Asal Usul Abbasyah

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 23

ASAL-USUL, LATAR BELAKANG

DAN PENGGAGAS BANI ABBASYIAH


Oleh:
Nursri Hayati
08 PEDI 1243

A. Pendahuluan
Dalam konteks kesejarahan, Islam merupakan suatu kekuatan yang
memiliki keistimewaan yang tidak tertandingi. Jargon Islam sebagai negara dan
kekuatan politik nampak pada masa lalu yang diwakili dengan kemunculan
dinasti-dinasti yang amat berperan dalam peradaban dunia. Mulai dari zaman nabi
Muhammad di Madinah, masa Khulafaurrasyidin, Dinasti Umayyah, Dinasti
Abbasiyah dan lain-lainnya sebagaimana yang diterangkan oleh Harun Nasution
ketika membagi periodisasi sejarah umat, yaitu klasik, pertengahan dan periode
modern.1
Awal kekuasaan Dinasti Abbas ditandai dengan pembangkangan yang
dilakukan oleh Dinasti Umayyah di Andalusia (Spanyol). Di satu sisi, Abd al-
Rahman al-Dakhil bergelar amir (jabatan kepala wilayah ketika itu); sedangkan
di sisi lain, ia tidak tunduk pada khalifah yang ada di Baghdad. Pembangkangan
Abd al-Rahman al-Dakhil terhadap Bani Abbas mirip dengan pembangkangan
yang dilakukan oleh Muawiyah terhadap Ali Ibn Abi Thalib. Dari segi waktu
memerintah, kekuasaan Dinasti Abbas termasuk lama, yaitu sekitar lima abad.
Pusat peradabannya adalah Iraq (Babylonia), yang terkenal dengan kota
Metropolis Baghdad.2
Ira M.Lapidus menyederhanakan fase Dinasti Bani Abbas menjadi dua:
pertama, masa awal Dinasti Bani Abbas (750-833 M) dan masa kemundurannya
(833-945 M).3 Bojane Gajane Stryzewska seperti dikutip oleh Badri Yatim
membagi Dinasti Bani Abbas menjadi lima periode, yaitu:

1
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UIP Press, 1986), h.
56.
2
Reynold A. Nicholson, a Litte History of the ‘Arabs, (Cambridge: At The University
Press, 1956), h. 254.
3
Ira M. Lapidus, A History of Islamic Studies, (Cambridge: Cambrigde University Press,
1988), h.87.

1
1. Periode Pertama (132 H/750 M- 232 H/847M), disebut periode pengaruh
Persia pertama.
2. Periode Kedua (232H/847M- 334 H/945M), disebut pengaruh Turki
Pertama
3. Periode Ketiga (334 H/945 M- 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti
Buwaihi dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M- 590 H/1194 M), masa kekuasaan
dinasti Bani Saljuk dalam pemerintahan khalifah Abbasiyah, biasanya
disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
5. Periode Kelima ( 590 H/1194 M- 656 H/1258 M), masa khalifah bebas
dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Bagdad.4
Namun, dalam makalah ini penulis hanya akan membahas mengenai asal
usul, latar belakang serta penggagas terbentuknya Bani Abbas.

B. Asal Usul Bani Abbasiyah


Babak ketiga dalam drama besar politik Islam dibuka dengan peran
penting yang dimainkan oleh Khalifah Abu al-Abbas (750-754).5 Pemerintahan
Daulah Bani Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemeintahan Daulah Bani
Umayyah yang telah runtuh di Damaskus. Dinamakan kekhalifahan Abbasiyah
karena para pendiri dan penguasa daulah ini adalah keturunan Abbas, paman nabi
Muhammad Saw. Imam Muhammad bin Ali berpendapat bahwa pemindahan
kekuasaan dari keluarga yang satu ke keluarga yang lain harus memiliki kesiapan
jiwa dan semangat rakyat. Dia menyadari bahwa perubahan secara tiba-tiba bisa
berakhir dengan kegagalan. Oleh karena itu sangat diperlukan pemikiran yang
dapat memperhitungkan keadaan untuk melancarkan propaganda dengan atas
nama orang yang terpilih dari keluarga nabi Muhammad.6
4
Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2004), h.
49-50.
5
Philip K.Hitti, History of the Arab, terj. Cecep Lukman Yasin dkk, (Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2008), h. 358.
6
Amir Abyan, Tarikh Islam, (Jakarta: DEPAG RI, 1986), h. 75.

2
Secara kronologis, nama Abbasiyah menunjukkan nenek moyang dari al-
Abbas, Ali bin Abi Thalib dan nabi Muhammad. Hal ini menunjukkan kedekatan
pertalian keluarga antara Bani Abbas dengan nabi. Itulah sebabnya kedua
keturunan ini sama-sama mengklaim bahwa jabatan khalifah harus berada di
tangan mereka. Keluarga Abbas mengklaim bahwa setelah wafatnya Rasulullah
merekalah yang merupakan penerus dan penyambung keluarga Rasul.
Secara umum sebenarnya keturunan Ali bin Abi Thalib lebih dekat kepada
Fatimah sebagai anak perempuan Rasulullah dan Ali adalah sepupu sekaligus
menantu beliau. Akan tetapi Bani Abbas merasa lebih berhak mewarisi Rasulullah
karena beranggapan bahwa moyang mereka adalah paman Rasulullah. Pusaka
tidak boleh diperoleh sepupu, jika ada paman. Sedangkan keturunan dari anak
perempuan tidak mewarisi pusaka datuk dengan adanya pihak ashabah.7
Khalifah Abbasiyah pertama menyebut dirinya al-saffah, penumpah darah,
yang kemudian menjadi julukannya. Julukan itu merupakan pertanda buruk,
karena Dinasti yang baru muncul ini mengisyaratkan bahwa mereka lebih
mengutamakan kekuatan dalam menjalankan kebijakannya. Untuk pertama
kalinya dalam sejarah Islam, di sisi singgasana khalifah tergelar karpet yang
digunakan sebagai tempat eksekusi.8 Al-Saffah menjadi pendiri Dinasti Arab
Islam ketiga.
Ketika berhasil merebut kekuasaan, orang Abbasiyah mengklaim dirinya
sebagai pengusung konsep sejati kekhalifahan, yaitu gagasan negara teokrasi,
yang menggantikan pemerintahan sekuler (mulk) Dinasti Umayyah. Sebagai ciri
khas kegemaraan dalam istana kerajaannya, dalam berbagai kesempatan
seremonial, seperti ketika dinobatkan sebagai khalifah dan pada shalat Jumat,
khalifah mengenakan jubah (burdah) yang pernah dikenakan oleh saudara
sepupunya, nabi Muhammad Saw. Ia juga dikelilingi oleh para pakar hukum yang
ia sokong, dan menjadi penasehat dalam urusan-urusan negara. Mesin propaganda
sangat terorganisir untuk menjatuhkan kepercayaan publik terhadap Dinasti

7
Fuad Muh. Fachruddin, Perkembangan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Bulan Bintang,
1985), h. 73.
8
Hitti, History of , h.358.

3
Umayyah kini digunakan dengan baik untuk menjaga kepercayaan publik
terhadap Dinasti Abbasiyah.9
Propaganda yang semula dilakukan oleh Muhammad bin Ali tidak
memakai dan menonjolkan nama Bani Abbas, tetapi menggunakan Bani Hasyim
dengan maksud untuk mencegah perpecahan antara orang Syi’ah pengikut Ali dan
yang mendukung Bani abbas, karena kedua golongan itu masih termasuk keluarga
Bani Hasyim. Dengan siasat demikian, maka propaganda tersebut mendapatkan
simpati sangat besar dari berbagai kalangan.
Untuk melaksanakan propaganda itu mereka mengangkat dua belas orang
propagandis terkenal yang disebut ke daerah-daerah Khurasan, Kufah, Irak dan
bahkan sampai ke Mekkah. Dalam usaha menyebarkan propaganda itu dijelaskan
tujuan mereka yaitu untuk menuntut keadilan dan kebijaksanaan dari pemerintah
Daulah Bani Umayyah di Damaskus.
Di antara propagandis terkenal yang berhasil menarik banyak masyarakat
ialah Abu Muslim al-Khurasany. Dengan tekad kuat dan kerja keras ia dapat
meyakinkan rakyat Marwa, sehingga mereka berada di pihak Bani Abbas. Setelah
itu, Abu Muslim menyambut bai’at rakyat Marwa tersebut. Kemudian ia
melanjutkan usahanya ke daerah Khurasan dan daerah-daerah lain di sekitarnya.
Di setiap daerah dibentuk perwakilan, sehingga berdatangan orang-orang yang
menyatakan sumpah setia kepada keluarga Bani Abbas.10
Dalam suatu hal, terdapat perbedaan mendasar antara Dinasti Umayyah
dan Abbasiyah. Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti
Abbasiyah lebih bersifat international. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan

SILSILAH KETURUNAN ALI11

Abd al-Muthalib

9
Ibid., h.359.
10
Hamka, Sejarah Umat Islam, cet.vi, (Jakarta: Bulan Bintang, 1989), h. 64.
11
Hitti, History of, .h. 362.

4
‘Abdullah Abu Thalib
Al-‘Abbas
(leluhur khalifah
Abbasiyah)

MUHAMMAD

FATHIMAH + Ali

Al-Hasan al-Husayn

Al-Hasan

‘Abdullah

IBRAHIM (w.763) MUHAMMAD (w.762)

SILSILAH KEKHALIFAHAN BANI ABBASIYAH:

ABBAS
pendiri Bani
Abbasiyah

Ibnu Abbas

Ali

Muhammad

5
1. AS-SAFFAH 2. AL-MANSUR
Ibrahim Musa
(k. 750-754) (k. 754-775

3. AL-MAHDI
(k. 775-785)

5. AR-RASYID 4. AL-HADI
Ibrahim al-Mubarak
(k. 786-809) (k. 785-786

6. AL-AMIN 7. AL-MA'MUN 8. AL-MU'TASIM


al-Qasim al-Mu'taman
(k. 809-813) (k. 813-833) (k. 833-842

10. AL-
9. AL-WATSIQ 12. AL-MUSTA'IN
MUTAWAKKIL
(k. 842-847) (k. 862-866)
(k. 847-861)

14. AL-
13. AL-MU'TAZZ 11. AL-MUNTASHIR 15. AL-MU'TAMID
MUHTADI al-Muwaffaq
(k. 866-869) (k. 861-862) (k. 870-892)
(k. 869-870)

16. AL-
MU'TADHID
(k. 892-902)

17. AL-
18. AL-MUQTADIR 19. AL-QAHIR
MUKTAFI
(k. 908-935) (k. 932-934)
(k. 902-908)

22. AL-
20. AR-RADHI 21. AL-MUTTAQI 23. AL-MUTHI'
MUSTAKFI Ishaq
(k. 934-940) (k. 940-944) (k. 946-974)
(k. 944-946)

25. AL-QADIR 24. ATH-THA'I

6
(k. 991-1031) (k. 974-991)

26. AL-QA'IM
(k. 1031-1075)

27. AL-MUQTADI
(k. 1075-1094)

28. AL-MUSTAZHIR
(k. 1094-1118)

29. AL-
30. AL-MUQTAFI
MUSTARSYID
(k. 1136-1160)
(k. 1118-1135)

32. AL-
30. AR-RASYID
MUSTANJID
(k. 1135-1136)
(k. 1160-1170)

33. AL-
MUSTADHI'
(k. 1170-1180)

34. AN-NASHIR
(k. 1180-1225)

35. AZH-ZHAHIR
(k. 1225-1226)

1. AL-MUSTANSHIR 36. AL-


II MUSTANSHIR
Berkuasa di Kairo (k. 1226-1242)

7
37. AL-
MUSTA'SHIM
(k. 1242-1258)

C. Latar Belakang Terbentuknya Bani Abbasiyah


Dinasti Abbasiyah mewarisi imperium dari Dinasti Umayyah. Hasil besar
yang telah dicapai oleh Dinasti Abbasiyah dimungkinkan karena landasannya
telah dipersiapkan oleh Umayyah dan Abbasiyah memanfaatkannya.12
Gerakan Abbasiyah sudah berlangsung sejak masa pemerintahan Umar bin
Abdul Aziz, khalifah kedelapan Bani Umayyah. Gerakannya begitu rapid an
tersembunyi sehingga tidak diketahui pihak Bani Umayyah. Selain itu, gerakan ini
juga didukung oleh kalangan Syiah. Hal ini bias dimaklumi krena dalam
melakukan aksinya, para aktivisnya membawa-bawa nama Bani Hasyim, bukan
Bani Abbas. Maka, secara tidak langsung orang-orang Syiah merasa disertakan
dalam perjuangan mereka.13
Dinasti Abbasiyah didirikan secara revolusioner dengan menggulingkan
kekuasaan Dinasti Umayyah. Pelopor utamanya Muhammad bin Ali al-Abbas di
Hamimah. Ia telah banyak belajar dari kegagalan yang telah dialami oleh pengikut
Ali (kaum Syiah) dalam melawan Dinasti Umayyah. Kegagalan ini terutama
karena kurang terorganisir dan kurangnya perencanaan. Dari itulah Muhammad
bin Ali al-Abbas mengatur pergerakannya secara rapi dan terencana.14
Pada 125 H, saat pemerintahan Bani Umayyah tengah mengalami
kemunduran, gerakan Abbasiyah semakin gencar. Empat tahun kemudian,
Ibrahim bin Muhammad mendeklarasikan gerakannya di Khurasan melalui
panglimanya, Abu Muslim Al-Khurasani. Namun, gerakan ini diketahui oleh
Marwan bin Muhammad, Khalifah terakhir Bani Umayyah. Ibrahim pun
ditangkap dan dipenjarakan.15

12
Syed Mahmud Nasr, Islam its Concept and History, (New Delhi: Kitab Bhavan, 1981),
h. 185.
13
Hepi Andi Bastoni, Sejarah Para Khalifah, (Jakarta: Al-Kautsar, 2008), h. 77.
14
A. Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993), h. 10-
12.
15
Bastoni, Sejarah, h.77.

8
Terdapat beberapa faktor yang mendukung keberhasilan pembentukan
Dinasti ini. Di antaranya adalah: meningkatnya kekecewaan kelompok Mawali
terhadap Dinasti Bani Umayyah, pecahnya persatuan antarsuku-suku bangsa
Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka
memiliki pemimpin kharismatik.16
Kelompok Mawali17, yakni orang-orang non-Arab yang telah memeluk
agama Islam, diperlakukan sebagai masyarakat kelas dua, sementara itu bangsa
Arab menduduki kelas bangsawan. Mereka tersingkir dalam urusan pemerintahan
dan dalam kehidupan sosial, bahkan para penguasa Arab selalu memperlihatkan
sikap permusuhan terhadap mereka. Selain hal tersebut, mereka secara umum
diposisikan sebagai kalangan mawla’ (mantan budak), dan tidak selalu bebas dari
kewajiban membayar pajak kepala yang biasa dikenakan terhadap nonMuslim.
Hal lain yang semakin menegaskan kekecewaan mereka adalah kesadaran bahwa
mereka memiliki budaya lebih tinggi dan lebih tua, kenyataan yang bahkan diakui
oleh bangsa Arab sendiri. Di tengah-tengah massa yang kecewa itulah kelompok
Syiah-Abbas menemukan lahan yang subur untuk melakukan propaganda. Dari
Irak, yang selalu menjadi pendukung setia kelompok Ali, doktrin Syiah menyebar
ke Persia, dan menancapkan akarnya terutama di propinsi timur laut, Khurasan,
yang wilayahnya jauh lebih besar daripada saat ini.18
Golongan agamis merasa kecewa terhadap pemerintahan Bani Umayyah
karena corak pemerintahannya yang sekuler. Menurut mereka negara seharusnya
dipimpin oleh penguasa yang memiliki integritas keagamaan dan politik.
Perpecahan antarsuku-suku bangsa Arab muncul kembali selama
pemerintahan Bani Umayyah. Pecahnya persatuan ini setidak-tidaknya ditandai
dengan timbulnya fanatisme kesukuan Arab Utara yakni kelompok Mudariyah

16
K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), (Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 2003),
h. 347.
17
Kelompok Mawalli bekerja sebagai tentara di bidang kemiliteran dan sebagai
administrator dalam birokrasi kepemerintahan menuntut persamaan status dan privilise dengan
kelompok Arab. Pasukan militer menuntut haknya untuk berperan dalam diwan-diwan kemiliteran.
Para petani yang memeluk Islam menuntut hak terhadap pembebasan dari pungutan pajak yang
mana mereka harus dibedakan dari kalangan non-Muslim. Lihat Lapidus, Sejarah Sosial , h. 95.
18
Hitti, History of, h. 353.

9
dengan kesukuan Arab Selatan yakni kelompok Himariyah. Juga yang lebih
penting adalah bangkitnya gerakan Hasyimiyah.
Perlawanan dari kelompok Syi’ah juga merupakan faktor yang sangat
berperan. Umayyah terhadap keturunan Ali. Gerakan anti Umayyah sudah mulai
tampak sejak pemerintahan Khalifah Hisyam bin Abdul Malik (724-743).
Faktor-faktor di atas pada satu sisi mendukung jatuhnya kekuasaan Dinasti
Umayyah, dan pada sisi lainnya sekaligus mendukung keberhasilan gerakan
pembentukan Dinasti Abbasiyah.
Gerakan anti pemerintahan Dinasti Umayyah semula bergerak tidak atas
nama keluarga Hasyimiyah juga tidak atas nama keluarga Abbasiyah, melainkan
mereka bergerak atas nama kepentingan umat Islam, sehingga mereka cukup
efektif dalam memojokkan Dinasti Umayyah. Yakni persekutuan antara kelompok
Bani Hasyim, Syi’ah dan kelompok Mawalli.
Tokoh-tokoh Bani Hasyim berhasil melancarkan propaganda anti
pemerintah di tengah tengah masyarakat Mawalli di Khurasan, dan terjadi
persekutuan bersama dengan pemimpin kelompok Mawalli, yakni Abu Muslim al-
Khurasani.
Selanjutnya, tokoh-tokoh Hasyimiyah juga berhasil menawarkan kerja
sama dengan kelompok pendukung Ali (syi’ah), yang mana sesungguhnya antara
kelompok ini bersatu dalam keluarga Hasyim. Mereka bergerak dengan semboyan
“demi nama baik keluarga Ali dan demi menciptakan era baru pemerintahan Islam
yang damai berkeadilan. Pada awalnya gerakan ini berkembang di Khurasan
sebagai gerakan propaganda rahasia dengan pemimpin Abu Muslim. Kemudian
setelah berhasil memperoleh simpati massa dan setelah berhasil menyusun
kekuatan militer secara terang-terangan dengan melancarkan upaya strategis untuk
menggulingkan kekuasaan Bani Umayyah yang dipandangnya zalim. Bersamaan
dengan itu kekuatan militer Dinasti Umayyah semakin melemah.
Di antara situasi-situasi yang mendorong berdirinya Dinasti Abbasiyah
dan menjadi lemah Dinasti sebelumnya adalah:
1. timbulnya pertentangan politik antara Muawiyah dengan pengikut Ali bin
Abi Thalib;

10
2. munculnya golongan Khawarij, akibat pertentangan politik antara
Muawiyah dengan Syiah, dan kebijakan-kebijakan land form yang kurang
adil;
3. timbulnya politik penyelesaian khilafah dan konflik dengan cara damai;
4. adanya dasar penafsiran bahwa keputusan politik harus didasarkan pada
Alquran dan oleh golongan Khawarij orang Islam non-Arab;
5. adanya konsep hijrah di mana setiap orang harus bergabung dengan
golongan Khawarij, yang tidak bergabung dengannya dianggap sebagai
orang yang berada pada dar al harb, dan hanya golongan Khawarijlah
yang berada pada dar al-Islam;
6. bertambah gigihnya perlawanan pengikut Syiah terhadap Umayyah setelah
terbunuhnya Husein bin Ali dalam pertempuran Karbala;19
7. munculnya paham mawali, yaitu paham tentang perbedaan antara orang
Islam Arab dengan non-Arab.20
Pada masa akhir kekuasaan Dinasti Umayyah, sekitar pertengahan abad
ketujuh, terjadi sejumlah pemberontakan di seluruh wilayah negeri.
Pemberontakan yang paling dahsyat terjadi di Khurasan. Puncak dari segala
pemberontakan ini adalah terjadi peperangan antara kekuatan Abul Abbas
melawan pasukan Marwan II. Pasukan Syria pimpinan Marwan berhasil
ditaklukkan oleh pasukan Abul Abbas. Sekalipun Marwan berhasil melarikan diri,
namun ia selalu diburu dari suatu tempat ke tempat lainnya, dan berhasil
ditangkap di Mesir, lalu dihukum mati oleh Panglima Shalih bin Ali bin Abdullah
19
Perang yang terjadi pada tanggal sepuluh Muharram tahun 61 H di Karbala. Di mana
peperangan tersebut tidak seimbang. Pada peperangan tersebut Husain terbunuh dengan sangat
mengenaskan. Kepala Husain berhasil diboyong untuk dipersembahkan kepada Yazid bin
Muawiyah di Damaskus. Kemudian oleh Yazid para isteri Husain dikembalikan ke Madinah.
Kematian Husain yang terjadi di Karbala ini –sebagai tempat yang dilumuri darahnya dan darah
keluarganya- telah menyalakan api semangat dalam jiwa orang-orang Syiah dan telah
mempersatukan barisan. Sementara itu, sebelumnya mereka bercerai berai mengingat sebelum
Husain terbunuh semangat ingin menjadi anggota Syiah hanya merupakan pemikiran yang bersifat
politis teoritis, belum menyentuh dan belum meresap ke dalam hati orang-orang Syiah. Barulah
sesudah Husain mati terbunuh semangat ingin menjadi penganut paham Syiah benar-benar
mengalir dalam darah dan meresap ke dalam hati mereka, sehingga faham Syiah menjadi aqidah
yang sangat kuat tertanam dalam jiwa mereka. Lihat Hasan Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam 2, (Jakarta: Kalam Mulia, 2001), h. 226-227.
20
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-akar
Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h.
45.

11
bin Abbas bin Abdul Muthalib. Kepalanya dikirim kepada keponakannya,
Khalifah Abul Abbas Ash-Shaffah, di Kuffah. 21
Khalifah Marwan wafat pada tahun 132 H dalam usia 62 tahun. Masa
pemerintahannya hanya lima tahun sepuluh bulan. Ada kisah unik yang
dipaparkan Imam As-Suyuthi sebagaimana dikutip oleh Hepi Andi Bastoni.
Ketika Marwan terbunuh, kepalanya dipotong dan dibawa ke hadapan Abdullah
bin Ali. Orang-orang sempat tak memerhatikan penggalan kepala itu. Tiba-tiba
dating seekor kucing dan menggigit lidah Marwan lalu menelannya! Abdullah bin
Ali berkata, “Seandainya dunia ini tidak memperlihatkan kepada kita
keajaibannya kecuali adanya lidah Marwan dalam mulut kucing, itu sudah kita
anggap keajaiban paling besar”. 22
Dengan meninggalnya Marwan, berakhirlah kekuasaan Bani Umayyah
begitu juga dengan jatuhnya negeri Syiria, khususnya dengan jatuhnya kota
Damaskus berakhirlah riwayat Dinasti Umayyah dan bersamaan dengan itu
bangkitlah kekuasaan Bani Abbasiyah yang berusaha membuka lembaran baru
sejarah Islam.
Pada awal kemunculannya, Dinasti Abbasiyah sangat kental dengan aura
perpolitikan di mana Abul Abbas al-Shaffah dibantu oleh sekutunya dalam
menghancurkan kekuasaan Umayyah. Inilah yang menjadikan masa pemerintahan
Abu Abbas al-Shaffah yang merupakan founding father Dinasti Abbasiyah
berlangsung singkat yaitu antara tahun 750-754 M, sebagai upaya penyelamatan
eksistensi Dinasti yang baru ini, dengan kejam Abu Ja’far al-Mansur sebagai
pemegang tongkat estafet kepemimpinan Abul Abbas membunuh sekutunya (Abu
Muslim). Al-Mansur dianggap sebagai tokoh sebenarnya yang mendirikan Dinasti
Abbasiyah. Dalam bahasa Hodgson al-Mansur meneruskan struktur imperial
absolutis Abbasiyah yang mirip dengan absolutisme di kalangan orang-orang
Sasani.23

21
Bastoni, Sejarah, h. 74.
22
Ibid.
23
Hodghson, The Venture of Islam: Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia, (terj)
Mulyadhi Kartanegara, (Jakarta: Paramadina, 2002), h. 68.

12
D. Penggagas Terbentuknya Bani Abbasiyah
Abu Abbas al-Saffah ( 750-754 ) adalah pendiri Dinasti Abbasiyah.24 Abu
Abbas al-Saffah dinobatkan sebagai khalifah pertama Dinasti Abbasiyah oleh
pengikutnya pada tahun 133 H/750 M. Pada hari Kamis 30 Oktober 749,
pengakuan publik diberikan di mesjid kepada Abu al-Abbas sebagai khalifah..25
Tindakan pertama yang ditempuhnya adalah menyapu bersih anak turun
Dinasti Umayyah. Atas perintahnya, sang paman yang bernama Abdullah
membantai keturunan Dinasti Umayyah secara licik.26 Setelah penobatannya
sebagai khalifah, ia menyebutkan dirinya sebagai al-saffah yang berarti penumpah
darah, dan ini menjadi julukannya.27
Pada 25 Juni 750, ia mengundang 80 orang di antara mereka ke sebuah
undangan makan di Abu Futhrus, sebuah kuil kuno di Sungai “Awja” dekat Jaffa,
kemudian menghabisi mereka ketika jamuan makan sedang berlangsung. Setelah
menutupi jasad-jasad yang sudah meninggal dan sekarat, ia dan para
komandannya melanjutkan jamuan makan itu, sambil diiringi rintihan manusia
yang sedang meregang nyawa. Para agen dan mata-mata disebar ke suluruh dunia
Islam untuk memburu dan membunuh keturunan keluarga Umayyah yang
melarikan diri, yang beberapa di antara mereka bahkan bersembunyi di perut
bumi. Pelarian dramatis ‘Abd al-Rahman ibn Muawiyah ibn Hisyam ke Spanyol,
tempat ia berhasil membangun Dinasti Umayyah baru yang brilian. Bahkan jasad
yang sudah tak bernyawa sekalipun tidak luput dari kemarahan dan pembalasan
dendam orang Abbasiyah. Jasad para khalifah di Damaskus, Qinnasrin, dan
tempat-tempat lainnya digali dari kuburannya, lalu dirusak oleh ‘Abdullah. 28
Di antara yang selamat pada tragedi itu adalah Abdurrahman bin
Muawiyah bin Hisyam bin Abdul Malik. Ia meluputkan diri ke Spanyol dan
belakangan mendirikan Daulah Umayyah di Andalusia.29
24
Jaih Mubarok, Sejarah Peradaban Islam, (Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004), h.
76.
25
Hitti, History of, h. 355.
26
Ali, Sejarah Islam, h. 354.
27
Masudul Hasan, History of Islam, (India: Adam Publisher, 1542), h. 195.
28
Hitti, History of, h. 356.
29
Joesoef Sou’yb, Sejarah Daulat Abbasiyah I, (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), h. 27-28.
Dendam itu bermuara dari ungkapan seorang penyair Sadif Asy-Syair yang pada suatu pertemuan
berkata: “Janganlah muda terpedaya oleh para lelaki yang memperlihatkan wajah manis, tetapi di

13
Dengan cara demikian ini Abul Abbas membuktikan gelar dirinya sebagai
al-Saffah (si penumpah darah atau si haus darah). Masa pemerintahan Abbas tidak
berlangsung lama, hanya sekitar lima tahun. Ia meninggal di Istana Ambariyah
pada tahun 133 H/ 754 M akibat serangan penyakit cacar. Namun, sebelum
meninggal telah menunjuk saudaranya yang bernama Abu Ja’far al-Manshur
sebagai pengganti tahta kerajaan.30
Abu Ja’far al-Mansur menjabat sebagai khalifah kedua Bani Abbasiyah
menggantikan saudaranya Abul Abbas As-Saffah. Abu Ja’far al-Mansur adalah
putra Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Abbas bin Abdul Muthalib yang juga
saudara kandung dari Ibrahim Al-Imam dan Abdul Abbas As-Saffah.31
Ketika Khalifah Abul Abbas meninggal, Abu Ja’far sedang menunaikan
haji bersama Panglima Besar Abu Muslim Al-Khurasani. Pertama yang dilakukan
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur setelah diangkat menjadi khalifah pada tahun 136
H/ 754 M adalah mengatur politik dan siasat pemerintahan Bani Abbasiyah. Jalur-
jalur pemerintahan ditata rapid dan cermat, sehingga saat pemerintahannya terjalin
kerjasama yang erat antara pemerintah pusat dan daerah, begitu juga antara Qadhi
(kehakiman), kepada polisi rahasia, kepala jawatan pajak, dan kepala-kepala dinas
lainnya.32
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur sangat mewaspadai tiga kelompok33 yang
menurutnya dapat menjadi batu sandungan Bani Abbasiyah dan dirinya. Strategi
yang dilakukannya adalah melakukan politik pecah belah. Ia mengutus Isa bin
Musa kepada Abdullah bin Ali untuk menyampaikan bahwa Abul Abbas As-

dalam hatinya tersimpan racun berbisa. Genggamlah pedang dan angkatlah cemeti agar bumi
bersih dari turunan Umayyah”.
30
Ali, Sejarah Islam, h. 354.
31
Bastoni, Sejarah, h. 80.
32
Ibid.
33
Kelompok pertama dipimpin Abdullah bin Ali, adik kandung Muhammad binAli, paman
Abu Ja’far sendiri. Ia menjabat panglima perang Bani Abbasiyah. Kegagahan dan keberaniannya
dikenal luas. Pengikut Abdullah bin Ali sangat banyak serta sangat berambisi menjadi khalifah.
Kelompok kedua dipimpin Abu Muslim Al-Khurasani, orang yang berjasa besar dalam membantu
pendirian Bani Abbasiyah. Karena keberaniannya dan jasa-jasanya tersebut ia sangat disegani serta
dihormati di kalangan Bani Abbasiyah. Masyarakat luas banyak yang menjadi pengikutnya.
Khalifah al-Mansur khawatir pengaruh Abu Muslim terlalu besar terhadap kebijakan pemerintahan
Bani Abbasiyah. Kelompok ketiga adalah kalangan Syiah yang dipimpin keturunan Ali bin Abi
Thalib. Masyarakat luas banyak yang simpati karena dalam melakukan gerakan mereka membawa
nama keluarga Nabi Muhammad. Ibid.

14
Saffah telah wafat, dan penggantinya adalah Al-Mansur. Mendengat berita
tersebut, Abdullah bin Ali langsung pergi ke Haran untuk mengumpulkan
pasukannya guna mengadakan penyerangan. Berita ini langsung diketahui oleh
Al-Mansur. Ia pun memerintahkan Abu Muslim al-Khurasani untuk menumpas
kekuatan Abdullah bin Ali. Akhirnya Abdullah bin Ali dapat ditawan dan
kemudian dipenjarakan seumur hidup sampai meninggal di penjara.
Langkah selanjutnya adalah dengan menutup semua ruang gerak dari
kelompok Alawiyyin (pendukung Ali bin Abi Thalib) dan kelompok Abu Muslim
Al-Khurasani. Setiap perkumpulan, perserikatan, dan kegiatan apa saja yang
dilakukan oleh mereka yang mencurigakan, langsung diantisipasi dan
dibubarkan.34
Kemenangan perang melumpuhkan Abdullah bin Ali membuat nama Abu
Muslim Al-Khurasani kian cemerlang. Meski otak berdirinya Daulah Abbasiyah
bukan dirinya, tetapi masyarakat melihat Abu Muslim adalah orang yang paling
berjasa membesarkan daulah tersebut. Ketika mendengar gelagat tersebut, Abu
Ja’far al-Mansur segera bertindak. Sebagai seorang politikus ulung, ia tak mau
berbuat gegabah. Untuk melumpuhkan lawan politiknya itu, ia mengutus seorang
cendekiawan, Abu Hamid Al-Harwari. Dengan kepiawaiannya, Abu Hamid
berhasil membujuk Abu Muslim untuk memenuhi undangan Khalifah Abu Ja’far
ke ibukota Hasyimiyah. Ketika tiba di Hisyamiyah, Abu Muslim diberikan
kesempatan beristirahat selama tiga hari sesuai dengan tradisi Arab kala itu.
Setelah itu ia diadili dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 30 Syakban 137 H.35
Al-Manshur selama menguasai pemerintahan selama lebih kurang 22
tahun, telah membuktikan prestasi besar dalam mengkonsolidasikan situasi
politik. Ia adalah pendiri Dinasti Abbasiyah yang sesungguhnya. Ia memiliki
beberapa karakter yang saling bertentangan. Sebagai penguasa ia sangat keras dan
kejam terhadap musuh-musuh negara, namun ia adalah seorang kawan yang setia
dan baik hati. Al-Manshur adalah penguasa Abbasiyah pertama yang memecah

34
Ibid.
35
Ibid., h. 82.

15
persatuan kelompok Abbasiyah dan Syiah yang sebelumnya telah bersatu. Sebagai
seorang Muslim, pribadi al-Manshur adalah saleh dan penuh keteladanan.36
Pada masa pemerintahannya ini negeri-negeri Timur mulai
mengembangkan tata kehidupan negeri Barat. Pakaian kebesaran Persia dijadikan
sebagai pakaian resmi kenegaraan, sementara itu pakar-pakar (ulama) timur diberi
kedudukan yang tinggi. Bangsa Arab mulai kehilangan perannya tidak hanya
dalam bidang militer namun juga dalam peran-peran sosial lainnya. Ia juga
seorang ahli dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, karena itu ia mendirikan
semacam yayasan wakaf dan sejumlah pendidikan di berbagai penjuru. Pada masa
pemerintahannya ini, berbagai disiplin ilmu seperti kepustakaan, sejarah,
kedokteran dan khususnya astronomi dipelajari dan berkembang dengan pesat.37
Menjelang penghujung 158 H, Khalifah Al-Mansur berangkat ke Mekkah
untuk menunaikan ibadah haji. Namun, dalam perjalanan ia sakit lalu meninggal
dunia. Ia wafat dalam usia 63 tahun dan memerintah selama 22 tahun. Jenazahnya
dibawa dan dikebumikan di Baghdad.38

E. Kesimpulan
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari pemerintahan Dinasti
Umayyah. Dinamakan Dinasti Abbasiyah karena para pendirinya keturunan
Abbas, paman nabi Muhammad Saw.
Kemunculan Dinasti ini dilatarbelakangi oleh meningkatnya kekecewaan
kelompok Mawalli terhadap Dinasti Umayyah, pecahnya persatuan antarsuku-
suku Arab, dan timbulnya kekecewaan masyarakat agamis dan keinginan mereka
memiliki pemimpin kharismatik. Perlawanan kelompok Syiah juga merupakan
faktor yang berperan. Kelompok ini tidak pernah melupakan perlakuan kejam
penguasa pemerintah Dinasti Umayyah terhadap keturunan Ali, terutama pada
saat terjadinya Perang Karbala. Di mana pada peperangan tersebut Husain
terbunuh dengan sangat mengenaskan. Hal ini memicu kemarahan bagi orang-

36
Ali, Sejarah Islam, h. 362.
37
Ibid., h.364.
38
Bastoni, Sejarah, h. 83.

16
orang Syiah, sehingga mereka bersatu dengan satu tekad ingin menumbangkan
kekuasaan Bani Umayyah.
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu Abbas al-Saffah ( 133-137 H/750-
754 M), ia terkenal dengan gelar al-saffah (penmpah darah). Gelar tersebut
diberikan orang-orang karena ia terkenal dengan sifat yang tidak kenal belas
kasihan terhadap Bani Umayyah. Hal itu dikarenakan dendamnya yang begitu
besar. Kemudian dilanjutkan oleh saudaranya, Abu Ja’far al-Manshur (137-159 H/
754- 775 M).

DAFTAR PUSTAKA

Abyan, Amir, Tarikh Islam, Jakarta: DEPAG RI, 1986.

Ali, K., Sejarah Islam (Tarikh Pramodern), Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada,
2003.

Bastoni, Hepi Andi, Sejarah Para Khalifah, Jakarta: Al-Kautsar, 2008.

Fachruddin, Fuad Muh., Perkembangan Kebudayaan Islam, Jakarta: Bulan


Bintang, 1985.

Hamka, Sejarah Umat Islam, cet.vi, Jakarta: Bulan Bintang, 1989.

Hasan, Masudul, History of Islam, India: Adam Publisher, 1542.

17
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam 2, Jakarta: Kalam Mulia,
2001.

Hitti, Philip K., History of the Arab, terj. Cecep Lukman Yasin dkk, Jakarta: PT.
Serambi Ilmu Semesta, 2008.

Hodghson, The Venture of Islam: Imam dan Sejarah dalam Peradaban Dunia,
(terj)
Mulyadhi Kartanegara, Jakarta: Paramadina, 2002.

Konemann, Islam Art and Architecture, Markus Hattstein and Peter Deliau (ed),
Berlin: CDN Pressing, t.t.

Lapidus, Ira M., A History of Islamic Studies, Cambridge: Cambrigde University


Press, 1988.

Mubarok, Jaih, Sejarah Peradaban Islam, Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004.

Nasr, Syed Mahmud, Islam its Concept and History, New Delhi: Kitab Bhavan,
1981.

Nasution, Harun, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, Jakarta: UIP Press,
1986.

Nicholson, Reynold A, A Little History of the ‘Arabs, Cambridge: At The


University Press, 1956.

Sou’yb, Joesoef, Sejarah Daulat Abbasiyah I, Jakarta: Bulan Bintang, 1977.

Syalabi, A, Sejarah dan Kebudayaan Islam, Jakarta: Pustaka al-Husna, 1993.

Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam Melacak Akar-


akar Sejarah, Sosial, Politik, dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 2004.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta: PT. Raja
Grafindo Persada, 1997.

18
19
20
21
22
23

Anda mungkin juga menyukai