Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Peradaban Islam Pada Masa Dinasti Abbasiyah
PENDAHULUAN
Pemerintahan dinasti Abbasiyah merupakan dinasti ketiga pada periodeisasi
peradaban Islam yang berdiri setelah dinasti umayah. Pada masa itu, perkembangan
peradaban Islam telah mencapai puncaknya dan menjadi catatan ahli sejarah sebagai
zaman keemasan umat Muslim. Pada masa ini banyak kesuksesan yang diperoleh Dinasti
Abbasiyah, baik itu dibidang Ekonomi, Politik, dan Ilmu pengetahuan, peradaban maupun
kekuasaan. Dan dari segala bidang yang ada menghantarkan daulah Dinasti Abbasiyah
menjadi salah satu Dinasti yang sangat berpengaruh bagi kemajuan dan perkembangan
peradaban islam di masa itu. Hal ini didukung dengan hadirnya peradaban Islam yang baru,
sebagai teladan bagi peradaban-peradaban di kota-kota lain di seluruh penjuru dunia.
1
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
bagaimana berakhirnya Dinasti Abbasiyah dan factor-faktor apa yang menyebabkan hal itu
terjadi.
PEMBAHASAN
Sejarah Singkat Berdirinya Dinasti Abbasiyah
Daulah Bani Abbasiyah diambil dari nama Al-Abbas bin Abdul Mutholib, paman Nabi
Muhammad SAW. Daulah Bani Abbasiyah berdiri antara tahun 132–656 H/ 750–1258 M. Lima
abad lamanya dinasti Abbasiyah menduduki singgasana Khilafah Islamiyah. 2 Sebagaimana
kita ketahui bahwa, Bani Abbasiyah merupakan kekhalifahan islam setelah Bani Ummayah
dapat diruntuhkan. Abu al-Abbas al- Saffah sebagai khalifah pertama dan mendapat
dukungan panglima Abu Muslim al- Khurasani, beliau berhasil mengalahkan sekelompok
pemberontak, seperti kaum Syiah, oposisi pimpinan al-Mukhtar, dan menundukkan khalifah
Bani Umayyah pada saat Khalifah Marwan II pada Tahun 750 M/132 H. Saat itulah,
runtuhnya Dinasti Umayah. Dengan alasan bahwa Bani Abbasiyah merupakan nasab
keturunan yang dekat dengan Rasulullah Saw dari garis Bani Hasyim, dan akibat dari
kekecewaan kelompok mawali terhadap Dinasti Umayyah. Hal ini dikarenakan beberapa faktor
yaitu: a) Dinasti Umayyah berkuasa dan menempatkan posisi mereka pada kelas kedua dalam
sistem sosial sedangkan orang Arab menduduki kelas bangsawan. b) Adanya perpecahan
persatuan antara suku Arab akibat lahirnya fanatisme kesukuan antara arab Utara dengan
Arab Selatan. c) Munculnya kekecewaan beberapa kelompok agama terhadap pemerintahan
Karena Mereka menginginkan pemimpin yang memiliki pengetahuan dan integritas
keagamaan yang mumpuni. d) Adanya perlawanan dari kelompok syiah yang menuntut hak
mereka atas kekuasaan yang dirampas oleh Bani Umayyah.3
2
Rahman, I.N. (2015). Sejarah peradaban Islam. Makalah:UIN Bandung
3
Amalia, A.R (2022). Sejarah peradaban islam: perkembangan ilmu pengetahuan pada pemerintahan dinasti Abbasiyah. Jurnal Rihlah. 10(01).
Januari-juni
4
Saprida, Qodariah. Et. Al. (2020). Sejarah pemikiran ekonomi islam. Jakarta:kencana
tersebut yaitu Abu Al-Abbas al-Saffah, Abu ja’far al-Mansur, al-Mahdi, Harun al-Rasyid dan
al-Ma’mun.5
5
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
1. Fase Pertama (750-847M): Merupakan fase islam yang mendapat pengaruh dari
Persia. Masa pemerintahan Abu Abbas As-Saffah hingga pemerintahan Al-Wasiq.
Terkenal sebagai masa kejayaan atau masa keemasan Abbasiyah.
2. Fase Kedua (847-945 M): Merupakan fase islam pengaruh dari Turki yang dimulai dari
masa kepemimpinan Al-Muttawakil hingga Al-Mustaqi. Dikenal sebagai masa
kemunduran Abbasiyah.
3. Fase Ketiga (945-1055 M): Dipengaruhi oleh Bani Buwaihi atau fase Persia kedua.
Diawali pada masa kepemimpinan Al-Mustaqfi hingga Al-Kasim. Ditandai dengan
adanya tekanan dari Bani Buwaihi terhadap pemerintahan Abbasiyah pada masa
kemundurannya.
4. Fase keempat (1055-1194 M): Merupakan fase Turki Bani Saljuk yang dipimpin oleh Al-
Mukhtadi hingga Al-Muktasim. Fase ini ditandai oleh adanya kekuatan kekuasaan dari
Bani Saljuk dan berakhir akibat adanya serangan dari Bangsa Mongol.
5. Fase kelima (1194 -1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi
kekuasaannya hanya efektif disekitar kota Baghdad.6
Sistem Pemerintahan Dinasti Abbasyiah7
Pemerintahan dinasti Abbasiyah bertumpu kepada banyaknya sistem yang telah
dilakukan oleh bangsa-bangsa sebelumnya baik Islam maupun non Islam. Para pemimpin
dinasti Abbasiyah mendapatkan kekuasaan untuk mengatur negara langsung dari Allah.
Kekuasaan tertinggi pada Dinasti Abbasiyah adalah terhadap ulama. Sehingga bentuk
pemerintahannya berbentuk sistem teokrasi, tapi dalam pemilihan pemimpin negara masih
sama dengan pemerintahan Dinasti Ummayah yaitu monarki menetapkan dua orang putra
sebagai pengganti pendahulunya yang mampu memberikan konflik pertikaian yang
fatal antara putra mahkota. Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah dibangun oleh Khalifah
Abu al Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, kemudian masa keemasannya terjadi pada masa
Khalifah Harun ar-Rasyid 170-193 H dan anaknya Al-Makmun 198-218 H. Dimana ukuran
keemasannya dapat dilihat dari keadaan makmur, kekayaan melimpah, keamanan terjamin
bagi Masyarakat.
Sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah mengacu pada empat aspek yaitu aspek
Khalifah, aspek Wizarah, aspek Kitabah, dan aspek Hijabah. Aspek Kholifah Abbasiyah
adalah perpaduan politik dan agama. Konsensusnya adalah bahwa setiap alokasi agama
harus memiliki pertimbangan politik, sehingga kekuasaan raja adalah bersih dan paten yang
bersifat harus dipatuhi oleh rakyat, selain karena khalifah juga memiliki kekuasaan yang
benar dalam hal kebijakan negara dan agama. Berdasarkan prinsip ini, kekuasaan khalifah
bersifat mutlak dan hanya bisa diganti setelah kematiannya.
Aspek Wizarah merupakan aspek negara yang menunjang tugas kepala negara.
Dalam bahasa lain, tangan kanan khalifah, bertanggung jawab mengoordinasikan
departemen. Pada masa Dinasti Abbasiyah, wazir dibagi menjadi dua yaitu wazir at-tafwidh,
yaitu wazir yang mempunyai wewenang kekuasaan luas serta bisa memutuskan berbagai
kebijaksanaan kenegaraan, sedangkan wazir at-tanfidz, adalah wazir yang hanya bertugas
sebagai pelaksana kebijaksanaan oleh sang wazir tafwidh.
6
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
7
Puspaningrum, A. dan Wulandari, D.N. (2023). Sistem pemerintahan dan Pendidikan masa dinasti umayah dan dinasti abbasiyah. Jambura
history and culture journal. (5)2. Juli
Aspek kitabah maksudnya dibentuknya katib-katib wazir, lebih jelasnya katib tersebut
adalah pembantu atau staf dari wazir-wazir. Aspek hijabah ,pada sistem pemerintahan
dinasti ini, hajib atau petugas ialah pengawal langsung khalifah yang bertugas menjaga dan
mengawal keamanan khalifah. Sehingga dengan adanya aspek kitabah dan aspek hijabah
sistem pemerintahan Dinasti Abbasiyah mampu dilakukan dengan baik.
Kebijakan-kebijakan dalam sistem pemerintahan diawali dari wazir dan ditetapkan
oleh khalifah. Adapun keputusan dari khalifah mutlak dan wajib dipatuhi, terutama dalam
bidang perekonomian, pendapatan negara, perpajakan, dan kepentingan masyarakat. Untuk
hal-hal diatas khalifah bertanggung jawab langsung. Oleh karena itu, sistem pemerintahan
Dinasti Abbasiyah merupakan sistem pemerintahan yang kuat dan keras.
Kondisi Sosial Politik Dinasti Abbasiyah8
Kondisi sosial yang menjadikan pembeda antara dinasti Umayyah dengan dinasti
Abbasiyah adalah pengakuan atas mawali dan tidak membedakan mereka dalam urusan
politik dan negara. Pada masa dinasti Umayyah, kelompok mawali menempati posisi yang
rendah. Mereka adalah masyarakat kelas dua di bawah orang keturunan Arab.
Berbeda dengan dinasti Umayyah, Dinasti Abbasiyah justru sangat menghormati dan
memanusiakan kelompok mawali. Selain karena mereka berjasa untuk
menggulingkan Umayah dan menggulingkan Abbasiyah , kelompok mawali juga memiliki
potensi yang besar khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan. Kelak, pada masa
Abbasiyah, kelompok Mawali akan memberikan warna baru bagi peradaban Islam di bidang
keilmuan.
Sebagaimana sudah diketahui, bahwa dinasti Abbasiyah mengalami beberapa
periodesasi atau fase pemerintahan. Periode pertama adalah periode kejayaan,
pemerintahan sangat independen dan kuat. Sedangkan periode kedua hingga keempat
adalah periode di bawah pengaruh kelompok lain. Pada periode pertama, kekuasaan
dipegang sepenuhnya oleh khalifah yang keturunan Arab, dibantu oleh menteri dan
gubernur yang berasal dari berbagai bangsa non-Arab. Pusat pemerintahan berada di kota
Baghdad dengan peradaban yang sangat maju. Selanjutnya, periode kedua adalah masa di
mana kepemimpinan Bani Abbasiyah berada di bawah pengaruh militer Turki. Pada masa
ini, pemerintahan dinasti Abbasiyah terhegemoni oleh militer Turki. Donimasi oleh militer
Turki ini memaksa khalifah untuk meminta bala bantuan. Akhirnya, datanglah pasukan dari
Persia, Dinasti Buwaihi dan mulai memengaruhi Abbasiyyah pada periode ketiga.
Sebagai dinasti yang bermadzhab Syi’ah yang bertemu dengan kelompok bermadzhab
Sunni, Buwaihi dapat dipastikan memiliki motif. Dalam hal ini, Buwaihi memiliki motif untuk
mengganti dinasti Abbasiyah yang bermadzhab Sunni ke Syi’ah. Upaya ini dilakukan dengan
melakukan hegemoni politik.
Sebagai dinasti bermadzhab Sunni, Saljuk tidak ingin Abbasiyah terus-menerus
menjadi boneka bagi kelompok Syiah di bawah dinasti Buwaihi. Maka pada masa
kepemimpinan al - Qa’im, Saljuk mulai masuk dan menghegemoni politik di dalam
pemerintahan Abbasiyah selama 139 tahun, 1055-1194 M. Masa kepemimpinan Saljuk yang
memberikan pengaruh besar adalah masa Tughril Bek, Alp Arselan dan Maliksyah dengan
perdana menterinya Nidzam al - Mulk.
8
Dardiri, M.A (2023). Kondisi sosial-politik dinasti Bani Abbasiyah dan pengaruhnya terhadap Pendidikan islam. Jurnal As-Syukriyyah. 24(1).
Januari-Juni
Ada dua kekuatan besar di dunia saat itu, yakni Romawi dan Bizantium, Yunani Tetapi
yang dapat ditaklukan oleh saljuk adalah Romawi. Meskipun demikian, yang diincar oleh
Saljuk adalah Bizantium dengan pertimbangan jika kota Yunani itu takluk, maka Saljuk
akan mudah mengembangkan kekuatan politiknya dan menyatukan politik umat Islam di
dunia di bawah madzhab Sunni.
Di sini terlihat bahwa pengaruh Sunni dan Syi’ah menjadi sebuah motivasi khusus
untuk mengembangkan kekuasaan politik. Baik Saljuk maupun Abbasiyah merasa
diuntungkan dengan adanya kesamaan identitas ini. Dalam hal keagamaan, Abbasiyah
mengamanahkan kepada dinasti Saljuk agar meluruskan kembali akidah dan praktik
keagamaan yang condong kepada Syi’ah yang juga merupakan ancaman bagi kekuasaan
negara. Sehingga, Abbasiyah merasa lebih tenang karena bekerjasama dengan
kelompok yang sama, sedangkan Saljuk merasa senang bisa menduduki kekhalifahan
terbesar Sunni untuk memperluas ideologinya.
Kondisi Ekonomi pada Dinasti Abbasiyah
Sistem ekonomi pada masa dinasti Abbasiyah merupakan salah satu periode
bersejarah yang menggambarkan kekayaan dan kemakmuran yang mencapai puncaknya
dalam sejarah dunia Islam. sistem ekonomi dinasti Abbasiyah didasarkan pada prinsip-
prinsip Islam yang mendasar, seperti adil, keadilan, kebebasan berdagang, dan pembagian
yang merata. Pedoman utama bagi sistem ekonomi ini adalah prinsip-prinsip syariah, yang
menjamin kebebasan individu untuk berdagang dan mempertahankan harta mereka dengan
cara yang halal dan sesuai dengan ajaran agama. Selama masa dinasti Abbasiyah, Baghdad
menjadi pusat perdagangan dan pertukaran intelektual yang sangat penting. Kota ini menjadi
titik pertemuan untuk pedagang dari Timur dan Barat, yang membawa barang-barang
berharga seperti sutra, rempah-rempah, permata, dan barang dagangan lainnya. Sistem
ekonomi yang berkembang pada saat itu memungkinkan pasar bebas berkembang dengan
adanya jaminan keamanan bagi pedagang dan perlindungan hak milik.
Pada masa dinasti Abbasiyah, terjadi kemajuan perdagangan dan industri yang pesat.
Kota-kota seperti Baghdad, Bashrah, dan Aleksanderiah menjadi pusat bisnis pada masa itu.
Selain itu, pertanian juga mendukung kemajuan ekonomi pada masa itu. Khalifah Abbasiyah
memberikan perhatian besar pada sektor pertanian karena menyadari bahwa pertanian
adalah sektor yang paling penting dan produktif dalam ekonomi manusia.
Sistem perekonomian yang digunakan Bani Abbasiyah sehingga mengalami kemajuan
pesat adalah dengan membangun perdagangan, industri, dan pertanian, di mana menjadi
sektor ekonomi yang penting. Dinasti Abbasiyah mengadopsi kebijakan yang mendukung
sektor pertanian, industri dan perdagangan. Mereka memperbaiki infrastruktur irigasi,
membangun tempat peristirahatan dan sarana transportasi bagi para pedagang, dan
menjaga keamanan pelabuhan dan jalur perdagangan. Langkah-langkah ini bertujuan
untuk meningkatkan produksi pertanian, memperluas perdagangan, dan mengumpulkan
pendapatan negara dari berbagai sumber seperti pajak, zakat, dan hasil bumi.
Potensi sistem ekonomi pada masa dinasti Abbasiyah masih relevan dalam konteks
ekonomi masa kini. Prinsip-prinsip Islam yang diterapkan pada saat itu, seperti keadilan,
pembagian yang merata, dan kebebasan berdagang, tetap memiliki nilai dan dapat menjadi
panduan bagi sistem ekonomi modern. Konsep keadilan dalam distribusi kekayaan,
perlindungan hak-hak individu, dan upaya mewujudkan pemerataan ekonomi masih menjadi
isu yang relevan dan penting dalam konteks ekonomi global saat ini.9
9
Kamilla, D.H. (2023). Sistem ekonomi islam pada masa bani Abbasiyah dan potensinya dalam ekonomi masa kini. Jurnal Nirwasita. 4(2).
September
10
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
Ilmu-ilmu Bahasa yang berkembang pada masa Dinasti Abbasiyah adalah ilmu nahwu,
ilmu Sharaf, ilmu bayan, ilmu badi’, dan arud. Dalam hal ini, bahasa Arab dijadikan
sebagai bahasa ilmu pengetahuan sekaligus alat komunikasi antar bangsa. Diantara ahli
ilmu bahasa ialah sebagai berikut : Imam Sibawah (wafat pada tahun 183 H), dengan
karyanya yang terdiri atas 2 jilid setebal 1.000 halaman, Al-Kisa’i. Abu Zakaria al-Farra
(wafat pada tahun 208 H). Kitab Nahwu-nya terdiri atas 6.000 halaman lebih, Al-
Asma`i dan Abu Ubaidah, Al-Mubarrad pengarang kitab Al Kamil. Sedangkan dalam
Kesusastraan meliputi: Syair: Penyair Abbasiyah yang terkenal adalah Abu Nawas,
dengan syairnya tentang arak, berburu dan ragam obyek syair lainnya sejalan dengan
kebudayaan dan kemewahan. Prosa: Abdullah ibn Al-Muqaffa menerjemahkan buku
Pahlevi (Persia Kuno), Kalilah Wa Dimnah dalam bahasa Sanskerta sebagai buku
prosa tertua sastra Arab.
Sedangkan Ilmu Aqli (ilmu akala tau hikmah), Ilmu-ilmu umum masuk ke dalam Islam
melalui terjemahan dari bahasa Yunani dan Persia ke dalam bahasa Arab, selain bahasa
India. Adapun ilmu aqli yang berkembang pada masa Abbasiyah, antara lain:
Filsafat : Kajian filsafat di kalangan umat Islam mencapai puncak nya pada masa Dinasti
Abbasiyah, di antaranya dengan penerjemahan filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab.
Para filsuf Islam dalam bidang ini ialah sebagai berikut : Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina,
Ibnu Bajjah, Ibnu Rusyd, Ibnu Thufail dan Al-Ghazali.
Ilmu Kedokteran: Pada masa Dinasti Abbasiyah, ilmu kedokteran berkembang pesat.
Selain itu, rumah sakit dan sekolah kedokteran pun banyak didirikan. Di antara ahli
kedokteran ternama pada masa ini adalah Abu Zakariya Yahya bin Mesuwaih (wafat
pada tahun 242 H), Abu Bakar ar-Razi atau Rhazez (864-932 M), yang dikenal
sebagai Ghalien Arab. Ibnu Sina (Avicenna). Ibnu Sina (Avicenna) karyanya yang
terkenal adalah Al-Qanun fi ath-Thib tentang teori dan praktik ilmu kedokteran, serta
pengaruh obat-obatan, yang diter jemahkan ke dalam bahasa Eropa, yakni Canon of
Medicine. Ar-Razi. Ia adalah tokoh pertama yang membedakan antara penyakit
cacar dengan measles, sekaligus penulis buku tentang kedokteran anak.
Ilmu Matematika : terkenal yaitu Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi yang telah
menciptakan ilmu aljabar, Abu al-Wafa Muhammad bin Muhammad bin Ismail bin al-
Abbas (940-998), yang terkenal sebagai ahli ilmu matematika.
Farmasi : di antara ahli farmasi pada masa Dinasti Abbasiyah adalah Ibnu Baithar.
Karyanya yang terkenal adalah Al-Mughni (mengupas tentang obat- obatan) serta Jami
al-Mufradat al-Adawiyah (mengkaji tentang obat- obatan dan makanan bergizi).
Ilmu Astronomi : Kaum muslimin mengkaji dan menganalisis berbaga aliran ilmu
astronomi dari berbagai bangsa, sepert Yunani, India, Persia, dan Kaldan. Di antara ahli
astrono Islam adalah Abu Manshur al-Falaki (wafat pada tahun 272 H). Karyanya yang
terkenal adalah Isbat al-Ulum dan Hayatal-Falak, Jabir al-Batani (wafat pada tahun 319
H) Ia adalah pencipta teropong bintang pertama karyanya yang terkenal ialah kitab
Ma'rifat Mathil Buruj Baina Arbai al-Falak, Raihan al-Bairuni (wafat pada tahun 440 H).
Karya- nya adalah At-Tafhim li Awal as-Sina at-Tanjim.
Geografi: Dalam bidang geografi, umat Islam tergolong sangat maju. Sebab, sejak awal,
bangsa Arab merupakan bangsa peda- gang yang biasa menempuh jarak jauh untuk
berniaga.D i antara wilayah pengembaraan adalah Tiongkok dan Indonesia pada masa-
masa awal kemunculan Islam. Se- dangkan, tokoh-tokoh ahli geografi yang terkenal
ialah Abul Hasan al-Mas'udi (wafat pada tahun 345 H atau 956 M), Ibnu Khurdazabah
(820-913 M), Ahmad el-Ya'kubi Abu al-Hasan al-Hamdani (wafat pada tahun 334 H
atau 946 M).
Sejarah: Pada masa Dinasti Abbasiyah, muncul tokoh-tokoh sejarah, di antaranya ialah
Ahmad bin Ya'kubi (wafat pada tahun 895 M), dengan karyanya berjudul Al-Buldan
(negeri-negeri) dan At-Tarikh (sejarah) karyanya berjudul Sifatu Jazirah al-Arab
Ilmu Kimia, bapak Ilmu Kimia Islam adalah Jabir ibnu Hayyan Tahun 721 M-815 M. ahli
Kimia lainnya seperti: al-Razi, al-Tuqrai yang hidup pada abad ke12 M.
Kurikulum pendidikan Islam pada masa Abbasiyah dalam tiga bagian yaitu Kurikulum
Pendidikan Dasar, Kurikulum Pendidikan Menengah, dan Kurikulum pendidikan Tinggi.
11
Suhartini, Andewi. (2012). Sejarah Pendidikan islam. Jakarta: Direktoral jenderal Pendidikan islam kementrian Agama Republik Indonesia
12
Setiawan, A. Dan Wulandari, N.D. (2020). Perkembangan ilmu pengetahuan pada masa-masa keemas an dinasti Abbasiyah: Gerakan
penerjemahan, perpustakaan dan Observatorium. Jurnal; Sejarah peradaban islam. 2(1).
Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah al-Ma'mun hingga tahun 300
H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam bidang filsafat
dan kedokteran.
Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H, terutama setelah adanya
pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan semakin meluas
Gerakan penerjemahan ini sebelumnya sudah terjadi pada masa dinasti Umayah,
namun upaya menerjemahkan berbahasa asing, terutama bahasa Yunani dan
Persia ke dalam bahasa Arab terjadi pada dinasti Abbasiyah dan pada masa dinasti
Abbasiyah terjadi perubahan yang sangat signifikan orang-orang Baghdad
mempelajari hasil terjemahan buku-buku atau kitab-kitab yang berasal dari bahasa
Persia, Yunani dan Bahasa lainnya kedalam Bahasa arab. Hal ini yang
memunculkan cendikiawan-cendikiawan di kota Baghdad, yang mana pada saat
itulah Baghdad menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan, dan pada masa
ini disebut dengan masa keemasan pemerintahan Abbasiyah. Gerakan
Penerjemahan pada masa Pemerintahan Abu Ja`far Al Manshur, Harun Al- Rasyid,
Pada masa pemerintahan Khalifah Al-Makmun para penerjemahan buku-buku
asing ditekankan. Untuk meningkatkan perkembangan ilmu pengetahuan Khalifah
juga memperluas Baitul Hikmah yang didirikan ayahnya sebagai perpustakaan,
observatorium dan pusat penerjemahan. Para penerjemah terdiri dari kaum
Nasrani, Yahudi dan Majusi diberikan upah yang tinggi oleh khalifah. Dewan
penterjemahan, beberapa dari rakyat yang kaya melindungi penterjemahan buku-
buku asing ke dalam bahasa Arab. Terdapat empat orang penterjemah yang
terkemuka, yaitu, Hunayn bin Ishaq, Wa’qub bin Ishaq, dari suku arah Kinda, Tha
bit ibn Qurra dari Harran, dan Umar ibn al-Farrakhan dari Tabaristan. Serta
menaruh perhatian khusus pada ilmu pengetahuan. Yaitu Mereka mengirim misi
ke Konstantinopel untuk membawa hasil ilmiah bidang filsafat, logika,
kedokteran, matematika, astrologi (ilmu perbintangan), musik, geografi dan
sejarah.
e. Perpustakaan Bait Al-Hikmah: Yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid. Perpustakaan
disebut dengan baitul hikmah yang berfungsi sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan. Pada masa Harun ar-Rasyid baitul hikmah namanya khizanah al-
hikmah (khazanah kebijaksanan) y a n g b e r f u n g s i sebagai perpustakaan dan
pusat penelitian. Kemudian pada masa Al-Makmun, khizanah al-hikmah
dikembangkan dan diubah namanya menjadi baitul hikmah, yang dipergunakan
secara lebih maju, selain pusat pengembangan ilmu pengetahuan juga sebagai
tempat penyimpanan buku-buku kuno yang diperoleh dari Persia, Byzantium,
bahkan Etiopia dan India. Direktur perpustakaan ialah seorang nasionalis Persia,
yakni Sahl bin Harun. Di bawah kekuasaan Al-Makmun, perpustakaan mempunyai
fungsi sebagai pusat studi dan juga sekaligus pusat kegiatan studi serta riset
astronomi dan matematika. Perpustakaan Bait Al-Hikmah mencapai puncaknya
pada masa Khalifah Al-Ma`mun berfungsi sebagai tempat para pembaca untuk
berdiskusi, aktifitas ilmiah, dan sebagai kantor penerjemahan seperti karya
kedokteran, filsafat, matematika, kimia, astronomi dan ilmu alam, Ahli ilmu
pengetahuan dan sastra. Para ilmuan Islam mengembangkan ilmu-ilmu yang telah
diterjemahkan sehingga hadirlah temuan ilmiah baru sebagai sumbangan Islam
tehadap ilmu dan peradaban dunia. Para khalifah-khalifah dan wazir (menteri)
serta para pejabat tinggi memberi perlindungan, sarana prasarana bagi
perkembangan ilmu pengetahuan. Mereka juga sering mengadakan pertemuan-
pertemuan ilmiah di rumah mereka.13
2. Perkembangan di bidang Pendidikan
Pada saat Dinasti Abbasiyah perkembangan ilmu pengetahuan sangat terlihat jelas
dan sangat pesat. Kota Baghad yang dipilih untuk menjadi pusat pemerintahan
seperti politik, keamanan, sosial, serta demografis. Kota Baghdad menjadi lebih
masyhur lagi, karena perannya sebagai pusat perkembangan peradaban dan
kebudayaan Islam, sehingga banyak para ilmuwan dari berbagai penjuru datang ke
kota ini untuk mendalami ilmu pengetahuan yang ingin mereka tuntut. Kota Baghad
menjadi sangat cemerlang ketika dipimpin oleh Harun ar-Rasyid 786-809 M sehingga
menjadi tujuan banyak orang.
Dalam bidang pendidikan telah dibangun sekitar 30.000 mesjid di Baghdad berfungsi
sebagai lembaga pendidikan dan pengajaran pada tingkat dasar. Jasa-jasa
Abbasiyah untuk lembaga pendidikan dengan berdirinya beberapa
lembaga-lembaga pendidikan Islam yaitu:
a. Kuttab: sebagai tempat belajar menulis dan membaca, terutama bagi anak-
anak berkembang dengan pesat. Latar belakang berdirinya Kuttab yaitu dilihat dari
kepandaian baca pada kehidupan sosial dan politik umat Islam dari awal
pengajaran alqur’an juga telah memerlukan kepandaian tulis baca, karena tulis baca
semakin terasa perlu.
b. Al-Hawanit al-Warraqien (Toko Buku): Perkembangan ilmu pengetahuan dan
kebudayaan Islam yang semakin pesat terus diikuti dengan penulisan kitab-kitab
dalam berbagai cabang ilmu pengetahuan, berdirilah toko-toko kitab. Pada
mulanya toko-toko tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang
ditulis dalam berbagai ilmu pengetahuan, mereka membelinya dari para penulis lalu
menjualnya kepada yang berminat untuk mempelajarinya. Kemajuan dalam bidang
ilmu pengetahuan mendorong lahirnya para pengarang mendorong lahirnya industri
perbukuan, dan industri perbukuan mendorong lahirnya toko-toko buku dalam
bahasa Arab disebut Al-Hawanit al-Warraqien
c. Manazil al-Ulama (Rumah-rumah Ulama) Pada masa Abbasiyah diantara rumah-
rumah ulama yang difungsikan sebagai lembaga pendidikan dan kegiatan ilmiah.
Seperti Abu Sulaiman al-Sijistani menggunakan sebahagian besar waktu
dirumah untuk menuntut ilmu dan para ulama senior untuk menvalidasi bacaan-
bacaannya, hal ini diperkuat oleh Abi al-Hasan Abd al-Munjim mengatakan
bahwa rumah abu sulaiman banyak dikunjungi para ulama untuk tukar menukar
informasi (muzakarah), dan berdiskusi (munazarah).
d. Al-Sholahun al-Adabiyah (Sanggar Sastra): mulai tumbuh sederhana pada masa
pemerintah Bani Umayyah, berkembang pesat pada zaman Abbasiyah. Al-
Sholahun al-Adabiyah (Sanggar Sastra)adalah majelis khusus yang diadakan
13
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
khalifah untuk membahas berbagai ilmu pengetahuan, pada masa khalifah Harun
ar-Rasyid majelis sastra mengalami kemajuan. adanya perlombaan antara ahli-
ahli syair, perdebatan antara fukaha dan sayembara antara ahli kesenian dan
pujangga. Sanggar sastra meniru kebudayaan asing yang diambil oleh khalifah
Arab dari para penguasa yang agung yang merupakan tanda penghormatan atas
kekuasannya. Terdapat kode etik, al-Maqrizi mengatakan sanggar sastra tidak bisa
menerima setiap orang yang menginginkannya namun sanggar tersebut hanya
diperbolehkan untuk sekelompok manusia tertentu.
e. Madrasah Pendidikan: Madrasah muncul dizaman khalifah Bani Abbasiyah sebagai
kelanjutan dari pendidikan yang dilaksanakan dimesjid dan tempat lainnya. Menurut
Ahmad Tsalabi bahwa minat masyarakat untuk mempelajari ilmu di halaqoh yang
ada dimesjid-mesjid meningkat dari tahun ke tahun sehingga mulai difikirkan
tempat untuk mempelajari ilmu yang dirancang secara khusus dan dilengkapi
dengan berbagai sarana dan prasarana dan lain sebagainya.
f. Pendidikan Rendah di Istana: muncul berdasarkan pemikiran bahwa Pendidikan itu
harus bersifat menyiapkan anak didik agar mampu melaksanakan tugas-tugasnya
kelak. khalifah dan keluarganya serta para pembesar istana lainnya
berusaha menyiapkan pendidikan rendah agar anak-anaknya sejak kecil sudah
diperkenalkan dengan lingkungan dan tugas-tugas yang akan diemban.
g. Perpustakaanan Observatorium: Dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maka
didirikan perpustakaan, Observatorium, serta tempat penelitian dan kajian ilmiah
h. Al-Ribath: adalah tempat untuk melakukan latihan, bimbingan, dan pengajaran
bagi calon sufi. Di dalam Al-Ribath terdapat berbagai ketentuan terkait pendidikan
tasawuf, terdiri dari syekh (guru besar), mursyid (guru utama), mu’id (asisten guru),
dan mufid (fasiltator). Sementara Murid dalam al-ribath dibagi sesuai tingkatannya
mulai dari ibtidaiyah, tsanawiyah, dan aliyah, dan terkhusus untuk yang
lulus diberikan pengakuan berupa ijazah.
i. Az-Zawiyah: adalah tempat yang berada dibagian pinggir masjid yang digunakan
untuk melakukan bimbingan wirid, dan zikir untuk mendapatkan kepuasan
spiritual.
j. Rumah Sakit: difungsikan sebagai tempat mendidik sumber daya yang
berhubungan dengan perawatan dan pengobatan, dan mengadakan berbagai
penelitian dan praktikum dalam bidang kedokteran dan obat-obatan. Pada intinya
rumah sakit difungsikan sebagai lembaga Pendidikan.
k. Badiah: adalah dusun-dusun tempat tinggal orang-orang Arab yang tetap
mempertahankan keaslian dan kemurnian bahasa Arab, kefasihan berbahasa
dengan memelihara kaidah-kaidah bahasanya. Badiah-badiah merupakan sumber
bahasa Arab asli dan murni. Khalifah-khalifah mengirimkan anak-anaknya
kebadiah-badiah untuk mempelajari syair-syair dan sastra Arab. Sebahagian ulama-
ulama serta ahli ilmu pengetahuan lainnnya yang pergi kebadiah-badiah dengan
tujuan untuk mempelajari bahasa dan kesusasteraan Arab yang asli ldan murni
tersebut. Badiah-badiah dijadikan sebagai sumber ilmu.
3. Perkembangan di bidang Administrasi
Al-Manshur melakukan konsolidasi dan penertiban pemerintahannya yaitu mengangkat
sejumlah personal untuk menduduki jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.
Diantaranya: Pengangkatan wazir sebagai koordinator departemen,wazir pertama yang
diangkat adalah Khalid bin Barmak berasal dari Balkh Persia, membentuk lembaga
protokol negara, sekretaris negara, dewan penyelidik keluhan, dan kepolisisan negara
disamping membenahi angkatan bersenjata. Dan Muhammad ibn Abdurrahman
ditugaskan sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Selanjutnya Jawatan pos
yang telah ada sejak masa Dinasti Umaiyah ditingkatkan peranannya dengan tambahan
tugas. Dulunya hanya berfungsi untuk mengantar surat namun pada masa al-Manshur,
jawatan pos diamanahkan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar.
Terdapat perkembangan sistem pemerintahan dengan didirikannya : Kedinasan atau
biro (diwan) , yaitu diwan al-rasail yakni berkesanaan dengan kerja kearsipan atau
surat menyurat, Diwan al-kharaj, yakni dinas yang menanangani pengumpulan
pajak, Diwan al-jaysh, menangani pengeluaran militer khalifah, penanganan
terhadap tugas-tugas pemerintahan dan adanya tugas untuk melaporkan tingkah
laku gubernur setempat kepada khalifah.
4. Perkembangan di bidang Politik
Wilayah kekuasaan Abbasiyah mencapai Persia, Afganistan, sebagian India,
Turkistan, mencapai Balukhisran, sebagian Romawi Timur, Spanyol, dan lain-lain.
Umat Islam telah mampu membentuk satu imperium yang besar. Mampu
menaklukkan negara-negara kaya sekaligus memiliki peradaban yang tinggi,
terutama Persia, Asia Kecil, Mesir, dan negeri-negeri di Afrika Utara hingga Spanyol,
dan keseluruhannya merupakan pusat-pusat peradaban dunia pada masa itu. Dalam
pembagian wilayah, pemerintahan Abbasiyah menamakannya dengan Imaraat,
gubernurnya bergelar Amir (Hakim). Imaraat terdiri dari Imaraat Al-Istikhfa, Al-
Amaarah Al-Khassah dan Imaarat Al-Istilau. Sementara Kepada wilayah atau imaraat
ini diberi hak-hak otonomi terbatas, sedangkan desa atau al-Qura dengan kepala
desanya as-Syaikh al-Qoryah diberi otonomi penuh. Dan Abbasiyah juga telah
membentuk angkatan perang yang kuat di bawah panglima. Khalifah juga membentuk
Baitul Mal atau Departemen Keuangan untuk mengatur keuangan negara khususnya.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah kebijakan-kebijakan politik yang
dikembangkan antara lain:
Ibu kota negara dipindahkan dari Damaskus ke Baghdad.
Menumpas semua keturunan Bani Umayyah yang membahayakan.
Dalam rangka politik, Dinasti Abbasiyah memperkuat diri dengan merangkul
orang-orang persia, Abbasiyah juga memberi peluang dan kesempatan
kepada kaum mawali.
Menumpas pemberontakan-pemberontakan dalam kekuasaan pemerintahan
Menghapus politik kasta yang membahayakan pemerintahan.
Terdapat Langkah-langkah lainnya yang digunakan dalam politik yaitu:
Para Khalifah tetap dari bangsa arab, sedangkan para menteri, gubernur,
panglima perang serta pegawai lainnya banyak diangkat dari golongan mawali.
Kota Baghdad ditetapkan sebagai Ibukota Negara dan juga nenjadi pusat
kegiatan Politik, ekonomi, dan kebudayaan.
Kebebasan berfikir dan berpendapat mendapat bagian yang tinggi.
5. Perkembangan di bidang Ekonomi
Pada masa Al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor
pertanian, malalui irigasi dan peningkatan hasil penambangan seperti perak, emas,
tembaga, dan besi. Penghasilan gandum, beras, kurma dan zaitun. Perkembangan
dagang transit antara Timur dan Barat juga membawa kejayaan. Basrah menjadi
pelabuhan yang penting pada masa pemerintahan Al-Mahdi. Kekayaan Abbasiyah
dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial, rumah sakit, lembaga
pendidikan dokter, dan farmasi didirikannya. Pada masanya terdapat sekitar 800 orang
dokter, dibangunnya pemandian-pemandian umum. Kesejahteraan sosial kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuam, dan kebudayaan serta kekuasaan menjadi focus
pemerintah.
Adapun sumber utama pendapatan dinasti Abbasiyah yaitu diambil dari pemungutan
pajak, dan zakat yang diwajibkan bagi setiap umat Muslim. Zakat hanya dibebani pada
pemilik tanah produktif, hewan-hewan ternak, logam mulia sebagai emas dan perak,
barang-barang dagangan dan harta benda lainnya yang bisa berkembang dan
menghasilkan. Semua harta yang terkumpul dari umat Islam akan dibagikan oleh
kantor perbendaharaan pemerintah untuk kepentingan dan kesejahteraan umat islam
sendiri yaitu digunakan untuk orang miskin, anak yatim, musafir, orang yang ikut dalam
perang suci, para budak, dan untuk tawanan yang harus ditebus dari musuh.
Sumber pendapatan pemerintah lainnya yaitu pajak atau upeti dari bangsa lain, uang
tebusan, pajak untuk perlindungan, rakyat non Mulim (jizyah), pajak tanah (kharaj),
dan pajak yang dikumpulkan dari barang dagangan orang non Muslim yang masuk ke
wilayah islam. Semua barang yang wajib pajak ini, pajak tanah adalah pajak yang
terbesar dan menjadi sumber utama pendapatan pemerintahan dari umat non Muslim.
Seluruh pemasukan disebut fay dan disalurkan oleh khalifah untuk gaji tentara,
memelihara mesid, jalan dan jembatan, pembangunan infrastruktur, dan untuk
kepentingan umum masyarakat Islam.
6. Perkembangan di bidang Militer
Al-Mu’tashim memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk
dalam pemerintahan, keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak
seperti pada masa Umayyah, Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktik orang- orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina secara
khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Kekuatan militer dinasti Bani Abbas menjadi
sangat kuat.
7. Perkembangan di bidang Seni
Perhatian para Khalifah Abbasiyah terhadap seni budaya sangat besar yaitu mencakup
syair-syair, seni musik, arsitektur, kaligrafi , dan penjilidan buku. Seperti Bidang syair
yang terkenal di antaranya adalah Ibnu Muqaffa’, Abu Nawas dan Bashahar ibn Bard.
Pada bidang arsitektur Khalifah Abbasiyah membangun istana-istana, masjid-masjid
yang indah, dan tempat peristirahatan. Bidang seni kaligrafi Abbasiyah mencatat
beberapa nama besar di antaranya Ibnu Muqlah ibn Bawwab dan Yaqut al-Musta’shim.
Dan Ibnu Muqlah merumuskan metode penulisan kaligrafi yang dipakai sampai
sekarang.
Masjid Jami’ Cordoba merupakan peradaban yang masih bertahan sampai sekarang,
mesjid ini merupakan mesjid yang termasyur di Andalusia, namun sekarang dijadikan
sebagai katedral. Abdurrahman ad-Dakhil mulai membangun mesjid ini tahun 170
H/786 M, lalu dilanjutkan oleh putranya Hisyam dan khalifah-khalifah
selanjutnya, mesjid ini merupakan mesjid yang paling indah di Cordoba dan salah
satu mesjid terbesar di dunia.
Seni musik berkembang dengan pesat di era Abbasiyah, Perkembangan seni musik
tidak lepas dari kegencaran penerjemahan risalah musik dari Bahasa Yunani ke
dalam Bahasa Arab dan dukungan para penguasa terhadap musisi dan penyair
membuat seni musik, terlebih perkembangannya musik dipandang sebagai cabang dari
matematika dan filsafat, peradaban Islam melalui kitab yang ditulis al-Kindi merupakan
yang pertama kali memperkenalkan kata musiqi. Al-Isfahani (897 M-976 M) dalam Kitab
al-Aghani mencatat beragam pencapaian seni musik di dunia Islam.
Faktor-faktor pendukung Kemajuan Dinasti Abbasiyah
Pada masa dinasti Abbasiyah beberapa faktor-faktor kemajuan yang berhasil dicapai
pada masa keemasan peradaban Islam, di antaranya:
1. Pada masa ini perkembangan pemikiran secara intelektual maupun
keagamaan berkembang pesat, adanya kesiapan umat Islam untuk menyerap
berbagai budaya dan khazanah peradaban besar dan melakukan perkembangan
secara inovatif. Pada masa ini umat Islam atas dukungan dari khalifah yang
berkuasa bersikap terbuka terhadap seluruh umat non Arab (mawali).
2. Dinasti Abbasiyah lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan
Islam dari pada perluasan wilayah seperti yang terjadi pada masa Dinasti Umayyah.
3. Adanya toleransi membentuk terjadi asimilasi antara bangsa Arab (Abbasiyah)
dengan bangsa lain non-Arab yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Seperti pengaruh bangsa Persia dalam menata sistem
pemerintahan dan penguasaan dalam ilmu filsafat dan sastra. 14
Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Faktor Internal Runtuhnya Dinasti Abbasiyah15
1. Perebutan Kekuasaan di Pusat Pemerintahan
Khilafah Abbasiyah awalnya didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu dengan orang-
orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib kedua golongan
tersebut yang sama-sama tertindas ketika Bani Umayyah masih berkuasa. Setelah
khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap mempertahankan persekutuan
itu. Kedua kubu ini saling berselisih karena kecenderungan masing-masing bangsa yang
ingin mendominasi kekuasaan. Orang Persia menginginkan sebuah dinasti dengan raja
dan pegawai dari Persia pula. Sementara bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang
14
Daulay, et al. (2021). Peradaban dan pemikiran Islam pada masa bani Abbasiyah. Edu society: jurnal Pendidikan, social dan pengabdian
kepada Masyarakat. 1(2)
15
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam/amp
(Diakses pada 10 Mei 2024)
mengalir di tubuh mereka adalah darah (ras) istimewa dan menganggap bangsa non-
Arab ('ajam) lebih rendah. Perselisihan sudah dirasakan sejak awal berdirinya Dinasti
Abbasiyah, tetapi fanatisme kebangsaan ini tampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa.
Setelah al-Mutawakil (232-247 H), seorang khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi
tentara Turki semakin kuat. Mereka dapat menentukan siapa yang diangkat menjadi
khalifah sehingga sejak itu kekuasaan Dinasti Abbasiyah menjadi sangat lemah dan
kekuasaan telah beralih ke tangan bangsa Turki. Kekuasaan Dinasti Abbasiyah
kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa Persia. Selanjutnya, kekuasaan Bani
Buwaih beralih kepada Bani Seljuk, bangsa Turki pada periode keempat (447-590 H).
2. Munculnya Dinasti-Dinasti Kecil yang Memerdekakan Diri
Wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama hingga masa keruntuhan sangat
luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir, Syria, Irak, persia,
Turki, dan India. Namun, kenyataannya banyak daerah yang tidak dikuasai oleh
khalifah, melainkan berada di bawah kekuasaan gubernur yang bersangkutan.
Hubungan dengan khalifah hanya ditandai dengan pembayaran upeti. Khalifah tidak
cukup kuat untuk membuat mereka tunduk sehingga tingkat saling percaya di kalangan
penguasa dan pelaksana pemerintahan sangat rendah. Para penguasa Abbasiyah lebih
menitikberatkan pembinaan peradaban dan kebudayaan dibanding politik dan ekspansi.
Selain itu, banyak daerah-daerah yang memerdekakan diri karena terjadi kekacauan
atau perebutan kekuasaan di pemerintahan pusat yang dilakukan oleh bangsa Persia
dan Turki. Akibatnya, beberapa provinsi tertentu di pinggiran mulai lepas dari
genggaman penguasa Bani Abbas.
3. Kemerosotan Perekonomian
Pada periode pertama, pemerintahan Bani Abbas termasuk pemerintahan yang kaya.
Perekonomian masyarakat sangat maju, terutama di bidang pertanian, perdagangan,
dan industri. Namun, perekonomian Abbasiyah mulai mundur setelah memasuki masa
kemunduran politik. Pendapatan negara menjadi menurun karena semakin sempitnya
wilayah kekuasaan serta banyaknya kerusuhan yang mengganggu perekonomian
rakyat. Sementara itu, pengeluaran membengkak karena kehidupan para khalifah dan
pejabat semakin mewah serta para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak
stabil menyebabkan perekonomian negara menjadi morat-marit. Demikian pula kondisi
ekonomi yang buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah.
4. Munculnya Aliran-Aliran Sesat dan Fanatisme Keagamaan
Sebagian dari orang-orang Persia mempropagandakan ajaran Manuisme,
Zoroasterisme, dan Mazdakisme sebab cita-cita mereka tidak sepenuhnya tercapai
untuk menjadi penguasa. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan Zindiq ini
kemudian menggoda rasa keimanan para khalifah. Konflik antara kaum beriman dengan
golongan Zindiq berlangsung mulai dari bentuk yang sederhana seperti polemik tentang
ajaran hingga konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak.
Selain itu, terjadi pula konflik dengan aliran Islam lainnya, seperti perselisihan antara
Ahlusunnah dengan Mu’tazilah yang dipertajam oleh al-Ma’mun, khalifah ketujuh dinasti
Abbasiyah yang menjadikan Mu’tazilah sebagai mazhab resmi negara.
Faktor Eksternal Runtuhnya Dinasti Abbasiyah
1. Perang Salib
Kekalahan tentara Romawi telah menanamkan benih permusuhan dan kebencian
orang-orang Kristen terhadap umat Islam. Kebencian tersebut bertambah setelah
Dinasti Saljuk yang menguasai Baitul Maqdis menerapkan beberapa peraturan yang
dirasakan sangat menyulitkan orang-orang Kristen yang ingin berziarah ke sana. Karena
itulah, pada tahun 1095 M, Paus Urbanus II menyerukan kepada umat kristen Eropa
untuk melakukan perang suci, yaitu Perang Salib. Perang salib yang berlangsung dalam
beberapa periode banyak menelan korban dan menguasai beberapa wilayah Islam.
Setelah melakukan peperangan di tahun 1097-1124 M, mereka berhasil menguasai
Nicea, Edessa, Baitul Baqdis, Akka, Tripoli, dan kota Tyre.
2. Serangan Mongolia ke Negeri Muslim dan Berakhirnya Dinasti Abbasiyah
Orang Mongolia merupakan bangsa yang berasal dari Asia Tengah, sebuah kawasan
terjauh di China, terdiri dari kabilah-kabilah yang disatukan oleh Jenghis Khan (603-624
H). Sebagai awal penghancuran Baghdad dan Khilafah Islam, tentara Mongol mulai
menguasai negeri Asia Tengah, Khurasan, dan Persia. Mereka berhasil menaklukkan
negeri Khawarizm dan menguasai Asia Kecil. Kemudian, Hulagu Khan mengirimkan
ultimatum kepada Khalifah agar menyerah dan mendesak supaya tembok kota sebelah
luar diruntuhkan. Akan tetapi, Khalifah tetap enggan memberikan jawaban sehingga di
awal tahun 1258 M, Hulagu Khan menghancurkan tembok ibu kota. Hulagu Khan
beserta pasukannya menghancurkan kota Baghdad dan membakarnya. Pembunuhan
berlangsung selama 40 hari dengan jumlah korban sekitar dua juta orang. Dengan
terbunuhnya Khalifah al-Mu’tashim menandai babak akhir dari Dinasti Abbasiyah.
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa terbentuknya peradaban Islam pada masa
Dinasti Abbasiyah menjadi kontribusi, renungan, dan cara untuk membangun kembali
semangat juang generasi massa kini. Pada zaman keemasan umat Islam menjadi rolemodel
untuk dunia, khususnya dalam bidang perkembangan Ilmu pengetahuan. Keberhasilan
khalifah Dinasti Abbasiyah dalam membangun Peradaban Islam Pada massanya tidak lepas
dari peran khalifah Abu Al-Abbas al-Saffah, Abu ja’far al-Mansur, al-Mahdi, Harun al-
Rasyid dan al-Ma’mun, kelima khalifah tersebut memiliki pengaruh besar bagi peraban
Islam. Perkembangan beberapa aspek-aspek menunjukkan bahwa Umat Islam pada massa
Abbasiyah mengalamai kemajuan peradaban yang luar biasa baik dalam bidang Ilmu
pengetahuan, bidang Ekonomi, bidang seni, bidang fisik, bidang, bidang administrasi,
bidang militer dan lain sebagainya. Atas prestasi dan jasa-jasa para khalifah dinasti Abbasiyah
membawa kebanggaan tersendiri bahwa umat Islam pernah menjadi power penting dalam
peradaban dunia Dinasti Bani Abbasiyah mengajarkan bahwa untuk memperoleh hasil yang
besar dibutuhkan berbagai upaya dan kerja keras dan ujung tongak keberhasilan suatu
peradaban berada pada pemegang kekuasaan tertinggi.
DAFTAR PUSTAKA
Saprida, Qodariah, et.al. (2020). Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana
Suhartini, Andewi. (2012). Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Direktorat Jenderal
Pendidikan Islam Kementerian Agama Republik Indonesia.
Daulay, H.P, et al. (2021).Peradaban dan pemikiran Islam pada masa Bani Abbasiyah. Edu
society: Jurnal Pendidikan, Ilmu Sosial dan Pengabdian kepada masyarakat. Vol. 1,No.
2
Kamilla, D.H. (2023). Sistem ekonomi islam pada masa bani Abbasiyah dan potensinya dalam
ekonomi masa kini. Jurnal Nirwasita. 4(2). September
Dardiri, M.A. (2023). Kondisi sosial-politik dinasti Bani Abbasiyah dan pengaruhnya terhadap
Pendidikan Islam. Jurnal As-Syukriyyah. Vol. 24(No.1). Januari-Juni
Amalia, A. R. (2022). Sejarah peradaban Islam: perkembangan Ilmu pengetahuan pada masa
pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah. Jurnal Rihlah. Vol. 10, No. 01, Januari-Juni.
https://www.detik.com/hikmah/khazanah/d-6599357/penyebab-runtuhnya-dinasti-abbasiyah-
dinasti-kedua-dalam-sejarah-islam/amp (Diakses pada 10 Mei 2024)