Academia.eduAcademia.edu

Resolusi Konflik GAM Aceh

Identifikasi Faktor-faktor Konflik Internal Indonesia-Aceh dan Peran Non-Governmental Organization (NGO) dalam Mediasi Konflik di Aceh Pernyataan Masalah Penelitian (Skripsi) ini akan mengkaji tentang faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik internal dalam konteks Indonesia, dalam hal ini konflik di Aceh dan peran Non-Governmental Organization (NGOs) dalam me-mediasi konflik di Aceh. Sejak Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, pada hakikatnya Indonesia menyimpan potensi konflik internal yang laten, yaitu gerakan antara kelompok negarawan sipil, dengan kelompok pejuang bersenjata yang belum terstruktur, keragaman etnik yang tersebar di luar pulau jawa, serta mayoritas kelompok islam yang sejak awal merdeka berada di pinggiran, tidak terlalu berperan dalam politik dan ekonomi (Ichsan Malik 2009). Konflik mulai muncul di permukaan dan terbuka, diawali dengan pendirian DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pada tahun 1949 di Jawa Barat oleh SM Kartosuwiryo seorang politikus islam (Ichsan Malik 2006). konflik internal mulai mereda pada beberapa tahun, namun ketegangan dan mobilisasi partai politik untuk saling merebut kekuasaan, terutama Partai Komunis Indonesia, melahirkan satu konflik kekerasan terbuka yang sangat berdarah. Dimulai pada tanggal 30 September 1965, maka terjadi pertumpahan darah yang aktor utamanya adalah Partai Komunis Indonesia, Militer Indonesia dan kelompok-kelompok Islam (Hermawan Sulistyo 2000; Cribb, Robert 2000). Pada kurun waktu yang sama dengan konflik politik dan ideologi di Pulau Jawa. Di Papua, 2 tahun setelah PEPERA, pada tahun 1964 berdirilah OPM (Organisasi Papua Merdeka), dan melancarkan aksi untuk melawan pemerintah Indonesia (Dewi. F. Anwar 2005). Pada tahun 1976 Hasan Tiro mendeklarasikan Gerakan Aceh Merdeka yang menginginkan Aceh memisahkan diri dan menjadi suatu negara yang berdaulat (www.acheinstitute.org diakses pada 10 Nopember 2013). Dalam dua dasawarsa terakhir ini, fenomena konflik internal (intrastate conflict) telah mengalami peningkatan baik dalam jumlah maupun kualitas dari konflik itu sendiri. Dalam konteks Indonesia, sejak jatuhnya rezim Orde Baru, Indonesia menjadi sorotan internasional akibat berbagai konflik internal yang meningkat secara signifikan. Konflik internal tersebut berbentuk konflik primordial yang berlandaskan etnis dan agama seperti yang terjadi antara suku Dayak dan Madura kemudian antara kelompok Islam dan Kristen seperti yang terjadi di Maluku dan Poso. Kemudian juga terjadi peningkatan aksi separatisme seperti yang terjadi di Aceh dan Papua di mana tujuan dari gerakan separatisme ini adalah untuk menuntut kemerdekaan dari NKRI (Ronald 2010). Dibawah rezim orde baru pimpinan Soeharto dengan dukungan militer penuh pada tahun 1969 telah membawa Indonesia terkurung dalam sistem pemerintahan yang tersentralisasi (Sulistyowati et.al 2013). Kekuasaan berada di bawah kendali Soeharto dan Pemerintah Pusat yang acap kali disebut sebagai dominasi Jakarta, sebutan bagi Pemerintah Pusat oleh Pemerintah Daerah. Sentralisasi membatasi gerak dan partisipasi politik rakyat serta Pemerintah Daerah yang mengharapkan Pemerintah Pusat lebih demokratis. Runtuhnya rezim orde baru mengawali paradigma baru yaitu tekanan akan demokratisasi dan sistem pemerintahan desentralisasi (Sulistyowati et.al 2013). Menurut (Wahyudi Kumorotomo 2008:16), pergeseran sistem sentralisasi ke arah desentralisasi dipicu oleh beberapa konflik yang muncul seperti terpisahnya Timor Timur. Timor Timur merupakan bekas koloni Portugis sedangkan Indonesia di beberapa wilayahnya adalah bekas jajahan Belanda. Disamping itu, Daerah Istimewa Aceh dengan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan propinsi Papua dengan gerakan separatis Organisasi Papua Merdeka (OPM) yang kaya akan sumber daya alam memberontak dan memiliki bendera kebangsaan sebagai simbol kedaulatan wilayah suatu negara. Gerakan separatis semata-mata dipicu oleh ketidakpuasan daerah terhadap Pemerintah Pusat (Titik Kurniawati 2013). Konflik yang terjadi di Indonesia, seperti Aceh, Poso, Ambon, dan Papua, adalah akibat dari kesenjangan persamaan, keadilan, penegakan hukum, dan kepemimpinan nasional (Kompas, Edisi 26 Agustus 2003:35). Di Aceh, misalnya, konflik timbul terutama karena ada rasa ketidakadilan. Menurut orang Aceh, daerah mereka merupakan salah satu propinsi dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, akan tetapi memilik lebih dalam, kondisi masyarakat di propinsi jauh dari tingkat kesejahteraan dan hasil kandungan itu hanya sebagian kecil yang dapat dinikmati oleh mereka. Sebagian besar justru lari ke Pulau Jawa sehingga jika semula konflik itu hanya terbatas pada pemerintah tetapi lambat laun menjadi sentimen etnis dengan orang Jawa karena anggapan bahwa pemerintah Indonesia adalah pemerintah Jawa. Tuntutan otonomi daerah semakin kuat terhadap Pemerintah Pusat. Hal ini menstimulasi Pemerintah Pusat untuk segera mengkonsolidasikan demokrasi serta memformulasikan kebijakan desentralisasi. Langkah besar ditempuh oleh Indonesia pada masa pemerintahan B.J. Habibie dengan disahkannya UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25 Tahun 2009 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah (Sulistyowati et.al 2013). Berangkat dari di implementasikannya otonomi daerah di Indonesia pada tahun 2001 merupakan langkah awal bagi setiap daerah untuk berani melangkah sesuai dengan koridor tujuan masing-masing. Otonomi daerah bertujuan membentuk pemerintahan yang lebih efektif dimana setiap daerah dituntut untuk mandiri dalam mengelola, melestarikan dan mengembangkan potensi daerah baik itu sumber daya manusia maupun sumber daya alam guna mensejahterakan dan memakmurkan rakyat. Pola utama dari strategi penyelesaian konflik Aceh yang dilakukan oleh pemerintah pusat sejak munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tahun 1970-an hingga berakhirnya pemerintahan Orde Baru pada akhir tahun 1990-an adalah dengan penggunaan aksi represif terhadap anggota dan pemimpin GAM, termasuk yang dicurigai sebagai simpatisan, serta individu-individu maupun kelompok yang membantu GAM. Memasuki tahun 2005, khususnya pasca bencana tsunami yang melanda Aceh muncul kesadaran baru dari pemerintah RI dan pemimpin GAM di Swedia untuk menyelesaikan konflik melalui dialog (Ronald 2010). Menurut Erin McCandless, seperti dikutip (Sean Byrne 2001:4), resolusi konflik mengedepankan cara damai memberikan fokus pada bagaimana, apa, dan siapa yang mentransformasikan lembaga, isu-isu penting, struktur, dan hubungan untuk membangun budaya perdamaian yang berkeadilan dan berkelanjutan. Resolusi konflik pada hakikatnya merupakan serangkaian aktifitas yang berbentuk siklus (EWS. ITP. 2006), yaitu berawal dari pencegahan konflik (conflict prevention), intervensi untuk menghentikan konflik kekerasan (peacekeeping), negosiasi untuk menciptakan perdamaian (peacemaking), serta upaya untuk membina perdamaian agar bisa bertahan dalam jangka waktu ang panjang (peacebuilding). Pertanyaan Penelitian Apa faktor-faktor penyebab terjadinya konflik internal antara Indonesia dan Aceh? Bagaimana peran Crisis Management Initiative (CMI) dalam menangani konflik GAM di Nanggroe Aceh Darussalam? Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: Menganalisa faktor-faktor penyebab terjadinya konflik internal antara Indonesia dan Aceh. Menganalisa peranan Crisis Management Initiative (CMI) dalam menangani konflik GAM di Nanggroe Aceh Darussalam. Manfaat dari penelitian ini meliputi: Mengaplikasikan teori-teori tentang Ilmu Hubungan Internasional dan segala aspek yang mendukung terhadap kegiatan akademik yang selama ini dipelajari penulis di Fakulatas Ilmu Sosial dan Politik UIN Jakarta. Memberikan gambaran secara umum mengenai peran Crisis Management Initiative (CMI) sebagai Organisasi Internasional dalam proses penyelesaian konflik GAM di Nanggroe Aceh Darussalam. Tinjauan Pustaka Dalam Ilmu Politik dan Hubungan Internasional melakukan kajian studi kasus tentang konflik-konflik internal di Indonesia bukanlah hal yang baru. Dalam konteks Indonesia yaitu wilayah-wilayah atau teritorial yang rawan konflik seperti Aceh, Ambon, Maluku, dan Papua telah ada beberapa penelitian yang dilakukan oleh para ahli sosial politik (sospol) terkait konflik-konflik internal di Indonesia, di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Budi Agustono (2005), Pemilu 2004: Transisi Demokrasi dan Kekerasan (2004), BAPPENAS (2011), Arya Hadi Darmawan (2006), Zuly Qodir dan Tunjung Sulaksono (2012), Lambang Trijono dkk (2004). Dari semua penelitian yang dilakukan oleh para ahli sospol di atas ditemukan satu asumsi bahwa konflik-konflik internal di Indonesia tidak hanya menjadi sorotan nasional bahkan menjadi trend topic hangat yang dibicarakan di Dunia Internasional namun temuan yang ada menunjukan bahwa konflik-konflik internal yang terjadi di Indonesia muncul karena dipengaruhi oleh sistem politik dan pemerintahan yang ada sejak masa rejim orde baru menuju era reformasi juga perbedaan sosio-budaya (ras, entis, religiusitas, dan karakter sosio-budaya). Dari keenam penelitian di atas, Budi Agustono menyebutkan bahwa sistem pemerintahan yang bersifat sentrik (terpusat) tidaklah memberikan ruang bagi pemerintah daerah untuk menata dan mengakomodir kepentingan daerah agar kesejahteraan rakyat merata bahkan daerah menjadi teritori sumber eksploitasi pusat seperti Aceh misalnya propinsi yang memilki kekayaan alam yang melimpah, tetapi hanya sebagian kecil hasil yang dinikmati oleh mereka. Sehingga timbulah gerakan separatis Aceh yang ingin memisahkan diri dari Indonesia. Sejalan dengan pemikiran Budi, begitupun Arya dan buku pemilu 2004 menyatakan bahwa secara jelas perbedaan identitas ras, etnis, religiusitas dan karakter sosio budaya merupakan pemicu utama terjadinya konflik di Kalimantan Barat. Selain itu, masalah ekonomi juga menjelaskan mengapa konflik sosial itu terjadi. Pada dasarnya para peneliti semua setuju bahwa beberapa faktor utama yang memicu timbulnya konflik sosial di daerah rawan konflik seperti Papua, Poso, Kalimantan, Maluku, Aceh, Madura dan lain-lain adalah: (1) Political Power stress (rejim otoritarian ORBA); (2) perubahan rejim ketatanegaraan memberikan kebabasan seluas-luasnya; (3) social economic distress (krisis ekonomi); (4) kesadaran akan kebutuhan terhadap pengakuan dan peghargaan sosial atas eksistensi suatu kelompok atau identitas tertentu. menurut Budi pasca runtuhnya orde baru yang diharapkan dapat memberikan ruang baru sistem pemerintahan demokratis yang diharapkan mampu memperbaiki kesejahteraan rakyat dan lebih terbukanya sistem pemerintahan yang pro rakyat namun justru menjauh dari harapan tersebut. Bahkan konflik etnik semakin menjadi dan berujung pada kekerasan, kebrutalan, dan pembersihan etnik. Namun menurut Arya Hadi resolusi yang diperlukan adalah resolusi konflik yang berbasis atau berorientasi nilai-kultural (etika-norma) sebagai penerapan etika pemihakan serta edukasi publik dan resolusi konflik yang berbasis kelembagaan guna memberdayakan ruang komunikasi publik. Karena demokrasi pada era reformasi tidak bisa di andalkan sebagai faktor utama sebagai pemulih keadaan. Kerangka Teori Perdamaian Aceh yang diwujudkan melalui MOU Helsinki 15 Agustus 2005, merupakan satu cerita sukses dalam resolusi konflik atau perdamaian di Indonesia dan dunia internasional (Ichsan Malik 2009:3). Perdamaian Aceh, menghasilkan Nobel Perdamaian bagi fasilitatornya yaitu Mahti Ahtisaari. Terjadi ”win-win solution” antara Pemerintah RI yang semula dengan option Otonomi Khusus, dan GAM dengan opsi Merdeka, akhirnya menjadi ”self goverment” yang ditransformasikan kedalam UUPA. Dalam menganalisa proses perdamaian antara pemerintah RI dan GAM, Aceh tahun 2015, penulis menggunakan teori peacebuilding dalam strategi resolusi konflik dan konsep-konsep yang mendukung implementasi proses perdamaian tersebut (peacemaking, peacekeeping, dan peacebuilding). PBB dan Dewan Keamanannya, sebagai pihak ketiga, mempunyai tiga cara dalam mengatasi konflik yang sedang terjadi: preventive diplomacy, peacemaking dan peacekeeping (Ghali 1992:201), dan untuk melakukan ketiga cara tersebut PBB harus melakukan intervensi terhadap negara yang mengalami konflik baik secara diplomatik, militer ataupun ekonomi. Untuk intervensi kepada negara berkonflik PBB melimpahkan kekuasaannya kepada Dewan Keamanan PBB untuk bertindak sesuai dengan situasi yang ada. Intervensi melalui kekuatan militer biasanya berupa: pengiriman pasukan dan bantuan intelijen, sedangkan intervensi dari segi ekonomi bisa berupa embargo atau pembatalan dana bantuan (William 1996:653). Seperti yang tercantum dalam Chapter VII Piagam PBB tentang adanya ancaman terhadap perdamaian, dimana pada Article 39 dijelaskan bahwa DK PBB berhak untuk menentukan apabila telah terjadi ancaman terhadap perdamaian serta dapat membuat rekomendasi atau memutuskan tindakan apa yang akan diambil untuk menjaga dan menstabilkan perdamaian dan keamanan internasional (www.un.org diakses pada 08 Desember 2013) Studi tentang perdamaian membahas tentang cara-cara penyelesaian konflik tanpa menggunakan kekuatan militer seperti negosiasi, mediasi dan diplomasi. Ketiga hal tersebut termasuk kedalam metode-metode alternatif penyelesaian konflik atau conflict resolution. Johan Galtung membagi perdamaian menjadi dua tipe: positive dan negative peace (Galtung 2010). Dimana positive peace adalah keadaan dimana tidak adanya kekerasan langsung di tingkat struktural, sedangkan negative peace adalah keadaan ketika kekerasan yang terjadi secara langsung sudah tidak ada lagi (Johan Galtung dan Carl G. Jacobsen. 2000). Konsep Resolusi Konflik Resolusi konflik adalah strategi yang didasarkan pada asumsi dan pemahaman yang relatif lebih komprehensif terhadap konflik. Strategi ini berangkat dari asumsi bahwa seringkali, perbedaan ataupun ketidak-sesuaian kepentingan antara pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat dinegosiasikan. Ini terjadi terutama dalam kaitannya dengan konflik-konflik yang bersumber pada isyu-isyu yang fundamental, seperti nilai dan hak azasi manusia (Muhadi dan Rochdi 2011:4). Konflik dalam artian ini tidak bisa diselesaikan dengan memenuhi tuntutan kedua belah pihak semata, melainkan harus didasarkan pada upaya-upaya penyelesaian jangka panjang dengan tetap memperhatikan dan menghargai nilai-nilai dan identitas masing-masing pihak. Dengan kata lain, resolusi konflik adalah penanganan konflik yang dilakukan dengan mengidentifikasi sumber-sumber utama terjadinya konflik dan menemukan cara-cara untuk mengatasi sumber-sumber tersebut. Konsep resolusi konflik memiliki 3 tahapan penting dalam menyelesaikan sebuah konflik yaitu peacemaking, peacekeeping dan peacebuilding. Pencegahan konflik (diplomasi preventif, tindakan preventif, pencegahan krisis, preventive peacebuilding) merupakan berbagai upaya untuk mencegah situasi memburuk sehingga konflik terbuka tidak memburuk menjadi konflik kekerasan. Pengelolaan krisis merupakan proses untuk mencegah agar ketegangan dan sikap konfrontasional antar pihak yang bersengketa perlu harus berubah menjadi pertikaian yang menggunakan tindak kekerasan (Anggoro 2009:4). Konsep Peacebuilding Sekretaris Jenderal PBB Boutros-Boutros Ghali berulangkali menggunakan terminologi peacebuilding dalam laporannya yang berjudul An Agenda for Peace dan menegaskan bahwa peacebuilding merupakan salah satu fokus penting PBB di masa-masa yang akan datang (Ghali 1992). Saat memperkenalkannya ke PBB, Boutros Boutros-Ghali (1992, 11-12). mendefinisikan peacebuilding sebagai berikut: Peacemaking dan peacekeeping dibutuhkan untuk mencegah konflik dan mempertahankan perdamaian jika kondisi tersebut telah tercapai. Jika sukses, keduanya akan memperkuat kesempatan untuk peacebuilding pasca-konflik, yang mana dapat mencegah kemunculan kembali kekerasan diantara individu dan negara (1992, 11-12). Definisi peacebuilding yang ditawarkan oleh Ghali ini kemudian diperjelas oleh hasil kerja Panel PBB atas Operasi perdamaian pada tahun 2000 yang dikenal dengan nama Brahimi Report dimana peacebuilding diartikan sebagai ‘aktivitas-aktivitas yang diambil pada sisi akhir konflik dalam rangka meletakkan dasar-dasar perdamaian serta menyediakan berbagai kelengkapan untuk membangun sesuatu yang lebih penting daripada hanya suatu kondisi dimana tidak ada perang’ (Brahimi Report 2000). Definisi ini selaras dengan apa yang diutarakan oleh Sekreateris General PBB Kofi Annan dua tahun sebelumnya yang mengatakan peacebuilding sebagai ‘aksi-aksi yang diambil pada saat akhir konflik untuk mengkonsolidasikan perdamaian dan mencegah terulangnya kembali kekerasan bersenjata’ (Annan, 1998). Ditilik lebih jauh, kemunculan dan penggunaan secara meluas terma peacebuilding dalam kajian akademis maupun para pembuat kebijakan nampaknya turut dipengaruhi oleh pergeseran konflik yang terjadi di lingkungan internasional setelah berakhirnya perang dingin (Muhadi dan Rochdi 2011:4). Konflik dan kekerasan bersenjata pasca perang dingin ternyata lebih bersifat konflik intrastate (konflik di dalam suatu negara) seperti konflik Aceh (GAM) misalnya, daripada interstate (konflik antar negara). Maka teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan proses perdamaian konflik di Aceh. Metode Penelitian Tipe Penelitian Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian historis atau metode penelitian sejarah karena obyek dalam penelitian ini berupa peristiwa sejarah. (Louis Gottchalk 1983: 32) menjelaskan metode sejarah sebagai “proses menguji dan menganalisa secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau”. Peniliti menggunakan metode sejarah dengan kegiatan mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalaan yang akan dikaji, kemudian mengadakan kritik terhadap data yang telah diperoleh, selanjutnya menafsirkan makna yang saling berhubungan dengan data yang diperoleh untuk selanjutnya menyusun suatu cerita sejarah. Metode historis ini penulis gunakan untuk menjelaskan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik Aceh serta pola resolusi konflik yang digunakan untuk me-mediasi kedua belah pihak yang berkonflik yaitu Indonesia (Pemerintah Pusat) vs Aceh. Teknik Pengumpulan Data Berdasarkan sumber sejarah yang dipergunakan ini, maka dalam melakukan pengumpulan data dipergunakan teknik studi pustaka. Tehnik studi pustaka adalah suatu metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh data atau fakta sejarah, dengan cara membaca buku-buku literatur, majalah, dokumen atau arsip, surat kabar atau brosur yang tersimpan dalam perpustakaan (Koentjaraningrat 1983: 3) Kegiatan studi pustaka dalam penelitian ini dilaksanakan melalui langkahlangkah sebagai berikut: Mengumpulkan sumber yang berupa buku-buku literature, majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Tehnik studi pustaka ini dilakukan dengan system kartu atau katalog dan system komputerisasi. System kartu dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai pengarang, judul buku, nama arsip dan subyek penelitian. sementara system komputerisasi dilakukan dengan mencatat beberapa sumber tertentu mengenai pengarang, judul buku, subyek, kata kunci (key word), nama penerbit dan tahun terbit. Memfotokopi dan mencatat sumber-sumber yang tidak bias di pinjam, seperti buku-buku yang tersimpan di perpustakaan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Perpustakaan Nasional Jakarta. Jenis Data Menurut (Louis Gotschalk 1983: 35), sumber data dibagi menjadi sumber tertulis primer dan sekunder. Dalam penelitian ini penulis menggunakan sumber data tertulis primer maupun skunder. Sumber primer dalam penelitiaan ini berupa surat kabar, yaitu Kompas dan buku yang berjudul “Potret Retak Nusantara” karya Team Center for Security and Peace Studies Editor Lambang Trijono, M. Najib Azca, Dkk. Sedangkan sumber sekunder yaitu buku-buku yang berkaitan dengan masalah yang dikaji. Teknik Analisis Data Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik analisis data kualitatif, dimana penulis akan menjelaskan permasalahan berdasarkan data teoritis yang diperoleh. Angka-angka statistik hanya digunakan sebagai data pendukung dari data teoritis yang dipaparkan. Metode Penulisan Metode penulisan yang digunakan penulis adalah metode deduktif, dimana penulis memulai pembahasan dengan menggambarkan masalah secara umum, lalu kemudian memaparkan secara khusus pengaruh dari masalah yang terlebih dahulu digambarkan. Sistematika Penulisan Sistematika Penulisan, merupakan pengaturan langkah-langkah penulisan penelitian agar runtut dan ada keterkaitan yang harmonis antara pembahasan pertama dengan pembahasan berikutnya. Dalam penulisan skripsi ini penulis membuat sistematika penulisan sebagai berikut: Langkah pertama, merupakan bab pendahuluan yang di dalamnya menjelaskan dasar-dasar pemikiran, permasalahan yang meliputi identifikasi, pembatasan dan perumusan masalah. Setelah itu dijelaskan tujuan, manfaat, dan metode penelitian supaya penelitian terarah dan sesuai dengan permasalahan yang sedang diangkat. Langkah kedua, pengindentifikasian mengenai sejarah awal mula fosil yang membentuk akar permasalahan timbulnya konflik Aceh dilihat dari prespektif politik, sosial dan letak geografis Aceh serta menjelaskan tahap-tahap resolusi konflik yang dilakukan sebagai upaya tercapainya perdamaian jangka panjang. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui akar (faktor-faktor penyebab terjadinya konflik) permasalahan yang menjadi pendorong timbulnya gerakan separatis Aceh, GAM (Gerakan Aceh Merdeka) serta memaparkan penjelasan mengenai peran NGOs (Non Goverment Organization) yang berafiliasi dengan negara-negara konflik sebagai pihak mediator yang berperan meresolusi konflik antara kedua belah pihak yang bertikai, dalam konteks konflik Aceh yaitu CMI (Crisis Management Initiative). Langkah ketiga, penulis menyajikan bentuk analisis dari hasil penelitian yang telah dilakukan yang merupakan bab penutup. BAB II PEMBAHASAN Letak Geografis dan Demograpi Penduduk Aceh Bila ditarik jauh mundur ke belakang pada masa Sultan Iskandar Muda, Lombard Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2006), hal.69-78 telah menunjukkan bahwa faktor alam banyak mempengaruhi—meski dengan tegas Lombard tidak mendukung determinisme geografis sejarah Aceh kala itu, semisal bencana banjir, kebakaran, dan tidak ketinggalan gempa. Rupanya gempa sudah menjadi bagian tak terpisahkan dari Aceh, bahkan “setiap tahun biasa ada tiga empat gempa” saat itu. Denys Lombard, Kerajaan Aceh Zaman Sultas Iskandar Muda (1607-1636) (Jakarta: KPG, Forum Jakarta-Paris, dan Ecole Francaise d’Extreme-Orient, 2006), hal.78 Melompat ke masa Perang Aceh 1873-1912, tergambar jelas bahwa gejala alam yang kita namakan hujan juga turut mempengaruhi jalannya pertempuran antara pemerintah Hindia Belanda dengan gerilyawan Aceh. M.H. Skelely Lulofs, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu, 2007) Secara geografis negeri ini melintang dari barat laut ke tenggara, dan dibelah menjadi dua oleh rangkaian bukit barisan. Sebelah barat pegunungan itu terletak daerah sempit dengan hutan yang lebat, dipenuhi bukit yang sukar dilalui dan daerah yang curam ditepi laut. Daerah yang subur dan terhampar luas adalah daerah sebelah timur yang menjadi daerah pertanian yang kaya hasil padi. Teuku Syamsuddin, “Kebudayaan Aceh” Manusia dan Kebudayaan di Indonesia, ed.Koentjaraningrat (Jakarta: Djambatan, 2002) , hal. 229-247 Luas daerah yang secara administratif RI dinamakan Provinsi Nangroeh Aceh Darussalam ini memiliki luas wilayah 57.365,57 km. Termasuk ke dalam wilayah Aceh adalah 119 pulau-pulau kecil sepanjang pantai barat; 35 gunung mulai dari Leuser, Anu, Abong-Abong, Tangga, Ulumasem, dan Peut Sagu; dua danau yaitu Laut Realoih dan Laut Tawar; serta 73 sungai yang diantaranya adalah Krueng Acehm Krueng Tripa, Krueng Peusangan, dan Krueng Jamboaye. Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.7 Meski secara geografis pada umumnya Aceh terdiri dari daerah yang ditumbuhi banyak bukit yang sukar untuk dilalui, namun kenyataannya justru menjadi berkah sebagai basis pertahanan dan daerah operasi gerilyawan. Kenyataan ini telah terbukti jelas ketika masa Perang Aceh ataupun masa-masa pertikaian GAM-RI. Isi perut tanah Aceh juga sangat kaya akan sumber daya alam. Misalnya, negeri ini kaya akan Liquefied Natural Gas (LNG). Produk LNG di Aceh pada awal tahun 1990-an mencapai 40% dari seluruh produksi dunia. Tambahan pula, pada 1991 hampir 90% hasil produk pupuk Aceh diekspor. Sarah Nuraini Siregar, “POLRI dan Pengelolaan Keamanan Pasca MoU Helsinki” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, ed.Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal. 261-291 Celakanya kekayaan alam Aceh tidak berbanding lurus dengan kekayaan rakyat Aceh. Kondisi yang demikian memunculkan deprivasi relatif yang mendorong gerakan untuk melawan ketidakadilan yang mengejawantah dalam bentuk Gerakan Aceh Merdeka. Komposisi penduduk Aceh sendiri tidak disusun dari suku bangsa yang tunggal. Masyarakat Aceh berasal dari campuran berbagai suku bangsa yang banyak diantaranya berasal dari suku bangsa India dan Arab. Di Lamno yang terletak di pesisir barat, penduduknya berciri fisik mirip orang Eropa karena adanya keturunan darah Portugal. Di wilayah pedalaman, penduduk keturunan Batak dan Nias, Sumatra Utara menambah keragaman etnis di Aceh. Populasi penduduk Aceh yang berjumlah 3.930.905 tadi terdiri dari etnis Aceh (70%), Gayo Lut (7%), Gayo Luwes (5%), Alas (4%), Singkil (3%), Jawa (3%), dan Simeuleu (2%). Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal. 7 Tentunya bisa diingat pula legenda Machudun Sati yang terkenal sebagai leluhur Cut Nyak Din, juga merupakan imigran dari tanah Minangkabau. M.H. Skelely Lulofs, Cut Nyak Din Kisah Ratu Perang Aceh (Depok: Komunitas Bambu, 2007) Jelaslah bahwa Aceh sebagai bangsa, dapat dikategorikan pula sebagai—meminjam istilah Benedict Anderson—imagined community, yakni bangsa sebagai suatu abstraksi atau konstruk dari imajinasi. Pembentukan Identitas orang Aceh diperkirakan oleh Anthony Reid Dalam Irine Hiraswari Gayatri, “Rekonstruksi Aceh Baru” Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki, ed.Ikrar Nusa Bhakti (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.39-85 telah berlangsung sejak terjadinya persentuhan antara peradaban di Aceh dengan jaringan internasional melalui perdagangan dan persebaran agama Islam, kurang lebih sejak abad ke-13. Kondisi yang demikian bisa dimaklumi, karena Aceh pernah menjadi metropolitan pada masa jayanya serta kenyataan bahwa posisi geografis Aceh yang strategis. Keragaman latar belakang bangsa Aceh agaknya telah disatukan oleh persamaan nasib dan sejarah, atau dengan lebih tepat lagi disatukan oleh keberadaan musuh bersama. Peristiwa Perang Aceh 1873-1912, menunjukkan adanya persatuan melawan kaphe diantara segenap bangsa Aceh, yang padahal sebelumnya terjadi rivalitas antar sesama kaum uluebalang dan terdapatnya permusuhan laten antara golongan ulama dengan bangsawan. Pada masa selanjutnya bangsa Aceh juga memiliki common enemy yang bernama Indonesia, telah mengakibatkan bangkitnya nasionalisme Aceh yang sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta yang dianggap melakukan ketidakadilan, ekploitasi, dan kekerasan terhadap Aceh. Indra J. Piliang, “Nasionalisme Aceh dan Negara Federal: Mengapa Tidak?” Analisis CSIS, tahun XXX No.3, 2001,hal. 308-316 Kelahiran GAM (Gerakan Aceh Merdeka) Umum menganggap bahwa GAM dilahirkan pada 4 Desember 1976. Sebenarnya GAM sendiri sebagai wahana pergerakan baru didirikan pada 20 Mei 1977. Namun Hasan Tiro sendiri memilih hari lahir GAM adalah pada tanggal yang disebut paling awal, disesuaikan dengan proklamasi kemerdekaan Aceh Sumatera. Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.13 Proklamasi ini dilangsungkan di Bukit Cokan, pedalaman Kecamatan Tiro, Pidie. Prosesi ini dilakukan secara sederhana, dilakukan di suatu tempat yang tersembunyi, menandakan bahwa awal-awalnya, gerakan ini adalah gerakan bawah tanah yang dilakukan secara diam-diam. Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008) ,hal. 64-66 Bersamaan dengan proklamasi kemerdekaan, Hasan Tiro juga mengumumkan struktur pemerintahan Negara Aceh Sumatera. Akan tetapi, kabinet tersebut belum berfungsi hingga pertengahan 1977, persoalannya adalah karena para anggota kabinet pada umumnya masih berbaur dengan masyarakat luas untuk kampanye dan persiapan perang gerilya. Kabinet Negara Aceh Sumatera baru dapat melaksanakan sidang pertamanya pada 15 Agustus 1977. Sedangkan upacara pelantikan dan pengumpulan anggota kabinet dilaksanakan pada 30 Oktober 1977 di camp Lhok Nilam pedalaman Tiro, Pidie. Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008) , hal. 66 Tulisan ini tidak mengkhususkan deskripsi pada peristiwa detail secara kronologis yang berkaitan pada kejadian disekitar proklamasi ini. Penulis lebih tertarik untuk memaparkan latar belakang kelahiran dan motif-motif yang melahirkan peristiwa ini. Tidak sama dengan kelahiran manusia yang bisa dipastikan dari satu sebab tunggal, yakni proses prokreasi, maka kelahiran GAM sebagai sebuah peristiwa tidak disebabkan faktor yang tunggal namun multifaktor. Terdapat berbagai pendapat yang telah menjelaskan beberapa hal yang menjadi kausa peristiwa ini. Pertama, bahwa GAM merupakan lanjutan perjuangan—atau setidaknya terkait—Darul Islam (DI) Aceh yang sebelumnya pernah meletus pada 1950-an. Tesis ini, didukung oleh Isa Sulaiman yang menilai keterkaitan GAM dangan DI, karena persoalan DI tidak diselesaikan secara tuntas. Dukungan para tokoh DI pada awal lahirnya GAM memperkuat tesis bahwa ada yang belum selesai pada upaya integrasi yang dibangun oleh Sukarno untuk menyelesaikan pemberontakan DI/TII Daud Beureueh. Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008), hal. 63 Namun, penulis menilai tesis ini lemah karena meski memiliki beberapa keterkaitan, tapi bukti bahwa GAM ternyata tidak melanjutkan ideologi Islam sebagai dasar perjuangan dan lebih memilih nasionalisme Aceh sebagai isu polpulisnya Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008. hal.1 merupakan antitesis yang jelas menggugurkan pendapat ini. Kedua, faktor ekonomi, yang berwujud ketidakadilan dan ketimpangan ekonomi antara pusat dengan daerah. Pemerintahan sentralistik Orde Baru menimbulkan kekecewaan berat terutama di kalangan elite Aceh. Pada era Soeharto, Aceh menerima 1% dari anggaran pendapatan nasional, padahal Aceh memiliki kontribusi 14% dari GDP Nasional. Terlalu banyak pemotongan yang dilakukan pusat yang menggarap hasil produksi dari Aceh. Sebagian besar hasil kekayaan Aceh dilahap oleh penentu kebijakan di Jakarta. Meningkatnya tingkat produksi minyak bumi yang dihasilkan Aceh pada 1970-an dan 1980-an dengan nilai 1,3 miliar US Dolar tidak memperbaiki kehidupan sosial ekonomi masyarakat Aceh. Harry Kawilarang, Aceh dari Sultan Iskandar Muda ke Helsinki (Banda Aceh: Bandar Publishing, 2008) hal.156 Penulis menganalisis bahwa faktor ekonomi memang berpengaruh terhadap lahirnya GAM. Tapi ia hanya merupakan salah satu dari sekian banyak kromosom yang dikandung sel sperma yang akan membuahi sel telur, hingga akhirnya melahirkan GAM. Kalau permasalahannya hanya faktor ekonomi, maka tuntutannya tidak akan kemerdekaan. Faktor ekonomi pasti akan diselesaikan dengan tuntutan yang bisa menghasilkan keuntungan ekonomi bagi pihak Aceh. Sel sperma yang sesungguhnya dalam kelahiran GAM adalah ketidakadilan yang dirasakan oleh pihak Aceh. Sel ketidakadilan ini berisi kromosom yang berupa ketidakadilan di bidang ekonomi, politik, dan berbagai ketidakadilan lainnya. Faktor ketidakadilan inilah yang merupakan faktor ketiga dari sebab kelahiran GAM. Sel telur yang siap dibuahi dalam kelahiran GAM adalah identitas ke-Aceh-an yang dimiliki secara kuat dan mendalam oleh bangsa Aceh. Hasan Tiro meyakni bahwa Aceh merupakan identitas tersendiri, yang memiliki sejarah dan jati diri yang kuat. Oleh karenanya, kedaulatan Aceh yang sudah dimiliki ratusan tahun yang lalu harus dikembalikan. Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008. hal.1 Identitas ini semakin diperkuat dengan berbagai ketidakadilan yang ada dan sikap meng-kaphe-kan orang non Aceh, terutama orang Jawa, sebagai kolaborator penguasa Indonesia atas tanah Aceh. Bertemunya sel sperma dan sel telur ini, menghasilkan janin nasionalisme dalam rahim sejarah. Nasionalisme Aceh akhirnya mencuat ke permukaan, baik dalam bentuk paling moderat ke arah referendum penentuan nasib sendiri (yang kemungkinan besar memilih opsi kemerdekaan) hingga jalan radikal berupa separatisme. Nasionalisme Aceh sangat terhubung dengan kekecewaan luar biasa atas Jakarta. Nasionalisme ini sendiri sebenarnya dimunculkan oleh kegagalan Indonesia dalam menguraikan konsepsi kebangsaannya. Ditambah dengan penguasaan atas sumber daya politik dan ekonomi Aceh, terlebih kelak ketika diberlakukannya Daerah Operasi Militer (DOM) yang represif. Nasionalisme Aceh menguat menjadi satu pikiran sederhana: Indonesia adalah common enemy bagi rakyat Aceh. Edward Aspinal, Sejarah Konflik Aceh, 2008. hal.311-312 Demikianlah, maka lahir bayi GAM yang muncul dari nasionalisme bangsa Aceh. Kesepakatan MoU Helsinki Peran CMI (Crisis Management Initiative) dalam Resolusi Konflik Aceh Salah satu konsep yang terkait dengan proses atau kerangka kerja resolusi konflik di negara-negara yang mengalami konflik internal adalah konsep peacekeeping, peacemaking, dan peacebuilding yang ditawarkan oleh Johan Galtung. Galtung mendefinisikan peacekeeping sebagai proses penghentian atau pengurangan aksi kekerasan melalui intervensi militer yang menjalankan peran sebagai penjaga perdamaian yang netral. Kemudian peacemaking didefinisikan sebagai proses yang bertujuannya untuk mempertemukan atau merekonsiliasi sikap politik dan strategis dari pihak-pihak yang bertikai melalui mediasi, negosiasi, arbitrasi terutama pada level elit atau pimpinan. Selanjutnya, peacebuilding diartikan sebagai proses implementasi perubahan atau rekonstruksi sosial, politik dan ekonomi demi terciptanya perdamaian dalam artian positive peace di mana pihak-pihak yang terlibat dalam konflik internal, khususnya masyarakat merasakan adanya keadilan sosial, kesejahteraan ekonomi, dan keterwakilan politik yang efektif. Johan Galtung. Three Approaches to peace: peacekeeping, peacemaking and peacebuilding. (Copenhagen: Christian Eljers, 1975).dikutip dari Aleksius Jemadu. “Analisis Konflik Internal dan Perspektif Ilmu Hubungan Internasional”, dalam Yulius P. Hermawan (eds).. Transformasi Dalam Studi Hubungan Internasional: Aktor, Isu dan Metodologi. (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2007), hal.93 Penggunaan pendekatan multi-jalur (multi-track approach) Multi-Track Approach berasal dari pendekatan Multi-Track Diplomacy yang pertama kali dikemukakan oleh Joseph Montville pada tahun 1981 untuk membedakan upaya diplomasi yang dilakukan oleh negara (jalur pertama) dan non-pemerintah (jalur kedua) dalam proses resolusi konflik. dalam proses resolusi konflik juga berguna dalam membantu meningkatkan fleksibilitas dan pengaruh pihak yang bertanggung jawab dalam memfasilitasi mediasi dengan pihak-pihak yang terlibat konflik internal (Ronald 2010:58). Penyelesaian konflik Aceh oleh pemerintah RI pada masa Orde Baru cenderung menggunakan cara militer saja tanpa disertai diplomasi. Pada masa Presiden B.J.Habibie, pemerintah tetap mengedepankan pendekatan keamanan dengan menggunakan militer dan polisi dalam menjaga keamanan di Aceh. Kemungkinan besar karena meski secara formal Habibie ditunjuk sebagai presiden baru, namun ia tidak memiliki kontrol penuh atas polisi dan militer, yang kala itu—secara personal—berada di tangan Jenderal Wiranto. Kondisi Timor Timur pasca referendum juga meningkatkan gejolak di Aceh, yang menuntut referendum pula sekaligus menciptakan sikap militer yang semakin keras karena tidak mau “kecolongan” lagi. Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.17-21 Angin segar baru berhembus pada awal 2000, ketika Presiden Abdurahman Wahid mencoba melakukan pendekatan baru, yang disebut dengan pendekatan ekonomi dan politik, dan mencoba membuka dialog damai dengan GAM. Pada 12 Mei 2000, kedua pihak yang bertikai melalui mediasi Henry Dunant Centre (HDC) menandatangani “Jeda Kemanusiaan” (Joint Understanding on Humanitarian Pause for Aceh) yang berlaku 2 Juni 2000-15 Januari 2001. Sayangnya, kekerasan masih terjadi di lapangan. Jeda tersebut digantikan melalui Kesepakatan Dialog Jalan Damai pada Maret 2001, namun juga tidak menghasilkan kemajuan yang berarti. Akibatnya pada 11 April 2001, Presiden mengumumkan Instruksi Presiden No.4/2001 tentang Langkah Menyeluruh untuk Penyelesaian Masalah Aceh, yang tidak mencakup deklarasi keadaan darurat di Aceh.Tapi instruksi tersebut tetap saja membuka jalan bagi peningkatan operasi militer. Impeachment terhadap Gus Dur sebenarnya juga dipengaruhi ketidakmesraan hubungan Gus Dur dengan militer. Pada Juli 2001, Presiden Megawati Soekarnoputri yang menggantikan Gus Dur, berlaku Kesepakatan Penghentian Kekerasan (Cessation on Hostilities Agreement, CoHA) yang ditandatangani di Jenewa pada 9 Desember 2002. Lagi-lagi jalan buntu menghadang kedua belah pihak. Keluarlah Keputusan Presiden No.18/2003 yang diumumkan pada 19 Mei 2003 untuk menerapkan status darurat militer di Aceh. Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.17-21 Proses peacekeeping menurut konsep yang penulis gunakan untuk kasus Aceh bisa dikesampingkan karena penghentian kekerasan oleh pemerintah Indonesia dan GAM sejak terjadinya tsunami 26 Desember 2004 berlangsung unik tanpa intervensi militer dari manapun. Musibah yang mendatangkan berkah akhirnya ini telah turut mengambil peran untuk mendamaikan para pihak yang bertikai. Musibah tersebut menuntut pemerintah dan GAM untuk lebih memikirkan solusi damai dalam menyelesaikan pemberontakan bersenjata di Aceh. Antara Januari hingga Juli 2005, pemerintahan SBY-JK melakukan lima kali “pertemuan informal” dengan GAM di Helsinki. Pertemuan informal itu difasilitasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang diketuai oleh mantan Presiden Finlandia Martti Ahtisaari. Ikrar Nusa Bhakti, Beranda Perdamaian Aceh Tiga Tahun Pasca MoU Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar, 2008), hal.20 Bukanlah hal yang tidak lazim ketika proses peacemaking untuk Aceh dimulai dari kontak informal antara pemerintah Indonesia dan GAM yang di mediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI) dari Finlandia. Pertemuan yang tentunya disertai dengan tarik ulur kepentingan tanpa pertumpahan darah tentunya, akhirnya menghasilkan Nota Kesepahaman antara Pemerintah RI dan GAM yang ditandatangani 15 Agustus 2005, yang dikenal dengan MoU Helsinki. Sebuah kompromi politik untuk menyelesaikan masalah separatisme yang telah terjadi begitu lama, sehingga tidak menghasilkan formula win-win solution namun lebih ke lose-lose solution. Di satu sisi GAM kalah selangkah karena mengubah tuntutannya dari self-determination menjadi self-government, dan menerima konstitusi RI. Di sisi lain, Pemerintah RI juga kalah selangkah karena tidak berhasil membubarkan GAM, dan hanya membubarkan Tentara Negara Aceh (TNA—yang sekarang berubah menjadi Komite Peralihan Aceh, KPA). Namun dengan munculnya formula kompromi di mana demokrasi lokal menjadi instrumen bagi kedua belah pihak, cara inilah yang dapat menyelamatkan nyawa ribuan orang di Aceh yang senantiasa terhimpit oleh kekerasan demi kekerasan yang terjadi akibat konflik. Moch. Nurhasim, Konflik dan Integrasi Politik Gerakan Aceh Merdeka: Kajian tentang Konsensus Normatif antara RI-GAM dalam Perundingan Helsinki (Jakarta: P2P-LIPI dan Pustaka Pelajar: 2008), hal.216 Ketika MOU Helsinki ditandatangani, reaksi dunia internasional sangat positif. Negara-negara ASEAN yang secara tradisional mendukung posisi pemerintah Indonesia dalam konflik Aceh meskipun prihatin dengan situasi hak asasi manusia disana langsung menyambut gembira perjanjian tersebut dan siap berpartisipasi dalam Aceh Monitoring Mission (AMM) untuk mengawasi jalannya proses peacebuilding. Dalam menjalankan tugas sesuai pasal 5.2. MoU Helsinki, AMM mengawasi pelepasan dan pemberian amnesti kepada 1.600 tahanan GAM oleh Pemerintah Indonesia (Ronald 2010:63). Pemberian amnesti merupakan bentuk confidence build measure untuk mengharmonisasikan keadaan. Dalam hal penghancuran senjata GAM, AMM mengawasi penyerahan dan penghancuran 840 pucuk senjata. Penghancuran persenjataan GAM dilakukan dalam empat tahap yang berakhir pada bulan Desember 2005. Bagi pemerintah Indonesia, penyerahan dan penghancuran persenjataan GAM merupakan indikator keseriusan GAM dalam implementasi proses perdamaian Aceh. Keberlangsungan proses perdamaian juga bergantung pada tahap ini. Sejalan dengan penyerahan dan penghancuran persenjataan GAM, AMM mengawasi penarikan pasukan non-organik TNI dan Polri keluar dari Aceh. Proses penarikan pasukan berlangsung parallel dengan proses penghancuran persenjataan GAM yang dimulai pada bulan September - Desember 2005. Pada akhir tahun 2005, 25.890 pasukan TNI dan 5.791 pasukan Brimob telah ditarik keluar dari Aceh (Ronald 2010:64). Pendekatan Multi-Party yang digunakan oleh CMI juga menjadi factor lain keberhasilan dalam mediasi resolusi konflik di Aceh. Pendekatan multi-party memungkingkan CMI untuk membuka dialog dengan berbagai pihak baik yang terlibat secara langsung dalam konflik maupun dalam proses peacebuilding. Sebagai sebuah NGO tentunya CMI memiliki berbagai keterbatasan, namun lewat penggunaan pendekatan ini pengaruh mediasi CMI dalam memprakarsai perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan Aceh dapat ditingkatkan. Dukungan yang diberikan kepada CMI oleh Uni Eropa menjadi salah satu pengaruh besar terhadap kekuatan mediasi yang dimiliki CMI. Sifat integratif yang dimiliki oleh pendekatan ini menyatukan setiap pihak yang terlibat dalam konflik sehingga pembagian beban dan resiko dalam melaksanakan hal-hal yang disepakati dalam Deklarasi MoU Helsinki ditanggung bersama-sama. BAB III PENUTUP Tahap partama, proses peacekeeping dapat dikesampingkan mengingat intervensi yang menyebabkan de-eskalasi konflik di Aceh bukan berasal dari intervensi militer asing manapun, melainkan bencana tsunami yang yang menjadi determinan penghentian kekerasan bersenjata ( cessation of hostilities), Beberapa momentun sekaligus tantangan bagi Aceh dan Indonesia dalam proses Transformasi konflik dan politik, momentum ini boleh disebut sebagai tahapan baru membangun Aceh dan Indonesia. Paska musibah diluar dugaan tersebut semua orang berharap bahwa ini babak baru membangun Aceh. Setiap orang atau kelompok yang selama ini terlibat dalam konflik dan pengelolaan pembangunan Aceh sadar dan kembali berfikir untuk sepenuhnya mewujudkan kedamaian dan kesejahteraan rakyat Aceh. (Kamaruddin Hasan 2011). Proses kedua, proses peacemaking. Proses ini dimulai dari kontak informal antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka yang dimediasi oleh Crisis Management Initiative (CMI). CMI merupakan sebuah organisasi NGO Internasional yang bergerak dalam bidang resolusi konflik yang beralokasi di pusat kota Helsinki, Firlandia yang berdiri pada tahun 2000 oleh Martti Ahtisaari (www.cmi.fi diakses 24 Oktober 2013). Keberhasilan utama dari proses ini adalah dengan di tandatanganinya Memorandum of Understanding mengenai perdamaian antara Indonesia dan GAM pada tanggal 15 Agustus 2005 yang merupakan satu cerita sukses dalam resolusi konflik/ perdamaian di Indonesia dan Dunia Internasional (Ichsan Malik 2009). Tahap ketiga adalah peacebuilding yang merupakan kelanjutan dari proses peacemaking diawali dengan pembentukan Aceh Monitoring Mission (AMM) sesuai arahan yang ditetapkan oleh MoU Helinski. Dari penjelasan diatas, penulis akan memfokuskan pada faktor yang melatarbelakangi terjadinya konflik internal dalam konteks Indonesia dalam hal ini konflik di Aceh dan peran Non-Governmental Organization (NGO) dalam mediasi konflik di Aceh. Page | 20