ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 -
Mengembalikan Penyelesaian
Konflik Aceh Melalui Jalan
Damai
Sebuah Evaluasi
Pelaksanaan Darurat Militer
di Aceh
ELSAM – Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat
Jl. Siaga II No. 31, Pejaten Barat, Jakarta 12510, Indonesia.
Tlp.: +62-21-7972662; 79192564. Facs.: +62-21-79192519
Email:
[email protected] Website: www.elsam.or.id
1
2
- ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 -
3
Abstrak
Laporan ini melihat enam bulan pelaksanaan darurat militer di Aceh dan sekaligus
mempertanyakan apakah kebijakan Darurat Militer (selanjutnya disingkat DM) adalah
kebijakan yang tepat bagi penyelesaian aceh secara permanen? Melihat secara mendetail
dari pelaksanaan darurat militer, jawabannya adalah tidak. Sekalipun DM mampu
mengurangi secara kuantitas aktivitas bersenjata Gerakan Aceh Merdeka (GAM), bukan
berarti darurat militer mampu menjadi kebijakan penyelesaian aceh secara permanen.
Disamping itu, DM pun terbukti gagal untuk mengurangi berbagai persoalan ekonomi,
sosial, politik, hukum dan penegakkan HAM, karena kebijakan tersebut adalah bentuk
dari penamaan lain operasi militer.
Belajar dari pengalaman enam bulan terakhir, dapat ditarik beberapa pelajaran penting
tentang kegagalan penyelesaian persoalan konflik di daerah dengan menggunakan
kerangka DM. Pelajaran itu antara lain :
1.
2.
3.
Pentingnya memahami UU Darurat Militer sebelum dipilih menjadi kebijakan
penyelesaian konflik: Ketika upaya penyelesaian masalah konflik di daerah
menggunakan kebijakan DM, sudah pasti tidak akan bisa menyelesaikan konflik
secara permanen. Bagaimanapun juga isi DM adalah murni penggunaan kekuatan
militer untuk menyelesaikan masalah. Dan penggunaan kekuatan militer pada
akhirnya akan justru menambah persoalan-persoalan baru seperti gelombang
pengungsian dan kasus-kasus pelanggaran HAM. Lebih penting lagi, bahwa
penggunaan kekuatan militer sudah barang tentu menafik persoalan ekonomi,
sosial, budaya, politik, lemahnya penegakkan hukum dan buruknya perlindungan
hak asasi manusia.
Bentuk implementasi DM adalah serba darurat untuk mendukung kemenangan
perang: penerapan DM di Aceh, implementasinya lebih pada penekanan keadaan
darurat, di mana semua arah pelaksanaan lebih pada ditujukan untuk kepentingan
keberhasilan operasi militer. Jadi tidak mungkin dalam DM bisa dimasukkan
capaian-capaian non militer seperti penanganan pengungsian, penguatan
penegakkan hukum, pemulihan efektifitas roda pemerintahan daerah.
Kapasitas institusi DM adalah murni penyelenggara perang: bagaimana pun juga
institusi DM adalah institusi militer yang tugasnya adalah menyelanggarakan
pertahanan negara, baik dari dalam maupun dari luar. Sehingga memberikan
harapan besar akan adanya perubahan positif atas satu wilayah konflik terhadap
institusi DM adalah harapan yang sia-sia. Perlu diketahui bahwa institusi DM
tidak memiliki kapasitas menyelesaikan permasalah konflik lain, diluar kapasitas
mengorganisir pemerintahan untuk kepentingan pemenangan perang. Insitusi
DM tidak pernah dilatih untuk menghidupkan roda ekonomi, mengentaskan
- ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
4
penduduk sipil dari kemiskinan, penanganan penangguran, penegakkan hukum,
serta perlindungan dan perhormatan hak asasi penduduk sipil.
Laporan ini bermaksud memaparkan enam bulan pelaksanaan DM, yang didalamnya
mencakup pelaksanaaan lapangan, capaian dan penyebab kegagalannya. Laporan ini juga
memuat informasi mengenai korban pembunuhan, penculikan (orang hilang),
penangkapan dan penahanan sejak ditetapkannya situasi darurat militer ini.
REKOMENDASI
Kepada Pemerintah RI
1.
2.
3.
4.
Mempertimbangkan kembali pemberlakuan status DM, dan mengantikannya
dengan operasi pemulihan hukum dan rekontruksi sosial di Aceh. Selain itu,
sesegera mungkin mengambil langkah konkret untuk kembali menyelesaikan
konflik di Aceh melalui jalan damai;
Membentuk Tim Independen yang beranggotakan ahli hukum, pekerja hak asasi
manusia, dan pakar militer untuk melakukan human rights auditing terhadap operasi
terpadu, yang dapat menghadirkan penilaian seobyektif mungkin terhadap situasi
Aceh saat ini. Tim ini hendaknya menggunakan prinsip hukum humaniter dan
instrumen hak asasi manusia internasional sebagai ukuran dalam melakukan
evaluasinya;
Memberikan kepercayaan penuh kepada Komnas HAM untuk melakukan
penyelidikan, menindaklanjuti laporan pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan oleh TNI, Brimob dan GAM ketingkat penyelidikan pro-justicia, seperti
yang diamanatkan oleh UU 26/2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusi;.
Membuka kembali akses masyarakat sipil secara lebih besar, baik itu lembaga
kemanusiaan domestik maupun internasional, untuk menangani pengungsi dan
program kesejahteraan lainnya bagi penduduk Aceh yang semakin menderita.
Kepada GAM
1.
2.
3.
Menghentikan tindak kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya
terhadap penduduk dan menciptakan mekanisme internal yang dapat mencegah
kejadian seperti itu di masa mendatang, dengan menghormati hukum humaniter
dan instrumen hak asasi manusia internasional lainnya;
Mengadili panglima-panglima wilayah yang melakukan pelanggaran terhadap
hukum humaniter internasional dan hak asasi manusia, dan menghentikan teror
terhadap penduduk sipil dan peculikan;
Mendorong dan membuka kembali proses penyelesaian masalah secara damai
dan mengambil langkah-langkah konkret untuk mewujudkan perdamaian di Aceh;
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 -
4.
5
Menghentikan perekrutan dan penggunaan anak-anak sebagai bagian dari gerakan
bersenjata (child combatants).
Kepada Dunia Internasional
1.
2.
3.
Berperan aktif untuk mendorong pemerintah Indonesia serta Gerakan Aceh
Merdeka untuk kembali ke meja perundingan dan menyelesaikan masalah Aceh
melalui jalan damai.
Mendesak pemerintah Indonesia untuk mengundang special rapporteurs untuk
perlindungan human rights defenders dan masalah penanganan internally displaced
people (IDPs).
Mendesak pemerintah Indonesia maupun GAM untuk secepatnya mengambil
langkah mewujudkan berbagai titik keprihatinan (points of concern) di atas.
6
- ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 -
7
I. Pengantar
Gagalnya pertemuan antara pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)
di Tokyo, 18 Mei 2003, berakibat fatal dan mensirnakan semua pencapaian menuju
perdamaian dari berbagai pertemuan dan kesepakatan sebelumnya. Pemerintah Indonesia
melancarkan operasi militer sebagai reaksi terhadap berbagai insiden bersenjata, dan
dengan begitu mendesakkan penyelesaian konflik berkepanjangan di Aceh melalui jalan
militer. Akibatnya birokrasi dan masyarakat sipil yang sebenarnya dapat berperan penting
kembali dipinggirkan dari arena penyelesaian. Protes dari berbagai kalangan di Aceh
maupun Jakarta, mulai dari anggota DPR, Komnas HAM, kalangan ahli, organisasi
keagamaan, kelompok mahasiswa dan LSM, tidak mendapat tanggapan. Dan akhirnya
rakyat Aceh yang harus membayar mahal, karena perang itu membuat taraf kehidupan
mereka semakin merosot.
Menjelang enam bulan penerapan darurat militer, perlu dipertanyakan apakah darurat
militer merupakan kebijakan yang tepat untuk menyelesaiakan persoalan Aceh secara
permanen? Dilihat dari enam bulan pelaksanaan DM, dapat dikatakan bahwa kebijakan
DM bukan kebijakan yang tepat untuk menyelesaikan konflik aceh secara permanen.
Sekalipun DM dapat memperkecil ruang gerak GAM, kebijakan tersebut gagal untuk
menyelesaikan masalah keterpurukan ekonomi, munculnya persoalan sosial, rendahnya
perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia penduduk sipil dan krisis pada
pemerintahan sipil di NAD.
Kegagalan DM di Aceh adalah akibat dari tidak berjalannya seluruh operasi yang ada
dalam operasi terpadu yakni, operasi kemanusiaan, operasi penegakkan hukum dan operasi
pemulihan roda pemerintahan daerah, akibat dominasi operasi pemulihan keamanan.
Banyak sekali langkah-langkah penting dari operasi non-militer yang tidak bisa dijalankan
secara partial karena bertentangan dengan strategi dari operasi pemulihan keamanan.
Laporan ini akan melihat pelaksanaan operasi militer di Aceh selama enam bulan terakhir
dengan tujuan menjadi pertimbangan bagi semua pihak untuk segera mempertimbangkan
kembali keputusan memperpanjang DM di Aceh. Laporan ini juga akan memperlihatkan
bahwa penanganan persoalan Aceh melalui cara-cara damai adalah kebijakan yang paling
tepat. Di samping membaca semua dokumen dan laporan dari berbagai pihak termasuk
laporan resmi pemerintah, penyusun laporan ini juga berkonsultasi dengan sejumlah tokoh
masyarakat sipil, peneliti masalah Aceh, aktivis hak asasi manusia serta penduduk.
II. Pelaksanaan Darurat Militer di Aceh
Pada tanggal 19 Mei 2003, Presiden Megawati Sukarnoputri mengeluarkan Keputusan
Presiden (Kepres) No 28/2003, tentang pemberlakuan Darurat Militer di propinsi
- ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
8
Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Sekalipun kebijakan tersebut mendapatkan kritik
cukup keras dari dalam dan luar negeri, pemerintah tetap bersikeras untuk menggelar
Operasi Militer di Aceh. Alasan bahwa GAM tidak mau menyelesaikan konflik Aceh
secara damai, sehingga pemerintah perlu mengambil langkah-langkah militer guna menjaga
kedaulatan dan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diamanatkan
dalam konstitusi RI.1
Isi dan Konsep Darurat Militer
Secara garis besar, isi Kepres No 28/2003 memiliki dua keputusan penting yakni,
menetapkan Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam sebagai daerah bahaya dalam tingkatan
Darurat Militer selama enam bulan, kemudian menunjuk Panglima Komando Daerah
Militer (Kodam) Iskandar Muda sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah, dengan dibantu
oleh Kepala Kepolisian Daerah (Kapolda), Gubernur dan Kepala Kejaksaan Tinggi NAD.
Dalam kepres tersebut, presiden memerintahkan kepada para pejabat pelaksana untuk
menggunakan UU No 23 Prp Tahun 1959 dan UU No 57 Prp Tahun 1960, sebagai
panduan pelaksanan darurat militer di Aceh.
Bentuk Implementasi Darurat militer di Aceh adalah penggelaran Operasi Terpadu.
Operasi ini terdiri atas empat operasi antara lain; Operasi Pemulihan Keamanan; Operasi
Kemanusiaan;Operasi Penegakan Hukum; dan Operasi Pemantapan jalannya
Pemerintahan. Secara umum masing-masing operasi memiliki tujuan dan kewenangan
yang berbeda-beda. Berikut sasaran dari masing-masing operasi :2
1)
2)
3)
4)
Operasi Kemanusiaan memiliki sasaran melindungi keselamatan penduduk
secara fisik dan memberi bantuan kesehatan, pendidikan, makanan, kegiatan
ibadah, dan memberikan lapangan pekerjaan secara kongkrit.
Operasi Penegakkan Hukum memiliki sasaran melakukan pengintesifan
penegakkan hukum di propinsi NAD. Operasi ini juga, menjadi awal
dinyatakannya bahwa gerakan separatis GAM adalah kejahatan terhadap
keamanan negara, sehingga para anggota GAM baik, combatan maupun non
combatan harus ditangkap dan diproses secara hukum.
Operasi Pemulihan keamanan, memiliki sasaran memulihkan keamanan dan
mereduksi kekuatan bersenjata GAM dengan menggelar operasi-operasi militer.
Penanggungjawab operasi ini adalah Panglima TNI
Dan sasaran Operasi Pemberdayaan Pemerintahan adalah menghidupkan
kembali jalannya roda pemerintahan lokal yang tidak efektif.
Lih. “Pemahaman Status Darurat Militer, Memahami Penetapan Bahaya Dalam Status Darurat Militer di
propinsi NAD”, Informasi Penguasa Darurat Militer Aceh, bagian pendahuluan, 30 Juni 2003
2
Ibid.
1
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 -
9
Sekalipun kerangka operasi mengesankan adanya pengabungan pendekatan antara aksi
militer dan non militer, namun demikian operasi utam dari operasi terpadu adalah operasi
pemulihan keamanan. Artinya tiga operasi non militer dalam operasi terpadu digelar untuk
mendukung langkah-langkah yang dilakukan oleh operasi pemulihan keamanan.3
Mekanisme dan Institusi Pelaksana
Untuk menjalankan Operasi Terpadu tersebut, Megawati membentuk struktur Penguasa
Darurat Militer ditingkat pusat (PDMP) dan Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD).
Untuk menjalankan tugasnya sebagai PDMP, Megawati membentuk Badan Pelaksana
Harian Penguasa Darurat Militer Pusat ( PHPDMP) yang ketua dan anggotanya berasal
dari jajaran menteri koordinator, menteri biasa, Panglima TNI, Kepala Kepolisian Republik
Indonesia (Kapolri), Kepala Badan Intelejen Negara (BIN), Jaksa Agung dan Kepala
Staf Angkatan.
Sementara di tingkat daerah, Megawati menunjuk Panglima Komando Daerah Militer
(Pangdam) Iskandar Muda sebagai Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD). Kemudian
Pangdam Iskandar Muda menggunakan struktur Kodam sebagai struktur pelaksana utama
Darurat Militer. Dimulai dengan menjadikan Kepala Staf Daerah Militer (Kasdam)
Iskandar Muda sebagai Wakil PDMD, kemudiaan Pangdam menunjuk para Asisten
Komandan Satuan Tugas Pelaksana. Sementara, untuk menjalankan tugas-tugasnya
tersebut, PDMD juga dibantu oleh Gubernur, Kapolda dan Kajati NAD.
Dengan struktur DM itulah kemudian PDMD menjalankan wewenangnya seperti
tercantum dalam UU No 23 Prp Tahun 1959 antara lain ;
a)
Mengatur membatasi, atau melarang peredaran, pembuatan senjata api atau
perlengkapan peledak
b)
Menguasai seluruh perlengkapan pos dan telekomunikasi
c)
Menutup gedung-gedung tempat pertunjukkan, balai pertemuan, rumah makan
dan lain-lain
d)
Mengatur, membatasi atau melarang lalu lintas di darat, udara dan perairan serta
penangkapan ikan
e)
Mengatur, membatasi, atau melarang keluar masuk barang ke daerah status
darurat militer
f)
Menahan atau menyita seluruh sura, kiriman, wesel dan kwitansi.
g)
Melarang orang untuk bertempat tinggal dan meninggalkan daerah darurat militer
h)
Mengadakan militerisasi terhadap jawatan, perusahaan atau jabatan tertentu
i)
Menangkap dan menahan orang selama-lamanya 20 hari dan melaporkannya
kepada penguasa pusat pada waktu 14 hari
3
Ibid.
10 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
j)
Melarang keluarnya keputusan (peraturan) dari pemerintah daerah, pejabat daerah
lainnya.
Di level Operasi Tempur, Megawati membentuk Komando Pelaksana Operasi (Kolakops)
Militer Aceh, yang berfungsi sebagai institusi pelaksana Operasi Pemulihan Keamanan
di lapangan. Kolakops Aceh langsung berada dibawah wewenang Panglima TNI. 4
Kolakops juga berfungsi menjadi pusat komando bagi batalyon-batalyon dari luar Aceh,
atau batalyon non organik. Kedudukan Kolakops diduga setara dengan PDMD, sehingga
hubungan dua institusi ini hanya sebatas jalur koordinasi saja. Dalam menjalankan
tugasnya Pangkolakops dibantu oleh sejumlah perwira menengah dari tiga satuan tugas
(satgas), meliputi Satgas Darat, Satgas Laut, Satgas Udara. Khusus untuk satgas darat,
kemudian dipecah menjadi, satgas mobile, satgas Obyek Vital Nasional/Daerah (Obvitas/
da), satgas intelejen, satgas penegakkan hukum, dan satgas penerangan. Pasukan-pasukan
yang dilibatkan dalam operasi ini berjumlah 34.154 personel dengan rincian 25.886
personel AD, 3.234 personel AL, 2.971 personel AU.5 Sedangkan alat senjata yang
digunakan dalam operasi di Aceh meliputi, Kendaraan Tempur (32 Tank, 47 panser),
Pesawat (3 unit F 16, 4 unit Hawk, 4 unit OV) dan kapal perang (1 BTD, 2 Korvet, 3
Kal, 1 Ac, 4 FPB, 1 SLT, 1PKML).antara lain, pasukan Kostrad, Kopasus, Marinir,
Paskhas AU, BAIS, Polisi Militer dan satuan penerangan.
Operasi kemanusiaan dibentuk oleh pemerintah untuk melayani pengungsi dan penduduk
Aceh pada umumnya dengan tujuan mengurangi derita mereka akibat perseteruan GAM
dengan TNI. Dikendalikan Menko Kesra Jusuf Kalla, operasi itu melibatkan sejumlah
menteri: pendidikan nasional, sosial, kesehatan, serta permukiman dan prasarana wilayah.
Penanggung jawab di tingkat pusat adalah Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah, sedangkan
di tingkat provinsi ialah Wakil Gubernur NAD Azwar Abubakar. Untuk operasi
kemanusiaan, Megawati menggunakan Satuan Koodinasi Pelaksana Penanggulangan
Bencana dan Penanganan Pengungsi (Satkorlak PBP) sebagai pelaksana penggelaran
operasi kemanusiaan. Sekalipun demikian, pelaksanaan operasi kemanusiaan, dilapangan
masih sepenuhnya melibatkan TNI, sementara pejabat dan PNS hanya menjadi pembantu
yang digelar dalam bentuk “Operasi Bhakti TNI”.
Sementara untuk menjalankan operasi Penegakkan Hukum (Kalakops Gakkum).
Kalakops Gakkum Rencong berada dibawah komando langsung Kapolri. Institusi ini
yang akan menjadi komando pasukan-pasukan BKO polisi dari luar Aceh. Jumlah personel
yang dilibatkan dalam operasi ini berjumlah 14.500 personil dengan rincian 2.063 personel
Lih. “Memahami Penetapan Bahaya Dalam Status Darurat Militer di Propinsi NAD”, Informasi Resmi
PDMD, bagian 4. Pelaksanaan Operasi Terpadu, poin c. Operasi pemulihan keamanan, 30 Juni 2003
5
Lih. “Operasi Pemulihan Keamanan Merupakan Inti Pelaksanaan Operasi Terpadu”, Laporan Resmi
PDMD, 18 Juli 2003;
4
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 11
Brimob dan sisanya terdiri dari personel Reserse, Intelejen Pengamanan, Samapta,
Lalulintas, Binmas dan satuan penerangan.
Untuk menggelar operasi pemantapan roda pemerintahan, dibentuklah Tim Kerja Teknis
Pemantapan Pemerintahan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam di jajaran Departemen
Dalam Negeri, dengan dibantu dari kalangan Intelejen TNI dan Polri. Penanggungjawab
operasi ini adalah Menteri Dalam Negeri dibantu oleh para Kepala Dirjend yang berada
dibawah kementerian dalam negeri. Secara garis besar, operasi pemulihan pemerintahan
memiliki Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan dilaksanakan agar seluruh
pemerintahan daerah sampai dengan tingkat kecamatan dan sebagian besar pemerintahan
Desa mampu melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dengan
baik.
Pelaksanaan Operasi Terpadu
1. Operasi Pemulihan Keamanan
Berdasarkan Kepres No 28/2003 serta penjelasan resmi dari Penguasa Darurat Militer
Daerah NAD Operasi Pemulihan keamanan memiliki tujuan menghancurkan kekuatan
pemberontak GAM, mengamankan obyek vital nasional dan daerah, membantu kelancaran
roda pemerintahan dan melindungi serta mengamankan kehidupan sosial masyarakat.
Dalam penjelasan resmi PDMD, juga dijelaskan bahwa langkah-langkah yang diambil
oleh pejabat Darurat Militer dan Operasi Pemulihan Keamanan akan selalu menghormati
hukum humaniter dan hak asasi manusia internasional dan nasional.
Langkah-langkah yang diambil oleh PDMD dan Kolakops meliputi, kerangka operasi
militer dari Kolakops ini terdiri dari lima tahap besar.6 Pertama, mendeteksi keberadaan
dan kegiatan pemberontak GAM melalui pencarian dan pengembangan informasi (operasi
intelejen). Kedua, mengintensifkan pasukan-pasukan mobil untuk melakukan seranganserangan ke daerah-daerah konsentrasi/basis mereka (operasi penghancuran). Ketiga,
meningkatkan patroli-patroli aktif terhadap daerah-daerah yang diindikasikan terdapat
pemberontak GAM (operasi pembatasan ruang gerak GAM). Keempat, memisahkan GAM
dengan dengan masyarakat melalui operasi pengintaian di dalam dan luar pemukiman
penduduk (Operasi Sapu Bersih ). Kelima, melindung dan mengamankan obvitnas/da
dari gangguan keamanan melalui penambahan jumlah personel TNI (Operasi
pengamanan).
Lih. “Pemulihan Keamanan Merupakan Inti Pelaksanaan Operasi Terpadu”, Laporan Resmi PDMD, 18
Juli 2003
6
12 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Menghancurkan Kekuatan GAM
Mengidentifikasi Informasi dan
Jaringan GAM Bersenjata
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Terjadi penangkapan besar-besaran terhadap
penduduk sipil tanpa pandang bulu, terutama
bagi keluarga, simpatisan dan orang yang
difitnah sebagai GAM
Menghancurkan GAM
bersenjata
Terimplementasi setengah
Penggunaan alat persenjataan berat, kerap
menelan korban dari pihak sipil. Atau bahkan
banyak GAM non combatan, yang kerap
menjadi sasaran aksi-aksi militer TNI/Brimob.
Sejumlah laporan dari lapangan juga
menyebutkan bahwa, TNI/Brimob saat ini
hanya mampu menghancurkan basis-basis GAM
yang tergolong lemah.
Pemisahan penduduk sipil
dengan kekuatan GAM
bersenjata
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Pola pemisahan penduduk sipil, sering
menggunakan cara-cara kekerasan, seperti
intimidasi, pengangkutan paksa, dan
pembakaran, pengerusakan, penjarahan rumahrumah penduduk.
Memperkecil ruang gerak GAM
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Bentuk-bentuk operasi penyisiran atau patroli
rutin sangat terbatas, dan lebih banyak
menggunakan penduduk sipil untuk mengontrol
wilayahnya sendiri-sendiri, seperti pembentukan
kelompok siskamling, memaksa kepala desa
untuk mengamati penduduknya, dan
mengeluarkan kebijakan-kebijakan pelarangan
atas aktivitas kebiasaan penduduk sipil. Seperti
memberlakukan wajib lapor bagi penduduk sipil
yang hendak ke hutan, ladang, tambak maupun
melaut.
Menjamin kelancaran roda pemerintahan dan melindungi Aset
penting pemerintah
Melindungi Obvitnas/Obvitda
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Perlindungan yang diberikan hanya sebatas pada
perusahaan-perusahaan besar Asing. Seperti PT
Exxon, PT KKA, PT Bumi Flora, dan PT
Arun. Sementara pasar-pasar tradisional tidak
pernah mendapatkan penjagaan yang memadai
Menjamin kelancaran roda
pemerintahan
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Sejumlah roda pemerintahan masih belum bisa
berjalan lancar, karena para pegawai, terutama
yang golongan bawah, tidak pernah mendapat
jaminan keselamatan dari PDMD.
Melindungi dan mengamankan kehidupan sosial penduduk
Melindungi penduduk dari aksi
kekerasan
Tidak terimplementasi
Kasus-kasus penemuan mayat dan pembunuhan
penduduk sipil, terutama PNS, purnawirawan
TNI/Polri, serta orang-orang yang dekat dengan
pemerintahan masih terus terjadi. Kasus-kasus
penculikan juga masih berlanjut hingga sekarang
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 13
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Menjamin keselamatan harta
benda penduduk sipil
Tidak Terimplementasi
Perlindungan terhadap keselamatan harta benda
penduduk, terutama yang mengungsi hingga saat
ini tidak dijalankan. Laporan penduduk sipil
tentang hilangnya barang-barang mereka setelah
kembali dari pengungsian kerap terjadi.
Perlu digarisbawahi bahwa pelaksanaan operasi pemulihan keamanan tidak sepenuhnya
memenuhi komitmen seperti yang selama ini dinyatakan oleh pejabat militer dan sipil di
tingkat nasional dan daerah. Komitmen untuk menghormati hukum humaniter dan hak
asasi manusia, dalam prakteknya terimplementasi dengan buruk. Aksi-aksi brutal dan
sewenang-wenang, serta pemerasan penduduk sipil oleh anggota TNI/Brimob kerap
terjadi dalam setiap aksi-aksi penyisiran, patroli rutin maupun penyergapan basis-basis
GAM. Demikian halnya dengan komitmen menjamin dan melindungi kehidupan sosial
penduduk, pihak PDMD sangat lemah untuk memenuhi komitmen tersebut. Peristiwa
pembunuhan, penculikan penduduk sipil baik oleh GAM maupun institusi intelejen masih
cukup menonjol selama enam bulan penerapan darurat militer di Aceh. Sementara
komitmen untuk melindungi Obvitnas/da berjalan dengan diskriminatif. Penempatan
pasukan lebih banyak diletakkan di perusahaan besar ketimbang di lokasi-lokasi ekonomi,
sosial dan budaya rakyat, seperti pasar, rumah sakit, PDAM, gardu-gardu PLN, serta
jalan-jalan penting.
Penilaian umum: terimplementasi secara parsial
2. Operasi Kemanusiaan
Operasi Kemanusiaan bertujuan mendorong kelancaran perekonomian masyarakat,
bantuan terhadap korban konflik dan merehabilitasi daerah.7 Pola Pelaksanaan dilakukan
dengan konsep Kedaruratan (Emergency Action). Selanjutnya langkah-langkah yang diambil
dalam tim ini adalah pertama, menetapkan daerah-daerah rawan konflik, kedua
menetapkan lokasi-lokasi tempat penampungan pengungsi dengan mempertimbangkan
aspek keamanan, ketiga distribusi pangan dan layanan kesehatan menyalurkan pertolongan
awal bagi pengungsi yang mencakup : tempat penampungan sementara (TPS) penyediaan
makanan/minuman, layanan kesehatan,layanan air bersih dan sanitasi,layanan
pemakaman, dibantu/bekerjasama dengan unsur-unsur keamanan (TNI/ Polri).
7
PEDOMAN PENYUSUNAN RENCANA KEDARURATAN, Romawi IV huruf B dan C. op. cit.
14 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Pembuatan Kamp-kamp
pengungsian berikut fasilitas
pendukung (MCK, sanitasi,
penyediaan air bersih, pos
kesehatan, dll)
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Hampir separuh dari kamp pengungsian fasilitas
ari bersih, MCK, sanitasi, pos kesehatan, tempat
bermain anak, tidak mampu menampung jumlah
pengungsi.
Penyaluran kebutuhan pokok
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Penyaluran kebutuhan bahan pokok ke
pengungsi kerap terganggu karena kemampuan
yang tidak memadai dari tenaga pemerintah
serta posisi yang tidak setara antara tim operasi
kemanusiaan dengan PDMD dan Kolakops.8
Strategi PDMD dan Kolakops untuk
memisahkan penduduk sipil dengan GAM tidak
pernah dikoordinasikan kepada tim operasi
kemanusiaan. Banyak sekali kamp-kamp
pengungsian yang terbentuk tanpa diketahui
oleh tim operasi kemanusian.
Penyediaan dan pelayanan
tenaga medis
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Penyebaran petugas kesehatan tidak merata di
seluruh kamp pengungsian. Kalaupun ada,
petugas kesehatan tidak sebanding dengan
jumlah pengungsi yang harus ditangani.
Penyediaan dan pelayanan
pekerja sosial
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Hampir 80 persen kamp pengungsi tidak
memiliki pekerja sosial yang memadai.
Penanganan Korban Konflik
Penanganan Penduduk non Pengungsi
Penyedian kebutuhan pokok
Terimplementasi sebagian
Penyediaan kebutuhan pokok hanya ada di
wilayah perkotaan. Sementara di wilayah desa,
khususnya wilayah perang, penyediaan
kebutuhan pokok masih sangat kurang.
Pelayanan kesehatan
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Sejak perang, jumlah tenaga kesehatan hanya
terkonsentrasi di wilayah-wilayah perkotaan
atau desa-desa yang menjadi basis pertahanan
TNI/Brimob.9
Pelayanan pendidikan
Aksi kekerasan dan pengerusakan sekolah,
belum sepenuhnya tertangani, terutama di
daerah-daerah yang masih terjadi pertempuran.
Banyak anak-anak yang putus sekolah karena
keselamatannya tidak terjamin.
“Jumlah pengungsi di NAD meningkat 39.649 jiwa,” Waspada, 16 Juni 2003; “Pengungsi di Nisam
kelaparan,” Suara Pembaruan, 1 Juli 2003. Di sebuah kamp pengungsi mengatakan bahwa minimnya distribusi
bantuan membuat tiga kaleng sarden terpaksa dibagi di antara 100 jiwa.
9
“Warga Langsa Ramai-ramai Berobat Gratis,” Waspada, 7 November 2003
8
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 15
Mendorong Kelancaran Ekonomi Masyarakat
Penanganan pengangguran
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Program penanganan pengangguran hingga kini
masih bersipat reaksioner saja. Program padat
karya menjadi andalan para pejabat sipil dan
militer untuk mengatasi persoalan
pengangguran. Dan celakanya, program ini
digabung dengan rencana pembangunan proyekproyek besar pemerintah di Aceh seperti proyek
pembangunan jalan Ladia Galaska .
Penyelenggaraan pelatihan dan pemberdayaan
pengangguran hanya terkonsentrasi di daerahdaerah tertentu, dan menjadi lipstik pemerintah
kepada publik luar
Penyaluran bantuan modal
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Penyaluran program bantuan modal sangat
terbatas dan selalu terkait dengan rencana usaha
dari perusahaan-perusahaan perkebunan besar.
Pembangunan infrastruktur
penunjang
Tidak terimplementasi
Pembangunan infrastruktur di aceh sangat
terkait erat dengan pembangunan sarana dan
prasaran proyek-proyek besar yang selama ini
belum bisa dijalankan. Seperti proyek
pembangunan Pelabuhan Kuala Langsa plus
jalannya, yang ternyata kemudian untuk
kebutuhan pengangkutan kelapa sawit10
Pembangunan rumah-rumah
penduduk
Tidak terimplementasi
sepenuhnya
Dari 23.084 unit rumah yang hancur karena
perang, Dinas Pemukiman dan Prasarana
Wilayah hanya mampu membangun 10.000
unit. 13.084 unit lainnya baru bisa dibangun
tahun depan
Pembangunan sekolah
Tidak terimplementasi
sepenuhnya
Hingga akhir september 2003, dari 607
bangunan sekolah, sebanyak 596 bangunan
sekolah masih dibangun secara darurat dan 11
lainnya masih dalam kondisi rusak
Pembangunan jalan dan
jembatan yang hancur karena
perang dan non perang
Terimplementasi
sepunuhnya
Pembangunan jalan dan jembatan hanya
terkonsentrasi di wilayah Aceh Tengah saja.11
Penyaluran bantuan kompensasi
terhadap korban
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Pemberian kompensasi terhadap korban konflik
hanya ditemukan di daerah Aceh Lues Aceh
Jaya dan Aceh Tengah.12
Rehabilitasi Daerah
“KOPALMAS, Siapkan Dana Bangun Terminal CPO,” Waspada, 7 November 2003
Lih. BAHAN RAPAT MENTERI PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH PADA RAKOR
PARIPURNA TINGKAT MENTERI BIDANG POLKAM MENGENAI PERKEMBANGAN MASALAH
DI PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM (NAD), 14 Agustus 2003 ; lih. juga “Dinas Kimpraswil
Aceh Tenggara Didesak Perbaiki Jembatan dan Jalan,” Waspada, 7 November 2003
12
“81 Korban Konflik di Gayo Lues Terima Bantuan,” Waspada, 11 November 2003
10
11
16 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Komitmen operasi kemanusian untuk mendorong kelancaran perekonomian masyarakat,
bantuan terhadap korban konflik dan merehabilitasi daerah, tidak berjalan dengan efektif.
Otoritas yang begitu besar oleh PDMD dan Kolakops, kerap membuat kinerja tim operasi
kemanusiaan tidak efektif. Sementara komitmen mendorong kelancaran roda ekonomi
masyarakat, nampak gagal untuk dijalankan. Konsentrasi yang besar pada operasi
pemulihan keamanan menjadi penyebab utama mengapa komitmen ini tidak berjalan.
Kepala Kamar Dagang Daerah NAD, malah menyebutkan bahwa Darurat Militer belum
mampu meningkatkan ekonomi rakyat.13
Satu hal penting yang juga perlu dicatat, bahwa operasi kemanusiaan adalah operasi yang
selalu sarat dengan tindak kejahatan korupsi dan kolusi. Pihak kepolisian NAD dalam
bebarapa waktu menyebutkan bahwa mereka mengaku telah menangani 29 kasus korupsi
di Aceh. Menurut Dansatgas Gakkum Tegak Rencong-I, modus operandinya mulai dari
penyelewengan dana kemanusiaan, tidak meneruskan dana pendidikan anak korban
konflik, korupsi dan penggelapan dana dari sejumlah instansi pemerintahan, serta terkait
KKN.14
Penilaian umum: terimplementasi secara parsial
3. Operasi Penegakkan Hukum
Operasi Penegakan Hukum digelar untuk mengembalikan tatanan kehidupan kenegaraan
di Aceh yang tertib, teratur dan berwibawa sesuai dengan perundang-undangan yang
berlaku. Langkah-langkah operasi ini meliputi, pencarian, penangkapan dan penahanan
anggota GAM non-combatan, melakukan pemeriksaan dan pemberkasan masyarakat yang
terlibat dengan GAM; Mengadakan Penyuluhan terhadap masyarakat untuk meningkatkan
kesadaran hukum dan cinta tanah air; menggelar operasi kelengkapan kendaraan bermotor;
menggelar operasi yustisi; dan menggelar peradilan bagi para anggota masyarakat yang
terlibat dengan GAM.
13
14
“Darurat Ekonomi Harus Lebih Ditonjolkan di NAD,” Waspada, 12 November 2003
“Polda NAD Tangani 29 Kasus Korupsi,” Waspada, 7 November 2003
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 17
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Mengembalikan tatanan kehidupan kenegaraan yang tertib,
teratur dan berwibawa sesuai dengan hukum
Pengusutan kasus-kasus
pembunuhan/penemuan mayat
Tidak terimplementasi
Hingga saat ini polisi tidak berhasil mengungkap
satupun kasus-kasus pembunuhan dan
penemuan mayat yang terjadi selama darurat
militer
Pengusutan kasus-kasus orang
hilang
Tidak terimplementasi
Idem
Pengusutan kasus-kasus
penyelundupan
Tidak terimplementasi
Sepanjang Mei-Oktober 2003, tindak kejahatan
penyelundupan mobil mewah terus meningkat
di Aceh. Dilaporkan sekitar 100-200 unit mobil
masuk ke Sabang dari jalur illegal.15
Pengusutan kasus-kasus
pencurian kayu
Tidak terimplementasi
Tidak ada aktivitas polisi untuk mengusut
kasus-kasus ilegal loging
Pengusutan kasus-kasus
pemerasan penduduk
Tidak terimplementasi
Tidak ada aktivitas polisi untuk mengusut
kasus-kasus pemerasan terhadap penduduk sipil
Pengusutan kasus-kasus korupsi
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Pengusutan kasus-kasus korupsi oleh pihak
kepolisian sangat terbatas sekali. Dari 56 kasus
korupsi yang berhasil diidentifikasi BPK16, polisi
hanya mampu mengungkap 29 kasus.
Pengusutan kasus-kasus
kriminal umum
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Hampir sepanjang darurat militer, titik tekan
POLDA NAD untuk menjalankan penegakkan
hukum mulai menurun, karena personelnya
dikerahkan untuk mendukung operasi
pemulihan keamanan.17
Penangkapan-penahanan dan penghukuman anggota GAM
baik combatan dan non combatan
Penangkapan dan penahanan
orang-orang sipil yang terlibat
GAM
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Penangkapan dan penahanan orang-orang sipil
yang terlibat dengan GAM kerap mengabaikan
undang-undang hak asasi manusia.
Mengadakan Penyuluhan kesadaran hukum dan cinta
tanah air
Pengadaan kegiatan penyuluhan
reguler
Tidak terimplementasi
Tidak pernah ditemukan adanya informasi
kegiatan penyuluhan hukum yang dilakukan
oleh pihak kepolisian
Tidak Terimplementasi
sepenuhnya
Hingga saat ini Aceh termasuk daerah yang
mengalami krisis Hakim.18
Efektifitas Peradilan
Penambahan Hakim
“Pemerintah Darurat Militer, Awasi Mobil Mewah Disabang,” Tempo Interaktif, 22 Agustus 2003
“BPK Temukan 56 Kasus Rugikan Negara Rp. 1,3 Milyar,” Waspada, 11 November 2003
17
Lihat berita-berita kinerja polda NAD di www.polri.go.id
18
“NAD Terancam Krisis Hakim,” Waspada, 5 November 2003
15
16
18 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Penambahan Jaksa
Tidak Terimplementasi
sepenuhnya
Rencana pengiriman 50 orang jaksa ke Aceh
diketahui untuk membantu mengadili pelaku
makar.19 Dari rencana tersebut hanya 15 Jaksa
saja yang benar-benar dikirim hingga Agustus 2003
Pembentukan pengadilan baru
Tidak terimplementasi
Tidak ada informasi adanya pembentukan
pengadilan baru di kabupaten-kabupaten yang
baru terbentuk.
Penyelanggaraan pengadilan
anggota GAM
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Sampai tanggal 9 September 2003 tahanan
pemberontak GAM berjumlah 863 orang,
diserahkan kepada penuntut umum 428 berkas
(470 tersangka), 317 berkas ( 352 tersangka )
sudah P21 dan 49 orang sudah mendapat vonis
oleh Pengadilan Negeri sedangkan yang masih
ditahan Polri 393 orang.20
Pengadilan kasus-kasus
kriminal biasa
Tidak terimplementasi
Sejak pemberlakuan darurat militer, peradilan
jarang menggelar persidangan kasus-kasus
kriminal biasa. Konsentrasi penggelaran
persidangan hanya ada pada kasus-kasus makar
Pengusutan keterlibatan TNI/
Polri dalam kasus-kasus
Penyelundupan, pencurian
kayu, dan pemerasan
Tidak terimplementasi
Tidak ada upaya pengusutan keterlibatan
anggota TNI/Polri dalam kasus-kasus pencurian
kayu, penyelundupan mobil mewah, narkoba
dan tindak pemerasan penduduk sipil yang
diproses
Pengusutan keterlibatan
anggota TNI/polri dalam
kasus-kasus kekerasan dan
pelanggaran ham
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Hanya sebagian kecil saja para pelaku kekerasan
dan pelanggaran ham yang diusut oleh pihak
polisi militer maupun dewan kode etik
kepolisian.21
Penegakan Hukum Internal
Mendorong Efektifitas Peradilan Militer/Polisi
Peradilan kasus-kasus
penyelundupan, pencurian kayu
dan pemerasan anggota TNI/
Polri
Tidak terimplementasi
Mahkamah militer tidak pernah menggelar
pengadilan
Peradilan kasus-kasus
kekerasan dan pelanggaran
HAM oleh anggota TNI/
Brimob
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Sejauh ini peran Makamah Militer dan
pengadilan untuk mengadili anggota TNI/Polri
yang terlibat dalam tindak kekerasan dan
pelanggaran ham sangat terbatas. Hanya kasuskasus kekerasan dan pelanggaran ham yang
diketahui publik saja yang diproses hingga ke
pengadilan. Namun demikian hukuman yang
dijatuhkan pun masih jauh dari rasa keadilan
korban.
“Untuk Adili Perkara GAM, 15 Jaksa Dikirim Ke Aceh,” Kompas, 25 Juni 2003
Laporan KADARMIL PROV NAD, poin 2 b, 9 September 2003
21
“Catut Nama PDMD, Gasak Ratusan Juta , “ Kompas, 22 Juli 2003
19
20
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 19
Secara umum, komitmen dari operasi penegakkan hukum yakni mengembalikan tatanan
kehidupan kenegaraan di Aceh yang tertib, teratur dan berwibawa sesuai dengan perundangundangan yang berlaku, masih jauh dari yang diharapkan. Persoalan menurunnya efektifitas
kepolisian dalam menjalankan tugasnya, karena pemberlakuan darurat militer, menjadi
faktor utama buruknya penegakkan hukum di Aceh. Sejauh ini, peran kepolisian terus
didorong untuk mendukung Darurat Militer (operasi tempur dan Penangkapan anggota
GAM), ketimbang menjalankan tugas utamanya menegakkan hukum di bumi Aceh. Hal
lain yang juga perlu dicatat adalah bahwa penegakkan hukum ini hanya berlaku kepada
penduduk sipil, tidak untuk anggota TNI/Polri. Banyak kasus pelanggaran hukum yang
melibatkan anggota TNI/Polri tidak diproses secara hukum oleh instansi TNI/polri.
Demikian pula dengan kasus-kasus kekerasan dan pelanggaran ham sejauh ini tidak
menjadi prioritas pengusutan bagi para petinggi TNI/Polri.
Penilaian Umum: terimplementasi diskriminatif, hanya tertuju pada GAM
4. Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan
Operasi Pemantapan Jalannya Pemerintahan dilaksanakan agar seluruh pemerintahan
daerah sampai dengan tingkat kecamatan dan sebagian besar pemerintahan Desa mampu
melaksanakan pembangunan dan pelayanan kepada masyarakat dengan baik. Langkahlangkah dari operasi ini meliputi: Pertama adalah penguatan pemerintahan kecamatan
dan desa. Kedua adalah penguatan analisis dinamika lokal, termasuk menentukan status
daerah, putih, abu-abu atau hitam. Ketiga, peningkatan administrasi, perencanaan, dan
pengawasan proyek. Tim untuk program ini lebih pada dimensi pengawasan. Keempat
adalah koordinasi pembangunan yang merangkum agenda lintas-sektoral.
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Memulihkan roda pemerintahan daerah dari tingkat
kecamatan hingga desa
Mengidentifikasi dan
menentukan pemerintahan
lokal yang tidak berfungsi
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Sejauh ini tim pengkaji jalannya roda
pemerintahan daerah, hanya menentukan roda
pemerintahan daerah dilevel kecamatan dan
desa. Di tingkat propinsi dan kabupaten, tim ini
tidak melakukan penilaian apapun terhadap
kinerja dari pemerintah daerah kabupaten
Penelitian Khusus (litsus) para
pegawai negeri sipil dan
pegawai BUMN
Tidak Terimplementasi
secara parsial
Proses penelitian khusus PNS dan pegawai
BUMN ini sarat dengan kepentingankepentingan politis, termasuk menggusur
sejumlah PNS yang tidak pro dengan
pelaksanaan Darurat Militer di Aceh.
20 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Komitmen
Implementasi
Catatan penting
Mengganti pejabat dilingkungan
kecamatan dan desa oleh
anggota TNI/Polri
Terimplementasi
Penggantian pejabat camat dan kepala desa oleh
perwira TNI/Polri, tidak dengan sendirinya
mampu memulihkan roda pemerintahan daerah.
Banyak kecamatan, sekalipun pejabat
camatanya berasal dari perwira TNI, hingga saat
ini masih belum berjalan dengan efektif.
Meningkatan efektifitas
pegawai pemerintah
Tidak terimplementasi
Sejauh ini upaya peningkatan kinerja para
pegawai pemerintahan lebih ditonjolkan untuk
mendukung operasi militer seperti penggalangan
peserta apel kesetiaan, pelibatan dalam
penyiapan tenaga kerjabakti dan pembentukan
kelompok-kelompok siskamling di desa.22
Peningkatan administrasi, perencanan dan pengawasan proyek
Meningkatankan pelayanan
kepada publik
Tidak terimplementasi
Masih banyak penduduk sipil yang sulit untuk
mendapatkan pelayanan administrasi dari pihak
pemerintah daerah, khususnya mengenai suratsurat sipil.
Mengawasi jalannya proyekproyek pemerintah daerah
Tidak terimplementasi
Proses pengawasan jalannya proyek-proyek
pemerintah daerah tidak berjalan dengan baik,
terbukti dengan masih banyaknya programprogram pemerintah daerah yang tidak jalan,
karena alasan keamanan maupun kapasitas
pelaksananya yang minim
Menentukan proyek-proyek
ekonomi dan pembangunan
pemerintah daerah
Tidak terimplementasi
Sejauh ini, tim operasi pemantapan roda
pemerintahan daerah hanya menggelar Bazar
dan Pameran pembangunan saja..
Menjadi jembatan
pembangunan lintas sektoral
na
na
Mengkoordinir Pembangunan
Secara umum operasi pemulihan roda pemerintahan adalah operasi yang paling buruk
dari seluruh operasi yang ada. Hampir seluruh komitmen yang ada tidak berjalan sesuai
dengan yang direncanakan karena sangat bergantung dengan keberhasilan TNI/Polri
menguasai daerah-daerah GAM.23 Hasil-hasil yang dilaporkan selama ini hampir mirip
dengan daerah-daerah yang sudah berhasil dikuasai oleh TNI/Brimob.24 Demikian pula
dengan komitmen meningkatkan pelayanan publik. Sejauh ini pelaksana komitmen
Lih. “Pernyataan Sikap Rakyat Aceh,” http://pdmd-nad.info, 16 Agustus 2003
Lih. “Rangkaian Operasi Terpadu di Nanggroe Aceh Darussalam hari ke 92,” http://pdmd-nad.info, 18
Agustus 2003: Realisasi KTP Merah Putih sudah mencapai 78.66% atau 2.089.644 lembar dari 2.625.976
penduduk wajib KTP, keterlambatan proses penggantian KTP dikarenakan kantor Koramil dan Polsek di
wilayah pemekaran belum terbentuk.
24
Lih. laporan evaluasi harian PDMD tentang jalannya Darurat Militer di http//pdmd-nad.info
22
23
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 21
tersebut hanya sebatas pada pembuatan KTP merah putih, yang selama ini diketahui
adalah bagian dari strategi militer memisahkan anggota GAM dan penduduk biasa. Bisa
dikatakan bahwa operasi ini adalah operasi penopang utama dari operasi militer ditingkat
daerah, ketimbang melakukan pembenahan roda pemerintahan daerah.25 Begitu besar
persoalan di tubuh pemerintahan daerah, namun tim operasi ini tidak mampu membenahi
persoalan-persoalan tersebut. Kasus-kasus KKN, serta buruknya kinerja Gubernur, bupati
dan walikota tidak pernah menjadi bahan evaluasi dalam kerja tim operasi ini. Khusus
komitmen mengkoordinir pembangunan daerah, tim ini justru melakukan upaya-upaya
yang jauh dari komitmen itu sendiri. Tim operasi justru menggelar pameran pembangunan
daerah dalam keadaan situasi Aceh seperti sekarang ini.26
Penilaian Umum: terimplementasi dengan buruk
III. Apakah Darurat Militer Berhasil Menangani Permasalahan Aceh Secara
Komperhensif
Permasalahan utama Aceh selama ini bukan hanya persoalan gerakan separatisme semata
akan tetapi jauh mencakup permasalahan yang sangat rumit dan kompleks. Hingga saat
ini aceh belum bisa keluar dari keterpurukan ekonominya akibat perang yang terus
berkepangjangan. Keterpurukan ekonomi ini kemudian berdampak pada semakin
bertambahnya jumlah angka pengangguran dan menambah pula jumlah penduduk miskin
di propinsi tersebut. Peristiwa aksi-aksi kekerasan juga menempatkan menjadikan
penduduk Aceh menjadi korban pelanggaran ham oleh pihak yang bertikai. Disamping
itu, saat ini tingkat kepercayaan rakyat Aceh terhadap pemerintah sipil daerah dan Jakarta
terus merosot karena kegagalannya menghentikan perang.
Pada bagian ini akan mencoba melihat apakah kebijakan penerapan darurat militer mampu
menangani penyelesaian permasalah Aceh secara menyeluruh. Tanpa memungkiri
keberhasilan darurat militer, mampu mengurangi kuantitas gerakan separatis GAM, tidak
berarti darurat militer mampu mengurangi persoalan-persoalan ekonomi, sosial, lemahnya
penegakkan hukum, rendahnya penegakkan ham serta krisis kepemerintahan sipil di
daerah tersebut. Hampir selama enam bulan pelaksanaan darurat militer, persoalanpersoalan utama Aceh pun belum menunjukkan titik terang ke arah yang lebih baik.
Sepanjang Mei-Agustus 2003, seluruh jajaran pemda Aceh terus menjadi penggerak utama upacara apel
kesetiaan terhadap NKRI, dengan mengerahkan seluruh PNS dalam setiap upacara-upacara tersebut. Lih.
“Gubernur Prov.NAD Kunker di Aceh Timur, WARGA TIGA KECAMATAN NYATAKAN MELAWAN
GAM,” http://pdmd-nad.info, 31 Juli 2003
26
Pameran Pembangunan dan Bazar Hari ke-8, SEJUMLAH PEJABAT DAN ASISTEN PEMDA
PROV.NAD “SIDAK” DI ARENA, http://pdmd-nad.info, 24 Agustus 2003
25
22 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
1. Keterpurukan Perekonomian Daerah Masih Terus Berlanjut
Sejak perang terjadi lima tahun terakhir, roda ekonomi daerah propinsi NAD terus
mengalami penurunan, bahkan mendekati titik nol. Puluhan investor mulai menarik
investasinya di Aceh karena perang tidak akan menjamin adanya keuntungan baginya.
Sekalipun darurat militer memberikan jaminan keselamatan bagi perusahaan-perusahaan
yang tetap beroperasi dalam bentuk penambahan jumlah personel TNI/Polri di tiap
perusahan, namun demikian, darurat militer tidak mampu menjamin ketersedian bahan
baku bagi perusahaan-perusahaan tersebut. Akibatnya gelombang penutupan atau
pengurangan jumlah produksi dari perusahaan industri, perkebunan dan pertambangan
tidak dapat dibendung.
Hingga pertengahan tahun ini, dilaporkan sedikitnya 32 proyek penamanan modal dalam
negeri dan asing, telah menghentikan operasinya karena alasan keamanan dan sulitnya
mendapat bahan baku utama.27 Pada November 2003 ini, PT Pupuk Iskandar Muda,
perusahaan pupuk yang terletak di daerah Krueng Geukueh - Dewantara, Aceh Utara
dilaporkan mengurangi jumlah produksinya karena perusahaan tersebut terus merugi.
Naiknya ongkos produksi karena kelangkaan bahan baku dasar menjadi penyebab
pengurangan jumlah produksi perusahaan tersebut.28 Tidak berbeda PT Iskandar Muda,
Perusahan tambang, yakni Exxon Mobile juga dilaporkan mulai mengurangi produksinya,
karena perang menyebabkan meningkatnya biaya produksi perusahaan tersebut. Di Aceh
Timur, 27 perusahan perkebunan kelapa sawit di daerah tersebut, dilaporkan mulai
menutup usahanya karena terus mengalami kerugian.29 Bahkan lebih parah lagi, PT KKA
dan PT AAF, saat ini sudah tidak mampu beroperasi karena tidak mampu menutup biaya
ongkos produksinya yang terus meningkat akibat perang.
Di level bawah, perang telah mengakibatkan ribuan petani/petambak, nelayan dan
pedagang kehilangan mata pencahariannya. Sejumlah laporan menyebutkan bahwa
berhentinya roda perekonomian level bawah praktis berhenti karena semakin
bertambahnya areal ladang, kebun, sawah, dan tambak yang tidak terolah.30 Salah satunya
adalah laporan adanya ribuan hektar perkebunan sawit di Simpang Keuramat-Aceh Utara,
yang tidak terurus, lantaran para petaninya takut untuk pergi ke kebun.31 Sementara di
wilayah pesisir, juga dilaporkan banyak nelayan yang tidak bisa pergi melaut karena alasan
keamanan dan berbelit-belitnya proses pengurusan izin melaut dari pihak PDMD.
“Akibat Konflik Berkepanjangan di NA, Penduduk Miskin Capai 1,6 Juta,” Serambi, 26 Juni 2003
“PT PIM Merugi Rp. 170 Milyar,” Waspada, 3 November 2003
29
“ Kabupaten Aceh Timur,” Kompas, 23 April 2003
30
“Perang dan ketahanan pangan di Aceh,” Down To Earth (DTE), Nr 58 Agustus 2003
31
“Ribuan Ha Kebun Sawit di Aceh Utara Terlantar,” Waspada, 10 November 2003
27
28
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 23
2. Meningkatnya Permasalahan-Permasalahan Sosial
Akibat pengurangan produktivitas dan penutupan usaha dari sejumlah perusahaan besar
menyebabkan gelombang PHK yang cukup besar, yang berimbas pada bertambanya
jumlah pengangguran di propinsi NAD. Sekalipun darurat militer membuat sejumlah
proyek-proyek penanganan pengangguran dalam bentuk proyek padat karya, penyaluran
bantuan modal dan pemberian pelatihan keterampilan, namun proyek-proyek tersebut
tidak mampu mencakup seluruh jumlah pengangguran di NAD.
Menurut laporan resmi PDMD hingga November 2003, jumlah pengangguran di aceh
sudah mencapai 363.398 jiwa. Jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah sejalan
dengan penutupan perusahaan-perusahaan besar di Aceh hingga akhir tahun ini. Angka
ini pun belum termasuk ribuan petani/petambak/nelayan yang tidak bisa lagi mengolah
sawah, kebun, ladang, tambak, dan melaut karena tinggal di kamp pengungsian, alasan
keamanan, kelangkaan bibit, dan minimnya modal.
Meningkatnya angka pengangguran ini kemudian meluas hingga pada bertambahnya angka
kemiskinan di Aceh. Dalam kurun waktu empat tahun belakangan angka kemiskinan di
Aceh terus meningkat dari tahun ke tahun. Hingga awal November jumlah penduduk
miskin di Aceh saat ini telah mencapai 1,6 juta jiwa, atau sekitar 40,1 persen dari 4,1 Juta
jiwa penduduk Aceh.32
Tabel 2
Jumlah Penduduk Miskin Aceh
Periode 1999-2003
Tahun
Jumlah Jiwa
1999
2000
886.809
1.100.000
2001
2002
1.300.000
1.101.368
2003
1.680.000
Sumber: Data Pemerintah NAD Agustus 2003
32
“Penduduk Miskin Aceh Capai 1,6 Juta,” Kompas Cyber Media (KCM), 26 Juni 2003
24 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Jumlah ini berakibat langsung pada bertambahnya jumlah anak terlantar, anak jalanan,
gelandangan, dan pengemis. Menurut laporan resmi Dinas Sosial NAD, saat ini di Aceh
terdapat 16.882 jiwa lansia terlantar, 50.994 jiwa anak terlantar, 30.205 penyandang
cacat, 47.175 jiwa wanita rawan sosial ekonomi, 1.599 pengemis, 27.145 jiwa tinggal di
perumahan yang tidak layak huni dan 353.517 penduduk fakir miskin.33
3. Semakin Buruknya Perlindungan Penduduk dari Kejahatan Hak Asasi Manusia
Perlindungan terhadap penduduk Aceh adalah tindakan utama yang harus diambil oleh
semua pihak, baik nasional dan internasional, untuk melindungi penduduk Aceh dari
kehancuran. Startegi perang dan prilaku brutal dari kedua belah pihak yang bertikai
menyebabkan penduduk Aceh kembali menjadi bulan-bulanan tindak kekerasan dan
pelanggaran HAM. Meskipun darurat militer mengaku tunduk oleh ketentuan hukum
humaniter dan hukum hak asasi manusia, tidak dengan sendirinya mengurangi resiko
penduduk sipil dari tindak kejahatan hak asasi manusia yang dilakukan oleh pasukan
TNI dan GAM. Sejauh ini, para pelaksana darurat militer diketahui gagal untuk melindungi
dan menghormati hak asasi dari penduduk sipil.
Tabel 2. Rekapitulasi Peristiwa Pelanggaran HAM di Aceh
Per Oktober 200334
Kabupaten
Summery killing
Penemuan Mayat
Penculikan/Orang
Hilang
SIMELEU
ACEH SINGKIL
ACEH SELATAN
ACEH TIMUR
ACEH TENGAH
ACEH BARAT
ACEH BESAR
ACEH UTARA
ACEH BARAT DAYA
ACEH JAYA
ACEH TAMIANG
BIREUN
PIDIE
BANDA ACEH
SABANG
KOTA LHOKSEUMAWE
KOTA LANGSA
GAYO LUAS
NAGAN RAYA
44
54
35
17
28
80
11
10
11
43
52
12
03
09
12
22
12
09
16
14
04
03
12
40
11
08
01
04
01
02
30
10
08
28
01
12
06
05
14
01
02
01
03
11
Total
409
168
125
33
34
“Angka Kemiskinan di NAD Tinggi,” Suara Pembaharuan, 9 Januari 2003
Dokumentasi kekerasan Elsam wilayah Aceh, Periode Mei-Oktober 2003
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 25
Laporan independen menunjukkan bahwa kedua belah pihak melakukan pembunuhan,
penculikan, penyiksaan dan teror terhadap penduduk, pengungsian paksa, pembatasan
ruang gerak, penyebaran ‘mata-mata’ oleh kedua belah pihak membuat masyarakat hidup
di bawah teror. Perampasan harta benda yang kerap terjadi, terutama di daerah-daerah
yang ditinggalkan oleh penduduk menjadi masalah serius karena mempersulit proses
penyelesaian secara damai dan menciptakan ‘bom waktu’ di kalangan masyarakat sendiri,
seperti yang terjadi di banyak tempat lain yang dilanda konflik bersenjata.
4. Semakin Menguatnya Ketidakpercayaan Rakyat kepada Pemerintah Sipil
Operasi militer membuat semua kemajuan yang dicapai melalui kesepakatan penghentian
permusuhan (CoHA) menjadi sirna. Desa-desa kembali dicekam ketakutan karena kontak
senjata antara TNI dan GAM, penyisiran (sweeping) yang dilakukan kedua belah pihak,
pembakaran dan pengrusakan rumah penduduk, gedung sekolah dan fasilitas umum
lainnya, dan pembatasan gerak (restrictions of movement) yang sangat mengganggu.
Penghadangan dan penembakan berulangkali terjadi, termasuk terhadap angkutan umum
yang membawa barang keperluan sehari-hari, sehingga membuat taraf kehidupan
masyarakat semakin merosot.
IV. Mengapa Darurat Militer Gagal Menyelesaikan Masalah Aceh
Dari paparan diatas nampak dengan jelas, pelaksanaan Darurat Militer dalam bentuk
penggelaran Operasi Terpadu di propinsi NAD, tidak bisa menyelesaian persoalan Aceh
secara menyeluruh. Operasi Terpadu yang konsep besarnya adalah startegi penanganan
Aceh dengan cara mensinergikan pendekatan militer dengan diplomasi, penegakkan
hukum, perlindungan dan peningkatan harkat kemanusiaan serta pemberdayaan
Pemerintahan Daerah, ternyata dalam penerapannya justru tidak mencerminkan konsep
awalnya. Berbagai sasaran yang ditetapkan oleh Penguasa Darurat Militer Pusat seperti
memulihkan keamanan, menegakkan hukum, menyelesaikan persoalan-persoalan ekonomi
sosial dan pembenahan roda pemerintahan daerah, tidak bisa tercapai. Bahkan sebaliknya,
Darurat Militer kemudian melahirkan berbagai persoalan, seperti merebaknya korupsi,
kolusi, nepotisme dan berbagai kegiatan ekonomi illegal, yang melibatkan aparatus negara
pelaksana Darurat Militer.
Dari hasil evaluasi penerapan enam bulan ini, kegagalan Darurat Militer mengangani
konflik Aceh disebabkan oleh empat hal. Pertama adalah konsep kebijakan yang didesain
untuk operasi militer; kedua institusi pelaksana yang murni institusi pelaksana perang;
Langkah-langkah pelaksanaan Operasi Terpadu bukan program peningkatan
pembangunan NAD; lemahnya dukungan dari masyarakat Aceh
26 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
1. Konsep Operasi Terpadu adalah Konsep Operasi Militer
Sejak awal konsep Operasi Terpadu, adalah konsep yang sangat tidak realistis untuk
digunakan menyelesaikan masalah Aceh secara komperhensif. Desain Operasi terpadu
yakni dengan mencoba mensinergikan penyelesaian Aceh secara komperhensif, yakni
aksi militer dan penanganan masalah-masalah ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum
dan penegakkan hak asasi manusian adalah konsep yang tidak mungkin bisa diterapkan.
Dalam kondisi perang, sangatlah tidak mungkin sebuah pemerintahan melakukan
pembangunan daerah seperti dalam kondisi damai. Kalau pun toh ada program
pembangunan sudah barang tentu program tersebut diperuntukkan untuk menunjang
kemenangan perang itu sendiri.
Pemerintah harus berani jujur, bahwa operasi terpadu adalah murni di desain untuk
menyelesaikan aceh melalui operasi militer. Dilihat dari desain operasi terpadu saj nampak
terlihat bahwa pemerintah jakarta bermaksud menegakkan kedaulatan dan keutuhan NKRI
dan mengembalikan kredibilitas pemerintahan RI tingkat nasional maupun internasional.35
Dari tujuan tersebut dapat diduga bahwa operasi terpadu adalah kebijakan yang dibuat
oleh jakarta untuk memaksa orang-orang aceh mengakui superioritas pemerintahan Jakarta.
Melihat watak kebijakan yang sangat represif, sudah barang tentu akan menggunakan
cara-cara pengerahan kekuatan militer, ketimbang non militer.
Hal ini juga dapat dilihat dari latar belakang kemunculan kebijakan tersebut, dimana
pilihan opsi militer adalah pilihan besar yang akan dipilih jakarta untuk menyelesaikan
secara cepat permasalahan Aceh. Sudah menjadi rahasia umum, bahwa jauh sebelum
pendatanganan CoHA, pilihan penyelesaian Aceh melalui jalur perundingan bukanlah
ide yang solid dikalangan pemerintahan Jakarta, terutama dari kalangan militer. Para
pihak anti perundingan melihat bahwa langkah perundingan hanya akan menaikan posisi
politik GAM di level internasional, dan akan semakin membuka peluang lepasnya Aceh
dari NKRI seperti timor-timor.36 Di pihak yang lain, menyebutkan bahwa penyelesaian
aceh melalui perundingan adalah sesuai dengan ketetapan MPR dan mengakhiri kritikkritik tajam dari pihak internasional tentang berbagai pelanggaran ham di Aceh yang
berpengaruh pada minimnya bantuan ekonomi dan militer terhadap Indonesia.
Ketika pelaksanaan CoHA menemui jalan buntu, kelompok anti perundingan mulai
melakukan manuver politik untuk mencari dukungan politik, tentang pentingnya
penyelesaian persoalan Aceh kepada pihak militer.37 Namun karena terbentur dengan
Lih. “Operasi Pemulihan Keamanan Merupakan Inti Pelaksanaan Operasi Terpadu,” Pernyataan resmi
PDMD, http://pdmd-nad.info 18 Juli 2003.
36
Wawancara dengan Sidney Jones, Pertengahan April 2003
37
Lih. “TNI Ultimatum GAM,” Tempo Interaktif, 17 April 2003
35
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 27
TAP MPR tentang penyelesaian Aceh melalui damai, serta reaksi keras dari banyak
kalangan, kelompok anti perundingan tidak bisa berbuat apa-apa.38 Pada saat perundingan
Jenewa gagal dilaksanakan, kampanye kelompok anti perundingan kembali mendapat
angin untuk mendesak pemerintahan sipil Jakarta untuk segera menyelesaikan permasalah
Aceh melalui aksi militer. Belakangan tekanan yang cukup kuat dari kelompok anti
perundingan, akhirnya mampu merubah pendirian pemerintahan sipil Jakarta, ketika Tokyo
Meeting gagal menghasilkan kesepakatan. Namun demikian, keputusan ini menuai kritik
dari dalam dan luar negeri, termasuk dari lembaga keuangan internasional yang selama
ini turut mendukung penyelesaian persoalan Aceh melalui cara damai.
Untuk meredam kritikan tersebut, kemudian pemerintahan Jakarta menyandingkan
penanganan militer dengan non militer dalam bentuk Operasi Terpadu. Operasi Terpadu
tersebut meliputi, operasi kemanusiaan, operasi penegakkan hukum dan operasi pemulihan
roda pemerintahan daerah, dan operasi pemulihan keamanan.39 Sekalipun demikian, inti
dari operasi terpadu tetap Operasi Militer untuk menghancurkan gerakan separatis GAM.
Dengan demikian tidaklah heran jika kemudian pelaksanaan operasi terpadu, hanya
menonjolkan operasi militer ketimbang operasi-operasi non militer karena tujuan operasi
terpadu adalah menyelesaikan persoalan Aceh secara cepat melalui aksi militer. Tak heran
jika kemudian persoalan-persoalan ekonomi, sosial, hukum dan hak asasi manusia tidak
tersentuh oleh Operasi Terpada secara proporsional, karena operasi ini adalah desain
dari operasi militer.
2. Institusi pelaksana yang murni institusi penyelenggara perang
Langkah pembenahan apapun yang diambil oleh Jakarta terhadap struktur pelaksana
operasi terpadu agar mampu meningkatkan penanganan berbagai persoalan politik,
ekonomi, sosial, hukum, dan hak asasi manusia akan sia-sia belaka. Kegagalan operasi
terpadu menangani atau bahkan menyelesaikan permasalahan-permasalah mendasar di
Aceh selama ini, bukan karena ketidakmampuan struktur pelaksananya semata, akan
tetapi karena memang tidak struktur pelaksananya memang bukan untuk melaksanan
tugas-tugas pembenahan ekonomi, sosial, budaya, politik, hukum dan ham. Struktu
pelaksana operasi terpadu adalah murni institusi pelaksana operasi perang, sehingga mandat
apapun yang akan diberikan kepada pelaksana operasi terpadu, selalu akan dibaca dalam
kerangka pemenangan perang.
“Jangan gegabah memakai operasi militer di Aceh,” Kompas, 12 April 2003.
Hasil rapat Rakorpolkam akhir April 2003, menghasilkan keputusan pemerintah untuk menggelar ‘operasi
terpadu’ yang mencakup bidang militer, pemantapan pemerintahan dan kemanusiaan. Lih. “Pemerintah fokus
pada empat operasi,” Kompas, 1 Mei 2003.
38
39
28 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
Ketika Darurat Militer diterapkan dan kemudian Kodam mengambilalih roda pemerintah
sipil, maka secara otomatis seluruh isntitusi di propinsi NAD berubah menjadi institusi
pendukung perang. Hal ini terjadi karena struktur PDMD adalah struktur pemerintahan
militer untuk menghadapi situasi perang. Sehingga apapun langkah-langkah yang diambil
oleh PDMD akan selalu dalam kerangka mendukung keberhasilan aksi militer, dan bukan
menyelesaikan persoalan-persoalan non perang.
Dari pemberitaan media massa langkah-langkah yang diambil oleh PDMD daerah, sejak
19 Mei hingga akhir Oktober ini. Dimana terlihat bahwa langkah awal yang dilakukan
oleh PDMP dan PDMD adalah mengeluarkan maklumat-maklumat tentang pembatasan
aktivitas penduduk sipil di luar rumah, melakukan pendataan PNS yang pro RI dan pro
GAM melalui litsus, melakukan penangkapan-penangkapan terhadap politikus GAM,
membatasi dan mengontrol keluar masuk barang, serta membatasi akses pihak-pihak
yang akan mengganggu jalannya operasi militer ke Aceh.
3. Langkah-Langkah Operasi Terpadu Bukan untuk Program Pembangunan
NAD
Dalam situasi perang, tidaklah mungkin sebuah pemerintahan akan bisa menjalankan
program pembangunannya, seperti pada saat situasi tidak perang. Sudah barang tentu
pelaksanaan pembangunan dalam situasi perang selalu dilaksana dalam upaya mendukung
kesuksesan pemenangan perang termasuk didalamnya meredam akibat-akibat sosial yang
pada akhirnya melemahkan dukungan terhadap perang.
Hampir sebagian besar langkah-langkah yang dibuat dan dilaksanakan oleh institusi
PDMD bukan program pembangunan daerah Aceh seperti pada masa damai. Hampir
sebagian besar langkah-langkah yang diambil PDMD adalah proyek pembangunan darurat
untuk mendukung operasi militer. Sehingga tak heran jika kemudian berbagai persoalan,
khususnya persoalan peningkatan roda ekonomi, penanganan persoalan sosial budaya,
penegakkan hukum, serta perlindungan dan penegakkan hak asasi manusia, tidak tercakup
dalam langkah-langkah PDMD, karena memang situasinya dalam kondisi darurat.
Hampir seluruh langkah-langkah operasi kemanusiaan selama ditujukan untuk meredam
akibat-akibat sosal yang diakibatkan karena aksi operasi militer. Secara umum, pihak
PDMD sadar bahwa akibat pelaksanaan operasi militer akan lahir gelombang pengungsian
pengangguran, dan kemiskinan baru, yang jika tidak dikelola akan menimbulkan gejolak
sosial dan akan mengganggu operasi militer. Oleh karena itu ia memfokus operasi
kemanusiaan pada penanganan pengungsi, ketimbang dua sasaran lainnya yakni mendorong
ekonomi masyarakat dan rehabilitasi daerah, untuk memperkecil gejolak sosial akibat
ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003 - 29
perang.40 Tak heran jika kemudian PDMD kerap membuat proyek-proyek penyaluran
bantuan kebutuhan pokok, bantuan modal dan pembangunan masjid, proyek padat karya,
proyek pelatihan keterampilan, proyek bantuan usaha kecil, yang kesemuanya
diperuntukkan meredam sementara waktu akibat-akibat dari perang.
Program penegakkan hukum, lebih ditekankan pada bagaimana menjerat para pendukung
kelompok bersenjata diwilayah perkotaan, ketimbang melakukan pengakkan hukum di
wilayah NAD seperti di propinsi-propinsi lain. Hampir dalam enam bulan terakhir, polda
NAD lebih banyak melakukan pengusutan hukum para pelaku makar, ketimbang
melakukan penegakkan hukum di daerahnya. Demikian pula dengan institusi kejaksaan
dan kehakiman yang lebih terfokus pada penuntutan para pelaku makar ketimbang
penuntutan kasus-kasus kriminal lainnya. Pengiriman puluhan hakim ke Aceh untuk
membantu mengadili para pelaku makar, adalah indikasi menurunnya peran kejaksaan
dan kehakiman dalam penegakkan hukum nasional di Aceh.
Tak jauh berbeda, langkah-langkah pemulihan dan meningkatkan efektifitas pemerintah
daerah pun juga diperuntukkan untuk meningkatkan kualutas pegawai pemerintah,
meningkatkan pelayanan pemerintah terhadap penduduk, serta mengawasi proyek-proyek
pembangunan daerah, seperti pada masa damai. Langkah-langkah yang diambil PDMD
lebih pada bagaiman roda pemerintah bisa dikuasai agar memperkuat pelaksanaan operasi
militer khususnya mendukung operasi teritorial. Hampir diketahui banyak pihak,
sepanjang penerapan darurat militer, operasi pemulihan roda pemerintahan lebih banyak
merubah instansi pemerintah sebagai pendukung politik dari operasi militer. Ini terlihat
dari aktivitas institusi pemerintahan sipil, khususnya ditingkat kecamatan dan desa dalam
enam bulan terakhir yang tidak mencerminkan hasil dari operasi pemulihan roda
pemerintahan. Selama enem bulan terakhir, institusi pemerintahan sipil daerah lebih banyak
terlibat dalam mengorganisir PNS dan penduduk desa untuk penyelenggaran apel-apel
kesetian terhadap NKRI yang diperintahkan oleh PDMD. 41 Kemudian, institusi
pemerintahan sipil daerah juga sering terlibat dalam pelaksanaan screening para penduduk
sipil yang akan mendapapatkan KTP merah putih di wilayahnya masing-masing.42
“ Penanganan Pengungsi adalah Fokus Operasi Kemanusiaan,” Kompas, 30 September 2003
“Apel Kesetiaan Terhadap NKRI Digelar Besar-besaran,” Suara Merdeka, 12 Juli 2003
42
Untuk mendapatkan KTP khusus setiap warga diharuskan datang langsung ke kantor camat dengan
membawa KTP lama. Selain itu juga diharuskan membawa pas foto ukuran 2x2.5 sebanyak 4 lembar, serta
surat keterangan dari kepala desa masing-masing yang menjelaskan bahwa yang bersangkutan benar penduduk
di desanya. “Mereka juga harus didampingi oleh kepala desanya baik saat datang ke kantor camat maupun ketika
dilakukan pendatanganan KTP di Markas Koramil,”. Lih. “Warga Bireuen Mulai Pake KTP Merah Putih,”
Tempo Interaktif, 11 Juli 2003:
40
41
30 - ELSAM:Briefing Paper No. 4, November 2003
V. Kesimpulan
Kegagalan CoHA adalah alasan yang digunakan oleh pemerintah Indonesia untuk
menerapkan DM di Aceh. Pelaksanaan DM bentuk penggelaran operasi terpadu yang
mencakup operasi pemulihan keamanan; operasi kemanusiaan;operasi penegakkan hukum;
serta operasi pemulihan roda pemerintahan sipil daerah, tidak berjalan efektif untuk
menyelesaikan persoalan Aceh secara permanen. Kerangka operasi terpadu yang lebih
mengedepankan operasi pemulihan keamanan menyebabkan pelaksanaan operasi terpadu
secara keseluruhan terimplementasi secara partial. Akibatnya berbagai persoalan seperti
keterpurukan ekonomi, meningkatnya problem sosial, lemahnya penegakkan hukum,
rendahnya perlindungan dan penghormatan hak asasi manusia masih belum tertangani
dengan baik
Penduduk sipil kembali menjadi korban kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia,
karena strategi dan taktik yang digunakan kedua belah pihak menjadikan mereka sebagai
sasaran antara (proxy violence). Tidak adanya kontrol dari badan independen domestik
maupun internasional membuat keadaan sangat sulit dikendalikan dan diperkirakan
arahnya. Pemerintah Indonesia sejauh ini tidak membuat laporan rinci, atau mengundang
badan independen yang dapat mengkonfirmasi berbagai berita dan keterangan yang beredar
mengenai dampak negatif operasi tersebut. Tanpa adanya langkah semacam itu
dikhawatirkan jumlah korban akan terus meningkat dan menuju pada extinction seperti
yang terjadi dalam penanganan gerakan perlawanan di Timor Leste dan Papua.
Dalam pengalaman di kedua tempat itu, dan juga di Aceh sendiri, DM dan tindak
kekerasan terbukti tidak dapat menyelesaikan masalah, dan hanya akan membangkitkan
perlawanan yang lebih luas di kalangan penduduk. Jalan penyelesaian secara militer jelas
akan mempersulit proses rekonstruksi dan pengembalian ke keadaan normal di masa
mendatang, dan besar kemungkinannya membuat situasi semakin parah.