuk baik itu tulisan, video, dan foto, peneliti mengunakan kritik ekstern, hal ini 35 Dudung Abdurrahman, Metodologi Sejarah, (Yogyakarta: UGM Pres,1999), hal 62. 20 dilakukan untuk menganalisa keaslian atau kemurnian dari sebuah sumber baik itu yang asli ataupun turunannya masih utuh atau telah berubah dari sebuah sumber, dalam hal ini peneliti membutuhkan ilmu bantu lainnya yaitu filologi dan fotografi. d. Kritik intern Untuk sumber tertulis juga, peneliti juga mengunakan kritik interen, proses dalam pencarian sumber supaya tidak mengalami jalan buntu, sudah semestinya sumber-sumber yang ada harus diuji secara komprehensif, maksud dan tujuan dari kritik ini adalah untuk mengoreksi kredibilitas yang didapatkan, kritek interni digunakani jugai untuk melakukan pencarian terhadapi detail khusus akan timbulnya informasi palsu, karena fakta sejarah harus mengandung empat aspek yaitu aspek biografis, aspek geografis, aspek kronologis dan aspek fungsional 3. Interpretasi Interpretasi adalah suatu upaya penafsiran atas fakta-fakta sejarah dalam kerangka rekonstruksi masa lampau untuk memberikan kembali relasi antara faktafakta.36 Interpretasi atau penafsiran sering juga disebut juga dengan analisis sejarah. Analisis sejarah itu sendiri bertujuan untuk melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dengan teori disusunlah fakta itu kedalam suatu interpretasi yang menyeluruh.37 Interpretasi terdiri dibagi menjadi dua macam, yaitu analisis dan sintesis. Analisis yaitu menguraikan, jadi data-data yang sudah didapatkan tersebut diuraikan atau dipisahkan kembali menurut informasi yang sudah didapatkan. Sedangkan sintesis adalah menyatukan, data-data yang sudah dikumpulkan itu disatukan satu sumber dengan sumber yang laini agar mengetahui perpaduan diantara sumber-sumber tersebut.38 Pada tahapan interpretasi ini, peneliti berusaha untuk bersikap netral. Hal itu bisa dilihat dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti menggunakan atau 36 37 A. Daliman, Metode Penulisan..., hal. 83. Dudung Abdurrahman, Metodologi Penulisan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hal. 114. 38 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hal. 78. 21 didasarkan pada metode sejarah yang bersifat objektif. Sehingga dari proses itu, maka peneliti akan dapat mengetahui seberapa jauh peranan dan kontribusinya Aceh dan Indonesia dalam menjapai kesepakatan damai dan apa yang menjadi factor-faktornya. 4. Historiografi Sudah selayaknya sebuah laporan penelitian, yang merupakan sebuah penulisan sejarah merupakan suatu istilah yang dipakai didalam proses laporan atas hasil penelitian sejarah. Dalam hal ini kerangka penulisan haruslah dipersiapkan untuk menjadi suatu patokan, dan pola penulisan hal ini dimaksutkan agar penulis, apakah penyusunan pola yang dikembangkan secara berurut waktu atau preodenisasi ataukah didasarkan tema-tema yang unik, ataupun yang telah disepakati dan sesuai dengan peristiwa sejarah. Historiografi merupakan fase penentu/terakhir dalam suatu metode sejarah yang merupakan cara penulisan, pemaparan, atau pelaporan sejarah yang telah dilakukan. Dalam penulisan sejarah (Historiografi) diperlukan aspek kronologi yang sesuai. Penyajian penulisan dalam bentuk tulisan mempunyai tiga bagian: pengantar, penulisan, dan kesimpulan.39 Setiap bagian biasanya terjabarkan dalam bab-bab atau sub bab yang jumlahnya tidak ditentukan secara mengikat, yang penting antara satu bab dengan bab yang lain harus ada pertalian yang jelas.40 H. Sistematika Pembahasan Dalam tahapan ini, penulis mencoba memaparkan pembahasan yang menjadi pokok-pokok persoalan dan menjadi pokok-pokok permasalahan yaitu mengenai penelitian Konflik Di Aceh dan Langkah-Langkah Penyelesaiannya (1976-2005) Adapun sismatika penulisan dari penelitian ini dibagi kedalam 5 (lima) bagian yaitu: 39 40 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2013), hal. l78. Dudung Abdurrahman, Metodologi Penulisan Sejarah Islam, (Yogyakarta: Ombak, 2011), hal. 118. 22 BAB I pendahuluan, didalamnya berisikan mengenai latar belakang, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, pendekatan atau kerangka pemikiran, kajian pustaka dan metode penelitian. BAB II membahas sebab-sebab yang mendorong pecahnya konflik di Aceh, di dalam bab ini menguraikan tentang peran Aceh dalam kemerdekaan RI dari mulai sejarah peperangan Aceh, stuktur masyarakat Aceh, kondisi masyarakat Aceh, latar belakang berdirinya Gam. Bab III membahas tentang berbagai kronologi konflik yang terjadi di Aceh dan mengungkapkan apa-apa runtutan dan faktornya. Bab IV membahas langkah-langkah yang di lakukan dalam menyelesaikan konflik di Aceh. Bab V merupakan menjadi penutup yang terdiri dari kesimpulan dan saran. 23 24