Medication Eror

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 6

TUGAS ANALISIS JURNAL MEDICATION ERORR

OLEH: SUCI RAMADANI

NIM: A2315057

A.IDENTITAS JURNAL

1. Nama jurnal: medication erorr

2. Nama penulis: Lulu Gloria1, Yuwono2, Ngudiantoro3

3. Tahun penerbit: Th. 49 Nomor 4, Oktober 2017

4. Judul jurnal: FAKTOR PENYEBAB MEDICATION EROR PADA PASIEN KEMOTERAPI DI RSUP
DR.MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

B.ABSTRAK JURNAL

1. jumlah paragraf: 1 paragraf

2. Halaman: setengah halaman

3. Uraian abstrak:

Medication error adalah kesalahan yang terjadi dalam proses pengobatan pasien yang berpotensi
merugikan pasien ketika pengobatan berada di bawah pengawasan petugas kesehatan yang
sebetulnya dapat dicegah. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis faktor risiko yang
mempengaruhi terjadinya medication error (prescribing dan dispensing) pada petugas yang
menangani pasien kemoterapi di RS Mohammad Hoesin. Desain penelitian ini adalah analitik
dengan rancangan crossectional (potong lintang). Populasi pada penelitian ini adalah resep
kemoterapi, Dokter dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang ada di TPO Kemoterapi dan Rawat Inap
RS. Moh.Hoesin pada bulan Mei dan Juni tahun 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive dengan jumlah sampel sebanyak 792 resep, 58 Dokter dan 55 Tenaga Teknis Kefarmasian
. Analisis data menggunakan uji chi square dan analisis regresi binery logistic. Uji statistik dengan
menggunakan analisis regresi logistic diketahui bahwa variabel yang berpengaruh terhadap
medication error pada pasien kemoterapi di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017
adalah variabel beban kerja petugas(p-value= 0,027; PR= 2,853; 95% CI= 1,126-7,224), pendidikan
petugas (p-value= 0,006; PR= 17,260; 95% CI= 2,281-130,602) dan jenis kelamin petugas (p-value=
0,003; PR= 6,926; 95% CI= 1,892-25,363) Dokter dan Tenaga Teknis Kefarmasian. Dan sebagai faktor
konfounding adalah variabel pengalaman kerja(p-value 0,0001), jadwal kerja(p-value 0,0001), dan
komunikasi(p-value 0,002). Kejadian medication error dapat diintervensi dengan pelatihan tentang
obat-obatan kepada Dokter dan Tenaga Teknis Kefarmasian, memperbaiki rasio antara sumber
daya manusia dengan beban kerja, meningkatkan pendidikan Tenaga Teknis Kefarmasian serta
menerapkan database obat-obatan dan aplikasi resep secara elektronik.

C. PENDAHULUAN JURNAL

Medication error adalah kejadian yang idealnya dapat dicegah pada waktu pengobatan yang
dapat menyebabkan atau mengarah pada penggunaan obat yang tidak sesuai atau
membahayakan bagi pasien saat pengobatan berada di bawah pengawasan profesi pelayanan
kesehatan, atau pasien sendiri. (NCCMERP, 2017).1

Data medication error di Inggris WHO(2016)3, antara Januari 2005 dan Desember 2010 terjadi
kesalahan berkisar 10-12% atau sebanyak 517.415 laporan kejadian kesalahan pengobatan yang
diterima dari Inggris dan Wales, yang merupakan sekitar 10% dari semua insiden keselamatan
pasien. 13. Laporan kesalahan itu meliputi tahap administering 50%; tahap peresepan 18%, Obat
yang hilang dan tertunda 16% dan dosis salah 15%.

Di Indonesia, prevalensi medication error berdasarkan data nasional kesalahan pemberian obat
menduduki peringkat pertama sebesar 24,8% dari 10 besar insiden di rumah sakit yang pernah
dilaporkan(PERSI, 2007)2. Tahap dispensing adalah urutan pertama kesalahan dalam proses
penggunaan obat. Pada penelitian di ruang perawatan pasien di RS Charitas Palembang (Simamora,
2011)4. Kejadian Tidak Diinginkan yang berhubungan dengan penggunaan obat (medication error)
sebanyak 76 kasus (26%) dan dari seluruh kejadian ini medication error yang paling sering terjadi
adalah pada fase administration 81,32%, fase prescribing 15,88 % dan fase transcribing 2,8%.5.
Penelitian Bates mengemukakan bahwa peringkat paling tinggi kesalahan pengobatan adalah tahap
ordering (49%), diikuti tahap administration (26%) , pharmacy management sebesar 14%, dan
transcribing sebesar 11%(Bates et al, 1997)5. Penelitian ini menyatakan bahwa kejadian medication
error di rumah sakit sekitar 11% kasus berkaitan dengan kesalahan pemberian obat dan salah
menetapkan jenis obat pada tahap dispensing dan dari total 2.585 resep obat didapatkan 90%
penulisan resep tidak lengkap. Pada penelitian di Yogyakarta(dwiprahasto, 2006)6 dinyatakan
bahwa 11% medication error di rumah sakit berkaitan dengan kesalahan saat menyerahkan obat
ke pasien dalam bentuk salah dosis atau salah obat.

Menurut American Hospital Association(Kemuliaan, 2015)10, medication error dapat terjadi pada
berbagai situasi seperti: informasi pasien yang tidak lengkap, misalnya tidak ada informasi tentang
riwayat alergi dan penggunaan obat sebelumnya dan tidak ada informasi obat yang lengkap,
misalnya cara penggunakan obat, frekuensi dan lama pemberian. Kesalahan komunikasi dalam
peresepan, contohnya interpretasi Tenaga Teknis Kefarnasian yang keliru dalam membaca resep
dokter karena tulisan yang tidak jelas, kesalahan membaca nama obat yang relatif mirip dengan
nama obat lainnya, kesalahan membaca desimal, pembacaan unit dosis hingga singkatan
peresepan yang tidak jelas serta adanya kesalahan penulisan etiket obat yang berisiko dibaca keliru
oleh perawat, Faktor-faktor lingkungan yang turut mempengaruhi petugas seperti ruang apotik
atau ruang praktik dokter yang tidak terang, hingga suasana tempat kerja yang tidak nyaman yang
dapat mengakibatkan timbulnya medication error. Berdasarkan penelitian kualitatif Rahmawati
dan Oetari penyebab kesalahan pemberian obat antara lain : Kurangnya pengetahuan, terutama
para dokter yang merupakan 22% penyebab kesalahan, Tidak cukupnya informasi mengenai pasien
seperti halnya data uji laboratorium, Sebanyak 10% kesalahan dosis yang kemungkinan disebabkan
tidak diikutinya SOP pengobatan 9% karena lupa , Ada 9% kesalahan dalam membaca resep seperti
tulisan tidak terbaca, interpretasi perintah dalam resep dan singkatan dalam resep, Salah mengerti
perintah lisan, Pelabelan dan kemasan nomenklatur yang membingungkan, Blok dari penyimpanan
obat yang tidak baik, Masalah dengan standar dan distribusi, Asesmen alat penyampai obat yang
tidak baik saat membeli dan penggunaan misalnya pada alat infus obat anti kanker, Kegagalan
komunikasi atau salah interpretasi antara dokter penulis resep dengan pembaca resep yaitu
petugas farmasi. (Rahmawati, 2002)8.
D. METODE PENELITIAN

Desain penelitian yang digunakan adalah observasi analitik dengan rancangan cross sectional.
Penelitian ini untuk mengetahui hubungan variabel independen yaitu faktor risiko dengan variabel
dependen medication error pada pasien kemoterapi. Populasi dalam penelitian ini adalah resep
kemoterapi, Dokter dan Tenaga Teknis Kefarmasian yang ada di TPO Kemoterapi dan Rawat Inap
RS. Moh.Hoesin pada bulan Mei dan Juni tahun 2017. Pengambilan sampel dilakukan secara
purposive dengan jumlah sampel sebanyak 792 resep, 58 Dokter dan 55 Tenaga Teknis
Kefarmasian(TTK). Analisis data menggunakan uji chi square dan analisis regresi. Kriteria inklusi
adalah semua Dokter penulis resep untuk pasien kanker di poli rawat jalan dan di ruang perawatan
dengan masa kerja minimal setengah tahun, semua tenaga Teknis Kefarmasian yang bekerja di TPO
Kemoterapi dan TPO Rawat Inap yang melayani obat untuk pasien kanker dengan masa kerja
minimal setengah tahun, semua resep kemoterapi yang masuk apotik pada periode bulan Mei–
Juni 2017 dengan kesalahan pada resep yang berhubungan dengan dosis obat. Kriteria eksklusi
adalah, Semua dokter yang tidak bekerja di bagian ongkologi atau tidak merawat pasien kanker,
Semua Tenaga Teknis Kefarmasian yang sedang cuti, Semua resep kemoterapi dengan kesalahan
pada resep yang tidak berhubungan dengan dosis obat pasien dan resep obat kemoterapi untuk
konsumsi di rumah

E. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Hasil Univariat

Karakterisitik Responden Karakteristik demografi pada penelitian ini meliputi jenis kelamin,
tingkat pendidikan dan status pekerjaan responden yang berjumlah 113 responden

Berdasarkan karakteristik demografi responden mayoritas responden merupakan perempuan


dengan jumlah 59 orang (52,2%) didominasi TTK 51 orang sedang pekerjaan dokter didominasi
laki-laki 47 orang. mayoritas tingkat pendidikan yaitu tamat D3 sebanyak 48 orang (42,4%) dan
tamat S1 sebanyak 47 orang (41,6%). Seluruh petugas pendidikan D3 berasal dari Farmasi ,
pendidikan S1 terdiri dari 10 TT Farmasi dan 37 dokter residen, dan pendidikan S2 adalah Dokter
Specialist. Mayoritas responden sudah menikah yaitu sebanyak 91 orang dengan persentase
sebesar 80,5%. Lama kerja paling rendah adalah setengah tahun yaitu 2 orang Tenaga Teknis
Kefarmasian(TTK) dan paling lama 34 tahun 1 orang Dokter S2.

2. Hasil Bivariat

Berdasarkan hasil uji statistik pada alpha 5% didapatkan 6 (enam) variabel yang memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian medication error yaitu variabel pengalaman kerja dengan
p-value 0,0001, variabel beban kerja dengan p-value 0,012, variabel pendidikan dengan p-value
0,014; variabel jadwal kerja dengan p-value 0,0001; variabel komunikasi dengan p value 0,002;
variabel jenis kelamin dengan p-value 0,004). Variabel yang tidak berhubungan adalah Usia
dengan p-value 0,358(tabel 4).

Hasil distribusi frekuensi pada penelitian ini mendapatkan bahwa mayoritas responden memiliki
tingkat pendidikan D3/S1 yaitu sebanyak 95 orang (84,1%). Hasil uji bivariat mendapatkan
bahwa tingkat pendidikan memiliki hubungan yang signifikan dengan terjadinya medication
error pada pasien kemoterapi (pvalue= 0,014; PR= 5,326; 95% CI 1,447-19,607). Hal ini sejalan
dengan hasil uji multivariat yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang
signifian dengan terjadinya medication error setelah di kontrol oleh variabel pengalaman kerja,
beban kerja, jadwal kerja, komunikasi dan jenis kelamin (p-value= 0,006; PR= 17,260; 95% CI=
2,281-130,602). Hasil distribusi frekuensi yang dilakukan dalam penelitian ini mendapatkan
bahwa mayoritas responden adalah jenis kelamin perempuan sebanyak 59 orang (52,2%).
Berdasarkan hasil uji bivariat pada penelitian ini mendapatkan bahwa jenis kelamin memiliki
hubungan yang signifikan dengan terjadinya medication error pada pasien kemoterapi di
RS.Moh.Hoesin Palembang ( pvalue= 0,004; PR= 3,308; 95% CI= 1,527-7,167). Hal ini pun sejalan
dengan hasil uji multivariat yang menyebutkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan yang
signifikan dengan terjadinya medication error setelah dikontrol oleh variabel pengalaman kerja,
beban kerja, pendidikan, jadwal kerja, dan komunikasi (p-value= 0,003; PR= 6,926; 95% CI=
1,892-25,363). Hasil statistik menunjukkan bahwa jenis kelamin memiliki hubungan dengan
terjadinya medication error pada pasien kemoterapi di RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang tahun
2017. Komposisi sampel jenis kelamin laki-laki yang diteliti pada penelitian ini hampir sebanding
dengan jumlah sampel perempuan. Tapi untuk sebaran distribusi pekerja farmasi adalah
mayoritas perempuan sedang pada dokter adalah laki-laki. Jenis kelamin perempuan pada
pekerjaan dokter sangat sedikit dibanding laki-laki sedangkan medication error banyak terjadi
pada fase prescribing(peresepan). Belum ada penelitian lebih lanjut tentang jenis kelamin
tertentu mengakibatkan medication error walau ada yang berpendapat pada kondisi yang
berbeda, bahwa wanita lebih cenderung teliti dan pria lebih ceroboh dibandingkan wanita.
Petugas kesehatan dengan beban kerja menangani resep obat dengan ratarata jumlah >27
resep berkemungkinan lebih banyak melakukan kesalahan, yaitu dengan proporsi sebesar
59,3%. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa beban kerja kerja memiliki hubungan dengan
terjadinya medication error (p-value=0,012; PR=5,564; CI: 2,46712,548) pada pasien kemoterapi
di RSUP Dr.Mohammad Hoesin Palembang tahun 2017. Selain itu beban kerja dengan kategori
rata-rata jumlah resep per hari >27 resep lebih berisiko untuk melakukan medication error
sebesar 2,836 daripada petugas kesehatan yang lain.

3. Hasil Multivariat

Berdasarkan hasil analisis multivariat dengan uji regresi binary logistic didapatkan hasil bahwa
Faktor risiko dari kejadian relaps medication error yang paling dominan adalah variabel
pendidikan dengan OR 17,260 (pvalue0,006; 95% CI 2,281– 130,602). Apabila tingkat
pendidikan D3/S1 maka akan memiliki kecenderungan lebih berisiko terjadi medication error
17,26 kali lebih besar dibandingkan petugas dengan pendidikan S2.Faktor risiko setelah
kepatuhan pendidikan adalah variabel jenis kelamin dengan OR6,926 (p-value0,003; 95% CI
1,892– 25,363). Apabila jenis kelamin petugas adalah laki-laki maka akan lebih risiko terjadi
medication error sebesar 6,926 kali lebih besar dibandingkan petugas dengan jenis kelamin
perempuan. Dan faktor risiko yang berpengaruh adalah adalah variabel beban kerja petugas
dengan OR 2,853 (p-value0,027; 95% CI 1,126– 25,363). Apabila beban kerjaDokter atau Tenaga
Teknis Kefarmasian menangani resep lebih dari 27 resep per hari maka akan lebih risiko terjadi
medication error sebesar 2,853 kali lebih besar dibandingkan petugas yang menangani resep
≤27 resep per hari.

PEMBAHASAN

Penelitian medication error ini hanya dilakukan pada tahap prescribing dan dispensing saja, tidak
sampai pada tahap administering. Dengan pertimbangan bahwa tahap prescribing adalah tahap awal
yang paling sering terjadi kesalahan pada resep, dan tahap dispensing adalah tahap penting yang
berperan untuk mencegah jangan sampai kesalahan terus berlanjut hingga ke pasien. Medication
error pada kemoterapi yang sering terjadi terutama disebabkan oleh resep yang tidak lengkap.
Berdasarkan penelitian ini didapatkan berbagai informasi terkait kejadian Medication error, yaitu
bisa terjadi jika karena kondisi dan tindakan yang tidak tepat. Misalnya kurang pengetahuan dan
keahlian sehingga berbuat salah serta kondisi lingkungan kerja saat kejadian yang kurang
mendukung. Kesalahan bisa diupayakan agar tidak terjadi dengan memperbaiki sistem sistem
manajemen, dimulai dari level manajemen tertinggi sampai manajemen terendah, mengupayakan
penempatan semua sumber daya manusia sesuai bidang kealiannya dan terus-menerus
memperbaiki sistem yang ada untuk mengantisipasi terjadinya error. Idealnya jumlah dokter yang
menangani pasien baik di rawat jalan dan rawat inap idealnya seimbang begitu juga jumlah petugas
farmasi yang bertugas menyiapkan obat untuk meminimalkan risiko karena kelelahan. Obat yang
tidak tersedia atau tidak lengkap di apotik akan menjadi kriteriamedication error karena pasien tidak
medapatkan obat yang sudah diresepkan dokter, dan ini adalah masalah pada manajemen distribusi
obat rumah sakit atau distributor obat. Pihak rumah sakit juga sudah berusaha mencegah kejadian
ME dengan tenaga Apoteker untuk pelayanan farmasi klinis yang idealnya berfungsi dengan
maksimal untuk memberikan jaminan mutu keselamatan bagia pasien yang dirawat. Kendala yang
sering terjadi adalah begitu banyak masalah yang timbul dalam proses pengobatan pasien seperti
kondisi klinis pasien yang memburuk dan sistem manajemen belum sepenuhnya berbasis elektronik
sehingga Apoteker tidak bisa dengan cepat memantau kondisi pasien. Seorang Apoteker idealnya
menangani 20 bed tapi pada kenyataannya bervariasi ada yang 50-150 bed per orang. Apoteker bisa
menjadi mitra dokter dalam memantau status kesehatan pasien jika rasio jumlah dengan pasien
seimbang.

Dalam praktek sehari-hari, karena kondisi pasien sedang banyak dan kmpleksitas kondisi kesehatan
pasien, terkadang membuat pelanggaran prosedur yang dilakukan petugas, seperti seorang Dokter
melewatkan pengecekan kebenaran identitas psien, tidak mengecek kondisi alergi pasien serta tidak
mengecek obat apa yang dipakai oleh pasien sebelumnya(rekonsiliasi). Sedangkan seorang petugas
farmasi karena kesibukannya melakukan kesalahan pelanggaran prosedur dengan tidak sempat
mengecek kebenaran identitas pasien pada catatan pemberian obat pasien, tidak sempat
melengkapi data obat tambahan yang diminta lewat telepon oleh perawat sehingga terjadi ME, atau
petugas farmasi tidak sempat mengcek kebenaran keterangan etiket obat yang telah dibuatnya dan
tidak menyim obat kemoterapi pasien untuk hari lanjutan. Asuransi kesehatan yang sering digunakan
di RSMH sekarang ini adalah asuransi Badan Penyelenggara Jaminan Nasional(BPJS) dimana
penerapannya belum maksimal dilakukan, masih banyak dokter yang tidak tahu item atau jenis obat
yang bisa diresepkan untuk berbagai kasus penyakit. Walau jarang terjadi, terkadang obat yang tidak
boleh diresepkan karena tidak sesuai dengan indikasi yang tertera di daftar FORNAS tetap diresepkan
oleh Dokter, contohnya obat Ibandronic acid untuk kasus kanker tulang dengan dosis 6 mg,
diresepkan oleh dokter untuk kasus osteoporosis dengan dosis yang sama, padahal maksimal dosis
untuk osteoporosis adalah 3 mg. Penggunaan resep yang masih ditulis dengan tangan menjadi
kendala bagi TTK dan juga Dokter, karena resep yang sulit dibaca membuat salah interpretasi bagi
TTK. Kebijakan belum menggunakan eresep juga menjadi kendala dokter untuk update obat yang
boleh diiresepkan dan masuk dalam standar Formularium Nasional (FORNAS).

Kemoterapi adalah salau satu tindakan pengobatan bagi pasien kanker yang menjalani rawat inap.
Sejak tahun 2017 Rumah Sakit Dr Mohammad Hoesin (RSMH) merupakan rumah sakit tipe A dan
berstatus sebagai Rumah Sakit Rujukan Nasional, sebelumnya RSMH merupakan rumah sakit rujukan
untuk propinsi di sekitar Sumatera Selatan termasuk provinsi Bangka Belitung, Bengkulu, Lampung,
dan Jambi. Pada kemoterapi di RSMH jumlah tindakan kemoterapi pada tahun 2015 sebanyak 10.504
dan pada tahun 2016 meningkat menjadi 12.462 (TPOKemoRSMH, 2017)7, dengan jumlah resep obat
kemoterapi yang dilayani lebih dari 800 resep dalam sebulan. Dari data jumlah pasien kanker yang
mendapat kemoterapi dua tahun terahir cukup tinggi dan jumlah resep yang banyak, hal ini
memungkinkan adanya kejadian Medication error pada pasien kanker yang mendapat kemoterapi
Salah satu penelitian medication error pada pelayanan kemoterapi adalah penelitian Ranchon yang
bertujuan untuk menilai kejadian kesalahan pengobatan obat golongan antineoplastik. Dari jumlah
6,607 peresepan obat antineoplastik, 341 (5,2%) diketahui paling tidak ada satu kesalahan, sesuai
dengan total 449 kesalahan pengobatan. Dan dari total kesalahan tersebut 91% adalah kesalahan
dalam peresepan, 8% kesalahan yang berkaitan dengan farmasi, dan 1% kesalahan dalam
administrasi (Ranchon et al., 2011)9. Hasil penelitian ini sejalan dengan yang dilakukan di RSMH
dimana prescribing error terjadi pada sekitar pada banyak resep , banyak resep tidak lengkap ditulis
Dokter dari poli rawat jalan. Dan dispensing error terjadi 4,4% sedikit lebih kecil dari penelitian di
atas.

F. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis multivariat secara simultan faktor risiko dari kejadian medication error
yang paling berisiko adalah variabel pendidikan disusul dengan variabel jenis kelamin dan variabel
beban kerja. Jumlah angka kejadian relatif lebih rendah dibandingkan penelitian di tempat lainnya
tetapi petugas yang berhubungan dengan ME cukup banyak sehingga perlu di antisipasi dengan
segera untuk mengurangi risiko tersebut dengan beberapa saran, antara lain: meningkatkan
pengetahuan dan pendidikan tenaga kesehatan dengan pelatihan secara terus menerus terutama
mengenai obat-obatan dalam waktu dekat, dan dalam jangka panjang program pendidikan
bertahap ke jenjang S2 bagi seluruh petugas. memperbaiki rasio antara sumber daya petugas
kesehatan (Dokter dan Tenaga Teknis Kefarmasian) dengan jumlah resep yang ditangani per
hari,penambahan petugas pada jadwal shift sore dan malam, penerapan aplikasi resep secara
elektronik(eresep) database obat-obatan berbasis elektronik, pembatasan penulis resep hanya
dibuat oleh Dokter Ahli (S2/Specialist), penambahan penerimaan petugas dengan jenis kelamin
perempuan dan pendidikan lebih tinggi.

Anda mungkin juga menyukai