SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
DAN HUKUM ACARANYA
OLEH
MARUARAR SIAHAAN.
PENDAHULUAN
Pembicaraan tentang sengketa antar lembaga negara dalam konteks kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam UUD 1945 setelah perubahan, sesungguhnya harus dilakukan dalam rangka pembahasan organisasi dan kelembagaan negara. Pembicaraan demikian hanya dapat dimasuki dengan tepat apabila kita juga membicarakan hakikat kekuasaan negara, yang disusun dalam struktur organisasi secara melembaga. Hal tersebut erat kaitannya dengan filsafat hukum dan negara serta perkembangan sejarah baik secara umum maupun secara nasional dimasing-masing negara, yang juga akan tercermin dalam konstitusi negara tersebut. Dalam kaitan itu ajaran teori kedaulatan yang dikenal dalam sejarah, yaitu masing-masing Kedaulatan Tuhan, Kedaulatan Raja, Kedaulatan Hukum, Kedaulatan Rakyat dan Kedaulatan Negara, bertumbuh dan menjadi landasan penyusunan kekuasaan negara yang kemudian dirumuskan dalam konstitusi. Menurut Prof. Dr. Jimly Asshidiqie SH, tiga faham kedaulatan yaitu kedaulatan Tuhan, kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat dapat dikatakan berlaku secara simultan dalam khasanah pemikiran bangsa ini tentang kekuasaan negara, dimana kekuasaan kenegaraan dalam wadah NKRI pada dasarnya adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan hukum dan kedaulatan rakyat.
Dalam Firmansyah dkk, Lembaga Negara Dan Sengketa Kewenangan Antar lembaga Negara, Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN) cet 1, 2005 hal x-xi. Selanjutnya dikatakan prinsip kedaulatan hukum diwujudkan dalam gagasan rechtsstaat atau the rule of law serta prinsip supremasi hukum, dimana dalam perwujudannya kebijakan hukum harus disusun melalui mekanisme demokrasi yang lazim sesuai dengan ketentuan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan.
Ibid. Ajaran kedaulatan rakyat akan tercermin bukan hanya dalam pembentukan hukum dan pengambilan kebijakan dalam penyelenggaraan negara, akan tetapi secara formal juga tercermin dalam struktur dan organisasi pemegang kekuasaan penyelenggaraan negara.
Faham kedaulatan rakyat yang dalam sejarah sangat mengenal doktrin Trias Politika dari Montesqieu, menekankan diperlukannya penyusunan kekuasaan negara dengan tidak memusatkan kekuasaan negara dalam satu tangan atau badan saja, untuk menjamin perlindungan kebebasan warga negara. Trias politika tersebut didasarkan pada pemisahan kekuasaan negara yang lazim dikenal dengan separation of powers, tetapi beberapa sarjana menyebut bahwa karena tidak terdapat pemisahan kekuasaan secara absolut, maka yang terjadi sesungguhnya adalah pembagian kekuasaan (division of powers). Kekuasaan negara dibagi dan dipisahkan dalam tiga kekuasaan pokok, yaitu, eksekutif, legislatif dan judikatif. Ketiga kekuasaan tersebut kemudian dirinci dan dilaksanakan dalam banyak organ, badan atau lembaga yang melaksanakan kekuasaan atau sebagian kekuasaan negara tersebut yang diperlukan dalam menyelenggarakan kehidupan bersama untuk tujuan yang ditentukan secara bersama pula. Pembagian kekuasaan negara tersebut dapat terjadi secara horizontal, yaitu diantara cabang eksekutif, legislatif dan judikatif yang dirinci dalam organ, badan atau lembaga ditingkat pusat yang setara, dan sebagai akibat tidak dianutnya ajaran pemisahan kekuasaan secara mutlak, maka konsekwensi logis dari padanya adalah terjadinya proses chekcs and balances diantara cabang-cabang kekuasaan tersebut. Checks and balances tersebut merupakan mekanisme pembatasan dan keseimbangan dari satu cabang kekuasaan terhadap cabang kekuasaan yang lain.
Secara vertikal pembagian kekuasaanbukan hanya dalam sistem federal, dalam negara kesatuan seperti Indonesiajuga dilakukan antara Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah, yaitu daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota. Pasal 18 ayat (1), ayat (2) dan ayat (5) menegaskan pembagian kekuasaan tersebut dengan memberikan kepada Pemerintahan Daerah untuk menjalankan otonomi seluas-luasnya, dengan hak untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintah Pusat.
LEMBAGA NEGARA
Pengertian
Lembaga negara, organ negara atau badan negara merupakan nomenklatur yang diberikan pada pengemban fungsi dalam sistem penyelenggaraan negara, yang harus bekerja sama dalam mencapai tujuan bersama yang ditetapkan. Setiap kali dirasakan kebutuhan untuk membentuk satu organ negara atau lembaga negara dalam rangka penyelenggaraan kekuasaan negara, maka kita akan menghadapi beberapa persoalan yaitu: i) pengadaan lembaga negara, dalam arti siapa yang membentuk dan mengadakan lembaga tersebut, ii) bagaimana mekanisme pengisian lembaga dimaksud apakah melalui pemilihan atau melalui pengangkatan, iii) apa tugas dan wewenangnya, dan iv) bagaimana pengaturan hubungan kekuasaan antar lembaga negara satu sama lain.
Firmansyah Arifin dkk, id hal 15. Menurut Logeman, negara merupakan organisasi otoritas yang mempunyai fungsi yaitu jabatan. Jabatan tinggal tetap, pemangku jabatan silih berganti; wewenang dan kewajiban melekatkan diri pada jabatan; pemangku jabatan mewakili jabatan.
Prof. Dr. J.H.A. Logeman, Tentang Teori Suatu Hukum Tata Negara Positif, diterjemahkan Makkatutu SH dan Drs. J.C. Pangkerego, dari Judul Asli Over de Theori van een Stellig Staatsrecht 1948, hal. 106. Dikatakannya lebih lanjut bahwa negara itu adalah organisasi, yaitu suatu perikatan fungsi-fungsi. Maka dengan fungsi itu dimaksudkan suatu lingkungan kerja yang terperinci dalam rangkaian keseluruhan. Dalam hubungannya dengan negara ia disebut jabatan. Negara adalah organisasi jabatan.
Idem, hal 117.
Salah satu gejala yang sangat umum dewasa ini diseluruh dunia, adalah banyaknya lahir organ-organ atau lembaga baru yang menjalankan juga tugas dan kewenangan pemerintahan dan penyelenggaraan negara, diluar organisasi atau struktur kekuasaan yang lazim atau utama, baik disebut secara khusus dalam UUD, maupun dalam undang-undang atau hanya dengan peraturan yang lebih rendah. Hal ini terjadi karena semakin luasnya tugas-tugas pemerintahan dalam penyelenggaraan kepentingan umum, akan tetapi yang dirasakan perlu dilakukan melalui partisipasi publik yang luas dan demokratis maupun sebagai mekanisme pengawasan yang lebih luas. Badan-atau organ yang bertumbuh tersebut sering disebut sebagai komisi negara atau lembaga negara pembantu ((auxiliary state organ). Bahkan sebelum reformasi pun, organ seperti ini, sudah sangat banyak dan sering dibentuk sebagai jawaban atas permasalahan yang dihadapi, meskipun dalam kenyataan jawaban dengan organ baru demikian, disamping menjadi beban secara keuangan, justru menambah kerumitan dalam penyelesaian masalah. Organ atau badan atau lembaga-lembaga independen ini, baik di negara maju maupun negara berkembang, bertumbuh dengan kewenangan yang bersifat regulatif, pengawasan dan monitoring, bahkan tugas-tugas yang bersifat eksekutif. Bahkan kadang-kadang lembaga independen demikian menjalankan ketiga fungsi sekaligus. Hal ini dimaksudkan untuk memenuhi kebutuhan untuk merampingkan organisasi Pemerintahan akibat tuntutan zaman untuk mengurangi peran Pemerintahan yang sentralistis tetapi penyelenggaran negara dan pemerintahan dapat berlangsung effektif, effisien dan demokratis dalam memenuhi pelayanan publik. Jimly Asshiddiqie mencatat bahwa di Amerika Serikat lembaga-lembaga independen dengan kewenangan regulasi, pengawasan atau monitoring ini lebih dari 30-an.
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie,SH, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekretariat jenderal dan Kepaniteraan MKRI, 2006, hal 8. Akan tetapi , seperti ditulis oleh Kenneth F. Warren, pada awal Pemerintahan di Amerika tidak ada badan independen yang memiliki kewenangan mengatur, namun karena sentimen masyarakat terhadap penyalahgunaan ekonomi pasar bebas yang terjadi pada 1800an, Pemerintah menjawab tuntutan masyarakat dengan pertama kalinya membentuk Interstate Commerce Commission, dan sejak itu sampai abad keduapuluh, badan-badan independen demikian telah bertumbuh seperti raksasa dan sangat berkuasa, yang mencerminkan problem dan tantangan yang kompleks dari satu perubahan masyarakat Amerika pada abad baru ekplorasi ruang angkasa.
Administrative Law In The Political System,Prentice hall, Upper Saddle River, New Jersey 07458, Third
Edition, 1996, hal 78. Indonesia menurut catatan kami memiliki kurang lebih 44 lembaga, badan atau komisi-komisi negara semacam ini, yang kemungkinan banyak diantaranya sudah tidak aktif lagi karena memang ada yang dibentuk oleh Pemerintahan masa lalu, yang mungkin tidak memperoleh anggaran yang cukup lagi untuk mendukung kegiatannya, atau barangkali tidak dipandang relevan lagi.
Semua badan, organ atau lembaga demikian, apakah bernama dewan, komisi atau badan, yang menyelenggarakan (sebagian) fungsi pemerintahaan, secara umum disebut juga lembaga negara, yang dibedakan dengan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang kerap pula disebut dengan nama non-govermental organization (NGO). Istilah-istilah lembaga, badan atau organ sering dianggap identik, sehingga meskipun sesungguhnya dapat berbeda makna dan hakikatnya satu sama lain, orang dapat menggunakan satu istilah untuk arti yang lain. Dalam pembicaraan kita sekarang ini, yang penting untuk dibedakan apakah lembaga atau badan itu merupakan lembaga yang dibentuk oleh dan untuk negara atau oleh dan untuk masyarakat. Lembaga apa saja yang dibentuk bukan sebagai lembaga masyarakat dapat kita sebut sebagai lembaga negara.
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie, op.cit. hal 33.
Dalam topik pembicaraan kita mengenai ”Sengketa Kewenangan Antar Lembaga Negara”, maka kata lembaga negara termuat hanya dalam pasal 24C ayat (1) UUD 1945, yang mengatur tentang kewenangan Mahkamah Konstitusi, dimana satu diantaranya adalah ”memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar”. Dengan kata-kata yang sama hal tersebut diulangi lagi dalam pasal 10 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kejelasan tentang organ mana yang disebut sebagai lembaga negara menurut UUD 1945 sebelum perubahan, baru dapat terlihat secara tegas dalam ketetapan MPRS, baik nomor XX/MPRS/1966, Nomor XIV/MPRS/1966, nomor X/MPRS/1969 dan nomor III/MPR/1978. Dari ketetapan MPRS dan MPR tersebut kita dapat melihat adanya kualifikasi lembaga negara yang berbeda yaitu Lembaga Tertinggi Negara yang disebut MPR dan Lembaga Tinggi Negara yaitu Presiden, DPA, DPR, BPK, dan Mahkamah Agung. MPR dalam UUD 1945 sebelum perubahan adalah penjelmaan seluruh rakyat sebagai pemegang kedaulatan, dan dalam realitasnya MPRlah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi.
Penjelasan UUD 1945 sebelum perubahan. Setelah UUD 1945 mengalami perubahan, kita juga tidak dapat menemukan kejelasan definisi lembaga negara. Kalau dilakukan inventarisasi dalam UUD 1945 setelah perubahan kita memang menemukan lembaga-lembaga negara yang disebut, baik secara tegas yang dibentuk dan menerima kewenangan dari UUD 1945, atau yang hanya disebut adanya satu lembaga untuk fungsi tertentu, yang kemudian nama dan wewenangnya diatur dalam undang-undang mengenai lembaga negara tersebut. Misalnya pasal 22 ayat (5) yang mengatur bahwa ”pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap dan mandiri” dan ayat (6) menentukan bahwa ”ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur dengan undang-undang”. Demikian juga pasal 23D UUD 1945 hanya menyebut adanya satu bank sentral, yang susunan, kedudukan, kewenangan, tanggung jawab, dan independensinya diatur dengan undang undang.
Dari ketentuan tersebut juga dapat diketahui bahwa penyebutan adanya lembaga negara dalam UUD belum dengan sendiri menentukan bahwa lembaga yang akan dibentuk itu merupakan organ konstitusi sebagai lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dariUD 1945. Ada kalanya penyebutan dalam UUD 1945 merupakan penugasan kepada pembuat undang-undang untuk membentuk lembaga negara tersebut yang menyangkut kewenangan, susunan, kedudukan dan tanggung jawabnya dalam satu undang-undang. Dalam hal demikian dia menjadi organ atau lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari undang-undang.
Kewenangan dan Sengketanya
Kewenangan yang disebut sebagai authority, diartikan sebagai hak untuk bertindak dan mengeluarkan perintah dengan kekuasaan yang dimiliki oleh pejabat umum atau lembaga negara untuk meminta kepatuhan orang atau organ negara pada perintah yang dikeluarkan secara sah dalam ruang lingkup tugas publiknya (public duties).
Black’s Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Minn. West Publishing Co, 1990. Kewenangan itu dikatakan merupakan wujud nyata dari kekuasaan, sebagai kemampuan untuk mempengaruhi tingkah laku pelaku lain sedemikian rupa, sehingga tingkah laku semua adressatnya menjadi sesuai dengan keinginan dari pelaku yang mempunyai kekuasaan.
Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 16. Oleh karenannya juga benar bahwa kewenangan merupakan wujud nyata dari kekuasaan. Dengan mengacu pada sumber kekuasaan negara yang berkaitan dengan ajaran kedaulatan yang dianut dalam UUD 1945, maka sumber kekuasaan yang dimiliki oleh lembaga negara di Indonesia adalah derivat dari kesadaran kolektif bangsa mengenai Kemahakuasaan Tuhan Yang Maha Esa, yang diwujudkan dalam faham kedaulatan hukum, sekaligus faham kedaulatan rakyat.
Prof. Dr. Jimly Asshidiqie dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal x.
Mengacu kepada pembedaan lembaga negara sebagai organ konstitusi yang memperoleh wewenangnya dari UUD 1945 dan yang bukan, sangat penting untuk diingat bahwa sumber kewenangan tersebut merupakan tolok-ukur atau ukuran untuk menentukan corak lembaga negara yang bersengketa menyangkut kewenangannya. Tetapi apakah dengan ukuran yang jelas demikian dapat kita mengatakan bahwa satu lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD, tidak mungkin bersengketa dengan lembaga negara yang memperoleh kewenangan dari undang-undang, dan kalau hal demikian menjadi kenyataan maka hal demikian diluar jurisdiksi MK? Secara pasti hal tersebut belum dapat dikatakan, karena satu lembaga negara yang ditentukan dalam UUD 1945 dengan kewenangan pokok disebut dalam konstitusi, tetapi diatur lebih lanjut dalam undang-undang. Apakah hal pengaturan demikian dalam undang-undang menyebabkan sumber kewenangan secara langsung lembaga negara tersebut dari undang-undang atau dari UUD, masih merupakan perdebatan yang akan memperoleh kepastian dalam kasus-kasus yang dihadapi dan memeroleh putusan yang final dari MK. Oleh karena belum jelasnya hal ini, Mukhtie Fajar berpendapat bahwa hal tersebut bisa mengundang beberapa penafsiran, yaitu :
penafsiran luas, sehingga mencakupsemua lembaga negara yang nama dan kewenangannya disebut/tercantum dalam UUD 1945;
penafsiran moderat, yakni yang hanya membatasi pada apa yang dulu dikenal sebagai lembaga tertinggi dan tinggi negara;
penafsiran sempit, yakni penafsiran yang merujuk secara implisit dari ketentuan pasal 67 UU MK;
Abdul Mukthie Fajar, Hukum Konstitusi & Mahkamah Konstitusi, Konstitusi Press,Jakarta &Citra Media Yogyakarta 2006, hal 184. Hal tersebut juga dikutip dari sumber lain, dalam Firmansyah dkk, hal 65-66.
Akan tetapi dari bunyi pasal 67 UU nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yang berbunyi ”Putusan Mahkamah konstitusi mengenai sengketa kewenangan disampaikan kepada DPR, Dewan Perwakilan Daerah dan Presiden”. Hemat saya dengan penafsiran sempit sekalipun, belum menjadi jelas betul apakah dengan demikian BPK dan Komisi Yudisial tidak termasuk didalamnya. Mahkamah Agung dalam landasan berfikir yang keliru juga tidak tepat bila dikeluarkan dari daftar lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945, yang boleh bersengketa, karena dari kasus yang pernah timbul dan diputus MK, kasus antara MA dan KY secara riil sesungguhnya yang dipermasalahkan adalah sengketa kewenangan menurut pasal 24C ayat (1) UUD 1945, meskipun dikemas dalam bentuk pengujian undang-undang tentang pembentukan Komisi Judisial.
Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara nomor 05/PUU-IV/2006, tanggal 23 Augustus tahun 2006 tentang pengujian undang-undang nomor nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan undang-undang nomor 22 tahun 2004 tentang Komisi Judisial.
Timbul pertanyaan, mengapa dapat terjadi sengketa kewenangan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain? Satu wewenang yang dilimpahkan pada lembaga negara selalu mempunyai kaitan dengan hukum, yang dapat berwujud Undang-Undang Dasar, Undang-Undang maupun peraturan perundang-undangan lainnya. Istilah tugas, fungsi dan wewenang sering dipakai secara interchangeable atau saling dipertukarkan, sehigga kadang-kadang menjadi tidak jelas artinya. Harjono mengemukakan bahwa fungsi mempunyai makna yang lebih luas daripada tugas. Tugas katanya, lebih tepat digunakan untuk menyebut aktivitas-aktivitas yang diperlukan agar fungsi terlaksana. Fungsi memerlukan banyak aktivitas agar fungsi dapat terlaksana. Gabungan dari tugas-tugas adalah operasionalisasi dari sebuah fungsi yang sifatnya kedalam. Tugas selain mempunyai aspek kedalam juga memiliki aspek keluar. Aspek keluar dari tugas adalah wewenang.
Sebagaimana dimuat dalam Firmansyah Arifin dkk, op.cit hal 19. Dalam praktek kata tugas tidak dapat dipisahkan dari wewenang, sehingga oleh karenanya sering digunakan secara bersama-sama yaitu tugas dan wewenang. Dikatakan lebih jauh bahwa dengan dinyatakannya satu lembaga mempunyai wewenang, timbullah akibat yang sifatnya kategorial dan ekslusif.
Idem, hal 14. Kategorial dikatakan sebagai unsur yang membedakan antara lembaga yang mempunyai wewenang dengan yang tidak mempunyai wewenang, sedangkan eksklusif diartikan bahwa lembaga-lembaga yang tidak disebut merupakan lembaga yang tidak berwenang.Perbedaan tafsir atas kewenangan yang diberikan dalam aturan perundang-undangan oleh lembaga negara yang berbeda demikian dapat melahirkan sengketa kewenangan yang merupakan perselisihan atau perbedaan pendapat yang berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan antara dua lembaga negara atau lebih.
Dalam laporan penelitian KRHN dikatakan terdapat empat karakeristik utama sebuah kewenangan yang berbasis peraturan, yaitu:
Hak untuk membuat keputusan-keputusan yang berkekuatan hukum. Hal ini sangat berkaitan dengan pelaksanaan kewenangan yang dikeluarkan sebagai bagian dari pelaksanaan kewenangannya.Potensi sengketa kewenangan lembaga negara sangat mungkin lahir dari produk hukum yang dikeluarkan oleh sebuah lembaga negara yang kemudian mengikat kepada lembaga negara lain.
Perbedaan pelegitimasian antara kekuasaan dengan kewenangan. Hal tersebut berkaitan dengan beberapa lembaga negara yang secara legitimatif kekuasaannya diberikan dalam landasan hukum yang berbeda dengan landasam hukum kewenangannya. Hal itu menibulkan perbedaan tafsiran antara kekuasaan, fungsi, tugas, wewenang dan kewajiban maupun penjabaran terhadap unsur-unsur tersebut. Akibatnya sering suatu lembaga negara merasa lebih memiliki kekuasaan ataupun kewenangan terhadap satu hal daripada lembaga negara lain.
Aturan hirarkis yang jelas, seperti lex specialis derogat legi generalis, lex superiori derogat legi inferiori,diperlukan dalam menjamin kepastian hukum, dapat membingungkan ketika beberapa jenis peraturan sudah tercabut dengan azas tersebut.
Kewenangan yang terbagi. Beberapa kewenangan dimiliki lembaga negara secara bersamaan dengan lembaga negara lain. Kerancuan timbul ketika wilayah kewenangan mulai ditafsirkan antara satu lembaga negara dengan lembaga negara lain.
Karena prinsip checks and balances tersebut diantara lembaga-lembaga negara yang setara setelah amandemen UUD 1945, yang tidak lagi mengenal lembaga tertinggi yaitu MPR, maka diperlukan adanya satu lembaga untuk menafsir kewenangan konstitusional lembaga-lembaga negara tersebut untuk memberi penyelesaian pada sengketa yang timbul.
PIHAK-PIHAK DALAM SENGKETA KEWENANGAN
Objectum litis sengketa kewenangan lembaga negara, akan membatasi siapa pihak yang dapat menjadi pemohon dan termohon didepan persidangan Mahkamah Konstitusi. Kewenangan lembaga negara yang dapat menjadi objek sengketa hanyalah menyangkut kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 kepada lembaga negara tertentu. Oleh karenanya tidaklah tiap lembaga negara, yang memenuhi kriteria sebagai organ, badan atau lembaga negara yang menjalankan fungsi penyelenggaraan negara dan pemerintahan, yang bersengketa dengan lembaga negara lain dapat dengan sendirinya menjadi pihak dalam sengketa kewenangan dimaksud. Jikalau kita meneliti UUD 1945 setelah perubahan, dapat dinventarisasi 28 lembaga negara yang disebut secara eksplisit maupun secara tidak langsung disebut tetetapi kemudian diperintahkan akan diatur dalam undang-undang. Menurut Jimly Asshidiqie, ada 28 lembaga negara, organ atau jabatan yang disebut dalam UUD 1945 tetapi kewenangannya dirujuk akan diatur lebih lanjut, atau lembaga negara yang diatur secara jelas kewenangannya dalam UUD 1945 maupun yang sekedar disebut saja,yaitu :
Majelis Permusyawaratan Rakyat.(MPR).
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
Presiden.
Wakil Presiden.
Dewan Pertimbangan Presiden.
Kementerian Negara.
Duta.
Konsul.
Pemerintahan Daerah Propinsi, yang mencakup
Jabatan Gubernur.
DPRD Propinsi
Pemerintahan Daerah Kabupaten, yang mencakup
Jabatan Bupati
DPRD Kabupaten
Pemerintahan Daerah Kota, yang mencakup
Jabatan Walikota
DPRD Kota.
Komisi Pemilihan Umum)KPU), yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Bank Sentral, yang akan diatur lebih lanjut dalam undang-undang.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Mahkamah Agung (MA)
Mahkamah Konstitusi (MK).
Komisi Yudisial.(KY)
Tentara Nasional Indonesia(TNI).
Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Pemerintah Daerah Khusus atau istimewa.
Kesatuan Masyarakat hukum adat.
Prof.Dr Jimly Asshidiqie SH, Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara, Konstitusi Press & PT Syaamil Cipta Media, 2006 hal 15.
Meskipun disebut dan diatur dalam UUD 1945, lembaga negara yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi pemohon sengketa kewenangan lembaga negara didepan MK, haruslah secara eksplisit bahwa kewenangan organ konstitusi tersebut mendapat kewenangannya tersebut dari UUD 1945. Berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi dalam perkara Nomor /PUU-IV/2006, yang kemudian diadopsi sebagai syarat legal standing dalam pasal 3 Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, ditetapkan tiga syarat untuk legal standing tersebut yaitu :
Pemohon adalah lembaga negara yang menganggap kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembaga negara yang lain.
Pemohon harus mempunyai kepentingan langsung terhadap kewenangan yang dipersengketakan.
Termohon adalah lembaga negara yang dianggap telah mengambil, mengurangi, menghalangi, mengabaikan, dan/atau merugikan pemohon.
Syarat yang disebut pada angka (1) pasal 3 PMK nomor 08/PMK/2006 yang berlaku mulai tanggal 18 Juli 2006, adalah mengambil alih pasal 61 ayat (1) UU nomor 24 tahun 2003, tentang Mahkamah Konstitusi.
Syarat angka 3 diatas, dapat ditafsirkan sebagai adanya hubungan kausal kerugian yang dialami kewenangannya dengan kewenangan yang dilaksanakan oleh lembaga lain.
Periksa lebih lanjut Maruarar Siahaan, Hukum Acara Mahkamah konstitusi Republik Indonesia, Edisi Revisi MKRI 2006 hal 195. Dengan kriteria yang demikian maka subjek lembaga negara yang disebut diatas yang memiliki legal standing untuk dapat menjadi Pemohon dalam sengketa kewenangan lembaga negara didepan Mahkamah Konstitusi, menjadi semakin sempit dan berkurang.Hal ini dapat terlihat dengan jelas dalam pasal 2 PMK Nomor 08/PMK/ 2006 tersebut, yang menentukan :
Lembaga Negara yang dapat menjadi pemohon atau termohon dalam perkara sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara adalah :
Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Presiden
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) .
Pemerintahan Daerah (Pemda); atau
Lembaga negara lain yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945.
Penyebutan huruf g yang kembali seperti mengulang kalimat dalam pasal 24 C ayat (1) tentang kualifikasi lembaga negara yang memiliki legal standing untuk menjadi pihak dalam sengketa kewenangan tersebut, yang justru ingin diatur dan diperjelas, dengan aturan dalam huruf g tersebut persoalannya menjadi terbuka kembali. Hal tersebut terjadi karena adanya perbedaan pendapat atau tafsiran atas penyebutan lembaga negara tertentu dalam UUD 1945 yang sebagian menganggap kewenangannya diatur secara tegas dalam UUD 1945, sebagian lagi menganggapnya tidak. Oleh karena nya hal demikian akan diputus kelak secara definitif dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berkekuatan tetap dan mengikat, yang akan menjadi jurisprudensi yang kemudian akan menjadi rujukan. Hal ini dapat dilihat dari rumusan Bab VI UUD 1945 tentang Pemerintah Daerah, dimana pasal 18 menentukan bahwa NKRI dibagi atas daerah-daerah Propinsi dan daerah Provinsi dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabipaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah,yang diberi wewenang untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota dengan Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Pemerintahan daerah, yang terdiri dari kepala daerah dan DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat, dan dalam rangka melaksanakan otonomi Pemerintahan Daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lainnya. Dalam satu kasus yang terjadi di Pemerintahan Daerah Bekasi, seorang Bupati telah diberhentikan sesuai dengan UU nomor 32 tahun 2004, atas dasar putusan MA yang menyatakan bahwa prosedur pemilihannya mengalami cacat hukum dan karenanya pengangkatannya kemudian dibatalkan Presiden. Bupati yang diberhentikan tersebut kemudian mengajukan perkara permohonan sengketa kewenangan terhadap (i) Presiden, (ii) Mendagri dan (iii) DPRD Kabupaten Bekasi, dengan alasan bahwa pemberhentian yang dilakukan berdasar wewenang Presiden, telah merugikan kewenanganya sebagai Bupati, karena sesungguhnya putusan Mahkamah Agung yang dijadikan dasar pemberhentian inkonstitusional, karena cacat dalam persyaratan untuk pilkada bukan merupakan sengketa tatausaha negara yang menjadi wewenang Pengadilan TUN, dan karenanya juga Presiden tidak boleh menghentikannya yang wewenangnya dirugikan dengan demikian. DPRD juga telahmerugikan kewenangan konstitusionalnya, karena DPRD tidak berwenang mengesahkan Peraturan Daerah yang diusulkan Pejabat atau Pelaksana Bupati, yang menjadi wewenang Bupati yang dipilih secara demokratis, sedangkan Pelaksana Bupati tidak dipilih melainkan ditunjuk.
Dalam perkara tersebut berdasarkan kasus posisi yang terjadi, kami berpendapat bahwa DPRD sebagai lembaga negara memperoleh wewenangnya secara langsung dari UUD 1945 sebagai bagian dari Pemerintahan Daerah, yang turut serta dalam pembentukan dan Pengesahan Peraturan Daerah. Meskipun tatacara tentang wewenang DPRD diatur dalam undang-undang, hemat kami wewenang DPRD tersebut berasal dari dan diberikan oleh UUD 1945, dalam rangka otonomi yang seluas-luasnya. Jika sekiranya dianut pendapat bahwa DPRD, yang juga dikategorikan sebagai lembaga negara tingkat daerah tidak memiliki legal standing mengajukan sengketa kewenangan lembaga negara demikian didepan MK, tidak pula tepat sengketa demikian diajukan didepan PTUN sebagai sengketa TataUsaha Negara, karena masalah yang dipersoalkan adalah masalah hukum tatanegara, yang menjadi kompetensi Peradilan TataNegara. Meskipun dari sudut kriteria objek sengketa TUN boleh jadi Peraturan Daerah memiliki nuansa keputusan TUN dari pejabat TUN yaitu pelaksana tugas Bupati yang dapat dipersengketakan didepan Pengadilan TUN, akan tetapi Peraturan Daerah adalah merupakan algemene regeling yang mengikat secara umum, dan bukan merupakan beschikking, yang bersifat individual,final dan kongkrit. Mayoritas Hakim Mahkamah Konstitusi berpendapat lain tentang status lembaga negara Bupati/KDH dan DPRD tersebut sebagaimana tampak dalam pertimbangan perkara No. 04/SKLN-IV/2006 sebagai berikut ini :
”...objektum litis antara Pemohon dan Termohon III adalah kewenangan pemerintahan daerah untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan asas otonomi dan tugas pembantuan sebagaimana dinyatakan dalam pasal 18 ayat (6) UUD 1945. Mahkamah berpendapat bahwa pemerintahan daerah adalah lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh pasal 24C UUD 1945 karena diberikan kewenangan oleh Pasal 18 ayat (2), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 18A ayat (1) dan ayat (2)serta pasal 18B ayat (1) UUD 1945.Pemohon yang mendalilkan dalam kapasitasnya sebagai lembaga negara untuk mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 adalah Bupati Bekasi. Dalam hubungannya dengan kapasitas yang didalilkan yaitu, UUD 1945 mengatur dalam pasal 18 ayat (4) bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah propinsi, kabupaten, dan kota, dipilih secara demokratis. Selain ketentuan tersebut, pasal 18 ayat (3) UUD 1945 menyatakan Pemerintahan Daerah provinsi, kabupaten dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih secara melalui pemilihan umum. Dari ketentuan-ketentuan tersebut diatas yang telah jelas disebut kewenangannya adalah Pemerintahan Daerah yang kewenangan tersebut diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur diberikan dalam hubungannya dengan kewenangan mengatur yang dimiliki oleh Pemerintah Pusat. Meskipun pasal 18 ayat (4) UUD 1945 menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati dan Walikota adalah kepala pemerintah daerah, namun pasal ini tidak menyebutkan apa yang menjadi kewenangan kepala pemerintah daerah dan hal ini adalah wajar karena ruang lingkup kewenangan tersebut baru dapat ditetapkan apabila perintah pasal 18,Pasal 18A ayat (4)dan pasal 18B UUD 1945dilaksanakan yaitu ditetapkan dalam undang-undang.Kewenangan kepala daerah sangatlah berkaitan dengan kewenangan pemerintahan daerah, karena kepala daerah adalah kepala pemerintah daerah, tentunya sangat tidak tepat apabila kewenangan kepala daerah tidak dalam rangka melaksanakan kewenangan yang dimiliki oleh pemerintahan daerah. Keseluruhan kewenangan tersebut diatur dalam undang-undang yang melaksanakan pasal 18, Pasal 18A dan pasal 18B UUD 1945. Pasal 18 ayat (6) adalah kewenangan yang diberikan oleh undang-undang dasar kepada pemerintahan daerah dan sekaligus juga perintah kepada pembuat undang-undang agar kewenangan tersebut tidak diabaikan dalam melaksanakan ketentuan pasal 18, pasal 18A dan Pasal 18B UUD 1945.Dalam hubungannya dengan pembuatan peraturan daerah, kewenangan kepala pemerintah daerah ditentukan dan diatur oleh undang-undang. Sedangkan yang dilarang oleh undang-undang dasar apabila kewenangan membuat peraturan daerah sama sekali ditiadakan. Pelaksanaan kewenangan tersebut tentunya akan disesuaikan dengan pelaksanaan asas otonomi dan tugas pembantuan yang diatur oleh undang-undang. Pembuat undang-undang dapat mengatur secara berbeda tata cara pembuatan peraturan daerah yang berlaku untuk daerah provinsi, daerah kabupaten, daerah kota dan bahkan daerah yang termasuk satuan-satuan pemerintah daerah yang bersifat khusus atau bersifat khusus atau bersifat istimewa sebagaimana dimaksud oleh Pasal 18B UUD 1945.
...Mahkamah berpendapat bahwa Bupati adalah organ pemerintahan yang juga lembaga negara dalam proses pembuatan peraturan daerah yang diatur dalam UU nomor 32 tahun 2004. Kewenangan Bupati tersebut diberikan oleh undang-undang, dan didalam undang-undang tersebut tidak terdapat kewenangan implisit atau kewenangan yang diperlukan (necessary and proper) untuk melaksanakan kewenangan pokok yang diberikan undang-undang dasar.Dengan demikian, Mahkamah berpendapat bahwa sengketa yang terjadi...bukanlah sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar sebagaimana dimaksud oleh Pasal 24C UUD 1945 sehingga permohonan pemohon tidak beralasan”.
Mahkamah Konstitusi dalam kasus Bupati Bekasi perkara No.04/SKLN-IV/2006 tersebut memutus tidak dapat diterima (niet ontvankelijk verklaard) sehingga belum mengikat sepanjang mengenai substansinya. Akan tetapi putusan MK tersebut telah menentukan lembaga negara Bupati dan DPRD tidaklah memperoleh kewenangannya dalam menyelenggarakan otonomi seluas-luasnya, termasuk wewenang untuk membentuk peraturan daerah dalam menjalankan otonomi daerah. Wewenang tersebut berasal dari undang-undang. Oleh karena MK baru memutus mana lembaga negara yang boleh bersengketa didepan MK, ada kemungkinan dimasa depan akan terjadi kasus yang hampir sama dimana MK akan sampai pada materi atau substansi sengketanya, yang akan diputus dengan kekuatan hukum yang mengikat. Harus diakui definisi Hukum Tata Negara yang luas yang mencakup Hukum Tata Usaha Negara, telah menyebabkan timbulnya titik singgung diantara Pengadilan Tata Usaha Negara yang berada dibawah MA dengan Pengadilan TataNegara yang diemban MK, dalam menangani kasus semacam itu, yang boleh jadi dapat menimbulkan komplikasi yang akhirnya tidak pas. Tetapi dengan berpedoman pada Konstitusi sebagai hukum yang tertinggi, dengan mana peraturan maupun perbuatan semua organ negara harus dapat diuji dengan UUD, yang merupakan dasar untuk menegaskan bahwa kata akhir dalam hal demikian akan menjadi jurisdiksi Mahkamah Konstitusi. Secara diametral kami memiliki pendirian yang berbeda, melalui pendekatan yang tidak semata-mata satu segi, yakni dari segi sumber kewenangan lembaga negara yang tekstual. Pendirian kami tercantum dalam dissenting opinion kami yang dikutip berikut ini :
Dalam perkara ini Bupati/Wakil Bupati Bekasi yang dipilih dan ditetapkan sebagai Bupati terpilih pada tahun 2003 oleh DPRD Kabupaten Bekasi, dan disahkan dengan Keputusan Mendagri sebagai Bupati/Wakil Bupati Bekasi serta diambil sumpahnya pada tanggal 8 Januari 2004, telah diberhentikan oleh Mendagri dengan surat keputusan tertanggal 4 Januari 2006, persis 2 (dua) tahun setelah menjalankan tugasnya. SK Mendagri tersebut dikeluarkan sebagai lanjutan dari Putusan Mahkamah Agung Nomor 436 K/TUN/2004 yang menyatakan batal SK Mendagri tentang pengangkatan Bupati dan Wakil Bupati terdahulu dan memerintahkan Mendagri mencabut surat keputusan tersebut. Sebagai akibatnya kemudian dalam SK Mendagri tentang pembatalan SK pengangkatan terdahulu, Bupati dan wakil Bupati diberhentikan. Berbeda dengan mayoritas hakim MK, kami berpendapat ini merupakan kewenangan MK yang harus diputus MK.
Bupati dan DPRD sebagai Lembaga Negara
Sengketa (dispute) itu dapat terjadi karena digunakannya kewenangan lembaga negara yang diperolehnya dari UUD 1945, dan kemudian dengan penggunaan kewenangan tersebut terjadi kerugian kewenangan konstitusional lembaga negara lain. Dalam arti ini, maka lembaga negara yang lebih rendah kedudukannya, dalam arti yang secara stricto sensu juga tidak disebut lembaga negara, tetapi yang juga lembaga negara yang memiliki tugas-tugas secara konstitusional menurut UUD, termasuk dalam kategori ini. Apapun tafsiran yang diberikan terhadap Pasal 18 ayat (4) UUD, jelas bahwa wewenang sebagai kepala daerah, yang memimpin sebagian tugas pemerintahan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, maka kewenangan itu diberikan UUD 1945 melalui ”Pemilihan secara demokratis”. Wewenang menjalankan Pemerintahan Daerah, diberikan kepada Bupati, dan lembaga DPRD, jelas adalah berasal dari UUD 1945. Tidak ada faedahnya untuk menafsirkannya secara lain, karena perolehan kewenangan untuk menyelenggarakan kewenangan Pemerintahan tersebut dalam menjalankan otonomi seluas-luasnya, menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan tersebut, tidak berbeda dengan kewenangan yang diterima dan diberikan UUD 1945 kepada Presiden dan DPR. Justru akan terasa kegagalannya untuk menegakkan Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan berdasarkan hukum dan Konstitusi, jikalau mengambil tafsiran yang bersifat restriktif dan tanpa dasar yang cukup. Original intent dari pembuat UUD, merupakan hal yang penting untuk diperhatikan, akan tetapi merupakan fakta yang diakui secara universal, bahwa pembuat UUD juga harus memberikan keleluasaan bagi Mahkamah untuk melakukan penyesuaian dalam memenuhi tuntutan dinamika perkembangan zaman dan kebutuhan praktek (The Court needs to adapt to meet the demands of the unknown future), dan hemat kami pembuat UUD tidaklah pernah bermaksud menghambat Mahkamah untuk memiliki keleluasaan melakukan penyesuaian akan tuntutan kebutuhan dalam rangka melaksanakan tujuannya mengawal Konstitusi. Demokrasi dan keseluruhan sistem kelembagaannya adalah satu karya yang terus tumbuh, sebagaimana juga ditunjukkan oleh negara-negara yang lebih dulu maju, yang tidak mampu diatur oleh pembuat UUD secara sempurna sehingga tidak lagi membutuhkan tafsiran dalam kenyataan politik.
Persoalan pokok yang harus dijawab terlebih dahulu adalah, apakah keputusan pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan kepala daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Sebelum melihat ketentuan UU Pemerintahan Daerah, maka jika memang aturan dalam UU memberi peran pada Presiden dan Mendagri untuk mengeluarkan SK pengangkatan Bupati dimaksud, tetapi Pejabat TUN dimaksud tidak memiliki diskresi penuh untuk menilai kecakapan dan kelayakan seseorang sebelum mengangkat/menghentikannya menjadi Bupati/Wakil Bupati atau kemudian hal itu dilakukan Mendagri hanya berdasarkan Putusan MA yang telah berkekuatan, ukuran atau tolok ukur yang digunakan dalam menentukan apakah ini merupakan sengketa kewenangan yang disebut Pasal 24C UUD 1945, ialah apakah keputusan Mendagri tersebut didasarkan pada kebebasan diskresi. Hal demikian juga menjadi relevan kalau terjadi kelalaian Hakim dalam menerapkan aturan UU dan Konstitusi, sebagaimana didalilkan Pemohon, maka sengketa ini tunduk pada jurisdiksi MK, sehingga karenanya MK berwenang mengadili perkara ini, karena penggunaan wewenang Mendagri secara tidak tepat telah menghilangkan kewenangan yang diemban oleh Bupati yang telah bertugas sebagai Kepala Pemerintah Daerah dalam pelaksanaan Pemerintahan di Daerah Kabupaten Bekasi.
Persoalan kewenangan ini harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata negara dengan Hukum Administrasi Negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, Hukum Tata Negara meliputi juga Hukum Administrasi Negara, yang mengatur organisasi dari pada negara, hubungan antar perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warganegara dan hak asasinya. Jadi dalam arti luas juga mencakup hubungan bukan saja antar lembaga negara, tetapi juga antara lembaga negara dengan warganegara. Oleh karena definisi yang demikian, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan antara PTUN dengan Mahkamah Konstitusi, dengan akibat terjadinya kemungkinan overlap diantara kedua kewenangan tersebut. Tetapi satu ukuran yang jelas dapat dilihat dari batasan yang ditetapkan sebagai diluar kewenangan PTUN yaitu hasil pemilihan sebagai lembaga demokrasi. Pengesahan atau pengukuhan hasil pemilihan kepala daerah berupa keputusan Presiden atau Mendagri, meskipun formil adalah satu keputusan TUN yang final, individual dan konkrit, akan tetapi Mendagri sebagai pejabat TUN dalam kaitan pengesahan Bupati/Kepala daerah hasil Pilkada, berwenang membuat SK bukan dengan satu kewenangan diskresioner, yang menilai dengan ukuran-ukuran yang ditetapkan oleh UU, melainkan hal itu hanya pengesahan/pengukuhan. Perselisihan tentang dipenuhi tidaknya syarat untuk ikut pemilihan terletak dalam wewenang panitia pemilihan (sekarang KPUD), dan Mendagri sebagai pejabat TUN tidak memiliki kewenangan diskresioner untuk menentukan seorang Bupati terpilih tidak memenuhi syarat itu, sebagaimana kewenangan TUN dalam mengangkat pejabat TUN atau pegawai lainnya. Dalam UU Pemerintahan Daerah yang menetapkan sebagai Kepala Daerah berdasarkan hasil pemungutan suara, adalah DPRD dan Mendagri bertugas mengukuhkan atau mengesahkan. Hal tersebut harus dilihat dan dinilai bukan dari segi hukum tata usaha negara, melainkan dari segi hukum tata negara, yaitu sebagai satu mekanisme hubungan antar lembaga negara yang pejabatnya diisi secara demokratis. SK pengangkatan atau pengesahan itu tidak dapat dilihat sebagai keputusan TUN yang murni, karena sesungguhnya hal itu hanya merupakan satu perbuatan hukum tata negara sebagai kewenangan yang diatur secara konstitusional dan karenanya harus dinilai secara konstitusional, yang menyangkut hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintahan daerah di dalam prinsip negara kesatuan. Pengukuhan dengan SK Mendagri tersebut merupakan satu penyelesaian administrasi ketatanegaraan bukan Keputusan TUN, karena menyangkut pengisian pejabat publik melalui mekanisme demokratis sebagaimana ditentukan UUD 1945. Kalau SK Mendagri demikian memiliki fungsi konstitutif dalam menentukan kedudukan kepala daerah, maka yang menetapkan seorang menjadi kepala daerah bukan pemilihan secara demokratis, melainkan pengangkatan oleh Mendagri atau Presiden. Hal demikian, jika benar, jelas bertentangan dengan UUD 1945, karena yang menentukan dan menetapkan seorang menjadi kepala daerah adalah pemilihan demokratis.
Wilayah kekuasaan MK adalah untuk menjaga jangan sampai ada ketentuan Konstitusi yang dilanggar dalam pelaksanaan kewenangan lembaga negara, dengan menerapkan uji konstitusionalitas juga ketika terjadi perselisihan (dispute) yang didalilkan bahwa lembaga negara tertentu melaksanakan kewenangannya justru menghilangkan kewenangan lembaga negara lain atau melanggar kewenangan konstitusionalnya. Atas dasar uraian dan alasan-alasan diatas, kami berpendapat MK berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa ini.
Kewenangan Bupati Secara Derivatif dari UUD 1945.
Pemohon adalah lembaga negara yang telah diuraikan di atas, memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 meskipun rincian wewenangnya secara derivatif diatur kemudian dalam UU. Pemohon sebagai pemegang jabatan (ambtsdrager) tidak dapat dipisahkan dari jabatan bupati (ambt) tersebut, terutama dalam kondisi dinamis, wewenang lembaga (ambts) yang memperoleh wewenang tersebut dari UUD 1945 hanya dapat dilaksanakan melalui pejabatnya (ambtsdrager). Pemohon sebagai Bupati yang telah dipilih dalam Pilkada oleh DPRD secara demokratis, sesuai dengan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, dan kemudian disahkan dengan mengangkat yang bersangkutan dengan SK Mendagri dan disumpah di depan Gubernur Jabar, adalah sebagai Kepala Pemerintah Daerah Kabupaten, yang bersama-sama DPRD menjalankan otonomi seluas-luasnya, dan berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan [Pasal 18 ayat (4) dan (5) UUD 1945]. Dengan demikian wewenangnya sebagai Bupati didasarkan atas pemilihan yang demokratis, untuk menyelenggarakan pemerintahan di daerah dengan otonomi yang seluas-luasnya, yang dilengkapi dengan kewenangan menetapkan Perda dan peraturan lainnya. Dengan ukuran demikian, lepas dari keterangan Termohon I (Presiden) tanggal 19 April 2006, dan ahli yang diajukan Termohon I yang menunjukkan original intent drafter amandemen UUD 1945 tidak bermaksud demikian, tidaklah bermanfaat untuk menyatakan bahwa Bupati bukan lembaga negara, yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945, meskipun kemudian diperinci dalam UU Pemerintahan Daerah sebagaimana diamanatkan oleh UUD 1945, karena perkara casu quo, sesungguhnya tidak dapat dibayangkan sebelumnya oleh Pembuat perubahan UUD. Peristiwa hukum (tata negara) yang tidak bersesuaian dengan UUD, tidak boleh dibiarkan hanya karena tidak disebut secara tegas apakah sengketa yang dihadapkan kepada MK masuk dalam kategori pengaduan konstitusi (constitutional complaint) yang belum merupakan kewenangan MK dalam tugasnya untuk mengawal konstitusi. Lepas dari original intent para perancang perubahan UUD 1945 dan tidak adanya aturan yang tegas yang memberikan kewenangan demikian kepada MK, menurut hemat kami, Hakim Konstitusi justru berkewajiban untuk menemukan hukumnya, baik melalui interpretasi maupun konstruksi atau penghalusan hukum. Hal ini menjadi sangat penting, karena hemat kami tidak boleh dibiarkan timbulnya keadaan dimana pemerintahan (daerah) menjadi tidak stabil, tidak effektif dan tidak effisien karena MK tidak menemukan hukum yang menjadi dasar kewenangannya menyelesaikan perkara a quo. Asas pokok yang diletakkan dalam konstitusionalisme, yang meletakkan UUD 1945 sebagai hukum yang tertinggi, harus menjadi sumber legitimasi dan dasar keberadaan aturan perundang-undangan yang lebih rendah maupun keputusan pemerintahan (government act). Dari asas tersebut Hakim dapat merumuskan norma konstitusi (Judge-made constitutional law) bahwa semua lembaga negara yang beroleh kewenangannya dari UUD 1945, tidak diperkenankan untuk mengeluarkan aturan perundang-undangan ataupun membuat keputusan yang bertentangan dengan UUD. MK sebagai forum penyelesaian sengketa ketata negaraan demikian, tidak boleh membiarkan dirinya untuk tidak mengambil keputusan secara aktif dan substantif jika dihadapkan pada persoalan yang demikian, karena membiarkan hal demikian tidak menyumbang terhadap pengelolaan kehidupan bernegara yang stabil berdasar Konstitusi yang justru menjadi tugasnya.
Lahirnya Mahkamah Konstitusi sebagai Peradilan Tata Negara melalui perubahan besar UUD 1945, dengan kewenangannya terutama untuk memeriksa dan memutus sengketa kewenangan lembaga negara, akan memiliki titik singgung dengan kewenangan peradilan TUN. Hal tersebut akan terjadi jika sengketa kewenangan lembaga negara juga dilihat dari aspek penggunaan kewenangan lembaga negara dengan mengeluarkan surat keputusan (SK), terutama dalam pengesahan pemilihan kepala daerah melalui mekanisme yang ditentukan dalam UUD 1945, yaitu pemilihan secara demokratis. Mekanisme menyelesaikan titik singgung antara dua badan peradilan yang setara demikian, tidak tersedia sebagaimana halnya Mahkamah Agung berwenang memutus sengketa kewenangan mengadili antara pengadilan ditingkat yang lebih rendah. Oleh karena itu, selama meeting of mind antara MA dan MK belum tercapai dalam hal seperti itu, maka MK mau tidak mau harus melakukan penilaian sendiri berdasar bukti-bukti dan keyakinannya untuk mempertimbangkan dan memutus apakah benar ada kewenangan absolut PTUN yang dilanggar jika MK memeriksa dan memutus perkara yang demikian. Perubahan UUD 1945 yang terjadi secara revolusioner tersebut, seharusnya memaksa lembaga judikatif untuk melakukan pemahaman bersama atas implikasi perubahan UUD 1945 terhadap kewenangan masing-masing. Kalau itu tidak terjadi, MK harus mempertimbangkannya sendiri, baik kewenangan MK maupun MA.
The Italian Constitutional Court, Corte Coztitutionale, 2004, hal 37-38.
Titik Singgung Kewenangan PTUN dan MK
Sengketa kewenangan lembaga negara yang memperoleh kewenangannya dari UUD 1945 dapat didefinisikan sebagai “sengketa yang timbul dalam bidang tata negara sebagai akibat satu lembaga negara menjalankan kewenangannya yang diberikan UUD 1945, telah menghilangkan, merugikan atau mengganggu kewenangan lembaga negara lain”. Dengan definisi yang demikian, maka satu sengketa kewenangan lembaga negara dapat terjadi karena satu lembaga negara menjalankan wewenangnya secara bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan perbuatan lembaga negara yang dapat disebut Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi (PMHK). Seorang Bupati/Wakil Bupati terpilih secara demokratis yang ditetapkan oleh DPRD -sekarang oleh KPUD- tetap dianggap sebagai Bupati/Wakil Bupati, selama belum diberhentikan karena masa jabatannya habis, atau karena alasan melakukan melakukan tindak pidana diberhentikan Presiden tanpa usul DPRD, atau atas usul DPRD (vide Pasal 29, 30, 31, dan 32 UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Persoalan titik singgung antara kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan Peradilan TUN harus dilihat dari segi batasan antara hukum tata negara dengan hukum administrasi negara, yang keduanya masuk dalam domain hukum publik. Dalam arti yang luas, hukum tata negara juga meliputi hukum administrasi negara, yang mengatur organisasi negara, hubungan antar perlengkapan negara secara vertikal maupun horizontal, serta kedudukan warga negara serta hak asasinya. Oleh karena definisi sengketa tata negara dan batasan hukum tata negara dan administrasi negara yang ada dalam domain hukum publik yang sama, maka tidak boleh tidak akan ada kemungkinan terjadinya titik singgung kewenangan PTUN dengan MK, yang berakibat boleh jadi timbul overlap kewenangan, karena lembaga negara juga dapat mengeluarkan keputusan yang sifatnya”individual, konkrit dan final”, akan tetapi dikeluarkan bukan atas dasar kebebasan diskresioner pejabat Negara. Memang benar bahwa SK Mendagri dalam pengangkatan dan pemberhentian seorang kepala/wakil kepala daerah merupakan tindakan pejabat TUN, yang didasarkan pada UU Pemda (UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagai mana diubah dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah). Pasal 1 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9 Tahun 2004 menyebutkan bahwa: “Keputusan TUN adalah suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Jabatan TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata”.
Menurut Pasal 47 juncto Pasal 53 UU Nomor 5 Tahun 1986 juncto Nomor 9 Tahun 2004, keputusan yang memenuhi syarat demikian merupakan objek sengketa yang menjadi kewenangan Peradilan TUN untuk memeriksa dan memutus. Yang menjadi persoalan apakah setiap penetapan tertulis pejabat TUN yang memenuhi syarat konkrit, individual dan final demikian harus selalu menjadi objek sengketa yang menjadi kewenangan PTUN? Hemat kami jelas tidak. Ketentuan yang memuat batasan apa yang menjadi penetapan tertulis yang bersifat konkrit, individual dan final yang dikeluarkan badan atau jabatan TUN, untuk dapat dikatakan menjadi objek sengketa TUN, masih memiliki syarat lain dan mengenal pengecualian tertentu. Keputusan TUN yang dapat menjadi objek sengketa TUN adalah keputusan dimana pejabat yang berwenang mengeluarkannya memiliki kebebasan (diskresi) untuk mengeluarkan keputusan tersebut atau tidak, serta ada kebebasan dalam menentukan kapan dan bagaimana caranya keputusan dikeluarkan. Penetapan yang bersifat deklaratoir selalu dianggap bersifat terikat, dan dikatakan demikian jika eksistensi penetapan tersebut didikte saja (letterlijk) oleh peraturan dasarnya.
Indroharto SH, Perbuatan Pemerintah Menurut Hukum Publik, Lembaga Penelitian dan Pengembangan Hukum Administrasi Negara, Bogor-Jakarta 1999, hal 153. engecualian lain yang disebut secara tegas adalah Keputusan Panitia Pemilihan yang berkenaan dengan hasil pemilihan umum, baik di pusat maupun di daerah (Pasal 2 huruf g UU Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara). Surat Keputusan Mendagri dalam pengangkatan Kepala Daerah terpilih bukanlah sebagai penetapan pejabat TUN yang didasarkan pada kebebasan diskresi pejabat TUN, melainkan hanyalah satu penetapan deklaratoir yang bersifat terikat, yang diperintahkan oleh Pasal 40 UU Nomor 22 Tahun 1999 sebagaimana diperbaharui dengan UU Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 109 ayat (2) di mana Kepala Daerah terpilih disahkan oleh Presiden. Yang memilih, menetapkan dan mengangkat seseorang menjadi kepala daerah sesungguhnya adalah mekanisme demokrasi itu sendiri, dan tidak ada kebebasan diskresioner bagi Presiden atau Mendagri untuk mengeluarkan penetapan lain bagi orang yang tidak dipilih oleh DPRD atau rakyat. Persoalan pokok yang harus dijawab sekarang adalah apakah keputusan TUN yang menyangkut pengangkatan dan pemberhentian Bupati, yang merupakan kelanjutan pemilihan Kepala Daerah, tunduk dan menjadi objek sengketa TUN? Hemat kami dengan definisi dan pengecualian apa yang menjadi keputusan TUN yang menjadi objek sengketa TUN sebagaimana telah diuraikan di atas, jawabannya telah jelas tidak.
Satu hal yang amat penting untuk dijadikan ukuran menentukan batas kewenangan antara peradilan TUN dengan peradilan tata negara, adalah dengan melihat kewenangan konstitusional Bupati Kepala Daerah. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2), (3), (4), (5), dan (6), maka Bupati Kepala Daerah yang bersama sama dengan DPRD menjalankan otonomi yang seluas-luasnya, dan untuk itu berwenang menetapkan perda dan peraturan lain. Pelaksana tugas Bupati yang ditunjuk oleh Mendagri yang tidak dipilih secara demokratis, tidak memiliki kewenangan konstitusional demikian untuk turut serta dalam pembuatan Perda dan/atau pengesahan Perda, dan pengesahan rancangan Perda APBD menjadi Perda APBD. Kewenangan konstitusional demikian hanya diberikan UUD 1945 kepada Bupati yang dipilih secara demokratis. Oleh karenanya DPRD Kabupaten Bekasi yang turut serta bersama dengan Plt. Bupati Bekasi, yang tidak dipilih secara demokratis menetapkan Perda yang demikian, telah turut melakukan perbuatan yang melanggar konstitusi (Perbuatan Melawan Hukum Konstitusi), hal mana merupakan kewenangan konstitusional Bupati yang dipilih secara demokratis. Tentu saja sengketa ini adalah sengketa tata negara, yang menjadi kewenangan Mahkamah Konstitusi.
Masih terdapat dua argumentasi yang diajukan dalam menilai kewenangan MK dan bukan kewenangan PTUN MA yang akan menjadi forum mengadili sengketa ini, yaitu karena dikatakan (i) yang menjadi sengketa adalah prosedur administratif yang ditempuh Mendagri dalam menindak lanjuti dan melakukan tindakan hukum tata usaha negara setelah selesai proses pemilihan tersebut, yaitu adanya masalah izin atasan yang harus dimiliki seorang calon Bupati untuk ikut dalam pemilihan dan prosedur pengiriman berkas pengesahan calon pasangan Bupati terpilih; (ii) dikeluarkannya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan pasangan Bupati/Wakil Bupati terpilih, adalah sebagai pelaksanaan Putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan tetap yang merupakan kewajiban hukum Mendagri. Dalam masalah prosedur administratif yang dianggap cacat, sesungguhnya hal itu merupakan kewenangan Panitia Pemilihan untuk menentukannya, karena syarat izin adalah masalah eligibility seorang calon, yang sebelum pemilihan dilaksanakan sudah harus menampung setiap keberatan tentang itu, dan akan menerima atau menolak keberatan demikian, yang menjadi kewenangan adminsitratif Panitia Pemilihan dan bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kewenangan PTUN. Hal demikian analog dengan seluruh penyelesaian sengketa administratif dalam pemilihan umum, yang bukan merupakan sengketa hukum yang menjadi kewenangan badan peradilan tetapi kewenangan adminsitratif KPU/KPUD. Kalau masalah ini ditangani sebagai sengketa TUN, akan terjadi ketidakpastian hukum yang luas atas hasil pemilihan kepala daerah yang juga menimbulkan ketidakstabilan dalam pemerintahan. Ketidaksempurnaan prosedur administratif dalam pengiriman berkas penetapan pasangan calon terpilih oleh DPRD, tidak selalu berakibat kebatalan surat keputusan yang dibuat atas dasar berkas penetapan pasangan calon terpilih, karena asas proporsionalitas juga harus diperlakukan dalam menilai hal ini, yaitu apakah kekurangan tersebut sedemikian rupa tidak dapat diperbaiki sehingga harus dibatalkan, terutama dengan melihat ukuran pada berpengaruh tidaknya hal tersebut pada hasil pilihan suara yang diperoleh Bupati terpilih dan implikasi pembatalan pada masa jabatan yang telah berlangsung untuk masa yang signifikan. Asas Proporsionalitas sesungguhnya hanya satu asas yang didasarkan pada akal sehat (common sense) yang merupakan asas dasar satu pemerintahan yang baik (good governance). Asas itu dapat ditafsirkan bahwa akibat kebatalan dapat diterapkan: (a) jika tujuan untuk menertibkan tidak dapat dicapai melalui tindakan lain; (b) jika tujuan itu dapat dicapai lebih baik atau lebih effektif melalui tindakan pembatalan, berdasar kriteria effisiensi dengan hasil yang lebih baik, dan (c) jika persoalan yang dihadapi dapat diselesaikan dengan lebih effektif melalui kewenangan pembatalan (dirumuskan dari prinsip subsidiaritas atau proporsionalitas yang diatur dalam Pasal 5 Perjanjian Masyarakat Eropa/European Community Treaty) sebagaimana ditafsirkan dalam pelaksanaannya.
Hilaire Barnet, Constitutional & Administrative Law,Fourth Edition, Cavendish Publishing Limited, London-Sidney, 2003 hal 244-245.
Di samping alasan bahwa sengketa seperti kasus Bupati Bekasi a quo yang bukan merupakan sengketa tata usaha negara yang menjadi kompetensi absolut PTUN MA, melainkan merupakan sengketa tata negara yang menjadi kompetensi absolut MK, maka argumen yang menyatakan lahirnya SK Mendagri yang membatalkan pengesahan pengangkatannya sebagai pelaksanaan kewajiban hukum akibat putusan Mahkamah Agung yang telah berkekuatan hukum tetap, maka Presiden dan Mendagri tetap memiliki kewajiban untuk menilai, apakah pelaksanaan kewajiban hukum demikian tidak bertentangan dengan kewajiban konstitusional yang lebih tinggi. Jika terjadi pertentangan antara dua kewajiban hukum, maka Presiden juga harus memilih untuk melaksanakan kewajiban hukum yang lebih tinggi yang diatur dalam UUD 1945, dan mengesampingkan kewajiban hukum yang lebih rendah. Kewajiban konstitusional demikian lahir dari Pasal 18 ayat (4) dan ayat (5) dan (6) yang menentukan kewajiban konstitusional Presiden untuk menghormati masa jabatan Gubernur, Bupati, dan Walikota yang terpilih secara demokratis. Dia tetap akan menjalankan Pemerintahan daerah dengan otonomi seluas-luasnya melalui wewenang konstitusional untuk menetapkan peraturan daerah dan peraturan lainnya, terkecuali karena alasan meninggal dunia, atau melakukan tindak pidana maupun karena adanya proses impeachment yang dilakukan DPRD. Dapat dipastikan kewajiban hukum untuk menghormati dan melaksanakan Putusan Mahkamah Agung yang demikian pasti berada dalam hirarki yang lebih rendah dilihat dari hirarki aturan perundang-undangan yang melahirkan kewajiban hukum yang dimuat dalam Undang-Undang Dasar 1945. Konsolidasi di bidang kewenangan ini sangat perlu disegerakan, agar tidak menimbulkan akibat pada stabilitas pemerintahan daerah yang telah dipangku untuk masa yang signifikan, tetapi terganggu akibat penerapan kewenangan yang tidak proporsional.
Putusan MA yang telah berkekuatan tetap, tidak relevan diajukan untuk membenarkan tindakan Termohon II karena putusan yang demikian tidak mempunyai kekuatan mengikat sama sekali (buiten effect) karena bertentangan dengan kewajiban Termohon I dan II berdasarkan UUD 1945 dan UU Nomor 22 Tahun 1999 juncto UU Nomor 32 Tahun 2004. Meskipun bukan merupakan kewenangan MK untuk menilai putusan MA, namun konsekuensi bahwa Konstitusi sebagai hukum tertinggi yang menjadi dasar legitimasi segala aturan di bawahnya, termasuk putusan MA, menyebabkan hal ini tidak dapat dielakkan. Apalagi UU Nomor 5 Tahun 86 juncto UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan TUN, mengecualikan sengketa hasil pemilihan demikian sebagai objek sengketa TUN. Seandainya juga benar ada proses administratif yang dilalaikan sebelum dikeluarkannya SK Mendagri yang mengesahkan pengangkatan Bupati terpilih, maka ukuran relevansi dan signifikansi yang diletakkan pada akibat hukum kelalaian administrasi demikian tergantung pada berpengaruh tidaknya kelalaian administratif tersebut pada hasil pemilihan yang dilakukan secara demokratis dalam perolehan angkanya, sebagai wujud kedaulatan rakyat. Kalau tidak, maka alasan itu tidak cukup signifikan dan tidak proporsional untuk membatalkan hasil pemilihan demokratis; langkah yang benar untuk itu adalah memberi kesempatan memperbaiki kekurangan administratif tersebut. Stabilitas Pemerintahan harus menjadi faktor yang harus dipertimbangkan sebelum pengambilan putusan pembatalan pengangkatan Bupati/Wakil Bupati, apalagi setelah menjalankan roda Pemerintahan Daerah selama 2 (dua) tahun, dan dengan jangka masa jabatan yang terbatas, lamanya proses pengambilan putusan harus turut menjadi faktor yang dipertimbangkan. Hakim Konstitusi dalam menjalankan kewenangannya, akan selalu turut menjaga stabilitas pemerintahan tersebut.
Sengketa Kewenangan di MK Udalah Uji Konstitusionalitas Kewenangan.
Sumber kewenangan Pemohon adalah UUD 1945, tidak dapat diukur atau dinilai dengan aturan yang lebih rendah yang tidak serasi/incompatible dengan Konstitusi tersebut. Kalau hal itu dilakukan, maka setiap organ yang menilai dan melaksanakan hasil penilaian tersebut secara demikian, telah melanggar kewajiban konstitusionalnya untuk menjalankan dan menjunjung tinggi UUD 1945 sebagai aturan dasar. Termohon I, II, dan III yang menjalankan kewenangannya atas dasar Putusan TUN Mahkamah Agung tersebut, didasarkan pada hukum yang lebih rendah secara bertentangan dengan UUD 1945, yang merupakan aturan dasar sebagai hukum tertinggi tersebut, dan telah melaksanakannya bertentangan dengan kewajiban konstitusionalnya. Putusan badan peradilan yang berkekuatan demikian seharusnya diperlakukan sebagai putusan yang tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat (buiten effect) dan tidak dapat dilaksanakan sama sekali (non-executabel), kerena jika terjadi pertentangan antara 2 (dua) kewajiban yang didasarkan atas dua tingkat aturan hukum yang berbeda, baik lembaga negara yang memiliki wewenang maupun MK yang memutus sengketa kewenangan lembaga negara harus mendahulukan Konstitusi. Terutama juga hal demikian dapat disimpulkan dari sumpah jabatan Presiden yang akan memenuhi kewajibannya dengan sebaik-baiknya dengan memegang teguh UUD dan menjalankannya dengan selurus-lurusnya Sistem Konstitusi dalam dirinya mengandung uji Konstitusional, dan ketika timbul benturan antara aturan konstitusi dan aturan perundang-undangan yang lebih rendah, pejabat negara wajib terikat untuk menghormati aturan Konstitusi dan mengesampingkan aturan perundang-undangan yang lebih rendah. Hal ini lahir dari prinsip bahwa setiap tindakan/perbuatan dan aturan perundang-undangan dari semua otoritas yang diberi wewenang oleh konstitusi, tidak boleh bertentangan dengan basic rights dan UUD itu sendiri sebagai hukum yang tertinggi, dengan konsekuensi bahwa aturan atau tindakan demikian menjadi “batal demi hukum” dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Menyangkal hal ini akan mengingkari kedudukan UUD sebagai Hukum Dasar yang tertinggi dan sumber kewenangan lembaga negara. Hal itu secara tidak sah akan mengukuhkan keadaan bahwa wakil atau pelaksana itu lebih besar dari prinsipal atau pelayan lebih besar dari majikannya. ”To deny this would be to affirm that the deputy is greater than his principal; that the servant is above his master; that the representatives…are superior to the people themselves”.
Alexander Hamilton, The Federalist Papers, Mentor Book, The New American Library, 1961, hal 467.
PROSEDUR DAN TATA CARA PENYELESAIAN SENGKETA
Wewenang Mahkamah Konstitusi untuk memutus sengketa kewenangan lembaga negara, digerakkan oleh lembaga negara yang merasa kewenangan konstitusionalnya diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan, dan/atau dirugikan oleh lembgaga negara lain, dengan mengajukan permohonan dalam 12 (dua belas) rangkap kepada MK yang akan memuat :
1. Data tentang :
Identitas lembaga negara yang menjadi pemohon, seperti nama lembaga negara, nama ketua lembaga negara dan alamatnya.
Nama dan alamat lembaga negara yang menjadi termohon;
Uraian jelas tentang :
i. kewenangan yang dipersengketakan;
ii.kepentingan langsung pemohon atas kewenangan tersebut.
iii. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.
Alat-alat bukti tertulis 12(dua belas) rangkap yang diberi meterai yang cukup.
Daftar ahli-jika ada- dan pokok keterangan yang akan diberikan.
Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 08/PMK/2006, Pasal 5 dan Pasal 6.
Permohonan harus terlebih diteliti kelengkapannya oleh Kepaniteraan. Apabila belum lengkap, Pemohon diwajibkan melengkapi dalam jangka waktu 7(tujuh) hari kerja sejak pemberitahun kekuranglengkapan tersebut diterima oleh Pemohon. Apabila dalam jangka waktu tujuh hari tersebut permohonan tidak dilengkapi atau disempurnakan sebagaimana ditentukan, maka Kepaniteraan tidak mendaftarkan perkara tersebut dengan mengeluarkan akte yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi. Dalam hal demikian berkas permohonan akan dikembalikan kepada Pemohon. Sebaliknya permohonan yang memenuhi syarat karena dipandang sudah lengkap, akan didaftarkan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK), dan dalam jangka waktu tujuh hari sejak registrasi tersebut, permohonan Pemohon tersebut sudah harus disampaikan kepada Termohon oleh Juru Panggil. Hal demikian dimaksudkan untuk memberi kesempatan bagi Pemohon mempersiapkan pembelaannya secara sempurna. Setelah registrasi dan pengiriman satu salinan permohonan tersebut kepada Termohon, Panel Hakim-yang terdiri dari 3(tiga) orang yang ditunjuk Ketua MK, dalam waktu 14( empat belas) hari sejak registrasi perkara sudah harus menetapkan sidang pertama, untuk pemeriksaan pendahuluan. Penetapan hari sidang demikian harus diberitahukan kepada Pemohon dan Termohon, serta diumumkan kepada masyarakat melalui papan pengumuman MK dan situs MK(www.mahkamahkonstitusi.go.id) serta media lainnya. Pemberitahuan tadi merupakan panggilan, yang harus sudah diterima para pihak dalam jangka waktu paling lambat 3 hari.
Pemeriksaan Pendahuluan
Sidang pertama untuk pemeriksaan pendahuluan akan melakukan pemeriksaan kelengkapan dan kejelasan permohonan. Meskipun tampak seperti memiliki duplikasi dengan wewenang kepaniteraan untuk memeriksa kelengkapan permohonan, maka pemeriksaan pendahuluan yang diakukan oleh panel hakim tidak lagi menyangkut kelengkapan administrasi permohonan, tetapi menyangkut substansi permohonan, yaitu untuk melihat dasar-dasar legal standing dan uraian posita maupun petitum permohonan. Tahap pemeriksaan ini untuk menentukan apakah menentukan apakah memang cukup layak untuk diteruskan dalam pemeriksaan pleno yang harus menghadirkan Termohon. Oleh karenanya dalam pemeriksaan pendahuluan ini, sama dengan pemeriksaan pendahuluan dalam pengujian undang-undang, yang dipanggil untuk menghadiri persidangan adalah Pemohon atau Kuasanya, tanpa kehadiran Termohon, karena memang pemeriksaan baru untuk melihat kelayakan yang berkaitan dengan kejelasan dan kelengkapan permohonan. penting dalam acara ini, yaitu jika permohonan meminta dikeluarkannya satu putusan sela, yang umumnya menyangkut dihentikannya wewenang yang dijalankan oleh Termohon sampai perkara telah diputus, kehadiran termohon menjadi satu keharusan. Hal tersebut disebabkan adanya prinsip mendengar pihak sebelum dikeluarkannya putusan, meskipun hanya bersifat putusan sela, tetapi mengandung dampak mendasar bagi satu lembaga negara yang digugat kewenangannya.
Pasal 11 ayat (2) dan ayat 3 huruf d. Satu permohonan yang dipandang masih kurang layak atau kurang memenuhi syarat, melalui nasihat yang diberikan oleh Panel, akan diperbaiki oleh pemohon dalam jangka waktu 14(empat belas) hari.
Nasihat Hakim yang demikian tidak mengikat pemohon, dan juga dapat dikesampingkan, meskipun dapat mengandung konsekwensi bahwa Permohonan dapat dengan segera disimpulkan tidak dapat diterima. Dalam beberapa hal nasihat hakim yang diberikan dalam pemeriksaan pendahuluan itu, sesungguhnya merugikan dilihat dari segi terbacanya pendirian hakim tentang kasus yang sedang dihadapi. Hal yang kurang lebih sama tetapi dengan nama dan prosedur berbeda dapat kita jumpai dalam hukum acara Pengadilan TUN, dimana dalam tahap pemeriksaan persiapan Hakim TUN juga kurang lebih melakukan hal yang sama. Tetapi bedanya, di PTUN, satu gugatan yang tidak memiliki dasar atau kurang layak, akan berakhir dengan pernyataan dismissal. Karena itu pula pemeriksaan persiapan tersebut merupakan satu dismissal process. Di MK hal semacam itu tidak dikenal. Satu permohonan yang dipandang kurang layak, tidak mempunyai dasar standing yang cukup, tetap akan diputus dalam sidang pleno, meskipun terbatas dengan diktum ”permohonan tidak dapat diterima”. Oleh karena itu sesunguhnya, tujuan ditentukannya setiap perkara harus melalui tahap pemeriksaan pendahuluan dengan kewajiban hakim memberi nasihat dan pemohon kemudian diberi waktu memperbaiki permohonan, adalah untuk mempersiapkan kelayakan permohonan tersebut untuk didengar dan dipertimbangkan Mahkamah Konstitusi dengan menghadirkan lembaga negara lain sebagai termohon sebagai organ konstitusi, agar permohonan dan persidangan MK tidak merupakan pemborosan yang sia-sia untuk hal-hal yang boleh jadi irrelevan untuk dipermasalahkan.
Pemeriksaan Persidangan (Pleno)
Kelayakan dan kejelasan permohonan yang telah diperiksa Panel Hakim dan diperbaiki pemohon setelah diberi nasehat dalam pemeriksaan pendahuluan, akan dilaporkan dalam Rapat Permusyawaratn Hakim (RPH) disertai oleh Rekomendasi, yang menyangkut hal berikut :
1. Permohonan kurang mempunyai dasar yang cukup, baik karena syarat legal standing tidak dipenuhi atau alasan konstitusional yang tidak cukup, oleh karenanya diusulkan untuk segera diambil keputusan oleh Pleno berdasarkan bahan yang diperoleh dari permohonan dan perbaikan serta hasil persidangan Panel.
2. Permohonan tidak begitu relevan, akan tetapi bagi berlangsungnya satu proses hukum yang baik (een goode process), karena Pemohon masih akan mengajukan ahli untuk mendukung permohonannnya, meminta agar sidang diteruskan ketahap pemeriksaan persidangan, akan tetapi agar Panel diberi mandat untuk mendengar kesaksian tersebut. Hasil persidangan tersebut kemudiandilaporkan pada Pleno, untuk dipertimbangkan dan diputus.
3. Pemeriksaan persidangan dilakukan dengan menghadirkan lembaga negara yang dianggap merugikan kewenangan konstitusional Pemohon untuk didengar, dengan sekaligus mendengar ahli-ahli yang diajukan kedua belah pihak.
Pada tahap pemeriksaan persidangan ini, setelah pemohon diberi waktu yang cukup untuk membuktikan permohonan, maka termohon diberikan kesempatan yang sama untuk membuktikan sebaliknya. Meskipun beban pembuktian diletakkan pada Pemohon, sesuai dengan prinsip beban pembuktian yang dikenal secara umum dan universal, akan jika terdapat alasan yang cukup kuat Majelis Hakim dapat membebankan pembuktian kepada pihak Termohon. Alat-alat bukti yang dapat dujukan tersebut adalah :
Bukti surat atau tulisan.
Keterangan Saksi.
Keterangan Ahli.
Keterangan para pihak.
Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.
Pasal 36 undang-undang nomor 24 tahun 2003, yang ditegaskan kembali dalam Pasal 17 PMK nomor 08/PMK/2006.
PENYELESAIAN SENGKETA KEWENANGAN LEMBAGA NEGARA
Satu perselisihan atau sengketa kewenangan lembaga negara yang telah diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi dapat memperoleh penyelesaian dengan beberapa cara. Penyelesaian itu dapat terjadi bersifat sementara atau dapat bersifat permanen dengan satu putusan yang bersifat final dan mengikat dengan dicapainya satu putusan akhir oleh Mahkamah Konstitusi. Satu penyelesaian yang bersifat sementara, terjadi misalnya, karena sebelum proses persidangan dimulai atau selama proses persidangan berlangsung tetapi belum mencapai keputusan, Pemohon menarik permohonannya. Sangat menarik misalnya untuk memperhatikan, karena budaya atau kultur birokrasi dan pemerintahan yang belum terbiasa untuk menggunakan mekanisme hukum dan peradilan bagi penyelesaian perbedaan pendapat dan sengketa kewenangan antara lembaga negara, maka pengaruh pimpinan Negara dan Pemerintahan berpengaruh besar dalam menentukan diteruskan tidaknya penyelesaian sengketa melalui mekanisme hukum dan peradilan tersebut.
Sengketa kewenangan antara Gubernur Lampung dengan DPRD, Perkara nomor 25 /SKLN-III/2005 ditarik dengan alasan bahwa suasana sudah kondusif. Alasan yang kabur demikian ketika diklarifikasi tampak ada permintaan dari pimpinan pusat Pemerintahan untuk menariknya. Tetapi dalam kenyataanya perselisihan dan sengketa tidak pernah diselesaikan secara tuntas.
Dalam hal penarikan sebelum persidangan dilakukan maka Ketua Mahkamah Konstitusi akan mengeluarkan Ketetapan tentang penarikan tersebut. Sedang apabila penarikan permohonan dilakukan pada saat proses sedang berjalan, maka setelah mendengar pendapat pemohon, maka Mahkamah mengeluarkan Ketetapan yang mengabulkan penarikan permohonan tersebut, dan mencatat penarikan permohonan tersebut dalam buku register perkara. Dapat terjadi bahwa setelah penarikan permohonan, termohon tidak menyetujui, dan meminta sengketa diakhiri dengan satu putusan yang akan dijadikan pedoman dalam melaksanakan kewenangan tersebut secara tegas dan jelas. Dalam hal penarikan dikabulkan, maka timbul satu akibat hukum bahwa permohonan yang sama yang menyangkut sengketa kewenangan tersebut tidak dapat lagi diajukan kehadapan MK untuk diputus. Tetapi hal itu hanya merupakan satu prinsip umum. Dalam keadaan tertentu yang penting, sebagai pengecualian, permohonan demikian dapat diajukan kembali karena alasan, (i) substansi sengketa memerlukan penyelesaian secara konstitusional,(ii) tidak terdapat forum lain untuk menyelesaikan sengketa dimaksud; dan (iii) adanya kepentingan hukum yang memerlukan kepastian hukum.
Pasal 19 PMK No. 08/PMK/2006 Ketiga alasan ini sebagai dasar untuk meperbolehkan permohonan yang sudah ditarik dapat diajukan kembali, lahir berdasar pengalaman ketika kultur penyelesaian perbedaan pendapat ditingkat lembaga negara diluar jalur hukum dan peradilan tidak membawa kepastian hukum menjurus pada kemacetan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan. Kewenangan MK untuk mengatur ini didasarkan pada delegasi wewenang yang ditetapkan dalam pasal 86 undang-undang nomor 24 tahun 2003 yang berbunyi :”Mahkamah Konstitusi dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi kelancaran pelaksanaan tugas dan wewenangnya menurut undang-undang ini”. Dalam penjelasan pasal 86 tersebut disebutkan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk mengisi kemungkinan adanya kekurangan atau kekosongan dalam hukum acara berdasarkan undang-undang MK.Secara universal kewenangan rule making power khususnya untuk melengkapi hukum acara yang kurang, dimiliki oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Agung Indonesia juga diberi kewenangan rule making power demikian dengan mengeluarkan Peraturan Mahkamah Agung.
PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
Untuk mengakhiri sengketa kewenangan lembaga negara yang diajukan kehadapan Mahkamah Konstitusi, akan diselesaikan secara permanen dengan putusan tingkat pertama dan terakhir yang mengikat secara umum. Putusan Mahkamah atau putusan Pengadilan pada umumnya didefinisikan ”perbuatan hakim sebagai perjabat yang berwenang yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum dan dibuat secara tertulis untuk mengakhiri sengketa yang dihadapkan kepadanya.
Bandingkan dengan definisi M.P. Stein yang mengatakan : een vonnis dient men te verstaan de door de Rechters als bevoegd overheids orgaan verrichte rechtshandeling, strekkend tot beslissing van het aan hen voorgelegde geschill tussen partijen.(Compendium Van Het Burgerlijke Processrecht,4e druk, Kluwer, 1977 hal 119-123). Oleh karena sifatnya yang mengakhiri sengketa, maka putusan demikian disebut juga sebagai putusan akhir. Disamping itu selama prose berjalan, sebagaimana telah disinggung dimuka, maka MK juga boleh mengambil putusan sela, yang bersifat sementara, yang memerintahkan kepada pemohon dan/atau termohon untuk menghentikan sementara pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan, yang berupa tindakan nyata maupun tindakan hukum yang merupakan pelaksanaan kewenangan yang dipersengketakan.
Pasal 12 PMK nomor 08/PMK/2006. Alasan pengambilan putusan sela tersebut, disebutkan 2(dua) macam, yaitu :
Terdapat kepentingan yang mendesak, yang apabila pokok permohonan dikabulkan, dapat menimbulkan akibat hukum yang lebih serious.
Kewenangan yang dipersoalkan itu bukan merupakan pelaksanaan putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Pasal 13 ayat (5) PMK nomor 08/PMK/2006.
Putusan Akhir, yang dijatuhkan berdasarkan keyakinan hakim , harus didukung oleh sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti yang sah. Putusan tersebut dapat berbunyi:
permohonan tidak dapat diterima.
Permohonan dikabulkan; atau
Permohonan ditolak.
Pasal 27 ayat (1) PMK nomor 08/PMK/2006.
Dalam hal permohonan dikabulkan, maka dalam amar harus juga dinyatakan dengan tegas bahwa Pemohon berwenang untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan dan/atau termohon tidak mempunyai kewenangan untuk melaksanakan kewenangan yang dipersengketakan. Jikalau putusan sela telah pernah dikeluarkan yang memerintahkan penghentian sementara pelaksanaan kewenangan dimaksud, maka dalam putusan akhir harus juga ditegaskan status putusan sela tersebut. Jika putusan mengabulkan permohonan, maka putusan sela tersebut dinyatakan sah sedang sebaliknya jika putusan akhir menolak permohonan, maka putusan sela harus dinyatakan tidak sah, dan dinyatakan dicabut. Hal ini berkaitan dengan segala tindakan hukum yang diambil setelah putusan sela tersebut, untuk diketahui apakah perbuatan hukum demikian sah dan mengikat secara hukum, berkenaan dengan ketentuan pasal 58 UU MK yang menentukan bahwa putusan Mahkamah tidak berlaku surut.
RAPAT PERMUSYAWARATAN HAKIM
Pengambilan keputusan Hakim dilakukan secara tertutup dan rahasia dalam Rapat Permusyawaratan Hakim(RPH). Pengambilan keputusan tersebut harus memenuhi korum sekurang-kurangnya 7 orang Hakim diantara 9 Hakim Konstitusi, dengan cara musyawarah untuk mufakat. Itu berarti, Ketua Majelis harus terlebih dahulu berusaha mendekatkan pendapat yang saling berbeda, dengan harapan tercapai suara yang utuh, yang tentu akan menambah legitimasi putusan, yang sangat berpengaruh pada implementasi. Akan tetapi apabila musyawarah yang telah dilakukan dengan sungguh-sungguh namun mufakat tidak tercapai, maka pengambilan keputusan dilakukan dengan suara terbanyak.
Pasal 45 ayat (7) Undang-undang nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Dalam hal demikian ada kemungkinan Hakim yang berbeda akan memberikan pendapat tersendiri, baik yang pendapatnya berbeda (dissenting opinion) atau sekedar alasannya yang berbeda tapi hasilnya sama (concurring opinion). Kedua pendapat tersebut dimuat dalam putusan, meskipun secara terpisah dari putusan mayoritas yang akan berlaku sebagai putusan yang mengikat. Putusan yang diambil harus didasarkan kepada ketentuan UUD 1945, yang diyakini oleh hakim berdasar sekurang-kurangnya 2(dua) alat bukti, yang akan diuraikan dalam bagian fakta atau duduk perkara dan pertimbangan hukum, atas dasar mana Hakim sampai kepada diktum putusannya.
Jakarta, 21 Juni 2011.
PAGE 36